Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG BENANG MERAH TAKDIR

Bimabet
Menunggu update selanjutnya suhu, seru banget bacanya sampe marathon karena ternyata saya ketinggalan cerita seru
 
Chapter 4:

It's All About Heartbreak...



Suite 20-07
Sebuah Hotel Mewah di Jakarta Selatan
Timeline Unknown



"Ingatlah malam ini, Erik... Malam di mana cinta kita akhirnya tak bisa bersatu..."

"Aku tak mau malam ini berakhir..."

"Aku juga, tapi tak ada pilihan lain... I will always love you, Erik, forever and ever, walau kamu sudah menjadi milik wanita lain, menjadi milik Metta... Aku akan tetap mencintaimu walau pahit dan sakit rasanya... Tak akan kukubur walau terasa seperti bara api yang memakan tubuhku perlahan-lahan... Dan selamanya, hanya kamu yang akan selalu aku cintai, bukan pria lain, baik saat ini atau pun di masa depan, bahkan walau kehidupan kita berakhir, cintaku akan tetap abadi..."



Aku terbangun. Rasanya seperti sebuah mimpi aneh telah menyergapku, namun aku tak ingat sama sekali apa yang ada dalam mimpiku. Hari masih gelap, dan jam pun bahkan belum menunjukkan waktu fajar. Kata-kata yang kuucapkan pada Erik sebelum tidur tadi masih terngiang-ngiang di kepalaku.

Saat itulah pipiku terasa hangat. Sebuah kecupan pada pipiku seolah memicu reaksi kimia pada hormon dalam tubuhku untuk melepaskan sebuah perasaan melankoli, perasaan yang kini bergemuruh dalam dadaku.


"Aku pergi dulu..."


Mendengar Erik berkata begitu, seketika itu pula air mataku tumpah sebagai bentuk mekanisme tubuhku untuk mengurangi gemuruh yang ada pada dadaku. Aku berusaha menahannya, namun itu justru membuatku terisak-isak.

Suara langkah Erik berhenti saat pintu terdengar dibuka. Dia agak lama berhenti di sana, mungkin melihat ke arahku, karena kurasakan tatapan matanya memberi sensasi panas pada bagian belakang kepalaku. Sejenak ingin aku untuk berbalik badan dan memeluknya agar dia tak jadi pergi, namun aku hanya bisa meringkuk dengan enggan, mencegah segala macam keinginan dari semua sendi dalam tubuhku untuk bergerak, sehingga hanya isak tangisku saja yang terdengar.


"Please, Erik, stay with me, jangan pergi..."


Namun keinginanku itu tak berbalas, karena pintu pun ditutup, dan suasana menjadi hening. Aku tahu bahwa aku kini sendirian di dalam kamar ini, karena kamar ini kini terasa amat hampa.

Aku menunggu beberapa lama hingga benar-benar memastikan Erik telah pergi. Tadinya kuharap saat aku bangkit dan bangun, ada Erik di sana, duduk, menungguku bangun sambil tersenyum, kemudian dia mengajakku pergi yang jauh, jauh dari semua orang...

Namun itu sekali lagi hanyalah keinginan hampa, karena saat aku bangun dan berdiri, kamar ini tetap kosong, hanya ada aku sendirian di sana. Erik telah pergi, namun aku pun tahu bahwa dia tak bisa tinggal. Sayangnya Erik terlalu kesatria untuk melanggar sumpah dan pergi demi cinta. Aku selalu suka sifat itu darinya, namun kini aku mengutuknya karena dia memiliki sifat itu. Karena dengan begitu, maka dia jadi tak bisa kumiliki...

Aku lalu mengambil hapeku yang ada di dekat nakas, dan pada layarnya terdapat sebuah reminder mengenai hari ini:

14 Februari 2015
"Erik's Wedding Day"





Pukul 05.00 WIB


Aku terkejut saat bel di pintu kamar hotel dibunyikan. Aku tak sedang menanti siapa pun, apalagi pada jam sepagi ini, walau aku sudah bangun. Lebih tepatnya, aku susah buat tidur lagi.

Mataku agak sembap karena setelah Erik pergi aku benar-benar menangis berjam-jam. Aku berusaha mengompresnya dengan es supaya cepat kempes. Hari ini adalah hari istimewa Erik, dan aku bertugas menjadi bridesmaid bagi Metta, sainganku dalam mendapatkan cinta Erik. Bagiku, ini adalah sebuah perasaan yang amat memilukan, mengantarkan wanita yang akan menikahi pria yang kucintai. Bagi seorang wanita, tak ada siksaan yang lebih besar, tapi demi Erik, aku harus kuat.


"Are you okay?"


Begitu kata orang yang memberiku pesan lewat WhatsApp itu, sahabatku yang bernama Anin.


AKU: "I'm fine. Don't worry."
ANIN: "Sorry, I couldn't be there for you..."
ANIN: "Lagi ada exams ama Pak Hendryk di kampus."
AKU: "Gak apa-apa. Pak Hendryk emang selalu gitu, ngasih exams biasa pas hari Sabtu."
ANIN: "Kamu selesai jam berapa? Nanti kalau aku bisa balik cepet aku jemput."
AKU: "Gak sampai noon."
AKU: "Sudahlah, kamu fokus aja ke exams kamu, oke?"
AKU: "Matkulnya Pak Hendryk ini soalnya penting kan, buat kamu lanjut ke Perth."
AKU: "Jangan sampai gagal di sini."
ANIN: "Iya sih, but I'm worried about you."
AKU: "Udah, nggak usah khawatir. Aku bakal lebih seneng kalau kamu bisa lulus lalu lanjut ke Perth."
AKU: "Don't worry about me, let's just say, aku udah biasa."
ANIN: "How about if we go out tonight?"
ANIN: "Bills on me, to drown your sorrow away, gimana?"
AKU: "Ya, itu boleh juga."
AKU: "But I don't drink..."
ANIN: "Hais, tenanglah, I know, I know. Oke?"
AKU: "Oke."
ANIN: "Good, I'll pick you up at eight."
ANIN: "Be there, or be square."


Itulah pembicaraanku saat bel pada pintu berbunyi. Aku buru-buru memakai kimono mandi lalu membuka pintunya. Kukira itu adalah room service, walau heran saja karena aku tak memesan apa-apa. Namun saat kubuka ternyata...


"Eonnie?"


Aku agak terkejut karena Metta sudah ada di depan pintu. Dia tersenyum, tapi entah kenapa sorot matanya agak tajam menusuk, membuatku jadi agak salah tingkah.


"Ah, good, kamu udah bangun, ayo cepet siap-siap." kata Metta.

"Siap-siap?"

"Yes, jangan sampai bridesmaid terlambat."

"Tunggu, tunggu, maksudnya jadi gimana nih? Btw, koq kamu bisa tahu aku di sini?"

"Erik bilang ASV ada bachelor party di sini, dan ninggal kamu. So, daripada kamu telat mending aku samper aja ke sini, terus kita berangkat bareng."

"Lho, aku bawa motor lho ke sini..."

"Gak masalah, ntar kasih Pak Yono aja kuncinya, biar dia yang bawa ke lokasi, kita berdua di mobil."

"Eh, tapi, Eonnie..."

"I don't take no for an answer, buruan pake baju, kunci ama STNK ntar dikasihin ama Pak Yono aja di bawah, oke?"



Aku ingin protes, tapi Metta tampaknya sedang tak ingin diganggu gugat. Well, aku bisa paham alasannya, she's a bride today, she deserved to be treated as queen. And me, as her bridesmaid, tugasku adalah pastikan dia segala sesuatunya berjalan lancar baginya, terlepas dari aku suka atau tidak. Jadi begitulah, setengah jam setelah itu aku sudah ada di mobil, bersama dengan Metta. Aku sendiri bingung dari mana Metta bisa berada di hotel ini, bukankah seharusnya dia ada di rumah? Namun kegalauanku tampaknya menutupi keanehan fakta yang jelas terlihat itu. Kenapa aku galau? Yah, saat ini rasanya bagaikan berada di sebuah mobil polisi yang membawa tahanan, di mana Metta adalah polisinya dan aku adalah tahanannya. Aku merasa amat bersalah pada Metta karena tidur dengan Erik pada malam sebelum pernikahannya.


"Rin..."


Aku terkejut saat Metta memanggilku, saking terkejutnya hingga aku gelagapan dalam menjawab.


"I-Iya... A-Ada apa, Eon-Eonnie?"

"Kamu kenapa sih, kayak orang bingung begitu? Aku tadi bilang, ntar begitu sampai di sono, kita langsung ke ruangan buat dirias, soalnya make-up artist-nya udah siap."

"Oh... Iya, iya..."

"Heran deh, kenapa kayak kamu yang gugup deh, padahal kan aku yang bakal nikah."

"Eng-Enggak... Nggak apa-apa..."

"Fokus lah, jangan sampai kamu salah-salah entar, ya?"

"I-Iya..."



Metta lalu diam sebentar. Aku masih merasa amat bersalah hingga tak bisa berkata apa-apa. Walau terlihat seperti melihat pemandangan di luar, sebenarnya mataku hanya menatap kosong belaka. Saking besarnya rasa bersalah ini sehingga aku pun kewalahan menahannya, dan akhirnya...


"Eonnie..."

"Hmm?"

"Sebenarnya, semalam..."

"Shut it!"



Aku langsung bungkam terdiam begitu Metta menyuruhku untuk diam. Dia tampak menghela nafas dalam-dalam seolah menahan sesuatu. Lampu jalanan yang masih menyala menunjukkan ada ekspresi aneh pada mukanya.


"Rin..."

"I-Iya?"

"Apapun yang kamu lakuin semalam sama Erik, aku nggak tertarik buat tahu, so simpen aja ceritamu buat diri kamu sendiri, paham?"

"A-Apa? J-Jadi..."

"Kamu pikir apa Erik bakal sewa kamar 20-07 itu kalau nggak atas sepengetahuanku? Semua yang terjadi di situ malam itu juga atas sepengetahuanku. Makanya aku tahu kalau kamu ada di sana malam ini."

"Eonnie..."

"I could hire a striptease dancer for his bachelor party, but rather... Aku mau dia dan kamu bisa mengucapkan perpisahan secara layak. Sebuah hadiah dariku untuk kalian berdua, supaya di kemudian hari kamu nggak lagi penasaran ama Erik. Cuman tadi malam aku ngasih kesempatan buat kalian berdua. Sejak hari ini, Erik sudah jadi milikku, kamu paham, Rin?"

"P-Paham, Eonnie..."

"Good, ingat itu baik-baik."

"Ma-Maaf..."



Entah kenapa perkataan Metta itu meski membuatku sedikit lega, namun tak meringankan rasa bersalahku sama sekali. Tak banyak orang yang bisa mengintimidasiku, dan Metta adalah salah satunya. Mungkin karena aku juga merasa bersalah kepadanya karena mencintai Erik, sehingga aku membiarkannya untuk berada dalam posisi berkuasa atasku, sebagai hukuman bagiku karena sudah lancang mencintai pria yang bukan milikku. Kami pun diam sejenak dalam keheningan yang canggung, dan aku meremas kalungku, kalung berbentuk anak kunci bersayap yang menjadi hadiah ulang tahunku tahun lalu.


"Ah iya, maaf, ya..." tiba-tiba Metta berkata sesuatu.

"Eh, maaf kenapa, Eonnie?"

"This is your birthday, kan? Aku belum sempet kasih hadiah ke kamu karena sibuk nyiapin buat wedding..."

"Oh, nggak apa-apa, Eonnie, this is your big day after all..."

"Damn it... Kenapa aku bisa lupa ya ini ultah kamu, I could pick another day kalau inget."

"Gak apa-apa, lagian venue-nya juga kosong pas ini, kan? Aku emang dulu sengaja gak bilang biar kamu bisa ambil hari ini."

"Oh... Tapi harusnya kamu bilang..."



Kami kembali terdiam.


"I'm not a heartless person, Rin. Aku tahu gimana perasaan kamu ama Erik. Aku juga tahu bahwa ngelihat kebahagiaan Erik sementara kamu sendiri remuk pas hari ulang tahun kamu itu amat menyakitkan."


Aku tak menjawabnya. Dadaku seolah bergetar dan ingin meluap.


"Mungkin kamu pikir semua yang aku lakuin ke kamu itu buat ngehukum kamu, tapi jujur aku nggak bermaksud begitu. I acknowledge your feelings about Erik, dan aku juga berterima kasih kamu udah mau menekan itu demi aku. In fact, I thank you for taking care of Erik well."


Selesai Metta berkata begitu, aku yang sudah tak lagi bisa menahan gejolak yang meluap di dadaku akhirnya menangis. Air mata ini langsung mengalir seperti banjir bandang yang datang setelah bendungan jebol. Saking kerasnya aku menangis hingga Metta pun meminggirkan mobilnya di tempat yang saat itu masih sepi.


"Hei, kamu nggak apa-apa?"


Banyak yang sebenarnya ingin aku katakan. Namun pada saat ini semua itu bercampur ke dalam sebuah isakan yang keras. Metta membuka sabuk pengamannya lalu mengusap pundakku. Seolah diberi kesempatan untuk itu, aku pun menumpahkan tangisanku yang selama ini kutahan. Tangisan karena aku akan kehilangan Erik untuk selamanya.

Saat itulah Metta memelukku. Tiba-tiba aku merasakan sebuah kehangatan yang tak hanya mendekap badanku, namun juga menyelimuti hatiku. Kurasa memang benar bahwa saat kita galau, yang benar-benar kita butuhkan hanyalah sebuah pelukan, entah dari siapa pun itu. Dia memelukku dengan tulus, bagaikan seorang kakak yang memeluk adiknya, dan aku pun, secara otomatis, balik memeluknya, menumpahkan air mataku pada dadanya yang terasa lembut menekan wajahku.


"I'm sorry, Rin, I know this must be hard for you. Jujur rasanya seperti merampas sesuatu dari adik sendiri."


Ya, karena kau merampas Erik dariku. Hmm, entah kenapa aku selalu menganggap Erik adalah milikku. Kami tak pernah benar-benar berpacaran, hanya bercinta beberapa kali dalam sebuah hubungan yang tanpa status. Metta-lah yang secara resmi berpacaran dengan Erik, jadi lebih tepat bila dibilang akulah yang selingkuhan dan bukan dia. Kebingungan akan status ini membuatku terkadang tak bisa menentukan sikap pada Metta mengenai di mana posisiku.

Ya, aku memang tak suka pada Metta karena dia pernah berselingkuh dari Erik. Namun kini dia sudah terbukti mengabdikan dirinya pada Erik. Lagi pula dia tak pernah bersikap menganggapku sebagai musuh meski dia tahu bahwa aku mencintai Erik. Dia justru menganggapku sebagai adik dan memperlakukanku seperti itu dengan baik. Bahkan di KSI, Metta-lah yang membimbingku untuk menjadi daeri yang baik, termasuk mengajarkan bagaimana harus bersikap saat di sana. Untuk banyak hal, bahkan Metta sering bercerita padaku, terutama mengenai Erik, karena dia melihat aku cukup mengenal Erik dengan baik. Aku sebenarnya risih diajak bicara soal itu, tapi aku selalu berusaha membantunya sebaik-baiknya, jadi Metta pun akhirnya tahu apa yang disukai oleh Erik serta bagaimana dia di kantor lamanya di ASV. Rasanya seperti mengajari musuhmu cara untuk menghancurkanmu, bukan? Tapi entahlah, karena Metta tak pernah menganggapku sebagai musuh, maka aku pun merasa tak seharusnya aku menjadikannya musuh. Dia bahkan berharap dengan tulus supaya aku bisa bertemu dengan lelaki lain dan bahagia, namun sayangnya, hatiku sudah kukunci pada Erik, dan Metta pun sepertinya tahu soal itu.

Metta mengusap air mata yang mengalir pada pipiku. Jarinya terasa lembut memegang wajahku. Belum lagi wanginya yang lembut, mirip seperti rose, entah apa itu dari parfumnya, atau memang wangi alami Metta seperti ini, karena aku pun sering menciumnya saat di kantor.


"Muka kamu cantik, Rin, tapi kalau nangis gini jadi jelek..."


Metta lalu mengusap pelan pipiku dengan ibu jarinya. Jari lentik dan halus itu membuatku tak ingin melepasnya. Aku ingin tangan Metta bisa terus ada di wajahku. Rasanya memang tak senyaman tangan Erik, namun aku serasa bisa menemukan esensi dari Erik di sana. Seolah seperti Erik tengah menyentuhku secara tidak langsung. Air mataku pun terhenti, dan aku hanya ingin menikmati belaian lembut dari Metta ini.


"Tangan kamu alus, Eonnie, hangat..."

"Apa iya? Wajah kamu juga, Rin, pipi kamu lembut banget... Ranum gitu kalau gak lagi nangis, kayak apel."

"Kamu kayak rose..."

"Oh ya?"



Aku mengangguk. Metta semakin menekan lembut pipiku dengan tangannya. Lalu kurasakan hembusan nafas hangatnya yang terasa wangi dan lembap pada wajahku. Tanpa sadar, mata kami saling bertatapan, wajah kami semakin berdekatan dan mulut kami sedikit terbuka, dan...


"CUUP!"


Bibir Metta yang ranum itu langsung mengecup bibirku, dan jantungku tiba-tiba saja berdetak semakin kencang bagaikan genderang yang ditabuh. Tanpa sadar aku mendesah saat Metta melepaskan bibirku dan tersenyum.


"Kamu juga enak, Rin, kayak apple..."

"Oh yahh? Hhh..."

"Tastes like one too."

"Eonnie... Bibir kamu lembut banget, anget... Kamu sering ngecup bibir Erik pake ini?"

"More than you could imagine..."

"Pantes Erik suka... Aku juga suka..."



Metta hanya tertawa kecil. Apa yang aku lakukan? Kenapa aku flirting pada Metta yang seharusnya merupakan musuh besarku?? Tapi sentuhannya dan ciumannya benar-benar lembut dan membuaiku dengan cara yang berbeda dari yang pernah kudapatkan baik dari Erik, atau pria atau wanita lainnya... Ya, aku sedikit mabuk dengan ciuman dan aromanya sehingga aku pun mulai kehilangan kendali akan birahiku.

Tanpa menunggu komando, aku langsung menubruk Metta, dan melumat bibirnya, seolah ingin mereguk semua kenikmatan dan aroma dari dalam dirinya. Badan yang telah sering disentuh oleh Erik, dan menerima berkali-kali air pembuahan Erik, kini aku akan membersihkan sisa-sisa kenangan Erik itu dari badan ini. Metta, yang mengetahui apa yang ingin kulakukan, langsung merebahkan kursinya...


"Susu kamu lembut, Eonnie..."

"Kamu juga, Rin..."



Kami kemudian saling menyentuh dan meremas susu masing-masing dari luar baju, dan kurasakan bahwa baik aku atau Metta sama-sama tak memakai beha. Kami memang memutuskan tak pakai beha biasa kami, karena toh di tempat acara kami akan berganti baju, dan karena baju bride maupun bridesmaid sama-sama open shoulder, jadi lebih baik menggunakan strapless bra, yang sudah disiapkan juga oleh Metta di sana.


"Aaahhh..."


Aku mendesah saat tangan Metta meremas dan mencubiti putingku, saat kukunya yang panjang dan lentik itu menowel putingku, memberikan sensasi rasa aneh.


"Damn, Rin, your nipples are so hard, I love them... Punyaku nggak pernah bisa sekeras ini."

"Aahhh... Tapi punya kamu imut, Eonnie, pink terus areolanya kecil gitu... AAAAHHH... Eonnie!"



Metta tidak menjawab, karena dia sudah mengeluarkan susuku dari kemeja lalu sibuk mengulum putingku yang mengeras.


"Ini ya yang semalem disedot ama Erik? Pantes Erik suka..."


Aku menahan rasa geli yang menjalar setelah Metta kembali menyedot susuku dan memainkannya dengan giginya. Berbeda dengan Erik yang melakukannya dengan tegas dan langsung menusuk ke dalam, Metta memainkannya dengan lembut sehingga rasa ngilu yang menyenangkan itu menjalar ke permukaan, membuat semua otot dadaku seolah terbangun. Belum lagi permainan lidahnya pada putingku yang benar-benar membuatku amat terangsang. I'm feeling so hot and sexy...


"Aaahhh... Issshhh... Yess... Terusssss... Aahhhh..."

"Kamu suka, Rin?"

"Suka banget, Eonnie..."

"Gantian dong, aku mau juga..."



Tanpa membantah aku segera membuka baju Metta. Saat ini yang tercium di dalam mobil adalah aroma keringat kami berdua yang tercampur dengan parfum minimalis yang sama-sama kami pakai. Memang tak sewangi parfum, namun udara penuh feromon ini menjadi sebuah candu sendiri bagi kami. Baik aku maupun Metta seolah bermandikan diri dalam aroma peluh dan keringat masing-masing yang membuat libido kami memuncak.


"Aaaahhhh... That's it... Terus, Rin... Aaaahhh... Yesss..."


Aku langsung mengusap dan mencucup susu Metta yang ukurannya sedikit lebih besar dariku, namun punya puting dan areola yang jauh lebih kecil. Puting Metta bersifat inverted, artinya bila tidak terangsang, puting itu masuk ke dalam. Perlu sedikit usaha lebih untuk bisa membuatnya menonjol. Huft, kini aku jadi tahu kenapa Erik kalau menyedot susu selalu tajam dan mendalam hingga ngilunya menusuk dan menyebar di punggung. Mungkin ini gaya yang dia kembangkan saat bermain dengan pentil Metta. Bahkan Anin saja putingnya tidak begini... Eh, hehehe.

Kujilat dan kuhisap, kemudian kusapukan lidahku, mulanya hanya pada puting dan sekitaran areola saja, namun lama-lama aku mengusap sambil meremas seluruh buah dada Metta yang terasa amat kenyal dan mantap dalam genggamanku. Damn, ini benar-benar buah dada termantap yang pernah aku pegang, nggak heran kalau Erik suka sekali. Bukan cuman Erik, entah berapa pria yang sudah pernah meninggalkan jejak tangannya pada susu yang indah ini. Namun sesuatu menarik perhatianku, sumber dari aroma yang membuatku mabuk.


"Aaahhhh geli, Rin... Jangan dijilatin keteknya... Geliiiiii..."


Metta berusaha menutup keteknya yang kini aku jilati. Aroma feromon yang semerbak menyengat membuatku tak bisa berpikir selain untuk mereguknya sebanyak-banyaknya. Ketiak Metta benar-benar mulus, sama sekali tak ada bekas cukuran atau daki atau akar rambut. Aku pernah tahu bahwa Metta hampir tak pernah memakai deodoran, tapi memang di kantor pun dia wangi sekali. Aku tahu karena aku bekerja amat dekat dengannya, dan ada beberapa kali aku merasa mabuk saat mengendus aroma Metta. Bukan, bukan karena dia bau badan, ini jenis aroma lain yang bisa membangkitkan seluruh indrawi untuk terus menempel, bukannya menjauh.


"Udaaah, Rin, udaaaahhhh..."


Metta lalu bangun kemudian menciumku. Lidahnya kembali dengan lembut mengusap dan menjelajahi seluruh relung mulutku. Untuk ciuman, harus kuakui bahwa Metta jauh lebih jago daripadaku. Mungkin karena memang Metta lebih berpengalaman, tapi itu bagus, karena Erik bisa memberikan ciuman terbaik di dunia, dan Metta is a better option to match him. Namun buat saat ini, aku akan menikmati ciuman itu, sebuah ciuman yang segar dan tajam bagaikan air mawar.

Kami melepas ciuman untuk menarik nafas. Baik aku dan Metta sama-sama terengah-engah, bukan karena lelah, namun karena kami telah sama-sama berada di puncak birahi. Ini gila! Aku dan Erik baru saja bercinta semalam, dan belum beberapa jam berlalu, aku kini bercinta dengan Metta! Padahal dalam dua atau tiga jam lagi, Erik dan Metta akan menikah! Tapi aku tak berpikir mengenai bahwa ini keadaan amat gila, karena feromon gabungan kami berdua telah amat mempengaruhi otakku sehingga yang bisa kupikirkan hanyalah bagaimana aku mereguk kenikmatan dari tubuh yang telah menarik banyak pria ini.

Aku kemudian meraih ke bawah, menyingkap rok jeans-nya yang hanya menutupi sepanjang lutut. Sebagai mana soal beha, kami pun entah bagaimana sama-sama memakai rok, karena sekali lagi akan lebih mudah bila kami harus mengganti baju di venue. Metta tampak menarik nafas dalam-dalam saat kupegang bagian tengah CD-nya. Terasa agak lembap. Aku mengangkat jariku lalu mengendusnya tepat di depannya, sebelum kemudian menjilatnya.


"Udah becek meki kamu, Eonnie..."

"Kamu suka?"



Aku mengangguk. Normalnya ini adalah sebuah hal gila, tapi hari ini aku memang sedang benar-benar gila. Kami bahkan tak peduli walau matahari sudah hampir keluar membentuk semburat lembayung di langit.


"Rin, 69 aja ya..."

"Iya, Eonnie..."



Aku kemudian berbalik, mencoba memanuver kakiku yang tergolong panjang ini di mobil yang sebenarnya tak terlalu besar ini. Agak susah, karena aku tak mau menginjak Metta, dan Metta tak membuatnya lebih mudah karena dia iseng sekali memegangi atau mengelus bagian tubuhku yang terbuka.

Namun di tengah semua susah payah itu, aku berhasil memutar tubuhku, hingga kepalaku pun berada di atas meki Metta yang masih tertutup celana dalam. Begitu pula aku bisa merasakan tatapan panas Metta yang mengamati bagian mekiku.


"Pantat kamu seksi, Rin... Sering olahraga ya?"

"Enggak sering sih... Eh, Eonnie, aku lepasin CD-nya ya..."



Lalu akrobat saling melepas CD pun dimulai. Dengan di atas, aku agak kesulitan karena selain harus menjangkau ke bawah, Metta juga sepertinya tak mau kalah dan berusaha melepaskan CD-ku lebih dahulu.


"PLAAAKK!!"


"Ih, Eonnie, sakit, tahu??"

"Biarin, abisnya pantat kamu nggemesin, sih!"



Metta menceples pantatku dua kali lagi, lalu memegang serta mengelus mekiku yang kini terbuka. Aah, dari gerakan jarinya, pasti mekiku juga sudah amat basah. Dia lalu mengangkat kedua kakinya sehingga aku bisa lebih mudah melepas CD-nya. Hari memang semakin terang, dan walau kaca mobil Metta lumayan gelap, tetap saja semakin berisiko untuk ketahuan orang.


"Dicukur napa, Rin, biar mulus kayak aku."

"Nggak suka kalau gundul, Eonnie..."

"Coba deh, kapan-kapan aku ajakin ke tempat hair removal-ku ya."



Aku tak menjawab karena masih berkonsentrasi melepas CD-nya, sekaligus membantunya melepas CD-ku. Sekali lagi, posisiku yang di atas membuatku agak susah, namun akhirnya kedua CD kami berhasil dilepaskan dan kami lempar sembarang saja ke lantai mobil. Kejadian selanjutnya, tentu saja, kami saling melumat meki masing-masing. Namun kami melakukannya dengan agak cepat, karena amat berbahaya bila kami dipergoki dalam posisi seperti ini, meskipun jujur aku ingin lebih berlama-lama menjepitikan kepalaku di selangkangan Metta. Meki Metta benar-benar wangi bagiku, apalagi cairan kewanitaannya, yang aku yakin pasti Erik pun suka menjilatinya. Aku jadi agak bersalah karena Metta harus menjilati jembutku meski itu tertata dengan cukup rapi. Namun aku tak bisa terlalu lama berpikir, karena sedotan dan jilatan dari Metta benar-benar membuatku terasa melambung di awan.


"Hmmmppphhh... Ummmpphhhh... Aggghhhh... Wllwlwlwlwl... Hmmmppphhh..."


Suara desahan kami tertahan oleh mulut kami yang harus menempel ke meki masing-masing. Awalnya aku memakai tempoku sendiri, namun lama-lama akhirnya aku kalah. Kini yang bisa kulakukan hanyalah mengikuti tempo Metta pada mekiku. Saat dia menjilat kencang aku menjilat kencang, saat dia melambat aku melambat, saat dia mengisap aku mengisap, dan bila dia mengorek mekiku dengan lidahnya, aku pun melakukannya serupa. Tak perlu waktu lama sebelum Metta pun menyadari apa yang kulakukan, dan tampaknya dia pun mengarahkanku untuk secepatnya mendapatkan mega-orgasme. Tak masalah, karena teknik yang dia pakai pun membuatku juga hampir mengalami orgasme.

Pelan-pelan kurasakan gelombang orgasme itu bergerak dari mekiku, naik ke atas kepala, sebelum akhirnya turun lagi mengirimkan sebuah gerakan sinyal ritmis yang membuat seluruh ototku menegang. Gerakan pada bibir mekiku pun tak bisa kukendalikan lagi. Aku yakin Metta merasakan bibir mekiku menekan dan menjepit lidahnya dengan lebih kencang dan agresif.


"Aaaahhhhhh... Issshhhh..."


Aku mendesah sambil menarik nafas sebentar sebelum kembali menyelam ke dalam relung meki Metta. Bau yang kurasakan kini sudah tak karuan, bau mekiku, bau meki Metta, keringatku dan keringat Metta, dan suasana miasma di dalam mobil ini membuatku semakin mabuk dan memicu tubuh untuk secepatnya mencapai orgasme besar.


"Bentar lagi... Bentar lagi, Rin... Aahhhh... Aaaahhhhh..."


Aku tak mendengar apa yang Metta katakan, karena tiba-tiba seluruh tubuhnya menegang dan membusur naik, menekan tubuhku dari bawah. Pada saat bersamaan, tubuhku pun menegang karena serangan dari Metta di bawahku. Aku hanya merasakan tubuhku seolah mati rasa dan pada saat itulah aku merasa terpisah dari segala hal di dunia. Aku tak peduli walau cairan Metta menyembur ke mukaku, aku tak merasakan apa-apa lagi. Jantungku seolah berhenti, telingaku berdenging dan pandangan mataku kabur. Itu berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya segalanya kembali normal. Nafasku tersengal-sengal seolah tadi aku baru saja tenggelam dan kini bisa bernafas kembali. Aku baru sadar bahwa aku kini berbaring terbalik di atas tubuh Metta dan menyandarkan wajahku pada gundukan mekinya.


"I love you, Rin..."

"Me too, Eonnie..."



Aku memeluk kedua pahanya, dan dia memeluk pantatku, saat kami sama-sama memulihkan diri dari badai orgasme ini.


==========


Hanya 15 menit setelah itu, kami sama-sama kembali melanjutkan perjalanan. Kami sudah memakai baju kami kembali dan Metta tampak lebih santai daripada sebelumnya. Pagi hari di hari Sabtu, dan tak banyak orang yang berlalu lalang, kecuali saat kami memasuki tol yang mengarah ke luar kota. Aku hanya mengamati mobil-mobil yang berjalan, baik yang searah maupun berbeda arah, karena memang sejak dulu aku menyukai hal itu.


"Kamu beneran gak bisa bawa mobil ya, Rin?"


Aku menggeleng.


"Nggak belajar?"

"Nggak, Eonnie, aku trauma."

"Trauma kenapa? Pernah ada kecelakaan?"

"Itu dia, aku nggak tahu kenapa, tapi kayak takut aja gitu kalau bawa mobil, berasa kayak pernah alami kecelakaan tapi aku nggak tahu..."

"Hmm, macem PTSD gitu ya, kayak Erik?"

"Erik?"



Metta mengangguk.


"Dia didiagnosa PTSD."

"Lha? Koq bisa? Emang dia ada trauma apa?"

"Justru itu, katanya dia gak pernah ada trauma apa-apa. Makanya Erik sering konsultasi ama psikolognya, dr. Sara Anindita."

"Oh iya, aku tahu itu, soalnya namanya mirip ama temenku. Dia mahal banget kan, tarifnya?"



Metta hanya mengangkat bahunya.


"I would like to recommend you to her, kalau kamu mau..."

"Err... Enggak deh, mahal banget pasti."

"I could pay for you if you like?"

"Enggak, Eonnie, aku banyak ngerepotin kamu."

"If you change your mind..."

"Thank you."



Metta lalu menyunggingkan senyumnya padaku.


"Aku yang makasih, Rin, dan ke depannya aku bakal ngerepotin kamu terus."

"Eh? Apa maksudnya?"

"Aku udah rencana resign dalam beberapa bulan ke depan, so kamu tolong jagain Erik di kantor, ya?"

"Resign? Tapi kan nggak ada aturan yang melarang sesama karyawan untuk menikah."

"I know, tapi Erik dan aku itu satu bagian, malahan satu garis komando, so nggak adil aja kalau setelah aku nikah aku masih tetep di sana. Orang bakal ngira Erik pilih kasih pada setiap keputusan-keputusannya."

"Tapi Erik nggak pernah begitu..."

"I know, and you also know, tapi ini KSI, Rin, sebaiknya jangan dikasih celah. Yah, walau aku bakal berat banget sih ninggalin KSI, secara aku besar di sana, ada temen-temenku di sana, terutama juga ada Erik dan kamu."

"Aku? Tapi kita kan bisa ketemu kapan saja, Eonnie."

"Iya, makanya, kamu ntar abis aku resign kudu sering-sering main ke rumah, ya."

"Ne, Eonnie!"

"Lagian, kayaknya menjadi housewife itu bakal jadi sebuah petualangan baru yang menantang, don't you think?"

"Err... Nggak tahu ya... I don't expect that at all."



Metta hanya mengangguk-angguk saja seolah memahami perbedaan pandangan kami. Yah, memang jadi ibu rumah tangga seems fun, punya anak, besarkan anak and so on, and so on. Tapi terkurung di rumah, terjebak selamanya dalam pekerjaan rumah tanpa menghirup udara luar atau melihat pemandangan selain tembok-tembok rumah. Memikirkannya saja sudah membuatku merinding. Namun entah kenapa ya, rasanya seperti hal itu bukan sesuatu yang hanya ada dalam pikiranku saja, seolah itu adalah sesuatu yang nyata dan pernah kualami, sebagaimana saat aku merasa ketakutan dengan kecelakaan mobil, seolah seperti itu sesuatu yang pernah kulihat atau kualami. Kadang itu membuatku berpikir, apa jangan-jangan itu merupakan sebuah hal yang memang nyata kualami tapi aku tak ingat?






Erik dan Metta
Wedding Venue



Tanpa perlu aku ceritakan dengan terlalu detail, aku dan Metta pun sampai, lalu kami dirias dan didandani, dan voila! Metta berubah menjadi pengantin yang sangat cantik dengan gaun putihnya dengan aksen keperakan, sementara aku menjadi bridesmaid dengan gaun mermaid warna putih dan biru yang anggun. Semua berjalan sebagaimana mestinya, walau dalam posisiku, aku berharap ada sesuatu yang akan menggagalkan pernikahan ini. Ya, meski aku sudah berdamai dengan Metta, melihatnya langsung menikahi pria yang kucintai benar-benar teramat berat bagiku. Semoga saja ada badai, atau petir, atau angin kencang, atau bahkan meteor yang membuat pesta ini bubar. Tak perlu membunuh siapa pun, cukup supaya pesta ini bubar saja. Hanya saja, sepertinya tak ada yang terjadi, semua masih berjalan dengan baik, dan Erik akan segera mengucapkan ikrarnya kepada Metta, sementara aku harus berpura-pura tegar dan tersenyum seolah tak ada apa-apa yang terjadi.


"Saudara Erik Setiyadi, apakah Anda menerima wanita ini, Metta Prameswari Liunata, sebagai pengantin Anda, dalam suka dan duka, sakit maupun sehat, kaya atau miskin hingga kematian memisahkan kalian berdua?"


Come on, Erik, just say no. Say no, and pick me, runaway with me, I'll be ready...


"Saya..."


"NGIIIIINGGGGGGGG!!!!"


Aku terkejut, suara dengingan itu amat keras seperti ketika ada speaker yang rusak. Saking kerasnya aku sampai menutupi telingaku. Namun anehnya semua bertepuk tangan dan bersorak-sorai dengan gembira, dan tak ada yang mendengar dengingan itu selain aku. Karena dengingan itu pula, aku jadi tak bisa dengar saat Erik mengucapkan sumpahnya. Tiba-tiba saja aku merasa sepertinya ada sesuatu yang tak beres yang baru saja terjadi. Entah apa itu aku tak tahu. Yang aku tahu, saat itu angin bertiup sepoi-sepoi dengan ritme yang aneh, rasanya seperti barusan terjadi angin ribut di sini, walau tak ada apa-apa yang terjadi.

Sebuah kelopak bunga pun jatuh pada tanganku...

Kelopak bunga ini...

Seruni putih...

Namun di sini tak ada bunga seruni berwarna putih.

Jadi ada apa ini?? Kenapa aku merasa seperti pernah melihat kelopak seruni putih ini sebelumnya? Apa yang sebenarnya terjadi??

Next >>> Acceptance
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd