Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG BENANG MERAH TAKDIR

makasih updatenya

walau di pov Erik Metta tampak biasa aja pas Rini tidur dengan Erik, nyatanya disni cukup berbeda ya.

wah Rini bakal ketemu dr. Sara nih sepertinya, ya mungkin bakal kayak Erik yang konsul ke dr. Sara, tapi yang ditunggu itu reaksi dr. Sara pas Rini konsul. bayangin ada dua orang yang mengidap PTSD tpi saling berkaitan.

ditunggu kelanjutannya
 
Chapter 5:

It's All About Acceptance...



Wedding Venue
Erik dan Metta



"Hei, kamu nggak apa-apa, Rin?"

"Oh, nggak apa-apa, Bang."



Abang Reyhan tersenyum padaku. Aku hanya balas tersenyum saja, padahal hati ini terasa remuk redam dan hampir terbakar habis. Sakit sekali rasanya melihat Erik berada di sana, menyatakan kesetiaannya pada wanita lain, pada Metta. Aku yang tadinya merasa sudah siap menerima semua ini, ternyata sama sekali tak berdaya, dan pemikiran beracun itu kembali lagi. Aku ingin Metta mati, supaya Erik bisa bersamaku... Aku ingin Erik mati, supaya tak ada wanita lain selain aku yang bisa terpikat olehnya... Aahhh...


"Hei, yang kuat, ya."

"Iya, Bang."



Abang lalu menepuk pundakku. Bila ada orang yang tahu bagaimana rumitnya kisah cintaku dengan Erik, maka Abang-lah orangnya. Aku sendiri ngerasa bersalah, karena aku nggak bisa membalas perasaan Abang padaku. Bagaimana pun Abang berusaha untuk mendapatkan cintaku, tetap saja pada akhirnya aku tak bisa memilih Abang. In real life, often times, there's no point for effort. Begitu pun yang kurasakan pada Abang, aku nggak bisa menerima cintanya hanya karena dia sudah berusaha untuk itu. Cintaku selalu kuberikan pada Erik, walau aku tahu hasilnya akan begini.


"Aku pengen nangis, Bang..."

"Ya, jangan di sini. Kamu itu bridesmaid, Rin. Untuk hari ini kamu jangan tunjukkan bagaimana perasaanmu itu."

"Aku nggak kuat, tapi, Bang..."



Abang mendengus. Posisi kami pada saat itu memang sedang berada agak terpisah dari yang lain. Erik dan Metta adalah titik utama dari hari ini, sehingga pemeran sampingan macam aku bisa dengan mudah terlupakan dalam hari besar mereka ini. And it hurts, karena nggak bakal ada yang nanya apakah aku baik-baik saja.

Sekali lagi aku melirik pada Erik dan Metta yang masih dengan mesra suap-suapan kue pengantin. Ah, aku benci sekali melihatnya. Kemesraan itu bagaikan ejekan bagiku. Rini, satu-satunya wanita yang patah hati dalam pesta pernikahan yang berbahagia ini. Terkadang aku berburuk sangka pada Metta, apakah dia menjadikanku bridesmaid hanya sebagai caranya untuk mengejekku? Untuk menyiksaku dengan kemesraan mereka?? Kalau itu benar, maka awas saja, Metta, aku akan...


"Yuk, kita nggeser sebentar."


Abang tiba-tiba saja sudah memegang tanganku. Aku terkejut dan ingin menariknya, tapi Abang menahan tanganku.


"Bang, ntar kalau Kak Gadiza lihat gimana??"

"Gadiza lagi sibuk ama temen-temennya, dia bakalan lupa ama aku..."

"Tapi, Bang..."

"Sudah, ayo ikut."



Seolah tak peduli orang akan melihat kami, Abang dengan begitu saja menarikku melewati keramaian tanpa diketahui oleh semua orang. Kami menuju ke bagian lain venue yang memang sepi, di mana di sana ada semacam pendopo atau gardu yang tersembunyi, jarang dilalui atau ditempati oleh orang yang kini tengah sibuk ke venue utama. Begitu sampai di sana, aku duduk, dan secara otomatis aku langsung menangis tersedu-sedu, hanya aku dan Abang saja yang ada di sini.

Abang kemudian menarik nafas panjang sebelum memberikan tissue kepadaku. Dari dulu memang Abang selalu peka apabila aku menangis.


"Pas kayak gini, aku jadi benci ama Pak Erik, Rin..."


Aku tertegun.


"Dia selalu saja bikin kamu nangis begini. Aku padahal ngeharapinnya dia bakal perlakuin kamu dengan lebih baik, apalagi dia tahu kalau kamu cinta sama dia..."

"Dia tahu koq, Bang... Jangan salahin dia juga, soalnya dia gak bisa ninggalin Metta. Aku yang terlalu ****** udah ngunci hati aku ke dia."

"Kalau tahu itu ******, kenapa masih kamu lakuin, Rin? Ini juga yang bikin aku kesel ama kamu, udah tahu juga Pak Erik sama Metta, masih juga kamu berikan hati kamu ke dia dan nggak ngebuka buat orang lain..."



Abang kemudian terdiam. Dia mengambil sekotak rokok dari kemeja batiknya dan menyalakannya. Bau asap rokok terasa menyengat, dan aku agak sedikit terbatuk.


"Maaf ya, Rin, aku boleh ngerokok, kan?"

"Boleh, Bang. Silakan aja."

"Aku lupa kalau kamu nggak pernah suka ama asap rokok. Tapi saking keselnya jadi aku refleks aja ambil rokok."

"No problem, Bang. Aku ngerti koq."



Asap kembali mengembus dari mulut Abang. Aku sebenarnya sudah berkali-kali memperingatkannya agar tidak merokok, namun sebagai engineer yang harus sering bergadang, rokok dan kopi tak bisa lepas darinya. Setidaknya dia makan dengan teratur. Bagiku, Abang adalah salah satu pria terpenting dalam hidupku, walau aku tak bisa mencintainya, karena cintaku hanya untuk Erik seorang, meski hari ini dia telah menikah dengan Metta.


"Kak Gadiza gak keberatan kalau Abang ngerokok?"

"Dia ngerokok juga, tapi yang mild. So, kadang kami nyebat bareng."

"Oh, ya bagus deh kalau gitu. Aku senang Abang akhirnya nemuin cewek yang bisa cocok ama Abang."

"Berkat Pak Erik juga... Tapi kamu kapan?"

"Aku?"

"Kapan kamu mau buka hati kamu ke cowok lain? Apa di KSI nggak ada cowok cakep yang bisa narik hati kamu?"



Aku menggeleng.


"Cowok cakep banyak sih, Bang. Yang pengen pacaran sama aku juga banyak, ada yang pengen langsung nikah juga malahan, tapi..."

"Kamu gak bisa terima mereka karena masih cinta sama Pak Erik?"

"Iya, Bang."

"Padahal Pak Erik aja hari ini nikah sama Bu Metta, Rin. Kamu mau nutup hati ampe kapan, emangnya?"

"Sampai Erik bisa terima cintaku sepenuhnya, kalau perlu aku rela menunggu selamanya."

"Jangan gila lah, Rin..."

"Abang boleh sebut aku gila, tapi ini pilihan aku, Bang. Aku juga nggak harap Abang bisa mengerti, karena mungkin nggak rasional..."

"Bukan mungkin lagi, emang itu nggak rasional! Rin, kamu itu cantik, pinter, berpendidikan, dan kariermu juga bagus. Apa kamu rela ngebuang semua itu hanya demi satu cowok?"

"Kalau perlu..."

"Rin, kamu gila, ya!??"



Aku tidak menjawab. Ini bukan pertama kalinya aku berdebat soal ini dengan Abang, tapi setiap kali jawabanku akan selalu sama. Aku tak akan membuka hatiku bagi orang lain, karena yang selalu kucintai, sekarang dan selamanya, adalah Erik, dan hanya Erik seorang.


"Ya sudahlah, terserah kamu saja..."


Abang lalu menjatuhkan rokok yang baru setengah diisap lalu menginjaknya hingga hancur.


"Abang kecewa ya, sama jawabanku?"

"Aku selalu berharap kamu bisa bertindak pintar, Rin... Tapi kayaknya harapan aku itu terlalu muluk."

"Bertindak pintar belum tentu yang terbaik, Bang. Aku tahu orang bakal mikir yang aku lakuin ini bodoh, tapi aku nggak harapkan supaya orang paham, karena yang aku rasain sekarang, suatu hari nanti, penantianku ini bakal membawa hasil..."

"Nggak nyangka aku kalau kamu ternyata beneran bisa gila demi cinta. Tapi ya sudahlah, aku nggak bisa benci sama Pak Erik, juga nggak bisa marah sama kamu. Paling aku telen aja perasaan gondok ini..."



Aku hanya bisa melihat Abang yang tampak frustrasi. Ya, bagaimana tidak frustrasi, selama lima tahun semenjak kami bertemu dan dia mulai mendekatiku, selama itu pula usahanya mengalami jalan buntu. Kadang aku ingin sekali bisa membalas perasaannya, tapi ternyata tidak bisa. Aku bahkan tidak tega untuk berpura-pura menerima cintanya, karena dia tak pantas mendapatkan kebohongan dariku. Pepatah bahwa "cinta datang karena biasa" sepertinya tak berlaku bagiku, karena mau dilihat dari cara mana pun, aku tetap tak bisa mencintai Abang.

Aku menepuk pundak Abang, namun dia malah agak beringsut sepertinya tak ingin kusentuh. Ya, walau sudah menyerah terhadapku dan kini dekat dengan Kak Gadiza, Abang tampak masih belum bisa paham dengan keputusanku, dan pada hari ini sepertinya semua kebingungan itu memuncak.


"Abang marah ya?"


Abang hanya menunduk tapi tak menjawab, namun aku yakin dia mengangguk kecil.


"Dia bahkan udah ambil milikmu yang paling berharga, Rin..."

"Iyaa, Bang, aku tahu... Aku rela koq, karena ini kemauanku juga."

"Gila..."

"Bang..."

"Kamu bisa ampe segitunya lalu apa yang kamu dapetin, Rin? Jadi pelakor? Jadi orang ketiga?"

"Maaf, Bang, aku nggak mau jawab pertanyaan itu. Alasan kenapa aku mau lakuin ini biar kusimpan sendiri aja."

"Cuman modal beberapa kali ngentot aja lalu kamu bisa klepek-klepek gitu ama Pak Erik?"

"Bang, aku nggak bisa ngejelasin alasannya. Ini nggak seperti yang Abang pikirin..."



Ya, memang benar. Tapi apa aku sendiri tahu apa alasannya? Sepertinya tidak. Aku hanya tahu bahwa aku harus melakukan ini, dan ada sesuatu yang membuatku harus melakukan ini, tapi aku tak tahu apa itu. Mau Erik menikah dengan Metta pun, aku merasa bahwa pada suatu saat dia akan kembali padaku, karena aku yakin itulah takdirku.

Tapi, kembali... Kenapa aku selalu menganggap bahwa Erik akan "kembali"? Bagaimana bisa kembali kalau dari awal dia tidak pernah menjadi milikku? Akan lebih mudah dipahami bila aku pernah berpacaran dengan Erik sebelum Erik bersama dengan Metta, tapi entah kenapa aku merasakan hal serupa. Bahwa Erik pernah menjadi milikku sebelum dia bersama Metta. Tidak masuk akal, karena bahkan Erik sudah bertemu dengan Metta sebelum bertemu denganku.

Eh tunggu...

Benarkah Erik bertemu dengan Metta sebelum bertemu denganku? Ataukah pada tahun 2009 itu sebenarnya aku yang terlebih dahulu bertemu dengan Erik, baru kemudian dia bertemu dengan Metta? Erik pernah cerita kalau dia pertama bertemu Metta adalah saat setelah tes kedua dalam RBTV, dan aku berkenalan dengan Erik pada tes ketiga di RBTV, tapi nggak menutup kemungkinan aku sudah bertemu dengan Erik pada tes pertama dan kedua, hanya saja kami belum berkenalan.

Ah sial...

Sekali lagi pikiranku hanya tertuju pada Erik, dan bahkan aku tidak memperhatikan pria yang ada di sebelahku ini. Pria yang selalu mendengarkan keluh kesahku setiap aku ada masalah dengan Erik, namun aku tak bisa membalasnya dengan cara sama. Kini kulihat dia tampak masam, juga jemu dengan apa yang dia dengar dariku.


"Kamu tahu gak, Rin..."

"Iya, kenapa, Bang?"

"Aku koq ngerasa jadi kayak tempat sampah, ya?"

"Hah, maksudnya, Bang?"

"Iyaa, kamu kalau ada masalah apa-apa selalu tumpahinnya ke aku, giliran yang enak-enak aja dikasih ke Pak Erik."

"Heh?? Maksudnya apa??"

"Ya, aku selalu kasih yang terbaik buat kamu, Rin, tapi selain sebagai tempat buat curhat dan buang semua perasaan negatif kamu, apa lagi yang bisa kamu kasih ke aku? Gak ada, kan? Bener-bener jadi tempat sampah kan, aku? Dipakai cuman buat ngebuang sesuatu, abis itu ditinggal."



Aku langsung terhenyak bagaikan tertohok saat mendengar perkataan Abang itu. Di satu sisi aku merasa bersalah karena memang selama ini aku melakukan itu padanya, namun di sisi lain aku pun kesal. Apa maksudnya dia ngomong begitu?? Setelah selama ini?? Apa ternyata dia selama ini melakukannya karena pamrih??


"Bang, kenapa sih Abang ngomong begitu? Kapan aku begitu ama Abang?"

"Koq kapan, emang selama ini begitu, kan? Kamu tiap kali ada enak-enak selalu pas sama Pak Erik, lalu tiap ada masalah ama Pak Erik, ngomongnya ke aku. Apa bedanya aku ama tempat sampah??"

"Abang..."

"Coba selama ini kita jalan saat 'pacaran', apa yang kamu pernah kasih ke aku? Cerita saja di luar masalah kamu ama Pak Erik juga jarang, pegangan tangan aja kamu juga gak mau, kalau naik motor juga nggak pernah kamu meluk aku. Lalu sama Pak Erik kamu malah... Ah, sudahlah..."

"Astaga, Bang, jadi Abang ini iri soal itu??"

"Terserah kamu sih mau bilang apa, Rin."

"Kita kan udah sepakat, Bang, mau coba dan lihat dulu selama pendekatan, bukan? Terus Abang juga yang nawarin bakal jadi pendengar setiaku kalau aku ada masalah ama Erik..."

"Capek aja sih, Rin, aku dapet nggak enaknya mulu. Yang enak-enak kamu kasih ke Erik."

"Maksud Abang apa sih??"

"Bahkan sampai hari ini, pas Erik sudah kawin ama Metta aja kamu bisa-bisanya masih mengharapkan sama Erik. Itu kenapa?? Apa karena Erik yang ambil perawan kamu?? Aku aja bahkan nggak pernah, Rin, tapi selama kita sepakat buat dekat, malah kamu kasih semua sama Erik!"

"Astaga, Abang!"



Ya, aku kesal. Aku marah dengan perkataan Abang kali ini. Dia memang benar, tak ada yang salah dengan perkataannya, tapi saat dikatakan langsung seperti itu di hadapanku, entah kenapa bawaannya aku emosi saja. Apalagi aku tak pernah merasa menjadikannya tempat sampah, setidaknya tidak secara sengaja. Bagiku, bisa mengatakan sesuatu yang bagiku tak nyaman untuk kuungkapkan saja sudah sebuah hal yang luar biasa dan tidak mudah, tapi sepertinya itu bukan sesuatu yang disukai oleh Abang.

Dalam kekesalanku yang memuncak itu, aku pun melakukan hal yang tak kuduga kulakukan...


"Rin! Kamu mau ngapain??"


Dengan nekat, aku pun membuka retsleting gaunku kemudian berdiri sehingga atasanku turun hingga ke pinggang, memperlihatkan bagian atas tubuhku yang telanjang, hanya ditutupi oleh sticky bra silikon.


"Abang mau kayak Erik juga, kan? Ini, Bang, Rini kasih sekarang..."


Sebelum Abang sempat bereaksi, aku melepas sticky bra itu dan melemparnya entah ke mana. Aku seolah kesetanan dan tak peduli, bahwa aku memamerkan kedua putingku di hadapan pria lain selain Erik, di sebuah tempat terbuka di mana orang bisa melihatnya. Abang tampak tertegun, bingung harus berbuat apa. Baginya itu mungkin satu hal yang dia idamkan, namun bila aku tahu Abang, dia bukan orang yang nyaman dengan hal-hal macam ini. Bukannya berhenti, aku malah meremas dadaku sendiri sambil memainkan putingnya. Aku mendesah sejenak saat kujepit putingku dengan jari.


"Aahhh... Abang, nikmatin, Bang... Ini kan yang Abang mau??"


Tiba-tiba Abang segera maju dan memelukku. Jasnya dia lepas lalu dia gunakan untuk menutupi badanku yang telanjang saat dia memelukku. Aku jelas saja terkejut dengan tindakan Abang ini. Jantungku saja masih berdetak dengan kencang saat berpikir aku memamerkan badanku pada Abang.


"Abang, lepasin, Bang! Lepasin!!"


Namun Abang terus memelukku dengan erat, seolah tak mau melepasku.


"Maafin Abang, Rin... Maafin Abang..."

"Lepasin, Bang! Abang kenapa begini sih?? ABAANGG!!"

"Maafin Abang, Rini..."



Aku memukul-mukul Abang, berusaha untuk melepaskan diri darinya, tapi Abang terus memelukku dengan erat sambil menggunakan jasnya untuk menutupiku ketelanjanganku, hingga akhirnya aku lelah memukul dan menyandarkan diri padanya. Setelah itu, air mataku langsung pecah di dadanya.


"Rini capek, Bang..."

"Rin..."

"Abang tolong jangan ikut-ikutan pengen cuman badannya Rini, bisa??"



Abang tak menjawab, hanya memelukku lebih erat namun lebih lembut. Tanpa sadar, aku pun balas memeluk pinggangnya, dan menangis tersedu-sedu. Semua ledakan emosi ini membuatku tak bisa membendung lagi air mataku. Aku sedikit kecewa dengan Abang karena berpikiran begitu, namun aku juga tak punya pilihan lain selain memeluk dan menumpahkan air mataku padanya, karena selama ini dialah yang selalu menjadi pelampiasan marahku, sedihku, dan kecewaku, dan aku masih belum bisa menemukan orang lain untuk itu.


"Maafin Abang ya, Rin... Abang nggak seharusnya menyakiti Rini dengan ucapan Abang itu..."

"Aku juga minta maaf, Bang... Aku kayak nggak ngehargai Abang, apa-apa aku curhatnya selalu ke Abang, ampe aku nggak sadar udah ngerepotin Abang..."

"Gak apa-apa, Rin. Abang minta maaf. Kamu nggak pernah ngerepotin Abang koq... Kamu itu gangguan yang menyenangkan..."

"Tapi tetep aja gangguan, kan, Bang?"

"Tapi menyenangkan... Abang suka kamu gangguin terus..."

"Abang jahat..."



Aku kembali memeluk Abang dengan erat dan menumpahkan air mataku hingga kurasakan kemejanya basah. Abang dengan lembut mengusap-usap bagian belakang kepalaku sambil menepuk-nepuknya lembut, seperti bapak yang menenangkan anaknya, atau kakak yang menenangkan adiknya. Aku hanya tahu bahwa pada saat itu, aku menemukan kenyamanan pada pelukan pria selain Erik, walau aku tak akan bisa membalas perasaannya.


"Rin..."

"Iyaa, Bang..."

"Maaf ya..."

"Udah Rini maafkan koq, Bang..."

"Bukan itu... Maaf, Rin..."

"Maaf kenapa, Bang?"

"Abang ngaceng, Rin..."



Astaga! Ya ampun! Sontak hampir saja aku tergelak mendengar perkataan Abang yang agak polos itu. Aku buru-buru melepas pelukannya sambil mengatupkan jas Abang, lalu pura-pura memasang tampang kesal, padahal sebenarnya aku hampir tertawa terbahak-bahak.


"Abang ini ngerusak suasana! Aku jadi mau ketawa, tahu, gak??"

"Ya, gimana, pentil kamu keras nusuk dadanya Abang gitu... Lama-lama ya Abang nggak kuat, Rin..."

"Ih, gitu doang... Emang iya keras ya?"



Aku membuka jasku dan melihat dadaku sendiri, dan ya ampun, benar kata Abang, ternyata putingku menegang keras banget, sehingga mungkin Abang merasakannya saat memelukku.


"Ih iya ih, keras gini..."

"Rin, udah, Rin... Abang nggak kuat ini..."



Saat itu aku baru sadar bahwa aku sedang topless di hadapan Abang. Kulihat celana bahannya warna hitam tak bisa menyembunyikan gundukan kontolnya yang tegang. Ya, kadang aku lupa kalau Abang ini tetaplah seorang pria dewasa, dan aku wanita cantik yang pernah dia sukai. Melihat pemandangan seperti ini tentu saja membuatnya ngaceng, itu normal... Tapi... Hmm, aku kenapa tiba-tiba jadi penasaran dengan kontol Abang ya? Kayaknya beda sama punya Erik. Tanpa tedeng aling-aling, aku pun bersimpuh di depan Abang, yang tak bisa menghindar karena belakangnya adalah tembok.


"Rin, kamu mau ngapain??"

"Penasaran..."

"Penasaran apaan?? Kayak nggak pernah liat aja!"

"Di bokep pernah, punya Erik pernah, tapi punya Abang belum..."



Abang tampak terpaku dan tak bisa menghindar ketika secara naluriah aku mengulurkan tanganku dan menggenggam kontol Abang dari balik celananya.


"Mayan nih, ngacengnya..."


Abang hanya diam saja seolah tak mau membalas perkataanku, mungkin dia hanya ingin tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya. Tanpa meminta persetujuannya, aku pun langsung membuka retsletingnya dan perlahan tapi pasti, dengan mata tetap fokus pada sasaran, mengeluarkan kontol Abang yang tampak tersiksa terjepit di dalam celana dalamnya.

Aku termenung melihat kontol Abang, dan Abang pun tak berkata apa-apa. Kontol Abang berbeda dengan milik Erik karena lebarnya sama dari pangkal batang hingga leher tapi berurat dan agak menghitam, dengan kepalanya agak meruncing. Punya Abang juga agak bengkok ke kiri tapi tak terlalu kentara, sementara kalau soal panjang, boleh dibilang 11-12 dengan punya Erik. Aku kemudian mengocok kontolnya pelan-pelan.


"Enak, Bang?"

"E... Enak, Rin... Duh..."

"Anggep aja ini rasa terima kasih dari aku karena Abang udah dengerin ceritaku selama ini..."



Aku melanjutkan kocokanku dengan tempo lembut, tanpa memperhatikan ekspresi Abang, karena fokus sambil mengocok. Dari yang awalnya agak lunak dan kesat, lama-lama berubah menjadi keras dan licin karena precum, namun kerasnya kontolnya agak tidak konsisten karena kadang bisa kembali melunak, tanda bahwa kontol ini bisa jadi belum pernah dipakai memasuki memek, begitu kata Anin padaku.


"Pelan-pelan, Rin... Hufft... Yah, begitu... Aaahhh enaaakk..."

"Hihihi, enak ya, Bang?"



Aku tersenyum karena aku mempraktikkan apa yang diajarkan oleh Anin padaku. Mengocok kontol cowok itu nggak boleh asal, ada tekniknya. Kita harus memperhatikan ritme alami dari kontol si cowok itu. Berbeda dari dengan mereka bermasturbasi, karena ada timer internal pada tubuh yang otomatis akan menyesuaikan tempo kocokan supaya kontol bisa tetap kencang. Namun bila tempo sudah terlanjur agak turun, ada satu cara menaikkannya...


"CUUP!!"


"Aaahh... Gilaaaaa!!"



Ya, caranya adalah mencium dan yah, mengoralnya, lalu dimain-mainkan di dalam mulut. Setelah seks pertama dengan Erik, aku sudah minta belajar oral pada Anin, dan pernah kupraktikkan beberapa kali pada Erik, sehingga aku agak percaya diri dengan kemampuan oralku.


"Terusss... Aaahhh... Terussss..."


Aku mengocok pangkal batang kontol Abang sambil kepalanya kukeluar-masukkan ke dalam mulut. Sesekali bahkan kumasukkan agak dalam sambil kupijat dengan lidah di dalam mulutku. Abang tampak kelojotan dan kurasakan kontolnya mulai berkedut-kedut. Nah, dalam hitungan 10 biasanya bakal meledak ini, kalau kata Anin, jadi...


"HEEHHH!!! KOQ DILEPAS!!"


Tentu saja aku tergelak, karena tepat hitungan ketiga sebelum kontol Abang meledak, aku langsung melepasnya. Sontak Abang tentu saja kentang dan blingsatan saat kulakukan itu. Anin menyebut ini sebagai "orgasmic denial".


"Maaf, Bang, Rini capek nih, bentar..."

"Ya tapi nggak dilepas pas gini juga, Rin... Aduuuh..."

"Rini mau istirahat bentar, Bang, ntar Rini terusin..."

"Ah elah, Rin... Kentang ini, aduuh..."



Aku hanya tertawa saja melihat Abang. Lalu pelan-pelan kupegang kembali kontolnya dan mengocoknya pelan. Tampangnya pun mulai tenang kembali.


"Udah ya, Bang, udah Rini kocokin lagi nih..."

"Iyaa, Rin, cepetan aja, takut ada yang liat nih."

"Iyaa, Bang, iyaa."



Kontol Abang yang tadinya sempat kempis pun akhirnya kembali mengeras dalam genggamanku. Bagaimana pun, Abang benar, ini bukan tempat yang begitu tertutup, dan orang bisa lewat kapan saja. Aku kembali mempercepat kocokanku.


"Ahhh... Yess, Rin... Terusss..."

"Enak ya, Bang?"

"Enaaakk... Isshhh..."

"Mau dikeluarin, Bang?"

"Iyaa, Rin... Keluarin, please..."



Aku mengangguk dan mengocoknya lebih kencang hingga terasa amat keras kembali dan berkedut-kedut. Saat itulah dengan cepat aku kembali memasukkannya ke dalam mulutku.


"Aaahhh yesssss... Terussss..."


Abang segera menangkap kepalaku dan menahannya di kontolnya hingga hampir menyeruak menyentuh batang tenggorokanku.


"Hmpffhhh... Hmmmmhhh..."


Aku memukul-mukul pinggul Abang karena hampir tersedak. Dia melonggarkan tekanannya sejenak lalu menjejalkannya kembali ke dalam tenggorokanku. Damn, batangnya kini membesar hingga hampir menutup lubang tenggorokanku, dan kini kontol itu semakin berkedut-kedut kencang, dan...


"AKU KELUAARRRR!!!"


Cairan hangat dan kental pun sontak memenuhi mulutku. Entah bagaimana otakku seolah terpicu mengirimkan sugesti seolah-olah Abang memuntahkannya di dalam rahimku. Rasanya sedikit asin, agak gurih, juga sepat, berbeda dengan Erik yang ada manis-manisnya. Segera kutelan semua cairan itu agar tidak tumpah ke wajah atau baju, dan gerakanku menelan seolah memijat kontol Abang sehingga mengeluarkan lebih banyak sperma lagi.


"U-Udah, Rin... Udah, Rin... Aahhh... Isshhh..."


Abang terduduk lemas dan lututnya kulihat bergetar. Aku mengelap sperma yang meleleh di ujung mulutku, kemudian kami berdua tertawa geli.


==========

Sepuluh menit kemudian, kami duduk di langkan dekat situ. Abang sudah kembali ceria lagi, begitu pun aku merasa lega. At least semua sudah clear, dan kini aku mendapatkan Abang kembali, sebagai kakakku. Abang pun juga tampak sudah menerima kenyataan bahwa tak mungkin aku bisa menerima cintanya, hal yang mungkin sudah lama dia sadari namun baru kali ini benar-benar dia rasakan.


"Btw, maafin Rini ya, Bang, bukan hanya karena tadi, tapi karena Rini udah bikin Abang repot selama ini."

"Halah, gak apa-apa, Rin. Abang juga minta maaf, apalagi udah marah-marah kayak tadi. Ampe ngecrot pula."

"Santai aja, Bang. Tapi, Rini boleh tanya, gak?"

"Kenapa tuh?"

"Ini bukan pertama kalinya ya, Bang?"

"Bukan..."



Abang tampak sedikit malu saat menjawab hal itu.


"Kak Gadiza?"


Abang mengangguk.


"Gila, aku nggak ngira lho, kan Kak Gadiza itu kesannya kayak alim gitu."

"Iya, sama, Abang juga nggak ngira, Rin."

"Hah? Jadi Abang ama Kak Gadiza pernah..."

"Oh, kalau itu sih enggak. Dia juga ngakunya masih prewi, gak pernah mau kalau diajakin HS. Paling ya cuman cuddle ama sepong doang sih, kayak kamu tadi."

"Oo, gitu. Enak mana, Bang, seponganku apa Kak Gadiza."



Abang hanya tertawa saja mendengarnya. Aku sadar, mungkin Abang memang tidak mau menjawabnya, atau malah dia tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.


"Tapi jujur sih, misal pun Gadiza udah nggak prewi, aku juga nggak masalah."

"Hmm, Abang berarti cinta beneran ya ama Kak Gadiza."

"Ya, begitulah. Dia juga katanya cinta ama Abang, dan udah janji gak bakal macem-macem lagi ampe kita nikah entar."

"Jangan lama-lama ya, Bang. Takutnya dia dicolong orang."

"Iyalah, gak bakal lama-lama, koq."

"Aku diundang, kan?"

"Iyaa, kamu diundang."



Abang pun mengusap kepalaku dan kami tersenyum bersama.


"Berarti Abang ini cowok kedua ya yang kamu sepongin setelah Erik?"

"Eng... Sebenernya sih Abang cowok ketiga."

"Hah?? Serius?? Satu lagi siapa?? Orang ASV apa orang KSI??"

"Udah nggak usah dicari, nggak penting juga."

"Hmm, berarti orang ASV nih. Siapa? Yanuar ya? Kan dia udah lama pengen macarin kamu."



Aku mengangguk.


"Kamu dipaksa ama dia?? Jawab, cepet!"


Aku menghela nafas, kemudian bercerita. Ini kejadiannya adalah malam sebelum Final Piala Dunia 2014. Saat itu dalam menunggu penentuan juara ketiga, kami bermain Truth or Dare. Salahnya adalah aku bermain dengan sekelompok cowok, termasuk salah satunya adalah Yanuar, dan ada miras juga di sana. Saat agak mabuk itu Yanuar memberiku pertanyaan, dia ingin tahu hubunganku dengan Erik. Karena tak ingin menjawabnya, otomatis aku memilih Dare, dan Yanuar dengan kurang ajarnya membuka celananya memintaku untuk menyepongnya. Tak ada anak cewek di sana, jadi tak ada yang membelaku, dan karena aku juga agak mabok, aku pun mengiyakan, sayangnya, baru juga beberapa detik kukulum, kontolnya sudah ngecrot. Karena kesal kutendang saja kontolnya, lalu pergi meninggalkan tempat itu. Dari sana, aku pun terjatuh ke kolam renang, dan Erik menyelamatkanku. And the rest is history.


"Ah, berengsek, besok aku kasih pelajaran anaknya..."

"Udah, Bang, udah lama berlalu juga."

"Nggak bisa, Rin, pas itu kejadian, kamu masih di bawah tanggung jawab aku."



Sudahlah, tak ada gunanya juga menghentikan Abang. Erik kadang masih bisa berkompromi, tapi saat Abang sudah memutuskan sesuatu, tak ada yang bisa menghentikannya. Kami duduk sebentar, kemudian Abang pamit terlebih dahulu, karena dia tahu bahwa pada saat ini Kak Gadiza pasti nyariin. Aku sendiri masih berjalan-jalan di sekitar situ sebentar karena aku nggak mau ada di satu tempat di mana Erik dan Metta masih menunjukkan kemesraannya. Mungkin pas ada sesi foto baru aku kembali ke sana, tapi untuk saat ini, aku ingin sendirian terlebih dahulu.

Indahnya tempat ini membuat sakit hatiku sedikit terobati. Dalam hati aku pun berpikir mengenai apa yang terjadi. Aku menyepong Abang, kenapa hal itu bisa terjadi ya? Padahal selama ini aku dan Abang sama sekali tak pernah melakukan sesuatu yang menyerempet ke arah seksual. Kemudian terpikir olehku, seperti sebuah deja vu, bahwa sepertinya ada versi kejadian ini di mana tak terjadi apa-apa dengan aku dan Abang. Bahwa kami cuma mengobrol biasa, tidak ada aku memamerkan susuku pada Abang, atau aku menyepong Abang. Seolah seharusnya aku malu dan tak seberani itu untuk melakukannya, namun ternyata itu yang kulakukan. Apakah aku sudah mengubah sesuatu? Aku sedikit ingat dengan mimpiku, yang soal ayahku mati kecelakaan padahal tidak, atau cerita Anin bahwa ayahnya masih hidup padahal sudah meninggal, apakah hal serupa kini terjadi lagi? Bahwa tak seharusnya aku melakukan itu dengan Abang. Tapi apa alasannya? Ah... Erik sepertinya pernah mengatakan sesuatu mengenai hal ini, tapi saat itu aku mabuk, sehingga aku tak bisa mengingatnya dengan baik. Perkataan Erik bagiku seolah seperti gambar Erik dengan mulut yang bergerak namun tanpa suara. Kenapa aku lalu tiba-tiba merasa bahwa ada hal penting yang harus kuketahui?? Ah, berengsek... Ke mana ketajaman pikiranku saat kubutuhkan seperti saat ini??

Saat itulah aku melihat sesosok orang dari kejauhan. Buru-buru aku segera mencari tempat sembunyi, karena aku tak ingin ada yang tahu aku di sini. Aku masuk ke sebuah balai kemudian berdiam di sana. Suara langkah orang itu semakin mendekat, lalu berhenti tepat di balik tembok balai ini. Tak lama, ada suara langkah lain yang mendekat, tampaknya menghampiri orang itu. Orang pertama lalu menyambut kedatangan si orang kedua dengan sebutan "bos".


"Lancang benar kamu datang ke sini tanpa seizinku," kata si orang kedua.

"Hei, tenang, Bos. Ini pernikahan teman aku, dan aku pengen datang. Masa tak boleh?"


Jantungku hampir copot mendengar suara itu, suara yang tak kuinginkan kudengar lagi. Itu Surya! Tapi aku tidak yakin, karena ingatanku soal Surya agak-agak kabur, dan gaya bicara Surya pun sebenarnya tidak khas. Beberapa temanku yang berasal dari Sumatera pun punya logat serupa. Lalu siapa si orang kedua ini? Aku tak pernah mendengar suara atau logatnya sebelumnya, tapi bila dia ada di sini artinya dia adalah salah satu tamu di pernikahan ini? Aku sebenarnya ingin mengintip untuk tahu siapa dua orang yang bertemu ini, tapi aku tak berani, takut bila mereka tahu ada aku di sini, maka sesuatu yang buruk bisa terjadi padaku.


"Kamu itu dari dulu nggak pernah punya pemikiran taktis, ya? Kalau ada yang melihat kamu di sini sama aku, semua rencanaku bisa berantakan."

"Hei, Bos kan tahu dari dulu akal memang bukan kekuatan aku, lagi pula ada Bos yang ahli buat itu, taktik dan strategi atau apalah."

"Makanya, cepat kamu pergi dari sini sebelum ada yang melihat kamu. Kalau rencanaku sampai gagal, kamu yang aku gantung duluan."

"Ehmm... Tenanglah, Bos, lagian aku juga punya sesuatu buat Bos."



Suasana hening sejenak, sebelum akhirnya si orang pertama berkata lagi.


"Aristaeus."

"Oh, yang kamu bilang itu?"

"Ya, seperti dijanjikan."



Kembali suasana hening sejenak. Mungkin mereka sedang melakukan semacam transaksi.


"Uangnya seperti biasa."

"Beres kalau soal itu, Bos. Selama Bos bayar aku, apa pun yang Bos mau bisa aku dapatkan."

"Sebaiknya begitu. Jadi kamu datang ke sini cuman buat ngasih ini?"

"Oh, enggak, ada yang mau aku pastiin dulu di sini."

"Temanmu itu? Kudengar dia ngehajar kamu habis-habisan."

"Benar, tapi aku datang bukan buat dia."

"Oh? Lalu siapa?"

"Istrinya."

"Ada urusan apa kamu sama dia?"

"Cuman konfirmasi saja, Bos. Dan ternyata, apa yang aku curigai itu benar."

"Apa itu?"

"Jangan bicara di sini lah, Bos, nggak enak ama yang lain. Kita ketemu di tempat biasa, lalu kita omongin soal ini. Baik, kalau begitu saya pergi dulu, Bos, tabik."



Suara langkah pun terdengar menjauh. Namun baru beberapa langkah, si orang kedua memanggilnya.


"Hei, apa pun yang kamu temukan itu, jangan kamu tindak lanjuti tanpa izin dariku."

"Tenang, Bos, kau bisa percaya sama aku."

"Aku serius, udah beberapa kali kamu hampir blunder, sampai aku harus selamatkan kamu. Aku mulai mikir apa ada gunanya terus mempertahankan kamu di sini."

"Bos tenang aja, tak bakal kecewa lah Bos punya aku. Nanti kita ngobrol lagi, Bos, tabik."



Si orang pertama kemudian menjauh hingga suara langkahnya tak terdengar lagi. Tak berapa lama kemudian, orang kedua pun berbalik dan melangkah menjauh. Aku baru berani bernafas setelah suara langkah kakinya menghilang. Siapa sebenarnya kedua orang itu? Aku yakin kalau orang pertama itu Surya, tapi siapa yang dia temui di sini? Ada orang-orang dari ASV dan KSI, lalu siapa yang ditemui oleh Surya?

Eh, tunggu. Pikiranku tiba-tiba melayang pada hal yang aku temukan di ASV beberapa tahun lalu saat masih bersama Erik di sana. Apa mungkin orang itu adalah Steven?

Rasa hangat pada jariku kembali, dan benang merah itu pun muncul lagi. Saat itulah aku mendapatkan semacam kilasan ingatan pada pikiranku. Aku makan bersama Anin, lalu tiba-tiba melihat Metta, bersama dengan Steven, lalu seseorang yang tak kukenal. Shit, apa itu? Aku tak pernah mengalami hal itu, kenapa aku seolah bisa mengingatnya?

Saat itulah aku mendongak dan melihat di kejauhan ada seseorang tengah memperhatikanku. Tidak, bagaimana mungkin dia bisa memperhatikanku, dia memakai kacamata hitam dan tongkat yang biasa dipakai oleh orang buta. Ya, itu adalah sosok seorang kakek buta, dengan kepala yang plontos dan kumis serta jenggot yang memutih. Aku tertegun, dan dia tertawa, memperlihatkan giginya yang sebagian sudah ompong seolah dia melihatku, kemudian dia berbalik dan berjalan.


"Kakek, tunggu!"


Entah kenapa tiba-tiba seolah muncul dorongan dariku untuk mengejarnya. Namun si Kakek itu, walau buta, tampak bisa berjalan dengan cepat, sangat cepat sehingga aku yang normal ini tak bisa mengejarnya.


"Tunggu! Jangan pergi!"


Tapi sia-sia, akhirnya aku kehilangan dia. Aku mencoba mencarinya ke mana-mana, tapi si Kakek itu tetap tak kutemukan, seolah hilang ditelan bumi. Tahu-tahu saja aku sudah sampai di pos satpam. Melihatku bingung, salah seorang satpam pun berjalan menghampiriku.


"Siang, Neng, lagi cari apa ya?" tanya satpam itu dengan nada ramah.

"Anu, Pak, tadi Bapak lihat ada kakek-kakek buta lewat sini, nggak?"

"Kakek buta? Enggak tuh, Neng. Dari tadi kami di sini juga enggak ada kakek-kakek buta yang masuk."

"Mungkin dia nggak masuk dari sini, Pak."

"Nggak mungkin, Neng. Semua pintu lain ditutup dan dikunci, kuncinya dari tadi ada di sini. Nggak ada orang masuk dan keluar tanpa kami tahu, Neng. Apalagi kakek-kakek buta pasti kelihatan banget, Neng. Lagian saya juga barusan keliling di sini tapi nggak lihat ada kakek-kakek buta tuh, Neng."

"Beneran, Pak, tadi itu saya lihat ada kakek-kakek buta di dalam, tapi pas saya kejar orangnya kayak ngilang gitu."

"Waduh, Neng, jangan-jangan itu jurig atau memedi. Di sini emang kalau malam agak-agak angker sih, tapi baru kali ini ada jurig keluar siang-siang."



Aku tertegun mendengarnya. Apa betul bahwa kakek itu tadi hantu? Ataukah itu hanya bayangan halusinasiku saja? Lalu kenapa aku merasa seolah aku harus mengejarnya? Bahwa ada sesuatu yang ingin kutanyakan atau kubicarakan padanya? Kenapa juga dia muncul bertepatan dengan munculnya benang merah pada jariku, apakah dia tahu rahasia mengenai benang ini? Ah, entahlah, tiba-tiba saja kepalaku terasa sakit.


Next >>> Desire
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd