Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG BENANG MERAH TAKDIR

Bimabet
Lhoo bukannya ini dah di-update pekan lalu ya?

Oalah ternyata pas liat index justru episode sebelumnya yang belum kubaca
 
Terakhir diubah:
Lhoo bukannya ini dah di-update pekan lalu ya?

Oalah ternyata pas liat index justru episode sebelumnya yang belum kubaca
Kayak udah pernah baca,
apa jangan2 kena benang merah jg ni? Mundur lg timeline gueee :gila:

Iya hu, seperti ane bilang kemaren, ada kesalahan dalam proses upload, jadi yang seharusnya di-upload di premium malah ane upload di sini, sehingga sempet skip satu episode selama beberapa jam. :Peace:
 
Maakasih updatenya

semoga kesalahan update chapter berikutnya ga keulang lagi hahaha

Enggak, jadi pelajaran juga sih, jangan upload dua chapter berbeda di dua platform berbeda pada waktu yang bersamaan, dan nggak dicek lagi...
 
Chapter 6:

It's All About Desire...


KSI Company
Juli 2017



"Kamu tahu kan, apa pentingnya ini?"


Erik tampak serius saat berbicara denganku di sebuah sudut ruangan kosong di KSI Company. Setelah Metta resign dari KSI, maka aku dan Erik bisa lebih leluasa untuk bertemu di sudut-sudut mati di kantor, sebagaimana ketika dulu kami di ASV.


"Iya, ini semua anomali transaksi aneh dari yang dilakukan oleh Steven, yang terkait dengan Sentosa Holding."

"Pada RUPS tahun depan, Steven bakal mencalonkan diri sebagai salah satu anggota Board. Kalau dia berhasil naik, kita bakal ada dalam masalah. Dokumen-dokumen ini adalah satu-satunya yang bisa mencegahnya untuk naik. Steven punya mata di mana-mana, dan hape serta laptop dan komputerku sekarang tidak aman, jadi satu-satunya cara adalah kamu harus pegang data ini. Ingat, kalau data itu sampai bocor..."

"Ya, aku tahu, Steven bisa lakukan tindakan penanggulangan, atau malah pre-emptive strike."

"Bagus."



Kemudian Erik membuka genggaman tanganku dan meletakkan sebuah flashdisk di sana, setelah itu dia menutupnya kembali.


"Rik, apa nggak ada orang lain yang bisa kita percaya?"

"Antara Direktur Kim atau CEO Park, yang mana aku masih belum tahu."

"Bukannya CEO Park pernah lama bersama Steven, dan dia lebih mengenalnya. Sudah jelas kan, kalau dia adalah sekutu Steven di sini?"

"Semua dugaan memang mengarah ke sana, tapi aku masih belum yakin."

"Belum yakin kenapa lagi?"

"Terlalu mudah, aku nggak yakin Steven bakal mengungkap siapa sekutunya semudah itu, belum lagi aku nggak tahu siapa yang membantu Steven dari luar. Beberapa kali usaha kita semuanya gagal, CEO Park sudah wanti-wanti supaya aku nggak coba macem-macem lagi."

"Nah, lalu perlu bukti apa lagi? Could you please go straight to Director Kim, so that we also have a strong ally??"

"Ini permasalahan serius, Rin, aku nggak mau gegabah soal ini. Biar aku pastiin sekali lagi, ya?"

"Rik... Semakin lama kita seperti ini, aku semakin takut situasi akan berbalik dan menghancurkan kita."

"Tenang, Rin..."



Aku bergidik ketika Erik memegang kedua pundakku. Seketika jantungku berdetak lebih kencang hingga terasa memukul-mukul di dada.


"Everything is going to be fine, selama kita bisa lakuin ini dengan baik, okay?"


Aku hanya terdiam saja. Hampir-hampir aku tak mendengar apa yang dia katakan. Yang aku rasakan hanyalah tangan tegapnya yang mencengkeram pundakku dengan mantap, aroma tubuhnya yang membuatku hampir-hampir mabuk kepayang, dan saat ini yang kuperhatikan satu-satunya hanyalah bibir Erik, yang ingin segera kuterkam.

Tidak, Rin, dia sudah bukan Erik yang lajang dan bebas lagi, dia adalah suami Metta sekarang.

Ya, tapi kamu sudah dua tahun menahan perasaan ini darinya, dan sekarang ada kesempatan untuk melampiaskannya. Ayo, lakukan saja, steal a kiss, nobody will see.

Kembali akal sehat dan nafsu birahiku bertempur dengan sengit. Aku memang bisa menahan nafsu birahiku cukup lama sehingga tidak sampai meledak dan melakukannya dengan orang lain seperti yang dulu Metta lakukan, tapi sebagai manusia, semua ada batasnya. Apalagi sebagai wanita, di depan pria yang amat kucintai, pertahananku pun kurasakan semakin lama semakin runtuh. Apalagi nafas Erik, aroma Erik, benar-benar dekat denganku, dan aku amat merindukan ciumannya pada bibirku.


"Rik..."

"Ya?"



Tanganku tahu-tahu saja sudah bergerak cepat dan memegang kepala Erik kemudian menariknya hingga bibirnya menempel pada bibirku. Damn yes, this is it, this is the kiss I've been longing for. Erik tampaknya terkejut, bisa kurasakan dari badannya yang kaku menegang, tapi aku tidak peduli. Kulumat bibir yang dulu pernah beberapa kali memuaskan hasrat pada tubuhku, baik di bibir, susu, atau di meki. Tak perlu lama, hanya dalam beberapa detik saja, aku kemudian melepaskannya.

Erik menatapku dengan pandangan mata seolah tak percaya. Kami saling bertatapan sejenak dan nafas kami pun sama-sama terengah-engah memburu. Saat itulah aku sadar, tidak, Rini, kau tak seharusnya melakukan ini. Apa yang telah kulakukan? Dia adalah suami orang, Rin... Kau hanya akan menjadi pelakor apabila nekat melakukan ini. Pandangan mataku pun berubah ketakutan, kemudian aku berusaha menghindar...


"Maaf, aku..."

"Rin..."



Aku tak bisa bergerak. Dia menahanku pada tembok, dan membuatku tak bisa lolos. Sorot mata Erik terasa tajam, dan aku amat mengenal sorot mata itu. Sorot mata seorang pemburu yang kini kembali mengincarku, api yang menyala pada matanya, yang sudah lama tak kulihat lagi selama Erik menikah dengan Metta. Api yang kukira sudah mati, dan kini menyala kembali akibat ciumanku...


"Rik, udah, Rik..."

"Enggak, Rin... I want you."



Keadaan ini tentu saja membuatku tak nyaman. Perasaan nafsu gairah tadi sudah mulai agak menurun, mulai digantikan oleh perasaan bersalah yang semakin menggelayut. Ini adalah hal yang salah dan tak seharusnya aku melakukannya, tapi kenapa setelah ciuman itu aku jadi semakin ingin untuk mereguk lebih banyak lagi. Tidak, ini tidak bisa, tapi aku mau... Konflik yang menggelora membuat jantungku seolah berdetak bagaikan bom yang jatuh bertubi-tubi.


"Lepasin, Rik, kita nggak seharusnya melakukan ini. Kamu sudah jadi miliknya Metta, Rik..."

"Enggak, Rin. Selamanya aku akan selalu mencintai kamu."

"Ini nggak boleh, Rik... ERIK!"



Aku berontak, namun Erik menekanku dengan lebih kuat. Dia kemudian menyosor dan menyerangku di wajah, bibir, dan juga leher. Aku berusaha menahannya sekuat tenaga, namun tenaga Erik jauh lebih kuat, dan sejujurnya, nafsu serta hatiku sendiri telah mengkhianatiku dan seolah menjadi kolone kelima yang mengizinkan Erik untuk bertindak lebih jauh.


"ERIK! Ini nggak boleh, Rik..."

"I love you, Rin..."

"Aaahh... Erik... Aaahhh..."



Suara perlawananku mulai tenggelam oleh desahanku akibat serangan Erik pada leher dan telingaku. Pikiran rasional terakhir pun perlahan mulai meredup, digantikan api birahi yang kembali menyala-nyala. Tangan Erik tahu-tahu saja sudah menyusup ke balik blouse-ku dan meremas dadaku yang masih terbungkus beha. Damn, tanganku memegangi tangan Erik, namun seolah tak ada tenaga untuk menghentikannya, sehingga lebih seperti mengawal saja.


"Erik, please... Aahhh... Issshhh..."


Remasannya yang mantap pada susuku, caranya jarinya memainkan pentilku, bagaikan mengirimkan sengatan listrik, berpusat dari pentil dan seluruh dadaku, menjalar ke seluruh tubuh, dari kaki hingga kepala, mengalir berputar sebelum akhirnya bermuara pada satu titik, mekiku. Basah dan hangat, dan terasa amat gatal. Aku ingin bagian itu digaruk, bukan oleh tangan, tapi oleh kontol, ya, kontol Erik. Itu saja yang terus berputar di pikiranku, hingga akhirnya aku mulai membalas serangannya. Aku lalu mencari mulutnya dan menyosor Erik dengan sebuah ciuman yang lebih panas daripada ciumanku yang pertama.


"Ooh, Rin, this is so good..."


Kami kembali berciuman. Honestly, I'm not a good kisser, tapi selama ini memang aku sering berciuman dengan good kisser, macam Erik, Metta, atau bahkan Anin, so aku belajar dari mereka. Dari mereka bertiga, aku selalu suka berciuman dengan Erik, mungkin karena aku mencintainya. Atau mungkin karena Erik memiliki feel yang berbeda, feel yang kuat dan jantan, bagaikan singa jantan yang siap melindungi kawanannya. Andai saja dia belum mengabdikan semua itu untuk Metta...


"Aahhh... Rik..."


Tahu-tahu saja semua kancing blouse-ku sudah terbuka, dan Erik dengan bebas meremas serta memainkan susuku yang telah terbebas dari behaku. Aku sudah tidak bisa menolaknya, atau mungkin sebagian diriku justru menginginkannya. Yang ada dalam otakku sekarang adalah bagaimana untuk mereguk kenikmatan sebanyak mungkin dari Erik. Sudah dua tahun aku tak disentuh, baik oleh laki-laki atau perempuan, dan sentuhan Erik kali ini bagaikan hujan yang membasahi padang kemarau, dan aku menginginkan lebih banyak hujan, agar sungai-sungaiku bisa teraliri, dan yang tadinya sebuah gurun tandus bisa menjadi lahan basah kembali.

Erik kemudian membalikkanku dan menekan punggungku hingga aku sedikit membungkuk. Aku berpegangan, menahan pada dinding agar aku tidak jatuh, walau aku tahu Erik menahan pantatku.


"BREEETTT!!"


Suara itu otomatis membuatku terhenyak. Sekali lagi Erik merobek pantyhouse-ku, kemudian dengan kasar dia menurunkan pantyhouse beserta celana dalamku. Aku agak malu karena menyadari bahwa di bawah sana pasti mekiku sudah amat basah.


"AAAHHH..."


Aku mendesah kencang saat kurasakan Erik mengorek mekiku. Karena mekiku benar-benar basah dan becek, maka jari-jari Erik benar-benar bisa masuk hingga ke dalam, menyentuh beberapa titik sensitif pada relung dalam mekiku, dan kurasakan sebuah sentakan kencang dari dalam mekiku, diikuti sensai gemetaran pada paha dan lututku. Astaga, apa aku sudah orgasme hanya karena jari Erik masuk?


"Aahhhh... Issshhhh... Aaahhh..."


Aku yakin Erik pasti bisa merasakan mekiku membetot dan meremas lembut jarinya. Namun yang kurasakan lebih daripada itu, rasanya seperti ada sesuatu yang berdenyut dan bergetar, mengirimkan sinyal listrik ke seluruh tubuhku hingga gemetaran. Erik tak langsung mencabut jarinya, namun dia menggerakkan dengan lembut, mengeksplorasi relung-relung dalam mekiku, yang aku yakin, bagi seseorang yang pernah mencicipi beberapa wanita seperti Erik, pasti itu wilayah yang sudah amat dia kenal.


"Riikk... Slow down... Aahhh... Hgghhh..."

"Ini pelan, koq..."



Tanganku menegang menekan dinding lebih keras, karena kurasakan lututku semakin ringan dan ompong. Gerakan-gerakan jari Erik pada mekiku membuatku bergidik, dan mekiku pun semakin banjir, seolah Erik sedang membuat sumur bor dan kini mengusahakan agar airnya mengalir semakin kencang.


"Rik... Please... Aahhh... Aku nggak kuat... Rik..."

"Jangan ditahan, Sayang, keluarin aja..."

"Riik... Aaahhhhh..."



Getaran yang dari tadi menjalar ke seluruh tubuh tiba-tiba mulai berbalik dan kembali ke pusat kenikmatan di meki, seolah seluruh energi dari tubuhku sedang ditarik untuk sesuatu. Aku merasakan sebuah gejolak pelan-pelan terbangun, dan lama-lama berontak, membesar, bagaikan tsunami, sementara aku mulai kewalahan menahannya.


"Riik... Aku keluaarrr... Aaaahhh... Lepasinnn..."


Namun Erik terus memainkannya. Pahaku pun mulai mengejang seolah tertarik pada lubang hitam di dalam mekiku. Aku tak lagi merasakan gerakan jari Erik yang keluar masuk dan mengorek-ngorek. Yang kurasakan kini hanyalah gelombang besar yang kutahan dengan segenap kekuatanku, hingga aku pun harus beberapa kali megap-megap menahan nafas. Seluruh ototku mulai menegang, dan kini merespons secara otomatis untuk mulai melepas gelombang itu, mau seberapa pun aku menahannya.


"AAAAHHHHH!!"


Pinggulku pun bergetar hebat, dan tanpa bisa kutahan, mekiku pun berdesir mengeluarkan cairan dengan deras. Yes, I'm squirting... Terasa geli yang tak bisa digaruk, dan nikmat luar biasa. Kakiku seketika itu lemas, dan nyaris tak ada kekuatan untuk menapak, hingga aku masih berdiri karena Erik menahan pinggulku. It was so good... Gelombang badai serotonin menghantamku hingga tak ada lagi yang tersisa dalam kepalaku selain euforia dan ekstasi. Pandanganku menggelap, karena mataku berbalik hingga hanya memperlihatkan warna putihnya, dan bahkan aku tak bisa mengatakan apa-apa, hanya meracau mengeluarkan suara yang tak ada artinya dan tak bisa dipahami.

Keadaan itu berlangsung selama beberapa detik, hingga aku pun menyusut, menjatuhkan diri ke lantai, dengan pantatku masih menungging ke atas. Beberapa kali badanku masih berkedut dan bergetar, bahkan nafasku pun masih terengah-engah. Dunia masih terasa gelap, berputar, dan oleng, bagaikan berada di dalam sebuah gelembung yang basah dan hangat.


"Enak?" tanya Erik.

"Enaaaggghhh..."


Aku tak peduli bila jawabanku terdengar amat erotis, karena itulah yang kini kurasakan. Gelombang yang tadi menerpa menghantam kini seolah berubah menjadi air bah yang memenuhi dan membanjiri diriku, dan aku membiarkan diriku tenggelam di dalamnya. Amat hangat, enak, nikmat, dan...


"Eh, mau ngapain!??"


Aku terkejut karena kurasakan sesuatu seperti benda tumpul menempel dan menggesek bagian mulut mekiku yang masih sensitif. Itu membuatku berjengkit dan berkedut seolah tengah disentak oleh sengatan listrik ribuan volt. Aku tahu apa itu, bentuknya tak salah lagi adalah kontol Erik, kontol yang selama ini dirindukan untuk memasuki mekiku.


"Eriiik!! Jangan, please..."


Namun Erik tak berhenti. Aku pun terlalu lemas untuk menghentikannya.


"Hggghhhhh..."


Tenggorokanku terasa tercekat saat kontol Erik mulai menyeruak masuk, memanfaatkan lendir meki dan cairan squirt-ku yang masih tersisa. Liang yang basah dan licin itu tak memberikan banyak perlawanan, hanya dari bentuknya saja yang masih kecil dan kini dibuka paksa oleh kontol besar itu.

Aku menahan rasa sakit saat akhirnya kontol itu masuk hingga mentok ke dalam mekiku. Rasanya aneh, seperti ada benda asing yang mengganjal, menegangkan otot-otot dalam mekiku secara paksa.


"Hufft... Hufft... Hufft..."


Nafasku memburu, berusaha mengkompensasi rasa sakit akibat masuknya benda asing itu. Mekiku berdenyut kencang, ada rasa aneh dari otot-ototnya untuk kembali menyatu, tapi tidak bisa karena terhalang diameter benda asing ini, sehingga otot-otot mekiku hanya bisa meremas-remas dan berusaha mendorong keluar benda ini. Aaahh... Rasanya sakit, tapi lebih ke sakit yang ganjil, seolah seluruh pinggang, pinggul, bahkan hingga perutku pun penuh. Seperti saat kita sedang konstipasi, namun bukan di tempat itu, melainkan seperti di sebuah tempat asing yang tak terjangkau.

Erik menarik kontolnya pelan-pelan, dan perlahan-lahan aku bisa bernafas kembali. Kukeluarkan udara dari dalam tubuhku dengan tempo yang sama dengan gerakan kontol Erik. Otot-otot mekiku mengejan, dan terasa lega setiap kali berhasil menyempit, sisanya berusaha untuk mendorong supaya kontol itu cepat keluar. Senti demi senti, namun rasanya seperti jauh sekali. Yang bisa kujadikan pegangan hanyalah bagian leher kontolnya yang memang agak besar, pelan-pelan bergerak menuju mulut mekinya.

Namun saat aku akan merasa lega telah mengeluarkannya, tiba-tiba Erik mendorongnya kembali hingga mentok. Rasanya seperti disundul dari dalam, hingga terasa menusuk menjalar ke dada. Perutku terasa mulas, namun di saat yang sama, aliran listrik kenikmatan itu kembali menjalar. Pinggulku pun kembali menegang.

Gerakan kontol Erik yang repetitif, maju dan mundur, mendorong dan menarik, kini semakin cepat dengan tempo yang sama seperti aku bernafas. Tidak, lebih tepatnya, kontol Erik seolah mendikte, kapan aku harus menarik nafas, dan kapan harus mengembuskannya. Menarik saat dia menusuk, dan mengembuskan saat dia mundur. Maju mundur, bergerak teratur, dan tanpa kusadari, tempo nafasku pun mengikuti gerakan kontolnya yang ritmis, namun sekaligus menyentuh kesemua titik kenikmatanku di dalam relung meki ini.


"Aaahhhh... Erikkkk..."


Aku berteriak karena Erik menarik rambutku ke belakang. Dia melakukannya dengan amat mantap dan lembut sehingga rasa sakit yang ditimbulkannya bukan terasa menyiksa, namun memberi kenikmatan, seperti sambal yang dibubuhkan secara pas pada makanan yang lezat. Dadaku pun terguncang bergerak ke depan dan ke belakang terombang-ambing mengikuti gerakan tubuhku. Aku sendiri? Aku sudah dari tadi kehilangan kendali atas tubuhku sendiri, dan kini hanya berusaha menikmatinya saja...


"Erikkk..." aku memanggilnya dengan nada lemas.

"Iyaa, Sayang?"

"Jangan lama-lama, please... Kita udah kelamaan absen..."

"Tenang, Sayang, bentar lagi aku keluar, koq."



Perkataan itu tiba-tiba membuatku terbelalak. Hah? Dia mau keluar?? Tapi dia tak mengenakan kondom!


"Rik, jangan, Rik, please, di luar aja..."


Tapi Erik tak menjawab, malah menggenjotku dengan semakin kencang. Lebih parah lagi, seolah mengkhianatiku, otot mekiku justru mencengkeram dengan lebih keras lagi, membuatku bisa merasakan kontolnya yang kini semakin mengeras dan membesar.

Tidak, Erik, please, jangan dikeluarin di dalam, please... Aku mohon... At least cabut dulu, Rik... Please... Aku gak mau...

Namun kata-kata itu tak keluar dari mulutku. Yang muncul malah hanya desahan yang semakin lama semakin kencang. Tubuhku sendiri telah mengkhianatiku. Pinggulku mengejang dan tak bergerak serta mencengkeram kontol Erik yang bergerak makin cepat, seolah tak ingin melepasnya. Kecipak bertemunya kedua kelamin kami menjadi semakin kencang. Seluruh badanku pun menjadi kaku dan tegang, dan semakin lama semakin kencang, bagai balon yang terus dipompa. Hingga akhirnya...


"AAAAHHHH!! ERIIKK!!!"


Gelombang itu datang lagi, yang shockwave-nya menjalar memenuhi seluruh tubuhku, mengisi setiap relungnya dengan euforia serotonin. Erik menahan kontolnya tetap di dalam, dan bisa kurasakan batangnya berkedutan seolah mengeluarkan sesuatu, bagai selang yang dialiri air untuk pertama kalinya.

Ya, Erik kembali mengisi rahimku dengan benihnya. Namun entah kenapa aku tak terlalu menggubrisnya saat itu. Bagiku saat ini sensasi ini terlalu nikmat dan terlalu kebas untuk bisa dilepaskan. Pikiranku kosong untuk sesaat, dan aku bisa merasakan tak ada nafas atau denyut jantung pada saat detik klimaks itu. Satu detik di mana tubuhku dicelupkan dalam dunia kematian, sebelum akhirnya ditarik kembali ke dunia fana.


"AAAAAHHHH!!!"


Aku berteriak kencang saat pinggulku berguncang dengan kencang bak gempa bumi, dan entah bagaimana aku tak merasakan kontol Erik sudah terlepas. Saking kebasnya aku, saking beceknya aku, sehingga kontol yang seharusnya besar dan pas memenuhi mekiku itu bisa lepas begitu saja tanpa terasa, meninggalkan sebuah sensasi lubang yang menganga, kekosongan yang muncul tiba-tiba begitu benda yang sedari tadi mengisinya tiba-tiba hilang.

Kami berdua ambruk di lantai, dan badanku masih agak menderita akibat aftershock-nya, sehingga masih berkedut-kedut di lantai. Damn, it was good, perasaan ternikmat yang pernah kualami dalam dua tahun, also the best sex, karena memang bagiku, seks dengan Erik selalu yang terbaik.

Namun, seiring dengan lepasnya perasaan yang telah lama kubelenggu itu, akal sehatku pun kembali muncul. Kenapa kamu melakukan ini, Rini? Kamu tahu kalau Erik itu sekarang sudah punya istri. Bukankah dulu selama 2 tahun kamu menghindarinya gara-gara itu? Air mataku seketika itu juga meleleh, apalagi merasakan cairan hangat yang ada di dalam rahimku ini mengalir keluar, cairan yang kini kurasakan tak seharusnya masuk ke dalam badanku. Kuseka lelehan cairan benih Erik dengan tanganku, dan aku pun tak kuasa menahan ledakan tangisku.


"Rin, are you ok..."


"PLAAAKKK!!"



Erik langsung terhuyung karena aku menamparnya keras sekali, saking kerasnya hingga kulihat pipi Erik memerah. Dia tampak terkejut dan terpana setelah kutampar itu. Aku sendiri tak paham kenapa secara refleks aku langsung menamparnya, tapi mungkin itu puncak rasa bersalahku pada diriku sendiri, pada orang tuaku, pada Metta yang kini menjadi istri Erik..

Aku hendak memukulnya sekali lagi, atau berkali-kali lagi untuk melampiaskan kemarahanku, namun seolah ada sesuatu dalam diriku yang menahannya. Seolah ada yang berbisik bahwa bersetubuh dengan Erik bukanlah sesuatu yang salah, bahkan sebenarnya adalah hakku untuk melakukannya dengan Erik, bahwa Metta-lah yang merebut Erik dariku, dan bukan sebaliknya.


"Rin..."


Erik menghampiriku dan berusaha memelukku, namun aku langsung mendorongnya hingga dia menjauh.


"Ada apa, Rin?"

"Jangan mendekat!"



Dia pun berhenti. Aku menantangnya dengan mata yang masih basah. No, Erik, I must draw a line here.


"Ini nggak seharusnya terjadi, Erik."

"Tapi bukannya dulu kita..."

"Itu sebelum kamu nikah, Erik!! Paham nggak sih kamu bedanya!!?? It's okay to play around when you haven't married yet, tapi KAMU SEKARANG SUAMI ORANG, KAMU SUAMI METTA!! Kita udah nggak berhak lagi buat bersama-sama, apalagi sampai ngentot begini!!"

"Maaf, Rin, tapi aku..."

"KAMU PAHAM NGGAK SIH, KONSEKUENSINYA, RIK!!?? Apalagi kalau sampai aku hamil bagaimana!!?? Kamu mikirin itu nggak sebelum tadi ngecrot dalam???"

"Aku bakal tanggung jawab, Rin, aku bakal..."

"BAKAL APA!!?? Emang kamu bakal ceraiin Metta buat nikahin aku!??"



Erik terdiam, sepertinya dia tak tahu bagaimana menjawab pertanyaanku itu.


"Enggak, kan?? Kamu bakal tetap jadi suami Metta, dan aku bakal kebebanan harus mengurus anak kamu yang bahkan nggak bisa kamu akui. Terus kamu paham konsekuensinya buat aku apa?? Ini udah bukan zaman mistis, Rik. Aku ini bukan Perawan Suci yang bisa hamil tanpa ada ayahnya! Orang bakal ngomongin soal aku yang hamil tanpa ada ayahnya, dan anakku juga bakal selamanya menanggung akibat perbuatanmu, akibat kebodohanmu!!"


Erik menunduk. Aku hanya menangis saja, namun untuk kali ini aku tak mau Erik menenangkanku. Aku tak mau Erik memperlakukanku hanya sebagai sarana pelampiasan hasrat seksualnya saja sebagaimana dulu. Aku pun segera berbalik, membenahi pakaianku dan juga memungut celana dalamku dan bersiap meninggalkan ruangan itu. Namun ketika aku akan memutar kenop pintu...


"Aku mencintaimu, Rin."


Aku berhenti sejenak.


"I love you, maybe more than I love Metta."


Aku mendengus dan menghela nafas panjang.


"Kalau kamu lebih mencintaiku daripada Metta, kenapa kamu menikahi dia dan bukan aku?"

"Rin..."

"Aku nungguin kamu di hari itu, Erik. Aku nungguin kamu bilang bahwa kamu nggak mau nikah sama Metta lalu kabur bersamaku, seperti di film-film romantis. Aku nungguin hingga saat-saat terakhir, bahkan beberapa saat setelah itu aku masih nungguin kalau-kalau kamu berubah pikiran. Tapi kenyataannya enggak, kan? Aku nungguin kamu dengan sia-sia pada hari itu, Erik... So if you said now that you love me, that is a bullshit!"



Aku kemudian membuka pintu, keluar dari ruangan dan menutupnya dengan setengah membanting, supaya Erik tahu bahwa aku frustrasi. Aku terus berjalan, tidak kembali ke ruangan kerjaku, namun pergi ke sisi outdoor dari kantin kantor KSI. Setelah memesan caramel macchiato, aku pun duduk di sana, di kantin yang sepi karena ini bukan merupakan jam makan atau jam istirahat. Tanpa sadar aku menangis, meneteskan air mata di depan gelas iced caramel macchiato yang kupesan. Jujur saja, hatiku terasa sakit bila mengingat perlakuan Erik yang bisa-bisanya berkata begitu, seolah hanya ingin membuatku sebagai pelampiasan nafsu saja dengan kata-kata cinta yang aku tak tahu apakah itu benar atau palsu. Namun yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika aku menolak Erik dengan nada sekeras itu. Seolah ada bagian dalam diriku yang protes ketika aku menolaknya, apalagi ketika aku menamparnya.

Tapi kenapa??

Bahkan secara logika aku pun tahu bahwa Erik bukan milikku, baik dari dulu apalagi sekarang, ketika dia sudah menikah dengan Metta. Namun entah kenapa bagiku, itu terasa tidak benar. Seolah Metta telah merebut sesuatu dariku, bahwa Erik yang sekarang adalah orang yang sudah lama menjadi milikku. Dikotomi ini membuatku membenci diriku sendiri. Aku seharusnya adalah orang yang bisa dengan mudah mengetahui mana yang baik untuk kulakukan dan mana yang tidak, namun kenapa permasalahan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan amat jelas ini bagiku terasa amat abu-abu? Bahwa bisa-bisanya aku menganggap yang kulakukan bukan hanya tidak salah, namun memang sudah seharusnya?? Erik, what have you done to me? Apa perasaan cinta yang kau berikan padaku membuatku benar-benar bodoh hingga hal semacam ini saja membuatku bingung?


"Itu caramel macchiato?"


Aku terkejut ketika seseorang mengomentariku. Saat kudongakkan kepalaku, ternyata Direktur Kim sedang berdiri di sana dan memperhatikanku dengan senyumannya yang ramah sekaligus kebapakan.


"Dulu ada cerita di Italia, bahwa seorang pria yang baru saja putus dengan kekasihnya pergi ke sebuah coffeeshop, lalu memesan kopi kesukaannya, yaitu caramel macchiato. Karena sangat sedih, dia pun tak segera meminum kopinya, tapi malah menangis hingga air matanya jatuh ke dalam kopinya, lalu saat dia minum, ada rasa asin pada kopi karena tetesan air mata, dan dari situlah lahir salted caramel macchiato."


Buru-buru aku segera menghapus air mata dari wajahku, kemudian berdiri dan membungkuk, namun dengan gerakan tangannya, Direktur Kim memintaku untuk tak perlu melakukannya.


"Jungmoo-nim..."

"Boleh saya duduk?"

"Si-Silakan, Jungmoo-nim."



Direktur Kim pun mengambil tempat duduk di depanku. Aku masih agak grogi hingga masih berdiri saat dia duduk.


"Kamu kenapa masih berdiri? Duduk saja, gwaenchana."


Aku pun duduk, walau masih agak canggung.


"Saya mau beli kopi, tapi melihat ada wanita cantik duduk sendirian dan menangis, jadi saya nggak tahan buat mendekat dan menanyai. Mianhae, naluri playboy tua masih susah untuk hilang."


Aku agak tergelak mendengarnya.


"Anda playboy, Jungmoo-nim?"

"I've had my share, yes... Saya cukup tampan waktu muda dulu, jadi ya..."



Direktur Kim tersenyum, mungkin mengingat masa lalunya yang indah.


"Anyway, saya tidak menyesal, karena dari situ saya bertemu istri saya. And we married happily for years now."

"Agak sukar dipercaya saja sih, saat Anda bilang kalau Anda itu dulu playboy. Or, jangan-jangan masih sampai sekarang?"

"Jangan bercanda, mana ada cewek sekarang yang mau dengan saya yang tua ini?"

"Entahlah, kayaknya rata-rata cewek sekarang banyak yang suka cowok yang lebih tua, yang kayak ahjussi-ahjussi."

"Biasanya yang suka ahjussi itu antara mereka yang punya father complex atau mereka yang memang mengejar uang kamu saja."

"Oh ya? Pengalaman Anda seperti itu ya?"

"Hei, apa ini pertanyaan jebakan?"



Direktur Kim kemudian tertawa terbahak-bahak, dan mau tak mau aku pun ikut tertawa, melupakan bahwa baru beberapa saat lalu aku menangis. Dia lalu berhenti dan menatapku dengan pandangan matanya yang teduh.


"Kamu Rini, kan? Daeri-nya Erik-nim?"

"Iya, Jungmoo-nim, dari mana Anda tahu?"

"Pada posisi saya sekarang, tak banyak hal di kantor ini yang saya tidak tahu. Terkadang saya ingin kembali ke masa di mana saya tak perlu tahu sebanyak itu."

"Oh ya? Kenapa? Knowledge is power, bukankah begitu kata orang?"

"From greater power, comes greater responsibilities, begitu kata orang."

"So are you trying to say that you're not a responsible person, Jungmoo-nim?"



Direktur Kim tergelak kembali mendengar perkataanku. Seharusnya itu sesuatu yang kurang ajar, apalagi dikatakan oleh seorang daeri pada direktur setinggi Direktur Kim, namun entah kenapa itu bisa tercelos begitu saja. Mungkinkah ini karena pembawaan Direktur Kim yang memang santai sehingga bisa membuatku nyaman bicara padanya?


"Saya suka kamu, Rini-ssi. Kamu tidak takut buat bicara apa yang ada di dalam pikiran kamu, dan itu bagus."

"Maaf, Jungmoo-nim, terkadang saya kelepasan begitu saja."

"Tidak, jangan minta maaf. Jujur dengan perasaan sendiri itu bagus, walau mungkin tidak semua orang bisa menerima itu."

"Kalau Anda sendiri bagaimana?"

"Saya? Saya lebih suka untuk jujur. Tapi pada posisi saya, terkadang bisa bicara jujur pada seseorang itu susah. Ada banyak tata krama yang harus dipatuhi, muka dan nama baik yang harus dijaga."

"Muka Anda?"

"Lebih tepatnya muka perusahaan, Rini-ssi, karena setiap yang saya lakukan bakal dicap sebagai representasi dari perusahaan."

"Termasuk minum kopi dengan daeri?"

"Ho ho ho, pertanyaanmu tajam juga. Pantas saja Erik memilihmu menjadi daeri-nya. Geurae, geurae... Sedikit banyak, itu menjelaskan."

"Apa maksudnya, Jungmoo-nim?"



Pandangan mata Direktur Kim tiba-tiba menjadi amat serius. Dia mencondongkan duduknya ke depan dan memintaku untuk mendekat seolah yang akan dia katakan ini supaya tak terdengar oleh orang lain, walau di sini tak ada orang selain kami.


"Apa kamu sadar kalau ada rumor yang beredar di sini? Soal kamu dan Erik-nim? Bahwa kalian berdua... berpacaran?"


Aku terkejut mendengar Direktur Kim berkata begini. Bukan, aku tidak terkejut bahwa aku digosipkan dengan Erik, namun bahwa Direktur Kim sendiri yang memberitahuku soal itu.


"Tidak, Jungmoo-nim, dan kami juga tidak berpacaran."

"Oh ya? Lalu bukannya kamu baru keluar dari ruangan utilitas di pojok itu?"

"Jungmoo-nim!"



Jelas hal itu membuatku amat sangat terkejut, karena baik aku maupun Erik merasa sudah amat hati-hati agar tak ada orang lain yang tahu.


"Arasseo, arasseo... Sudah, tenang saja, rahasia kalian aman. Bukan hanya kalian satu-satunya yang pernah memakai ruangan itu buat mojok. Aku dulu juga pernah..."

"Hah? Serius, Jungmoo-nim?"

"Iya, dulu, waktu ada daeri-ku yang masih muda dan cantik... Aigoo, itu masa-masa indah, she has a great sex, tapi sayang sebelum kalian masuk sini, dia sudah resign dulu karena mau married."

"Serius? Kenapa Jungmoo-nim cerita begini ke saya?"

"Saya cuman mau bilang, affair antara staf itu biasa, apalagi di posisi Erik-nim, banyak dari mereka yang punya affair dengan daeri mereka masing-masing, bahkan Steven saja punya affair dengan Jessica, apa kamu tahu?"

"Jessica daeri-nya CEO Park?"



Direktur Kim mengangguk.


"Jadi isu itu benar?"

"Makanya Steven marah sekali waktu rumor itu muncul. Sebenarnya itu kesempatan buat menyerang dia, sayangnya CEO Park intervensi dengan menyuruh penyebaran isu ini dihentikan. Kamu sudah tahu soal ini, kan?"

"Iya, CEO Park marah pada Erik soal ini. Saya juga kena, soalnya isu itu awalnya memang dari saya."

"Isu semacam ini soalnya cukup buat dijadikan alasan untuk menyerang dan menjatuhkan seseorang. CEO Park masih baru di sini waktu itu, tentu dia tidak ingin bawahannya ada yang saling menjatuhkan, walau jujur saja, saling menjatuhkan sudah menjadi hal yang lumrah di KSI. Keureonikka, kalian berdua harus berhati-hati, kalau saya saja bisa tahu, pasti bakal ada yang tahu lagi, bukan?"

"Ne, Jungmoo-nim."

"Oke, apa pun masalah kamu sama Erik, semoga bisa cepat selesai, ya."

"Ne, kamsahamnida, Jungmoo-nim."



Direktur Kim berdiri dan bersiap untuk pergi meninggalkanku. Aku sebenarnya masih agak terusik dengan apa yang dikatakan oleh Direktur Kim mengenai kemungkinan besar ada yang tahu dan ingin menggunakan isu soal aku dan Erik. Namun Erik memperingatkanku supaya tidak terlalu dekat baik dengan Direktur Kim atau CEO Park, meski begitu, aku tetap saja galau. Memiliki orang seperti Direktur Kim yang bisa mendukung Erik akan lebih baik karena dengan begitu aku tak perlu khawatir Erik akan mengatasinya sendiri, apalagi... Entah ini firasat atau apa, namun aku seperti yakin bakal ada sesuatu yang terjadi dalam waktu tak lama lagi.


"Tunggu, Jungmoo-nim."

"Hm?"

"Kalau boleh, sekiranya Jungmoo-nim tahu sesuatu, bolehkah saya berkonsultasi dengan Anda?"

"Oh, ya, boleh. Kamu punya kontak?"

"Ne, sebentar."



Aku lalu memberikan nomor teleponku kepada Direktur Kim, dan kami saling bertukar nomor, sebelum akhirnya Direktur Kim pun pergi. Huft, semoga yang kulakukan ini benar, meski ini sedikit menyalahi dari apa yang Erik instruksikan, tapi tak mengapa. Bila Direktur Kim bisa dipercaya, akan membantu dengan lebih dahulu mengadakan kontak dengannya, namun bila Direktur Kim ternyata tidak bisa dipercaya, at least Erik bisa lebih dulu tahu dariku. Semoga saja...


"Aaahhh..."

"Kamu kenapa? Tidak apa-apa?"



Aku memegangi kepalaku karena tiba-tiba terasa sakit. Jari manisku tiba-tiba saja terasa panas seolah ada sebuah cincin membara di sana, dan ketika kulihat benang itu sudah muncul kembali, menyala dengan lebih terang, dan terasa panas menyakitkan, hingga kukira jariku terbakar. Sakitnya kepalaku membuat pandanganku gelap untuk sementara waktu, dan aku terhuyung-huyung, sebelum akhirnya jatuh tak sadarkan diri.


==========


Aku menemukan diriku berada di sebuah tempat yang amat aneh, yang amat asing, hingga aku yakin bahwa ini bukanlah sebuah dunia yang kukenal. Dalam dunia ini, hanya ada bayangan yang kabur bagaikan berada di sebuah lukisan impresionis. Satu-satunya yang tampak jelas adalah sebuah jalan setapak yang terbentang di hadapanku. Suara-suara di sini terasa sangat aneh, seperti hiruk-pikuk dunia yang melebur menjadi satu suara gemerisik dan derau yang tidak jelas, persis seperti kita mencari sinyal radio yang sudah terdengar suara namun tidak pas pada frekuensi yang tepat.

Kulihat benang merah yang mengikat jari manisku kini menyala lagi, mengarah pada sesuatu yang ada di balik jalan di depanku. Anehnya, kali ini aku bisa memegang dan merasakan benang itu, dalam artian bentuknya sudah bukan lagi ethereal, namun sesuatu yang bisa kulihat dan kusentuh, serta kutarik. Awalnya aku mencoba untuk menariknya, tapi seberapa pun kuatnya kutarik, benang itu seolah tak ada habisnya, dan seperti menghilang kembali sehingga panjangnya terkesan tak berubah. Karena capek, aku pun tak lagi menariknya, dan mengikuti saja ke mana ujung benang itu membawaku. Sekali lagi, aneh karena benang itu seolah mengikuti arah gerakku, sehingga dia tetap dalam posisi menjuntai.

Aku terus berjalan hingga akhirnya masuk ke sebuah taman. Berbeda dari tadi yang terasa hitam dan putih, di taman ini, semua tampak nyata, jelas, dan indah, dan penuh dengan bunga: seruni putih. Saking banyaknya seruni putih hingga kelopaknya beterbangan tertiup angin memenuhi udara. Di tengah-tengah taman itu, memegang benang merah pada bagian tengahnya, adalah seorang nenek yang tengah menggendong seorang anak laki-laki yang tampak kukenal. Nenek itu bermuka hangat dan ramah, dan menatapku sambil tersenyum cerah. Dia menunjukku sambil bicara pada anak yang dia gendong. Setelah itu dia menurunkan anak itu, yang langsung dengan senyum cerahnya berlari kepadaku. Aku pun tersenyum padanya, seolah anak itu amat dekat dengan hatiku, dan turun bersiap untuk menyambutnya dengan sebuah pelukan. Namun saat dia sampai kepadaku dan aku memeluknya, anak itu tiba-tiba saja menghilang, seolah lebur dengan cahaya, hanya suara tawa bahagianya saja yang tersisa.

Nenek itu melihat semua kejadian itu dengan wajah yang saat itu juga muram, seolah ada sebuah kesedihan yang muncul. Dia masih memegang bagian tengah dari benang yang mengikat jariku. Dengan senyum yang terkesan dipaksakan, dia pun berbicara padaku.


"Kita bertemu lagi, Rini..."

"Apa kita pernah bertemu sebelum ini?"

"Kau mungkin belum mengingatnya, tapi kita pernah bertemu."

"Siapa anak tadi?"

"Seseorang yang tadinya ditakdirkan bagimu."

"Tadinya?"

"Karena dia menghilang sebelum kamu bisa memegangnya, jadi mungkin takdir kini sudah menentukan lain."

"Takdir? Seperti benang ini?"



Aku mengangkat jari manisku dan menunjukkan ujung dari benang cahaya yang terikat di sana. Si Nenek hanya mengangguk saja seolah menyetujuinya.


"Tolong katakan, apa rahasia di balik benang ini, kenapa aku bisa melihatnya ada padaku?"

"Kamu bisa melihatnya karena itu adalah sesuatu yang menuntunmu, namun pada apa, aku tidak bisa bilang, karena kuasa atas takdirmu kini sudah bukan lagi di tanganku."

"Kenapa tidak bisa?"

"Konon katanya, semua orang berhak atas kesempatan kedua, tapi tak semua orang bisa mendapatkannya. Harus seseorang yang berkeinginan kuat saja yang bisa mendapatkannya. Bila beruntung, maka kesempatan kedua itu bisa digunakan untuk mengubah dunia. Bahkan, bila seseorang itu punya keinginan kuat untuk mencapai sesuatu melebihi nyawanya sendiri, maka dia bisa mendapatkan lebih dari sekadar kesempatan kedua. Namun, konsekuensi untuk itu amat berat, dan aku sudah tidak bisa lagi memandu, karena mereka yang kembali lebih dari sekali telah merusak anyaman takdir dan untuk itu, maka..."



Tiba-tiba terdengar suara seperti teriakan kemarahan dari sebuah makhluk yang terdengar jauh, namun terasa amat dekat. Nenek itu berhenti bicara, kemudian tersenyum saja.


"Dia datang..."

"Siapa yang datang, Nek?"

"Yang seharusnya memandumu. Tapi kuingatkan bahwa dia adalah orang yang amat kejam, tak berperasaan, tak punya belas kasihan, dan tidak peduli dengan kehidupan ataupun nasib umat manusia. Bagaimanapun juga, hanya dia yang bisa menjaga sekaligus memperbaiki anyaman takdir yang sudah rusak, karena takdir pun, sebenarnya juga amatlah kejam."

"Tapi dia ini siapa?"

"Kau sudah pernah bertemu dengannya, bukan? Dan nanti kau akan bertemu dengannya lagi. Tapi ingat ini baik-baik, jangan sekali-sekali melakukan perjanjian atau tawar-menawar dengannya, karena konsekuensinya bisa amat mengerikan."



Setelah berkata begitu, dia melepaskan benang itu dari tangannya. Pada saat itu juga, seolah muncul sebuah angin ribut yang membuat semua kelopak seruni lepas dan beterbangan, hingga menutupi pandanganku. Sosok si Nenek pun mulai tertutup oleh kelopak seruni yang semakin merimbun. Tidak, dia tak boleh menghilang dulu... Aku belum punya semua jawabannya... Aku...


==========


"Ya, gwaenchana?"


Aku membuka mataku, dan ternyata aku sudah berada di dalam pelukan Direktur Kim, yang tampaknya amat sangat khawatir. Tak ada lagi dunia aneh, hanya pemandangan bagian luar kantin KSI yang memang sepi. Tak ada orang lain di sekitar kami, hanya ada Direktur Kim saja. Apa yang tadi kualami adalah mimpi?


"Ne, nan gwaenchana..."


Kemudian aku berdiri dari pelukan Direktur Kim. Tampaknya beberapa orang penasaran ada apa, tapi mereka tak mendekat, mungkin segan pada Direktur Kim.


"Saya pingsan ya, Jungmoo-nim?"

"Pingsan? Tidak, kamu seperti mau jatuh, lalu saya tangkap. Sepertinya kamu masih sadar selama itu, baru juga beberapa detik saja."

"Oh ya? Kenapa sepertinya lama sekali."

"Hei, gwaenchana? Apa kamu perlu ke klinik? Atau ke rumah sakit? Atau saya harus beri tahu Erik-nim?"

"Anieyo, jangan... Saya tidak mau menyusahkan Erik."

"Kamu yakin?"

"Ne, Jungmoo-nim, saya tidak apa-apa."



Aku merapikan blazer dan rokku dan secara tak sengaja CD-ku, yang memang belum sempat kukenakan kembali, jatuh tepat di depan Direktur Kim. Aku tentu saja amat malu dengan hal itu, tapi Direktur Kim dengan santai hanya mengambilnya kemudian menyerahkannya di tanganku tanpa menarik perhatian.


"Hati-hati, jangan sampai ini jatuh lagi di tempat yang ramai, kalau hanya saya tidak masalah. Tapi kalau yang lain yang melihat, apalagi orang-orangnya Steven..."

"Ne, Jungmoo-nim, joseonghamnida."



CD itu langsung kuremas-remas hingga amat kecil lalu kumasukkan ke dalam saku blazer. Aku akan memakainya segera setelah ini. Ya, itu seharusnya adalah hal yang memalukan, tapi entah kenapa, mungkin karena pembawaan Direktur Kim yang tenang, kebapakan, dan mengayomi, aku malah merasa bersyukur bahwa CD itu jatuh di hadapannya dan bukan di depan orang lain. Segera saja aku membungkuk menghormat dan meninggalkan tempat itu.

Tak lama setelah aku ada di koridor, notifikasi hapeku pun berbunyi, dan saat kuangkat, ternyata ada pesan dari Direktur Kim yang bila diterjemahkan berbunyi:


"Semangat, Rini-ssi. Jangan khawatir, saya akan selalu mendukung kamu."


Ya, itu pesan dari Direktur Kim, dan entah bagaimana aku merasa amat hangat saat membacanya. Setelah Metta resigned dari KSI, aku tak pernah mendapatkan sambutan sehangat ini dari siapa pun, kecuali Erik. Bagiku, KSI adalah tempat yang dingin di mana semua orang dipaksa untuk saling bersaing dan hanya berkolaborasi untuk menang saja. Persekutuan yang dijalin, kemudian pecah, dan saling menikam dari belakang, adalah hal yang lumrah dalam KSI, itu yang membuatnya berbeda dari ASV, meskipun jujur saja, uang dari KSI pun lumayan besar. Aku saja sampai bisa merenovasi rumah dengan gaji dari KSI, hal yang tak bisa kulakukan di ASV. So, secara personal dan strategis, akan baik bila Direktur Kim benar-benar bisa membantu kami, walau itu berarti aku melawan instruksi Erik untuk pertama kalinya.

Masalahnya adalah, haruskah aku melakukannya? Ataukah sebaiknya aku menuruti kata Erik saja? Aku bukan ahli dalam berpikir secara taktis atau pun strategis, atau untuk menavigasi sebuah kapal dalam lautan yang ganas dan berbahaya. Itu semua adalah keahlian Erik, dan aku hanya bisa membantunya sebaik mungkin. Hanya saja untuk kali ini, aku agak bersikeras untuk mengambil sekutu yang kuat secepatnya, dan jujur pilihanku untuk ini adalah dengan condong pada Direktur Kim. Posisinya kini terjepit dengan membesarnya pengaruh Steven di KSI, sehingga "musuh dari musuhku adalah kawanku" merupakan dasar pemikiran yang lumayan logis, meski itu berarti aku harus melawan Erik untuk ini...

Lagi pula, tak berapa lama setelah itu, muncullah kejadian yang makin memperkuat tekadku untuk sesegera mungkin mencari sekutu, tak peduli Erik akan setuju atau tidak...


Next >>> Persuasion
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd