alwinatari
Suka Semprot
- Daftar
- 31 Oct 2016
- Post
- 17
- Like diterima
- 14
Lama jadi penghuni semprot, akhirnya ts memutuskan untuk memberi sedikit kontribusi. Sementara ada 10 part dan masih mungkin berlanjut sesuai mood dan melihat respon pembaca juga. Sorry kalau ada yg kurang, bisa bantu tambah inspirasi.
Ilustrasi ane pasti sensor sedikit demi menjaga privasi yg bersangkutan dan agar tidak merusak fantasi pembaca sekalian.
Ikutin aja ceritanya, jangan terpaku sama judul, karena alur cerita ts bikin sangat kompleks. Bisa dibilang Part 1-5 nanti itu masih intro cerita. Saran sih, tahan dulu ngocoknya. Simpen buat update besar-besaran nanti hehehe
Thanks All, Enjoy!
Index:
Intro
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Intro
“Serius Rin dia sampe bilang kaya gitu, tega banget ya” Kata Kara tegas.
“Iya Kar, gue juga ga nyangka bakal sampe kaya gini……” Jawabku yg mulai meneteskan air mata.
“Ya gitu lah Rin, namanya juga cowo. Yaudah sementara disini aja dulu Rin, tenangin diri, ada kamar kosong ko”
“Iya Kar, rencananya sih gitu. Gue juga malu kalo balik ke rumah. Makasih ya Kar……”
“Udah lah, gue ngerti ko, gue kan sahabat lo. Nanti gue sampein ke Mas Aji, dia sih pasti fine aja” Jelas Kara menenangkanku.
Barusan itu Kara, sahabatku sedari kecil. Kami berdua sama-sama berasal dari sebuah desa kecil berdataran tinggi di daerah Jawa Tengah yg terkenal dengan sebuah telaga berwarna-warni. Sejak SMP kami berdua selalu bersama, hingga pada akhirnya kami melanjutkan SMA sampai studi kuliah kami di Ibukota dan tinggal bersama di salah satu rumah kos. Jadi meskipun dari desa, wajar jika logat kami berdua sudah seperti gadis Ibukota.
Kami memiliki banyak kemiripan, baik fisik maupun penampilan sehari-hari sampai banyak teman kami yg menyebut kalau kami ini kembar kakak beradik saking miripnya kami berdua. Meskipun saling melengkapi namun sifat kami berdua tidaklah sama, bahkan hampir berbeda jauh.
Sejak menginjak bangku perkuliahan, kami pun mulai menikmati suasana Ibukota pada saat itu. Apalagi Kara, dia termasuk orang yg mudah bergaul, jadi wajar kalau banyak pria yg mendekatinya. Sedangkan aku termasuk orang yg kalem dan cenderung pemalu. Seperti contoh, aku lebih memilih untuk beristirahat di kamar saja ketika Kara mengajak keluar bersama teman-teman prianya.
Hingga pada akhirnya suatu hari Kara bercerita padaku kalau dia sudah dalam kondisi kandungannya yg memasuki bulan kedua. Aku pun tidak heran mengingat pergaulannya yg begitu bebas, namun sebagai sahabat tentu aku tetap memberi support padanya. Untungnya saja Mas Aji, pacar yg menghamilinya berasal dari keluarga yg secara ekonomi lebih dari cukup. Sehingga Kara memutuskan untuk berhenti kuliah dan memilih menikah muda lalu kembali ke desa asal kami bersama suaminya sekarang.
Sedih karena terpaksa hidup sendiri tidak membuat semangatku surut. Aku pun berhasil menyelesaikan studi kuliahku dan menikah tidak lama setelah itu bersama dengan Mas Bayu suamiku sekarang. Kami berdua menetap di sebuah rumah kontrakan yg tidak jauh dari Bank tempat Mas Bayu bekerja sebagai seorang Staf Keuangan.
Selama kurang lebih setahun, pernikahan kami berjalan tanpa masalah yg berarti. Namun kali ini dengan terpaksa aku memutuskan untuk pulang ke desaku. Bukan tanpa sebab, aku baru saja bertengkar hebat dengan Mas Bayu. Aku masih terbayang-bayang dengan apa yg dikatakan Mas Bayu kepadaku. “Dasar cewe ga tau diri, hamil aja gabisa sok mau ngatur-ngatur aku……..” Itulah yg dikatakan Mas Bayu ketika kami bertengkar pada malam itu. Waktu itu aku memergoki dia sedang berbalas pesan dengan seorang wanita yg belakangan kuketahui adalah salah satu teman kerjanya sendiri dan tentu membuatku langsung kecewa padanya.
Sampai sekarang aku tidak menyangka dan belum bisa menerima kalau Mas Bayu sampai tega berkata seperti itu. Memang selama ini kami belum dikaruniai seorang anak. Namun kenyataannya beberapa kali kami berkonsultasi ke salah satu dokter kandungan, hasilnya pun tetap sama. Bahwa Mas Bayu lah yg bermasalah dengan kesuburannya, spermanya terlalu lemah hingga akhirnya selalu gagal untuk menembus dinding rahimku.
Tanpa pikir panjang, keesokan harinya aku pun memutuskan untuk kembali ke rumah kedua orang tuaku. Namun akhirnya aku memilih untuk menemui Kara terlebih dahulu untuk bercerita soal kejadian yg kualami, lagipula aku pun merasa malu jika harus langsung bertemu dengan orang tuaku membawa cerita masalah ini.
Untungnya saja Kara sangat pengertian dan menerimaku dengan pintu terbuka. Dia menawarkan untuk tinggal bersamanya sementara sampai keadaanku lebih tenang. Karena kebetulan juga ada kamar kosong di sebelah kamarnya yg dia siapkan untuk Dimas anaknya ketika sudah besar nanti. Meskipun rumahnya sederhana dan tidak terlalu besar, namun aku masih bersyukur ada Kara yg siap memberikan tumpangannya.
Ilustrasi ane pasti sensor sedikit demi menjaga privasi yg bersangkutan dan agar tidak merusak fantasi pembaca sekalian.
Ikutin aja ceritanya, jangan terpaku sama judul, karena alur cerita ts bikin sangat kompleks. Bisa dibilang Part 1-5 nanti itu masih intro cerita. Saran sih, tahan dulu ngocoknya. Simpen buat update besar-besaran nanti hehehe
Thanks All, Enjoy!
Index:
Intro
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Intro
“Serius Rin dia sampe bilang kaya gitu, tega banget ya” Kata Kara tegas.
“Iya Kar, gue juga ga nyangka bakal sampe kaya gini……” Jawabku yg mulai meneteskan air mata.
“Ya gitu lah Rin, namanya juga cowo. Yaudah sementara disini aja dulu Rin, tenangin diri, ada kamar kosong ko”
“Iya Kar, rencananya sih gitu. Gue juga malu kalo balik ke rumah. Makasih ya Kar……”
“Udah lah, gue ngerti ko, gue kan sahabat lo. Nanti gue sampein ke Mas Aji, dia sih pasti fine aja” Jelas Kara menenangkanku.
Barusan itu Kara, sahabatku sedari kecil. Kami berdua sama-sama berasal dari sebuah desa kecil berdataran tinggi di daerah Jawa Tengah yg terkenal dengan sebuah telaga berwarna-warni. Sejak SMP kami berdua selalu bersama, hingga pada akhirnya kami melanjutkan SMA sampai studi kuliah kami di Ibukota dan tinggal bersama di salah satu rumah kos. Jadi meskipun dari desa, wajar jika logat kami berdua sudah seperti gadis Ibukota.
Kami memiliki banyak kemiripan, baik fisik maupun penampilan sehari-hari sampai banyak teman kami yg menyebut kalau kami ini kembar kakak beradik saking miripnya kami berdua. Meskipun saling melengkapi namun sifat kami berdua tidaklah sama, bahkan hampir berbeda jauh.
Sejak menginjak bangku perkuliahan, kami pun mulai menikmati suasana Ibukota pada saat itu. Apalagi Kara, dia termasuk orang yg mudah bergaul, jadi wajar kalau banyak pria yg mendekatinya. Sedangkan aku termasuk orang yg kalem dan cenderung pemalu. Seperti contoh, aku lebih memilih untuk beristirahat di kamar saja ketika Kara mengajak keluar bersama teman-teman prianya.
Hingga pada akhirnya suatu hari Kara bercerita padaku kalau dia sudah dalam kondisi kandungannya yg memasuki bulan kedua. Aku pun tidak heran mengingat pergaulannya yg begitu bebas, namun sebagai sahabat tentu aku tetap memberi support padanya. Untungnya saja Mas Aji, pacar yg menghamilinya berasal dari keluarga yg secara ekonomi lebih dari cukup. Sehingga Kara memutuskan untuk berhenti kuliah dan memilih menikah muda lalu kembali ke desa asal kami bersama suaminya sekarang.
Sedih karena terpaksa hidup sendiri tidak membuat semangatku surut. Aku pun berhasil menyelesaikan studi kuliahku dan menikah tidak lama setelah itu bersama dengan Mas Bayu suamiku sekarang. Kami berdua menetap di sebuah rumah kontrakan yg tidak jauh dari Bank tempat Mas Bayu bekerja sebagai seorang Staf Keuangan.
Selama kurang lebih setahun, pernikahan kami berjalan tanpa masalah yg berarti. Namun kali ini dengan terpaksa aku memutuskan untuk pulang ke desaku. Bukan tanpa sebab, aku baru saja bertengkar hebat dengan Mas Bayu. Aku masih terbayang-bayang dengan apa yg dikatakan Mas Bayu kepadaku. “Dasar cewe ga tau diri, hamil aja gabisa sok mau ngatur-ngatur aku……..” Itulah yg dikatakan Mas Bayu ketika kami bertengkar pada malam itu. Waktu itu aku memergoki dia sedang berbalas pesan dengan seorang wanita yg belakangan kuketahui adalah salah satu teman kerjanya sendiri dan tentu membuatku langsung kecewa padanya.
Sampai sekarang aku tidak menyangka dan belum bisa menerima kalau Mas Bayu sampai tega berkata seperti itu. Memang selama ini kami belum dikaruniai seorang anak. Namun kenyataannya beberapa kali kami berkonsultasi ke salah satu dokter kandungan, hasilnya pun tetap sama. Bahwa Mas Bayu lah yg bermasalah dengan kesuburannya, spermanya terlalu lemah hingga akhirnya selalu gagal untuk menembus dinding rahimku.
Tanpa pikir panjang, keesokan harinya aku pun memutuskan untuk kembali ke rumah kedua orang tuaku. Namun akhirnya aku memilih untuk menemui Kara terlebih dahulu untuk bercerita soal kejadian yg kualami, lagipula aku pun merasa malu jika harus langsung bertemu dengan orang tuaku membawa cerita masalah ini.
Untungnya saja Kara sangat pengertian dan menerimaku dengan pintu terbuka. Dia menawarkan untuk tinggal bersamanya sementara sampai keadaanku lebih tenang. Karena kebetulan juga ada kamar kosong di sebelah kamarnya yg dia siapkan untuk Dimas anaknya ketika sudah besar nanti. Meskipun rumahnya sederhana dan tidak terlalu besar, namun aku masih bersyukur ada Kara yg siap memberikan tumpangannya.
Terakhir diubah: