Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG {Update 13 Mei '24} Bu Norma, Wanita Berjilbab Yang Disekap! [NO SARA]

Bu Norma kira-kira akan diapakan?


  • Total voters
    660
  • Poll closed .
Lost & Found 4.3.1

Tahun '67

Desa-desa sepi. Kota-kota mati. Orang lebih banyak membunuh waktu di rumah. Kalau tidak sedang ada perlu, mereka tidak keluar. Saat di luar pun, mereka tumbuhkan mata di punggung mereka. Jaga-jaga. Telinga selalu waspada. Bicara secukupnya. Negara sedang tidak baik-baik saja.

Dan Sukar jadi salah satu yang paling merasakannya. Bahkan saat orang belum diciduk untuk lalu dihabisi lalu dipendam dalam kuburan massal tak bernama atau didor di tempat, dia sudah benci dengan yang namanya aparat. Seragam pria-pria gagah itu di benaknya cuma bermakna satu kata: kejam. Terutama, sesudah dia cukup besar dan bisa mengingat siapa bapaknya.

Ibunda Sukar gadis desa biasa. Kerja melinting tembakau di salah satu pabrik rokok tetangga. Sampai kegadisannya direbut paksa. Oleh seorang aparat yang sang bapak berhutang padanya. Alih-alih membela, saat dirinya diperkosa, penjudi bermental banci itu cuma diam di kamar sebelah. Mabuk dan setengah lega, hutangnya dianggap lunas.

Kala itu, andai mantan perawan itu menerima saja, mungkin nasibnya akan berbeda. Tidak akan dia diusir dari rumahnya. Namun dasar tabiatnya yang keras kepala. Bungkam bukan bahasa yang dia percaya. Sang ayah dia ajak ribut. Dia mengira, ibunya akan ada di pihaknya. Mereka sama-sama wanita, lagipula. Sial, dia salah sangka. Justru dia yang mereka keroyok bersama lalu anggap tidak ada.

Sendirian, dengan janin di perutnya, wanita itu mengembara. Dari satu kota ke kota berikutnya. Hingga tahu-tahu saja sudah jadi kupu-kupu malam dia. Hidup dari sedikit jatah yang muncikarinya beri. Meski, dia yang semalaman digagahi. Dinodai.

Kelahiran Sukar membuat wanita itu mengambil cuti. Segera sesudah si bocah bisa dititipkan pada tetangga, dia kembali pada dunia malamnya. Tanpa bisa dihindari, Sukar pun tumbuh dengan menganggap ibunya sendiri sebagai orang asing. Sebagai sosok yang cuma sekadar ada, tetapi tidak pernah benar-benar menjadi rumahnya.

Merasa kesepian, Sukar remaja sengaja menghindari pergaulan. Selain malu dengan profesi sang ibu, dia juga enggan dikasihani. Dia ingin mandiri. Hidup dari keringatnya sendiri. Lalu pergi dari kotanya dan tak akan lagi kembali.

Dalam kesendiriannya, Sukar menemukan pelipur sepi pada diri seorang gadis cantik bernama Putri. Saat sedang mengangon sapi milik juragannya, dia selalu sempatkan lewat di depan warung sang pujaan hati. Dia tahu dia tidak akan dilirik. Tidak akan dianggap. Akan tetapi, dia cukupkan diri dengan mengetahui ada makhluk seindah Putri di dunia ini.

Seiring bertambahnya usia, Sukar dapati perasaannya kian sukar dia kendalikan. Kerap Putri menghampirinya di mimpi. Dan celananya selalu basah saat dia bangun pagi-pagi. Merana memendam rahasia ternyata bisa membikin orang gila. Oleh karenanya, pada suatu petang, sesudah dia mandi dan mengenakan baju terbaiknya, dia tinggalkan rumah.

Hujan gerimis tak menyurutkan langkah Sukar. Tekadnya sudah bulat. Akan dia ajak Putri bicara. Ya, hanya bicara. Dia akan berlagak membeli rokok di warungnya. Apa yang akan terjadi setelahnya, dia tak ambil peduli. Asal dia bisa bicara dengan Putri, dia akan jadi lelaki paling bahagia di dunia.

Semangat Sukar masih menggebu meski sesampainya dia di warung Putri, tidak ada siapa-siapa di sana. Penasaran, dia beranikan diri mendekati pintu di sudut ruangan. Barangkali Putri di sana. Barangkali perempuan itu sedang butuh bantuannya.

Betapa terkejut Sukar saat dia dapati di gang belakang warung itu Putri sedang berpegangan sekuat tenaga pada pasak kayu sementara di belakangnya seseorang sedang memaju mundurkan pinggulnya. Mereka masih berpakaian lengkap. Putri dalam kebaya sederhana. Si pria dalam seragam tentara. Mereka tidak menyadari kehadirannya. Mereka terlalu asik menumbukkan kelamin mereka.

"Lebih cepat, Pak!" erang Putri yang rambutnya dijambak si pria.

"Hahahaha. Kamu ini. Tadi aja emoh. Sekarang malah minta tambah."

"Mmmmaksud saya," kata Putri, "jangan lama-lama. Ada yang lihat kita nanti."

"Ck, siapa? Gerimis juga. Ndak ada yang ke warungmu, cah ayu."

"Mmmm, tapi, Pak—"

"Sudah. Nikmati saja. Sesuai janji saya, warungmu bakal aman. Ndak akan ada lagi yang minta sumbangan keamanan." Napas si pria kian memburu. Kepala botaknya menengadah. "Jangan sebut aku Sentot Prakoso kalau aku bohong."

"Mmmakasih, Pak," rintih Putri sebelum kepalanya lunglai. Jika bukan karena ditahan Sentot, niscaya sudah rubuh ke tanah wanita ayu itu.

Mendapati lawan mainnya lemas, Sentot justru kian beringas. Di atas tanah, dia setubuhi Putri yang sedang bersujud menghadap tembok warung. Payudara wanita muda itu dia remas dari balik kemejanya. Tak lama setelahnya, dia pun turut mencapai klimaks. Saking dahsyatnya gelombang nikmat yang dia dapat, dia tuli akan suara ribut dari dalam warung.

Bergegas Sukar beranjak sebelum ada yang memergokinya. Meski bukan dia yang berbuat, dia rasakan panas dosa maksiat itu. Alih-alih kembali ke rumah, dia pun langkahkan kaki menuju bengawan. Dalam gelap dia ceburkan diri ke tempat dia biasa memandikan sapi-sapi. Sambil meremas-remas lalu mengocok kemaluannya, dia bayangkan dia yang menyetubuhi Putri dan bukan aparat tadi.

Fajar sudah menjelang saat Sukar berjalan gontai ke rumahnya. Tidak biasanya dia pulang selarut itu. Wajahnya kuyu. Badannya penuh gigitan nyamuk. Pakaiannya terasa seperti ditenun dari batu. Tanpa mengucap salam, dia masuk dari pintu belakang yang tidak pernah dikunci.

Alangkah terkejutnya Sukar saat lagi-lagi dia jumpai Sentot Prakoso. Bedanya, kali ini pria botak itu tidak sedang bersama Putri melainkan ibunya sendiri. Keduanya terlelap di atas meja tanpa sehelai benang pun menutupi ketelanjangan mereka.

Meski terkejut, Sukar tak ambil peduli. Dia cuma mau mengistirahatkan diri. Tidur di tepi bengawan memberinya pengalaman berharga. Membuatnya mensyukuri tikar usang di kamarnya. Berselimut lelah dia pun memejamkan mata.

Hingga terik matahari menusuk-nusuk satu sisi wajahnya. Sial. Dia kesiangan. Sapi-sapi belum dia ambil. Jelas akan kena damprat dia karena telah lalai.

Sukar yang sedang buru-buru langsung membeku saat dia berjumpa ibunya dan Sentot sedang makan bersama di dapur rumah mereka. Si pria menyapanya. Ibunya menjelaskan bahwa aparat tersebut adalah bapaknya. Yang baru dipindah tugaskan ke kota mereka. Yang akan sering mengunjunginya.

Sukar lupa apa yang dia ucapkan pada mereka. Yang dia ingat, dia enggan kembali menginjakkan kaki di rumahnya. Apa-apaan? Sentot adalah bapaknya? Ke mana saja dia? Dan juga, kenapa dia tidak berpuas diri menyetubuhi Putri? Kenapa masih harus meniduri ibunya juga?

Selepas memulangkan sapi-sapi dan menerima setengah upah hariannya, Sentot berangkat ke alun-alun kota. Dengan uang tabungan yang dia bawa saat meninggalkan rumah, dia berfoya-foya. Seporsi sate ayam dan sebotol ciu dia nikmati seorang diri. Setengah mabuk, dia berjalan-jalan memangi kerlap-kerlip cahaya lampu, petromaks, obor dan lilin yang menghidupkan malam.

Hal terakhir yang dia ingat dari malam itu adalah dia bertemu teman-teman sekolahnya. Mereka mengajaknya ke kota sebelah. Ada pasar malam, katanya. Mereka akan bersepeda ke sana.

"Tapi aku ndak ada sepeda," ujar Sukar.

"Alah. Gampang. Bonceng aku," kata seseorang.

Entah dia jadi dibonceng atau tidak, tahu-tahu saja pagi itu Sukar bangun tidur di dasar jurang. Badannya remuk redam. Wajahnya lebam. Kakinya yang kanan menolak dia gerakkan. Spertinya patah. Di atas lutut. Dia mengerang tetapi yang keluar dari sela giginya lebih halus dari bisikan. Tidak akan ada yang mendengarnya. Tidak akan ada yang menolongnya. Riwayatnya akan tamat di sana.

Atau begitu seharusnya.

"Kau tidak harus mati, anak muda."

'Siapa? Yang bicara?' tanya Sukar tanpa suara.

"Aku teman barumu. Namaku tidak penting bagimu. Aku cuma mau bantu."

'Kau bisa bantu aku?'

"Terserah kau. Mau aku bantu tidak?"

'Mau! Bantu aku!'

"Oh? Dan kenapa aku harus bantu kau? Apa yang akan kau lakukan dengan hidupmu kalau kau aku bantu?"

'Aku mau... hajar Sentot,' batin Sukar gamblang. Kalau bukan karena pria itu, dia tidak akan berakhir di sini. Sekarat menunggu mati. Bicara dengan dirinya sendiri.

"Bapakmu? Kenapa?"

'Bajingan dia.'

"Tak bahagia kau jumpa dia?"

'Pftt. Bahagia? Jangan bercanda.'

"Oh.... Aku tahu. Kau cemburu. Dia bukan cuma tunggangi ibumu. Tapi juga pujaan hatimu."

'Cemb— Tidak! Amit-amit! Gara-gara dia aku mabuk. Aku sekarat karena aku mabuk. Dia sumber masalahnya.'

"Hmm. Dan kalau sudah kamu hajar dia, apa setelahnya?"

'Set— Tidak ada?'

"Hmm. Sempit juga kepalamu, ya."

'Aku mau mati. Kau mau bantu aku atau tidak?'

"Menurutmu?"

Sukar akhirnya dibantu. Oleh sosok yang identitasnya dia tidak tahu. Syaratnya cuma satu: Sukar harus mau gantian membantu.

'Maksudnya?'

"Nanti kau juga tahu," kata suara itu sebelum lalu membisu.

Gagu, Sukar sepenuhnya ragu. Jangan-jangan dia sudah gila. Apa semua yang sekarat mendengar suara yang sama? Atau hanya dirinya?

Kekalutan Sukar dibalas dengan mati rasa yang tanpa permisi lenyap dari kaki kanannya. Ajaib. Mendadak yang patah dapat kembali digerakkan. Pening di kepalanya pun reda. Tenggorokannya berfungsi sebagaimana sedia kala. Cepat-cepat dia pun tinggalkan jurang tempat dia dibuang. Pulang ke peradaban.

Petang kembali menjelang begitu dia tiba di rumah. Dan lain dari biasanya, sang ibu masih di sana. Berdandan rapi namun merokok saja di dekat meja makan. Gelagatnya menunjukkan dia tidak akan ke mana-mana malam itu.

"Mana Sentot?" tanya Sukar.

"Pergi."

"Ke mana?"

"Ya, mana aku tahu?"

"Benar dia bapakku?"

Ibunya tersenyum miring.

"Kemarin kau tak peduli."

"Aku lihat dia di warungnya Putri. Mereka... mandi keringat di gang belakang."

Sukar dapati ibunya mendengus.

"Dasar tukang intip."

Setiap hari Sukar bertemu ibunya. Mereka tinggal seatap. Dia tahu apa yang orang katakan tentang wanita itu. Dia juga tahu wanita itu kepalanya batu. Dia sendiri sudah belajar apatis. Jarang menggubris. Penampilan nakal ibunya bukan urusannya.

Akan tetapi, ada yang berbeda dari malam itu. Sedari tadi dia tak bisa mengabaikan gundukan payudara ibunya. Gundukan yang sangat jarang dia sentuh semasa balita. Mereka memilih waktu yang salah untuk menggodanya.

"Mau apa kamu?" tanya pelacur itu pada si bocah akhir belasan yang tiba-tiba saja sudah menjulang di sampingnya.

Tanpa berkata apa-apa Sukar renggut rokok dari jari ibunya yang lantas dia isap dalam.

"Ibu cantik malam ini."

"Can— Bilang apa kau, heh?"

Sukar bertindak lebih cepat dari yang otaknya bisa proses. Dengan napas memburu, dia pojokkan ibunya ke meja. Bibir merekah si wanita dia sosor begitu saja. Payudaranya dia remas dari luar gaun pendek murahan yang dikenakan. Salah satu lutut dia desakkan ke arah vagina yang dia dilahirkan dari sana. Memaksa sang ibu semakin mengangkang.

"Hentikan! Jangan! Aku ibumu!" sergah wanita itu sambil meronta dan mulai kehabisan asa. Dia memang pendosa. Memang bukan ibu nomor satu di dunia. Namun demikian, dia tak ada mimpi menjadi Dayang Sumbi.

Sukar merobek gaun ibunya. Terpampang buah dada yang tak lagi kencang namun tampak menggairahkan di matanya. Liurnya menetes membayangkan mereka di mulutnya. Dia baru mendekatkan bibirnya pada salah puting susu saat tiba-tiba dia sadar.

Membeku, Sukar teringat kata-kata penolongnya. Inikah yang dimaksud? Bangsat! Keparat! Bejat!

Buru-buru Sukar berhenti memerkosa ibunya. Dia mundur, berbalik, dan menghambur ke arah pintu. Itulah terakhir kalinya mereka bertemu.

Sampai ketika malam nahas itu tiba.
Sukar sedang berjalan menyusuri kota masa kecilnya. Tiga tahun sudah dia merantau. Dalam kurun waktu itu, dia berubah. Bukan cuma fisiknya yang mustahil dikenali. Jiwanya juga tak akan pernah sama lagi.

Dalam pengembaraannya memburu Sentot, Sukar habisi satu per satu teman sekolahnya. Tidak ada dari mereka yang mengakui kejahatan mereka. Tidak ada yang mengaku membuangnya ke mulut jurang dan merampas uang tabungannya. Tidak ada dari mereka yang selamat darinya. Dia tatap mata mereka saat dia cabut nyawa mereka.

Dan Sukar masih haus akan balas dendam. Jika belum menyikat Sentot, dia belum akan beristirahat. Berkah kebal yang dia peroleh sesudah dia hampir mati di jurang itu dia bawa ke mana-mana. Dia gunakan selayaknya senjata. Siapa saja yang dia tidak suka akan dia buat jera.

Satu-satunya alasan nama Sukar tidak melegenda adalah karena pada tahun-tahun itu, dia bukan satu-satunya iblis yang memindah neraka ke dunia. Jutaan orang tewas di tangan sesama mereka. Di tangan mereka yang sebangsa. Cuma karena mereka dianggap mengikuti sebuah ideologi. Nama-nama mereka lenyap bersama tubuh mereka. Tidak ada yang membela mereka. Tidak akan ada yang mengingat mereka.

Sukar tidak masalah. Malah, tragedi itu dia anggap berkah. Apalah artinya tumpukan bangkai saudara sebangsanya jika dia cuma menyumbang beberapa? Selama dia semakin dekat dengan Sentot, dia belum akan berhenti. Atau demikian yang dia yakini sepenuh hati.

Pada tengah malam itu, Sukar berjalan melintasi sebuah kompleks sekolahan yang sudah disulap menjadi markas penyiksaan. Dua truk militer parkir di halamannya. Menurut kabar yang dia dengar, Sentot ada di sana. Tanpa ada yang tahu, dia menyelinap ke balik pagar. Kegelapan dia jadikan kawan.

Gedung-gedung sekolahan yang diterangi hanya oleh beberapa bohlam dan lampu petromaks memudahkan Sukar yang mengendap-endap. Dia cari keberadaan Sentot dengan menguping obrolan tentara yang lalu-lalang atau sedang duduk-duduk saja di teras kelas. Belum juga dia dengar nama ayahnya disebut, dia tiba di depan sebuah gedung yang mengerdilkan gedung-gedung lainnya. Aula, kelihatannya.

Yang menarik perhatian Sukar bukan ukuran bangunan itu melainkan suara-suara yang datang darinya. Dia dengar desahan, teriakan, rintihan, lenguhan, ratapan, tangisan perempuan yang ditingkahi cacian, makian, dan tawa para pria. Sebelum mengintip dari lubang angin, dia sudah bisa menebak apa yang terjadi di balik tembok aula. Namun, ketika dia menyaksikannya, dia hampir mengira matanya menipunya.

Sukar menghitung setidaknya tiga puluh wanita dalam keadaan telanjang. Tua atau muda, cantik atau buruk rupa, ramping atau gendut, tinggi atau pendek; tidak ada bedanya. Sedang digilir oleh pria-pria berseragam mereka. Satu wanita bisa dipakai oleh lima pria pada waktu yang sama.

Gila.

Apa-apaan?

Dan kenapa tahananan di sini semuanya perempuan?

Di mana yang laki-laki?

Sudah pada mati?

Terus, datang besok, wanita-wanita ini mau diapakan?

Dipakai sampai mati?

Di tengah tubuh-tubuh mengkilap manusia itu, Sukar temukan kepala botak bapaknya.

"Sentot," geram Sukar. "Mati kowe malam ini."

Sentot jelas tidak akan mendengar ancaman anaknya. Pria itu sedang asik menggenjot seorang wanita berkacamata. Kontolnya keluar-masuk lubang pembuangan lawan mainnya yang sedang tengkurap dan juga disetubuhi dari bawah dan depan lewat mulutnya.

"Ndaaan," kata pria yang di bawah, "aku mau keluarrr."

"Sama." Pria beruban yang sedang dioral si wanita berkacamata mengangguk sambil merem-melek keenakan. "Barengan."

Sementara kedua rekannya memuntahkan pejuh mereka ke vagina dan mulut si wanita, Sentot memilih beristirahat. Dia rasakan anus yang dia sodomi menyempit. Menghimpit kontolnya. Dia cengkeram kuat-kuat bongkahan pantat wanita yang memimpin sebuah koperasi swasta itu. Usai penis-penis pria lain melemeas, dia pangku wanita itu dari belakang.

"Goyang, Mbak Rusmi," kata Sentot sembari menggerayangi payudara Rusmini. Dengan tenaga yang tersisa, wanita yang sekujur badannya lengket oleh keringat dan sperma itu menyanggupi. Pantatnya mulai naik-turun di atas pangkuan pemerkosanya. Cuma itu pilihannya. Kalau menolak, besok dia akan dibawa ke regu tembak. "Aahh, ya, gitu. Pinter."

Di tengah Sentot sibuk menikmati layanan korbannya, dia dengar namanya dipanggil. Tahu-tahu saja seonggok tubuh wanita yang sudah tak berdaya diseret ke arahnya. Dia kenal wajah itu. Sukar pun begitu.

"Tukar, Tot," kata pria yang menyeret ibu Sukar. Mata wanita itu terpejam. Sperma kental meleleh dari mulut, vagina, dan duburnya. "Sudah wegah gerak binimu. Mau mampus paling."

"Bini dari mana?"

Sentot hampir-hampir tak mengenali wanita itu. Wanita yang pernah dia janjikan akan dia jadikan istri. Satu di antara banyak wanita lainnya. Tidak ada yang spesial darinya.

Malam ini pun sama. Sebagaimana para tertuduh lain, anggota koperasi lain; nasib wanita yang melahirkan Sukar itu sama. Jadi budak seks semata. Sebelum akhirnya dihabisi nantinya. Tinggal tunggu komando dari pusat saja.

"Gembrik burik begitu. Asu juga ndak doyan dia."

"Alah. Alesan."

"Gabung sini saja, wis," kata Sentot yang lalu merenggangkan kaki Rusmini sehingga paha dan vaginanya terkuak. Wanita setengah baya itu tampak kesakitan namun juga, anehnya, menikmati.

"Masih kuat dia?"

"Siapa yang peduli?"

Tidak ada yang peduli. Sukar geram setengah mati. Sementara Rusmini kembali diperkosa dua laki-laki, dia turun dari lubang angin. Kalap, dia merangsek masuk aula. Penjaga maupun mereka yang ikut pesta dia habisi satu per satu. Peluru, pisau, dan bogem mereka tidak ada yang menyakitinya.

Sentot dan rekannya menjadi yang paling terakhir dia hajar. Sengaja. Dia biarkan mereka klimaks. Baru setelahnya, dia patahkan leher mereka. Si laki-laki yang ngecrot di vagina dulu, baru bapaknya.

"Mimpi yang buruk, ya, Pak," kata Sukar sebelum memadamkan nyala mata Sentot dengan memutar kepala yang bersangkutan. Mematahkan pangkal tengkoraknya. Berdiri di atas mayat ayahnya, pemuda itu meludah sekali. Beberapa korban pemerkosaan massal yang masih sadar memandangnya dengan campuran antara bingung, lega, dan ngeri.
Sementara puas yang dia cari belum juga dia rasakan, Sukar dekati ibunya. Dia raba denyut nadi si wanita. Sialan. Dia terlambat. Seketika itu juga dia jatuh bersimpuh. Kesedihan yang mendalam menguasainya.

Sentot sudah mati. Tetapi, kematiannya tidak berarti apa-apa. Tidak mengisi lubang dalam diri Sukar. Buat apa dia capek-capek ke sini?

"Hmmm, malang betul nasibmu, bocah."

Setelah sekian lama, Sukar dengar lagi suara itu. Suara yang menolongnya di jurang. Yang mengutuknya agar selamanya menderita di dunia.

"Sekarang, apa rencanamu?"

"Tidak ada," kata Sukar sambil mengusap mata. Kian ngeri para saksi mata menyaksikan penolong mereka kini bicara pada udara kosong. Perlahan, mereka berbondong-bondong merangkak ke arah pintu. "Ambil kembali pemberianmu. Aku—"

"Yang sudah diberikan tidak bisa dikembalikan. Kau kira aku ini apa?"

"Setan?" tanya Sukar setelah beberapa lama.

"...."

"Kau yang dulu bikin aku mau merkosa ibuku."

"Ya."

"Kenapa?"

"Penasaran saja."

"Bangsat. Setan perempuan pada ke mana memangnya?"

"Kau tidak penasaran?"

"Apa?"

"Wanita. Hawa. Penyebab Adam dibuang dari surga."

"... tidak."

"Hm."

"Dengar," kata Sukar yang entah sejak kapan sudah menodongkan pucuk sebuah pistol ke pelipisnya, "terima kasih sudah bantu aku. Tapi aku tak bisa bantu kau. Selamat tinggal."

Sukar mengira ilmu kebal yang dia punya tidak akan mempan kalau dia sendiri yang coba mengakhiri hidupnya. Dia salah besar, ternyata. Peluru dari pistol itu mental entah ke mana. Sementara, nerakanya di dunia selamanya.

Meski mengaku tak bisa membalas kebaikan penolongnya, Sukar harus hidup dengan kutukan yang dia punya. Harus mengakrabi suara tanpa rupa yang tak pernah lagi meninggalkannya. Menyendiri ke dalam rimba tatkala negeri menyongsong sebuah orde yang baru.

Lambat laun mereka menjadi satu. Sosok mereka mengambang di antara dua dunia. Bukan manusia. Bukan pula setan atau arwah gentayangan. Mereka bisa berkomunikasi dengan penghuni dua dunia—kalau mereka mau. Lebih banyak waktu mereka habiskan dengan bertapa. Mengamati semesta. Menunggu kutukan mereka sirna.

Sampai mereka berjumpa Bu Norma.

~bersambung
 
Lost & Found 4.3.2

Sosok yang dulunya Sukar itu menyetubuhi Bu Norma lagi dan lagi. Sampai yang bersangkutan lemas. Wanita bermukena itu akan pingsan kelelahan sebelum kemudian siuman dan menemukan suaminya belum berhenti menggagahinya. Dalam pada itu, dia tidak benar-benar merasakan lapar atau dahaga.​

7f6cce648d181edae10cfff902903850c2535b8d-high.webp


Satu hal yang Bu Norma cemaskan seiring berlalunya waktu adalah perutnya yang kian membuncit. Seakan-akan sedang ada janin yang tumbuh dengan pesat dalam rahimnya. Bagaimana penjelasannya, dia cuma bisa bertanya-tanya. Tetapi karena sekarang calon bayi itu ada, insting keibuannya menyala.

"Pelan, Mas," pinta Bu Norma yang sedang berbaring mengangkang sementara Dokter Abi menggenjot memeknya. Dia pegangi perutnya sambil berkata, "Hati-hati. Bayi kita nanti kenapa-napa."

Penyerupa Dokter Abi itu menyeringai. Pikiran wanita di bawahnya itu sudah benar-benar kabur. Alih-alih meresahkan fakta bahwa lelaki yang kini sedang menggaulinya itu bersisik mirip ular sanca, dia justru memikirkan keselamatan kandungannya. Kandungan yang sedikit banyak membesar karena pengaruh sosok yang bukan manusia itu.

"Gini, Dik?" tanya Dokter Abi sambil memaju-mundurkan pinggangnya pelan.
Bu Norma mengangguk.

"Mas nggak ngantuk?"

"Ngantuk?"

"Dari tadi Mas garap aku terus. Apa ngga capek?"

"C-capek, sih," ujar Dokter Abi yang lupa kalau manusia cuma kuat berhubungan badan beberapa menit saja. Sempat dia ingin berlagak sudah tidak kuat. Namun apa daya. Hasratnya masih belum tamat. Bahkan sesudah bermili-mili sperma dia tumpahkan. Pada vagina, anus, mulut, pantat, punggung, muka, dan tak lupa mukena Bu Norma. "Tapi, ya, gimana. Mas kangen enaknya jepitan memekmu."

"Hmm? Cuma memek, Mas?" tanya si wanita bermukena, memainkan sendiri putingnya yang kini mulai sedikit mengeluarkan air susu. Kalau dibiarkan menganggur, buah dadanya itu akan nyeri. Begitu disentuh lagi, nikmat lagi. "Anusku gimana? Enak juga nggak?"

"Enak juga, kok." Dokter Abi mencabut kontolnya dari vagina Bu Norma untuk kemudian dilesakkan ke dalam dubur. Mereka berdua mendesah karenanya.

"Mas sodok lagi, ya?"

Bu Norma mengangguk.

Plokkk plokkk plokkkk

Dokter Abi menggenjot lubang tahi Bu Norma dengan tempo sedang. Terkadang, tangannya akan terbang membenahi kacamata istrinya. Juga mukena yang kusut dan basah kuyup oleh keringat dan cairan cinta mereka berdua. Kontolnya yang gagah tampak mengkilap. Dengan perkasa daging berotot itu mengobok-obok relung dubur Bu Norma. Membuat wanita itu mulas namun juga tak bisa dipungkiri; puas.

Lain dengan ketika bersetubuh dengan para pemerkosanya, Bu Norma merasakan bersama setiap tumbukan, nikmat senggama mereka meningkat. Bahkan jika tubuhnya kemudian kecapekan, dia tidak pernah ingin Dokter Abi berhenti. Sensasi disetubuhi suami sendiri memang sesuatu yang dia akan selalu nikmati. Syukuri.

Bilamana ketika Bu Norma bersama Pak Pur, Tokek, dan Kancil nikmat itu berasal dari dosa; yang ini dari pahala. Sementara kakinya ditekuk ke dada agar Dokter Abi lebih leluasa menggenjot anusnya, dia seolah bisa melihat gerbang-gerbang surga dibuka.

Sudah tidak terhitung berapa kali Bu Norma menjerit manja saat orgasme datang melanda. Dengan tenaga yang tersisa, kali ini dia mendesah panjang saja. Tanpa memuji performa Dokter Abi pun dia yakin, laki-laki itu tahu betapa berharga berkah yang telah istrinya terima. Dari celah vagina yang menganga, meleleh cairan kewanitaannya yang sudah bercampur pejuh kental suaminya.

"M-mmas?"

Kini Bu Norma sedang digauli dalam posisi bersujud menghadap jendela yang sejak tadi masih menampilkan gelap malam. Di belakangnya, Dokter Abi berjongkok. Kontolnya akan dia tarik hingga hanya kepalanya yang tersisa sebelum lalu dia hunjamkan kembali ke dalam dubur Bu Norma hingga hanya buah zakarnya saja yang tersisa. Begitu terus berulang-ulang.

Tak ayal, badan sintal Bu Norma kelojotan. Payudara indah wanita itu menggantung sempurna. Bergoyang seirama sodokan yang dia terima. Jemarinya meremasi tepian kasur. Matanya sayu. Liurnya menetes-netes dari celah bibir yang terbuka.

Sebentar-sebentar ujung kain mukenanya akan disibak oleh pria di belakangnya agar tak menghalangi pemandangan indah punggung Bu Norma yang ramping dan bokongnya yang bulat menggoda.

"Iya, Dik?" tanya Dokter Abi tanpa menjeda ibadah syahwat mereka. "Capek, ya?"

Bu Norma menoleh dan mengangguk. Namun, alih-alih meminta suaminya agar menyudahi aktivitas mereka, dia justru berkata, "Pengen mandi. Lanjut di bathroom, yuk?"

"O-oke," jawab Dokter Abi, berhenti dan siap-siap mencabut penisnya.

"Jangan dilepas, Mas."

"Eh?"

Terinspirasi dari humiliasi yang Pak Pur lakukan padanya, Bu Norma memohon agar dia dibimbing ke kamar mandi dengan Dokter Abi tetap menyetubuhi duburnya.

"Yakin?"

Bu Norma mengangguk. Mantap.

"Pelan-pelan, Dik," ucap Dokter Abi sewaktu Bu Norma mulai turun ranjang.

Jika oleh Pak Pur mengentotnya sambil berjalan, agar beda, kali ini wanita itu meminta pada suaminya agar dia diizinkan merangkak. Dengan penis menyumpal anusnya, Bu Norma taruh satu tangan di depan tangan yang lain. Satu kaki mengikuti kaki lainnya.

Jarak kasur dan kamar mandi itu sesungguhnya dekat saja. Namun, dengan merangkak bagai seekor binatang jalang, Bu Norma kita jadi lebih lama mengulangi sensasi itu. Selagi dia berjuang mencapai pintu kaca kamar mandi, dia berkata, "Entot yang keras, Mas!"

Ada barangkali lima menit Bu Norma disodomi di lantai kamar hotel itu. Setiap kali dia maju beberapa centi, Dokter Abi akan menariknya lagi. Akan terus menyetubuhi duburnya dengan gaya anjing. Selepas beberapa sodokan, mereka akan kembali bergerak. Pelan. Penuh perhitungan.

Hingga Bu Norma dua kali kembali mengalami orgasme. Yang paling dahsyat terjadi di depan pintu kaca, di mana kedua tangannya dipegangi sang suami sementara kepalanya mendongak ke atas, dadanya membusung ke depan, dan vagina menyemprotkan cairan kemenangan. Manja dia meneriakkan nama suaminya Yang kontolnya dia puja. Yang membuat tubuhnya lupa pada kontol-kontol lain. Ini bukan tentang kontolnya siapa. Tapi ini soal siapa yang punya kontol itu.

Dokter Abi menunggu wanita itu sedikit pulih sebelum mencabut kontolnya hanya untuk menjebloskan lagi batang keras itu ke dalam memek Bu Norma yang basah, licin, dan hangat. Di dalam kamar mandi, di bawah kucuran shower yang belum dibuka, dia disodok dari belakang dengan dada dan kepala menempel pada dinding kaca. Pantatnya yang kenyal bergetar setiap kali Dokter Abi menghantamkan pinggangnya. Kelamin mereka menyanyikan kecipak plak-plak-plak-plak yang menggema di seantero kamar.

"Terus, Mas! Terus!" racau Bu Norma dengan satu tangan di depan perut sementara yang lain meremas sisi kiri payudaranya yang tergencet. "Entot istrimu ini, Mas!"

Tanpa komplain Dokter Abi turuti permohonan Bu Norma. Dia luluh lantakkan raga dan sukma wanita itu di bawah guyuran air. Sembari menyabuni lekuk tubuhnya yang sekal meski sudah tak lagi muda, dia puaskan gairah Bu Norma yang selalu minta tambah. Yang seakan memang tuhan ciptakan agar bisa terus memberikan kenikmatan.

Rasa penasaran sosok penyaru suami Bu Norma itu mulai terjawab. Dia jadi mengerti kenapa manusia rela melakukan apa saja demi pasangan mereka. Dia paham kenapa dulu Adam sampai terbuai dan lupa larangan. Kenapa Sentot gagal menahan diri dari menikmati setiap lubang hangat yang disajikan untuknya.

Dan Sukar maafkan mereka semua. Dia memaklumi. Terima kasih pada Bu Norma yang senantiasa dipenuhi birahi.

"Aahhh, terus, Dik. Isep yang kuat. Yahhh. Gitu. Pinter," erang Dokter Abi yang kini duduk di atas toilet meresapi servis mulut dan lidah Bu Norma yang bersimpuh tanpa sehelai benang pun di hadapannya. Puting susu mantan guru itu menonjol keras. Bulir-bulir keringat bermunculan dari pori-pori kulit yang kini putih bersih. Kacamata yang basah dia genggam di satu tangan. Tangan yang lain bergerilya di antara kantung telur dan dubur suaminya.

Mata mereka bertemu.

Dapat Dokter Abi rasakan betapa dalam wanita itu mencintainya. Menghormatinya. Memuliakannya. Dan tak bisa tidak, dia rasakan dorongan yang kuat untuk membalas cinta Bu Norma.

Ya. Sambil memuntahkan lahar panasnya ke mulut si wanita, sosok yang dulunya Sukar itu meyakini dia telah jatuh cinta. Dan dengan segala kuasa dari makhluk yang menjadi satu dengan dirinya, dia bisa wujudkan surga bagi Bu Norma. Mereka akan bahagia di dalamnya. Selamanya.

Pada detik-detik yang berlalu selepas pejuhnya ditelan Bu Norma, Dokter Abi berulang kali mengembuskan napas lega. Jika orgasme-orgasme sebelumnya hanya sebatas membuka cakrawala, menunjukkan keindahan yang bisa dia capai, yang kali ini berbeda. Sukar bukan cuma melihat pintu-pintu takdir membuka namun dia juga merasa mampu melangkah ke baliknya. Kakinya kini bebas. Tak lagi terbelenggu masa lalu. Merdeka lebih dari apapun juga.

"Dik?"

"Iya, Mas?"

Bu Norma sedang menyisir rambutnya dengan jari. Belum beranjak dia dari lantai kamar mandi. Sosoknya entah bagaimana jadi tambah menggairahkan dengan perut dan payudara yang membesar. Halus kulitnya yang basah dan wangi tampak sejuk. Mengundang buat dipeluk.

"Laper nggak?"

Segera sesudah menanyakan hal itu, Dokter Abi mengerutkan dahi. Bukan itu yang sejatinya ingin dia katakan. Kenapa tiba-tiba lidahnya punya pikiran sendiri?

"Hmmm, laper sih."

"Kebetulan."

"Mas juga laper?"

Dokter Abi mengangguk.

"Pesan apa, ya, enaknya?"

"Eh, Mas? Boleh nggak makannya... jangan di kamar."

"Hm?"

"Berantakan."

Bu Norma menerawang ke balik separator kaca. Untung bagi Sukar. Bu Norma masih belum bangun dari ilusi yang dia ciptakan. Alih-alih memikirkan bagaimana mungkin ada hotel di tengah belantara, dia justru mencemaskan kondisi kamar mereka.

"Bau juga. Hehe."

"Hmm. Bisa, kok." Sambil berpelukan pasangan itu berjalan meninggalkan kamar mandi. "Mau makan apa?"

"Yang seger-seger boleh banget, Mas."

"Hmm." Dokter Abi memagut bibir Bu Norma. Lama. Hingga si wanita cantik terduduk di tepi ranjang. Telanjang bulat tanpa busana. Kaki mengangkang. Payudara ranum mengundang. Sebelum kembali dia setubuhi wanita itu, Sukar hentikan dirinya sendiri. Katanya, "Tunggu di sini, ya. Aku ... cek dulu restonya."

Enggan melepas suaminya, Bu Norma bertanya, "Pakai room service aja nggak bisa, Mas?"

Dokter Abi melirik telepon di atas meja nakas. Dia batuk. Sekali.

"Lagi, uhm, rusak telponnya."

Usai mengecup Dokter Abi beberapa kali, Bu Norma mengerling manja sambil berkata, "Ya, udah. Jangan lama-lama tapi, Mas."

Dokter Abi mengangguk. Kaki mundur ke belakang. Jari dia jentikkan. Dalam sekejap dia telah kembali berpakaian. Perubahan mendadaknya tampak normal bagi Bu Norma yang masih dibawah sirep. Tanpa curiga wanita itu berkata, "Aduh. Iya, ya. Mukenaku basah."

"Ambil aja di lemari, Dik." Dokter Abi sudah berjalan ke arah pintu saat mengatakannya. "Ada baju ganti buat kamu."

Lagi-lagi, tanpa bertanya, Bu Norma mematuhi arahan suaminya. Benar saja. Di dalam lemari dia temukan dua setel pakaian muslimah. Keduanya jelas bukan miliknya. Dia tidak mengenali mereka. Akan tetapi, tidak masalah. Dia menyukai mereka. Bahan kerudung dan abaya itu sutra. Halus di tangan. Indah di mata. Yang satu berwarna biru toska. Sedangkan, yang satunya merah hati.

Bu Norma memilih yang pertama. Dia padukan dengan kerudung hitam melilit kepala. Di baliknya, dia tak mengenakan apa-apa. Sengaja. Bra dan celana dalam tersedia juga. Namun, dia tak melihat fungsi mereka. Lagipula, dia sudah kebelet disetubuhi Dokter Abi lagi.

Bu Norma sedang merias wajah di depan cermin saag pintu dibuka.

"Bentar, Mas."

Bu Norma dengar langkah kaki suaminya mendekat. Kemudian, dia tangkap bayangan lelaki itu pada cermin. Dan seketika, jantungnya berhenti berdetak. Napasnya terkesiap. Untuk pertama kalinya malam itu, dia dapati keanehan pada diri Dokter Abi. Sorot mata wanita itu lekat memerhatikan sisik-sisik bercorak pada lengan suaminya. Sisik itu terlihat... terlalu nyata untuk dikatakan sebagai tattoo dan bukan sisik betulan.

Bulu kuduk Bu Norma berdiri ketika tangan bersisik itu naik ke kepala, mengusap rambutnya dari balik hijabnya.

"Cantik banget kamu, Dik."

Bu Norma kesulitan menelan saliva. Suara itu entah kenapa jadi asing di telinga. Mirip suara suaminya. Tapi bukan.

"Restonya buka."

Bu Norma menggigit bibirnya. Lelaki di belakangnya meremas-remas gunung kembarnya. Jadi kusut bagian depan jubahnya karenanya. Lidah Bu Norma beku. Di sana, kata-kata yang sudah meninggalkan otak dibuat layu oleh nafsu. Napas memburu.

"Mau ke sana sekarang?"

Bu Norma masih belum merespon. Sedari tadi dia coba usir pikiran-pikiran buruk dari kepala. Sayangnya, tidak bisa. Tak kuasa dia menyingkirkan cemas itu. Jangan-jangan, yang dia kira suaminya ternyata bukan suaminya. Tetapi, bagaimana mungkin?!

"Atau... kita main aja dulu. Satu ronde."

Bu Norma memejamkan mata. Badannya tegang. Kaku. Dia tidak punya cukup keberanian untuk mengamati wajah lelaki yang kini menyingkap jilbabnya, membuka kancing depan jubahnya, lalu tanpa kesulitan mengeluarkan buah dadanya; yang kanan dan kemudian yang kiri. Ketika puting kerasnya disentuh, dia rasakan ada yang keluar. Cairan bentuknya. Kental. Panas.

"Hmmm. Susu. Gurih, nih."

Lelaki yang dia sangka Dokter Abi langsung saja menyusu padanya. Kursi yang dia duduki digeser menyamping. Mereka kini berhadap-hadapan. Bukan cuma dada, daerah di antara kedua paha Bu Norma juga dirangsang. Seketika dia pun melayang. Selagi putingnya digigiti, perlahan dia diajak berdiri. Kakinya merenggang. Dari luar jubah sutera, itilnya disentil-sentil jahil.

"Mmmasss....."

"Iya, Dik?" tanya Dokter Abi dalam gumaman.

"Cepet masukin lagiii."

"Apanya?"

"Kontolnya...."

"Hmmm. Udah gatel, ya?"

Bu Norma mengangguk. Dia tahu ini bukan saat yang tepat. Bukan karena mereka mau makan. Tetapi karena identitas suaminya patut diragukan. Bercinta dengannya adalah hal terakhir yang seharusnya dia lakukan sekarang.

Bagaimana kalau netranya tidak sedang coba mengerjainya?

Bagaimana kalau yang dia anggap Dokter Abi betulan bukan manusia?

Namun... apa boleh buat. Birahinya sudah diubun-ubun. Ketika tubuhnya diputar menghadap cermin dan diposisikan menungging, Bu Norma cuma mempersiapkan diri untuk satu hal: menyambut nikmat.

Dan memang, itu yang Bu Norma rasakan saat sekali lagi vaginanya yang sudah banjir diisi sebentuk batang berurat. Dia merasa penuh. Utuh. Sewaktu kontol itu ditarik hanya untuk kembali dihunjamkan, dia melenguh.

"Uhhhh.... uhhhh..... uhhhhh....."

Bu Norma kembali bermandikan peluh. Sebelah lengan dia tumpukan pada meja rias. Tangan yang lain dia ulurkan ke belakang, memegangi ujung kain jubahnya agar tak mengganggu. Payudaranya yang bebas berayun-ayun. Pad pantulan kaca di depan hidungnya, Bu Norma dapat menyaksikan betapa dia menikmati setiap genjotan. Setiap hentakan. Setiap sodokan.

"Terus, Mas. Terussss. Yang dalem... yang kerasss...."

"Enak, Dik?"

"Enakkk, Massss."

"Kamu suka kontol, Dik?"

Bu Norma mengangguk. Otot vaginanya mengencang dan mengendur digempur tanpa selang. Tanpa jeda.

"Paling suka kontol siapa, Dik?"

"Hmmm?"

"Kamu, lho, paling suka kontolnya siapa?"

"Kontolnya Masss."

"Ah, masa?"

Dokter Abi jamah payudara Bu Norma sambil tetap menggenjot memek si wanita. Bulatan buah dada itu terasa lembut meski sedang dalam kondisi kencang.

"Kan, punyaku standar aja. Punya orang-orang yang nyekap kamu gede-gede pasti, kan?"

"Ahhh.... ahhh... uhhhhmmm, yang.... agak gede cumma punyaaahh Pak Purrr, Mass."

"Pak Pur?"

Lagi-lagi Bu Norma mengangguk.

"Lha, anak-anak muda yang make kamu di sungai itu? Kecil-kecil kontol mereka?"

Muka Bu Norma semakin memerah.

"Kontolnya Kancil.... panjang, Masss. Nggak disunattt."

Dokter Abi pegangi kedua bulatan bokong kenyal Bu Norma. Dia buka pipi-pipi mereka. Sepertinya dia sedang bersiap pindah lobang.

"Ohhhh?"

"Kalau... uhhhh... kontolnyaahh To-ohhh-kek bengkok, Masss. Terus ditindik gitu."

"Ditindik?"

"Hu-uuumm. Aaaahhda gotrinyaahhh."

Dokter Abi tampar-tampar pantat Bu Norma seraya berkata, "Bajunya baju orang taat. Tapi orangnya budak syahwat."

Bu Norma sempat akan protes. Tapi tahu-tahu saja gantian anusnya yang diisi. Dibuat mengerang panjang dia. Sakit yang dia terima mengundang reaksi. Semakin kuat otot-otot duburnya meremas kontol yang menyumpal. Yang keluar-masuk-keluar-masuk pada rongganya.

Mendekati klimaks, Bu Norma mendongakkan kepala. Dari posisi kepalanya yang sekarang, dia bisa lebih banyak mengintip ke belakang. Dan yang dia temukan menyebabkan matanya membola. Firasatnya benar. Lelaki yang dia kira suami ternyata bukan Dokter Abi. Sama sekali bukan. Pria itu beruban. Wajahnya keriput. Giginya ompong. Matanya sepasang lubang kosong.

Sadar dirinya diperhatikan, Sukar jumpai tatapan Bu Norma. Melalui bayangan di cermin, mereka bertukar paham tanpa lewat kata-kata. Bu Norma paham dia sedang berzina. Sedang menuai dosa. Sedang mempermulus jalannya ke neraka. Sementara, Sukar yang paham dampak shakti-nya sudah luntur, paham kalau sekarang tidak ada gunanya lagi melantur. Tanpa kagok dia pun bertutur, "Jangan kaget, Bu."

Bu Norma 10000â„… kaget. Siapa juga yang tidak? Mau dibayar istana seisinya juga dia ogah bercinta dengan kakek-kakek buruk rupa! Lebih-lebih yang sekujur badannya bersisik bagai siluman ular macam Sukar. Akibatnya, pantatnya kian dahsyat menjepit kontol Sukar yang meski geraknya melamban namun tetap diayunkan.

"Nikmati aja, Bu."

Terbata Bu Norma bertanya, "M-mbah siapa?"

"Aku suami barumu, Bu."

Ekspresi wajah Bu Norma langsung berubah. Dari yang tadinya sange ke tertegun lalu ke jijik. Sedari tadi yang dia layani adalah orang asing. Sejak tadi dia maksiat.

Bagaimana bisa?

Kenapa dia baru sadar?

Berapa kali kakek-kakek itu sudah buang pejuh di dirinya?

Ada apa dengan dirinya?!

"Bu Norma mau, kan? Tinggal di sini?" Sukar kini menangkup kedua semangka Bu Norma sementara kontolnya diam menancap di dalam pantat si wanita berhijab. Dia hayati setiap kedutan dan remasan otot anus wanita yang dia cinta. Yang ingin dia jadikan pendamping hingga nanti dunia gelap gulita. "Anak kita aman di sini, Bu. Dia akan—"

"LEPASKAN SAYA!"

Saat mencoba galak hanya menghasilkan tawa pria bersisik di belakangnya, Bu Norma mencoba cara lain. Kebetulan air matanya sudah bercucuran. Sekalian saja dia harapkan belas kasihan.

"Lepassin sayaaa, Mbahh...."

Sukar kunci kedua lengan Bu Norma di belakang punggungnya. Gerak wanita itu semakin dia kuasai karenanya. Merasa segalanya dalam kendali, dia pun lalu kembali memompa. Hm. Melepaskan Bu Norma? Tidak akan pernah. Mau bulan sekali lagi terbelah dia juga masih ogah.

"Mbaaahhh.... pliiisssss...."

Bu Norma meronta, meronta, meronta, dan meronta. Dan meronta. Dan meronta. Namun, apa daya. Dia cuma seorang wanita. Kontol di dalam anusnya menguasainya. Menjeratnya. Menyandera. Membuat perlawanannnya percuma. Perjuangannya sia-sia. Semakin dia memberontak, semakin nikmat rasanya. Semakin hebat sensasi yang pemerkosanya terima.

Dan Sukar tidak malu menunjukkannya. Penyamarannya terbongkar, memang. Tapi tak masalah. Bu Norma tak bisa ke mana-mana. Wanita berhijab itu miliknya. Selama-lamanya. Sampai tuhan merasa cukup dengan dunia dan memerintahkan malaikat-Nya meniup sangkakala.

"Mbaaahhh.... sssaya mooohhoonnnn...."

Bu Norma menjerit saat jilbabnya ditarik hingga dia dipaksa mendongak. Dipaksa menonton dirinya sendiri disodomi oleh, sekali lagi, lelaki yang bukan suaminya. Dan yang lebih parahnya, mungkin pemerkosanya kali ini bukan manusia.

Lihat saja sisik-sisik ular pada kulitnya yang tampak kian kentara! Lihat saja keriput di wajah si tua bangka! Kerangka bernyawa itu harusnya sudah lama membusuk di neraka. Lha, kok, malah lagi enak-enaknya dia ngentot seorang calon ummahat yang sedang hamil perdana pada diri Bu Norma!

"Nikmati, Bu."

Sukar sodomi Bu Norma secara bengis. Satu kaki wanita itu dia naikkan ke meja. Lutut ditekuk. Paha dicekal. Gundukan vagina menggesek-gesek tepian meja. Bagian atas torso Bu Norma, yang masih berjubah tapi sudah menunjukkan auratnya, dia paksa condong ke arah cermin. Tanpa ampun dia rojok lobang pembuangan Bu Norma. Seakan-akan, lubang sempit itu sedang dia lebarkan jadi terowongan atau yang semacamnya dan dia cuma punya lima menit mengerjakannya.

"Kayak tadiii."​

5b86a776d3b716966baea5207ba153dcd76ba155-high.webp

Bu Norma menggeleng. Badannya terdorong-dorong. Mati-matian dia coba untuk tak melolong. Tidak akan ada yang menolong. Keselamatannya, juga keselamatan janinnya, sepenuhnya ada pada dirinya. Pada bagaimana dia bereaksi. Diam bagai patung jelas bukan solusi sebab kakek-kakek yang tengah menggarapnya tampak tidak pernah kekurangan energi. Akan tetapi, meladeni dalam kondisinya yang hamil seperti saat ini juga bukan sesuatu yang tanpa bahaya.

Sekarang apa?

Dia harus apa?

Harus bagaimana?

"Mbaaahhhh.... ahhh.... ahhh.... Stop, Mmmmmbahhh."

Bu Norma coba mengendurkan empotan lubang pantatnya agar badannya sedikit lebih rileks. Sedikit lebih mengimbangi gerakan si tua bangka.

"Ssssaya istri oraaanggg, Mbaaahhh."

"Hmmm? Bu Norma nolak," kata Sukar, satu punggung tangan mengelap dahi keriputnya, "lamaranku, nih?"

Sesenggukan, Bu Norma berkata, "Kasihani saya, Mbahhhh."

"Hmmm. Yawis." Sukar terdengar kalah untuk pertama kalinya malam itu. "Nggak jadi biniku nggak masalah. Tetap aja kamu jadi bini orang, Bu."

Untuk sesaat Bu Norma berharap kakek-kakek yang terobsesi dengan pantatnya itu akan membebaskannya.

"Tapi," kata Sukar, kedua tangan bertumpu pada tepian meja rias sehingga perut buncit Bu Norma tergencet, "kamu wajib jadi gundik abadi-ku kalau gitu."

Berurai air mata, Bu Norma menggelengkan kepala. Di belakangnya, Sukar tertawa. Kontolnya mengaduk-ngaduk anus sempitnya. Sekarang dan selamanya.​

~bersambung
 
Terakhir diubah:
Lost & Found 4.3.3

Kopral dan Gagah tiba kembali di pondok lebih awal dari rencana berkat si raksasa yang mengemudi ugal-ugalan sepanjang sisa perjalanan. Petang masih menyala saat mereka turun dari mobil dan disambut Tokek. Pemuda bermata juling itu menekuri ke tanah. Bagi yang tidak tahu-menahu alasan dia melakukannya, dia terlihat seperti bocah yang menjatuhkan recehan uang jajannya dan tak tahu harus mulai mencari dari mana. Kopral, yang tahu persis penyebab gelagat itu, mendecakkan lidah dengan sebal.

"Jangan rica-rica kontolku, Kopral."

Bahkan tanpa Tokek bicara, Kopral tahu anak buahnya itu gagal menemukan Bu Norma.

"Mana Kancil?"

"Kan— Masih di hutan. Nyari Bu Norma."

"Lha kowe kok ndak ikut?"

Belum sempat Tokek menjawab, Gagah sudah memerintahnya mengambil minuman. Arak, tepatnya. Di mobil tadinya ada. Sudah habis dia tenggak semua, sayangnya. Sembari menunggu, dia buka bagasi dan mulai menurunkan barang-barang. Betapa terkejut dia saat seseorang melompat dari bawah terpal yang menutupi bawaan mereka di atap. Kopral, seperti biasa, jadi yang paling cepat bereaksi. Revolvernya teracung sempurna, siap melubangi si penyusup.

Untung bagi Daisy, wajahnya hanya setengah diaku gelap. Setengahnya lagi diterangi senja, mengizinkan Gagah dan Kopral mengenalinya.

"Bule gendeng," maki Kopral.

"D? The fuck?!"

Daisy masih mengenakan seringai di wajahnya ketika Tokek kembali dengan satu kendi arak di tangan. Tanpa rasa canggung dia renggut tembikar itu dari si pemuda. Dia ucapkan terima kasih, baui isi kendi, lalu meminumnya tanpa bertanya.

"Wooooh." Mata Daisy sipit saat dia jauhkan mulut kendi dari bibirnya. "You got something strong out here i see."

Dipandangi penuh arti oleh Daisy, Gagah bertanya, "Kamu ngapain ikut kita? Hah?"

"Ya. Kranggalan gimana kamu tinggal?" Kopral mengamankan revolvernya sebelum meminta kendi diserahkan padanya. Di antara mereka berempat, hanya dia dan Daisy yang tahu apa yang terjadi saat mereka pergi. "Bukane kamu betah di sana?"

"Betah?"

Daisy tertawa. Yang lain tidak.

"I'll pay to watch that shithole burns to the ground."

Tokek, yang bahasa inggrisnya sebatas yes/no, mengedip-ngedipkan mata dalam bingung. Dia tidak sendiri. Gagah yang paham english pun dibuat bertanya-tanya.

"Kalian ngomong apa?"

Kopral mengembuskan napas sebelum kemudian menjelaskan keadaan Kranggalan waktu mereka cabut dari sana. Dia juga menekankan berkali-kali bahwa dia sama sekali tidak tahu sejak kapan Daisy jadi penumpang gelap mereka. Tampak jelas dia menyesali yang terakhir itu. Keruntuhan sebuah peradaban manusia dia nomor duakan begitu saja.

"But you love that city," ujar Gagah selepas Kopral rampung menerangkan.

"Ya." Daisy mengangguk. "Tapi cinta juga bisa jadi benci, no?"

"O.... ke." Kopral mulai berkeringat. Tensi antara Daisy dan Gagah hanya akan kian memanas kalau dibiarkan. Lagipula, mereka sudah punya cukup drama dengan lenyapnya Bu Norma. "Kenapa kita ndak makan dulu. Hm? Habis makan kita cari Bu Norma. Sama-sama."

"Bu Norma?" tanya Daisy.

"Panjang," kata Kopral sebelum berjalan melewati Tokek sambil geleng-geleng kepala, "ceritane."

Di meja makan, malam itu mereka menyusun rencana. Mereka sepakat untuk menemukan Bu Norma secepatnya. Tanpa perbekalan serta keahlian bertahan di rimba, wanita itu bisa tewas kapan saja. Jika sampai sepekan ke depan dia masih belum diketemukan, pencarian akan dihentikan. Atau begitu seharusnya. Sebab, selama empat bulan berselang, Bu Norma masih menghilang. Dan mereka masih mencarinya.

Daisy, yang praktis cuma mengenal Bu Norma lewat cerita, jadi yang pertama mengusulkan berhenti. Wanita kaukasia itu ada benarnya. Percuma mereka membuang-buang waktu mencari yang tidak ada. Kalau mereka butuh kehangatan, mereka bisa memakai dirinya. Memejuhi lubang-lubangnya.

"I can take you all four," kata Daisy enteng, "and some more."​
Daisy yang pengalaman dipake orang banyak
Yx9Z0Fgk.jpg

Kopral, Gagah, Tokek, dan Kancil akan bohong kalau mereka bilang argumen Daisy tidak meracuni pikiran mereka. Mereka sudah sama-sama mencicipi apem impor si mantan tentara. Mereka cukup menyukainya sehingga tidak ada yang harus coli. Meski begitu, mereka seakan sepakat. Apapun yang terjadi, Bu Norma harus kembali.

"Apa yang spesial dari Bu Norma?" tanya Daisy suatu ketika sehabis mereka berlima bercinta di lantai dapur pondok. "Kenapa masih kalian cari dia?"

"Uhm." Kancil jadi yang pertama buka suara. "Bu Norma itu dulu guru. Pinter orangnya. Baik juga. Dan, uhm, tetek dia gede. Enak dikenyotnya."

"Dia langka," timpal Kopral yang kontolnya masih digenggam Daisy. "Di tengah dunia yang hilang arah, Bu Norma tahu dia siapa. Jilbabe dia bukan cuma penutup kepala tapi juga udah jadi identitas dia."

"Aku juga langka," kata Daisy tak mau kalah.

Tokek mengangguk mantap. Di antara keempat pria, dia yang paling suka menggarap si bule. Sekarang saja kontol bergotrinya masih menancap di vagina Daisy. Dibanding memek Bu Norma, memek wanita pirang itu kalah nggigit memang. Wajar. Mengingat dia dulunya budak seks. Akan tetapi, apem impor itu juga tak buruk-buruk amat. Postur Daisy yang tinggi, misalnya, membuat lubang surgawinya lebih dalam dari rata-rata wanita pada umumnya. Atau begitu yang Tokek percayai.

"Dia masih di luar sana." Gagah terdengar galau saat mengatakannya. "Aku tahu itu. Aku ngerasa... dia nunggu kita."

"Bah." Tokek pegangi kedua sisi pinggang Daisy yang ramping sebelum kembali dia pompa vagina si bule yang rambutnya sudah memanjang melewati bahu sejak kali pertama mereka bertemu. "Ada-ada aja. Nyicip orangnya aja belum pernah padahal. Tahu dari mana?"

Tokek buru-buru menyesali ucapannya saat tatapannya bertemu tatapan si raksasa. Demi apapun juga, pemuda itu merasa, nyawanya bisa melayang saat itu juga. Hanya lewat kontam mata. Dikarenakan alasan yang dia tidak ketahui, tampaknya Gagah jadi yang paling merasa kehilangan Bu Norma meski kelamin keduanya belum pernah bersilaturahmi.

Dan Gagah tak hendak menyangkalnya. Pada hari-hari berikutnya, dia masih rela menunda-nunda keberangkatan mereka ke pasar gelap meski sudah merencanakannya dari jauh-jauh hari. Stok beras dan gula yang cuma sisa beberapa hari dia paksa menanti. Ditemani Kancil, pagi itu dia sekali lagi masuk ke hutan. Berharap akhirnya Bu Norma dapat mereka temukan dan bawa pulang.

"Hope is one thing," kata Daisy saat melepas kedua pria itu pergi. Sperma milik Tokek meleleh dari celah vagina perempuan berambut pirang yang hanya mengenakan bra olahraga di teras pondok itu. "Reality is another thing entirely. Aku harap kamu cepet bangun dari mimpi, G. Biar kita bisa happy di sini. As a family."

Lain dengan Tokek yang masih buta mengenai Ustazah Nuzula, Kancil kini tahu alasan Gagah ogah merelakan Bu Norma pergi. Dan dia bisa berempati. Kalau dia jadi Gagah, dia akan cari Bu Norma meski harus ke ujung bumi mana juga. Oleh karena itu, saat Kopral dan Tokek mulai—dalam tanda kutip—menyerah, dia masih setia mencari. Masih sedia mendukung Gagah dan kisah cintanya yang berakhir lebih dini dari yang seharusnya.

Juga, kalau disuruh memilih antara GagahĂ—Daisy atau GagahĂ—Bu Norma, Kancil akan selalu memilih yang kedua. Bahkan jika itu berarti dia harus berbagi.

"Ceritain lagi, Cil," kata Gagah sewaktu mereka bersiap berkemah sore harinya. Belum ada tanda-tanda Bu Norma. Pencarian mereka hanya berbuah letih dan hati yang kian nestapa. Meski teehitung sia-sia, mereka sepakat akan bertahan di belantara setidaknya sampai besok siang. Sesudah mereka meneruskan pencarian di pagi hari. "Gimana rasanya disepong Bu Norma?"

Usai membersihkan kerongkongannya, Kancil buka suara. Dia tidak pernah merasa pandai bercerita. Namun, demi kenangan dan senyuman Bu Norma, dia siap bercerita selama apa juga. Rokok yang baru tadi dia nyalakan dia padamkan; daripada lupa tidak dia isap dan terbakar percuma.
pengen permen Bu Norma kita kayaknya
ea45b64a3d3d953ee15a441ae852ee7bde09e24e-high.webp

"Uhm, ah. Yang... ehm, Abang rasain pertama itu tangan Bu Norma. Halus, Bang. Tapi kuat. Nggak lembek. Nggak... ringkih. Gimana, ya... Hm. Manteb, lah, genggaman dia. Kayak ibu-ibu yang doyan kerja tapi ingat perawatan juga. Ehm, terus, ah, bibirnya. Aaargh, Bang, kalau udah ngerasain sekali pasti minta lagi. Bibirnya Bu Norma tuh enak banget, Bang, dicipok. Tebel tapi lemes gitu, lho, Bang. Nggak yang kasar. Nggak yang kaku. Pas ketemu kontol kita, ahh, enaknya ngga ada dua. Terus lidahnya. Ah, ck. Juara. Masih nggak percaya aku pas Bu Norma ngaku sebelum sama kita-kita dia... jijik nyepong, tuh. Nggak, ah. Merendah aja dia paling."

Kancil buat dirinya sendiri berkeringat mengingat-ingat Bu Norma. Di bawah tenda sederhana mereka, tenda kecil berdiri pada selakangannya.

"Dan kalau nanti Abang bisa ngerasain juga, pas Bu Norma nyepong Abang, pegang kepala dia, Bang. Kayak gini."

Kancil praktikkan apa yang dia ucapkan dengan kepala imajiner Bu Norma di antara kedua pahanya.

"Buat dia mandang Abang. Nah, gini. Mata ketemu mata, Bang. Ah. Nggak ada obatnya itu, sih. Lihat-lihatan sama Bu Norma pas dia nelen pejuh kita. Arrgghh. Asem. Jadi pengen, kan, aku, Bang."

Selagi Kancil permisi untuk coli di luar tenda, Gagah merebahkan badan di atas tumpukan daun kelapa yang malam itu akan jadi kasurnya. Setiap kali Kancil bercerita, Bu Norma akan hidup dalam kepalanya. Bedanya, karena belum pernah merasakan sendiri dan juga karena masih malu pada Ustazah Nuzula, dia tahan konak itu. Cukup dia bayangkan saja Bu Norma ada di sampingnya dan dia akan jadi laki-laki paling bahagia di dunia.

Malam itu mereka tidur cepat. Kancil ngorok seperti biasa. Gagah lebih pulas dari biasa sebab makan malam mereka sebelumnya berhasil mengisi perutnya yang sudah beberapa hari merana. Seekor kura-kura air tawar mereka santap usai mereka memasaknya di dalam tempurung kura-kura itu sendiri. Kuahnya mereka padukan dengan bawang liar, lempuyang, dan garam yang dibawa dari pondok. Lezatnya gila. Kancil kurang suka? Kebetulan sekali! Lebih banyak buat Gagah kenyangkan diri.

Seharusnya, jika kita tidur dengan perut yang kenyang, tidur kita akan pulas. Akan berkualitas. Mimpi buruk adalah hal terakhir yang akan menyatroni malam kita.
Sayangnya, pada malam itu, Gagah punya cerita yang berbeda. Dalam mimpinya, dia lihat Ustazah Nuzula menangis. Wanita itu memeluk lututnya sendiri. Badannya berguncang-guncang. Air matanya bisa dipakai mengairi ladang.

Sebisa mungkin, Gagah ingin hentikan tangisan itu. Tetapi, sekeras apa dia mencoba, sulur-sulur tanamam yang membelenggunya tidak mengizinkan. Bahkan hanya untuk menyentuh gurunya dia tidak bisa.

Dalam putus asa, Gagah jumpai tiba-tiba Ustazah Nuzula berhenti tergugu. Wanita itu mendongakkan kepala. Wajah ayu yang dibungkus jilbab kuning madu itu tampak murka. Tanpa peringatan dia kata-katai Gagah. Makian dan umpatan itu hampir seluruhnya luput dari benak si raksasa. Yang dia tangkap, dan ingat ketika bangun cuma satu:

"Bocah gemblung. Aku udah nggak ada! Jangan mengada-ada kamu, ya. Kalau kamu mau hormati aku, kalau kamu kangen anakmu, cinta sejatimu: cari Bu Norma. Sampai ketemu. Jangan pakai ragu. Kalau udah ketemu: cintai dia secinta kamu cintai aku. Karena aku hidup di dalam dirinya!"
Ustazah Nuzula yg gajelas kabarnya
5a8498f9fb810e766af610a04daa5ce4bce816a7-high.webp

Kata-kata Ustazah Nuzula bukan cuma membangunkannya namun juga berhasil mengobori semangatnya agar berangkat mencari Bu Norma saat itu juga, di tengah malam buta. Meninggalkan tenda dan Kancil yang masih lelap di dalamnya, Gagah pun sekali lagi menelusuri hutan. Sebuah senter dia jadikan senjata utama. Sosoknya yang tinggi besar berderap tanpa suara. Sorot cahaya penerangannya timbul-tenggelam di tengah lebatnya pepohonan. Malam yang dingin tak memperlambatnya. Kabut yang perlahan turun dari arah gunung sia-sia saja coba membuatnya urung. Tekadnya bulat. Bu Norma harus dia dapat.

Berbekal percaya pada Ustazah Nuzula yang secara implisit memberitahu bahwa Bu Norma masih hidup dan butuh pertolongannya, Gagah letakkan satu kakinya di depan kaki yang lain dan begitu seterusnya. Tidak ada kata mundur. Tidak dia kasih kendur. Bahkan jika harus sampai pagi dia lembur.

Kepercayaan diri Gagah sedang tinggi. Andaikata dia sekarang sedang jalan-jalan saja di bawah kanopi rimba yang menyembunyikan angkasa dari pandangannya dan bukan sedang dalam misi suci membawa Bu Norma kembali, dia masih akan melangkah dengan mantap. Dengan penuh kalkulasi. Mencelakai diri sendiri adalah hal terakhir yang pria seberpengalaman dirinya akan lakukan. Sayangnya, hari sial tidak ada di tanggalan. Bahkan tupai yang paling lihai bisa terpeleset juga.

Dan seperti si tupai bernasib sial, raksasa itu temukan dirinya tersesat. Di mana timur dan barat? Yang mana selatan? Di situ Utara? Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, dia merasa sedang berada di tempat asing. Yang mustahil sebab dia mengenal baik hutan yang menyembunyikan pondok dari manusia. Sebaik dia mengenali garis-garis tangannya. Juga siluet ramping Ustazah Nuzula yang tahu-tahu saja dia jumpai di antara pepohonan.

Wanita itu sendirian. Dia berdiri menyamping dari raksasa kita. Wajahnya tersembunyi di balik jilbabnya. Jilbab yang sama dengan yang Gagah lihat di dalam mimpinya. Dalam senyap, sosok pengajar itu mengundang Gagah agar ikut. Agar mengejarnya.

Sekiranya sejam berselang, Gagah sadari dia berada di muka sebuah gua. Lain dengan gua yang di belakang pondok, yang satu ini padasnya dari batuan kapur. Langit-langitnya tinggi sekali. Ada suara samar gemericik air dari dalamnya. Di bibir gua, Gagah kumpulkan keberaniannya. Ya, dia yang raksasa, kali ini takut luar biasa. Badannya merinding. Rasanya seperti berdiri di tepi tebing.

Jika bukan karena dituntun Ustazah Nuzula, sudah pasti dia akan menunggu pagi sebelum berpikir dua kali untuk sendirian memasuki gua yang dia baru sekali jumpai.

Dengan kata-kata Ustazah Nuzula menggema dalam benaknya, Gagah pun mempersilakan dirinya sendiri masuk. Cahaya senternya mulai meredup sejak sepuluh menit terakhir. Dia harus ekstra hati-hati menuruni jalan masuk ke perut gua itu. Di ujung jalan, dia temui lagi sosok mendiang gurunya. Wanita itu kini berdiri menghadapnya. Reaksi pertama Gagah adalah ingin menubruknya. Memeluknya.
Sial, sebuah telaga kecil mencegahnya.

Tanpa melalui kata-kata, Ustazah Nuzula memberitahu Gagah bahwa dia sedang mengambang di atas jalan menemukan Bu Norma. Penasaran, raksasa itu pandangi permukaan telaga. Biru. Biru sekali. Bahkan sesudah senternya padam, biru itu masih bisa dia saksikan dalam gelap.
"Aku... harus nyebur ke sini?"

Ustazah Nuzula mengangguk, tersenyum, melayang ke arah Gagah, membelai dagu si pria, mengecup bibirnya, sebelum pudar dan sirna dari mata. Dengan dada berdebar, proa berambut gondrong itu menghela napas panjang. Walau kini dia kembali sendiri, dia punya firasat mantan gurunya masih mengawasi.

Takut akan mengecewakan wanita itu, Gagah telanjangi diri hingga hanya tersisa celana dalam. Sebuah batu kemudian dia pungut dari dekat-dekat situ untuk lalu dilemparkan ke air. Dia simak suara permukaan air dipecah batu yang kemudian tenggelam ke dasar. Tidak dalam, sepertinya. Guna memastikan semuanya aman, dia menunggu hingga hanya deru napasnya yang dia bisa dengar. Setelahnya, dia menelan ludah dan mencelupkan satu kaki ke air. Dingin.

Dengan gigi bergemeretak, Gagah pun masuk ke air. Dia berenang setengah berjalan ke tengah. Garis air hanya mencapai dadanya di sana. Dia mengedarkan pandang. Gelap. Dia butuh lebih banyak cahaya guna— Apa itu tadi? Sesuatu baru saja menyentuh kakinya? Ikan? Ular? Ah! Lagi! Gagah mengepalkan tangan, bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Saat itulah tiba-tiba dasar telaga runtuh dan Gagah tersedot ke bawah.

~bersambung
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd