BrownBunny1998
Adik Semprot
Bunga namaku, baru menikah tiga tahun di usia sembilan belas tahun. Dahulu aku seorang fotomodel, sekarang hanya Ibu rumah tangga yang mengharap momongan.
Suamiku Heru mandul. Aku membawa sample-nya ke dokter dan dokter bilang begitu. Hatiku remuk seketika mendengar hal itu. Heru suami baik, dia pekerja keras, tidak ada alasanku untuk membencinya, tidak. Karena itu pula aku tak sanggup memberitahunya tentang kebenaran. Biarlah seorang wanita menyimpan semuanya.
Semua berubah sore itu.
"Bunga, hari ini Angga akan menumpang disini, bersama kita. Dia sedang ikut test menjadi Abri."
Angga, cepak, tinggi, dan ketika menjabat tanganku jempolnya besar. Membuat dadaku berdebar. Angin hangat apa yang membuat jiwaku berdesir? Sorot matanya? Atau aroma maskulin itu?
Tiada yang berarti beberapa hari setelah kedatangan Angga. Dia rajin jogging, berolahraga, dan aku sebagai ibu rumah tangga memperlakukannya dengan baik. Memberi makan dan menyiapkan segala kebutuhannya.
Pagi itu setelah Mas Heru pergi, semua berubah. Angga sedang memakai barble di belakang rumah. Tidak seperti biasa dia telanjang dada.
Bidang dadanya, kotak-kotak perutnya. Aku yang sedang memasak gagal fokus hingga pisau mengiris secuil daging telunjuk. Seoertinya jeritku membuat Angga khawatir. Dia mendekatiku dengan wajah cemas.
"Kenapa, Mbak?"
"Gak apa." Aku langsung kabur mengambil P3K di kamar mandi. Aku tak tahu jika dia mengikuti dan masih khawatir dengan jariku.
Dia memaksa mengobati jari itu. Seketika mata kami bertemu dan semua terjadi.
"Mbak, sebenarnya Aku menyukai Mbak semenjak kali bertemu."
Aku ... aku harus apa? Dia adik suamiku, tapi--
Angga lanjut bicara, "Maaf, aku gak sengaja baca hasil test yang Mbak sembunyikan di atas lemari gudang. Mas Heru mandul dan Ibuku menginginkan cucu."
Deg. Jantungku berhenti berdetak. "Terus?"
Dia tidak menjawab, tapi perlahan jempolnya menyentuh bibirku, mengusap pelan di sana. Jemlol asin yang besar.
Aku membuang muka, tapi dia membimbing daguku untuk mendongak meratapnya.
"Aku bisa membantu Mbak punya anak."
Suamiku Heru mandul. Aku membawa sample-nya ke dokter dan dokter bilang begitu. Hatiku remuk seketika mendengar hal itu. Heru suami baik, dia pekerja keras, tidak ada alasanku untuk membencinya, tidak. Karena itu pula aku tak sanggup memberitahunya tentang kebenaran. Biarlah seorang wanita menyimpan semuanya.
Semua berubah sore itu.
"Bunga, hari ini Angga akan menumpang disini, bersama kita. Dia sedang ikut test menjadi Abri."
Angga, cepak, tinggi, dan ketika menjabat tanganku jempolnya besar. Membuat dadaku berdebar. Angin hangat apa yang membuat jiwaku berdesir? Sorot matanya? Atau aroma maskulin itu?
Tiada yang berarti beberapa hari setelah kedatangan Angga. Dia rajin jogging, berolahraga, dan aku sebagai ibu rumah tangga memperlakukannya dengan baik. Memberi makan dan menyiapkan segala kebutuhannya.
Pagi itu setelah Mas Heru pergi, semua berubah. Angga sedang memakai barble di belakang rumah. Tidak seperti biasa dia telanjang dada.
Bidang dadanya, kotak-kotak perutnya. Aku yang sedang memasak gagal fokus hingga pisau mengiris secuil daging telunjuk. Seoertinya jeritku membuat Angga khawatir. Dia mendekatiku dengan wajah cemas.
"Kenapa, Mbak?"
"Gak apa." Aku langsung kabur mengambil P3K di kamar mandi. Aku tak tahu jika dia mengikuti dan masih khawatir dengan jariku.
Dia memaksa mengobati jari itu. Seketika mata kami bertemu dan semua terjadi.
"Mbak, sebenarnya Aku menyukai Mbak semenjak kali bertemu."
Aku ... aku harus apa? Dia adik suamiku, tapi--
Angga lanjut bicara, "Maaf, aku gak sengaja baca hasil test yang Mbak sembunyikan di atas lemari gudang. Mas Heru mandul dan Ibuku menginginkan cucu."
Deg. Jantungku berhenti berdetak. "Terus?"
Dia tidak menjawab, tapi perlahan jempolnya menyentuh bibirku, mengusap pelan di sana. Jemlol asin yang besar.
Aku membuang muka, tapi dia membimbing daguku untuk mendongak meratapnya.
"Aku bisa membantu Mbak punya anak."