Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Sugeng enjing sederek2. Kulo nyuwun pangapunten, samenika sampun dangu dereng update.
Amargi kathah nyambut, sing ingkang mboten saget ditinggalne. Maklum, kula sakmenika cuma tiyang rakyat jelata, ingkang kudu golek penggawean. Damel konek dateng mriki mawon taksih butuh quota data.
Menawi panjenengan mboten keberatan, sumonggo kirimi kulo sak ikhlase dateng trakteer. Panjenengan goleki mawon akun wayangkulit.

Nggih, sampun. Nek sampun donasi, kulo update bab terbaru Bude dateng andap.

===== TRANSLATE INDONESIA =====

Selamat pagi kawan-kawan. Saya mohon maaf (mumpung masih nuansa lebaran) sudah lama tidak update.
Sebab, banyak sekali urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Maklum orang-orang kere seperti saya ini harus cari kerjaan ke sana-kemari. Buat koneksi aja juga butuh quota data.
Kalau ada yang tidak keberatan, bisa dosan seikhlasnya ke trakteer[dot]id. Cari saja akun @wayangkulit di sana.

Sudah? Kalau sudah donasi, maka bab terbaru Bude ada di bawah.
 
Bagian 18

Pagi itu rumah heboh. Bukan tanpa alasan, sebab Selly tidak ada di kamarnya. Hal itu bermula dari Bude yang memeriksa kamarnya. Kosong. Tak ada jejaknya. Semuanya bingung, karena tak ada pesan tak ada pemberitahuan sebelumnya.

“Keman kira-kira Selly?” tanya Dewa.

“Ponselnya nggak bisa dihubungi pula,” ucapku sambil berkali-kali memeriksa panggilan di ponsel yang tidak terangkat.

“Apa dia pulang?”

“Tidak mungkin, barang-barangnya masih di kamar tuh,” jawabku.

“Kita cari saja, takutnya tersesat,” usul Dewa, “lagipula, mana dia paham daerah sini?”

Aku pun setuju. Dewa dan aku berencana untuk mengatur pencarian, kami berpencar untuk bisa menemukan Selly. Sebenarnya, tidak ada di benakku terbersit pikiran untuk mencari di daerah petilasan. Akhirya, diputuskanlah pagi itu aku dan Dewa mencari keberadaan Selly, tentunya minta izin dulu ke Bude dan Pakde.

“Percuma mencarinya, Selly sudah tidak ada di sini,” bisik Bude kepadaku sebelum berangkat.

“Maksud Bude?”

“Gun, ayo!?” ajak Dewa yang sudah berada di luar.

Namun, tidak ada satu kata pun keluar dari mulut Bude untuk menjelaskannya. Mungkin ada Pakde di situ, sehingga Bude tidak bisa menjelaskan hal tersebut.

“Hati-hati, jangan sampai ke tempat petilasan. Itu daerah terlarang!” ucap Pakde.

Aku dan Dewa saling berpandangan. Hal itu justru membuat kami makin penasaran, bagaimana kalau Selly ternyata memang berada di tempat tersebut?

Tanpa berpikir panjang lagi, aku dan Dewa segera mencari. Aku menyisir ke arah barat, Dewa ke arah timur, lebih tepatnya memutar dari arah rumah Bude secara berlawanan arah. Kami sepakat untuk nantinya ketemu di sendang.

Aku menyusuri jalanan, hingga ke pesawahan, tidak kutemukan keberadaan Selly. Orang-orang desa yang berpapasan denganku juga tak luput dari pertanyaanku. Tak ada satupun dari mereka yang mengetahui keberadaan Selly. Cukup lama aku memutari desa hingga akhirnya bertemu lagi dengan Dewa di Sendang.

“Ketemu?” tanyaku.

“Nggak ada. Semua yang aku jumpai juga aku tanyai tidak ada yang tahu,” jawab Dewa.

“Hanya satu tempat yang belum kita cari,” ucapku.

“Petilasan?” tanya Dewa.

Aku mengangguk. Sayangnya orang-orang begitu menghormati tempat itu, bahkan dianggap keramat. Satu hal yang pasti, di sana ada Luh Geni. Aku tidak mungkin mengkonfrontasi dia sekarang. Terlebih lagi bisa saja dia tahu kalau aku adalah reinkarnasi dari Pangeran Rakai Dharma Tirta.

“Kita sebaiknya kembali dan tanya kepada Bude apa yang haarus kita lakukan,” kataku.

“Tidak bisa,” ucap Dewa, “kita harus cari Selly sampai ketemu. Dia tanggung jawabku, Nyet. Kalau sampai dia kenapa-napa, aku yang tanggung jawab. Peduli amat kau sudah putus ama dia atau tidak. Hanya saja, aku tak mau dia kenapa-napa. Dia masih teman kita.”

Benar apa yang dikatakan oleh Dewa. Namu, kalau aku bertemu dengan Ki Ageng alias Luh Geni, aku tidak bisa berbuat banyak. Aku pun bimbang.

“Tapi tempat itu berbahaya,” kataku.

“Sejak kapan kau takut? Kau balap liar saja nggak tahu, hantu saja kau pukul, masa’ dengan mitos saja takut?”

“Bukan begitu masalahnya. Perasaanku tidak enak,” kataku.

“Halah, kalau kau tak mau. Aku sendiri saja yang kesana,” kata Dewa.

“Emang kau tahu tempatnya?”

Dewa menggeleng. “Makanya bantu. Kalau kau tak mau masuk, setidaknya antar aku kesana.”

Rasanya ingin aku berteriak, tapi percuma. Dewa orangnya setia kawan. Dia pasti akan nekad. Mau tak mau aku pun menurut. Biarlah apapun yang terjadi nanti.

“Oke. Kita ke sana. Tapi kita harus hati-hati. Di sana ada Ki Ageng. Sesepuh dan orang sakti di desa ini,” kataku.

“Sejak kapan kau percaya ama begituan?” ucap Dewa sinis.

Akhirnya aku dan Dewa berjalan menuju ke tempat petilasan. Tempat tersebut ada di daerah yang lebih tinggi dari yang lain. Di tengah jalan, kami bertemu dengan Nur. Gadis itu menaiki sepeda dan berhenti tepat di depan kami.

“Kalian mencari Selly?” tanyanya, “aku dengar dari orang tuaku.”

“Iya, dia ngilang, gara-gara kalian,” ucap Dewa.

Aku dan Nur berpandangan.

“Kalian mau cari kemana?” tanya Nur.

“Ke petilasan,” jawab Dewa.

“Jangan!” cegah Nur, “kalian tak tahu kalau itu tempat terlarang?”

“Tahu, tapi aku nekat. Selly tanggung jawabku. Kalau kalian tak mau masuk, setidaknya antarkan aku sampai ke sana!” ujar Dewa.

Nur mendesah. Dia sebenarnya ragu. Namun, dari lubuk hatinya yang paling dalam dia tahu kalau ini juga salah satu kesalahannya. Dia dan Guntur sudah menjalin hubungan asmara, hal ini mengakibatkan Selly cemburu. Mau tak mau dia harus ikut membantu untuk mencari keberadaan Selly.

“Baiklah, kalian mau ke sana, aku akan ikut,” ujar Nur.

“Kau tak perlu ikut. Berbahaya!” cegahku.

“Tidak, aku tetap akan ikut,” ujar Nur bersikeras.

Aku pun mengangkat bahu. Menyerah. Dua temanku ini memang tak bisa dicegah. Alhasil, kami bertiga menuju ke petilasan tersebut.

Jalanan aspal mulai menghilang, diganti dengan jalanan berkerikil. Petilasan itu dintandai dengan gapura batu berlumut. Ada anak tangga yang menanjak tinggi sebelum masuk ke sana. Dewa mengernyitkan dahi, sambil mengamati sekitar. Dia menunjuk ke sebuah jejak yang ada di awal anak tangga. Jejak sepatu.

“Apa aku bilang,” ucap Dewa sambil menunjuk ke jejak sepatu tersebut.

Di antara kami, hanya Selly yang selalu pakai sepatu. Dan jelas sekali itu jejak kakinya. Berarti benar sekali kalau Selly masuk ke sini. Tapi buat apa? Kenapa dia harus masuk ke sini? Dan apa yang ingin dia cari di tempat ini?

Dewa berjalan menaiki tangga. “Kalian silakan kembali kalau mau, aku tetap lanjut.”

Aku dan Nur berpandangan. Akhirnya, mau tak mau kami mengikuti Dewa, sedangkan Nur terlebih dulu menaruh sepedanya di sebelah gapura. Anak tangga menanjak itu mulai menguras napas kami setelah makin lama kami naiki. Udara makin menipis, pertanda kami sudah berada di daerah yang tinggi.

Matahari sudah meninggi, tetapi sinarnya terhalang awan. Mendung mulai menyelimuti daerah tersebut. Angin berbisik mengiring hawa dingin yang membuat bulu kuduk berdiri. Suara tiupan dari pepohonan bambu seperti sebuah sirine panjang tanpa jeda saat angin menggerakkan tanaman tersebut. Kami sudah sampai di atas, tempat dimana ada patung-patung kecil dan patung besar, seperti yang pernah aku lihat sebelumnya.

“Sudah lama aku tidak ke tempat ini,” bisik Nur.

Aroma dupa dan kemenyan langsung menyeruak ke hidung kami. Bukan hanya itu, wewangian dari minyak dan bunga setaman membuat bulu kuduk makin meremang. Kami seolah-olah masuk ke dunia lain. Instingku mengatakan kalau seharusnya kami tidak ke tempat ini.

Ingatanku tentang kehidupanku sebelumnya kembali lagi hadir. Patung Sang Pangeran, kenapa ada di sini? Dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh Luh Geni di tempat ini. Kalau dia ingin hidup abadi, bukankah dia sudah hidup sampai sekarang? Apa yang sebenarnya dia inginkan?

“Sel? Selly?!” panggil Dewa dengan suara tinggi.

Angin yang tadi bertiup tiba-tiba berhenti begitu saja. Binatang-binatang seperti tonggeret yang tadinya berbunyi tiba-tiba diam. Seolah-olah keberadaan mereka terusik oleh suara Dewa.

“Sssshhh! Jangan teriak!” ucap Nur.

“Peduli amat, yang penting Selly ketemu,” ucap Dewa. “Sel?! SELLY!”

Dewa tak menggubris ucapan Nur. Aku sendiri tak tahu pantangan apa saja yang ada di petilasan ini. Namun, yang jelas penduduk di desa ini sangat menghormati tempat ini.

“Jangan teriak-teriak. Ini tempat peristirahatan terakhir Pangeran Rakai Dharma Tirta. Kalau kau teriak, bakalan kena tulahnya,” ucap Nur yang ketakutan.

Hei, aku ada di sini. Tidak mungkin ada Pangeran yang lain, ucapku dalam hati.

Dewa tak peduli. Dia terus berjalan dengan diikuti oleh kami hingga sampai ke depan sebuah gubuk. Aku tahu itu adalah tempat tinggalnya Ki Ageng yang menjadi juru kunci tempat ini. Dewa menoleh kepadaku. Matanya tampak menatapku tajam. Bukan, bukan ke arahku, lebih tepatnya ke belakangku.

Belum sempat aku berbalik dan menyadari ada orang di belakangku, tiba-tiba saja pundakku ditepuk, tubuhku terasa berat hingga aku tersungkur. Aku tak bisa bergerak, tetapi mataku masih bisa melihat dan melirik. Aku mencoba berteriak, tetap saja tak bisa. Nur juga sama. Dia tersungkur seperti aku. Kami saling menatap satu sama lain.

Ternyata ada Ki Ageng di belakangku. Dan entah ilmu apa yang digunakannya sehingga aku dan Nur tak bisa bergerak.

“Bangsat! Kau apakan temenku?” umpat Dewa.

Aku tak bisa melihat Dewa diapakan oleh Ki Ageng, tetapi setelah itu tak ada suara. Dewa sepertinya bernasib sama seperti aku. Kami semua diam tak bergerak. Apakah ini ajian sirep? Kalau memang benar, ini sirep yang sangat kuat, sampai-sampai aku tak bisa bergerak sama sekali.

Terdengar seperti benda diseret, sepertinya Dewa sedang diseret oleh Ki Ageng ke suatu tempat. Tak lama kemudian, giliran Nur. Aku melirik ke wajah Ki Ageng. Wajahnya berbeda. Kali ini aku bisa melihat wajahnya sangat keriput dengan beberapa kutil tampak di beberapa titik di wajahnya. Ini bukan Ki Ageng yang kukenal. Wajahnya sangat berbeda.

Tiba giliranku yang diseret, kali ini Ki Ageng bersenandung. Bukan bahasa Jawa, melainkan bahasa yang tidak pernah aku mengerti. Seperti bahasa Kawi atau bahasa Sansekerta. Aku diseret hingga memasuki gubuknya. Di dalam gubuk tersebut, ternyata ruangannya cukup luas. Ada banyak ornamen dan peralatan-peralatan aneh yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Di dinding yang terbuat dari kayu tersebut ada beberapa pajangan senjata, dari keris, tombak dan perisai. Di sudut ruangan ada sebuah baskom berisi air kembang. Kulirik ke arah lain, Dewa didudukkan ke sudut ruangan. Matanya melotot melirikku, sepertinya dia juga tak bisa bergerak. Nur juga didudukkan di sudut yang lain, tampak wajahnya sangat ketakutan. Dan yang membuatku lebih terkejut lagi adalah di tengah ruangan tersebut ada hal Selly.

Tubuh Selly nyaris telanjang dengan hanya menyisakan celana dalamnya. Payudaranya terlihat bebas, tubuhnya diletakkan di atas taburan bunga dikelilingi oleh lilin-lilin yang menyala. Matanya tertutup, mungkinkah dia pingsan atau tidur?

Satu hal yang pasti Ki Ageng pasti telah melakukan sesuatu kepadanya. Lalu, apa yang akan dia lakukan sekarang kepada kami? Apa maksud ini semua?

“Selamat datang, Pangeran. Sepertinya, kita tak perlu lagi berkenalan. Hari ini, ritual kebangkitan akan dimulai. Aku tak menyangka akan bertemu dengan pangeran lagi,” ucap Ki Ageng sambil terkekeh.

* * *

Bersambung =======
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd