Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG BULAN JINGGA

BAGIAN 4
CANDA SEMESTA



Kring, kring, kring, kring.

Suara Hpku berdering dan mengejutkanku dari tidurku. Kepalaku langsung terasa pusing dan kedua mataku yang terbuka langsung berkunang – kunang.

Kring, kring, kring, kring.

Hpku terus berdering dan aku langsung memejamkan kedua mataku dengan kuat, setelah itu aku menekan bola mataku yang tertutup, menggunakan jempol dan jari tengahku. Aku lalu membuka kedua mataku lagi dan pandangan mataku langsung berbayang, lalu perlahan mulai terlihat terang.

Kring, kring, kring, kring.

Aku melihat ke arah jam dinding yang menggantung di depan sana. Pukul delapan dan cahaya terang terlihat di jendela kamarku, yang hanya tertutup kain korden putih yang tipis. Rupanya aku lupa menurunkan kain tebal kordenku, sehingga cahaya matahari yang sangat terang itu menembus kaca jendela kamarku.

Semalam aku pulang dalam keadaan mabuk parah, jadi aku langsung tidur dan aku tidak melihat situasi kamarku lagi.

Kring, kring, kring, kring.

Hpku terus berdering dan aku langsung menoleh ke arah HP ku yang berada dimeja kecil disebelah kasurku.

Nama Bangke terlihat dilayar HPku dan aku langsung meraih Hpku, setelah itu aku menjawab panggilannya.

“Halo.” Ucapku dengan malasnya dan aku masih terlentang diatas Kasur empukku.

“Jam berapa ini Angga.? Masih molor aja kamu itu.” Omel Bang Kelvin.

“Ini hari libur Bangke.” Sahutku.

“Hari senin kok hari libur. Kurang ajar.” Omel Bang Kelvin lagi.

“Sudahlah Bang, jangan ngomel aja. Ada kabar apa ini.?” Tanyaku dan aku malas melanjutkan perdebatan yang tidak berguna ini.

“Iya, iya.” Ucap Bang Kelvin terpotong dan terdengar dia sedang menghisap rokokknya.

“Huuuuuu. Nanti malam kamu ada acara gak.?” Tanya Bang Kelvin


“Enggak padat sih. Aku cuman mau ngecek cafeku. Memang kenapa.?” Tanyaku balik

“Nanti malam ada ‘kerjaan’.” Jawab Bang Kelvin

“Kok mendadak.? Biasanya paling lambat satu minggu sebelumnya aku dikabari dan aku dikenalkan sama ‘konsumennya’ dulu.” Tanyaku.

“Dia ini orang kaya Ngga. Kesibukannya banyak, jadi kamu gak usah pakai acara perkenalan dulu. Langsung kelokasi aja nanti malam.” Jawab Bang Kelvin.

“Tapi Bang.” Ucapku terpotong.

“Kamu jangan kuatir. ‘konsumen’ kita malam ini pasti gak akan mengecewakan. Tapi,” Ucap Bang Kelvin dan dia menghentikan ucapannya.

“Tapi apa.?” Tanyaku yang penasaran.

“Mereka pasangan suami istri.” Jawab Bang Kelvin.

“Taik kamu Bang. Kejadian seminggu yang lalu aja masih buat kepalaku pusing. Ga usah diterima ajalah.” Ucapku menolak tawaran Bang Kelvin.

“Mereka ini pasangan yang santai Ngga. Tidak sekaku dan sepengecut Edi. Terima ajalah.” Rayu Bang Kelvin.

“Kenapa bukan Abang yang terima.? Aku risih kalau lagi main dilihatin suaminya. Sekarang itu aku mau nerima yang wajar – wajar aja, gak perlu fantasi yang terlalu aneh.” Ucapku yang tetap menolak tawaran Bang Kelvin.

“Mereka itu sama seperti aku, keturunan dari negeri panda. Mereka mencari yang lokal, makanya aku merekomendasikan kamu. Kalau seandainya bisa menggantikan kamu, aku pasti gak nolak.”

“Enggak.” Jawabku singkat.

“Pundi – pundinya lumayan loh.”

“Enggak.”

“Mereka pasangan muda dan istrinya cantik sekali loh.”

“Enggak Bangke.”

“Kalau kamu bisa memuaskan istrinya, bayaranmu 3 digit. Bisa itu buat beli scatter sampai dapat maxwin.”

“Ha, serius Bang.?” Tanyaku yang terkejut.

“Kapan aku bercanda masalah beginian sama kamu.?”

“Hehehe, jadi aku harus kemana dan jam berapa janjiannya.?”

“Kurang ajar. Semangat betul kamu dengar kata 3 digit.”

“Hehehe.” Dan aku hanya tertawa saja, karena baru sekali ini aku mendapatkan pundi – pundi yang begitu besarnya.

“Tapi kamu harus janji, jangan pakai perasaan.” Ucap Bang Kelvin mengejutkanku.

“Maksudnya Bang.?” Tanyaku.

“Kamu jangan pura – pura bego Angga. Kejadian seminggu yang lalu itu, bukan sepenuhnya kesalahan Edi dan istrinya. Kamu juga pasti ikut berperan, karena yang awalnya sudah bagus, tapi akhirannya harus berantakan.”

“Aku mengenalmu dengan baik dan tidak biasanya tugasmu berakhir dengan kekacauan. Bagaimana pun kondisi lawanmu ketika akan bermain, pasti setelah kamu menyelesaikan tugasmu, lawanmu akan berbahagia.”


“Ya mungkin aku masih canggung bermain dengan seorang wanita didepan suaminya sendiri. Apalagi Abang tau kalau Bang Edi itu kaku banget.”

“Itu bukan alasan yang tepat, bagi seorang Lingga Kukuh Nugraha yang sudah berpengalaman didunia perlendiran.”

“Kamu itu pemain dan kamu bisa membaca gerak – gerik lawan mainmu, sebelum permainan dimulai. Itu sebabnya semua lawanmu pasti takluk dan terpuaskan oleh permainanmu.”

“Tapi itu kalau kamu bermainnya dengan otakmu. Kalau kamu melibatkan perasaan, ya kacau hasilnya.”


“Terus bagaimana Bang.? Dibatalkan aja malam ini.? Kelihatannya aku gak bakat kalau main sama wanita didepan suaminya.”

“Kalau malam ini kamu pasti bisa menjadi dirimu seperti kemarin – kemarin, karena nanti malam wanitanya bukan Aulia Balqis Humaira.”

Aku tidak menjawab ucapan Bang Kelvin dan aku hanya bangkit dari tidurku. Aku duduk dipinggir spring bed dengan kaki yang menapak kelantai. Aku mengambil bungkusan rokokku, lalu aku mengambil sebatang dan membakarnya.

Hiuuffftt, huuuuu.

Aku menghisap rokokku dalam – dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Dia seperti kekasihmu ya.?” Tanya Bang Kelvin yang belum menutup telponnya.

“Siapa.?”

“Aulia Balqis Humaira.”

“Mba Lia.?”

“Mba Lia.? Tumben kamu manggil ‘pasien’ kita dengan sebutan manja gitu.? Berarti fix ya kalau dia itu mirip sama mantanmu. Hehehe.” Ucap Bang Kelvin yang diakhiri dengan tawa yang mengejek.

“Sok tau.” Jawabku singkat, lalu kembali aku menghisap rokokku.

“Stop meratapi masa lalu dan tidak usah mencemaskan masa depan. Bersantailah dan mari kita nikmati pagi ini dengan segelas kopi.” Tiba – tiba Bang Kelvin memberikan quote yang menjacokkan.

“Hahaha, taik.” Sahutku dan aku memang sudah bosan dengan quote – quote yang seperti ini.

“Sruuupppp.” Bang Kelvin tidak menyahut ucapanku dan terdengar dia sedang menyeruput minumannya.

“Sudah dulu Bang. Aku mau mandi.” Ucapku sambil berdiri.

“Ya. Nanti hubungi aku.” Ucap Bang Kelvin.

“Oke.” Sahutku lalu aku mematikan Hpku, setelah itu aku meletakannya diatas meja kecil disebelahku.

Kepalaku terasa agak pusing, mulut terasa asam, rokok terasa hambar dan tenggorokanku terasa kering kerontang.

Aku mematikan rokokku yang masih panjang, setelah itu aku melangkah ke arah kamar mandi.

Beberapa saat kemudian, setelah selesai mandi dan berpakaian, aku ambil helm full face dan juga hoodieku yang berwarna hitam. Dikarenakan malam ini ada acara dadakan yang istimewa, pagi ini aku ingin melihat – lihat café milikku yang sudah lama tidak aku tengok.

Setelah mengenakan hoodie dan juga helm full face, aku naik motor trailku dan aku menyalakannya.

BRUMMMM.

Aku memanaskan sejenak mesin motorku, sambil melihat ke arah mobil jeep rubicon peninggalan Ayahku, yang terparkir disebelah kananku.

Oh iya, aku tinggal diperumahan elit yang berada dipinggir kota. Kawasan yang kedepannya pasti akan berkembang dan perumahan disini harganya juga pasti akan semakin mahal.

Aku tinggal seorang diri dan aku sudah terbiasa dengan kesendirian.

BRUMMMM.

Aku tarik gas motorku dan perlahan sepeda motorku mulai melaju dengan kecepatan sedang dikawasan jalan perumahan.

TIN.

Aku bunyikan klakson ketika sampai di pos security dan seorang security yang berdiri didekat pos langsung memberi hormat.

“Siap bos.” Ucapnya ketika aku melewatinya dan dia mengucapkan itu sambil membungkukkan tubuhnya.

BRUMMMM.

Aku menarik gas motorku semakin cepat, ketika sudah dijalan utama. Jalanan tidak terlalu ramai dan aku semakin melajukan kecepatan motor trailku.

BRUMMMM, BRUMMMM, BRUMMMM.

Lalu beberapa saat kemudian.

CIITTT.

Aku menghentikan laju kendaraanku tepat didepan cafeku yang masih tutup.

SREK, SREK, SREK.

Kang Udin yang sedang menyapu halaman parkir pun langsung menghentikan kegiatannya.

“Halo Bos. Tumben pagi – pagi sudah kesini.” Ucap Kang Udin ketika aku sudah melepaskan helm full face ku, lalu dilanjut melepas hoodie ku.

“Kangen kamu kang.” Jawabku sambil merapikan rambutku yang agak berantakan. Aku berkaca dispion kanan dan aku menggantungkan helmku di stang kiri.

“Kangen saya atau Mba Nadia.?” Tanya Kang Udin lalu dia tersenyum dan kedua alis matanya dimainkan.

“Hahaha.” Akupun langsung tertawa dan aku turun dari trailku yang aku standarkan samping.

“Ada tuh orangnya didalam. Sendirian lagi.” Ucap Kang Udin yang membuatku terbengong sesaat.

“Emangnya kenapa kalau dia sendirian.?” Tanyaku sambil berjalan ke arah samping cafe, karena pintu depan masih tertutup.

“Ya gak apa – apa Bos. Biasanya kan Bos nagih laporan bulanan sama Mba Nadia.” Jawab Kang Udin.

“Oke.” Ucapku sambil mengacungkan jempolku dan aku terus berjalan ke arah pintu samping.

SREK, SREK, SREK.

Terdengar bunyi sapu yang digerakan oleh Kang Udin.

Oh iya. Cafeku ini tidak terlalu besar. Dengan ukuran tanah 25 x 20 meter, aku membangun bangunan utamanya 15 x 10 meter, sedangkan sisanya aku buat menjadi halaman dan juga parkiran. Dihalaman itu terdapat beberapa meja dan kursi yang dibuat café out dor.

Café ini lumayan ramai dan sudah berdiri sekitar 2 tahun.

Ceklek.

Aku membuka pintu samping dan setelah aku masuk, aku menutup lagi pintunya. Aku berjalan ke arah meja bar dan disana ada seorang wanita cantik yang sedang berdiri dan mengotak – atik computer dengan seriusnya.


Nadia Citra

Aku ambil bungkusan rokokku, lalu aku mengambil sebatang dan membakarnya.

“Hiufffttt, huuuu.” Aku menghisap dalam – dalam rokokku, lalu mengeluarkan asapnya perlahan.

“Hai Nad.” Sapaku kepada Nadia dan itu mengejutkannya.

“Loh Bos, kok pagi – pagi datangnya.? Katanya nanti malam.?” Tanyanya sambil menatapku.

“Memang gak boleh ya, kalau aku datang pagi – pagi.?” Tanyaku balik dan aku berjalan mengitari meja bar yang tingginya sekitar perut orang dewasa ini. Aku berjalan masuk ke area dalam ruangan, untuk mendekat ke arah Nadia.

“Ya gak apa – apa. Café – cafénya bos sendiri kok.” Jawab Nadia, lalu dia melanjutkan mengotak – atik computer dengan posisi berdiri.

“Semalam kok gak gabung sih.?” Tanyaku karena dia tidak ikut party disebuah club malam yang biasa kami lakukan beberapa kali dalam sebulan.

“Semalam pacarku datang bersama orang tuanya. Dia melamar aku.” Jawab Nadia sambil menoleh ke arahku dan dia menunjukan sebuah cincin yang melingkar dijari manisnya.

“Behhh. Selamat ya.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku dan berjalan mendekat ke arahnya.

“Makasih Bos.” Ucapnya lalu dia tersenyum, setelah itu dia melanjutkan mengotak – atik komputernya.

Aku menghentikan langkahku tepat dibelakang Nadia, lalu aku meletakkan rokokku diasbak yang posisinya tidak jauh dari computer.

Tangan kananku langsung menyelusup dibawah ketiak kanan Nadia, lalu aku meletakkan telapak tanganku di buah dadanya yang kanan.

“Jadi kita gak bisa main lagi ya.?” Tanyaku sambil meremas buah dada Nadia yang agak besar itu, dari luar kemeja ketat yang dipakainya. Aku bersuara pelan dan aku mendekatkan bibirku ditelinga kanannya.

“Ehemmm. Bos. Nanti kemeja Nadia kusut loh.” Jawab Nadia sambil menoleh ke arahku dan jarak bibir kami sangat dekat sekali. Hembusan nafas dari bibirnya yang sedikit terbuka, terasa sangat harum di tarikan nafasku.

“Bukan itu jawaban dari pertanyaanku tadi.” Ucapku sambil merapatkan selangkanganku di bokong semoknya yang masih tertutup celana kain yang sangat ketat sekali.

Tangan kiriku aku susupkan dibawah ketiak kirinya dan sekarang kedua tanganku sudah meremas kedua buah dadanya yang sangat kenyal itu.

“Hemmmm.” Desah Nadia, dengan kedua mata yang terpejam dan bibir bawah yang digigitnya pelan.

“Nad.” Panggilku dan kedua matanya langsung terbuka.

“Kita lihat nanti ya. Hemmm.” Jawab Nadia dengan tatapan mata yang sayu, karena remasanku tidak berhenti.

Cuuppp.

Aku kecup bibirnya pelan.

“Ya atau engga. Hanya itu jawabannya.” Ucapku sambil menatap matanya.

“Waktu kita tidak banyak. Dua jam lagi café akan buka dan sebentar lagi karyawan yang lain akan berdatangan.” Ucap Nadia dengan bibir yang bergetar.

“Memangnya kita mau ngapain.?” Tanyaku menggoda Nadia dan remasanku semakin kuat dibuah dadanya.

“Eheemmm, Lingga. Ayolahh.” Ucap Nadia dengan suara yang manja dan sekarang kepala belakangnya bersandar dibahuku.

“Ayo kemana Nad.?” Tanyaku dan Nadia langsung menepis kedua tanganku, lalu dia membalikan tubuhnya ke arahku dengan cepat.

Kedua tangannya langsung merangkul leherku dan bibirnya menyambar bibirku, lalu dia melumatnya.

CUUPPP, CUUPPP, CUUPPP.

“Muaacchhh.” Aku memundurkan kepalaku sampai lumatan kami terlepas.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi.” Ucapku yang terus mengejar jawaban dari Nadia dan sekarang kedua tanganganku meremas bokong semoknya.

Nadia menganguk pelan dan aku langsung memiringkan kepalaku sedikit kekanan, sambil melebarkan kelopak mataku. Aku tetap tidak puas jawaban dari Nadia, sebelum dia mengucapkannya langsung dari bibir seksinya.

“Iiiihhh. Iya, aku mau.” Rengeknya dengan manja.

CUUPPP.

Aku mengecup bibirnya pelan lalu aku menatap matanya lagi.

“Mau apa.?” Tanyaku lagi.

“Mau main lagi, walaupun aku sudah nikah. Puas.?” Ucap Nadia dengan mata yang sedikit melotot dan aku langsung tersenyum mendengarnya.

“Tapi ada syaratnya.” Ucapnya dan aku hanya menatapnya.

“Kalau kamu bisa buat aku squirt tiga kali sebelum orang - orang berdatangan, aku akan menuruti semua kemauanmu.” Ucapnya dan sekarang suaranya terdengar menggoda.

“Tapi ingat, kemejaku tidak boleh kamu buka.” Ucapnya dan kelemahannya itu berada diputingnya. Kalau main sambil memilintir atau mengemut puttingnya, sudah dipastikan dia akan mendapatkan squirtnya dengan cepat.

Sial. Rupanya dia mau menguji kemampuanku.

Oke. Aku pastikan sekarang, dia akan kelojotan dan lantai ini akan dipenuhi cairan kenikmatannya.

Akupun langsung melepaskan rangkulannya dileherku, lalu aku membalikan tubuhnya, sampai memunggungi aku lagi. Aku lalu mendorong pundaknya pelan dan kedua tangannya langsung bertumpu pada ujung meja bar.

“Semoga kamu gak menyesal dengan tantanganmu ini.” Ucapku sambil menarik pinggulnya sedikit kebelakang dan bokongnya semakin menungging kebelakang.

PLAKK.

“Uuuhhh. Lingga.” Ucapnya sambil menoleh ke arahku dan kedua matanya melotot, setelah aku menampar bokongnya dengan kuat.

“Sudah, jangan berisik. Kamu rese kalau lagi sange.” Ucapku sambil membungkukan tubuhku ke arahnya.

Aku meraih ikat pinggangnya, lalu aku membuka kancing celananya dan aku menurunkan resletingnya dengan cepat.

Srett.

Aku lalu menurunkan celananya sampai sebatas paha dan terlihat g stringnya berwarna merah muda yang menggoda.

“Cukup sampai disitu, aku tidak mau melepaskan celanaku.” Ucapnya dan itu pasti akan membuat gerakanku terbatas.

Gila nih cewe. Apa bisa aku membuatnya squirt tiga kali dengan keterbatasan gerak dan kedua buah dadanya tertutup pakaian lengkap.? Pasti bisalah. Kalau tidak bisa, jangan sebut namaku Lingga Kukuh Nugraha.

“Belum juga mulai, sudah basah aja nih.” Ucapku, ketika melihat bagian tengah g string yang dipakainya sudah basah.

“Memangnya kenapa.? Bukannya itu malah membantumu ya.?” Tanyanya sambil menggoyangkan pinggulnya kekanan dan kekiri. Dia mencoba menutupi kesangeannya di hadapanku dan aku hanya tersenyum sambil menggeser g stringnya kekanan, lalu aku meletakkan jari tengahku di tengah bibir vaginanya.

“Gak pakai jari. Aku bukan perempuan baru yang mudah kamu permainkan dengan permainan jari nakalmu itu. Satu lagi, gak pakai mulut.” Ucapnya dan itu semakin mempersempit caraku untuk menaklukannya.

Cok. Kalau aku menggunakan jariku serta mulutku, setidaknya dia akan squirt satu kali dan aku tinggal menyelesaikan sisanya dengan batang kemaluanku yang perkasa ini. Tapi kelihatannya dia benar – benar menguji kemampuanku. Bajingan.

“Kamu mulai ragu ya.? Hihihi.” Ucap Nadia, lalu dia tertawa pelan.

“Berisik.” Ucapku lalu aku menurunkan g stringnya sampai mengenai celananya yang terturun dipaha.

“Hihihi.” Kembali dia tertawa, lalu dia memalingkan wajahnya dan melihat ke arah pintu café yang masih tertutup.

Akupun langsung membuka celanaku dan menurunkannya sebatas paha, beserta CD ku.

Aku buka bongkahan bokongnya menggunakan kedua telapak tanganku dan terlihat lubang dubur yang kecoklatan serta vaginanya yang merah merekah.

Vaginanya yang merah itu tampak membasah dan aku langsung mengarahkan ujung kepala batangku tepat ditengahnya.

“Uhhhhh.” Desah Nadia ketika kepala batangku mulai membelah vaginanya.

Vaginanya terasa berkedut, tapi aku tidak melanjutkan dorongan pinggulku. Aku menggesekkan kepala batangku keatas, sampai menyentuh lubang duburnya, lalu menekannya sedikit.

“Lingga.” Panggil Nadia dan kembali dia menoleh ke arahku.

Akupun tidak menghiraukannya. Aku menggesekan ujung batangku kebawah lagi sampai menyentuh bagian tengah vaginanya, lalu aku menggeseknya keatas lagi sampai kelubang duburnya.

Ujung kepala batangku yang mulai basah karena terkena cairan vagina Nadia, aku tekan sedikit masuk kedalam duburnya.

“Uhhhh. Jangan ya Lingga, jangan. Aku gak suka kalau kemaluanmu masuk disitu.” Ucap Nadia dan wajahnya memerah, karena sensasi gesekan kepala batangku di vaginanya dan juga lubang duburnya. Pinggulnya dimajukan, tapi aku menahannya agar tidak bergerak.

Akupun langsung tersenyum lalu aku menggesekkan kepala batangku lagi kebawah, sampai menyentuh bibir vaginanya. Pinggul Nadia bergoyang dan vaginanya seolah mencari kepala batangku.

“Setelah aku menaklukanmu hari ini, lubang ini harus kamu serahkan kepadaku.” Ucapku sambil menghindari vagina Nadia dan ujung batangku sekarang berada di lubang dubur Nadia lagi.

“Jangan ge er. kamu pasti tidak sanggup menaklukan aku.” Ucap Nadia dengan pedenya.

“Hahaha. Sudahlah. Yang penting jaga lubang ini baik – baik dan jangan sampai ada yang menjamahnya. Aku akan mengambilnya suatu saat nanti dan kamu harus merelakannya untukku.” Ucapku dan sekarang kepala batangku aku gesekken turun kebawah.

Vaginanya benar – benar basah dan kelihatannya vagina itu sudah tidak sabar untuk aku jelajahi.

“Cepat masukin Lingga. Pliss.” Ucap Nadia yang masih menoleh ke arahku.

“Sudah gak sabar ya.?” Tanyaku sambil memutarkan kepala batangku disekitar bibir vaginanya.

“Lingga, sebentar lagi karyawan yang lain datang loh sayang.” Rengek Nadia dan aku ingin memacu birahinya setinggi mungkin, di situasi waktu yang mendesak ini.

Blesss.

Kepala batangku mulai masuk dan Nadia langsung memalingkan wajahnya ke arah depan lagi.

Breett, breett, breett.

Ujung kemaluanku semakin masuk menerobos vagina Nadia yang sempit itu dan sambutan remasan dinding vagina Nadia sangat memanjakan batang kemaluanku.

“Ahhhhhhh. Gila, kemaluanmu kok makin besar sih.?” Ucap Nadia sambil mencengkram ujung meja dan pinggulnya maju kedepan. Aku menundukkan tubuhku dan aku merangkul bawah perutnya, agar Nadia tidak terdorong kedepan.

Breett, breett, breett.

Kemaluanku semakin dalam dan remasan dinding vagina Nadia semakin terasa kuat. Ujung bagian dalam vaginanya juga seperti menyedot ujung batangku, agar lebih dalam lagi masuknya.

“AHHHHH, gila. Besar banget, ini lebih besar dari sebulan yang lalu Ngga. IHHHHH.” Racau Nadia dan kepalanya menggeleng kekanan dan kekiri.

“Njir. Kamu minum apasih Nad.? Kok memekmu rapat banget.? Uhhhhhh.” Ucapku sambil terus mendorong pinggulku kedalam, sampai ujung kepala batangku seperti menyentuh didinding rahimnya.

Kemalaunku telah tertanam seutuhnya dan aku mendiamkannya sejenak. Aku ingin merasakan pijat – pijatan dinding vagina Nadia dan aku ingin lubang sempit itu beradabtasi sejenak dengan kemaluanku, sebelum aku menggenjotnya.

“Uh, ah, uh, ah.” Nafas Nadia mulai memburu, padahal aku belum menggenjotnya.

“Bagaimana.? Sudah mau squirt.?” Tanyaku dan aku merasa pijatan dinding vagina Nadia semakin kuat dan cepat, lalu terasa seperti berkedut.

“Apa’an sih. Uhhhh.” Ucap Nadia yang terdengar sange dan juga malu.

Akupun langsung menundukan tubuhku, lalu meraih kedua buah dadanya, untuk aku jadikan tumpuan pegangan.

“Ingat perjanjiannya Ngga. Ihhhh.” Ucap Nadia sambil menepis tanganku dengan tangan kanannya, lalu dia berpegangan lagi dengan ujung meja.

“Kan dari luarnya aja Nad.” Ucapku dengan sedikit kesal.

“Sama aja itu.” Ucap Nadia dan aku merasa kedutannya mulai melemah.

Cok. Rupanya dia mengalihkan pikirannya dengan mengajakku mengobrol, agar dia tidak squirt. Apa gak tersiksa ya dia.? Bajingan.

Akupun langsung memundurkan pinggulku kebelakang, sampai batangku keluar setengah. Aku lalu menekannya sampai mentok lagi, setelah itu aku menariknya agak keluar, sampai menyisakan kepala kemaluanku. Aku lalu menekannya lagi kedalam dan aku melakukan gerakan - gerakan itu berulang.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Ah, uh, ah, uh.” Desah Nadia dan lubang vaginanya kembali berkedut, menerima gesekan batangku yang gerakannya melambat ini.

Plok, Plok, Plok, Plok.

Bunyi selangkanganku ketika menghantam bokong semok milik Nadia.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Ahh. Ahhh. Ahhhh. Gak kuat aku Ngga, gak kuat.” Ucap Nadia sambil menggelengkan kepalanya. Dia mengatakan itu sambil menunduk dan kedua tangannya mencengkram ujung meja.

Plok, Plok, Plok, Plok.

Aku mempercepat gerakanku dan tubuh kami berdua sudah dipenuhi keringat.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Ngga, uhhhh. Ngga, aku mau sampai.” Ucapnya dan sekarang kepalanya mendonga keatas.

Plok, Plok, Plok, Plok.

Aku mempercepat genjotanku dan cengkraman vaginanya makin kuat, di ikuti tubuhnya yang bergetar.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“AKU SAMPAI NGGA, AKU SAMPAI.” Suara Nadia terdengar keras dan aku langsung mendekap mulutnya dengan telapak tangan kananku.

“Hup, hup. Hup.” Desahnya yang tertahan, lalu dia memajukan pinggulnya sampai kemaluanku terlepas dari jepitan vaginanya.

Sreett. Srett, srettt. Serrrrrr.

“Ahhhhhhhhhh.” Desah Nadia yang panjang, bertepatan dengan air yang mengucur deras dari dalam vaginanya. Cairaan seperti air kencing itu membasahi celana nya yang tertahan dipahanya, begitu juga g stringnya. Kepalanya menunduk dan keningnya bersandar pada meja bar yang ada dihadapannya.

“Hu, hu, hu, hu, hu.” Nafasku memburu dan aku melihat pemandangan yang sangat erotis dihadapanku.

“Uh, uh, uh.” Nadia memaju mundurkan pinggulnya dan dia mengeluarkan sisa – sisa cairan kenikmatannya.

PLAKKK.

Aku tampar bokongnya yang semok, putih dan mulus itu dengan kuat. Kulit bokongnya langsung memerah dan mengecap lima jariku.

“Ahhhh, Lingga.” Rintih Nadia sambil menoleh ke arahku dengan tatapan mata yang sayu.

“1 – 0” Ucapku sambil tersenyum lalu aku mengarahkan ujung kapala batangku di bibir vagina Nadia.

“Sabar sayang, sabar. Mekiku masih ngilu.” Ucap Nadia yang menggoyangkan pinggulnya pelan, untuk menghindari ujung kemaluanku.

Aku sengaja melakukan ini untuk menggoda Nadia dan tidak mungkin juga aku langsung menggenjotnya. Aku pasti memberikan waktu untuknya beristirahat sejenak, sebelum ronde kedua dilanjutkan.

“Jadi Istirahat dulu nih.?” Tanyaku sambil menggesekan kepala batangku dibibir naginanya dan Nadia hanya memejamkan matanya sesaat, tanda kalau dia mengiyakan pertanyakanku.

Wajahnya yang menoleh ke arahku itu tidur diatas kedua lengannya yang saling bertumpu. Kedua mata yang sayu dan wajahnya yang memerah, membuatku semakin bernafsu untuk melanjutkan tantangannya.

“Istirahatnya berapa lama.?” Tanyaku sambil terus menggesek kemaluannya.

“Sebentar aja sayang. Hummmm.” Jawab Nadia, lalu dia mendesah dan diakhiri dengan menggigit bibir bawahnya.

“Kalau aku merokok sebatang, sudah pulih gak.?” Aku menggoda Nadia lagi dan bibir kemaluannya yang aku gesek ini mulai sedikit terbuka.

“Gak sampai selama itu sayang. Sebentar aja kok, pliss.” Jawabnya yang memelas, lalu dia menarik nafasnya dalam – dalam.

“Santai aja Nad. Aku siap menunggu kok. Atau dilanjut setelah makan siang.?” Tanyaku sambil memainkan kedua alis mataku.

“Kamu meremehkan aku ya Ngga.?” Tanya Nadia yang tiba – tiba mengangkat wajahnya yang bersandar pada kedua lengannya yang bertumpu.

Dia bangkit perlahan seperti singa betina dan tatapan matanya yang sayu juga mulai menajam ke arahku.

Kedua tangannya kembali bertumpu pada meja bar dan bokongnya sedikit ditunggingkan. Akupun memundurkan pinggulku, sampai ujung kemaluanku tidak menyentuh bibir kemaluan Nadia.

“Kita mulai lagi.” Ucap Nadia yang sudah bersiap untuk pertempuran selanjutnya dan aku bersiap mengarahkan ujung kemaluanku ke bagian tengah vagina Nadia.

“Tapi ada satu syarat lagi.” Ucap Nadia ketika kepala batangku sudah berada dibagian tengah kemaluannya dan bersiap menerobos lubang kenikmatannya. Dia menggoyangkan pinggulnya, agar kemaluannya terhindar dari kemaluanku.

“Syaratmu terlalu banyak, waktunya makin mepet.” Ucapku dan aku tidak memperdulikan ucapan Nadia.

Aku merangkul perut Nadia dengan tangan kiri dan menahannya dengan kuat, agar pinggulnya tidak bergerak lagi. Aku lalu menggenggam batang kemaluanku dengan tangan kanan, setelah itu aku mengarahkannya ke bibir kemaluan Nadia.

“No, no, no Lingga. Dengar dulu satu syarat dari aku.” Rengek Nadia ketika ujung kemaluanku berada tepat ditengah kemaluannya.

“Kamu itu rese kalau sange.” Ucapku lalu aku mendorong pinggulku dengan cepat.

Blesss.

Ujung batangku sedikit mudah menerobos vagina Nadia yang sangat basah itu.

“Lingga. Ahhhhhhhhh.” Ucap Nadia melotot dan diakhiri dengan desahan yang terdengar merdu.

Pinggulnya berusaha maju kedepan, tapi aku langsung menegakkan tubuhku dan kedua tangananku langsung mencengkram pinggul Nadia dengan kuat.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Jangan banyak bersuara lagi. Uh, uh, uh.” Ucapku sambil memulai genjotanku dengan kecepatan yang sedang.

“Ah, ah, ah.” Desah Nadia sambil terus menatapku.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Simpan energimu untuk squirt selanjutnya. uh, uh, uh.” Ucapku dan dia langsung melihat ke arah depan lagi.

Plok, Plok, Plok, Plok.

Disela pompaanku ini, terasa vagina bagian dalam Nadia seperti menyedot kepala kemalauanku dan didinding vaginanya meremas batang kemaluanku. Kedua bokongnya nya juga terlihat mengapit, sehingga membuat batangku didalam sana terasa semakin terjepit.

“Hahahaha. Kamu mau mengeluarkan jurus andalanmu ya.?” Tanyaku sambil tertawa dan aku sudah paham kempotan andalan Nadia ini. Aku semakin bersemangat menggenjotnya dan kempotannya itu sangat nikmat sekali.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Ah, ah, ah, ah.” Desah Nadia dan dia terus mengeluarkan jurus andalannya.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Simpan energymu Nad. Nanti kamu bisa pingsan dalam kenikmatan. Hahahaha. Uh, uh,uh.” Ucapku menggoda Nadia dan aku tau dia pasti tidak terima dengan ucapanku ini.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Ah, ah, ah, ah. Jangan ge er kamu Lingga. Setelah ini kita pasti sama sama meraih kenikmatan dan kamu pasti gagal menaklukan aku. Uh, uh, uh.” Ucap Nadia.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Ah, ah, ah. Tenanglah Man, setelah menikah aku akan menjadi milikmu seutuhnya. Ah, ah, ah. Aku pasti bisa mengalahkan bosku yang mesum ini. Ah, ah, ah.” Racau Nadia sambil menyebut nama kekasihnya. (Man = Firman. Nama kekasih Nadia)

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Hahahaha. Firman, kekasihmu aku genjot dan setelah menikah, dia pasti akan terus aku genjot. Hahahaha. Ah, ah, ah.” Ucapku yang terus menggoda Nadia.

Empotan Nadia semakin lama terasa semakin melemah dan mungkin dia sudah mulai lelah dengan genjotanku yang tidak berhenti ini.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Ah, ah, ah, ah.” Desah Nadia dan sekarang kepalanya mulai menunduk.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Firman, kekasihmu ketagihan kontolku. Ah, ah, ah, ah.” Ucapku dan Nadia langsung menggelengkan kepalanya pelan. Entah dia jengkel dengan ucapanku atau justru semakin terangsang, tapi yang jelas dinding vaginanya mulai berkedut dengan kencang.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Ah, ah, ah, ah. Aku mau sampai lagi Ngga.” Gumam Nadia dengan kepala yang tertunduk.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Firman. Uh, uh, uh. Kekasihmu mau squirt lagi. Hahaha. Uh, uh, uh.” Ucapku dan aku semakin mempercepat goyanganku.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Ah, ah, ah, ah, ah.” Desah Nadia dan kembali kepalanya menggeleng pelan dan kedutan didalam vaginanya semakin kuat.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Memek kekasihmu legit banget Man, legit banget. Uh, uh, uh.” Ucapku.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“AKU MAU KELUAR, LINGGA, AKU MAU KELUAR.” Nadia sedikit berteriak dan aku langsung membungkukan tubuhku, lalu tangan kananku mendekap mulut Nadia.

Aku tegakkan tubuhku dan aku juga menegakkan tubuh Nadia yang membungkuk dari tadi. Tangan kiriku menahan perutnya yang mengencang dan tangan kananku aku dekapkan dimulut Nadia. Kepalanya belakangnya aku sandarkan dibahuku, lalu wajahnya menoleh ke arahku dengan mulut yang tetap aku dekap.

Plok, Plok, Plok, Plok.

Aku semakin mempercepat goyanganku dan Nadia yang menatapku terlihat melotot.

“Hup, hup, hup.” Desahnya yang tertahan dan matanya yang melotot itu, menandakan kalau sedikit lagi dia akan orgasme yang kedua kalinya.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“ARGHHHHHH.” Desahnya dan tubuhnya tiba – tiba mengejang.

Akupun langsung mencabut kemaluanku, bertepatan dengan cairan yang keluar deras dari dalam kemaluan Nadia.

Sreett. Srett, srettt. Serrrrrr.

“ARGGHHHHH.” Desah Nadia dan kedua kakinya menjinjit. Bola matanya melirik ke atas dan meninggalkan warna putih saja. Kedua tangannya meremas celanaku dan dia benar – benar dikuasai kenikmatan.

Tubuhnya yang mengejang itu terdorong kebelakang dan aku menahannya sekuat tenaga, agar kami berdua tidak roboh kebelakang.

Aku lepaskan dekapanku dimulut Nadia, lalu aku menyumpalnya dengan bibirku.

CUUPPPP.

“Hep, hep, hep.” Desahnya disela lumatanku dan aku langsung menghisap bibirnya.

Cuppp, cuuppp, cuuppp.

Keringat mengalir deras dari keningnya dan aku mengusapnya dengan tangan kananku, sambil terus melumat bibirnya.

“MUACCHHHH.” Nadia melepaskan lumatanku dan nafasnya langsung memburu.

“Hu, hu, hu, hu. Kamu mau bunuh aku.? Hu, hu, hu, hu.” Tanya Nadia dengan diselingi nafasnya yang cepat.

“Bukan begitu, suaramu terlalu keras. Nanti kalau didengar Kang Udin bagaimana.? Hu, hu, hu, hu.” Ucapku sambil terus mengusap keningnya.

“Hu, hu, hu, hu.” Wajahnya terlihat sayu, rambutnya berantakan dan pakaiannya sangat basah oleh keringat.

“Hu, hu, hu, hu.” Nadia mencoba mengatur nafasnya dan dia mengalihkan pandangannya ke arah depan.

Kepala belakangnya tetap bersandar dipundakku dan pungungnya merapat didadaku. Posisi kami tetap berdiri dan tangan kiriku tetap merangkul perutnya.

“Hu, hu, hu, hu. Kamu pakai obat kuat ya.?” Tanya Nadia dan dia tidak melihat ke arahku.

“Enggaklah. Gila aja aku pakai yang begituan.” Ucapku dan sekarang tangan kananku mengusap pipinya dengan lembut.

“Terus kenapa kamu belum keluar.? Hu, hu, hu.” Tanya Nadia lagi.

“Gak tau.” Jawabku singkat dan terlihat dari ujung ekor mataku, ada sesworang mengintip dari arah pintu samping.

Aku lalu melihat ke arah pintu dan orang yang mengintip itu adalah Kang Udin. Melihat aku yang menatap ke arahnya, Kang Udin langsung menutup pintu samping dengan rapat dan entah kemana dia pergi.

“Bohong. Biasanya kalau aku keluar yang kedua kalinya, kamu juga pasti akan keluar. Kamu pasti pakai obat kuat kan.?” Tanya Nadia dan aku menoleh ke arahnya dan dia juga menoleh ke arahku.

“Enggak Nad, enggak.” Jawabku.

“Astaga, aku lupa. Kamu semalam mabuk kan.?” Tanya Nadia dan matanya yang sayu, perlahan mulai melebar.

“Iya. Hehehe.” Jawabku dan entah kenapa, kalau aku sudah mabuk atau esoknya setelah mabuk, cairan kenikmatanku pasti akan lama keluarnya.

“Duh. Ternyata aku salah memberi tantangan kepadamu. Aku memberi tantangan diwaktu yang tidak tepat.” Ucap Nadia dengan suara yang sangat kelelahan.

“Tapi kamu suka kan.?” Tanyaku.

“Apasih.” Ucapnya samil mendorong pipiku pelan.

“Sudah ah. Lanjut lagi ya.?” Ucapku.

“Cukup Ngga, cukup. Aku nyerah. Kamu menang kali ini.” Ucap Nadia dan dia sudah sangat letih sekali.

“Yaaa. Aku belum keluar.” Ucapku dan kedua tanganku sekarang berada dibuah dadanya dan dia tidak menepisnya.

“Pakai mulut aja ya.?” Ucap Nadia dengan wajah yang memelas.

“Enggak.” Ucapku singkat, karena jepitan vaginanya lebih mantap dari pada blowjobnya.

“Kalau kita lanjut disini, kamu pasti lama keluarnya. Aku capek berdiri Ngga.” Ucap Nadia.

“Oke, kita pindah ke kamar belakang ya.” Ucapku dan Nadia langsung mengangguk pelan.

Lalu tanpa berbasa - basi lagi, aku langsung menaikkan cd serta celanaku, lalu aku membopong tubuh Nadia.

“Hup.”

Tangan kananku berada dibawah bokongnya dan tangan kiriku menyelinap dibawah ketiak kanannya. Tangan kiri Nadia langsung menggelayut dileherku dan celana serta g stringnya belum aku naikkan.

Aku berjalan ke arah kamar yang biasa aku gunakan untuk beristirahat, ketika aku mengunjungi cafeku ini.

Klek.

Aku membuka pintu kamar, lalu setelah masuk aku menutup pintu kamar menggunakan tumit sepatuku.

Aku lalu meletakkan Nadia diatas Kasur, setelah itu aku berdiri dan berjalan ke arah pintu kamar.

“Panas banget yang.” Ucap Nadia ketika aku mengunci pintu kamar.

“Iya, ACnya belum nyala.” Ucapku sambil menyalakan AC, lalu berjalan ke arah Nadia.

“Bukain bajuku dong. Gerah banget ini.” Ucap Nadia dengan tatapan sayunya.

“Katanya gak boleh buka baju.” Ucapku menggoda Nadia dan aku duduk dipinggir Kasur.

“Aku sudah kalah yang, terus untuk apa persyaratan itu berlaku.” Ucap Nadia.

“Kan kurang satu kali lagi squirtnya.? Masa sudah ngaku kalah sih.?” Tanyaku sambil mencolek hidung Nadia.

“Kalau sudah masuk kamar begini, kamu pasti akan buat aku squirt lagi. Bukan sekali, tapi berkali – kali.” Ucap Nadia dengan pasrahnya.

“Kamu kelihatannya sudah capek. Tidur gih.” Ucapku sambil membelai lembut pipinya.

Tap.

Tangan kanan Nadia langsung mencengkram tangan kananku dan kedua matanya yang sayu, perlahan melotot ke arahku.

“Kamu meremehkan aku ya Ngga.?” Tanya Nadia dan tatapan matanya perlahan mulai terlihat buas.

“Hahaha. Memangnya kamu masih sanggup.” Ucapku yang kembali menggoda Nadia.

“Lingga.” Ucapnya dan tatapan matanya terlihat sangat serius sekali.

Nadia ini gak suka banget kalau kita meremehkannya dalam hal apapun. Dia itu aslinya jutek dan dingin dengan orang yang ada disekitarnya. Dia wanita pekerja keras dan hatinya juga keras. Entah kenapa dia bisa dekat dan takluk kepadaku, padahal aku bukan type perayu yang handal. Perkenalan kami mengalir begitu saja, sampai akhirnya dia bekerja dicafeku dan tentu saja tubuhnya juga ikut direlakan ketika aku berkunjung dicafe ini.

Cuuppp.

Aku mengecup bibirnya pelan, lalu aku menatap matanya dengan lembut. Aku membungkukan tubuhku dan wajah kami jaraknya sangat dekat sekali.

“Yakin kamu mau main lagi.? Nanti kamu kecapean, terus kamu sakit lagi.” Ucapku dan aku membelainya dengan sangat lembut.

“Tatapan matamu, perhatianmu dan perlakuanmu kepadaku, selalu saja membuatku melayang.” Ucap Nadia dengan bibir yang bergetar.

“Sudah, gak usah terlalu larut dengan perasaanmu. Nanti kamu gak jadi nikah loh.” Ucapku dan aku menegakkan tubuhku lagi.

“Tanggung jawablah. Kamu yang buat aku begini kok.” Ucap Nadia dengan entengnya.

“Kamu mau nikah sama aku.?” Tanyaku dan aku manatap matanya.

“Hihihi. Gak mau. Kontolmu ini masih liar dan suka mencari kehangatan dimemek yang lain.” Ucap Nadia dan tangan kanannya sekarang mengelus kemaluanku dari luar celanaku.

“Kalau aku menghentikan petualanganku dan fokusku hanya kepadamu bagaimana.?” Tanyaku menggoda Nadia.

“Aku mau menikah sama kamu, asalkan kamu mau menjadi suami kedua ku. Hihihi.” Jawab Nadia.

“Hahaha. Lebih baik kukawinin aja kamu, gak perlu kunikahi.” Ucapku sambil memencet hidungnya yang mancung.

“Ihhhh.” Ucap Nadia sambil menepis tanganku pelan.

“Jadi bagaimana.? Setelah kamu menikah, masih bisa kan kita main.?” Tanyaku.

“Kamu belum membuatku squirt tiga kali.” Jawab Nadia.

“Cok. Katanya kamu tadi sudah nyerah.” Ucapku.

“Itukan tadi, bukan sekarang.” Ucap Nadia dan wajahnya sudah tidak terlihat sayu seperti tadi.

“Oke, jangan salahkan aku kalau kamu kecanduan sodokanku setelah kamu nikah nanti.” Ucapku sambil mendekatkan wajahku ke arah Nadia dan Nadia langsung menahan bibirku dengan jari telunjuknya.

“Waktumu tidak banyak.” Ucap Nadia dan aku langsung berdiri.

Aku lalu membuka kaosku, setelah itu aku juga melepas celanaku sampai aku telanjang bulat dihadapannya. Aku membungkuan tubuhku, setelah itu aku meloloskan celana serta g stri nya sampai terlepas.

Nadia membuka satu persatu kancing kemejanya, setelah itu dia duduk perlahan, sambil meloloskan kemeja yang dikenakannya.

Nadia lalu mengarahkan kedua tangannya kebelakang, untuk melepaskan kaitan tali Bra nya.

Aku lalu mendekat ke arah Nadia dan aku menyodorkan kemaluanku tepat dimulutnya.

“Nakal, nakal, nakal.” Ucap Nadia sambil menunjuk kepala kemaluanku dengan tangan kanan, lalu digenggamnya batang kemaluanku yang menegang setengah itu.

“Slurrppp.” Nadia menjilati kepala batangku yang kering dan lengket, akibat cairan kenikmatannya yang belum aku cuci ini.

Diraihnya dua bijiku dengan tangan kiri, lalu diremasnya lembut dan diikuti kepala kemaluanku yang masuk kedalam mulutnya.

“Ahhhh.” Desahku, karena dia menghisap kepala kemaluanku dengan kuat. Batang kemaluanku dikocoknya dan keduaku bijiku juga diremasnya.

Serangannya yang bertubi – tubi ini membuat kemaluanku langsung tegak sempurna dan belum pernah aku merasakan blowjob senikmat ini dari mulut Nadia.

“Arrgghhh. Gila, kok makin mantap gitu hisapanmu Nad.?” Tanyaku dan Nadia langsung melepaskan hisapannya dikepala batangku.

“Kenapa.? Nikmat ya.?” Tanya Nadia sambil terus mengocok dan meremas kedua bijiku.

“Iya. Uhhhh.” Ucapku dan kocokan ditangan lembutnya ini juga sangat berbeda seperti biasanya.

“Katanya tadi gak mau aku kulum.?” Tanya Nadia menggoda, lalu kembali dia menghisap kepala batangku.

“Slurrppp.” Kepala batangku dihisapnya dengan kuat dan bagian ujungnya dimanjakan oleh sentuhan lidahnya didalam sana.

“Ahhhhh. Belajar dimana kamu Nad.?” Tanyaku sambil memegang kedua pipinya dan Nadia langsung melepaskan hisapannya dari kemaluanku.

Tangan kanannya dilepaskan dari genggaman dibatangku dan tangan kirinya yang meremas kedua bijiku juga dilepaskan. Kedua tangannya langsung menepis kedua tanganku yang memegang pipinya.

“Kalau aku bisa mengeluarkan air manimu didalam mulutku, berarti kamu kalah total Ngga.” Ucap Nadia sambil mendangakan kepalanya dan menatap mataku.

“Loh, kok gitu.? Bukannya tadi kamu sudah menyerah ya.?” Tanyaku yang mengulang pertanyaanku tadi.

“Ingat. Syaratnya itu harus tiga kali squirt.” Ucapnya dan kedua telapak tangannya langsung diletakkan diselanganku dengan posisi jari – jari yang terbuka.

“Kok syaratnya berlaku lagi.?” Tanyaku karena dia sendiri yang membatalkannya.

“Itu namanya politik bercinta sayang. Ingat, politik itu kejam. Sekarang bisa menjadi kawan, sedetik kemudian bisa menjadi lawan.” Ucap Nadia sambil menggaruk pelan selanganku. Bukan menggaruk sih, tapi lebih ke arah meraba dan agak kuat sedikit.

“Uhhhhhhh, jahat.” Ucapku dan tubuhku langsung merinding, menerima rangsangan dari Nadia ini.

“Aku akan menumpahkan semua air manimu dimulutku, dalam waktu dua menit. Kalau lebih dari itu, silahkan kamu menyetubuhi aku.” Ucap Nadia dengan tatapan yang mengoda dan rangasangan kedua tangannya sekarang mengarah dipaha bagian dalamku.

“Uhhhhh.” Tubuhku mengelinjang dan kemaluanku samakin menegang saja.

“Oke.” Ucapku dan kami berdua langsung reflek melihat ke arah jarum dinding yang ada disebah kananku.

Tap, tap, tap.

Jarum jam yang paling panjang menunjuk ke arah angka dua belas dan,

Blesss.

Kepala kemaluanku mulai masuk lagi kedalam mulut Nadia dan kedua tangannya terus memberi rangsangan di paha dalamku.

“Ahhhhhh.” Desahku.

Tap, tap, tap.

Detik terus berjalan dan aku yakin Nadia pasti akan gagal memuntahkan cairanku didalam mulutnya.

Tap, tap, tap.

Nadia terus memajukan mulutnya dan kemaluanku sekarang sudah masuk setengah di dalam mulut Nadia.

Gila. ini adalah waktu dimana kemaluanku masuk paling dalam di mulut Nadia, setelah berkali – kali dia menghisap kemaluanku selama aku mengenalnya. Biasanya hanya sebatas kepala kemaluanku atau paling dalam hanya seperempat saja. Tapi hari ini sangat berbeda dan Nadia kelihatannya sudah mempersiapkan semua ini hau – jauh hari.

Rasa isapan Nadia sangat luar biasa nikmat dan ternyata dia tidak berhenti sampai disetengah batang kemaluanku aja.

Tap, tap, tap.

Kepalanya terus maju dan sisa seperempat lagi, kemaluanku yang besar dan panjang ini akan masuk seutuhnya didalam mulut Nadia.

“Argghhhhh.” Desahku yang tertahan, karena kepala kemaluanku seperti masuk kedalam tenggorokannya.

Sensasinyapun sangat – sangat luar biasa dan sampai hari ini belum ada satu wanita pun mampu melakukan apa yang dilakukan Nadia. Biasanya hanya sampai setengah batang kemaluanku, para wanita itu akan langsung muntah dan nafasnya tersedak.

“Ahhhhh, cukup Nad, cukup. Nanti kamu kehabisan nafas.” Ucapku yang mencoba menahan kepala Nadia, dengan memegang rambutnya yang aku satukan seperti ekor kuda.

Kedua matanya berkaca – kaca dan urat – urat dikeningnya keluar seperti mau pecah.

“Cukup sayang, sukup.” Ucapku dan aku tidak ingin dia tersiksa.

Tapi bukan seorang Nadia yang mudah dihentikan, ketika dia sudah membulatkan sesuatu yang tekadkannya.

Kedua tangannya sekarang merangkul pinggulkuku dan mencengkram bokongku agak kuat.

Tap.

Dia menarik bokongku ke arahnya dengan kuat, sampai kemaluanku masuk seutuhnya didalam mulutnya.

“Hoirg.” Suara muntahannya terdengar tertahan dan matanya melotot.

Dia seperti ingin memuntahkan sesuatu dari dalam mulutnya, tapi dia menahannya sekuat tenaga. Dia juga menahan agar seluruh batang kemaluanku tetap didalam mulut serta tenggorokannya.

Aku yang tidak tega melihatnya tersiksa seperti itu, justru merasakan sensasi yang belum pernah aku rasakan. Ujung kemaluanku seperti disedot masuk kedalam tenggorokannya dan batang kemaluanku seperti diremas didalam sana.

Cairan maniku segera berkumpul di ujung batangku dan siap memuntahkannya didalam sana. Aku menahannya sekuat tenaga dan aku tidak boleh kalah dengan isapan Nadia.

Plop.

Toba – tiba Nadia memundurkan kepalanya dengan cepat, sampai seluruh kemaluanku terlepas dari mulutnya.

“Hoirg.” Nadia ingin memuntahkan sesuatu dari dalam mulutnya dan lagi - lagi dia menahannya. Air liur yang sangat banyak keluar dari dalam mulutnya dan itu bersamaan dengan air mata yang deras mengalir dipipinya.

“Ha, ha, ha, ha, ha.” Nafasnya memburu dan dia langsung melihat ke arah jam.

“Bodoh. Ha, ha, ha, ha. Padahal sedikit lagi. Ha, ha, ha, ha, aku pasti bisa mengeluarkan air manimu didalam mulutku. Ha, ha, ha.” Ucap Nadia dan memang sisa tiga puluh detik lagi, dua menit itu akan tercapai. Kalau seandainya Nadia bertahan lima belas detik saja, mungkin aku yang akan kalah didalam permainan yang sangat luar biasa ini.

“Kamu luar biasa sayang.” Ucapku sambil mengelus rambutnya dan Nadia langsung melihat ke arahku. Air matanya tidak berhenti menetes dan mulutnya yang terbuka itu belepotan oleh air liurnya sendiri.

Wajahnya terlihat sangat kecewa dan itulah seorang Nadia.

“Ha, ha, ha. Masih ada waktu dan aku pasti bisa membuatmu takluk. Ha, ha, ha, ha.” Ucap Nadia yang sepertinya belum mau menyerah.

Dicengkramnya lagi bokongku, lalu dimasukan batangku kedalam mulutnya. Kali ini dia melakukannya dengan kasar dan wajahnya terlihat sangat tersiksa.

Aku yang tidak tega melihat hal itu, langsung menghentikan permainannya ketika kemaluanku sudah setengah didalam mulut Nadia. Aku tarik rambut Nadia kebelakang sampai kemaluanku terlepas dari mulutnya, lalu aku mendorong pundaknya sampai dia terlentang dikasur. Kedua pahanya mengangkang lebar dan kedua kakinya menjuntai dilantai.

“Ha, ha, ha. Jahat, waktunya kan belum selesai.” Ucap Nadia yang mencoba bangkit lagi dan aku langsung menindih tubuhnya. Tubuhku berada tepat ditengah selangkangan Nadia yang mengangkang dan kedua tanganku langsung memegang kedua tangannya keatas.

“Kamu sudah bermain polotik denganku Nad. Ingat, politik itu kejam. Kawanmu bisa saja membatalkan keputusan yang sudah disepakati bersama, didetik – detik akhir penentuan. Itu akan menjadi keputusan yang diluar nalarmu dan sudah dipastikan kawanmu mengikrarkan permusuhan denganmu.” Ucapku sambil memainkan kedua alis mataku.

“Enggak, aku masih mau lanjut ngulum.” Ucap Nadia yang mencoba meronta dari cengkramanku ini, dengan lelehan air mata yang terus mengalir.

Nadia Citra.” Ucapku pelan, tapi dengan penekanan kata yang tegas dan itu sudah cukup untuk menenangkan dirinya yang seolah sedang menggila itu.

“Kamu kenapa.? Apa kamu ingin aku kalah, sampai kamu menyiksa dirimu sendiri.?” Tanyaku sambil menatap matanya dan dia hanya diam terpaku.

“Apa kamu tidak ingin aku menyentuhmu lagi, ketika kamu sudah menikah.?” Tanyaku dan dia langsung menggeleng pelan, dengan di iringi air mata yang semakin deras mengalir.

“Oke. Aku tidak akan menyentuhmu lagi, bahkan sebelum kamu nikah nanti.” Ucapku sambil melepaskan pegangan tanganku dikedua tangannya.

“Tapi aku mohon sayang. Jangan siksa dirimu sendiri.” Ucapku dan tangan kananku menyeka air matanya yang terus mengalir, sedangkan tangan kiriku aku gunakan sebagai tumpuan tubuhku yang membungkuk ini.

“Bu, bu, bukan itu maksudku sayang. Bukan. Aku hanya ingin memuaskan dirimu dengan cara yang berbeda.” Ucap Nadia dengan terbata dan kedua tangannya membelai kedua pipiku dengan lembut.

“Apa aku terlihat puas dengan permainanmu.?” Tanyaku.

“Iya. Kamu menikmatinya kan tadi.?” Tanya Nadia balik dan sifat keras kepalanya itu sangat sulit dilunakkan.

“Enggak.” Ucapku dan aku mencoba bangkit, tapi Nadia langsung mengunci pinggangku dengan kedua kakinya yang menyilang di bokongku.

“Jangan pergi. Kita belum selesai.” Ucap Nadia dan tubuhku yang tidak seimbang karena kunci kaki Nadia ini, langsung menindih tubuhnya.

“Nad, sudah cukup ya.” Ucapku dan aku mencoba bangkit lagi dengan bertumpu pada kedua telapak tanganku yang ada dikasur, lutut yang berada diujung Kasur dan kedua kaki yang menapak dilantai.

“Kamu belum keluar dan kita harus menyelesaikannya sekarang.” Ucap Nadia yang menguatkan kunciannya dipinggangku dan kedua tangan yang merangkul leherku.

“Cukup ya.” Ucapku singkat.

“Baiklah kalau itu maumu. Aku juga tidak mau melanjutkan permainan, kalau sudah tidak saling menikmati.” Ucap Nadia sambil melepaskan rangkulannya dileherku dan kunciannya dipinggangku.

Akupun langsung berdiri tegak dan aku langsung membalikan tubuhku. Nadia tetap tidur dikasur dan kakinya sekarang menapak diujung kasur.

“Lingga Kukuh Nugraha.” Ucap Nadia ketika aku akan melangkah kekamar mandi, yang ada didalam kamar ini.

Walaupun aku masih belum puas karena aku belum mengeluarkan cairan kenikmatanku, aku tidak mau melanjutkan karena suasananya sudah tidak mengenakkan.

“Kalau sampai kamu keluar kamar dalam keadaan seperti ini, aku akan pergi.” Ucap Nadia dan aku langsung menundukan kepalaku.

“Bukan hanya pergi dari café ini, tapi aku akan pergi dari hidupmu selamanya.” Ucap Nadia lagi dan aku langsung menggelengkan kepalaku pelan.

Perlahan aku membalikan tubuhku dan Nadia hanya menatapku dengan kedua paha yang mengangkang lebar, seperti mengundangku untuk menuntaskan permainan ini.

“Dasar keras kepala.” Gumamku dan Nadia langsung tersenyum dengan manjanya.

“Kamu gak mau menumpahkan cairan kenikmatanmu didalam sini.?” Tanya Nadia sambil membelai bagian tengah vaginanya yang basah.

Dia melakukan itu dengan gerakan yang sangat lambat dan itu sudah cukup bagiku, sebagai undangan untuk menikmati tubuhnya. Lirikannya yang menggoda itu pun tidak sanggup untuk aku abaikan, apalagi ditambah senyum manisnya, bisa gila aku kalau keluar dari kamar ini tanpa menumpahkan cairan kenikmatanku didalam sana.

“Jangan ada drama lagi.” Ucapku sambil memegang kedua lututnya yang tertekuk.

“Hihihi. Bukannya kamu yang mulai dramanya.” Sahut Nadia dan wajahnya itu benar – benar menggodaku.

“Diam. Kamu itu rese kalau sange.” Ucapku lalu aku meletakan lututku diujung Kasur, setelah itu memegang batang kemaluanku yang lengket, oleh air kenikmatan Nadia dan juga air liurnya yang menyatu.

“Hihihi.” Kembali tawa Nadia terdengar manja dan aku langsung membelai vaginanya dengan jari tengah kiriku.

“Ahhhh. Sini sayang, sini. Kamu rese kalau belum netek.” Ucap Nadia sambil merentangkan tangannya ke arahku.

Aku lalu merangkak ke arahnya, sambil mengarahkan ujung kemaluanku di tengah vaginanya.

Kepala batangku membelah vagina Nadia dan bertepatan dengan wajahku yang mendekat diwajah Nadia.

Cuuppp.

Nadia menyambutku dengan rangkulan dileherku dan kecupan lembut dibibirku.

Bleesss.

Aku menekan batangku yang belum tegak sempurna ini, sampai kepala kemaluanku masuk didalam kemaluannya.

“Kok gak keras yang.?” Tanya Nadia dan dia langsung mengedutkan vaginanya, untuk merangsangku.

“Kamu sudah gak mampu ya.?” Tanyanya lagi dan itu membuat gatal telingaku.

Aku langsung menurunkan wajahku dan aku melumat putting buah dadanya sebelah kanan.

“Yang, yang, yang. Ahhhhhh.” Ucap Nadia lalu tubuhnya melengkung keatas, karena putting kanannya itu daerah kelemahannya. Dia pasti akan menggila, ketika puttingnya itu aku permainkan.

Sluupppp, lep, lep, lep.

Aku menjilat dan aku mengisap puttingnya, lalu aku menyedotnya dengan cukup keras.

“Ahhhhh, Linggaaa.” Desah Nadia dan tubuhnya meliuk – liuk dengan seksinya.

Batangkupun tegak sempurna dan aku langsung menekannya masuk kedalam.

Bleesss.

“Uhhhhhhhh.” Tubuh Nadia kembali melengkung dan puttingnya pun semakin menekan kedalam mulutku.

Aku terus menekan batangku sampai masuk sempurna. Walaupun terasa sempit, batangku bisa sedikit mudah masuk kedalam sana, karena kemaluan Nadia yang basah dan kemaluanku yang terkena air liurnya tadi.

Sluupppp, lep, lep, lep.

“Arggghhh. Gila. kontolmu terasa semakin besar aja yang. Uhhhhh.” Ucap Nadia dan pinggulku dikunci oleh kedua kakinya.

Aku tidak menggoyang dulu, karena aku ingin memainkan putting Nadia yang mungil ini. Aku lepaskan lumatanku diputting Nadia sebelah kanan, lalu aku berpindah kesebelah kiri.

Sluupppp, lep, lep, lep.

“Uhhhhhh, uhhhhhh, uhhhh.” Desah Nadia dan dia menggoyangkan pinggulnya dari atas kebawah berulang – ulang dan itu membuat batangku terasa dimanjakan oleh goyangan Nadia.

“Ahhhhhhh.” Giliran aku yang mendesah dan aku melepaskan lumatanku diputting Nadia.

Gerakan pinggulnya yang pelan itu membuat kemaluanku terasa di jepit serta diremas didalam sana. Apa lagi Nadia menambahnya dengan jurus andalannya, empot ayam.

“Kamu makin lihai yang.” Pujiku ke Nadia dan dia langsung menyambar bibirku.

Cupp, cupp, cup, cup, cup.

“Ehemm, hem, hem, hem.” Desah kami disela lumatan kami berdua.

Aku lalu menarik pinggulku keatas, setelah itu aku menekannya kebawah dengan pelan dan berulang.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Hem, hem, hem, hem hem.” Desah Nadia dan dia memejamkan kedua matanya, untuk menikmati sodokanku ini.

Muacchhhh.

Nadia melepaskan lumatan kami, lalu menoleh ke arah samping kanan.

“Ah, ah, ah, ah.” Desahnya dan wajahnya terlihat nafsuin sekali.

Plok, Plok, Plok, Plok.

Aku terus menggoyangkan pinggulku, lalu aku menjilati daun telinga Nadia yang tepat berada didepan wajahku.

Sluupppp, lep, lep, lep.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Ahhh, sayang.” Ucap Nadia lalu dia melihat ke arahku lagi.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Uh, uh, uh. Yang. Sebentar lagi karyawan yang lain datang loh. Cepat dituntaskan ya. Uh, uh, uh.” Ucap Nadia.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Iya, uh, uh, uh.” Ucapku dan aku makin mempercepat genjotanku.

Plok, Plok, Plok, Plok.

Nadiapun langsung menyambut genjotan ku yang cepat ini dengan empot ayam, jurus andalannya.

“Ahhhh, uhhhh, ahhhh, uhhhh, ahhhh, uhhhh.” Desah kami bersaut - sautan, lalu aku menurunkan wajahku dan aku arahkan ke putting kanannya lagi.

Sluupppp, lep, lep, lep.

“Ahhhhh, ampun yang, ampun.” Ucap Nadia dan vagina Nadia berdenyut dengan kuatnya.

Sluupppp, lep, lep, lep.

Plok, Plok, Plok, Plok.

Dinding vaginanya semakin menjepit batang kemaluanku dan tubuhnya kembali melengkung ke arahku.

“UHHHHHHH.” Desah Nadia yang agak keras dan aku tau dia akan sampai dipuncak kenikmatannya lagi.

Sluupppp, lep, lep, lep.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Ahhhh, uhhh, ahhhh, uhhhh.” Desah kami bersahutan dan kami berdua sudah bermandikan keringat. AC dikamar ini yang aku stel delapan belas derajat, tidak mampu mendinginkan suasana yang panas ini.

Sluupppp, lep, lep, lep.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Aku mau keluar yang, aku mau keluar. Ahhhh, ahhhh, ahhhh.” Ucap Nadia dan aku semakin menguatkan emutanku di putting kanannya.

Cairan kenikmatanku sudah berkumpul kembali diujung kepala batangku dan siap meledak didalam vagina Nadia.

Sluupppp, lep, lep, lep.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“SAYANGGG. AHHHHHH.” Racau Nadia dan aku langsung melepaskan emutanku di puttingnya.

Wajah Nadia mendangak dan bola matanya hanya tersisa putihnya saja.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Aku keluar yang, aku keluar. Uhhhhh.” Ucap Nadia dan tubuhnya langsung mengejang.

Sluupppp, lep, lep, lep.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“Aku juga yang. Ahhhhh.” Ucapku sambil menguatkan pompaanku.

Plok, Plok, Plok, Plok.

“AHHHHHHH.” Desah Nadia yang cukup keras dan,

Sreett. Srett, srettt. Serrrrrr.

Cairan kenikmatannya keluar dengan deras, disela pompaanku yang tidak berhenti.

Sreett. Srett, srettt. Serrrrrr.

Plok, Plok, Plok, Plok.

Aku terus memompanya dan tubuh Nadia mengejang, menikmati setiap tetes cairan kenikmatannya yang keluar.

Akupun langsung mendorong batangku kedalam dan menahannya, lalu.

Crottt, crotttt, crotttt, crotttt, crotttt, crotttt.

Aku menumpah cairanku kedalam vagina Nadia dan entah berapa semburan yang aku keluarkan.

“AHHHHHHHHH.” Desahku dan aku terus menekan pinggulku kedalam.

“UHHHHHHHHH.” Sagut Nadia dan dia menahan pinggulku, agar tidak terlalu menekan selangkangannya.

Crotttt, crotttt.

Aku menekan – nekan pinggulku, mengeluarkan sisa – sia air maniku dan nadia juga menggoyangkan pinggulnya, untuk mengeluar sisa – sisa orgasmenya.

“Ahhhhhhhhh.” Tubuhku roboh dan aku langsung menahannya dengan kedua sikutku, agar tidak terlalu menindih tubuh Nadia.

“Hu, hu, hu, hu, hu, hu.” Nafas kami berdua saling memburu dan kami berdua saling menatap.

“Hu, hu, hu, hu, hu, hu.”

Tes, tes, tes.

Keringatku menetes dan jatuh mengenai tubuh Nadia yang basah.

“Hu, hu, hu, hu, hu, hu.”

Cuppp.

Aku mengecup bibir Nadia pelan.

“Terimakasih untuk kenikmatan yang luar biasa ini yang. Hu, hu, hu.” Ucapku dan,

Cuppp.

Giliran Nadia yang mengecup bibirku dan dia melakukannya sambil merangkul leherku.

“Terimakasih sudah membuatku tiga kali kelojotan.” Ucapnya dan matanya terlihat sangat berbahagia.

“Hiuuffttt, huuuuu.” Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu aku mengeluarkannya perlahan.

“Setelah menikah, kamu focus dengan suamimu.” Ucapku sambil menatap matanya dan sepertinya dia paham dengan maksud ucapanku ini.

“Loh, bukannya kamu sudah menang dan kamu bisa menikmati tubuhku kapanpun kamu mau.?” Tanya Nadia dan kemaluanku masih bersarang didalam vaginanya.

“Jangan membagi hatimu, ketika sudah berada dalam satu ikatan pernikahan.” Ucapku, lalu aku memundurkan pinggulku, sampai kemaluanku terlepas dari dalam kemaluan Nadia.

Plooppp.

Aku lalu merangkak ke arah tengah kasur, lalu aku terlentang dengan kedua kaki yang lurus dikasur.

“Ahhhhh.” Ucapku sambil menatap langit – langit kamar.

“Kita kan hanya bersenang – senang.” Ucap Nadia sambil membalikkan tubuhnya, lalu dia merangkak ke arahku.

Nadia lalu menindihku dengan posisi tertelungkup. Sebagian tubuhnya menindih ditubuhku, sementara sebagian lagi berada dikasur. Nadia langsung merangkulku dan aku juga merangkul pundaknya.

“Pernikahan itu tempatnya membagi suka dan duka dengan pasangan hidupmu, bukan dengan orang lain.” Ucapku.

“Diluar sana banyak pasangan yang mencari sensasi, agar hubungan mereka diranjang tidak membosankan.” Ucap Nadia dan telapak tangan kirinya membelai dadaku. Dia tidak melihat ke arah wajahku, taoi dia melihat ke arah dadaku yang dibelainya.

Sebagian dadanya yang menghimpit dadaku ini, membuat buah dada sebelah kiri tergencet didadaku dan detakan jantungnya yang cepat juga terada didadaku.

“Itu hanya cari penyakit.” Ucapku sambil membelai rambutnya dengan lembut.

“Penyakit.?” Tanya Nadia sambil mendangakan wajahnya dan melihat ke arah wajahku.

“Iya, penyakit. Penyakit hati.” Jawabku dan aku juga melihat ke arah wajahnya.

Wajah kami sangat dekat sekali dan terlihat dari bola matanya, dia seperti kecewa dengan apa yang baru saja aku bahas.

“Dengan alasan semakin bernafsu ketika pasangannya disetubuhi orang lain, dia secara tidak langsung telah menyakiti hatinya sendiri dan juga pasangannya.” Ucapku sambil membelai pipinya dengan punggung tangan kananku, sementara tangan kiriku merangkul pundaknya.

“Cinta gak sebercanda itu Nad.” Ucapku dan kedua mata Nadia langsung berkaca – kaca.

“Menghabiskan sisa usia kita dengan pasangan hidup itu pasti lebih lama, dari pada tinggal dengan orang tua kita.”

“Jadi ketika kita sudah mantap dengan pasangan hidup yang dipilih, berikan seluruh cinta dan juga sayang kepadanya, apapun kondisinya.” Ucapku dan butiran air mata Nadia langsung tertumpah, membasahi pipinya dan juga dadaku.

“I, i, i, ini bukan karena kegilaanku tadikan.?” Tanya Nadia terbata.

“Bukan sayang.” Ucapku sambil menyeka air matanya.

“Terus kenapa kamu tadi merayuku, sampai kita bisa melakukan sesuatu yang paling gila seperti ini.?” Tanya Nadia lagi.

“Aku hanya ingin mengakhiri semuanya dengan baik.” Jawabku dengan tenangnya.

Nadia melepaskan rangkulan tangan kiriku, lalu dia duduk dan merangkak kepinggir kasur. Kemaluannya tampak terlihat jelas dan dari belahannya itu terlihat cairan kenikmatanku yang mengalir sampai kepahanya.

“Nad.” Panggilku dan aku tau dia sangat kecewa sekali.

“Baik bagimu, belum tentu baik bagiku.” Ucap Nadia yang sudah duduk dipinggir Kasur dan membelakangi aku.

Aku juga segera bangkit dan aku duduk disebelah Nadia yang menunduk. Aku merangkul pundaknya dan Nadia langsung menepis rangkulanku.

“Kamu sudah membuatku melayang tinggi dan kamu juga memberikan aku harapan – harapan baru tentang kehidupanku setelah aku menikah nanti.” Ucapnya sambil menatapku dengan lirih, lalu dia berdiri.

“Tapi semua harapanku kau hempaskan oleh kata – kata sok bijakmu itu dan bodohnya aku, aku tidak bisa membantahnya sedikitpun.” Ucapnya dengan emosi, lalu dia melangkah ke arah kamar mandi.

Akupun langsung berdiri sambil meraih celanaku dan aku mengambil bungkusan rokokku dikantong belakang celanaku.

Aku lalu berjalan ke arah kiri kamar yang memiliki pintu samping. Aku membuka pintu itu dalam keadaan masih telanjang bulat. Aku lalu keluar kamar dan ini adalah taman yang mini dan sangat privat sekali. Sebelah kananku terhalang dinding kamar mandi, sebelah kiri terhalang dinding dapur cafe yang tidak berjendela dan didepanku tembok pagar yang tinggi, sedangkan bagian atas beratapkan langit yang sangat cerah sekali.

Aku duduk diteras kamar ini sambil membakar rokokku.

Hiuuffttt, huuuuu.

Aku menghisap dalam - dalam rokokku dan aku mengeluarkan asapnya perlahan.

Terdengar suara gemericik air dari kamar mandi dan menandakan Nadia sedang mandi didalam sana. Biasanya kalau sudah bersetubuh, kami berdua akan mandi bersama dan saling menyabuni. Tapi kali ini tidak mungkin dan aku hanya bisa termenung di taman yang mini ini.

Hiuuffttt, huuuuu.

Nadia Citra. Aku sudah memprediksi dia akan marah dan aku sengaja mendiamkannya. Aku tidak mau memberinya penjelasan yang panjang kali lebar lagi, karena aku takut justru aku akan berubah pikiran.

Jujur pertama kali aku melakukan hubungan badan dengan Nadia, tujuannya hanya untuk bersenang – senang dan diapun juga seperti itu. Tapi lambat laun akhirnya perasaan Nadia ikut bermain dan sudah mulai mendalam. Aku tidak ingin dia berlarut – larut dengan perasaan ini dan aku tidak ingin menghancurkan hubungannya dengan Firman. Walaupun aku tidak begitu mengenal kekasih Nadia itu, karena dia bekerja diprovinsi sebelah.

Hubungan mereka sudah terjalin jauh sebelum Nadia mengenalku dan tidak mungkin aku menghancurkannya didetik – detik pernikahan mereka, apalagi aku mengganggunya setelah ikatan pernikahan mereka sudah terjalin. Aku tidak sekejam itu, walaupun aku sudah memiliki hubungan yang sudah diluar batas dengan Nadia.

Terdengar munafik dan kejam ya.? Setelah semua yang aku lakukan bersama Nadia, akhir dari ceritanya aku seolah mencampakannya dan membuangnya jauh dari kehidupanku.

Terserahlah apa yang dipikirkan orang. Aku melakukan semua itu atas dasar kesadaran diri bersama Nadia dan kami tidak merasa terpaksa atau dipaksa. Bagiku salahnya hanya satu. Harusnya kami bersenang - senang, bukannya terlarut dalam perasaan yang menggenang.

Hehe. Ternyata seperti ini ya, memiliki hubungan dengan seorang wanita yang sudah memiliki kekasih dan kami melakukannya tanpa sepengetahuan sang lelaki. Aku bisa membayangkan bagaimana sakitnya ketika laki – laki itu mengetahui, kalau wanitanya sudah melakukan hubungan dengan laki – laki yang lain. Aku pernah mengalaminya dan aku pernah menggila, segila – gilanya.

Tapi bagaimana aku tega melakukan semua ini, padahal aku sudah pernah diposisi yang dikhiananti.? Entahlah. Mungkin hatiku sudah membatu. Tapi kalau sudah membatu, kenapa aku memiliki rasa kasihan dengan kekasih Nadia dan aku harus mengakhiri semua ini.? Terus kenapa juga aku tidak mencoba serius dengan perasaanku kepada Nadia dan mungkin saja dia akan mengakhiri hubungannya dengan Firman, lalu dia memilih aku.? Jawabannya, mungkin karena aku tidak ingin mengikat hatiku dengan cinta dan aku hanya ingin bersenang – senang saja. Anjing ya.? Anjing banget pastinya.

Hiuuffttt, huuuuu.

Tidak terasa empat batang rokok marlrobo black sudah aku habiskan di taman yang mini ini dan terdengar pintu kamar terbuka, lalu tertutup. Akupun langsung berdiri dan masuk kekamar sambil membawa bungkusan rokokku.

Aku letakkan rokokku dimeja dan tidak terlihat Nadia ada dikamar ini. Pasti tadi dia yang keluar kamar dan sekarang dia pasti sedang bekerja.

Aku lihat dibawah meja ada bungkusan kresek berwarna hitam dan itu pasti pakaian Nadia yang tadi dikenakannya. Nadia menyimpan beberapa pakaiannya dilemari kamar ini, untuk bejaga – jaga kalau pakaiannya kusut atau terkena cairan kenikmatan seperti tadi pada saat kami bercinta.

Ah sudahlah, kenapa juga aku harus bercerita tentang itu. Aku harus segera mandi dan aku harus segera ke apartemen Bang Kelvin.

Aku lalu membasuh seluruh tubuhku dikamar mandi dan setelah itu aku mengganti pakaianku yang basah oleh keringat. Aku juga memiliki beberapa pakaian ganti dilemari dan aku meninggalkan pakaian kotorku dikamar ini. Biasanya Nadia yang akan meloundrykan pakaianku, karena tidak ada karyawan lain yang berani masuk kedalam kamar ini.

Aku ambil bungkusan rokokku dan juga Hpku, lalu aku keluar dari kamar ini.

Kesibukan mulai terlihat dicafeku dan setengah jam lagi café ini baru dibuka. Ada yang merapikan meja dan kursi tamu, ada yang merapikan gelas dan piring, ada yang sibuk didapur dan ada juga yang sibuk didepan computer.

“Siang bos.” Sapa Bu Ati, koki andalanku yang sedang memasak sesuatu.

Aku memanggilnya Bu, karena dia yang paling tua diantara semua karyawanku yang berjumlah sekitar tiga puluh orang. Tiga puluh orang itu tebagi dua shift. Lima belas orang bekerja dari jam sebelas siang sampai jam lima sore dan lima belas orang lainnya jam lima sore sampai jam sebelas malam.

“Siang Bu. Tolong buatkan saya sarapan ya. Saya belum makan dari tadi pagi.” Ucapku.

“Sop buntut kan.?” Tanya Bu Ati dan sop buntut dicafeku ini terkenal kelezatannya.

Dicafeku ini menyediakan berbagai minuman dan makanan ringan serta beberapa makanan berat. Kalau siang hari banyak orang kantoran yang makan siang dan kalau malam banyak anak muda yang nongkrong, karena malam hari ada hiburan band akustik dicafeku ini.

“Iya Bu.” Jawabku.

“Ini lagi Ibu buatkan. Tadi Mba Nadia sudah ngomong duluan kok.” Ucap Bu Ati dan aku langsung melihat Nadia yang sedang sibuk didepan komputernya, seperti ketika aku datang tadi pagi.

Lantai yang dipijak Nadia juga terlihat sudah dipel dan entah siapa tadi yang membersihkannya.

“Oh iya Bu. Terimakasih.” Ucapku lalu aku berjalan ke arah pintu depan café.

“Siang Bos.” Sapa beberapa karyawanku.

“Siang juga.” Jawabku dan sebenarnya aku malas kalau dipanggil Bos. Tapi daripada aku dipanggil Pak, itu malah terdengar kaku. Aku sudah menyuruh mereka memanggilku dengan panggilan Mas atau namaku saja, tapi mereka tidak ada yang mau.

Jadi aku membebaskan mereka memanggilku apa saja, yang penting mereka nyaman mengucapkannya.

Aku terus berjalan ke arah pintu depan café sambil melirik ke arah Nadia yang menunduk dan menatap ke arah computer. Dia mengacuhkan aku dan dia tidak menyapaku seperti yang lain.

Aku membuka pintu café yang sudah tidak terkunci, tapi digantungan pintunya masih tertulis close. Aku menuju kursi yang ada diteras dan dipojok café, untuk menikmati sarapanku disana nanti.

Aku lalu duduk dikursi itu dan disebelah kiriku ada dinding yang bermotif lubang – lubang, jadi aku bisa melihat ke arah taman yang juga berfungsi sebagai tempat parkir yang ada disebelah cafeku. Disebelah cafeku ini ada PAUD dan taman serta parkiran itu biasanya tempat menunggu orang tua yang akan menjemput anak – anaknya.

“UMIIII.” Teriak seorang anak kecil yang berusia sekitar lima tahun dari dalam pagar dan dia melihat ke arah taman yang tidak ada orangnya sama sekali. Hanya terlihat beberapa sepeda motor dan mobil yang terparkir, tapi anak itu terus memanggil Ibunya lalu diikuti dengan tangisan yang sangat kencang.

“HUAAAAAA. UMIIIII.” Ucap Anak itu lagi dan aku tidak menghiraukannya.

Aku lalu melihat ke arah Kang Udin yang sedang menurunkan beberapa kotak dari mobil box yang baru saja datang. Beberapa karyawanku berdatangan dan membantu menurunkan kotak – kotak itu, lalu membawanya masuk kedalam café.

Aku lalu mengambil rokokku dan membakarnya.

“Hiuuffttt, huuuu.”

Terlihat Nadia berjalan ke arahku sambil membawa nampan yang berisi sarapanku. Diletakan nampan itu dimeja sebelah, lalu mengangkat satu persatu isi nampan yang dibawanya. Semangkok sup buntut, sepiring nasi, sepiring emping, sambal, jeruk nipis dan segelas es lemon tea.

Dia melakukan semua itu tanpa melihat ke arahku. Lalu ketika dia membalikan tubuhnya dan akan melangkah pergi,

“Nad.” Panggilku.

“Kamu gak sarapan dulu.?” Tanyaku dan biasanya kalau aku datang, dia akan makan denganku atau kalau sudah kenyang, dia akan menemaniku sambil menyerahkan laporan bulanan café ini.

“Sudah kenyang.” Jawabnya tanpa melihat ke arahku, lalu dia pergi meninggalkan aku.

Cok, djiancok.

Aku lalu menghabiskan rokokku, setelah itu aku menyantap sarapanku tanpa ditemani oleh Nadia.

Lalu setelah sarapanku habis, kembali aku membakar rokokku dan aku beristirahat sejenak, sebelum ke apartemen Bang Kelvin.

“Kang.” Panggilku ke Kang Udin yang sudah menyelesaikan tugasnya.

“Ya Bos.” Jawab Kang Udin dan dia langsung berjalan cepat ke arahku, lalu dia berdiri tidak jauh dari tempat aku duduk.

“Ada apa Bos.?” Tanya Kang Udin.

“Tadi gak kamu rekam kan Kang.?” Tanyaku tanpa berbasa – basi, karena Kang Udin sempat mengintip aku yang sedang bersetubuh dengan Nadia.

“Eng, eng, enggak Bos.” Jawabnya terbata dan dia sangat ketakutan sekali.

“Baguslah. Kalau sampai kamu rekam, kupecahkan dua bijimu itu.” Ucapku dan aku tidak melihat ke arahnya.

“Ma, ma, maaf Bos, saya gak sengaja tadi.” Ucap Kang Udin yang semakin ketakutan dan aku hanya diam sambil menghisap rokokku.

Melihatku yang hanya diam, Kang Udinpun langsung pamit kepadaku.

“Maaf Bos, saya ijin kebelakang ya.” Ucap Kang Udin dan aku hanya mengangguk pelan.

“Oh iya, saya beresin piring kotornya ya Bos.” Ucap Kang Udin lagi.

“Iya Kang.” Jawabku dan Kang Udin langsung membereskan mejaku dari semua piring dan gelas yang sudah habis isinya.

“HUAAAAAA. UMIIIII.” Terdengar suara anak kecil itu menangis lagi dan tiba – tiba ada taksi online yang berhenti didepan PAUD.

Seorang wanita turun dari kursi belakang dan wanita itu memakai gamis lebar, berpenutup kepala dan juga berkaca mata.

Aulia Balqis Humaira

Mba Lia.? Serius wanita itu Mba Lia.?

Gila. Akhirnya setelah satu minggu, aku bisa memandang wajah cantik dan tubuh mungil wanita yang terus bermain dipikiranku, beberapa hari setelah permainan yang sebenarnya tidak diinginkannya itu. Suaranya yang membuatku tercandu – candu pun, masih terus terngiang jelas ditelingaku sampai detik ini. Jepitan vaginanya yang kuat juga masih membuat batangku berkedut sampai saat ini.

Tapi apakah hanya suaranya yang merdu dan juga rasa kenikmatan tubuhnya saja yang aku ingat.? Apakah aku hanya mengedepankan nafsuku saja.? Kelihatannya enggak.

Wajahnya, senyumnya, cara menatapnya, bahasa tubuhnya dan semua yang ada didalam dirinya, seperti membangkitakan sebuah kenangan lama yang ada didalam diriku.

Athifa Ardillah Nasha. Ya, Mba Lia mengingatkan aku kepada wanita itu dan Mba Lia hadir dalam versi dewasanya Thifa.

Apakah benar aku melibatkan perasaanku ketika bermain dengan Mba Lia, seperti yang dikatakan Bang Kelvin.? Gak tau. Tapi yang jelas, Mba Lia bukan hanya membangkitkan kenangan lamaku. Kehadirannya seperti menyirami hatiku yang sudah tandus dan dia juga menanamkan benih – benih cinta didalamnya. Apakah benih itu bisa tumbuh dan bisa membuat hatiku berbunga – bunga.? Atau benih itu mati dan hatiku tetap kering kerontang meradang.? Entahlah. Aku hanya mengikuti permainan dari Sang Pencipta.

Hiuufftt, huuuu.

Mba Lia berjalan dengan anggunnya, menuju ke arah pagar PAUD dan disana anak kecil itu terus menangis sambil menyebut nama ibunya.

“UMIII, HUAAAAA.”Anak itu terus menangis dan kedua tangannya mengulur kepada Mba Lia yang sudah berada tidak jauh dihadapannya. Ternyata anak itu anak Mba Lia dan dia ternyata memanggil Mba Lia dari sebelum kedatangannya tadi.

“Ade, sayang.” Ucap Mba Lia dengan suara lembutnya dan dia langsung jongkok didepan pagar.

Tangannya mengulur kedepan dan disambut dengan genggaman yang erat dari anaknya.

“Pulang Mi, Ade mau pulang. Hiks, hiks, hiks.” Ucap si Ade.

“No sayang. Kan belum waktunya pulang.” Ucap Mba Lia dan sekarang dia membelai rambut anaknya.

“Gak mau. Ade mau pulang sekarang.” Rengek anaknya.

“Loh. Katanya Ade mau sekolah sama kakak di SD Ashar, kok sekarang mau pulang.?” Ucap Mba Lia dengan tetap mengeluarkan suara lembutnya.

“Ade mau sekolah kalau di SD Ashar, bukan di PAUD.” Ucap si anak dan perlahan anak itu sudah mulai tenang.

“Kakak dulu di PAUD ini juga de. Kalau sudah selesai di PAUD, baru Ade bisa sekolah di SD Ashar.” Ucap Mba Lia yang terus membujuk anaknya.

“Ade mau pulang Mi.” Ucap Anaknya yang tetap ingin pulang.

Prak.

Terdengar seseorang meletakkan secangkir minuman dengan agak keras dimejaku dan aku langsung melihat ke arah orang itu.

Nadia sudah berdiri didekatku dan secangkir kopi sudah berada dihadapanku. Mungkin dia sudah agak lama berdiri disini, tapi aku tidak melihatnya. Mungkin Nadia cemburu karena aku terlalu focus dengan kedatangan Mba Lia dan mungkin dia tidak pernah melihatku seperti ini ketika menatap seorang wanita.

“Duduklah. Temani aku sebentar.” Ucapku kepada Nadia.

“Ogah. Minta aja temani wanita berpenutup kepala itu.” Ucap Nadia, lalu dia membalikan tubuhnya dan berjalan masuk kedalam café.

Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan, lalu aku meraih cangkir yang berisi kopi panas dan aku menyeruputnya pelan.

Sruuupppp.

Lalu aku meletakan cangkir itu dilepeknya.

“Sekarang Ade masuk dulu ya. Nanti pulangnya kita jemput kakak di SD Ashar.” Terdengar suara Mba Lia dan kembali aku melihat ke arahnya.

“Tapi Umi gak pulang kan.?” Tanya anak itu dan rupanya Mba Lia sudah berhasil membujuknya.

“Enggak. Umi tunggu disebelah.” Jawab Mba Lia sambil menunjuk arah cafeku dan dia tidak menyadari kalau ada aku disini. Padahal kalau saja dia menoleh ke arahku, dia pasti bisa melihat wajahku, walau terhalang dinding yang berlubang.

“Oke.” Jawab si Anak sambil mengarahkan jempol mungilnya.

“Tos.” Ucap Mba Lia sambil mengarahkan kelima jari kanannya yang terbuka ke anaknya.

“TOS.” Teriak anaknya dengan riang dan dia menepuk pelan jemari Uminya.

“Bun, titip Ade ya. Saya duduk disebelah.” Ucap Mba Lia kepada seseorang yang berdiri dibelakang si Anak.

“Iya Bun.” Jawab orang itu sambil menggandeng tangan si Anak.

“Bay Umi.” Ucap si Anak sambil melambaikan tangan kanannya.

“Bay Sayang.” Jawab Mba Lia dan dia membalas lambaian tangan anaknya. Si anak lalu membalikan tubuhnya dan masuk kedalam.

Mba Lia membalikan tubuhnya, lalu melangkah ke arah jalan sana, setelah itu dia memutar dan melangkah ke arah cafeku.

Dia berjalan ke arah pintu café yang tulisannya close nya belum dibalik, karena memang cafenya belum dibuka.

“Siang bu, mau sarapan.?” Tanya seorang karyawanku yang membuka pintu café.

“Iya Mas. Seperti biasa ya.” Jawab Mba Lia yang masih berdiri didepan pintu dan rupanya dia sudah langganan disini.

Aku memang jarang sekali datang ke café diwaktu – waktu seperti ini, karena sebenarnya ini masih jam tidurku. Aku biasanya datang malam atau sore hari, jadi aku tidak tau kalau Mba Lia sudah menjadi pelanggan dicafeku ini.

“Siap. Ibu duduk didalam.?” Tanya karyawanku lagi.

“Disitu aja. Cafenya kan masih tutup.” Jawab Mba Lia sambil menunjuk meja yang ada didekatku dan dia belum menyadari kalau laki – laki yang telah membuatnya menjerit kenikmatan waktu itu ada disini.

“Gak apa – apa bu, didalam aja.” Ucap karyawanku dengan sopannya.

“Terimakasih mas, saya disitu aja.” Ucap Mba Lia, lalu dia berjalan menunduk ke arahku. Dia seperti menjaga pandangan matanya dan sepertinya tidak mau terlalu lama berinteraksi dengan laki – laki yang tidak memiliki hubungan keluarga dengannya.

Mba Lia duduk persis dimeja sebelahku dan dia terus menunduk sambil meletakan tas kecil yang dipegangnya. Duduknya sejajar dengan aku dan menghadap ke arah jalan depan sana, tapi pemandangan kami terhalang beberapa pot bunga yang ada diteras.

Pandanganku aku alihkan kedepan dan terlihat rokokku yang tadi menyala dan aku letakkan diasbak sudah habis dengan sendirinya.

Hiuuffftt, huuuu.

Jujur aku bingung dengan situasi seperti ini. Ingin pergi ke apartemen Bang Kelvin, tapi hati kecilku berkata untuk tetap diam disini. Terus kalau aku turuti kata hati kecilku, untuk apa aku tetap disini.? Ngajak ngobrol Mba Lia.? Iya kalau dia mau, kalau dia masih marah denganku bagaimana.? Kalaupun seandainya dia mau mengobrol denganku, apa yang harus aku obrolkan.? Sekedar basa – basi menanyakan kabar atau aku mengajaknya bercinta.? Bercinta gundulmu itu, assuuu.

Aku menyeruput kopi yang sudah mulai dingin.

Sruuuuuppp.

“Ahhhh.” Ucapku sambil meletakan cangkir kopi dimeja. Ah yang keluar dari mulutku cukup keras aku ucapkan dan pasti Mba Lia mendengarnya.

Dari ujung ekor mataku, terlihat Mba Lia mengangkat wajahnya dan melihat ke arahku. Akupun juga reflek melihat ke arahnya dan kami bertatapan mata tanpa berkata – kata sedkitpun.

Suasana yang canggungpun langsung terasa ditatapan mata kami ini. Aku menahan agar aku tidak mengajaknya ngobrol dan mungkin Mba Lia seperti itu juga. Aku yang ingin pergi dari sini tapi tidak bisa dan mungkin Mba Lia seperti itu juga. Aku kebingungan dengan situasi ini dan Mba Lia juga pasti kebingungan.

Terus bagaimana.? Ya gak bagaimana – bagaimana cukkk. Cukup diam saja dan tatap matanya.

Uuhhhh. Cantik banget kamu Mba, cantik banget. Bola mata yang ada dibalik kacamatamu itu menenduhkan dan membuat nyaman siapa saja yang menatapnya. Wajahmu memancarkan aura yang tidak bisa aku ucapkan dengan kata – kata dan aku benar – benar terperangkap oleh cinta yang menyesatkan ini.

Apakah benar perasaan yang sedang aku rasakan saat ini atau aku hanya kangen bersetubuh dengannya.? Apa semudah itu dia membuatku jatuh cinta lagi.? Apa hanya dengan tatapan matamu itu, sudah mampu membasahi hatiku yang lama tandus ini.? Sehebat dan sesempurna itukah seorang wanita bernama Aulia Balqis Humaira.?

Arrghhh, gila. ini gila sekali.

Brak.

Tumpukan kertas dihampas kemeja yang ada dihadapanku dan itu langsung mengejutkanku. Mba Lia juga terkejut dan dia langsung memalingkan wajahnya, lalu perlahan dia menundukan kepalanya pelan.

“Ini laporan bulanan Café.” Ucap Nadia dengan ketusnya dan entah sejak kapan dia datangnya. Tapi hempasan tumpukan kertas dimeja dan wajahnya yang tertekuk, membuat suasana yang tadi canggung langsung memanas seketika. Apalagi dia langsung membalikan tubuhnya dan pergi tanpa mengucapakan apa – apa lagi. Bajingann.

Kalau saja disini tidak ada orang, sudah kuseret Nadia kedalam kamar, lalu aku perkosa lubang duburnya yang masih perawan itu. Assuuu.

“Mohon maaf Bu, ini sarapannya.” Ucap karyawanku dan itu mengejutkan Mba Lia yang masih menunduk.

“Oh iya Mas. Terimakasih.” Ucap Mba Lia sambil melihat ke arah karyawanku sejenak, lalu dia melihat ke arah makanan yang mulai disajikan dihadapannya. Seperangkat sop buntut yang dibayar tunai. SAHHH.!!

ARGHHHH, DJIANCOK.!!! Situasi seperti ini sangat – sangat menyiksaku cok.

Mba Lia mulai menyendok sambel untuk dimasukan kedalam mangkok sop buntut, lalu memeras jeruk nipis dikuahnya, setelah itu dia mengaduknya dengan pelan.

Aku hanya bisa melirik apa yang dilakukan Mba Lia dan aku tidak berani untuk menatapnya lagi. Aku raih bungkusan rokokku dan mengambilnya sebatang. Aku letakkan sebatang rokok itu disela – sela bibirku dan ketika aku akan membakarnya, Mba Lia langsung meletakkan sendoknya dan melirikku dengan tajam.

Aku yang mengerti kalau dia tidak suka asap rokok langsung meletakan rokokku tanpa memasukannya kedalam bungkusannya dan Mba Lia langsung meraih kembali sendoknya.

Cok. Dengan tatapan matanya saja aku bisa takluk dan aku tidak jadi membakar rokokku. Ingat, tanpa kata, hanya dengan tatapan mata. Njancok’i gak.? Njacok’i banget pastinya.

Mba Lia menikmati sarapannya itu tanpa melirikku lagi dan aku hanya diam mematung, tanpa melakukan apa – apa.

Bodoh sekali aku ini. Kenapa bisa aku seperti ini sih.? Beberapa tahun ini aku jago menaklukan wanita dan aku membuat para wanita itu bertekuk lutut dihadapanku. Tapi hari ini aku dibuat tidak berdaya oleh seorang wanita yang sudah mempunyai suami dan juga memiliki anak. Bajingan, bajingan.

Hiuuffftt, huuuu.

Aku menarik nafasku dalam – dalam dan mengeluarkannya perlahan.

Brummmm.

Satu persatu mobil berdatangan didepan PAUD dan terpakir dihalamannya. Kelihatannya sebentar lagi anak – anak itu akan pulang dan orang tua mereka datang untuk menjemput.

Mba Lia yang sudah selesai menyantap makanannya langsung berdiri, setelah itu dia berjalan masuk kedalam café. Mba Lia membayar makanannya dikasir dan diiringi tatapan Nadia yang berada disudut meja bar.

Kalau ada pembaca yang tanya, kenapa gak digratiskan atau dibayarkan aja sih sop buntutnya.? He mangkok sop iga. Dengar ya, menatapnya aja aku canggung, apalagi kalau aku sampai ngomong traktir ke dia, iya kalau dia terima.? Kalau dia nolak terus marah sama aku bagaimana.? Terus kalau dia marah, dia ambil pisau didapur, terus motong kedua bijiku yang tergantung dibalik sempak, terus di iris tipis – tipis, terus dijemur, terus digoreng, terus dijadikan sandingan sop buntut pengganti emping, Bagaimana.? Bajingan laknat kau.

Hiuufftt, huuuu.

Mba Lia membalikan tubuhnya dan berjalan keluar café, tanpa melihat ke arahku sama sekali. Dia berjalan lurus ke arah jalan depan sana, lalu dia berjalan ke arah halaman PAUD. Mba Lia duduk dikursi beton bersama Ibu – ibu lainnya, lalu dia menunduk dan memainkan Hpnya. Walaupun duduknya menghadapku, lagi – lagi dia tidak melihat ke arahku sama sekali.

Terus kalau sudah begini, apa yang mau aku harap.? Apa yang mau aku tunggu.? Apa yang mau aku lakukan.? Apa aku pergi saja ke apartemen Bang Kelvin.? Atau aku masuk kedalam cafe, terus aku seret Nadia kekamar, terus aku setubuhi dia sampai dia menjerit kenikmatan dan tidak marah lagi sama aku.?

ARGGHHHHH.

Aku mengacak – acak rambutku dan ini adalah hal tertolol yang pernah aku lakukan dicafe ini. Mungkin beberapa karyawanku melihat apa yang aku lakukan ini dan meraka menyangka aku sudah mulai gila.

Aku bukannya mulai gila, tapi aku sudah gila. Aku memiliki usaha, rumah, kendaraan dan uang yang berlimpah, tapi aku masih menerima job dari bisnis perlendiran. Tampangku juga tidak terlalu jelek dan banyak sekali wanita yang ada disekitarku, tapi aku begini – begini saja. Gila gak.? Gila banget pastinya.

“Ayah, Bunda, Abi, Umi, Mbah..” terdengar teriakan anak – anak kecil dari arah pagar PAUD tepat dibalik tembok ini.

Aku lalu menoleh ke arah samping dan Mba Lia berdiri sangat dekat sekali denganku. Aku duduk didekat tembok berlubang dan dia berdiri dibalik tembok ini. kami hanya terhalang tembok dan jarak kami hanya sekitar 15 cm, setebal pasangan bata dan juga plesterannya. Dekat banget kan.? cm

Mba Lia pasti bisa melihatku dan aku yakin dia tadi melihatku ketika aku mengacak – acak rambutku.

Posisi aku duduk ini lebih tinggi dari pada posisi Mba Lia berdiri, jadi posisi kami berdua sekarang sejajar. Kalau saja tidak ada tembok berlubang ini, mungkin aku tinggal memajukan sedikit bibirku untuk mengecup pipinya.

Dia berdiri menghadap ke arah pagar yang posisinya pagarnya dibelakangku dan seolah kami sedang berhadapan. Parfum yang dikenakannya juga tercium olehku dan aku yakin dia pasti tau kalau aku sedang memperhatikannya.

Kulit wajah putih dan mulus, sangat terlihat cantik walaupun hanya dioles make up yang tipis. Bibir mungil kemarahan dan ditambah senyum yang sedikit mengambang, manambah aura ke ibuan nya yang sangat menawan. Ke ibuan.? Ibu siapa.? Ya tentu saja Ibu dari anak – anakku dimasa depan. Ciieeee, bajingan.

“UMIII.” Teriak seorang anak kecil dan Mba Lia langsung jongkok, lalu mereka berdua berpelukan.

“Kita jemput Kakak ya.” Ucap si Ade.

“Iya sayang.” Jawab Mba Lia lalu berdiri lagi dan wajah kami kembali berdekatan.

“Kita jemput Kakak, terus kita langsung pulang, makan, ibadah, terus bobo ya sayang.” Ucap Mba Lia dan dia seperti sedang berpamitan kepadaku.

Dia menjelaskan kegiatannya hari ini dan dia seperti menegaskan kalau dia tidak kemana – mana lagi atau berbuat yang macam – macam.

Cuukkkk. Pengen kurangkul aja itu leher belakangmu, terus aku lumat bibir mungilmu Mba. Gemes aku lihatnya.

“Iya Umi.” Jawab Si Ade dan Mba Lia langsung terdiam mematung, tanpa melangkahkan kakiknya.

Entah apa yang dipikirkannya, tapi wanita cantik itu hanya menatap lurus ke arah pagar PAUD.

“Umi, Ayo.” Ucap Si Ade sambil menarik tangan kanannya.

“Oh iya sayang, kita jalan ya.” Ucap Mba Lia, lalu tiba – tiba dia melirik ke arahku sejenak, setelah itu dia melangkah mengikuti tarikan tangan anaknya.

“Hati – hati sayang.” Gumamku pelan, mengiringi langkah kakinya..

Mba Lia membuka pintu taksi online, lalu menaikan si Ade ke mobil, setelah itu Mba Lia yang naik. Dia lalu melihat ke arahku seperti sedang mengisyaratkan lewat tatapan matanya, kalau dia enggan pergi dari sini. Lalu beberapa saat kemudian dia menutup pintu mobil.

Bruk.

Terdengar seseorang duduk dikursi sebelahku dengan emosinya dan aku langsung menoleh ke arahnya. Nadia duduk dengan wajah yang cemberut dan kedua tangan yang terlipat dibawah buah dadanya yang agak besar.

Cuukkk. Gak lama aku perkosa beneran lubang dubur wanita ini, sampai bibirnya tidak manyun seperti itu lagi.

Dengan dikuasi pikiran yang tidak menentu karena kejadian pagi tadi dengannya dan juga setelah kedatangan Mba Lia, aku mendekatkan wajahku ke arah Nadia yang menghadap lurus kedepan. Bibirku mendekat ke arah telinga Nadia, lalu aku membisikan sesuatu sambil memegang lengan kanannya yang berada dibawah dadanya.

“Kalau sikapmu seperti ini terus, kuperkosa lubang bokongmu sekarang juga.” Bisikku kepada Nadia dan diapun langsung terkejut.

“Jangan gila kamu Ngga.” Ucapnya sambil menepis pegangan tanganku.

“Aku serius ini.” Ucapku sambil menatap matanya.

“Jangan Ngga, ampun. Iya, aku minta maaf.” Ucap Nadia dan sekarang dia memegang lenganku.

Akupun langsung memalingkan wajahku, lalu aku mengambil sebatang rokokku yang tidak aku masukan kedalam bungkusannya tadi.

Aku membakarnya, lalu aku menghisapnya.

“Hiuufftt, huuuuu.”

Kami berdua berdiam diri beberapa saat, dengan lamunan masing – masing. Bayangan Mba Lia menari – nari dipikiranku dan dia menari tanpa mengenakan busana sama sekali. Tubuh polosnya itu bergerak begitu erotisnya dan seperti mengundangku untuk menjamahnya inchi demi inchi. Tapi begitu aku ingin menjamah tubuh Mba Lia, tiba – tiba Bang Edi datang dan dia ikut menari dengan tubuh yang sama – sama telanjang. Ueekkkk. Assuuuu. Kok pikiranku makin gila begini ya.? Bajingan.

Argghhhh.

“Aku minta maaf kalau sikapku masih kekanak - kanakan.” Ucap Nadia pelan dan aku hanya diam sambil menikmati isapan rokokku.

Kami berdua tidak saling melihat dan pandangan kami sama – sama ke arah depan.

“Aku terlalu terbawa perasaan, padahal diawal kita sudah sepakat kalau kita melakukannya hanya untuk bersenang – senang.” Ucap Nadia lagi dengan suara yang bergetar.

Aku tau perasaannya saat ini pasti campur aduk. Marah, cinta, sayang, cemburu, benci, rindu, merasa bersalah, takut dan semua dibungkus dengan kebingungan yang sangat luar biasa. Aku tau juga kalau dia sudah mempertaruhkan harga dirinya, untuk berbicara seperti ini kepadaku.

“Aku mengatakan ini bukan karena takut kamu anal, tapi aku memang harus mengucapkan ini kepadamu, agar kita tetap baik – baik saja. Dimulai dengan baik dan diakhiri dengan baik.” Ucap Nadia dan aku langsung menoleh ke arahnya. Nadia juga menoleh ke arahku dan kedua matanya terlihat berkaca – kaca.

“Kalau kamu gak takut, ayo sudah.” Ucapku untuk mencairkan ketegangan diantara kami ini dan aku mematikan puntung rokokku diasbak.

Nadia langsung tersenyum dengan manisnya dan dia langsung menunduk sambil membersihkan air mata yang akan tertumpah.

“Oke. Tapi setelah mendapatkan perawan analku, kita tidak boleh berhenti bersenang – senang, walaupun aku sudah menikah. Bagaimana.?” Ucap Nadia sambil mengangkat wajahnya dan tatapan matanya mulai menggoda.

“Gila.” Ucapku sambil berdiri, lalu aku berjalan ke arah parkiran dan aku ingin segera ke apartemen Bang Kelvin.

“Bay pecinta Umi.” Ucap Nadia dan aku langsung menoleh ke arahnya dengan mata yang melotot.

“Hihihii.” Akhirnya tawa Nadia hadir kembali dan aku memalingkan wajahku ke arah sepeda motorku.

Hiuuffttt, huuuuu.

Hari yang sangat gila dan menguras emosi dikepala, padahal aku baru menjalaninya setengah hari. Bajingan.

BRUMMMM.

Aku memacu kecepatan motor trailku ditengah jalan yang ramai ini dan beberapa saat kemudian aku pun sampai diparkiran apartemen Bang Kelvin. Aku lalu memarkirkan motor trailku, setelah itu aku naik ke lantai 87.

Aku menempelkan kartu di pintu, setelah itu aku masuk dan menutupnya kembali. Aku berjalan ke arah kulkas dan aku mengambil sebotol air mineral, lalu aku membawanya keruang tamu.

Aku duduk dan menyenderkan punggungku disofa, sambil meminum air mineral yang aku pegang.

“Gluk, gluk, gluk, gluk, gluk.” Lalu aku meletakkan minumanku diatas meja, setelah itu aku membakar rokokku marlrobo blackku.

Hiuuffttt, huuuuu.

Diruang tamu ini dan disofa yang aku duduki ini, aku bersetubuh dengan Mba Lia dan persetubuhan itu kembali terbayang dipikiranku. Setiap detik momen percintaan yang tidak pernah bisa aku lupakan dan sekarang aku ingin mengulanginya, tapi tentu saja tanpa kehadiran Bang Edi.

Tiba – tiba pintu kamar terbuka dan seorang wanita keluar dengan kondisi telanjang bulat. Tubuh wanita itu menurutku tidak gemuk, tapi montok dan semok. Pipinya tembem dan berlesung pipit, buah dadanya lumayan besar sesuai dengan tubuhnya dan bokongnya semok abis.

Wanita itu tidak terkejut dengan kehadiranku disini dan dia langsung berjalan ke arahku, lalu dia duduk disebelahku.

Akupun langsung merebahkan kepala belakangku disandaran bagian tas sofa dan aku melihat langit – langit ruang tamu ini.

“Kok kelihatannya kamu suntuk banget Ngga.?” Tanya wanita itu dan aku tidak menjawabnya. Aku hanya menghisap rokokku sambil terus melihat ke arah langit – langit.

“Hemmmm.” Terdengar hembusan nafas yang panjang dari wanita itu dan tangan kanannya langsung membelai rambut ku mulai dari bagian dekat kening sampai bagian atas kepalaku, dengan sangat lembutnya.

Belaiannya itu mampu meredakan sedikit pikiran yang berkecamuk dikepalaku dan aku sangat menikmatinya.

“Kelihatannya kamu perlu tidur sebentar Ngga. Nanti malam kan kamu ada kerjaan.” Ucap wanita itu dan aku hanya meliriknya.

“Tidur dikamar gih.” Ucapnya lagi dengan suara lembut dan dia terus membelai rambutku dengan tangan kanannya.

Belaiannya itu membuat tubuhku malas untuk bergerak, bahkan rokok yang ada dijari tangan kanankupun tidak aku hisap.

Wanita itupun sepertinya paham dan dia langsung mengambil rokok yang aku pegang dengan tangan kirinya. Dia yang duduk disebelah kiriku merapatkan tubuhnya ke arahku dan buah dadanya yang terbuka itu menempel didadaku sebentar, lalu setelah mendapatkan rokok yang ada ditangan kananku, dia kembali keawal posisinya duduk. Rokokku yang masih panjang itu dihisapnya sambil terus membelai rambutku.

“Kamu ngobrol sama siapa Re.?” Tanya Bang Kelvin yang keluar dari kamar dan dia hanya menggunakan celana kolor saja.

Re atau Renata, nama wanita yang duduk disebelahku. Dia ini sekertaris Bang Kelvin dan aku mengenalnya sangat dekat sekali.

Renata

“Oh, sama Angga.” Ucap Bang Kelvin dan dia menjawab pertanyaannya sendiri.

Bang Kelvin lalu duduk disebrang sana dan dia mengambil sebatang rokokku, lalu membakarnya.

“Kamu mau main sama Angga Re.?” Tanya Bang Kelvin ke Renata.

“Kelihatannya Lingga baru mengeluarkan semua pejuhnya deh.” Jawab Renata.

“Hahaha. Memang gila ini anak. Padahal nanti malam dia mau bertempur, siang ini malah dikuras habis.” Ucap Bang Kelvin dan aku malas menyahuti candaannya.

“Ya sudah Re, kamu siap – siap. Sebentar lagi kita balik kekantor.” Ucap Bang Kelvin ke Renata.

“Sebentar lagi lah Bang, aku lagi nyaman ini.” Sahutku dan aku meluruskan kedua kakiku yang aku tapakkan dilantai.

“Sambil netek lebih nyaman Ngga. Hahaha.” Ucap Bang Kelvin lalu dia tertawa.

“Berisik kamu Bang.” Sahutku.

“Hahaha.” Bang Kelvin kembali tertawa.

“Oh iya Ngga, nama temanku itu Andre. Nanti kamu datangi dia di gedung apartemen sebelah, jam 6. Kamu telpon dulu sebelum kesana, no telponnya sebentar aku kirim.” Ucap Bang Kelvin lalu dia berdiri dan berjalan ke arah kamarnya.

“Oh iya, aku ingatkan sekali lagi. Jangan pakai perasaan.” Ucap Bang Kelvin dari depan kamarnya.

“Hem.” Jawabku singkat.

“Ya sudah Ngga, kamu tidur dikamar sebelah gih. Aku mau siap - siap kekantor.” Ucap Renata sambil melepaskan belaiannya dirambutku, lalu dia mematikan puntung rokok diasbak.

Renata ini sebenarnya bukan perokok. Dia hanya sesekali saja dan barusan dia merokok, karena rokokku yang diambilnya masih panjang, jadi sayang kalau dibuang.

“Oke.” Ucapku dan Renata langsung berdiri.

Aku juga langsung berdiri, setelah itu aku mencium bibir Renata dan dia membalasnya dengan lumatan.

Cuppp, cuppp, cuppp.

Bibir kami saling melumat sebentar, setelah itu kami sama – sama melepaskan ciuman singkat ini.

“Terimakasih ya.” Ucapku sambil meremas buah dada wanita yang sudah memiliki suami dan anak ini.

“Beneran gak main dulu.?” Tanya Renata dan aku hanya tersenyum saja.

Renata membalas senyumanku, lalu dia membalikan tubuhnya dan berjalan mendahului aku. Akupun langsung disuguhi Bokong semoknya yang berayun dan terlihat sangat menggoda sekali.

PLAKKK.

Akupun langsung menampar bokong Renata, ketika sudah sampai didepan kamar Bang Kelvin.

“Ihhhh. Jahil banget sih tangannya.” Omel Renata dan aku cuek saja, sambil berjalan masuk dikamar sebelah

Aku lalu merebahkan tubuhku yang terasa letih di kasur dan tidak lupa aku menyetel alarm jam 4.30.

Jam menunjukan pukul satu siang dan tiga jam setengah lebih dari cukup bagiku untuk memejamkan mata.

Kedua kelopak mataku terasa berat dan,

KRING, KRING, KRING.

Hpku berbunyi dengan suara yang sangat nyaring dan aku langsung membuka kedua mataku.

Aku raih Hpku dan terlihat sekarang sudah pukul 4.30.

Cukkk. Cepat banget sih.? Padahal aku merasa baru beberapa detik memejamkan mata, tapi sudah jam setengah lima aja. Bajingan.

Akupun masih bermalas – malasan di atas kasur dan aku mengecek beberapa pesan yang masuk diHP ku.

“Kebiasaan. Sudah capek – capek aku buat laporan keuangan bulan ini, malah gak di lihat sama sekali.” Pesan dari Nadia yang dikirim kepadaku.

“Anal yuk.” Balasku singkat.

“Ayuk, kapan.?” Balas Nadia.

“Ada tapinya gak.?” Balasku.

“Harus dong. Kamu ingatkan persyaratan dari aku.?” Balas Nadia.

“GILA.” Balasku lagi dan Nadia hanya membalasnya dengan emote love.


Ada juga beberapa pesan dari Bang Kelvin yang mengingatkan agar aku tidak terlambat dan sekali lagi dia mengingatkan agar aku tidak memakai perasaan. Akupun langsung membalas pesannya, setelah itu aku bangkit dan berjalan ke arah kamar mandi.

Aku membesrihkan seluruh tubuhku, lalu setelah itu aku berganti pakaian dan tidak lupa aku menyemprotkan parfum keseluruh tubuhku.

Aku sempatkan membuat segelas teh hangat, lalu aku membakar sebatang rokokku. Aku lalu meraih Hpku dan mengirimkan pesan kepada Bang Andre.

“Sore Bang Andre, saya Lingga temannya Bang Kelvin.” Ucapku dan tidak menunggu waktu yang lama, Bang Andre membalas pesanku.

“Sore juga. Kita ketemu di lobby apartemenku 30 menit lagi.” Balas Bang Andre.

“Oke Bang.” Jawabku.


Aku lalu menghabiskan tehku dan juga rokokku, setelah itu aku keluar dari apartemen Bang Kelvin. Karena aparteman Bang Andre hanya bersebelahan gedung dengan apartemen Bang Kelvin, aku memutuskan untuk berjalan kaki saja.

Lalu setelah sampai di gedung aparteman Bang Andre, aku duduk diloby dan menunggu kedatangannya.

“Kamu sudah di lobby.?” Pesan dari Bang Andre yang masuk di Hpku.

“Iya Bang.” Jawabku.

“Aku turun sekarang.” Balasnya dan entah kenapa tiba – tiba jantungku berdetak dengan cepatnya.


Dag, dug, dag, dug, dag, dug.

Akupun langsung menarik nafasku dalam – dalam, lalu menghembuskannya pelan sambil menundukan kepala.

Dag, dug, dag, dug, dag, dug.

Dadaku justru berdetak semakin cepat dan entah apa yang sedang terjadi dengan diriku sekarang.

Dag, dug, dag, dug, dag, dug.

Hiuuffftt, huuuu.

Kembali aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu aku mengeluarkannya perlahan. Aku mencoba menenangkan diriku sejenak, lalu.

“Lingga.” Panggil seorang laki – laki yang berdiri tidak jauh dari tempat aku duduk ini.

Aku mengangkat wajahku dan melihat ke arahnya.

Seorang laki – laki muda yang usianya seperti bang Kelvin menatapku dan dia berpakaian sangat rapi sekali.

“Bang Andre.” Ucapku sambil berdiri dan dia menganggukan kepalanya pelan.

Jantungku berangsur – angsur berdetak normal dan aku langsung berjalan ke arahnya, lalu menjabat tangannya.

Dia membalas jabatan tanganku, sambil melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala.

“Kebetulan aku ada panggilan mendadak dari rekan bisnisku yang tidak bisa aku tinggal.” Ucap Bang Andre sambil melepas jabatan tangan kami.

“Jadi acara kita dibatalkan Bang.?” Tanyaku.

“Enggak. Aku keluar sebentar aja.” Jawabnya.

“Saya nunggu disini aja Bang.?” Tanyaku lagi.

“Ayo kita keatas. Aku akan mengantarkan kamu kekamarku.” Ucap Bang Andre sambil membalikan tubuhnya dan aku langsung mengikutinya berjalan.

Ting.

Pintu lift terbuka dan Kami berdua langsung masuk kedalam, lalu Bang Andre menempelkan kartu didekat tomboll angka, lalu dia menekan angka 77 dan pintu lift langsung tertutup.

“Istriku itu sangat sulit beradaptasi dengan orang yang baru dikenalnya. Jangankan melakukan hubungan badan, ngajak dia ngobrol aja susah banget.” Ucap Bang Andre yang mengejutkanku.

“Jadi aku memberikan kamu waktu untuk mengenalnya terlebih dahulu dan aku akan mengacungi kamu jempol, kalau kamu bisa menelanjangi dia sebelum kedatanganku.” Ucap Bang Andre lagi.

Ting.

Pintu lift terbuka dan kami berdua langsung keluar. Aku sengaja diam dan mendengarkan Bang Andre berbicara, untuk membaca situasi yang akan aku hadapi nanti.

Bang Andre berhenti dikamar 707, lalu dia menempelkan kartu dipintu kamar, setelah itu dia membukanya.

“Honey, tamu kita sudah datang.” Ucap Bang Andre dan hanya kepalanya saja yang menengok kedalam kamar.

“Aku ketemu fredi dulu ya.” Ucap Bang Andre dan entah apa jawaban istrinya didalam sana. Bang Andre langsung membalikan tubuhnya, lalu menghadap ke arahku.

“Aku tidak ingin mendengar laporan dari istriku, kalau kamu bertindak sesuatu yang tidak disukainya.” Ucap Bang Ancre, lalu dia berjalan ke arah lift.

Aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu aku melangkah ke arah pintu yang sedikit terbuka itu.

Aku dorong pintu itu sampai terbuka, lalu aku masuk kedalamnya.

“MEI LANI.”



#Cuukkk. Ada apa lagi ini.? Kenapa seharian ini semesta senang sekali bercanda dengan perasaanku.? Bajingan.
 
Selamat sore Om dan Tante

Updet tipis - tipis dan semoga masih bisa dinikmati.
mohon maaf kalau ada kata yang tidak nyambung dan banyak typonya,
maklum,masih kaku kalau dibuat nulis.

mohon saran dan masukannya

Salam Hormat Dan Salam Persaudaraan :beer::beer::beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd