Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

- C L O S E D -

Ok bang saya tunggu cerita selanjutnya...
Kisah tirana juga boleh
Ditunggu aja ya Om.. :)
Entah cerita tentang Tirana, atau cerita baru.. tergantung inspirasi di kepala saya..;)
 
Yaahh kok udah tamat?
Kirain masih ada lanjutan si Ghani
Sampai saat ini, Ghani bahagia karena udah dapat restu ortu untuk menikahi Tirana.
Kelanjutannya belum tahu Om.. kalo ane pribadi sih belum ada niat utk menjadikan Ghani sebagai tokoh utama :)
 
Mantap.. salah satu best cerbung di forum tercinta ini
Makasih atas apresiasinya.. :)
Jadi motivasi buat ane utk terus bercerita di forum ini..
 
Semua komentar udah ditulis di atas...
Jadi gue cuma bisa bilang TERBAIK....
 
Buat Agan dan Suhu Semproters semua,
terima kasih atas atensi dan apresiasinya terhadap cerita ane.
Motivasi besar buat ane
untuk terus menulis dan meramaikan forum ini.

Sekarang, saatnya untuk sedikit penutup
dari cerita Ik Hou van Jou.
Silakan menerka, apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ane nggak menjanjikan adanya sekuel lanjutan,
meskipun kemungkinan untuk itu tetap ada.

Sekali lagi, terima kasih atas atensi, apresiasi,
juga kritik, saran dan komentarnya.

Salam. :)


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


45
(SEBUAH EPILOG)


Suzie belum cukup terbiasa dengan kaki kanan palsunya. Karenanya, justru ia sering merasakan kakinya cepat lelah. Maka, dalam keadaan tertentu, Suzie kerap memilih untuk berdiri dengan bantuan tongkat atau duduk di atas kursi rodanya.

Sementara, Trias punya pemikiran sedikit berbeda. Ia lebih tenang jika Suzie duduk di atas kursi roda. Ia tak ingin sang istri terjungkal saat lelah bertumpu pada kaki palsunya, dan berpotensi mengganggu kandungan yang usianya telah memasuki akhir trimester kedua itu.

Seperti kali ini. Trias menemani Suzie untuk bersama menatap jembatan panjang kereta api nan legendaris di lembah Sasaksaat itu, dengan sang istri duduk di atas kursi roda. Mereka beruntung, mendapatkan vila sewaan dengan pemandangan dari halaman belakang yang mengagumkan.


Tadi malam, berkali-kali Kirei bersorak gembira kala menatap lampu kereta api yang menyorot terang, melintasi jembatan yang dibangun pada masa penjajahan Kolonial Belanda itu. Gadis cilik yang telah sebulan diadopsi Trias dan Suzie secara legal itu, selalu berlari menuju halaman belakang, tiap kali mendengar klakson kereta api.

"Rumah kita pindah ke sini?" tanyanya polos. "Dédé senang tinggal di sini, setiap hari lihat kereta!"

"Kita cuma tiga hari di sini, Nak," Trias tersenyum. "Nanti, kita pulang ke Soreang lagi."

"Beli aja rumah ini, Om," cetus Kirei. "Om 'kan banyak uang!"

Trias dan Suzie tertawa.


Tadi malam, sambil menyantap jagung bakar, Kirei sempat bercerita tentang kisah asmara sang ibunda, di tahun terakhir hidupnya. Trias dan Suzie akhirnya tahu, bahwa Kirei sempat hampir memiliki ayah baru, saat ibunya berhubungan dekat dengan seorang laki-laki. Hubungan tersebut sangat serius, bahkan Ibu Hani telah merestuinya untuk dilanjutkan menuju jenjang pernikahan.

Kemudian, ibunda Kirei divonis mengidap kanker paru-paru, kemudian meninggal dunia. Hingga akhirnya rencana pernikahan tersebut selamanya hanyalah tersimpan sebagai sebuah rencana. Alih-alih memiliki ayah baru, Kirei justru harus ditinggalkan mamanya.

"Pacarnya Mama orangnya baik?" tanya Trias.

"Baik sama Dédé," jawab Kirei. "Tapi si Om suka berantem sama Mama."

Trias dan Suzie tertawa kecil.

"Kirei masih suka bertemu si Om?" tanya Suzie.

"Nggak," jawab Kirei. "Si Om pergi jauh, ke Eropa. Mau kerja, cenah!"

"Oh," Trias dan Suzie bergumam bareng.


Di kemudian hari, dari cerita Ibu Hani, mereka akhirnya tahu bahwa 'Eropa' yang dimaksud Kirei adalah Edinburgh, ibukota Skotlandia. 'Mantan calon' ayah baru Kirei tersebut merantau ke Britania Raya, untuk mencari nafkah dengan bekerja di sebuah pabrik pengolahan wine, salah satu minuman tradisional khas Skotlandia. Lelaki itu meninggalkan Indonesia, hanya sebelas hari setelah ibunda Kirei meninggal dunia.

"Eropa di mana, sih?" tanya Kirei polos. "Jauh pisan?"

"Jauh, Nak," jawab Trias. "Kalau kita mau ke sana, harus naik pesawat."

"Eropa dekat Bali, atuh?" tanya Kirei lagi. "Kata Mama, dulu Mama sama Papa pernah ke Bali, naik pesawat."

Nah, lho!


Meskipun masih balita, namun pemikiran dan kecerdasan Kirei memang di atas rata-rata anak seusianya. Dan kecerdasannya kerap membuat Trias dan Suzie mati kutu. Penjelasan sederhana terhadap suatu hal tidaklah cukup bagi Kirei. Karena itu hanya akan memancing pertanyaan lanjutan yang lebih pelik. Ujung-ujungnya, Trias dan Suzie akan mengambil 'jalan pintas' dengan berkata,

"Nanti, kalau udah besar, Kirei pasti mengerti."

Namun, secerdas apapun pemikirannya, Kirei tetaplah seorang bocah kecil. Dalam banyak hal, Kirei bertingkah layaknya anak kecil. Menggemaskan, mengundang tawa, sekaligus terkadang menyebalkan. Tapi Trias dan Suzie menyayanginya. Kirei adalah permata di kediaman mungil mereka. Betapa beruntungnya mereka, dapat menanti kelahiran si jabang bayi di rahim Suzie, dengan ditemani celoteh lucu Kirei.


Di mata Trias, perut Suzie yang makin membuncit itu menambah pesona sang istri. Ia harus mengakui, betapa Suzie justru terlihat makin seksi dengan kehamilannya. Dan di pihak lain, Suzie pun merasa bahwa sosoknya yang tengah hamil tampak semakin menggairahkan. Berbeda dengan situasi pada trimester pertama kehamilannya, di mana wanita itu sempat mengalami rasa rendah diri akibat perubahan bentuk tubuhnya.

Beruntung, Trias tidak pernah mempermasalahkan bentuk fisik Suzie. Dalam kondisi terburuk pun, di mata Trias, Suzie adalah wanita yang paling sempurna.

"Karena kecantikanmu berasal dari otak dan hati," ucap Trias. "Bukan dari fisikmu."

"Berarti wajah Néng nggak cantik, ya?" seloroh Suzie.

"Cantik, Néng," Trias tersenyum. "Kamu adalah istriku yang paling cantik."

"Iyalah!" Suzie tergelak. "Istri Aa cuma satu, cuma Néng seorang. Jadi pasti Néng yang paling cantik. Coba aja, kalau Aa punya dua istri. Jadi ada pembanding, 'kan?"

"Boleh aku cari pembanding?" goda Trias.

"Aa mau?" tantang Suzie. "Kalau mau, silakan."

Trias menggeleng cepat. "Sulit mencari yang sebanding sama kamu, Néng. Kamu 'kan tiada bandingannya."

"Gombal," umpat Suzie, disambut tawa renyah Trias.


Kembali ke hari ini,

"Inilah Néng," gumam Suzie, sambil tersenyum menatap Trias. "Si buruk rupa berkaki robot."

Trias tertawa. "Tapi tetap jadi yang teristimewa."

"Teristimewa," gumam Suzie. "Tapi, hanya untuk Aa. Nggak berarti untuk orang lain."

"Biar, Néng," Trias mengusap ubun-ubun Suzie. "Kamu hidup sama aku. Untuk apa memikirkan orang lain?"


Suzie meminta Trias agar bersimpuh di hadapannya. Sang lelaki menuruti permintaan itu. Suzie segera memegangi pipi suaminya.

"Makasih, Aa," ucapnya lirih. "Karena tetap bertahan dengan Néng yang seperti ini."

Trias tersenyum. Dikecupnya bibir Suzie lembut. Sang wanita sontak memejamkan mata, berusaha meresapi dalamnya sentuhan bibir itu. Tak lama, Suzie pun membalas pagutan Trias, tak kalah lembut.


Hingga sebuah tangan jahil mencubit leher Trias. Ia pun melepaskan ciumannya, lalu menoleh ke belakang. Trias nyengir, menyadari keberadaan Kirei. Tidak mengira, karena beberapa menit sebelumnya ia terlihat anteng bermain-main dengan beberapa boneka koleksi Suzie, yang sengaja diboyong ke vila di Sasaksaat ini.

"Jangan macam-macam sama ibu aku!" cetus Kirei berlagak galak, lalu menjulurkan lidahnya.

Trias dan Suzie tertawa.

"Sini, Sayang," Suzie mengulurkan tangan, berusaha menggapai tubuh Kirei. "Anak Tante yang cantik."

Kirei mendekat di sisi kanan kursi roda, dan menyandarkan kepalanya di bahu kanan Suzie.

"Tante nggak boleh nangis lagi, ya," ucapnya. "'Kan ada Om sama Dédé."

"Iya, Nak," jawab Suzie, seraya membelai kepala bocah itu dengan tangan kirinya. "Tante janji, nggak akan menangis lagi."

"Tapi Kirei juga jangan nakal," tambah Trias. "Kalau Kirei nakal, nanti Tante sedih."

"Dédé mah baik, da!" cetus Kirei. "Nggak pernah nakal."


Kirei kemudian berpindah ke hadapan Suzie. Lalu, ia menyandarkan kepalanya di perut ibu angkatnya.

"Dédé bayi lagi apa?" tanyanya. "Kalau udah gede, nggak boleh nakal, ya! Jadi anak baik, kayak aku."

Trias dan Suzie tertawa mendengar celoteh menggemaskan Kirei. Bahkan Suzie tak dapat menahan diri, dengan merengkuh wajah sang bocah, kemudian mengecup bibirnya penuh rasa sayang.

"Tante sayang sama kamu, Nak," ucapnya. "Om Trias juga sayang sama kamu."

Kirei segera menoleh, menatap Trias yang bersimpuh di sebelah kanan kursi roda. Lalu tiba-tiba ditomproknya tubuh ayah angkatnya itu, hingga Trias meringis geli. Namun, ia pun balas memeluk Kirei, sangat erat.


Hingga akhirnya terdengar suara klakson kereta api di kejauhan, disusul suara deru mesin si ular besi itu. Trias menoleh ke arah lembah Sasaksaat, begitu pula Kirei. Dan ketika akhirnya rangkaian kereta api itu muncul di ujung jembatan, tiba-tiba Trias berdiri dan bersorak sorai dengan gerakan menirukan tingkah Kirei di malam tadi.

"Ih, si Om mah," komentar Kirei, sambil mendelik. "Ngikutin Dédé, geura!"

Trias berhenti berjingkrak, menoleh dan menatap Kirei, lalu menjulurkan lidah. "Biar, ah. Gimana Om!"

"Tuh, nya?" omel Kirei, sambil berusaha memukul kaki kanan Trias. Namun luput.

"Nggak kena," ejek Trias.

"Om!" jerit Kirei kesal, sekaligus ingin tertawa.

Dan jadilah Trias dan Kirei berkejaran di atas rumput halaman belakang vila. Ditingkahi gelak tawa geli Suzie.


Terima kasih, Tuhan... batin Suzie. Terima kasih untuk suami terbaik, anak asuh yang menggemaskan, dan bayi di kandunganku yang sehat. Terima kasih untuk kebahagiaan dan hidupku yang sempurna ini.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​
saya sangat berterima kasih
 
Semoga di lanjut lagi sekuel yg ini. Sumpah aNe kangen neng suzie
Di tunggu lanjutan sekuel nya Kang,
timeline kirei beranjak dewasa juga gak apa2, yg penting ada neng suzie..
Doakan ane punya cukup ide untuk meneruskan cerita Trias-Suzie-Jan-Anna ya.. :)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd