Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Cah Rantau: Mbak Narti

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Di Ruang Perawatan VVIP Itu

Pagi-pagi sekali aku mengantaran Budhe Yayuk pulang ke rumahnya untuk mengambil baju ganti dan perlengkapan lainnya. Kami agak sedikit terburu-buru kembali ke rumah sakit karena hari itu juga akan dilakukan tindakan operasi pada Mas Tono sehingga sebisa mungkin kami kembali ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Budhe menyuruhku pulang dengan motornya agar bisa di istirahat dengan tanpa gangguan di rumah Kakakku. Akupun mengiyakan saja karena memang juga merasa agak capek akibat kurang tidur semalam.

Sore hari Budhe menyuruhku untuk menyusulnya di rumah sakit, ia juga memberitahuku ruangan mana aku harus menyusulnya. Akupun menyanggupi dan akan menyusulnya agak malam saja, karena sorenya karena pasti akan terasa membosankan bagiku jika berada di sana sebab pasti masih banyak orang yang membesuk.

Setelah berputar-putar agak lama akhirnya aku sampai juga di ruang perawatan yang ternyata kelas VVIP di lantai dua. Sejenak kuamati, ranjang pasien berada di depan dan bersebelahan dengan ruang tamu yang berisi sofa dan beberapa kursi empuk. Di belakang sofa terdapat hamparan karpet yang berukuran dua kali satu setengah meter dan persisi di depan toilet yang agak sempit. Di belakang terdapat pintu ke arah teras, lumayan untuk bisa melihat lalu lalang jalanan di malam hari. Begitu sampai, Aku tak langsung masuk ke dalam ruangan walaupun pintu ruangan sedikit terbuka. Di dalam kudengar masih ada orang yang kuperkirakan adalah Mbak Wiwin, anak pertama Budhe Yayuk dan suaminya. Aku lebih memilih untuk duduk lesehan di lorong hingga beberapa saat kemudian ada panggilan telpon masuk dari Budhe Yayuk.

‘Halo Mas, kowe udah jalan belom?’

‘Sudah Budhe, aku ada di depan. Aku nggak enak mau masuk, masih ada tamu.’

‘Halah, udah sini masuk aja. Orapopo.’

‘Nggih Budhe.’ Jawabku sambil menutup telfon kemudian masuk.

‘Kulonuwun, permisi.’

‘Monggo sini masuk Mas. Kok nggak dari tadi langsung masuk aja tha’. Aku hanya nyengir saja.

‘Kondisi Mas Tono gimana Mbak?’ Tanyaku basa-basi.

‘Sudah stabil Mas, tinggal nunggu efek biusnya reda saja. Maturnuwun ya Mas, sudah berkenan nemenin Ibu. Nggak kebayang repotnya kalau tidak ada Sampeyan.’

Kamipun kemudian terlibat obrolan beberapa saat sedangkan Budhe Yayuk malah keluar entah kemana. Mbak Wiwin berkali-kali berterimakasih kepadaku, karena ternyata dia juga sadar akan perlakuan Ibunya kepada sanak saudaranya seperti apa. Hal tersebut juga menjadi salah satu alasan kuat dirinya tak tahan untuk memutuskan berumah tangga menjauhi Ibunya dengan susah payah membeli rumah sederhana, walaupun oleh Almarhum Bapaknya telah diwariskan tanah yang lumayan luas di sebelah rumah Ibunya. Akupun hanya mangut-mangut saja dan meyakinkan Mbak Wiwin bahwa Ibunya pasti akan berubah setelah kejadian yang menimpa anak keduanya ini. Dalam hati aku bersyukur karena kepadaku, ia hanya galak saat sedang kutindih saja.

30 menit kemudian Budhe kembali dengan membawa cemilan dan dua porsi sate kambing, karena ternyata Mbak Wiwin dan suaminya sudah makan dari tadi, sedangkan Budhe dari tadi belum sempat keluar. Beberapa saat kemudian Mbak Wiwin pamit pulang karena memang sudah menunggui dari siang tadi dan anaknya hanya diditipkan ke mertuanya.

Sepeninggal Mbak Wiwin kemudian kami makan bersama dan kemudian ada perawat yang datang untuk kontrol kondisi Mas Tono. Dia menjelaskan beberapa hal kepada kami dengan ramah dan di akhir percakapan Budhe bertanya nanti jam berapa kontrol lagi, Mbak Perawat menjawab nanti kontrol lagi sekitar tiga jam dari sekarang, yang direspon senyum genit Budhe kepadaku ketika Mbak Perawat sudah berlalu. Kamipun lanjut makan sampai habis. Akupun langsung menuju ke wastawel untuk sekedar cuci tangan dan berkumur, sedangkan Budhe membereskan sisa makanan dan kemudian ke kamar mandi sementara aku keluar menuju teras depan dan duduk di lantai bersandar pada tembok. Tak berapa lama kemudian Budhe menyusul keluar dan langsung duduk disebelahku sambil memeluk dan menciumi leherku.

Mendapat perlakuan seperti itu, akupun merespon dengan melingkarkan tanganku ke lehernya dan tanganku yang lain langsung menyerbu payudaranya. Sesaat kemudian ditariknya wajahku ke arahnya dan kamipun saling melumat bibir dan memainkan lidah. Dari payudaranya, tanganku kemudian bergerak ke bawah menelusup ke bagian bawah gaunnya dan langsung bertemu dengan celana dalamnya yang telah lembab. Setahuku tadi Budhe menggunakan celana legging, tapi sepertinya sudah ia lepas selesai makan tadi. Langsung saja kuelus-elus saja bidang cembung yang empuk dan lembab itu, kukorek-korek dari luar celana dalam yang membuatnya semakin memberikan perlawanan dengan semakin liarnya pagutan bibir dan tarian lidahnya di mulutku. Namun, disaat aku menelusupkan tanganku ke celana dalamnya dan menarik gaunnya ke atas, Budhe mencegahnya.

‘Sebentar Mas, masuk aja yuk, nyamuknya kok makin banyak. Lagipula aku khawatir nanti ketahuan orang kalo disini kan bahaya’. Sergahnya

‘Eh, nggih Budhe’. Jawabku.

Iya juga sih, walaupun dengan kamar sebelah dibatasi tembok, tetapi di bagian teras hanya ada sekat dengan teralis yang hanya tertutup di bagian bawah saja, sedangkan di bagian atasnya terbuka sehingga bisa saja ada orang yang memergoki perbuatan sumbang kami jika kurang waspada. Kamipun beranjak masuk dan kulihat Budhe sedang melepas celana dalamnya sendiri kemudian berbaring di tikar bekas kami makan tadi. Posisi kami yang agak tersembunyi di belakang membuat kami agak leluasa karena antara ranjang pasien dan kami tertutupi dengan tirai yang lebar ditambah lagi kondisi Mas Tono yang belum sadar, apabila ada perawat datang juga pasti langkahnya terdengar jelas dan mengetuk pintu sebelum masuk ruangan.

Diusia yang mencapai setengah abad, perempuan ini ternyata masih menyimpan hasrat birahi yang membara. Terbukti dari polahnya yang langsung berusaha mempreteli celana training yang kupakai dan berusaha memelorotkannya sekaligus dengan celana boxerku hingga aku tinggal menyisaka kaos saja. Walaupun sebagian rambutnya telah memutih dan beberapa bagian tubuhnya telah keriput, tetap saja ia masih asik memainkan Mr.P ku.

Akupun sama saja, tanda-tanda penuaan pada tubuhnya tak mengurangi rangsangannya pada jiwa mudaku. Payudara yang agak kendur, lemak di perut dan pahanya masih lebih dari cukup untuk membakar gairahku. Gaunnya aku naikkan sebatas payudara dan kemudian kudorong tubuhnya agar berbaring. Kudekatkan wajahku ke payudara kanannya dan langsung kukenyot tanpa ampun sambil meremas-remas sebelah kiri. Walaupun sudah agak kendor, tetapi masih terasa lembut. Budhe pun mulai menggelinjang mendapat perlakuan nikmat dariku, diremas dan dijambaknya rambutkan ketika sengaja aku permainkan putingnya dengan sedotan bibir dan tarian lidah ataupun dengan jemariku yang memilin tanpa henti. Nafasnya memburu, tubuhnya mulai berpeluh dan pandangannya sayu.

Dibandingkan dengan kejadian di lorong tadi malam, saat ini terasa lebih bebas walaupun terkadang masih ada rasa waswas. Tanganku pun berpindah dari payudaranya, kemudian mengelus perutnya sebentar dan lanjut ke lembah yang basah dan hangat itu. Vaginanya terasa tebal dengan bulu yang cukup lebat dan labia mayora yang sudah sedikit bergelambir. Akupun langsung membelai clit nya sambil masih tetap menyusu bergantian kanan dan kiri. Sepertinya Budhe semakin terbakar gairahnya, hal itu ditandai dengan mengerasnya kedua putting susu dan clit nya, serta cairan birahi yang semakin membanjiri vaginanya.

Akupun kemudian turun ke bagian bawah tubuhnya. Kulebarkan kedua kakinya, dan langsung kutangkap bau kelaminnya yang khas. Lubang vaginanya masih terasa agak rapat, bibir vaginanya berwarna agak gelap berkerut-kerut dengan genangan cairan birahinya, serta clit nya yang menonjol keras karena menahan birahi. Tanpa ragu aku langsung kukecupi permukaan vaginanya dengan rakus, Budhe refleks langsung tambah mengangkangkan pahanya sambil mendesah halus. Lidahku terus menjelajahi setiap milimeter dari ujung klitoris hingga ke lubang peranakannya. Bahkan sesekali aku sedot lipatan bibir bawahnya dengan gemas yang membuatnya memekik menahan nikmat sambil menaikkan pantatnya. Wanita paruh baya ini merintih-rintih halus sambil tangannya menjambak rambutku. Tak berhenti disitu, kukuakkan vaginanya dengan tanganku dan kemudian kujilati tanpa ampun. Aku ingin memberikan kesan yang mungkin akan sangat sulit untuk dilupakannya. Kumasukkan lidahku ke lubang basahnya yang menganga, kemudian kuputar-putar dan kutarik ulur memasuki lorong lembut yang sangat basah dan mulai banjir. Aku sama sekali tak menghiraukan rasa asin dan aroma aneh yang kutangkap hidungku, tetap saja lumat hingga tidak menyisakan satu milimeter persegipun permukaan vaginanya, dan kutusuk dengan lidahku sedalam-dalamnya. Hal itu berefek luar biasa pada Budhe, ia mulai tak bisa menahan rintihannya dan bahkan mulai terdengar erangannya hingga di satu titik, tubuhnya bergetar hebat dan jambakan pada kepalaku semakin kuat. Tubuhnya mengejang dan penggulnya terangkat seolah tak ingin lepas dari sapuan lidahku. Akhirnya ia tak mampu bertahan lagi, ia merapatkan pahanya yang mebuatku kesulitan bernafas, dan membenamkan wajahku ke selangkangannya. Akupun tetap menjilati veginya hingga orgasmenya perlahan mereda. Jika tadi malam aku melakukan oral hanya untuk membasahi, maka untuk malam ini aku berhasil membuatnya melayang bahkan sebelum kulakukan penetrasi menggunakan Mr.P ku.

Perlahan nafasnya mulai teratur dan mengendurkan jepitan pahanya. Kulihat pancaran kepuasan pada wajahnya, walaupun juga terlihat lelah. Akupun bangkit kemudian ke kamar mandi untuk kencing dan mencuci mukaku Lalu kembali menyusu.

‘Edan kamu Mas, nggak jijik apa, gembus kok dilamuti?’

‘Enak nggak Budhe’

Ia tak menjawab, hanya saja langsung mencubit perutku. Kumudian kembali memainkan juniorku yang tengah mengacung sempurna.

‘Kalo di pilem saru itu kok sering ada perempuan ngemut itunya yang laki, emang enak Mas?’

‘Yo ndak tau Budhe, coba aja kalo mau.’

Iapun kemudian agak ragu mendekatkan kepalanya ke juniorku dan menggenggam dengan tangannya. Kurasakan seolah tersengat listrik ketika kurasakan lidahnya menyapu topi baja juniorku. Lalu kemudian mengulumnya perlahan. Dari sini terasa sekali kalau sepertinya ia baru pertama kali melakukan oral karena setiap kali mengulum, pasti tertabrak giginya. Akupun merasa campur aduk antara nikmat, linu dan sakit menjadi satu. Kutahan sekuat tenaga untuk tidak bersuara. Akupun berinisiatif menudahinya dan Kurebahkan kembali tubuhnya, kulebarkan pahanya dan kuposisikan tubuhku disitu. Kugunakan cairan ludahku untuk kembali membasahi permukaan vaginanya yang sedikit mengering. Perlahan kusapukan topi baja juniorku ke permukaan clit nya yang membuat Budhe mendesah halus. Kucoba untuk bergerak perlahan walaupun sebenarnya diriku sudah sangat panas. Ternyata malah Budhe yang tak sabar untuk segera minta disodok.

‘Ayo mas, buruan masukin’.

Kutekan perlahan dan blessss. Proses penetrasi kali ini Terasa agak mudah, mungkn karena efek dia telah mendapatkan orgasme duluan. Kurasakan di dalam sana masih terasa licin dan basah. Setelah juniorku sepenuhnya masuk, akupun memposisikan diriku menindih badannya sambil tetap bertumpu pada kudua siku. Lalu kembali kupagut bibir Budhe, dan iapun sedikit merespon dengan membalas lumatanku sambil mulai mengenjotnya dengan ritme yang lambat. Rupanya Budhe sudah sangat kelelahan karena ia hanya pasrah saja saat ritme permainan kunaikan perlahan. Sambil mengenjot vaginanya, terkadang payudaranya aku sedot bergantian kanan kiri. Terdengar bunyi kecipak lendir dan juga suara selangkangan kami yang sedang beradu mekanik. Kemudian kutatap wajahnya, ia membalas dengan senyuman kecil pada wajahnya yang terlihat lelah.

Akupun sudah merasa bahwa tak lama lagi pertahananku akan jebol. Ritme permainan kutingkatkan lagi dengan tekanan yang lebih kuat menikam lubang vaginanya. Budhe terlihat hanya pasrah sambil menggigit bibir bawahnya. Tak tahan, kembali kulumat lagi bibirnya. Seiring dengan ritme yang naik, tubuh Budhe juga menjadi kaku. Kakinya membelit tubuhku dan badannya memeluk kencang tubuhku. Rupanya gairahnya juga kembali naik. Pagutan mulut kami semakin liar, nafas kami semakin tak beraturan, gerakan pinggulku semakin tak beraturan. Akhirnya tubuh Budhe kembali bergetar hebat mengejang disertai dengan kedutan-kedutan yang terasa menjepit juniorku di bawah sana dan bibirnya menyedot bibirku dengan kuat. Tubuhku dipeluknya erat sambil mengerang dan jepitan pahanya terasa sangat ketat. Ia telah sampai pada orgasme keduanya.

Disisi lain, pertahananku akan segera runtuh. Semakin kupercepat tusukan juniorku pada vaginanya. Budhe sepertinya sekuat tenaga menahan gerakan pinggulku dengan kakinya hingga membuat juniorku terbenam di vaginanya yang seolah meremas dan mencengkeram dengan hebat. Seketika lahar panas yang memang telah di ujung juniorku menyembur tak tertahankan dan memenuhi lubang vaginanya dengan kedutan-kedutan yang entah berapa kali banyaknya. Tubuhkupun ambruk di atas Budhe, nafas kami berdua seolah seperti pelari marathon yang beru saja melintasi garis finish. Ia menahanku ketika akan turun dari tubuhnya, vaginanya seolah tak rela melepaska juniorku.

‘Sudah jam 11 Budhe, sejam lagi perawat kontrol datang’.

‘Yowes biarin, aku lemes banget Mas. Sebelumnya belom pernah kayak gini’.

‘Budhe luar biasa, udah bikin ketagihan, bisa susah ini kalo udah balik Jakarta.’

‘Kamu ini, masih bocah kok mau-maunya nidurin yang udah tua. Kalo aku lagi pengen trus kamu udah di Jakarta trus piye? Bikin mumet aja kamu ini. Kapan balek Jakarta?’.

‘Minggu sore. Yo Budhe Nikah lah, kan ntar ada yang bikin enak’.

‘Mbok kamu sering-sering pulang aja yo.’

‘Kalo nikah aku takut Cuma diincer hartaku saja Mas.’

Akupun tak bisa berkata-kata lagi, dan kemudian beranjak ke kamar mandi untuk mencuci perlengkapan tempurku dan kembali memakai celanaku. Budhe yang hampir tertidur kuingatkan untuk merapikan pakaiannya. Gawat juga nanti kalau perawat masuk kemudian melihat Budhe masih acak-acakan. Tak lupa juga aku semprot ruangan menggunakan parfum ketika Budhe sedang bebersih di kamar mandi untuk menghilangkan aroma akibat pertempuran syahwat kami. Akupun berpindah dan berbaring di sofa tamu seligus melebarkan horden agar tidak menimbulkan kecurigaan orang. Aku yang sebenarnya sudah mengantuk, kutahan sebisa mungkin hingga perawat datang sekitar 40 menit kemudian. Untungnya si Ibu perawat sepertinya tidak curiga, karena tadi Budhe sudah mendengkur ketika ia masuk. Beberapa saat setelah perawat keluar akupun langsung tertidur dan terbangun kembali ketika perawat yang jaga pagi telah masuk, dan ternyata Budhe juga belum bangun. Sungguh malam yang melelahkan bagi kami.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd