Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Cerita Sebuah Perjalanan

Pantasan bahasa dan tutur katanya oke punya, ternyata senior lama turun gunung, dan yg paling di ingat cerita legend Ardi. Ijin bangun pondok di mari gan..
 
Cerita yg bagus hu, tq. Semoga ada kata The End nya, karena banyak cerita di forum kita tak pernah berakhir tidak juga berlanjut.

Mudah-mudahan tidak suhu. Cerita ini akan segera tamat. 😊
 
liat profil penulis ternyata veteran, pantes alus banget

welkombek bro
Pantasan bahasa dan tutur katanya oke punya, ternyata senior lama turun gunung, dan yg paling di ingat cerita legend Ardi. Ijin bangun pondok di mari gan..

Haha....terima kasih suhu semuanya.
Ane gak se tuwir itu koq belum veteran, apalagi senior. Masih harus banyak belajar.
Semoga suhu semua bisa menikmati karya-karya ane. 🙏
 
Kalo tidak ada halangan, malam ini ane akan realese lanjutan ceritanya.
Semoga bro, sist, agan, suhu dan para master bisa menikmati karya ane ini.
Tetap ditunggu komentar dan masukannya. Setiap komentar tak terlewat semua ane baca, dan itu penambah semangat ane.

:sungkem 🙏
 
Mantul ceritanya,asyiiik malam ini bakalan ada update,buru2 bikin segelas m nyiapin gorengan plus rokok,
 
Bimabet
Lanjut...

***



Tok...Tok....Tok....

Tok...Tok....Tok....


Ketukan di pintu kamar mengejutkan ku, membangunkanku, membuatku terkesiap bangkit dari tempat tidur.

"Siapa.....?" tanyaku.

"Assalamualaikum, Ini saya Rahmat pak." Jawab si pengetuk pintu.


"Rahmat.....Siapa Rahmat.....aku tidak kenal dengan orang bernama Rahmat, tapi suaranya seperti suami Nida." aku membatin.

"SUAMI NIDA !!!"

Aku terkesiap dan segera loncat dari tempat tidur.

"Waalaikumussalam. Ssee...sseebentaaar pak." Jawabku sedikit tergagap.

Dengan tergesa-gesa, aku segera memakai celana dan kaos yang masih berserakan di lantai. Kulihat sekilas jam pada layar Iphone ku, sudah pukul 11.30 Wib.

Ada apa gerangan suami Nida ke kamarku?

Aku yang biasanya selalu bisa tenang dalam menghadapi situasi sesulit apapun, jujur aku merasa agak panik, jantung berdegup kencang, dan bulir keringat membasahi kening.

Selagi aku mengenakan pakaianku,

"Lho ini APA?"

Celana dalam Nida yang berwarna coklat berenda, tergeletak di lantai. Tertinggal.

Jadi tadi pagi, Nida gak pakai celana dalam?

Sedikit panik ku sembunyikan celana dalam Nida, kumasukkan ke laci nakas, meja kecil di sisi ranjang. Aman pikirku.

Aku segera beranjak ke pintu dan dengan gugup membuka kuncinya.
Jantungku sudah tidak karuan degupannya.

"Apakah aku ketahuan meniduri istrinya?"

Satu tarikan dan hembusan nafas panjang kulakukan untuk meredakan rasa panikku. Sebelum pintu terbuka segera kupasang wajah lempeng dengan akting masih sedikit mengantuk. Jangan gugup-jangan gugup!

Kubuka pintu kamar dan segera menutupnya, jangan sampai ia melihat kondisi tempat tidur yang berantakan sisa-sisa pergumulanku dengan istrinya.

Rahmat sudah duduk di bangku teras hotel.

Selamat pagi pak Rahmat," aku menyapanya seramah mungkin, menjabat tangannya sambil menyebutkan namaku.

"Ivan."

"Ada apa pak?" Tanyaku dengan nada setenang mungkin.

Secara formal kami memang belum sempat berkenalan mengingat situasinya yang tidak memungkinkan kemarin.

"Eh....maaf pak kalo saya menganggu waktu tidur bapak." Pak Rahmat seperti merasa bersalah sudah mengganggu tidurku.

"Oh gak apa-apa Pak Rahmat, saya juga sudah mau bangun tadi."

"Begini pak Ivan, ada yang mau saya bicarakan..."

Deggh...

Ucapannya terhenti begitu juga dengan nafasku, aku menahan nafas, kira-kira pak Rahmat mau ngomong apa ya.

Sekilas kulihat ke arah pintu kamar keluarga Pak Rahmat, terlihat Nida tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke traveling bag, kulihat ia berhenti sejenak dan menoleh ke arahku, ekspresi wajahnya penuh rasa kekhawatiran.

"Oh iya saya mau bicara soal mobil pak."

"Oh soal mobil, gimana mobilnya pak?"

Belum selesai pak Rahmat berbicara, aku sudah memotongnya. Ada sedikit kelegaan di batinku ia tidak membicarakan kejadian dini hari tadi.

"Iya tadi pagi saya tanya sama orang hotel tentang bengkel mobil dekat sini, ternyata orang hotel ada yang tahu, bahkan mengantarkan saya ke sana pake motor pak."

"Lho mobilnya gak dibawa sekalian pak?"

"Tidak pak, setelah saya ceritakan kronologisnya, orang bengkelnya paham dan langsung membawa spare part pengganti ke hotel dan langsung di ganti onderdil yang rusak."

"Sekarang sudah bisa hidup mobilnya pak." Sambungnya lagi.

"Oh, syukurlah pak kalo mobilnya sudah sehat kembali."

Jujur selama percakapan ini aku tidak berani menatap langsung wajahnya, ada sedikit rasa bersalah terhadap bapak yang sepertinya polos banget ini.

"Maafkan saya ya pak, sudah meniduri istri bapak." Ucapku dalam hati.

"Alhamdulillah sudah beres mobilnya pak." Ujarku lagi.

"Jadi saya ke sini mau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya sama Pak Ivan karena sudah menolong dan membantu saya dan keluarga. Kalo gak ada pak Ivan, waduh....." Pak Rahmat memutus kalimatnya.

"Sekaligus saya ke sini, saya mau pamit untuk melanjutkan perjalanan pulang pak."

Aku terdiam, agak kaget juga dengan apa yang disampaikannya. Jujur aku ingin sedikit lebih lama bertemu Nida, mengulang kembali pergumulan kita.

"Pak....Pak Ivan!"
Pak Rahmat mengejutkan lamunanku.

"Sekalian ini saya ingin mengembalikan biaya penginapan yang sudah bapak bayar kemarin. Kebetulan adik saya tadi transfer." Pak Rahmat berkata, sambil menyorongkan beberapa lembar uang pecahan ratusan ribu.

Serta merta aku menolaknya dan mendorong tangannya kembali.

"Gak usah pak, saya ikhlas membantu. Lebih baik uang ini digunakan untuk ongkos perjalanan bapak atau jajan anak-anak selama perjalanan."

"Tapi pak...."belum selesai ia berkata

"Sudah gak apa-apa Pak Rahmat."

Kemudian ia berkata lagi, "Terima kasih banyak pak, ternyata di dunia ini masih ada orang yang sangat baik seperti pak Ivan."

Aku tercenung mendengar kalimatnya yang terakhir.

Maaf pak, saya tidak sebaik yang bapak pikirkan. Andai saja bapak tahu apa yang sudah saya lakukan dengan istri bapak, semaput bapak di depan saya sekarang.

"Sama-sama pak Rahmat," jawabku singkat.

"Ya sudah saya pamit dulu pak mau beres-beres." Pak Rahmat meminta ijin untuk kembali ke kamarnya.

"Baik pak. Tapi jangan pergi dulu pak, tunggu saya. Saya mau mandi dulu nanti saya temui bapak kembali."

"Baik pak. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Pak Rahmat lalu kembali ke kamarnya dan aku pun masuk ke kamar untuk mandi.

Setelah mandi dan membereskan pakaian, karena aku juga berencana check out siang ini, aku lalu keluar kamar dan menuju ke kamar keluarga Pak Rahmat.

Setibanya di depan kamar, kulihat Nida di dalam kamar seorang diri, sedang menata baju dan perlengkapan anak-anaknya. Ia mengenakan gamis berwarna hitam polos dan hijab dengan warna yang sama. Aku agak sedikit heran dengan pilihan warna pakaiannya.

Di ambang pintu akupun mengucapkan salam, "Assalamualaikum."

Nida sedikit terkejut dengan kehadiranku, "Waalaikumussalam." Jawabnya.

Memandangku sekilas, Nida lalu menunduk dan melanjutkan kegiatannya, tanpa mempersilahkan aku masuk atau duduk.

Aku sempat tercenung melihat reaksinya, datar. Seperti orang asing saja, padahal.....

"Suami dan anak-anak kemana Nid?" Aku bertanya padanya.

"Di mobil lagi mengatur tas mas." jawabnya singkat.

Aku makin penasaran dengan sikapnya yang jauh berbeda dengan sikapnya dini hari tadi di kamarku. Apakah ini cara dia agar tidak ada orang lain yang tahu bahwa pernah terjadi sesuatu diantara kita. Tapi kan di sini tidak ada orang.

Kuberanikan diri masuk ke kamar, mendekat padanya yang sedang membungkuk, memasukkan semua baju ke dalam tas, ia tak memperdulikanku yang berdiri di dekatnya.

"Bagaimana tadi pagi Nid,"

Dengan lembut aku bertanya, mencoba mencaritahu alasan apa yang dikatakannya pada sang suami ketika kembali ke Kamar.

Sedikit melirik kepadaku, ia menjawab,

"Gak apa apa mas,Sudah jangan di bahas lagi." Ucapnya tegas.

"Tapi nid...."

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, ia sudah mengangkat tasnya.

"Permisi mas, aku mau bawa ini dulu ke mobil."

Ia meminta ijin padaku yang sedikit menghalangi jalannya.

Aku sedikit memiringkan tubuhku memberinya jalan. Ia lewat di hadapanku, tanpa ada satupun kata yang terucap. Dingin.

Ada apa ini? Kenapa dengan Nida batinku bertanya.

Sepeninggalnya, Aku keluar dari kamarnya dan duduk di bangku teras, menunggu ia datang kembali.

Tak lama Nida kembali, masih seorang diri. Ia lewat di depanku begitu saja, melirikpun tidak, seolah aku tidak ada di sana.

Aku segera menyusulnya ke dalam kamar, Kupegang pergelangan tangannya, kutahan langkahnya.

"Ada apa ini, Nid?"

Ia sedikit meronta ingin melepaskan cengkeramanku.

"Sudah mas, lepasin tangan aku!"

"Tidak, sebelum kamu cerita ada apa, aku gak akan ngelepasin tangan kamu!" Aku berkata tidak kalah tegasnya sambil memegang tangannya yang lain.

Nida menatap tajam wajahku, cukup lama, tiba-tiba ia menunduk dan mulai terisak, menangis.

"Hik...hiksss...."

"Aku sudah melakukan dosa besar mas."
Ia berkata sambil terisak.

Aku tercenung mendengar kata-katanya. Biar bagaimanapun kegundahan hatinya, disebabkan karena perilakuku.

Kudekap tubuhnya. Tangannya menekuk di depan dadanya, ia memukul-mukul dadaku dengan kedua tangannya.

"Aku wanita kotor mas, aku telah tega mengkhianati suamiku. Hiks....hiks..."

Air matanya berderai, membasahi t-shirt yang kukenakan.

Aku terdiam sesaat, lalu berkata lirih, "Maafkan aku Nid, Aku yang salah, Aku yang sudah menjerumuskan kamu."

Nida menggeleng perlahan, "Enggak mas, bukan kamu aja yang bersalah, aku juga, aku yang tidak bisa menahan diriku."

"Iya mas aku memang wanita yang jarang disentuh, jarang dibelai, sudah dua tahun aku tidak mendapatkan nafkah batin semenjak penyakit yang diderita suamiku. Ia sudah tak mampu lagi mas." Ujarnya lirih

"Aku juga wanita normal mas, masih ingin disentuh, masih ingin disayang, masih ingin......"

Nida tak menyelesaikan kalimatnya, tapi dari kata-katanya, aku memahami penderitaan batinnya.

"Aku gak mungkin meninggalkannya mas, ada anak-anak. Pak Rahmat sudah terlalu baik buat aku dan keluarga ku. Aku malah yang jahat padanya."

"Sudah sudah...." Aku mencoba menenangkannya. Akupun sudah kehabisan kata-kata, tak tahu harus bicara apa lagi.

Kami terdiam sesaat sebelum Nida melanjutkan perkataannya

"Terima kasih Mas sudah bikin aku bahagia, bikin aku merasa disayangi, dibelai. Diperhatikan."
"Mudah-mudahan ini yang terakhir aku begini mas."
"Terima kasih mas."

Aku mencium kepalanya yang tertutup hijabnya, Nida mendongak, kukecup lagi keningnya dengan lembut. Nida diam saja.

Lalu, sekilas kudengar langkah lari anak-anak, kulepaskan segera dekapanku, Nida pun segera mengusap dan mengeringkan airmatanya. Aku segera beranjak keluar kamar, duduk di teras.

Tak lama anak-anak Nida datang menghampiri dan segera masuk kamar menemui Umi-nya, tak lama pak Rahmat menyusul di belakangnya.

"Eh ada pak Ivan, sudah lama pak?"

"Enggak Pak Rahmat, baru aja." Jawabku berbohong.

"Sudah kelar beres-beresnya pak? Aku bertanya padanya.

"Sudah pak, makanya ini kita mau langsung mau pamit."

Tak lama Nida dan anak-anaknya keluar kamar.

Pak Rahmat melihat ke arah istrinya, "Lho mi, koq matanya merah?"

"Eh......iya bi, tadi kemasukan debu pas beres-beres di kamar." Jawabnya berbohong.

"Oh, ya udah, jangan di kucek mi."

Aku tercenung mendengar percakapan singkat sepasang suami istri ini, begitu perhatian. Aku malah mencoba merusak kebahagiaan mereka.

"Ya sudah, ayo Panji, Putri salim sama om Ivan, kita pamit." Pak Rahmat menginstruksikan pada kedua anaknya untuk berpamitan denganku.

Kedua anak itu pun bergantian menyalimi tanganku dengan takzim.

"Oh iya Pak Ivan, boleh saya minta nomor WA-nya, untuk menyambung silaturahmi."
"Barangkali Pak Ivan sedang berkunjung ke Lombok, mampirlah ke ke gubuk kami."

"Oh iya pak Rahmat, kalo saya ke Lombok, nanti saya mampir."

Aku lalu mengeluarkan kartu nama dari dalam dompetku dan menyerahkannya ke Pak Rahmat. Dibacanya kartu namaku sebentar, Nida juga sempat ikut membacanya, lalu Pak Rahmat memasukkannya ke dalam dompet dengan hati-hati, layaknya itu barang berharga.

"Ya sudah, kami pamit dulu ya pak, sekali lagi saya dan keluarga mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan pak Ivan."

"Sama-sama Pak." Jawabku.

Selama aku dan suaminya bercakap cakap, Nida tidak berkata sedikitpun, hanya memandangiku saja. Ia lebih banyak menunduk.

Pak Rahmat lalu menjabat tanganku, sedang Nida hanya menakupkan tangan di depan dadanya. Tidak bersalaman.

Aku lalu mengiringi keluarga kecil ini berjalan ke parkiran.

Mereka semua lalu masuk ke mobil, sebelum mobil berjalan, Pak Rahmat sempat berkata,
"Pak Ivan, sempatkan ya main ke lombok dan berkunjung ke rumah kami. Rumah kami selaku terbuka untuk pak Ivan."

Aku tersenyum dan menjawabnya singkat." Baik pak."

Assalamualaikum," Ia mengucapkan salam perpisahan.

"Waalaikumussalam. Hati hati di jalan pak."

Pak Rahmat lalu melajukan mobilnya, Ia dan anak-anaknya melambaikan tangan kepadaku.

Kulihat Nida duduk di bagian belakang bersama anak-anaknya, ia memandangku sekilas lalu dialihkannya pandangannya ke arah lain. Pandangannya tampak kosong, entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Ia melambaikan tangan perlahan.

Mobil keluarga Rahmat perlahan meninggalkan hotel.

Entah apa yang terjadi dengan diriku. Aku bingung dengan perasaanku. Terasa hampa, kosong dan getir sepeninggal keluarga ini. Atau mungkin lebih tepatnya sepeninggal Nida.

Tak kusangka perpisahan bisa memberikan rasa sesakit ini.

"Tuhan kadang memang hanya mempertemukan, tapi tidak mempersatukan."


***

Suatu siang suhu udara kota Denpasar terasa begitu panas. Aku sedang berada di dalam ruang kantorku yang sejuk. Sebulan semenjak kepulanganku dari Banyuwangi.

Komang, asistenku baru saja menyerahkan beberapa laporan keuangan yang segera ku baca.

Triiinggg....

Sebuah notifikasi whatsapp dari Iphoneku berbunyi, pertanda ada satu pesan yang masuk.

Aku mengabaikannya, aku tetap membaca laporan keuanganku hingga selesai dan menandatangani beberapa surat penting lainnya.

Setelah selesai, kuraih Iphone yang kuletakkan di atas meja. Kubuka icon aplikasi pesan berwarna hijau dan terlihat nomor salah satu operator selular yang tidak terdaftar dalam contact list-ku.

Kubuka, ada sebuah foto yang terkirim masuk.

"Apa ini?"

Sebuah foto yang aneh, memperlihatkan gambar sebuah alat penguji kehamilan, test pack bergambar dua garis merah sejajar.

"Siapa sih iseng kirim gambar beginian?" Tanyaku dalam hati.

Lalu aku cek photo profile si pengirim. Terlihat foto seorang wanita berkulit putih mengenakan busana muslimah berwarna 'peach', lengkap dengan niqab-nya. Hanya bagian mata yang terlihat, aku terus memperhatikan bagian tersebut. Sepasang mata yang Indah, jernih dengan kornea berwarna kecoklatan.

"Koq aku sepertinya tidak asing ya dengan mata ini?"

Aku terkesiap, nafasku tertahan, Aku tahu pemilik mata indah ini, Sepasang mata ini milik......ANIDA !!!


- Tamat -
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd