Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Cerita Sebuah Perjalanan

Lanjut...

***



I'm sorry but
Don't wanna talk
I need a moment before I go
It's nothing personal

I draw the blinds
They don't need to see me cry
'Cause even if they understand
They don't understand

Lantunan vokal Sabrina Carpenter yang berkolaborasi dengan Farruko dan Alan Walker mengalun lembut dari sound system mobilku. Menemani perjalanan yang terasa makin sepi.

Roda-roda mobilku terus menjejak aspal hitam jalur pantura melintasi Panarukan, ujung timur jalur legendaris yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Kerajaan Belanda Herman Willem Daendels pada masa kolonial.

Kota Situbondo yang sepi telah terlewati. Mobilku mulai mendekati kawasan Taman Nasional Baluran atau Hutan Baluran. Aku melambatkan laju mobilku mencoba mencari teman konvoi menembus hutan di ujung Timur pulau jawa yang terkenal angker ini. Entah kenapa malam ini arus lalu lintas menuju Banyuwangi cenderung lebih sepi, mungkin karena musim liburan telah usai.

Dua mobil kecil dan satu bis malam jurusan Denpasar - Jepara akhirnya menjadi teman konvoiku malam ini. Kubiarkan bis besar berwarna putih dan kedua Avanza itu mendahuluiku. Mereka sebagai pembuka jalan, sedang aku memilih berada di urutan paling belakang, penutup konvoi kecil ini.

Tanpa komunikasi verbal, kami sama-sama memahami situasi malam itu. Gila aja melewati hutan lebat ini seorang diri. Walau aspalnya mulus, tapi penerangan jalannya sangat minim. Apalagi aku sedang mengemudi seorang diri. Seram!

Begitu memasuki area Taman Nasional, Permainan lampu sein menjadi alat komunikasi untuk menggambarkan situasi yang terjadi di depan. Apakah ada hambatan atau mobil lain yang berpapasan.

Bagi para pelintas yang kerap melakukan perjalanan keluar kota, sedikit banyak pasti memahami bentuk komunikasi jalanan ini.

Hampir separuh hutan kami lewati. Di suatu spot setelah tanjakan, konvoi kami dikejutkan sesuatu. Sebuah mobil terparkir di tengah kegelapan belantara tanpa penanda apapun. Posisinya agak sedikit ke tengah jalan. Bahaya!

"Lho itu kan mobil keluarga yang aku temui di warung makan tadi?"
"Kenapa mereka berhenti di tengah hutan, mogok lagikah?" Sekian pertanyaan menggelayuti benakku.

Aku menginjak pedal rem dengan keras. Kuputuskan untuk berhenti dan mencoba menolong mereka. Kubiarkan konvoi di depanku terus melaju.

Karena kecepatan mobil yang cukup tinggi, aku baru bisa berhenti beberapa meter di depan mereka. Sebelum aku mundur, sempat aku perhatikan ke belakang, memastikan kembali apakah benar mobil yang berhenti tadi mobil keluarga Abi dan Umi.

Kulihat siluet seseorang yang membungkuk dan satu lagi berdiri di sisi kiri mobil, serta cahaya lampu yang tampaknya berasal dari sinar led handphone.

Setelah kupastikan bahwa memang benar itu mobil keluarga kecil yang kutemui di warung makan tadi, aku mundurkan mobilku sambil menyalakan lampu hazard.

Aku berhenti sekitar dua meter di depan mobil mereka. Lampu mundur mobilku cukup memberikan penerangan suasana di belakang. Kulihat pasangan suami istri itu berdiri dengan wajah yang pucat dan tegang memperhatikan mobilku yang tengah mundur. Setelah berhenti Kuambil senter dari dalam laci mobilku dan turun menghampiri mereka.

Tanpa mengucapkan salam aku bertanya pada mereka, "Kenapa pak, mogok lagi?"

"Iya pak," Umi yang menjawab duluan pertanyaanku.

"Iya nih pak, mogok kayak tadi lagi." Sang suami ikut menjawab.

"Tuh kan bi, coba tadi kita ikut saran bapak ini, kita gak jadi terdampar di tengah hutan kayak gini."

Wanita itu tampak menyesali keputusan suaminya yang bersikeras untuk melanjutkan perjalanan. Suaranya sedikit bergetar dan bola matanya tak berhenti bergerak, memperhatikan keadaan sekitar. Wajahnya tampak ketakutan.

Suaminya hanya bisa menghela nafas.

"Iya mi," jawabnya lirih.

"Sudah sudah," Aku memotong pembicaraan mereka.

"Yang penting gimana caranya kita bisa keluar dari hutan ini segera."

"Coba dinyalakan lagi mesinnya pak, barangkali sudah bisa," Aku memberikan instruksi pada bapak itu.

Bapak itu lalu bergerak ke arah kanan mobil, membuka pintu dan masuk ke ruang kemudi, mencoba menyalakan mesin mobil kembali , namun tampaknya usahanya sia-sia. Sang istri mengikuti di belakangnya, tampaknya ia sudah sangat ketakutan. Ia berdiri di sisi mobil, sedikit menahan pintu agar tidak tertutup seraya membantu menerangi dengan cahaya flash dari handphone miliknya. Posisinya agak menjorok ke tengah jalan.

Aku yang berdiri di depan mobil, sekilas melihat cahaya lampu yang cukup terang serta siluet badan bis besar yang melaju kencang.

Menyadari bahaya yang datang, dengan cepat aku bergerak ke sisi kanan mobil dan memposisikan diri di belakang Umi. Sepersekian detik kemudian, kedua tanganku merengkuh pinggang Umi dan menghempaskan tubuh kami merapat ke body mobil.

"Aaachhhh....." Umi berteriak tertahan. Suaranya bergidik ngeri.

Bersamaan dengan itu, hempasan angin menerjang wajah kami dengan deras.

Wuussshhh......!!!

Body bis yang besar melaju kencang hanya beberapa centimeter di samping tubuh kami. Andai saja aku terlambat beberapa detik menarik tubuh Umi, aku tak bisa membayangkan akibatnya. Aku sedikit bernafas lega menghindarkan Umi dari kecelakaan yang bisa merenggut nyawanya.

Sempat kulihat sepintas wajah pengemudi bus itu tidak kalah kaget melihat keberadaan kami di tengah kegelapan di pinggir jalan setelah tanjakan. Blind spot. Untung saja pengemudi bis itu cukup sigap, ia membanting stir sedikit ke kanan menghindarkan dari kecelakaan yang mungkin terjadi.

Umi cukup shock dengan kejadian barusan. Nafasnya tersengal, tanpa sadar ia memelukku. Menyadari situasi, aku segera sedikit mendorong tubuh Umi agar melepas pelukannya. Walau baru saja kami terhindar dari marabahaya, aku tidak mau suaminya berpikir aku memanfaatkan situasi, walaupun sejujurnya iya. Kurasakan sedikit tonjolan daging yang lembut ketika kedua payudara Umi menghimpit dadaku.

Setelah pintu mobil terbuka dan Abi keluar, Umi segera memeluk suaminya sambil ber-istighfar. Umi mulai terisak di pelukan suaminya. Nyaris saja.

Tanpa menunggu momen itu berakhir, dengan sedikit keras aku berkata pada mereka.

"Sudah pak, sebaiknya kita derek saja mobil ini keluar dari hutan."

"Semakin lama kita di tempat ini sangat berbahaya pak, ini demi keselamatan bapak dan keluarga."

Apalagi sekelebat indera penciumanku menangkap aroma singkong yang sedang dibakar. Aneh, di tengah hutan lebat ini siapa yang membakar singkong tengah malam.

Bagi pembaca yang pernah mampir ke Forum Supranatural, tentu paham, bau itu pertanda datangnya apa.

Mataku liar memandang sekeliling. Di balik rerimbunan semak belukar, aku merasa bahwa keberadaan kami di hutan ini tidak sendiri, aku merasa sedang diawasi oleh puluhan pasang mata. Bahkan di beberapa titik terlihat cahaya merah. Entah itu apa atau siapa. Pekatnya kegelapan di hutan ini, sempurna menyembunyikan keberadaan mereka.

Kulirik sekilas ke dalam mobil, anak-anak pasangan suami istri ini tampak gelisah dalam lelapnya, seperti ada yang mengganggu.

Tanpa menunggu lama, aku segera menuju mobilku dan membuka pintu bagasi, mengambil tali tambang yang cukup besar dan mulai mengikatkannya ke towing bar mobilku.

Karena aku sering melakukan perjalanan keluar kota, peralatan emergency, cukup lengkap ada di dalam mobil.

Kuberikan senter pada bapak itu dan sedikit memerintah," Tolong senterin pak."

Setelah peristiwa tadi, aku melihat Umi sudah mulai bisa menguasai dirinya. Kuminta ia segera masuk ke dalam mobil untuk menemani anak-anaknya. Sebelum ia masuk, aku sempat memintanya, melafalkan doa apapun yang ia ingat.

Umi sempat bingung dengan permintaanku, namun kemudian ia paham. Ia mengangguk perlahan.

Aku meneruskan mengikat tali, kali ini aku berjongkok di bawah mobil Carry dan mencari bagian sasis mobil yang kiranya dapat kujadikan tumpuan yang kuat untuk mengikat tali.

Setelah semua simpul dirasa kuat, aku pun meminta Abi untuk masuk ke mobilnya, tapi sebelum itu aku menginstruksikan beberapa hal agar proses penderekan ini dapat berjalan dengan baik. Sekaligus memintanya berdoa agar semuanya dapat berjalan dengan lancar dan kita semua berada dalam lindunganNya. Selamat sampai Tujuan. Karena perasaanku sedari tadi makin tidak enak.

Akupun masuk ke dalam mobilku dan menyalakan mesin. Terasa berat ketika ku mulai menarik mobil keluarga ini. Aneh, mobil keluarga itu ukurannya kecil, kutaksir beratnya tidak sampai satu ton , ditambah bobot keluarga yang tidak seberapa, pastinya tidak akan seberat ini untuk menariknya, apalagi mobilku memiliki tenaga yang cukup besar. Namun kenyataannya memang sulit, seperti ada yang menahan mobil Carry itu untuk tidak bergerak, tetap diam di tempatnya semula.

Aku pun berdoa dalam hati memohon kelancaran dan pertolongan dari Sang Maha Pencipta dan penguasa bumi serta segala isinya agar berkenan menolong kami malam ini.

Perlahan akhirnya mobil kami dapat bergerak.

Jarak 10 km yang harus kami tempuh untuk sampai keluar dari kawasan hutan ini. Rasanya terasa amat jauh dan lama. Hampir dua jam kami lalui untuk bisa keluar dari hutan ini.

Akhirnya kami mencapai pinggiran hutan, dan anehnya kini mobilku dapat melaju cepat seolah tidak ada beban berat yang mesti ditariknya.
Kulirik spion tengah dan kulihat wajah Abi dari balik kemudi juga menampakkan kelegaan.

Aku terus melajukan mobilku dan menderek mobil Abi menuju kota Banyuwangi. Pelabuhan penyeberangan Ketapang sudah terlewati, dimana semestinya saat ini aku sudah menyeberang ke pulau Bali dan pulang. Namun takdirku menghendaki aku menolong keluarga kecil ini dulu keluar dari kesulitan.

Tujuanku adalah mencari penginapan di dekat kota Banyuwangi agar besok mudah mencari bengkel dan spare part yang dibutuhkan untuk memperbaiki mobil Abi.

Tak lama aku menemukan sebuah penginapan yang tidak seberapa besar. Ku arahkan mobilku dan mobil Abi yang sedang kuderek ke dalam halaman penginapan.

Setibanya di area parkir, Seorang petugas keamanan penginapan membantu melepaskan ikatan dan mendorong mobil Abi agar dapat diparkir dengan baik.

Aku sudah cukup lelah hari itu. Kulirik jam tangan, waktu hampir mendekati pukul 3 dini hari. Pantas saja, mataku sudah berat sekali rasanya.

Segera aku mengajak keluarga kecil ini menuju meja resepsionis untuk memesan kamar, tapi kulihat pasangan suami istri ini sepertinya ragu dan saling berpandangan.

"Kenapa pak?" aku bertanya pada sang suami.

"Eh...eh...begini pak...." Bapak itu tidak melanjutkan kalimatnya.

"Begini bagaimana pak?" Walaupun kesal dan lelah, aku tetap merendahkan intonasiku.

"Eh maaf pak, .....biar kami tidur di mobil saja, kami tidak cukup punya uang untuk menyewa kamar hotel. Dana kami terbatas, belum lagi harus membetulkan mobil ini besok."

Aku terkekeh, tapi segera menyadari kesilapanku. Aku tak bermaksud menghina mereka. Aku menyadari ada beberapa keluarga yang perekonomiannya tidak seberuntung diriku.

"Oalah pak, saya kira ada apa."

"Sudah bapak kemasi saja barang-barang bapak kita tidur di kamar malam ini, bukan di mobil."
"Saya yang tanggung semuanya."
"Bapak ibu gak usah khawatir."

"Jangan pak.......dari tadi kami sudah menyusahkan bapak." Kali ini sang istri yang berbicara.

"Sudah, gak usah dipikirkan, rasanya tarif penginapan ini gak mahal, suatu saat bapak ibu ada rejeki kan bisa menggantinya." Walaupun aku tak mengharapkannya. Aku ikhlas membantu mereka.

"Lagipula apa bapak ibu tega membiarkan si kecil tidur di mobil meringkuk begitu kedinginan."

Pasangan suami istri itu otomatis melihat ke arah kedua anak mereka yang tengah tidur meringkuk

"Sudah ayo, bawa barang-barangnya masuk." Ajakku lagi.

Pasangan suami istri itu akhirnya mulai mengemasi tas-tas mereka dan membangunkan anak-anak mereka untuk berpindah tidur di dalam penginapan.

Aku memesan dua kamar. Satu untukku dan tentu saja satu lagi untuk mereka.

Heran, sejauh cerita ini berjalan, aku belum mengenal nama pasangan suami istri ini. Ah...sudahlah besok saja aku tanyakan pada mereka, aku ingin segera beristirahat malam ini.

Begitu di kamar ku putuskan untuk mandi. Tidak bisa tidur aku kalau badan lengket seperti ini setelah terpapar debu jalanan dan keringat. Air hangat segera saja menyembur dari shower, membasuh sekujur tubuhku pagi dini hari itu. Segar rasanya.

Anehnya setelah ritual mandi selesai, kantukku malah lenyap, tubuhku menjadi segar kembali.

Kucoba merebahkan badan di tempat tidur tapi mata ini sulit sekali rasanya terpejam. Pikiranku malah menerawang pada kejadian tadi ketika aku memeluk erat tubuh Umi menghindarkannya dari terjangan bis malam. Selain himpitan payudaranya di dadaku, tubuhnyapun terasa hangat dipelukan. Ah....ada apa ini?

Tak mau larut dalam imajinasi liarku, aku memutuskan keluar kamar untuk sekedar menghisap sebatang rokok sambil menunggu rasa kantuk datang kembali.

Sambil merokok, aku pun duduk di kursi taman tak jauh dari kamarku. Kuperhatikan sekeliling, penginapan yang baru aku tahu namanya Cempaka Inn, bangunannya tidak begitu besar. Hanya dua lantai. Dengan jumlah kamar sekitar 20 kamar yang sebagian besar kosong. Bangunannya berbentuk huruf U terbalik. Di tengahnya terdapat taman dan kolam renang.

Pandanganku beralih ke arah kamar Abi dan Umi yang berjarak sekitar tiga meter di sebelah kiriku. Kulihat lampu kamar mereka sudah padam, sudah tidur pikirku.

Aku terus menghisap rokokku, dan menghembuskan asapnya ke udara. Tak lama kulihat pintu kamar keluarga Abi dan Umi terbuka. Kulihat Umi yang sepertinya habis mandi keluar dari kamar untuk menjemur handuknya. Lampu teras yang tak seberapa terang cukup membantuku melihat sosok Umi. Ia hanya mengenakan baju tidur berbentuk piyama berwarna pink dengan bagian bawah celana panjang dan atasan berlengan pendek. Hijabnya tak dikenakan, menampilkan rambut yang cukup panjang. Tampak basah, sepertinya habis keramas.

Entah aku yang memang sedang horny atau apa, kulihat wanita itu terlihat lebih cantik. Tingginya sekitar 165 dengan body proporsional. Sinar lampu di belakangnya membantu menampilkan siluet tubuhnya yang menerawang dari balik piyama. Walau sudah beranak dua, pinggangnya terlihat masih cukup ramping dan tonjolan payudaranya, walau tidak begitu besar tapi bentuknya indah. Kutaksir ukurannya 34B.

Umi terus berusaha mengeringkan rambutnya dengan handuk tanpa menyadari ada sepasang mata yang coba menelanjangi setiap lekuk tubuhnya.

Tak lama ia menyadari keberadaanku yang sedang merokok di taman, cukup terkejut tapi kemudian ia mengangguk dan tersenyum. Akupun balas menganggukkan kepala.

Setelah menjemur handuknya, Umi masuk ke dalam kamar. Pintu kamarnya kembali tertutup, aku pikir ia akan segera tidur, namun ternyata tebakanku salah. Tak lama pintu kamarnya terbuka kembali. Ia tampaknya hanya menyisir rambutnya di dalam. Setelah menutup kembali pintu kamarnya, Umi berjalan menuju ke tempatku duduk.

Apa yang dilakukannya? Kenapa ia menghampiriku? Jantungku mulai berdegup kencang menantikan kejadian selanjutnya. Aku jadi salah tingkah.

Lho kenapa aku jadi seperti remaja yang sedang kasmaran begini sih? Kemana spirit Don Juanku?

"Tenang brader, take it easy." Sebuah monolog tercipta meredakan suasana hatiku.


Bersambung
==========
 
Terakhir diubah:
I'm sorry but
Don't wanna talk
I need a moment before I go
It's nothing personal

I draw the blinds
They don't need to see me cry
'Cause even if they understand
They don't understand

Lantunan vokal Sabrina Carpenter yang berkolaborasi dengan Farruko dan Alan Walker mengalun lembut dari sound system mobilku. Menemani perjalanan yang terasa makin sepi.

Roda-roda mobilku terus menjejak aspal hitam jalur pantura melintasi Panarukan, ujung timur jalur legendaris yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Kerajaan Belanda Herman Willem Daendels pada masa kolonial.

Kota Situbondo yang sepi telah terlewati. Mobilku mulai mendekati kawasan Taman Nasional Baluran atau Hutan Baluran. Aku melambatkan laju mobilku mencoba mencari teman konvoi menembus hutan di ujung Timur pulau jawa yang terkenal angker ini. Entah kenapa malam ini arus lalu lintas menuju Banyuwangi cenderung lebih sepi, mungkin karena musim liburan telah usai.

Dua mobil kecil dan satu bis malam jurusan Denpasar - Jepara akhirnya menjadi teman konvoiku malam ini. Kubiarkan bis besar berwarna putih dan kedua Avanza itu mendahuluiku. Mereka sebagai pembuka jalan, sedang aku memilih berada di urutan paling belakang, penutup konvoi kecil ini.

Tanpa komunikasi verbal, kami sama-sama memahami situasi malam itu. Gila aja melewati hutan lebat ini seorang diri. Walau aspalnya mulus, tapi penerangan jalannya sangat minim. Apalagi aku sedang mengemudi seorang diri. Seram!

Begitu memasuki area Taman Nasional, Permainan lampu sein menjadi alat komunikasi untuk menggambarkan situasi yang terjadi di depan. Apakah ada hambatan atau mobil lain yang berpapasan.

Bagi para pelintas yang kerap melakukan perjalanan keluar kota, sedikit banyak pasti memahami bentuk komunikasi jalanan ini.

Hampir separuh hutan kami lewati. Di suatu spot setelah tanjakan, konvoi kami dikejutkan sesuatu. Sebuah mobil terparkir di tengah kegelapan belantara tanpa penanda apapun. Posisinya agak sedikit ke tengah jalan. Bahaya!

"Lho itu kan mobil keluarga yang aku temui di warung makan tadi?"
"Kenapa mereka berhenti di tengah hutan, mogok lagikah?" Sekian pertanyaan menggelayuti benakku.

Aku menginjak pedal rem dengan keras. Kuputuskan untuk berhenti dan mencoba menolong mereka. Kubiarkan konvoi di depanku terus melaju.

Karena kecepatan mobil yang cukup tinggi, aku baru bisa berhenti beberapa meter di depan mereka. Sebelum aku mundur, sempat aku perhatikan ke belakang, memastikan kembali apakah benar mobil yang berhenti tadi mobil keluarga Abi dan Umi.

Kulihat siluet seseorang yang membungkuk dan satu lagi berdiri di sisi kiri mobil, serta cahaya lampu yang tampaknya berasal dari sinar led handphone.

Setelah kupastikan bahwa memang benar itu mobil keluarga kecil yang kutemui di warung makan tadi, aku mundurkan mobilku sambil menyalakan lampu hazard.

Aku berhenti sekitar dua meter di depan mobil mereka. Lampu mundur mobilku cukup memberikan penerangan suasana di belakang. Kulihat pasangan suami istri itu berdiri dengan wajah yang pucat dan tegang memperhatikan mobilku yang tengah mundur. Setelah berhenti Kuambil senter dari dalam laci mobilku dan turun menghampiri mereka.

Tanpa mengucapkan salam aku bertanya pada mereka, "Kenapa pak, mogok lagi?"

"Iya pak," Umi yang menjawab duluan pertanyaanku.

"Iya nih pak, mogok kayak tadi lagi." Sang suami ikut menjawab.

"Tuh kan bi, coba tadi kita ikut saran bapak ini, kita gak jadi terdampar di tengah hutan kayak gini."

Wanita itu tampak menyesali keputusan suaminya yang bersikeras untuk melanjutkan perjalanan. Suaranya sedikit bergetar dan bola matanya tak berhenti bergerak, memperhatikan keadaan sekitar. Wajahnya tampak ketakutan.

Suaminya hanya bisa menghela nafas.

"Iya mi," jawabnya lirih.

"Sudah sudah," Aku memotong pembicaraan mereka.

"Yang penting gimana caranya kita bisa keluar dari hutan ini segera."

"Coba dinyalakan lagi mesinnya pak, barangkali sudah bisa," Aku memberikan instruksi pada bapak itu.

Bapak itu lalu bergerak ke arah kanan mobil, membuka pintu dan masuk ke ruang kemudi, mencoba menyalakan mesin mobil kembali , namun tampaknya usahanya sia-sia. Sang istri mengikuti di belakangnya, tampaknya ia sudah sangat ketakutan. Ia berdiri di sisi mobil, sedikit menahan pintu agar tidak tertutup seraya membantu menerangi dengan cahaya flash dari handphone miliknya. Posisinya agak menjorok ke tengah jalan.

Aku yang berdiri di depan mobil, sekilas melihat cahaya lampu yang cukup terang serta siluet badan bis besar yang melaju kencang.

Menyadari bahaya yang datang, dengan cepat aku bergerak ke sisi kanan mobil dan memposisikan diri di belakang Umi. Sepersekian detik kemudian, kedua tanganku merengkuh pinggang Umi dan menghempaskan tubuh kami merapat ke body mobil.

"Aaachhhh....." Umi berteriak tertahan. Suaranya bergidik ngeri.

Bersamaan dengan itu, hempasan angin menerjang wajah kami dengan deras.

Wuussshhh......!!!

Body bis yang besar melaju kencang hanya beberapa centimeter di samping tubuh kami. Andai saja aku terlambat beberapa detik menarik tubuh Umi, aku tak bisa membayangkan akibatnya. Aku sedikit bernafas lega menghindarkan Umi dari kecelakaan yang bisa merenggut nyawanya.

Sempat kulihat sepintas wajah pengemudi bus itu tidak kalah kaget melihat keberadaan kami di tengah kegelapan di pinggir jalan setelah tanjakan. Blind spot. Untung saja pengemudi bis itu cukup sigap, ia membanting stir sedikit ke kanan menghindarkan dari kecelakaan yang mungkin terjadi.

Umi cukup shock dengan kejadian barusan. Nafasnya tersengal, tanpa sadar ia memelukku. Menyadari situasi, aku segera sedikit mendorong tubuh Umi agar melepas pelukannya. Walau baru saja kami terhindar dari marabahaya, aku tidak mau suaminya berpikir aku memanfaatkan situasi, walaupun sejujurnya iya. Kurasakan sedikit tonjolan daging yang lembut ketika kedua payudara Umi menghimpit dadaku.

Setelah pintu mobil terbuka dan Abi keluar, Umi segera memeluk suaminya sambil ber-istighfar. Umi mulai terisak di pelukan suaminya. Nyaris saja.

Tanpa menunggu momen itu berakhir, dengan sedikit keras aku berkata pada mereka.

"Sudah pak, sebaiknya kita derek saja mobil ini keluar dari hutan."

"Semakin lama kita di tempat ini sangat berbahaya pak, ini demi keselamatan bapak dan keluarga."

Apalagi sekelebat indera penciumanku menangkap aroma singkong yang sedang dibakar. Aneh, di tengah hutan lebat ini siapa yang membakar singkong tengah malam.

Bagi pembaca yang pernah mampir ke Forum Supranatural, tentu paham, bau itu pertanda datangnya apa.

Mataku liar memandang sekeliling. Di balik rerimbunan semak belukar, aku merasa bahwa keberadaan kami di hutan ini tidak sendiri, aku merasa sedang diawasi oleh puluhan pasang mata. Bahkan di beberapa titik terlihat cahaya merah. Entah itu apa atau siapa. Pekatnya kegelapan di hutan ini, sempurna menyembunyikan keberadaan mereka.

Kulirik sekilas ke dalam mobil, anak-anak pasangan suami istri ini tampak gelisah dalam lelapnya, seperti ada yang mengganggu.

Tanpa menunggu lama, aku segera menuju mobilku dan membuka pintu bagasi, mengambil tali tambang yang cukup besar dan mulai mengikatkannya ke towing bar mobilku.

Karena aku sering melakukan perjalanan keluar kota, peralatan emergency, cukup lengkap ada di dalam mobil.

Kuberikan senter pada bapak itu dan sedikit memerintah," Tolong senterin pak."

Setelah peristiwa tadi, aku melihat Umi sudah mulai bisa menguasai dirinya. Kuminta ia segera masuk ke dalam mobil untuk menemani anak-anaknya. Sebelum ia masuk, aku sempat memintanya, melafalkan doa apapun yang ia ingat.

Umi sempat bingung dengan permintaanku, namun kemudian ia paham. Ia mengangguk perlahan.

Aku meneruskan mengikat tali, kali ini aku berjongkok di bawah mobil Carry dan mencari bagian sasis mobil yang kiranya dapat kujadikan tumpuan yang kuat untuk mengikat tali.

Setelah semua simpul dirasa kuat, aku pun meminta Abi untuk masuk ke mobilnya, tapi sebelum itu aku menginstruksikan beberapa hal agar proses penderekan ini dapat berjalan dengan baik. Sekaligus memintanya berdoa agar semuanya dapat berjalan dengan lancar dan kita semua berada dalam lindunganNya. Selamat sampai Tujuan. Karena perasaanku sedari tadi makin tidak enak.

Akupun masuk ke dalam mobilku dan menyalakan mesin. Terasa berat ketika ku mulai menarik mobil keluarga ini. Aneh, mobil keluarga itu ukurannya kecil, kutaksir beratnya tidak sampai satu ton , ditambah bobot keluarga yang tidak seberapa, pastinya tidak akan seberat ini untuk menariknya, apalagi mobilku memiliki tenaga yang cukup besar. Namun kenyataannya memang sulit, seperti ada yang menahan mobil Carry itu untuk tidak bergerak, tetap diam di tempatnya semula.

Aku pun berdoa dalam hati memohon kelancaran dan pertolongan dari Sang Maha Pencipta dan penguasa bumi serta segala isinya agar berkenan menolong kami malam ini.

Perlahan akhirnya mobil kami dapat bergerak.

Jarak 10 km yang harus kami tempuh untuk sampai keluar dari kawasan hutan ini. Rasanya terasa amat jauh dan lama. Hampir dua jam kami lalui untuk bisa keluar dari hutan ini.

Akhirnya kami mencapai pinggiran hutan, dan anehnya kini mobilku dapat melaju cepat seolah tidak ada beban berat yang mesti ditariknya.
Kulirik spion tengah dan kulihat wajah Abi dari balik kemudi juga menampakkan kelegaan.

Aku terus melajukan mobilku dan menderek mobil Abi menuju kota Banyuwangi. Pelabuhan penyeberangan Ketapang sudah terlewati, dimana semestinya saat ini aku sudah menyeberang ke pulau Bali dan pulang. Namun takdirku menghendaki aku menolong keluarga kecil ini dulu keluar dari kesulitan.

Tujuanku adalah mencari penginapan di dekat kota Banyuwangi agar besok mudah mencari bengkel dan spare part yang dibutuhkan untuk memperbaiki mobil Abi.

Tak lama aku menemukan sebuah penginapan yang tidak seberapa besar. Ku arahkan mobilku dan mobil Abi yang sedang kuderek ke dalam halaman penginapan.

Setibanya di area parkir, Seorang petugas keamanan penginapan membantu melepaskan ikatan dan mendorong mobil Abi agar dapat diparkir dengan baik.

Aku sudah cukup lelah hari itu. Kulirik jam tangan, waktu hampir mendekati pukul 3 dini hari. Pantas saja, mataku sudah berat sekali rasanya.

Segera aku mengajak keluarga kecil ini menuju meja resepsionis untuk memesan kamar, tapi kulihat pasangan suami istri ini sepertinya ragu dan saling berpandangan.

"Kenapa pak?" aku bertanya pada sang suami.

"Eh...eh...begini pak...." Bapak itu tidak melanjutkan kalimatnya.

"Begini bagaimana pak?" Walaupun kesal dan lelah, aku tetap merendahkan intonasiku.

"Eh maaf pak, .....biar kami tidur di mobil saja, kami tidak cukup punya uang untuk menyewa kamar hotel. Dana kami terbatas, belum lagi harus membetulkan mobil ini besok."

Aku terkekeh, tapi segera menyadari kesilapanku. Aku tak bermaksud menghina mereka. Aku menyadari ada beberapa keluarga yang perekonomiannya tidak seberuntung diriku.

"Oalah pak, saya kira ada apa."

"Sudah bapak kemasi saja barang-barang bapak kita tidur di kamar malam ini, bukan di mobil."
"Saya yang tanggung semuanya."
"Bapak ibu gak usah khawatir."

"Jangan pak.......dari tadi kami sudah menyusahkan bapak." Kali ini sang istri yang berbicara.

"Sudah, gak usah dipikirkan, rasanya tarif penginapan ini gak mahal, suatu saat bapak ibu ada rejeki kan bisa menggantinya." Walaupun aku tak mengharapkannya. Aku ikhlas membantu mereka.

"Lagipula apa bapak ibu tega membiarkan si kecil tidur di mobil meringkuk begitu kedinginan."

Pasangan suami istri itu otomatis melihat ke arah kedua anak mereka yang tengah tidur meringkuk

"Sudah ayo, bawa barang-barangnya masuk." Ajakku lagi.

Pasangan suami istri itu akhirnya mulai mengemasi tas-tas mereka dan membangunkan anak-anak mereka untuk berpindah tidur di dalam penginapan.

Aku memesan dua kamar. Satu untukku dan tentu saja satu lagi untuk mereka.

Heran, sejauh cerita ini berjalan, aku belum mengenal nama pasangan suami istri ini. Ah...sudahlah besok saja aku tanyakan pada mereka, aku ingin segera beristirahat malam ini.

Begitu di kamar ku putuskan untuk mandi. Tidak bisa tidur aku kalau badan lengket seperti ini setelah terpapar debu jalanan dan keringat. Air hangat segera saja menyembur dari shower, membasuh sekujur tubuhku pagi dini hari itu. Segar rasanya.

Anehnya setelah ritual mandi selesai, kantukku malah lenyap, tubuhku menjadi segar kembali.

Kucoba merebahkan badan di tempat tidur tapi mata ini sulit sekali rasanya terpejam. Pikiranku malah menerawang pada kejadian tadi ketika aku memeluk erat tubuh Umi menghindarkannya dari terjangan bis malam. Selain himpitan payudaranya di dadaku, tubuhnyapun terasa hangat dipelukan. Ah....ada apa ini?

Tak mau larut dalam imajinasi liarku, aku memutuskan keluar kamar untuk sekedar menghisap sebatang rokok sambil menunggu rasa kantuk datang kembali.

Sambil merokok, aku pun duduk di kursi taman tak jauh dari kamarku. Kuperhatikan sekeliling, penginapan yang baru aku tahu namanya Cempaka Inn, bangunannya tidak begitu besar. Hanya dua lantai. Dengan jumlah kamar sekitar 20 kamar yang sebagian besar kosong. Bangunannya berbentuk huruf U terbalik. Di tengahnya terdapat taman dan kolam renang.

Pandanganku beralih ke arah kamar Abi dan Umi yang berjarak sekitar tiga meter di sebelah kiriku. Kulihat lampu kamar mereka sudah padam, sudah tidur pikirku.

Aku terus menghisap rokokku, dan menghembuskan asapnya ke udara. Tak lama kulihat pintu kamar keluarga Abi dan Umi terbuka. Kulihat Umi yang sepertinya habis mandi keluar dari kamar untuk menjemur handuknya. Lampu teras yang tak seberapa terang cukup membantuku melihat sosok Umi. Ia hanya mengenakan baju tidur berbentuk piyama berwarna pink dengan bagian bawah celana panjang dan atasan berlengan pendek. Hijabnya tak dikenakan, menampilkan rambut yang cukup panjang. Tampak basah, sepertinya habis keramas.

Entah aku yang memang sedang horny atau apa, kulihat wanita itu terlihat lebih cantik. Tingginya sekitar 165 dengan body proporsional. Sinar lampu di belakangnya membantu menampilkan siluet tubuhnya yang menerawang dari balik piyama. Walau sudah beranak dua, pinggangnya terlihat masih cukup ramping dan tonjolan payudaranya, walau tidak begitu besar tapi bentuknya indah. Kutaksir ukurannya 34B.

Umi terus berusaha mengeringkan rambutnya dengan handuk tanpa menyadari ada sepasang mata yang coba menelanjangi setiap lekuk tubuhnya.

Tak lama ia menyadari keberadaanku yang sedang merokok di taman, cukup terkejut tapi kemudian ia mengangguk dan tersenyum. Akupun balas menganggukkan kepala.

Setelah menjemur handuknya, Umi masuk ke dalam kamar. Pintu kamarnya kembali tertutup, aku pikir ia akan segera tidur, namun ternyata tebakanku salah. Tak lama pintu kamarnya terbuka kembali. Ia tampaknya hanya menyisir rambutnya di dalam. Setelah menutup kembali pintu kamarnya, Umi berjalan menuju ke tempatku duduk.

Apa yang dilakukannya? Kenapa ia menghampiriku? Jantungku mulai berdegup kencang menantikan kejadian selanjutnya. Aku jadi salah tingkah.

Lho kenapa aku jadi seperti remaja yang sedang kasmaran begini sih? Kemana spirit Don Juanku?

"Tenang brader, take it easy." Sebuah monolog tercipta meredakan suasana hatiku.

Bersambung
==========
Menunggu kelanjutannya hu
 
gan gaya penulisan ente ngingetin ane sama almarhum penulis favorit ane dulu...
alm Abdullah harahap...
sedikit bisa bernostalgia...
makasih updatenya...
kalo panjang bisa di pindah ke cerbung gan.. pasti lebih banyak yang baca...


Terima kasih gan atas apresiasinya. Senang bisa membawa kembali kenangan seseorang berkat tulisan ini.

Untuk Alm Abdullah Harahap, jujur ane belum pernah membaca novel-novel karyanya. Tapi pada jamannya ane banyak membaca novel karya Mira W dan Marga T. Bisa jadi tulisan ane sedikit terpengaruh gaya penulisan kedua novelis tersebut.

Mohon kritik dan masukan selanjutnya gan.
 
Terima kasih atas apresiasinya agan semua, terima kasih juga sudah berkenan membaca tulisan ane yang jauh dari kata sempurna, apalagi jika dibandingkan dengan karya para master di sini.

Untuk update-annya, selalu akan segera saya posting begitu selesai. Mohon kritik dan masukannya agar tulisan ini menjadi lebih baik lagi. Terima kasih.
 
Bagus jalan cerita nya jadi terbawa
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd