Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT CINTA SAYUR ASEM (by Arczre)

Aku sudah ngulang berapa kali nich cerita .. ngangenin :genit:
 
Pantengin tandai moga2 sesuai judulnya tamat..atao emang dah tamat ya...sory baru gabung di warung ini dan tidak ada niatan lgsg liat page akhir..btw nikmatin aja dulu..tinkyu suhu
 
BAB VI

He Loves Me He Loves Me Not

#Pov Anik#


Bener kaan, aku nggak bisa bilang suka ke Rian. Ia udah jadi sahabatku sejak kecil. Sialan si Elok. Ini sih bukan pembalasan, tapi penyiksaan. Kemarin saja waktu dia di rumah, aku bingung banget mau ngomong apa. Aku lesu hari ini di sekolah mikirin tantangannya Elok.

"Nik, kapan nih jadiannya?" sindir Elok.

"Aku butuh waktu," jawabku.

"Seminggu, dapetin dia dalam waktu seminggu. Kalau nggak. Kowe ngerti dewe (kamu ngerti sendiri). Hehehehe"

Aku serba salah sekarang. Aku nggak mau mengkhianati persahabatanku ama Rian. Ia sudah terlalu baik kepadaku. Aku masih keingat peristiwa kemarin di mall. Dia rela nunggu aku di sana. Emang bego banget dia. Tapi justru karena begonya itu aku jadi nggak tega mau ngancurin hatinya. Aku harus gimana??

Takut kalau misalnya Rian bener-bener jatuh cinta ama aku. Kenapa juga aku iyain tantangan si Elok. Rasanya saat itu aku seperti ketiban (kejatuhan) gunung. Beraaat banget.

Rian masuk kelas. Dia lalu duduk di bangkunya. Ia menguap lebar. Pasti tadi malam nonton film sampai lupa waktu. Dia menoleh ke arahku. Tiba-tiba saja raut mukanya berubah. Yang tadi ngantuk sekarang seperti orang yang sadar sepenuhnya. Eh, emang bisa kaya' gitu? Koq bisa. Wah, cocok jadi pemain pantomim nih anak.

Elok menaik-naikkan alisnya ketika kulihat dia. Sinting anak ini. Aku memberi isyarat kepadanya, 'Belum saatnya'.

Bel berbunyi dan kelas pun masuk. Hari itu pelajaran berlangsung seperti biasa. Aku malah tak memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru. Aku cuma menatap ke arah Rian.

Rian, sosok cowok yang tidak sempurna. Anak Pak Jaelani salah seorang yang dihormati di kampungku. Bapakku dan bapaknya berteman baik. Aku dan dia sejak kecil mainannya ya di kebon, empang, di sawah. Kami sama-sama menikmati masa kecil kami bersama-sama. Ia selalu baik kepadaku. Nggak pernah sedikit pun menyakiti aku. Walaupun kadang ada pertengkaran kecil, tapi itu bukan pertengkaran yang membuat persahabatan kami retak.

Dia sahabatku, orang yang pertama kali menjengukku ketika aku sakit. Orang yang care kepadaku ketika aku sedang ketinggalan pelajaran. Dia mau membagikan catatannya. Pas aku kena maag, dia orang pertama yang tahu. Pas aku butuh obat asma, dialah rela beliin obatnya ke apotek. Dari sini dia baru tahu kalau aku ngidap penyakit asma. Orang tuaku dan Mbak Rahma saja nggak tahu. Apa iya tega aku harus nyakitin cowok yang udah baik kepadaku selama ini?

Jam istirahat datang. Rian mengambil sebuah kotak bekal, kemudian ia berjalan menuju ke kantin. Ah iya. Dia sering bawa kotak bekal. Aku ikuti dia sampai ke kantin. Di sana dia duduk sendiri. Seperti biasanya. Menikmati makan paginya seorang diri. Aku pun segera menghampirinya. Duduk di depannya.

"Hai," sapaku.

"Uhuk uhuk uhuk!" ia terkejut melihatku dan tersedak. Buru-buru ia mengambil minum air mineral yang ada di meja. "Aaahh...bikin kaget aja Nik. Ada apa?"

"Nggak apa-apa, cuma kepengen nemenin kamu aja," jawabku.

Matanya menyelidik ke mataku. Ia sepertinya mengetahui ada yang aneh.

"Apaan sih?" tanyaku.

"Nggak, tumben aja. Pasti kamu ada masalah," ini yang kusuka dari Rian. Dia itu seperti punya radar di kepalanya. Kalau aku punya masalah ia pasti tahu.

"Iya juga sih," kataku.

"Naah, bener kan? Cerita aja, tapi aku sambil makan yah. Belum sarapan dari rumah," katanya.

Rian melanjutkan makannya. Enak sekali cara dia makan. Padahal lauknya cuma sayur oseng ama tempe goreng. Entah kenapa nasi itu bisa ia kunyah dengan sayurnya, ia sangat menikmati sarapan paginya. Aku menyangga kepalaku dengan tangan. Kutatap lekat-lekat wajahnya itu. Aku harus mulai dari mana ya?

"Silakan ngobrol!" katanya.

"Eh, iya. Anu...itu...hhmmm," aku nggak berani ngomong. Nggak, aku biasanya punya sesuatu yang bisa dibahas ama dia koq. "Ah iya, aku udah tobat Yan. Nggak mau lagi nyakitin hati cowok."

Dia menghentikan kunyahannya. Diambilnya air minum. Setelah isi mulutnya bersih ia baru bicara, "Serius?"

Aku mengangguk.

"Nah, gitu dong. Beneran lho ya, kalau habis ini kamu melakukan hal-hal gitu lagi, aku bakalan buenci ama kamu," katanya. "Cowok itu punya hati juga soalnya. ....(aku nggak dengerin dia karena aku sudah menerawang jauh)."

Kata-katanya itu. Dia akan membenci aku kalau sampai melakukannya lagi. Tapi masalahnya kamu yang jadi targetnya Rian. Masalahnya kamu yang jadi targetnya.

"Kamu sibuk nggak nanti?" tanyaku.

Dia menatap langit-langit seperti berpikir keras. "Nggak juga sih, kenapa?"

"Aku kepengen jalan-jalan aja, nenangin pikiran. Temenin yah!"

"Kapan? Nanti sore?"

"Habis pulang sekolah anterin aku."

"OK!" Begitulah Rian, selalu bilang OK walaupun dia sebenarnya nggak OK.

***

Pulang sekolah aku ama dia naik angkot menuju ke salah satu taman wisata yang ada Guanya di sebelah barat. Di sebelah selatan ada water parknya. Kami jalan-jalan di sekitar gua ini. Lalu duduk di atas tanah yang berada di atas gua. Dari sini aku bisa melihat pemandangan kota Kediri yang luas. Tampak dari kejauhan susunan kompleks pabrik rokok Gudang Garam terlihat dari sini. Tentu saja terlihat, kami ada di atas gunung soalnya.

"Dari tadi diem aja?" tanya Rian. Dia duduk di sampingku.

Aku kemudian menaruh kepalaku di bahunya. "Aku ingin bersandar sebentar Rian."

"Yah, silakan!"

Angin sepoi-sepoi menerpa kami berdua. Semilirnya membawa terbang beberapa dedaunan kering. Suara gesekan daun beringin yang pohonnya tumbuh di bawah kami terdengar. Agak jauh bisa kulihat bangunan Museum Airlangga dan pedagang kaki lima yang terjejer rapi menjajakan barang dagangan.

"Yan, kamu punya perasaan ama aku nggak sih?" tanyaku tiba-tiba.

Rian nggak menjawab.

"Punya nggak?" aku kembali bertanya.

"Kalau punya emang kenapa kalau nggak kenapa?"

"Koq jadi tanya balik sih?"

"Kalau aku suka ama kamu, bukannya itu wajar? Kamu kan sahabatku."

"Maksudku bukan itu," aku menegakkan kepalaku. Kutatap wajahnya. "Kamu, suka ama aku? Suka dalam arti cinta ama aku?"

Rian lagi-lagi nggak menjawab. Aku ingin tahu. Apakah dia benar-benar suka ama aku atau tidak? Kalau dia menyukaiku aku yakin dia makin benci kepadaku nantinya. Tapi kalau tidak, aku bisa minta tolong kepadanya untuk pura-pura menyukaiku di hadapan Elok.

"Sejujurnya...."

Aku menunggu. Ayo katakan.

"Ah, koq malah bahas ini? Udah ah, bahas yang lain aja."

"Riaaan...katakan dong!"

"Iya aku suka ama kamu. Aku jujur suka ama kamu, sejak dulu, sejak dulu aku suka ama kamu. Sejak kecil aku sudah suka ama kamu, sejak aku masih punya cinta monyet ama kamu," dia bilang itu sambil nafasnya terengah-engah. Seperti mengeluakan semua yang dipendam dia selama ini.

Naahh, kaaaaan. Dia suka beneran ama aku. Mati aku. Bego aku. Begooo...dia bakal benci ama aku. Riaan...maafin aku ya. Tak terasa air mataku mengalir.

"Anterin aku pulang deh," kataku.

Ia menoleh ke arahku. "Koq kamu nangis?"

"Kamu bego banget jadi cowok. Anterin aku pulang!"

"Iya, iya."

Kami pun berdiri. Selama menuju tempat parkir menuruni anak tangga di tempat wisata ini, kami tak bicara. Rian mungkin tak ingin bicara lagi. Dia sudah ungkapkan kata hatinya selama ini. Sedangkan aku, aku bingung. Hingga akhirnya aku pun mengeluarkannya.

"Aku juga suka ama kamu," kataku.

"Apa Nik? Kamu tadi ngomong apa?" tanya Rian.

"Aku suka ama kamu," aku memaksa senyum kepadanya. Senyum yang nggak ikhlas. Aku tersenyum tapi air mataku meleleh.

Untuk sesaat kami berdua saling pandang. Kami berdiri saling berhadapan, dua anak SMA yang masih saling mencari jati diri berdiri mengakui keadaan hati mereka saat ini. Rian, dengan berat hati aku mengatakan ini. Aku juga suka ama kamu sebenarnya. Tapi kenapa harus terjadi seperti ini??

"Ayo kita pulang!" katanya.

Ia menggandengku. Erat. Seakan ia tak mau melepasnya. Aku jatuh cinta ama dia. Tidak. Aku ini adalah penakluk laki-laki. Kenapa aku harus takluk kepada Rian? Kenapa malah aku yang takluk ama sahabatku sendiri. Ia tak bicara. Memang tak perlu kami bicara. Bahasa tubuh kami sudah mengatakan segalanya. Ia mencintaiku. Aku juga. Oh Rian. Maafkan aku.

(bersambung...)
Wah jalan2 ke gunung klotok nich mantap suhu
 
BAB VIII

Nikmati aja Part II



Nikmatnya ciuman pertama itu seperti es salju
Dinginnya sampai ke hati
Manisnya seperti gula aren
Mabuk kepayang seperti anggur yang usianya ratusan tahun

Nggak perlu gin atau pun vodka
Para pecinta akan mabuk dengan sendirinya ketika mereka mendapatkan ciuman pertamanya.


#Pov Anik#

Elok kaget melihatku hari itu datang ke sekolah dibonceng oleh Rian. Aku tersenyum penuh kemenangan kepadanya. Dia menggeleng-geleng sambil mengacungkan jempol. Kemudian jari telunjuknya diacungkan dan memberikan isyarat untuk berhenti dengan menempelkannya di telapak tangan kirinya. Aku tahu artinya. Satu bulan lagi, aku harus mengakhiri hubungan ini. Bodo amat ama Elok. Aku tak peduli.

Ada yang aneh ama Rian hari ini. Ia menggandeng tanganku. Tak biasanya ia menggandeng tanganku. Dan ia menggenggam tanganku erat seolah-olah tak mau dilepaskan sampai aku sakit.

"Rian, udah dong! Sakit," kataku.

Rian melonggarkan genggamannya. "Maaf, aku hanya tak ingin engkau lari Nik. Aku ingin bisa menggandengmu terus."

Sial, kenapa jadi melankolis begini sih. Aku biasanya banyak bicara kalau di dekat Rian. Tapi dengan perlakuannya pagi ini. Aku banyak diam. Banyak menunduk, malu, bingung, campur aduk jadi satu.

Hari itu aku menemaninya kemana-mana. Bingung aja sih, kami sudah biasa melakukannya, tapi ini lain. Mungkin karena sekarang ada benih-benih cinta yang tumbuh di antara kami. Aku baru menyadarinya. Rian telah lama menyebarkan benih-benih cintanya kepadaku dengan persahabatan. Dia berikan tanpa aku sadari. Hingga kemudian aku pun jatuh ke dalam perangkap cintanya. Aku yang seharusnya memberikan perangkap itu sekarang malah senjata makan tuan.

Ia menikmati hari-hari bersamaku, belajar bersamaku, makan di kantin bersamaku, berangkat sekolah bersamaku, pulang sekolah bersamaku. Dan malam minggu aku pun dijemputnya. Inilah malam yang tak akan terlupakan seumur hidupku. Aku tak akan melupakan momen-momen terindah yang ia berikan kepadaku malam ini.

"Jalan kemana kita?" tanya Rian.

"Terserah deh, aku ngikut," jawabku.

Dia menstarter motornya. Kota Kediri ini dekat dengan dua gunung. Gunung Klotok dan Gunung Wilis. Rian mengajakku untuk pergi ke Sumber Podang. Sebuah tempat di mana di sini cukup indah pemandangannya. Tanaman-tanamannya asri, ada hutan pinus yang masih ditemukan beberapa ekor tupai. Anak-anak tampak senang mandi di kali. Mereka mengingatkanku dengan Rian ketika kecil dulu. Rian mengajakku di sebuah gubuk di pinggir sawah. Kami duduk berdua di sana. Ia masih saja menggenggam erat tanganku.

"Aku jadi ingat ketika kita maen di empang dulu," kataku.

"Ah nggak, itu masa-masa terburuk," kata Rian.

"Apaan sih? Masa-masa indah tauk."

"Nggak ah, masa-masa buruk. Gara-gara main di empang pulang nginjek tletong sapi."

"Hahahahaha, salah sendiri nggak hati-hati."

"Bukan salahku. Kamunya juga yang ngejahilin aku."

"Kan emang kamu gampang dijahilin koq, Yan."

"Kalau aku sih emang sengaja ngalah koq Nik. Aku pasrah selalu kamu jahilin."

"Gombal."

"Yah, terserah percaya apa nggak. Tapi aku sekarang lega rasanya. Plooong banget."

"Lega gimana?"

"Aku telah menumpahkan perasaanku selama ini ke kamu."

Rian menoleh kepadaku. Tangannya mengusap pipiku. Duh...ini pertama kalinya seorang cowok mengusap pipiku.

"Aku sebenarnya penasaran Nik, mungkin juga bisa pingsan saat ini juga," katanya.

"Ada apa emang?"

"Aku boleh nyium kamu?"

DEG! Jantungku berdegup kencang. Apa aku nggak salah dengar? Rian....mau nyium aku. Aduh, sebentar. Sebentar. Rian, kamu tahu apa yang kamu katakan nggak? Aku nggak pernah dicium cowok Rian. Aku berkali-kali nolak koq mantan-mantanku mau nyium aku. Tapi, kenapa kamu ingin? Dan kenapa juga aku nggak nolak ya?

Tangan kananku digenggam dengan tangan kirinya. Tangan kanannya memegang wajahku agar maju ke arahnya. No no no...tidak, jangan Rian. Jangan, jangan Rian. Aku bisa cinta beneran ama kamu. Terlambat deh.....terlambat.

Aaahh....dunia melayang rasanya. Mataku terpejam saat bibirnya menyentuh bibirku. Alamak, aku mau pingsan sekarang. Nafasnya sekarang berhembus di wajahku. Aduh....nikmatnya. Manisnya ciuman ini. Dadaku makin berdegup kencang. Ada sesuatu rasa sesak di dadaku, rasa sesak yang amat, hingga seluruh panca inderaku tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Inikah rasanya ciuman pertama? Bibirku telah kuberikan kepada cowok ini. Teman sepermainanku sejak kecil. Dia menarik bibirnya. Tidak, aku ingin lagi. Tolong Rian lagi. Kepalaku kumajukan lagi dan mencari bibirnya. Ia menyambutku. Dicium lagi bibirku dan ditekannya lembut. Ahhh....Riaaann...

Cukup lama kami berciuman. Aku malu, mukaku memerah. Telingaku panas. Rian juga pasti. Kami canggung sekarang. Nggak ada kata-kata yang terucap. Aku kemudian bersandar di dadanya. Ia bersandar di dinding kayu gubuk ini. Tangan Rian melingkar diperutku. Tangan kiriku mendekap tangannya. Dadanya itu....nyaman sekali. Ia menciumi ubun-ubunku berkali-kali. Nyaman rasanya.

"Rian, aku baru kali ini dicium cowok," kataku jujur.

"Aku juga, baru kali ini nyium cewek," katanya.

"Berarti ini first kiss kita, ya?"

Rian mengangguk.

"Aku tak akan melupakan saat-saat ini Rian. Aku tak akan melupakannya. Aku ingin waktu berjalan lambat sekarang agar aku bisa seperti ini terus bersamamu."

Rian mencium kepalaku lagi. Kini ia mengangkat daguku. Kami berciuman lagi. Aduuhh...dia romantis sekali sih. Aku merasakan sesuatu yang mengganjal di pinggangku. Itunya Rian berdiri. Keras banget. Malu, itulah yang sekarang ini aku rasakan.

Pulang ke rumah wajahku memerah. Aku berusaha menyembunyikannya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku tahu Mbak Rahma sedikit suka ama Rian. Aku nggak ingin dia tahu kalau aku sudah jadian ama Rian. Kacaaau banget aku. Harusnya aku nggak jatuh cinta ama cowok, tapi ini beda. Aku yang jatuh cinta.

Aku tak banyak bicara. Langsung masuk kamar. Terus terang hatiku berbunga-bunga saat ini. Nggak mau siapapun menggangguku, kukunci pintu kamarku. Merebahkan diri di kasur sambil berulang kali aku sebut nama Rian. "Rian...Rian....Rian..."

#Pov Rian#

Sueneeeeeeeeeennngggg banget. Akhirnya aku bisa ngerasain gimana sih rasanya ciuman itu. Rasanya manis, lembut apalagi pake bibirnya Anik. Aduh....lemes aku, selama ciuman tadi otongku tegang terus. Buset dah. Cukup deh hari ini. Aku makin cinta ama Anik. Dia juga cinta ama aku. Duh gusti.

Mas Yogi tampak sedang menyemir sepatunya. Ia menatapku dengan pandangan aneh.

"Nahh...ini sepertinya ada kabar baru ini. Gimana kencannya?" tanyanya.

Aku cuma ngacungin jempol.

"Wasem, kon apakne si Anik(Asem, kamu apain si Anik)?" tanyanya.

Aku nempelin jari telunjuk ku yang kanan ke yang kiri. Tiba-tiba Mas Yogi ngelempar kain lapnya ke mukaku.

"Aduh!" aku segera menepisnya.

"Jiangkriiiikk....aseeem tenan. Adikku wis gedhe. Wahahahahaha," Mas Yogi ketawa keras. "Lanjutkan my brother, lanjutkan!"

Aku senyum-senyum sendiri masuk ke kamar. Dah ah, hatiku lagi seneng. Hari itu, aku pun mulai memasang foto Anik di laptopku. Aku ngeprint foto dia dan aku tempelin di kamar. Aku juga nyimpen foto dia di dompetku. Seneng pokoke atiku. Aku malam itu tidur sambil meluk guling, Moga malam ini mimpi ketemu dia. Emang bisa mimpi dipesen? Kalau bisa sih.
Saiki ng podang mben nang ndolo yo kang
 
BAB VIII

Nikmati aja Part II



Nikmatnya ciuman pertama itu seperti es salju
Dinginnya sampai ke hati
Manisnya seperti gula aren
Mabuk kepayang seperti anggur yang usianya ratusan tahun

Nggak perlu gin atau pun vodka
Para pecinta akan mabuk dengan sendirinya ketika mereka mendapatkan ciuman pertamanya.


#Pov Anik#

Elok kaget melihatku hari itu datang ke sekolah dibonceng oleh Rian. Aku tersenyum penuh kemenangan kepadanya. Dia menggeleng-geleng sambil mengacungkan jempol. Kemudian jari telunjuknya diacungkan dan memberikan isyarat untuk berhenti dengan menempelkannya di telapak tangan kirinya. Aku tahu artinya. Satu bulan lagi, aku harus mengakhiri hubungan ini. Bodo amat ama Elok. Aku tak peduli.

Ada yang aneh ama Rian hari ini. Ia menggandeng tanganku. Tak biasanya ia menggandeng tanganku. Dan ia menggenggam tanganku erat seolah-olah tak mau dilepaskan sampai aku sakit.

"Rian, udah dong! Sakit," kataku.

Rian melonggarkan genggamannya. "Maaf, aku hanya tak ingin engkau lari Nik. Aku ingin bisa menggandengmu terus."

Sial, kenapa jadi melankolis begini sih. Aku biasanya banyak bicara kalau di dekat Rian. Tapi dengan perlakuannya pagi ini. Aku banyak diam. Banyak menunduk, malu, bingung, campur aduk jadi satu.

Hari itu aku menemaninya kemana-mana. Bingung aja sih, kami sudah biasa melakukannya, tapi ini lain. Mungkin karena sekarang ada benih-benih cinta yang tumbuh di antara kami. Aku baru menyadarinya. Rian telah lama menyebarkan benih-benih cintanya kepadaku dengan persahabatan. Dia berikan tanpa aku sadari. Hingga kemudian aku pun jatuh ke dalam perangkap cintanya. Aku yang seharusnya memberikan perangkap itu sekarang malah senjata makan tuan.

Ia menikmati hari-hari bersamaku, belajar bersamaku, makan di kantin bersamaku, berangkat sekolah bersamaku, pulang sekolah bersamaku. Dan malam minggu aku pun dijemputnya. Inilah malam yang tak akan terlupakan seumur hidupku. Aku tak akan melupakan momen-momen terindah yang ia berikan kepadaku malam ini.

"Jalan kemana kita?" tanya Rian.

"Terserah deh, aku ngikut," jawabku.

Dia menstarter motornya. Kota Kediri ini dekat dengan dua gunung. Gunung Klotok dan Gunung Wilis. Rian mengajakku untuk pergi ke Sumber Podang. Sebuah tempat di mana di sini cukup indah pemandangannya. Tanaman-tanamannya asri, ada hutan pinus yang masih ditemukan beberapa ekor tupai. Anak-anak tampak senang mandi di kali. Mereka mengingatkanku dengan Rian ketika kecil dulu. Rian mengajakku di sebuah gubuk di pinggir sawah. Kami duduk berdua di sana. Ia masih saja menggenggam erat tanganku.

"Aku jadi ingat ketika kita maen di empang dulu," kataku.

"Ah nggak, itu masa-masa terburuk," kata Rian.

"Apaan sih? Masa-masa indah tauk."

"Nggak ah, masa-masa buruk. Gara-gara main di empang pulang nginjek tletong sapi."

"Hahahahaha, salah sendiri nggak hati-hati."

"Bukan salahku. Kamunya juga yang ngejahilin aku."

"Kan emang kamu gampang dijahilin koq, Yan."

"Kalau aku sih emang sengaja ngalah koq Nik. Aku pasrah selalu kamu jahilin."

"Gombal."

"Yah, terserah percaya apa nggak. Tapi aku sekarang lega rasanya. Plooong banget."

"Lega gimana?"

"Aku telah menumpahkan perasaanku selama ini ke kamu."

Rian menoleh kepadaku. Tangannya mengusap pipiku. Duh...ini pertama kalinya seorang cowok mengusap pipiku.

"Aku sebenarnya penasaran Nik, mungkin juga bisa pingsan saat ini juga," katanya.

"Ada apa emang?"

"Aku boleh nyium kamu?"

DEG! Jantungku berdegup kencang. Apa aku nggak salah dengar? Rian....mau nyium aku. Aduh, sebentar. Sebentar. Rian, kamu tahu apa yang kamu katakan nggak? Aku nggak pernah dicium cowok Rian. Aku berkali-kali nolak koq mantan-mantanku mau nyium aku. Tapi, kenapa kamu ingin? Dan kenapa juga aku nggak nolak ya?

Tangan kananku digenggam dengan tangan kirinya. Tangan kanannya memegang wajahku agar maju ke arahnya. No no no...tidak, jangan Rian. Jangan, jangan Rian. Aku bisa cinta beneran ama kamu. Terlambat deh.....terlambat.

Aaahh....dunia melayang rasanya. Mataku terpejam saat bibirnya menyentuh bibirku. Alamak, aku mau pingsan sekarang. Nafasnya sekarang berhembus di wajahku. Aduh....nikmatnya. Manisnya ciuman ini. Dadaku makin berdegup kencang. Ada sesuatu rasa sesak di dadaku, rasa sesak yang amat, hingga seluruh panca inderaku tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Inikah rasanya ciuman pertama? Bibirku telah kuberikan kepada cowok ini. Teman sepermainanku sejak kecil. Dia menarik bibirnya. Tidak, aku ingin lagi. Tolong Rian lagi. Kepalaku kumajukan lagi dan mencari bibirnya. Ia menyambutku. Dicium lagi bibirku dan ditekannya lembut. Ahhh....Riaaann...

Cukup lama kami berciuman. Aku malu, mukaku memerah. Telingaku panas. Rian juga pasti. Kami canggung sekarang. Nggak ada kata-kata yang terucap. Aku kemudian bersandar di dadanya. Ia bersandar di dinding kayu gubuk ini. Tangan Rian melingkar diperutku. Tangan kiriku mendekap tangannya. Dadanya itu....nyaman sekali. Ia menciumi ubun-ubunku berkali-kali. Nyaman rasanya.

"Rian, aku baru kali ini dicium cowok," kataku jujur.

"Aku juga, baru kali ini nyium cewek," katanya.

"Berarti ini first kiss kita, ya?"

Rian mengangguk.

"Aku tak akan melupakan saat-saat ini Rian. Aku tak akan melupakannya. Aku ingin waktu berjalan lambat sekarang agar aku bisa seperti ini terus bersamamu."

Rian mencium kepalaku lagi. Kini ia mengangkat daguku. Kami berciuman lagi. Aduuhh...dia romantis sekali sih. Aku merasakan sesuatu yang mengganjal di pinggangku. Itunya Rian berdiri. Keras banget. Malu, itulah yang sekarang ini aku rasakan.

Pulang ke rumah wajahku memerah. Aku berusaha menyembunyikannya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku tahu Mbak Rahma sedikit suka ama Rian. Aku nggak ingin dia tahu kalau aku sudah jadian ama Rian. Kacaaau banget aku. Harusnya aku nggak jatuh cinta ama cowok, tapi ini beda. Aku yang jatuh cinta.

Aku tak banyak bicara. Langsung masuk kamar. Terus terang hatiku berbunga-bunga saat ini. Nggak mau siapapun menggangguku, kukunci pintu kamarku. Merebahkan diri di kasur sambil berulang kali aku sebut nama Rian. "Rian...Rian....Rian..."

#Pov Rian#

Sueneeeeeeeeeennngggg banget. Akhirnya aku bisa ngerasain gimana sih rasanya ciuman itu. Rasanya manis, lembut apalagi pake bibirnya Anik. Aduh....lemes aku, selama ciuman tadi otongku tegang terus. Buset dah. Cukup deh hari ini. Aku makin cinta ama Anik. Dia juga cinta ama aku. Duh gusti.

Mas Yogi tampak sedang menyemir sepatunya. Ia menatapku dengan pandangan aneh.

"Nahh...ini sepertinya ada kabar baru ini. Gimana kencannya?" tanyanya.

Aku cuma ngacungin jempol.

"Wasem, kon apakne si Anik(Asem, kamu apain si Anik)?" tanyanya.

Aku nempelin jari telunjuk ku yang kanan ke yang kiri. Tiba-tiba Mas Yogi ngelempar kain lapnya ke mukaku.

"Aduh!" aku segera menepisnya.

"Jiangkriiiikk....aseeem tenan. Adikku wis gedhe. Wahahahahaha," Mas Yogi ketawa keras. "Lanjutkan my brother, lanjutkan!"

Aku senyum-senyum sendiri masuk ke kamar. Dah ah, hatiku lagi seneng. Hari itu, aku pun mulai memasang foto Anik di laptopku. Aku ngeprint foto dia dan aku tempelin di kamar. Aku juga nyimpen foto dia di dompetku. Seneng pokoke atiku. Aku malam itu tidur sambil meluk guling, Moga malam ini mimpi ketemu dia. Emang bisa mimpi dipesen? Kalau bisa sih.
Saiki ng podang mben nang ndolo yo kang
 
BAB VIII

Nikmati aja Part II



Nikmatnya ciuman pertama itu seperti es salju
Dinginnya sampai ke hati
Manisnya seperti gula aren
Mabuk kepayang seperti anggur yang usianya ratusan tahun

Nggak perlu gin atau pun vodka
Para pecinta akan mabuk dengan sendirinya ketika mereka mendapatkan ciuman pertamanya.


#Pov Anik#

Elok kaget melihatku hari itu datang ke sekolah dibonceng oleh Rian. Aku tersenyum penuh kemenangan kepadanya. Dia menggeleng-geleng sambil mengacungkan jempol. Kemudian jari telunjuknya diacungkan dan memberikan isyarat untuk berhenti dengan menempelkannya di telapak tangan kirinya. Aku tahu artinya. Satu bulan lagi, aku harus mengakhiri hubungan ini. Bodo amat ama Elok. Aku tak peduli.

Ada yang aneh ama Rian hari ini. Ia menggandeng tanganku. Tak biasanya ia menggandeng tanganku. Dan ia menggenggam tanganku erat seolah-olah tak mau dilepaskan sampai aku sakit.

"Rian, udah dong! Sakit," kataku.

Rian melonggarkan genggamannya. "Maaf, aku hanya tak ingin engkau lari Nik. Aku ingin bisa menggandengmu terus."

Sial, kenapa jadi melankolis begini sih. Aku biasanya banyak bicara kalau di dekat Rian. Tapi dengan perlakuannya pagi ini. Aku banyak diam. Banyak menunduk, malu, bingung, campur aduk jadi satu.

Hari itu aku menemaninya kemana-mana. Bingung aja sih, kami sudah biasa melakukannya, tapi ini lain. Mungkin karena sekarang ada benih-benih cinta yang tumbuh di antara kami. Aku baru menyadarinya. Rian telah lama menyebarkan benih-benih cintanya kepadaku dengan persahabatan. Dia berikan tanpa aku sadari. Hingga kemudian aku pun jatuh ke dalam perangkap cintanya. Aku yang seharusnya memberikan perangkap itu sekarang malah senjata makan tuan.

Ia menikmati hari-hari bersamaku, belajar bersamaku, makan di kantin bersamaku, berangkat sekolah bersamaku, pulang sekolah bersamaku. Dan malam minggu aku pun dijemputnya. Inilah malam yang tak akan terlupakan seumur hidupku. Aku tak akan melupakan momen-momen terindah yang ia berikan kepadaku malam ini.

"Jalan kemana kita?" tanya Rian.

"Terserah deh, aku ngikut," jawabku.

Dia menstarter motornya. Kota Kediri ini dekat dengan dua gunung. Gunung Klotok dan Gunung Wilis. Rian mengajakku untuk pergi ke Sumber Podang. Sebuah tempat di mana di sini cukup indah pemandangannya. Tanaman-tanamannya asri, ada hutan pinus yang masih ditemukan beberapa ekor tupai. Anak-anak tampak senang mandi di kali. Mereka mengingatkanku dengan Rian ketika kecil dulu. Rian mengajakku di sebuah gubuk di pinggir sawah. Kami duduk berdua di sana. Ia masih saja menggenggam erat tanganku.

"Aku jadi ingat ketika kita maen di empang dulu," kataku.

"Ah nggak, itu masa-masa terburuk," kata Rian.

"Apaan sih? Masa-masa indah tauk."

"Nggak ah, masa-masa buruk. Gara-gara main di empang pulang nginjek tletong sapi."

"Hahahahaha, salah sendiri nggak hati-hati."

"Bukan salahku. Kamunya juga yang ngejahilin aku."

"Kan emang kamu gampang dijahilin koq, Yan."

"Kalau aku sih emang sengaja ngalah koq Nik. Aku pasrah selalu kamu jahilin."

"Gombal."

"Yah, terserah percaya apa nggak. Tapi aku sekarang lega rasanya. Plooong banget."

"Lega gimana?"

"Aku telah menumpahkan perasaanku selama ini ke kamu."

Rian menoleh kepadaku. Tangannya mengusap pipiku. Duh...ini pertama kalinya seorang cowok mengusap pipiku.

"Aku sebenarnya penasaran Nik, mungkin juga bisa pingsan saat ini juga," katanya.

"Ada apa emang?"

"Aku boleh nyium kamu?"

DEG! Jantungku berdegup kencang. Apa aku nggak salah dengar? Rian....mau nyium aku. Aduh, sebentar. Sebentar. Rian, kamu tahu apa yang kamu katakan nggak? Aku nggak pernah dicium cowok Rian. Aku berkali-kali nolak koq mantan-mantanku mau nyium aku. Tapi, kenapa kamu ingin? Dan kenapa juga aku nggak nolak ya?

Tangan kananku digenggam dengan tangan kirinya. Tangan kanannya memegang wajahku agar maju ke arahnya. No no no...tidak, jangan Rian. Jangan, jangan Rian. Aku bisa cinta beneran ama kamu. Terlambat deh.....terlambat.

Aaahh....dunia melayang rasanya. Mataku terpejam saat bibirnya menyentuh bibirku. Alamak, aku mau pingsan sekarang. Nafasnya sekarang berhembus di wajahku. Aduh....nikmatnya. Manisnya ciuman ini. Dadaku makin berdegup kencang. Ada sesuatu rasa sesak di dadaku, rasa sesak yang amat, hingga seluruh panca inderaku tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Inikah rasanya ciuman pertama? Bibirku telah kuberikan kepada cowok ini. Teman sepermainanku sejak kecil. Dia menarik bibirnya. Tidak, aku ingin lagi. Tolong Rian lagi. Kepalaku kumajukan lagi dan mencari bibirnya. Ia menyambutku. Dicium lagi bibirku dan ditekannya lembut. Ahhh....Riaaann...

Cukup lama kami berciuman. Aku malu, mukaku memerah. Telingaku panas. Rian juga pasti. Kami canggung sekarang. Nggak ada kata-kata yang terucap. Aku kemudian bersandar di dadanya. Ia bersandar di dinding kayu gubuk ini. Tangan Rian melingkar diperutku. Tangan kiriku mendekap tangannya. Dadanya itu....nyaman sekali. Ia menciumi ubun-ubunku berkali-kali. Nyaman rasanya.

"Rian, aku baru kali ini dicium cowok," kataku jujur.

"Aku juga, baru kali ini nyium cewek," katanya.

"Berarti ini first kiss kita, ya?"

Rian mengangguk.

"Aku tak akan melupakan saat-saat ini Rian. Aku tak akan melupakannya. Aku ingin waktu berjalan lambat sekarang agar aku bisa seperti ini terus bersamamu."

Rian mencium kepalaku lagi. Kini ia mengangkat daguku. Kami berciuman lagi. Aduuhh...dia romantis sekali sih. Aku merasakan sesuatu yang mengganjal di pinggangku. Itunya Rian berdiri. Keras banget. Malu, itulah yang sekarang ini aku rasakan.

Pulang ke rumah wajahku memerah. Aku berusaha menyembunyikannya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku tahu Mbak Rahma sedikit suka ama Rian. Aku nggak ingin dia tahu kalau aku sudah jadian ama Rian. Kacaaau banget aku. Harusnya aku nggak jatuh cinta ama cowok, tapi ini beda. Aku yang jatuh cinta.

Aku tak banyak bicara. Langsung masuk kamar. Terus terang hatiku berbunga-bunga saat ini. Nggak mau siapapun menggangguku, kukunci pintu kamarku. Merebahkan diri di kasur sambil berulang kali aku sebut nama Rian. "Rian...Rian....Rian..."

#Pov Rian#

Sueneeeeeeeeeennngggg banget. Akhirnya aku bisa ngerasain gimana sih rasanya ciuman itu. Rasanya manis, lembut apalagi pake bibirnya Anik. Aduh....lemes aku, selama ciuman tadi otongku tegang terus. Buset dah. Cukup deh hari ini. Aku makin cinta ama Anik. Dia juga cinta ama aku. Duh gusti.

Mas Yogi tampak sedang menyemir sepatunya. Ia menatapku dengan pandangan aneh.

"Nahh...ini sepertinya ada kabar baru ini. Gimana kencannya?" tanyanya.

Aku cuma ngacungin jempol.

"Wasem, kon apakne si Anik(Asem, kamu apain si Anik)?" tanyanya.

Aku nempelin jari telunjuk ku yang kanan ke yang kiri. Tiba-tiba Mas Yogi ngelempar kain lapnya ke mukaku.

"Aduh!" aku segera menepisnya.

"Jiangkriiiikk....aseeem tenan. Adikku wis gedhe. Wahahahahaha," Mas Yogi ketawa keras. "Lanjutkan my brother, lanjutkan!"

Aku senyum-senyum sendiri masuk ke kamar. Dah ah, hatiku lagi seneng. Hari itu, aku pun mulai memasang foto Anik di laptopku. Aku ngeprint foto dia dan aku tempelin di kamar. Aku juga nyimpen foto dia di dompetku. Seneng pokoke atiku. Aku malam itu tidur sambil meluk guling, Moga malam ini mimpi ketemu dia. Emang bisa mimpi dipesen? Kalau bisa sih.
Saiki ng podang mben nang ndolo yo kang
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd