Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[copas] Godaan Sang Ibu Muda

kiko26

Semprot Kecil
Daftar
16 Nov 2013
Post
88
Like diterima
91
Lokasi
Di antara paha
Bimabet
Waktu kelas dua SMA, aku pernah beberapa kali
diajak temanku, sebut saja namanya Tony,
berlibur ke Jogja. Nginapnya di rumah kerabat
Tony yang bernama mas Gunawan dan istrinya,
mbak Keyla. Mas Gunawan berprofesi sebagai
guru SMA, sedangkan mbak Keyla adalah murid
mas Gunawan sendiri.
Waktu pertama kali ke sana, mereka masih
pengantin baru. Usia mbak Keyla sebaya
denganku. Setelah dinikahi, mbak Keyla memilih
keluar dari sekolah dan menjadi ibu rumah
tangga biasa.
Mas Gunawan adalah seorang yang humoris dan
murah tawa. Tubuhnya kurus tinggi
berkacamata, sedangkan mbak Keyla mungil,
wajahnya ayu khas Jogja. Baru pertama
berkenalan, kami sudah akrab.
Rumah mas Gunawan berbentuk seperti huruf L.
Di bagian belakang ada dua kamar tidur, kamar
mandi, dapur. Sedangkan di bagian depan ada
dua kamar tidur juga, ruang makan dan ruang
tamu. Sebidang tanah kosong di depan rumah
belakang dan depan digunakan untuk tempat
jemuran yang kadang dipakai sebagai lapangan
bulu tangkis oleh warga sekitar. Lokasinya
terletak di perkampungan pinggiran kota Jogja.
Suasananya seperti di pedesaan. Asri dan
tenang, ditambah lagi dengan jarak antara satu
rumah dengan rumah lainnya agak saling
berjauhan.
Selama tinggal di rumah mas Gunawan, kami
menempati sebuah kamar di dekat ruang tamu
yang berada di bagian utama rumah. Kamar itu
tampaknya memang disediakan untuk tamu
mereka yang menginap, sedangkan mas
Gunawan dan mbak Keyla menempati kamar di
bagian belakang. Di sebelah kamar yang kami
tempati ada satu lagi kamar bekas ditempati
oleh kakak mbak Keyla. Kakak mbak Keyla
sudah lulus SMA dan diterima kerja di Solo.
Di rumah itu juga tinggal ibu mbak Keyla. Yang
unik, semua kamar di situ tak ada pintunya.
Hanya sehelai kain yang menjulur dari kusen ke
atas lantai, berjarak sekitar 20 cm dari lantai.
Untuk keluar masuk cukup dengan menyingkap
kain itu.
Yang agak bikin rikuh adalah saat buang air
besar. Karena dindingnya tak penuh ke langit-
langit, maka jika BAB harus ditahan-tahan agar
suara kentut tidak terdengar dari luar yang
bersebelahan dengan dapur dan tempat cuci
baju.
Di Jogja, dengan menggunakan mobil Tony, kami
diajak oleh mas Gunawan dan mbak Keyla
mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada.
Saat itu aku baru tahu kalau mas Gunawan
penghobi berat dunia fotografi. Tak heran jika
salah satu ruang di rumahnya digunakan sebagai
“kamar gelap” untuk mencuci cetak hasil
jepretannya.
Mas Gunawan dan mbak Keyla sekali waktu juga
pernah datang ke kotaku. Tujuannya untuk
berbulan madu. Sebagai balas budi kebaikan
mereka, aku bersama Tony meluangkan waktu
menemani mereka mengunjungi tempat-tempat
wisata yang ada di kotaku. Mereka juga kuajak
mampir ke rumahku untuk kukenalkan pada ibu
dan ayahku.
Karena keakraban itulah kemudian jika aku ke
Jogja, walaupun tanpa Tony, selalu kusempatkan
mampir ke rumah mereka. Seperti yang terjadi
beberapa tahun lalu. Waktu itu aku bersama
keluargaku (ayah, ibu dan adikku) menghadiri
acara pernikahan saudaraku di Jogja. Dua hari
sebelumnya kami sudah tiba di kota pelajar itu
untuk membantu persiapan acara pernikahan.
Dalam dua hari itu kami berada di rumah calon
mempelai, tapi menginapnya di hotel dekat
ringroad.
Siang hari di hari kedua, aku minta ijin orang
tuaku untuk bertandang ke rumah mas Gunawan
dan mbak Keyla, karena sudah cukup lama aku
tidak bertemu. Aku meminjam motor saudaraku.
Sampai tujuan, aku ditemui mbak Keyla karena
mas Gunawan sedang mengajar.
Darahku berdesir saat mbak Keyla menyajikan
es teh dan jajanan khas Jogja sambil
menunduk. Tank top longgar yang dikenakannya
otomatis jatuh hingga menampakkan sepasang
’pepaya Thailand’nya yang menggantung tepat di
depan mataku. Sekilas aku tertegun
menatapnya, lalu buru-buru mengalihkan
pandangan ke jajanan yang tersaji di atas meja.
Saat sedang asyik-asyiknya ngobrol, terdengar
tangisan bayi. Ternyata anak mbak Keyla.
Usianya belum genap 3 bulan. Mbak Keyla
bergegas masuk ke kamarnya dekat ruang tamu
yang hanya ditutup kain korden.
Tak berapa lama ia keluar dengan menggendong
bayi perempuan. Tanpa ‘peringatan dini’, dengan
cueknya mbak Keyla menyingsingkan kaus tank
topnya, lalu mengeluarkan satu payudaranya
untuk menyusui bayinya. Aku yang perjaka ting-
ting tentu saja merasa jengah melihat
pemandangan itu, walaupun dalam hati girang
juga. Sambil menyusui, mbak Keyla
menceritakan tentang bayinya. Namanya Vina.
Yang membuat aliran darah mudaku makin
menderu-deru adalah saat ia menggeser bayinya
mendekat ke arah payudaranya, tanpa sengaja
rok mbak Keyla tersingkap. Paha mulusnya yang
terlihat sebagian kontan membuatku salah
tingkah.
Karena tak enak berada di situasi yang
‘menegangkan’ itu, aku bermaksud pamit pulang,
dengan alasan mbak Keyla lagi repot. Tapi mbak
Keyla mencegahku. Ia bilang sama sekali tak
repot kalau cuma mengurus bayi saja. Entah ia
merasa atau tidak kalau wajahku mulai tegang,
berusaha sekuat hati menahan diri agar mataku
tak lari ke dadanya yang mencuat sebelah.
Selesai menyusui dan bayinya kembali terlelap,
mbak Keyla menidurkannya lagi ke dalam
kamar. Saat menunggu mbak Keyla, aku gelisah.
Otakku dipenuhi dengan fantasi jorok gara-gara
kelakuan mbak Keyla. Hingga ketika mbak Keyla
kembali menemuiku, aku sudah tak bisa berpikir
jernih lagi. Tapi aku berusaha menjaga sikapku
karena bagaimanapun juga mbak Keyla
sekeluarga sudah kuanggap seperti saudaraku
sendiri.
Karena sudah lama ngobrolnya, aku pun pamit
untuk pulang. Kali ini mbak Keyla tak
mencegahku, mungkin karena ia sudah
mengantuk dan akan tidur siang. Tapi dugaanku
salah. Ternyata mbak Keyla ingin nebeng aku
karena ia ada keperluan ke rumah temannya.
Dia menyuruhku menunggu sebentar untuk
berganti pakaian. Aku duduk lagi di kursiku,
sementara mbak Keyla masuk ke kamar. Entah
lupa atau menganggapku sudah seperti keluarga
sendiri, mbak Keyla tidak menggeser kain
penutup kamarnya.
Dari tempat dudukku aku bisa melihat dengan
jelas mbak Keyla melepas tank top yang
dikenakannya, kemudian roknya, hingga tinggal
selembar celana dalam warna putih saja yang
menutupi tubuhnya. Bentuk tubuhnya sungguh
menggiurkan. Aku yang sudah mupeng, kini tak
lagi jengah memandang. Justru kupuas-puaskan,
karena kupikir, kapan lagi aku dapat rejeki
seperti ini. Lagipula, mbak Keyla seperti tidak
peduli aku melihat atau tidak. Ia asyik aja
memilih-milih bra yang sewarna dengan celana
dalamnya dan mengenakannya, lalu celana jins.
Setelah itu ia menyisir rambutnya yang panjang
terurai.
Mbak Keyla kemudian menemui ibunya untuk
berpamitan dan menitipkan bayinya. Aku pun
minta diri kepada ibu mbak Keyla.
Saat berboncengan, mbak Keyla menempelkan
dadanya di punggungku begitu rapat dan
melingkarkan tangannya di pinggangku. Tapi itu
bukannya membuatku makin mupeng, aku justru
merasa tak enak karena berada di jalan raya.
Aku khawatir ada teman atau kerabat mbak
Keyla yang melihat, yang bisa berakibat fitnah.
Tapi tampaknya mbak Keyla cuek saja seperti
itu sampai kami tiba di depan gang yang
ditujunya. Begitu turun dari motor, ia berpesan
agar aku menyempatkan diri mampir lagi ke
rumahnya sebelum pulang ke kota asalku.
Selama mengikuti prosesi pernikahan yang
memakan waktu 2 hari, sehari di rumah
mempelai, sehari di gedung, benakku selalu
dipenuhi bayang-bayang indah tubuh mbak
Keyla. Aku bahkan berkhayal, saat acara usai
aku berkunjung lagi ke rumahnya dan bisa
menikmati pemandangan indah itu untuk kedua
kalinya.
Setelah acara pernikahan selesai, aku masih
punya waktu 2 hari di Jogja sebelum kembali ke
kota asalku. Pasca acara pernikahan yang
melelahkan, ayah, ibu dan adikku ingin istirahat
saja di hotel dan baru esok harinya jalan-jalan
keliling Jogja. Kesempatan ini tak kusia-siakan.
Jam 10 pagi aku pamit untuk ke rumah mbak
Keyla dengan sepeda motor yang kusewa tak
jauh dari hotel.
Setiba di sana, kulihat mbak Keyla sedang
menjemur baju-baju dan popok bayinya di
halaman yang biasa dipakai bermain bulu
tangkis. Ia mempersilakanku untuk masuk dulu
ke ruang tamu. Beberapa saat kemudian ia
menemuiku sambil membawa nampan dengan 2
gelas es teh dan sepiring kue-kue di atasnya.
Aku sengaja duduk di kursi panjang yang
kemarin kududuki agar bisa melihat lagi ’pepaya
Thailand’ mbak Keyla yang menggantung saat
menunduk.
Dugaanku tak meleset. Daster tanpa lengan
yang longgar tak menghalangi tatapan mata
nakalku. Kali ini aku tak ingin kehilangan momen
berharga. Aku tak peduli mbak Keyla merasa
atau tidak aku memandangi buah dadanya. Agak
lama ia menunduk karena diselingi dengan
merapikan dan membersihkan taplak meja yang
sebenarnya sudah rapi dan bersih. Aku tak tahu
apakah itu disengajanya untuk memberi
kesempatan padaku menikmati sepasang
bukitnya itu atau tidak. Yang jelas, gairah
kelelakianku langsung tergugah.
Ketika kutanyakan di mana Vina, ”Sedang diasuh
ibu di belakang,” kata mbak Keyla. Saat itu tiba-
tiba aku punya ide untuk memancingnya dengan
kata-kata yang menjurus.
“Vina sudah minum susu, mbak?” tanyaku sambil
cengengesan.
“Sudah, tadi pagi. Memangnya kenapa, dik?”
mbak Keyla balik bertanya.
“Jam berapa kira-kira minum susu lagi?”
“Nanti jam 11. Kenapa sih kok tanya terus?”
ujarnya sambil mengernyitkan dahi diselingi
senyum. Entah apa arti senyuman itu.
Aku berdiri dan merogoh kantung celanaku
untuk mengambil kunci kontak sepeda motor
seraya mengatakan, “Ya sudah, mbak. Aku pergi
dulu, nanti jam 11 ke sini lagi. Biar bisa lihat
Vina menyusu lagi.”
Spontan mbak Keyla tertawa lepas. Ucapan
berikutnya dari mbak Keyla membuatku merasa
mendapat lampu hijau. “Kepingin ya?” tukasnya
masih dengan senyuman penuh arti.
“Iya, mbak. Kelihatannya kok segerrr banget,”
kataku sekenanya.
Mbak Susi tertawa lagi dan berkata, “Minta
sama pacarnya sana lho.”
Aku nyengir, “Belum punya pacar, mbak.”
kataku.
“Tenane?! Masa cakep gini nggak punya pacar?!”
ujar mbak Keyla dengan ekspresi muka
menggoda.
“Betul, mbak. Masih perjaka ting-ting nih,”
selorohku.
Lagi-lagi mbak Keyla tertawa lepas. Kemudian
ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke
belakang rumah. Tak lama kemudian ia kembali
dengan menggendong bayinya dan langsung
masuk ke kamar. Lagi-lagi aku bisa melihat
kegiatannya di dalam kamar.
Mula-mula ia baringkan bayinya di tempat tidur.
Setelah itu melepas daster dan menggantinya
dengan kaos you can see . Aku menahan nafas
yang memburu saat melihat celana dalam hitam
seksi yang dikenakannya sebelum ia mulai
mengenakan rok sebatas lututnya. Begitu keluar,
ia langsung menuju ke tempat dudukku. Saat
hendak menjatuhkan pantat ke kursi, tangannya
bertumpu di pahaku. Hal itu membuat darah
mudaku semriwing, mengalir deras menggugah
kelelakianku. Tapi aku bersikap wajar saja
walaupun dalam hati bertanya, “Apa maksud
mbak Keyla?”
GR-ku makin menjadi-jadi karena mbak Keyla
duduknya dekat sekali denganku, hingga ketika
ia membungkuk hendak mengambil minumnya di
meja, sudut mataku jelas melihat dua bukitnya
di dalam kaos, menggantung bebas tanpa ada
BH yang menahannya. Aku tahu ia tak memakai
BH agar leluasa jika hendak menyusui bayinya.
Aku tak berhenti memandanginya mulai dari
menyeruput es tehnya sampai meletakkannya
kembali di atas meja. Tampaknya ia tahu itu.
“Kok ngeliatin aku terus, dik?” Ia melirikku
dengan senyum tersungging di bibirnya yang
tipis.
Dorongan libidoku meletup-letup hingga aku tak
mampu berkata-kata. Langsung saja kukecup
bahunya yang putih mulus. Ia hanya menatapku
penuh arti saat kulakukan itu. Matanya pun
mendadak terlihat sayu. Karena tak ada tanda-
tanda penolakan, kuteruskan kecupanku,
sementara tanganku meraba buah dadanya. Ia
mendesah lirih. Desahannya itu membuatku jadi
semakin bernafsu. Pelan-pelan kuturunkan satu
sisi bahu you can see-nya dan tanpa ragu
kuseruput bukit indahnya. Ia mendesah sambil
mengusap dan sesekali meremas rambutku.
Beberapa saat lamanya ia biarkan aku melumat-
lumat buah dadanya yang ranum, sementara
tanganku mulai menjalar ke pahanya. Ia
memberiku jalan untuk masuk ke dalam roknya
dengan merenggangkan kedua pahanya.
Sesekali ia mendesis dan mendesah menikmati
cumbuanku, hingga kemudian ia mendorong
lembut kepalaku agar berhenti.
“Jangan sekarang, dik. Mas Gunawan sebentar
lagi pulang.” Nafasnya agak tersengal.
Aku menurut. Aku tak begitu kecewa karena
dengan mengatakan, “Jangan sekarang,” artinya
ia tak keberatan jika lain kali ada kesempatan
yang lebih besar. Mbak Keyla membenahi rok
dan kaosnya.
Ketika kulihat ia beringsut akan berdiri, kugamit
lengannya dan langsung mendaratkan bibirku ke
bibirnya. Sesaat mbak Keyla membalas
ciumanku dengan penuh gairah sebelum dengan
lembut melepaskannya. Ia lalu berdiri dengan
satu tangannya mampir di bagian bawah
tubuhku, meremas pelan batang penisku, untuk
kemudian berlalu menuju kamar. Mataku tak
lepas barang sedetikpun memandanginya. Ia
melepas kaos you can see dan roknya. Saat
berganti baju daster lagi, ia sengaja menghadap
ke arahku, seakan memberiku isyarat bahwa
suatu saat nanti aku boleh menikmati tubuh
mungilnya yang padat berisi sepuasku. Aku
hanya menghela nafas menyaksikan semua itu.
Karena aku merasa enggan berbasa-basi dengan
mas Gunawan, aku tak menunggunya. Aku
langsung pamit pada mbak Keyla begitu dia
keluar dari kamar. Semula ia menahanku dan
menawariku untuk makan siang bersama-sama
mas Gunawan, tapi kutolak.
Saat sampai di mulut gang aku berpapasan
dengan mas Gunawan. Tapi karena aku
mengenakan helm teropong, ia tak melihatku. Ia
melajukan motornya masuk gang, sementara aku
masuk ke jalan besar dan langsung
memulangkan motor sewaanku.
Sejak saat itu aku terus saja dibayangi wajah
mbak Keyla. Sayang aku tak punya kesempatan
untuk ke Jogja lagi. Tony pun sudah jarang
mengajakku karena ia sudah sibuk dengan
pacarnya.
Sekitar 2 minggu kemudian aku menerima
sepucuk surat. Waktu kuperiksa pengirimnya,
ternyata dari mbak Keyla! Gemetar tanganku
membuka dan kemudian membacanya. Hatiku
berbunga-bunga seketika begitu membaca
tulisannya yang mengatakan kalau ia kangen
padaku dan selalu memikirkanku. Kata-katanya
begitu puitis hingga tak bosan-bosannya aku
mengulangi membacanya. Di akhir tulisannya ia
berpesan, jika aku mau membalas suratnya agar
dialamatkan ke rumah temannya yang ia tulis di
situ yang tak lain adalah alamat di mana aku
pernah mengantarnya dulu.
Dengan penuh semangat, kubuat surat
balasannya untuknya. Kalimat-kalimatnya pun
tak kalah puitis. Terang-terangan kutumpahkan
perasaanku dalam tulisan-tulisan yang menjurus
erotis. Kutulis di suratku, jika waktu itu aku
bawa tustel, pasti sudah kufoto dirinya saat
berganti baju.
Tampaknya mbak Keyla menanggapi uneg-
unegku dengan serius. Surat kedua yang
kuterima darinya diselipi 2 lembar fotonya, dan
semuanya membuat liurku menetes. Betapa
tidak, foto yang dikirimnya adalah foto dirinya,
satu dalam pose berbaring di ranjang tanpa
busana, satu lagi saat ia mandi di shower!
Menurut penjelasannya di surat, foto itu diambil
di hotel ketika ia dan mas Gunawan datang ke
kotaku beberapa waktu lalu. Saat itu ia habis
bercinta dan mas Gunawan mengabadikannya
dalam foto. Wow!
Waktu pun terus bergulir, hingga saat kelulusan
SMA tiba. Artinya sudah lebih dari 5 bulan aku
tak pernah ke Jogja lagi. Aku mulai
mempesiapkan diri untuk masuk ke perguruan
tinggi. Waktu pendaftaran, pilihan utamaku
adalah universitas ternama di kotaku, sementara
pilihan kedua di Solo. Ternyata aku diterima
yang di Solo.
Semula aku agak enggan untuk mendaftar ulang
di Solo karena tak ada teman, apalagi kerabat
yang tinggal di sana. Namun daripada harus
mendaftar di perguruan tinggi swasta yang
mahal, lebih baik kumasuki saja perguruan tinggi
negeri di Solo walaupun jurusannya kurang
sesuai dengan minatku, dan berencana tahun
berikutnya ikut tes lagi.
Tak sampai dua minggu tinggal di Solo, aku
mulai merasa betah. Apalagi aku dibolehkan
orang tuaku membawa motorku. Kujelajahi
setiap sudut kota Solo saat ada waktu
senggang. Solo hampir mirip dengan Jogja.
Kotanya relatif tenang, tak seperti kota asalku
yang macet di mana-mana. Selain itu, aku dapat
tempat kos yang nyaman. Halaman depannya
luas dan ditumbuhi pohon-pohon rindang. Ada
15 kamar berderet menghadap jalan.
Suatu hari aku naik bus umum jurusan Jogja,
bermaksud mengabarkan kepada mas Gunawan
dan mbak Keyla kalau aku kuliah di Solo,
sekaligus menyambung tali silaturahmi. Kubawa
dua potong baju bersih karena aku ingin
menginap di rumah mas Gunawan dan mbak
Keyla barang semalam.
Karena niatku adalah untuk bersilaturahmi,
kutepis jauh-jauh keinginan untuk bercumbu
dengan mbak Keyla. Sikonnya jelas tak akan
memungkinkan, sebab hari Sabtu mas Gunawan
libur. Memang semenjak mendapat foto erotis
mbak Keyla, aku selalu saja membayangkan
bercinta dengannya. Tapi saat itu aku tak
berharap itu terjadi, karena aku sedang
kesengsem pada salah seorang gadis, sebut saja
namanya Wiwin, berasal dari Lampung, yang kos
di dekat kos tempat tinggalku. Ia kuliah di
perguruan tinggi swasta yang ada di Solo.
Sampai di halaman rumah mas Gunawan dan
mbak Keyla, tak kulihat motor mas Gunawan.
Aku mengira ia pergi dengan mbak Keyla dan
anaknya. Tapi itu tak mengurungkan niatku
untuk bertamu. Toh aku bisa menunggu, pikirku.
Tak berapa lama keluarlah ibu mbak Keyla.
Seperti biasa, ia menyambutku dengan ramah
dan mempersilakanku masuk. Ternyata mas
Gunawan mengikuti acara karyawisata dengan
murid-muridnya ke Bandung sejak Jumat dan
baru pulang Minggu malam. Mbak Keyla dan
Vina diajak serta.
Karena itulah aku tak berlama-lama di situ.
Setelah berbasa-basi, aku berpamitan untuk
kembali ke Solo sambil tak lupa menitip salam
untuk mas Gunawan dan mbak Keyla.
Tiga bulan kemudian aku jadian dengan Wiwin.
Ini membuatku bisa melupakan mbak Keyla.
Sayangnya, hubunganku dengan Wiwin tak
bertahan lama. Hanya 4 bulan. Diam-diam
hatinya tertambat pada pelatih teater
mahasiswa di kampusnya. Batinku terguncang
menghadapi kenyataan itu. Untuk menghalau
kegalauanku, aku pergi ke Jogja. Aku berharap,
pertemuan dengan mas Gunawan dan mbak
Keyla bisa menghiburku.
Ketika sampai di depan rumah mas Gunawan
dan mbak Keyla, suasana lengang. Motor mas
Gunawan tak ada di tempat biasanya. Tapi
karena hari itu bukan hari libur, kupikir ia sedang
mengajar. Ibu mbak Keyla yang kebetulan keluar
dari pintu samping belakang rumahnya,
mempersilakanku masuk ke ruang tamu. Kata
beliau, mbak Keyla sedang ke puskesmas untuk
mengimunisasikan anaknya. Aku dimintanya
menunggu, sementara ia pergi sebentar ke
rumah tetangganya.
Selama menunggu, kuamati isi rumah mas
Gunawan. Keadaannya masih sama seperti dulu.
Hanya saja, di salah satu sudut ruang tamu ada
sekeranjang mainan anak-anak yang diletakkan
di samping kereta bayi. Dalam kesendirian,
pikiranku menerawang ke beberapa bulan
sebelumnya ketika aku duduk berdua dengan
mbak Keyla di situ, kemudian mencumbunya
sebentar. Aku pun keasyikan melamun, hingga
tak tahu kalau ibu mbak Keyla sudah kembali
dan muncul dari dapur membawa minum
untukku. Ia kemudian duduk menemaniku.
Ketika kutanyakan bagaimana kabar mas
Gunawan, ibu mbak Keyla tampak agak gugup
menjawab. Ia hanya mengatakan kalau mas
Gunawan baik-baik saja dan sudah sejak 3 bulan
ini tidak tinggal di situ lagi. Aku agak kaget
mendengar itu. Kupikir mas Gunawan dan mbak
Keyla sudah punya rumah sendiri dan pindah ke
rumah baru mereka. Perkiraanku keliru.
Ibu mbak Keyla menjelaskan kalau mas
Gunawan sudah bercerai dengan mbak Keyla.
Aku terhenyak di tempat dudukku. Aku tak
berani bertanya lebih jauh tentang hal yang
sensitif itu, tapi tampaknya ibu mbak Keyla
mengerti kalau aku penasaran. Lebih jauh ia
menceritakan, mereka bercerai karena merasa
sudah tidak cocok lagi. Hari-hari mereka lebih
sering diisi dengan pertengkaran. Sebagai
seorang ibu, ibu mbak Keyla berusaha untuk
mendamaikan mereka, tapi sia-sia. Satu hal
yang kelihatan sekali kalau ibu mbak Keyla
tutupi adalah penyebab pertengkaran mereka. Ia
sama sekali tak menyinggung-nyinggung soal
itu. Aku pun tak berniat untuk mengorek
keterangan lebih jauh, walau pun benakku
dipenuhi dengan teka-teki mengenai prahara
rumah tangga mas Gunawan dan mbak Keyla.
Saat sedang asyik mengobrol, mbak Keyla dan
Vina datang. “Kok tumben?” kata mbak Keyla
begitu melihatku sambil menyunggingkan
senyum khasnya yang manis.
Karena aku sudah ada yang menemani, ibu mbak
Keyla pun masuk kembali ke belakang. Kulihat
Vina sudah tumbuh jadi bocah mungil yang
cantik. Ia tidur dalam gendongan ibunya. Mbak
Keyla masuk ke kamar dan membaringkan Vina
di tempat tidur. Yang membuat darah mudaku
berdesir, ia berganti baju tanpa menutup tirai
kamarnya, persis seperti dulu. Mataku nyalang
menatapnya, dan sekilas kulihat ia melirik ke
arah aku duduk.
Aku agak canggung memulai pembicaraan
ketika mbak Keyla duduk di depanku.
Suasananya sudah berbeda. Aku khawatir mbak
Keyla masih berduka soal perceraiannya dengan
mas Gunawan. Kecanggunganku mencair saat
mbak Keyla membuka obrolan seputar kabarku,
termasuk tentang aku yang kuliah dan kos di
Solo. Ia masih murah senyum seperti dulu.
Obrolan kami terputus ketika ibu mbak Keyla
mengajakku untuk makan siang. Usai makan
siang, aku dan mbak Keyla melanjutkan obrolan
di ruang makan. Aku yang semula berniat
menginap, mengurungkannya karena kurasa
situasinya tidak memungkinkan. Itulah sebabnya
aku pamit untuk kembali ke Solo. Tapi mbak
Keyla bersikeras memaksaku untuk tinggal. Aku
jadi bimbang karenanya. Kuutarakan padanya
kalau sebenarnya aku ingin menginap di situ,
tapi merasa tak enak akan merepotkannya.
Mbak Keyla hanya tertawa. Ia mengambil
ranselku yang tergeletak di lantai dekat kursi
dan meletakkannya di meja dalam kamar yang
dulu biasa kutempati. Kemudian ia menyuruhku
untuk istirahat di kamar.
Ada yang sedikit berbeda dengan kamar itu.
Dulu ada dipan (tempat tidur), sekarang hanya
kasur yang digelar di lantai dialasi karpet
plastik. Rasanya jadi terlihat luas. Aku pun
merebahkan diri di kasur, tapi tak langsung
tidur. Kusandarkan kepalaku di dinding,
merenung.
Aku merenungkan perkembangan tak terduga
yang menimpa rumah tangga mas Gunawan dan
mbak Keyla. Betapa singkat usia perkawinan
mereka, padahal ketika pertama bertemu dan
pada pertemuan berikutnya dulu mereka tampak
sangat bahagia, walaupun usia mereka terpaut
cukup jauh. Aku ingat bagaimana mbak Keyla
menggelayut mesra di lengan mas Gunawan
ketika bermain air di pantai Parangtritis. Saat
ombak kembali menerjang, spontan mas
Gunawan menggendong mbak Keyla, tapi
kemudian jatuh berdua. Aku dan Tony yang
menyaksikan itu tertawa ngakak. Begitu juga
dengan mereka yang basah kuyup.
Lamunanku beralih ke Wiwin. Hubunganku
dengannya bisa dibilang sudah sampai pada
tahap ’nyerempet bahaya’. Sudah beberapa kali
Wiwin kuajak ke kamar kosku dan kami
bercumbu di sana dalam keadaan setengah
telanjang. Aku lepas baju dan tinggal memakai
celana panjang saja, sedangkan Wiwin nyaris
polos kecuali celana dalam yang masih melekat
di tubuhnya. Tapi meski begitu aku bisa
menahan diri untuk tidak berbuat lebih jauh,
walaupun Wiwin kulihat sudah sangat pasrah.
Aku ingin menjaga agar Wiwin tak sampai
ternoda sampai kami menikah nanti. Nyatanya,
kami bubar di tengah jalan dan aku menyesali
kenapa tidak kulakukan saja waktu itu.
Tanpa terasa aku tertidur dan terbangun ketika
terdengar celoteh anak kecil di ruang tamu.
Kulihat jam menunjukkan pukul lima sore. Aku
bangkit dari pembaringan, mengambil handuk di
ransel, lalu keluar kamar. Di ruang tamu kulihat
mbak Keyla tengah menyuapi Vina yang
didudukkan di kereta bayi. Setelah berbasa-basi
dengan mbak Keyla, aku pun mandi.
Singkat cerita, jam sembilan malam. Aku nonton
TV di ruang tamu. Sendirian, karena mbak Keyla
menindurkan Vina di kamar. Ibu mbak Keyla pun
sejak jam delapan sudah masuk ke kamarnya
setelah menemaniku sebentar.
Sejujurnya, aku tak terlalu konsentrasi pada
acara TV yang memang tak menarik itu.
Jantungku berdebar, memikirkan apa yang akan
terjadi begitu mbak Keyla keluar kamar dan
menemaniku di ruang tamu. Korden jendela
ruang tamu tertutup semua. Lampu ruang tamu
pun tidak begitu terang. Dalam suasana seperti
itu dan aku berdua saja dengan mbak Keyla,
sudah dapat dibayangkan apa yang akan terjadi
berikutnya.
Satu-satunya yang bisa kulakukan saat itu
adalah menunggu mbak Keyla. Diam-diam,
libidoku bangkit membayangkan bercumbu
dengannya di situ. Tunggu punya tunggu, sampai
jam sepuluh ia tak kunjung keluar. Mungkin
ketiduran waktu menyusui Vina, pikirku. Dengan
perasaan kecewa, kumatikan TV dan aku ke
kamar mandi untuk buang air kecil dan cuci
muka.
Betapa kagetnya aku ketika kusibak kain
penutup kamarku, di keremangan tampak olehku
mbak Keyla sudah berbaring di kasur dengan
tubuhnya ditutupi selimut sampai ke dada.
Sejenak aku terpaku di tempatku. Kami saling
berpandangan. Di keremangan kamar, kulihat
mata mbak Keyla sayu menatapku. Senyum tipis
tersungging di bibirnya yang tipis, seolah
memintaku untuk segera mendekatinya.
Mungkin ia masuk ke kamarku saat aku ke
kamar mandi, atau ketika aku duduk
membelakangi kamar untuk nonton TV. Sebuah
kejutan yang romantis dari mbak Keyla dan ia
berhasil.
Tanpa kata cinta atau rayuan sebagai pembuka,
kudekati mbak Keyla lalu kurebahkan tubuhku di
sampingnya. Ketika kusibak selimutnya, lagi-lagi
mbak Keyla membuat kejutan lagi. Ia bugil.
Tidak ada sehelai benangpun yang menutupi
tubuhnya yang putih mulus. Tanpa menunggu
komando, aku pun segera melepas t-shirt dan
celana pendekku. Mbak Keyla tampaknya juga
sudah tak mampu menahan nafsunya. Belum
lagi celanaku terlepas dari kakiku, ia merengkuh
kepalaku dan langsung mendaratkan bibirnya di
bibirku.
Mbak Keyla menciumiku dengan bertubi-tubi,
tangannya langsung bergerilya di batang penisku
yang sudah setengah menegang. Setelah itu ia
berjongkok dan mulai mengecup dan menghisapi
penisku dengan bibirnya yang mungil. Aku
melenguh menerima segala kelakuannya itu,
bisa kulihat bibir vaginanya yang menggembung
indah ditutupi oleh bulu-bulu tipis, juga buah
dadanya yang bulat menonjol meski sudah
punya satu orang anak. Aku merasakan
hisapannya di penisku semakin lama menjadi
semakin menggairahkan.
Karena tak tahan, pelan-pelan kuangkat tubuh
mbak Keyla supaya dia merebah telentang. Lalu
kuhujani ia dengan kecupan di leher dan
bibirnya. Sementara itu tanganku mulai bekerja
di buah dada dan vaginanya. Tidak lama
kemudian, mbak Keyla sudah menggelinjang
setengah berteriak, ”Ndra, setubuhin aku
sekarang... aku udah nggak tahan!”
Mendengar perintah itu, kusuruh dia untuk
mengangkat kakinya. Begitu lorong vaginanya
terbuka, segera aku masukkan penisku ke sana.
Terasa hangat dan sangat basah karena vagina
mbak Keyla sudah dipenuhi oleh dengan lendir.
Setelah itu aku suruh dia melingkarkan kedua
kakinya di pinggangku dan kedua tangannya di
leherku, sementara kedua tanganku berada di
pantatnya untuk mengangkat tubuh mbak Keyla.
Kupangku dia seperti orang yang sedang
menggendong temannya, hanya saja penisku
sudah tertancap ke lubang vaginanya. Dengan
tanganku yang sudah berada di pantatnya, mulai
kugerakkan tubuh mbak Keyla naik-turun
sehingga kemaluan kami mulai saling bergesek.
Aku merasakan lubang vagina mbak Keyla
semakin basah melembab, sementara tonjolan
putingnya yang mungil terasa keras menggesek
permukaan dadaku.
Segera aku meraih dan mempermainkannya
sementara mbak Keyla terus menggerakkan
badannya naik turun, seperti orang yang sedang
berkuda. Makin lama gerakan naik turunnya
menjadi semakin cepat sehingga penisku dan
vaginanya bergesek semakin keras. Karena
vaginanya sudah mengeluarkan cairan pelumas,
gesekan itu jadi terasa nikmat dan membuat
penisku makin mengeras. Kenikmatan gesekan
ini juga membuat mbak Keyla menjerit-jerit
kecil, ”Ough... ough... ahh...”
Beberapa saat kemudian, gerakan naik turunnya
bertambah pelan, seolah-olah mbak Keyla ingin
merasakan gesekan yang menimbulkan
kenikmatan itu. Penisku sekarang bergesek
lembut dengan lorong vaginanya. Aku tahu kalau
mbak Keyla sebentar lagi akan orgasme,
langsung saja bibirku bekerja di payudaranya.
Sambil kuremas pelan-pelan, kukecup dan
kuhisap puting payudara mbak Keyla.
Kegiatanku ini ternyata membuat mbak Keyla
semakin tersengal-sengal. ”Ahh... aauhhg...
terus, Ndra... ohh...” rintihnya.
Tidak lama kemudian, mbak Keyla mengejang
dan menjerit nikmat, ”Ndra, aku nggak tahan
lagi... ohh... uhff...” dan aku merasakan penisku
dibasahi cairan hangat dari lorong vaginanya.
Mbak Keyla merebahkan badannya di atas
tubuhku. Aku terus mengecup dan menjilati
kedua putingnya, juga celah-celah payudaranya.
Sementara tangan kiriku juga mengelus dan
meremas-remas pantatnya yang kencang.
Sesudah beberapa menit, aku bilang ke mbak
Keyla, “Mbak, aku pingin nyetubuhin mbak dari
belakang, coba mbak nungging di kasur.”
Tanpa banyak bicara, dia melakukan perintahku.
Mbak Keyla membungkukkan badan dengan
kedua tangan berpegangan di sandaran tempat
tidur. Mengetahui dia sudah siap, segera
kumasukkan penisku ke lubang vaginanya dari
arah belakang, aku merasakan vaginanya masih
cukup lembab untuk main satu ronde lagi.
Dengan berpegangan pada pinggang mbak Keyla
yang ramping, aku mulai menggerakkan badanku
maju mundur. Batang penisku kembali keluar
masuk di lorong vaginanya, mula-mula dengan
perlahan-lahan, namun makin lama semakin
bertambah temponya.
Badan mbak Keyla mulai terguncang-guncang
dan dia mulai mendesah-desah, ”Ough... oohh...
oughh... lagi, Ndra, lagi...” pintanya.
Setelah kugoyang dengan cepat dan bertenaga,
aku pelankan ayunan pantatku dan aku raih
payudaranya untuk kuremas-remas. Sesudah itu
aku naikkan lagi tempo keluar-masuknya batang
penisku di lorong vaginanya. Akibatnya mbak
Keylajadi menjerit-jerit lagi, ”Uughh... ughh...
oughh...”
Jeritannya ternyata semakin membangkitkan
nafsuku, sehingga kugoyang tubuhku semakin
cepat dan makin bertenaga. Aku merasakan
kenikmatan yang makin besar, tapi akibatnya
mbak Keyla jadi menjerit-jerit tak karuan,
”Ndra... udah, Ndra... oohh... aku nggak
tahan...” rintihnya.
Akhirnya kulepaskan penisku dari jepitan
vaginanya. Aku rentangkan dia di atas ranjang
dan kubisiki, ”Maaf, mbak... saya belum keluar.
Kita main sebentar lagi ya!”
Lalu kembali kutindih mbak Keyla dan
kumasukkan penisku di lorong vaginanya.
Sekarang kita main dengan posisi konvensional,
aku di atas sedangkan mbak Keyla di bawah.
”Pelan-pelan ya, Ndra...” bisik mbak Keyla pelan
menerima segala seranganku.
Aku bisa merasakan kedua payudaranya yang
menegang di dadaku, segera aku meraih untuk
meremas-remas dan memijitinya. Sementara
kedua tangan mbak Keyla memeluk punggungku
saat aku mulai beraksi dengan menggerakkan
pinggulku naik turun semakin cepat. Kedua
mulut kami juga saling bertemu dan bertaut
erat. Kuciumi wajah cantik mbak Keyla, sesekali
lidah kami beradu mencoba saling menghisap
dan membelit penuh nikmat.
Pantat mbak Keyla ikut bergerak seirama
dengan gerakan pinggulku, sehingga aku
merasakan kenikmatan yang luar biasa dalam
persetubuhan pertama ini, kenikmatan yang akan
membuatku orgasme dalam waktu dekat.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar desah
nafas mbak Keyla yang mulai tidak teratur.
Segera aku menaikkan tempo goyangan
pinggulku. Aku juga merasakan vagina mbak
Keyla yang semakin lembab membasah,
badannya juga menggelinjang-gelinjang di bawah
tekanan badanku dan tangannya mulai
meremas-remas rambutku. Makin lama
desahannya menjadi semakin keras.
”Ahh... emmhh... Ndra, sebentar lagi... oughh...”
Kuteruskan goyanganku hingga beberapa saat
kemudian, mbak Keyla menjerit, ”Ndra, aku
nggak tahan lagi... oughh...” bisknya disertai
badan mengejang pelan.
”Tahan dulu, mbak... kita sama-sama,” bisikku
saat kurasakan cairan maniku mulai mengalir di
sepanjang batang penisku. Begitu mencapai
ujung, segera kupelankan goyangan pinggulku.
Sesudah itu kutekan penisku dalam-dalam ke
vagina mbak Keyla.
Dia kontan mengejang dan menjerit nikmat,
”Ouhh... Ndra!” cairannya langsung meledak,
mengalir membasahi penisku.
Demikian juga aku. Tanpa bisa dicegah, air
maniku menyemprot liar di dalam lorong
vaginanya dan kita berdua melenguh nikmat
merasakan sensasi orgasme yang begitu luar
biasa ini.
Beberapa detik kemudian, aku dan mbak Keyla
terkulai lemas tapi aku masih terus menciumi
bibir dan lehernya dengan lembut. Tanganku
juga mengelus dan memijiti kedua payudaranya
karena aku tahu setelah orgasme, wanita tidak
ingin ditinggal begitu saja.
Akhirnya mbak Keyla berbisik, “Nggak salah aku
milih kamu, Ndra. Terima kasih ya, aku puas
main sama kamu.”
”Sama-sama, mbak. Tubuh mbak juga enak,”
sahutku asal.
Sesudah itu kami beristirahat untuk
mengumpulkan tenaga karena masih ada sisa
empat jam lagi sebelum subuh tiba. Kejadian
selanjutnya silakan Anda bayangkan sendiri.
Yang jelas, saat terdengar ayam berkokok, kami
sedang berjibaku dalam panasnya gejolak birahi,
entah untuk yang keberapa kalinya.
Ada dua hal yang membuat terkesan malam itu.
Pertama, tak ada setetespun cairanku yang
terbuang percuma. Semuanya menjadi penghuni
perut mbak Keyla. Selain memenuhi lorong
rahimnya, ia juga melahapnya seperti orang yang
kehausan saat kusemprotkan air maniku ke
dalam mulutnya.
Kedua, saat sedang berpacu dalam birahi dalam
salah satu ronde yang kami mainkan, terdengar
Vina merengek dari kamar sebelah. Semula
mbak Keyla tak mempedulikannya. Ia yang
ketika itu sedang berada di atasku terus saja
melakukan goyang ngebor. Tapi begitu rengekan
Vina menjadi semakin keras dan mulai
menangis, mbak Keyla beringsut sambil menarik
tanganku agar mengikutinya.
Sampai di kamarnya, mbak Keyla menyusui Vina
dengan posisi menungging. Ia menoleh ke
arahku dan aku tahu apa yang diinginkannya.
Agar tubuh mbak Keyla tidak terlalu keras
terguncang, aku melakukannya dengan pelan.
Meski begitu, rasanya tak kalah nikmat. Justru
bisa lebih lama, dan memberikan waktu pada
Vina untuk tidur lagi. Kami pun bisa
menyalurkan hajat meski dalam kondisi darurat
seperti itu.
Keletihan yang mendera membuatku tertidur
pulas menjelang subuh.
Ketika sedang lelap, aku kembali merasakan
nikmat. Dengan mata berat kubuka mataku.
Cahaya matahari menyeruak di antara lubang
angin yang ada di atas jendela dan korden,
hingga kamarku menjadi agak terang. Kulihat
mbak Keyla sedang memainkan bagian bawah
tubuhku dengan mulutnya. Kelelakianku pun
bangkit, tapi aku masih sangat mengantuk. Aku
pasrah saja dengan perlakuan mbak Keyla.
Lama ia bekerja di bawah sana sebelum
kemudian berpindah posisi di atasku dan mulai
bekerja lagi. Mataku terpejam, selain karena
masih ngantuk, juga karena merasakan
kenikmatan yang diciptakan oleh mbak Keyla di
setiap gerakan tubuhnya. Aku hanya
mengimbangi ketika guncangannya menjadi
semakin keras dan begitu kukatakan kalau aku
akan meletup, buru-buru ia berpindah ke
sampingku sambil tangannya mengocok milikku
dengan cepat sementara mulutnya menganga
siap menyambut letupanku.
Begitu usai, mbak Keyla mengajakku untuk
sarapan. Ternyata sudah jam sepuluh pagi.
Sebelum sarapan, aku mandi dulu. Usai sarapan,
aku beramah-tamah dengan ibu mbak Keyla
sementara mbak Keyla berada di ruang makan,
dan setelah itu pamit untuk kembali ke Solo.
Mbak Keyla berpesan agar aku datang seminggu
sekali ke rumahnya. Namun karena merasa tak
enak dengan lingkungan sekitar dan ibu mbak
Keyla kalau terlalu rutin, kuusulkan sebulan
sekali saja.
Karena masih merasa lelah luar biasa, sampai
kamar kos aku langsung tidur lagi sampai sore.
Tiga minggu kemudian aku datang lagi di rumah
mbak Keyla. Menginap juga tentunya. Dan mbak
Keyla piawai membuat kejutan erotis yang sulit
untuk kulupakan. Sekali waktu, saat aku hendak
meletup, mbak Keyla cepat-cepat menyuruhku
berdiri, sementara ia mengambil mangkuk kecil
di atas meja. Kemudian ia membantuku
memasukkan cairanku ke dalam mangkuk.
Begitu tetes terakhir masuk ke mangkuk, ia
menggoyang-goyang sebentar mangkuk itu lalu
langsung menenggak isinya sampai habis. Sisa-
sisa yang masih menempel di mangkuk
dijilatinya hingga tak bersisa. Aku takjub
melihatnya.
Sejak itu, lama aku tak bertemu mbak Keyla
karena aku disibukkan dengan persiapan
mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri
lagi, disamping ujian akhir semester. Mbak Keyla
sempat satu kali mengirimiku surat menanyakan
kabarku, dan kubalas kalau aku sedang sibuk
dan berjanji akan segera mengunjunginya begitu
urusanku selesai.
Tapi janji tinggal janji. Aku diterima di perguruan
tinggi negeri di kotaku dengan jurusan yang dari
dulu kuincar. Artinya aku harus berbenah untuk
pindah lagi. Sebetulnya, ketika keluargaku
datang ke Solo untuk membantuku beres-beres,
aku berencana untuk pergi ke Jogja. Tapi
karena tiba-tiba ayah jatuh sakit, rencana itu tak
terwujud. Aku beserta keluarga segera kembali
ke kota asalku yang jaraknya sejauh sembilan
jam perjalanan.
Tanpa terasa, sudah satu tahun lebih aku tak
pernah bisa mewujudkan janjiku pada mbak
Keyla untuk mengunjunginya.
Suatu hari, sepulang kuliah aku diberitahu oleh
ibu kalau ada seorang perempuan meneleponku
dan berpesan agar aku menelepon di nomor
yang dicatat ibu. Ternyata itu adalah nomor
telepon hotel. Saat kuhubungi, operator yang
menjawab dan aku disuruh menunggu sebentar.
Tak lama kemudian, terdengar suara yang
sangat familiar di telingaku. Suara mbak Keyla!
Aku pun meluncur ke hotel tempat ia menginap
setelah mbak Keyla memberitahu alamatnya.
Di hotel melati tempat mbak Keyla menginap,
kami tumpahkan kerinduan kami dalam deru
nafas kenikmatan duniawi yang lama tak
tersalur.
Saat jeda, mbak Keyla bilang kalau ia ingin
menjadi TKW. Aku kaget mendengar hal itu. Hak
asuh Vina diambil alih oleh mas Gunawan, kata
mbak Keyla ketika kutanyakan bagaimana
dengan Vina andai mbak Keyla jadi TKW. Mbak
Keyla yang tahu kalau ayahku pejabat
bermaksud minta tolong untuk memuluskan
rencananya. Aku tak bisa bicara banyak kecuali
berjanji akan menyampaikannya kepada ayahku.
Ayahku marah besar begitu kukatakan hasil
pembicaraanku dengan mbak Keyla. Kata ayah,
meskipun hubungan kami akrab, tapi aku tetap
tak boleh ikut campur urusan keluarganya.
Ketika kusampaikan hal itu pada mbak Keyla, ia
tampak kecewa. Ia kemudian memutuskan
untuk kembali ke Jogja. Aku merasa tak enak
padanya, tapi apa yang bisa kulakukan? Kuantar
ia ke terminal, kubelikan tiket bus dan kuberikan
semua uang yang ada di dompetku sebagai
pegangannya.
Hanya berselang dua hari kemudian, aku
bertemu Tony dalam sebuah acara reunian
kelas. Dengan berpura-pura tidak tahu,
kutanyakan bagaimana kabar mas Gunawan dan
mbak Keyla. Aku pun pura-pura kaget ketika
Tony cerita kalau mas Gunawan sudah bercerai
dengan mbak Keyla. Yang membuatku kaget
betulan adalah ketika Tony mengungkapkan
penyebab perceraian mereka.
Kata Tony, mas Gunawan menceraikan mbak
Keyla karena istrinya itu selingkuh. Terkuaknya
perselingkuhan mbak Keyla gara-gara mas
Gunawan menerima surat kaleng dari
seseorang. Mulanya mas Gunawan tidak
percaya begitu saja pada surat kaleng itu, tapi
pada surat kaleng berikutnya yang menyertakan
foto syur mbak Keyla, mas Gunawan jadi emosi.
Selidik punya selidik, si pengirim surat kaleng
tersebut adalah mantan selingkuhan mbak Keyla
yang sakit hati karena dicampakkan oleh mbak
Keyla. Mereka menjalin hubungan sejak mbak
Keyla berpacaran dengan mas Gunawan.
Tak hanya itu. Si pengirim surat kaleng juga
membeberkan kenakalan mbak Keyla yang
sering di-booking om-om dengan bayaran uang.
Mas Gunawan langsung menceraikan mbak
Keyla. Semula ia bermaksud mengambil Vina
dari tangan mbak Keyla, tapi karena anak
semata wayangnya itu masih bayi, ia berikan
waktu kepada mbak Keyla untuk merawatnya.
Begitu Vina berusia dua tahun, baru mas
Gunawan mengambilnya dari mbak Keyla.
Aku termangu, antara percaya dan tidak,
mendengar penuturan Tony. Mungkin itu
sebabnya, baik mbak Keyla maupun ibunya,
tidak pernah menceritakan sebab-musabab
perceraian mereka, mungkin karena merasa
malu. Mungkin itu juga sebabnya mbak Keyla
punya koleksi baju-baju seksi yang pernah
ditunjukkan padaku ketika kami berduaan. Dan,
mungkin itu juga sebabnya mbak Keyla sangat
mahir di atas ranjang, karena jam terbangnya
banyak.
Meskipun itu cuma prasangkaku saja dan belum
tentu kebenarannya, tapi mau tak mau aku
harus berpikir ulang untuk memendam keinginan
mereguk kenikmatan bersama mbak Keyla lagi.
Aku khawatir akan menjadi bumerang bagi diriku
sendiri.
Sejak pertemuan di hotel itu, aku tak pernah lagi
bertemu dengan mbak Keyla. Kabar terakhir
yang kudengar dari Tony setahun lalu, mas
Gunawan tidak menikah lagi. Katanya ia ingin
fokus memberikan perhatian pada Vina yang
sudah menginjak remaja. Sementara itu, mbak
Keyla tak diketahui kabar beritanya.
 
Wah jgn2 ini mbak kayla yg kost di tebet utara itu yaa hahahaha
 
walo copas, tp emang menarik untuk dibaca kembali...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd