Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[Copas] Ingin Binatang Peliharaan

qsanta

Semprot Lover
Daftar
17 Sep 2014
Post
269
Like diterima
987
Bimabet
Ini hasil salin dari tetangga. Gak perlu minta kelanjutan karena adanya cuma segini. Namun apabila di sumbernya ada lanjutan lagi, tentu akan saya lancrotkan... Selamat menikmati...


Ingin Binatang Peliharaan


Namaku Uda, tinggal tidak di real estate. Hobiku banyak, namun harta tak terlalu melimpah. Makan ikan teri, makan ikan kakap itu kusuka. Aku merupakan anak tunggal. Mamaku Siti Aisah, sedangkan ayahku, kita sebut saja ayah.

Ayahku perangainya sangat keras. Meski begitu, mama sangat mencintainya. Apa yang ayah suruh, selalu mama lakukan. Mungkin bisa dibilang, mama sangat penurut. Meski mama seorang dokteranda, namun karena papa tak pernah kekurangan uang, maka papa melarang mama bekerja.

Aku termasuk anak yang suka olahraga. Terutama sepakbola. Kehidupanku biasa saja. Tidak ada yang aneh. Hingga suatu hari, kusadari ada yang berbeda.

Setiap hari mama selalu berpakaian sopan, bahkan terkadang tetap memakai jilbab meski sedang di rumah. Namun hari itu, hari di mana terjadi perbedaan yang kurasa sangat mencolok, mama tiba – tiba memakai rok mini dan kaos ketat. Begitu ketatnya hingga bisa kulihat betapa mama tidak memakai bh di dalamnya. Karena begitu jelas puting mama tercetak di kaos itu. Mulai dari hari itu, setiap hari saat di rumah mama suka memakai pakaian yang, bisa kubilang, cukup seksi. Terkadang memakai rok pendek, terkadang memakai celana pendek. Dan bisa kupastikan, tanpa bh sama sekali.


Begitu pendeknya rok yang mama pakai hingga membuatku bisa melihat memek mama saat mama membungkuk untuk melakukan sesuatu. Pemandangan itu tentu membuat kontolku mengeras, aku pun tak tahan hingga akhinya ke kamar mandi untuk masturbasi. Setelah aku tenang, aku mencoba berpikir, mungkin mama sengaja berpakaian seperti itu untuk menggodaku. Aku berniat untuk menguji pikiranku.


Hari itu mama sedang mencuci piring. Kudekati mama, kupeluk dari belakang sambil kupegang susu mama. Mama berbalik dan mencium pipiku, seperti biasa. Tanganku masih di susu mama, kuputuskan untuk meremasnya.


Dengan agak marah mama berkata, “Lepaskan tanganmu nak!” aku pun menurutinya. Tanganku bergetar gugup, menyadari kemungkinan mama melaporkan aksiku dan ayah memarahiku. Aku ingin meminta maaf dan memohon agar tak melaporkan ini namun aku terlalu tegang. Setelah itu, mama bersikap normal seolah barusan tak pernah terjadi. Saat ayah pulang pun mama bersikap biasa hingga akhirnya aku sendirian di kamar.


Di kamar pikiranku tak berhenti akan kemungkinan laporan dari mama. Esok paginya, aku turun mau sarapan. Kebetulan hari ini sabtu, hari libur sekolah. Karena sekolahku liburnya sabtu minggu. Mama sedang duduk di sofa, nonton tv sambil ngopi. Ayah pergi keluar. Melihatku datang mama lalu bertanya kepadaku mau sarapan apa. Kujawab saja ingin goreng telur.

Mama pun bangkit lalu menuju dapur. Susunya naik turun dari balik kaos yang dikenakannya. Kuputuskan untuk menguji sekali lagi. Selesai menggoreng telur, mama meletakannya di piring di meja dapur.


Kuselesaikan sarapanku. Aku lalu beranjak mendapati mama yang sedang duduk di sofa sambil melihat tv. Aku ikut duduk di sebelahnya. Aku merasa tegang mengingat apa yang akan kulakukan. Mama menyadari keteganganku lalu bertanya. “Kamu kenapa sih?” Kujawab saja “gak apa – apa mah.”


Tangan mama kini mengelus rambutku. “Yakin kamu gak mau bilang sama mama?” Bukannya menjawab aku malah mengangkat tanganku dan menyentuh susunya. “Apa yang kamu lakukan?” Lalu kuremas kedua susu mama sambil kukecup mulut mama. Bukannya diam, mama malah menamparku dengan keras, begitu kerasnya hingga membuat kupingku ikut sakit dan menyuruhku masuk ke kamarku.


Aku pun beranjak pergi sambil mengelus pipiku. Aku diam di kamar. Sekarang aku yakin mama akan lapor ke ayah dalam waktu 1 x 24 jam. Aku takut. Waktu terasa berjalan lambat, begitu lambatnya hingga membuatku tak bisa santai. Detik – detik berganti jadi menit dan menit pun silih berganti hingga aku tertidur.


Saat aku terbangun kudengar suara mobil ayah. Saat kulihat melalui jendela, rupanya ayah baru pulang. Aku tak berani turun. Aku diam. Namun kuputuskan untuk turun mengendap – endap. Memeriksa apa yang akan terjadi. Aku pun menuruni tangga pelan – pelan, berusaha tidak bersuara. Setelah mencapai bawah, kudengar ayah dan mama sedang berbicara.


“Uda mulai bertindak kurang ajar saat ayah gak ada.”
“Anak itu mulai menunjukan keberaniannya. Jangan mama lupa, mama ada buat nyenangin pria di rumah ini. Selain papa, si Uda juga pria kan.”
“Iya, tapi ...”
“Emang mama pikir buat apa ayah nyuruh mama pake pakean kayak gitu di rumah. Biar anakmu ngeliatnya. Ngerti mah?”
“Tapi Uda kan anak kita yah.”
“Emang kenapa? Kalau anak itu mau ngapa – ngapain mama juga jangan mama larang. Camkan itu! Biar saja anak kita senang – senang.”
“Tapi...”
“Gak ada tapi – tapian. Kalau mama gak ngikuti kemauan anakmu, ayah akan buat mama telanjang terus di rumah ini. Ngerti?”
“Iii.. iiya yah.”


Tiba – tiba kulihat papa membuka celananya dan duduk. Aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu karena kuputuskan untuk kembali ke kamarku di atas. Aku berbaring di kasur sambil memikirkan apa yang terjadi. Arti dari percakapan mama dan ayah. Sudah malam, aku pasti dipangil, disuruh makan.

Beberapa saat kemudian pintu kamarku diketuk. Aku diamkan. Pintu pun terbuka dan mama muncul sambil memangilku.

“Turun Uda, makan dulu.”
“Gak laper mah.”

Mama mendekati dan menyentuh punggungku. “Ayo Uda. Kamu kan tau gimana ayah kalau kita gak makan bersama.”

Aku berdiri diikuti mama. Kucium mama lalu kudorong hingga hampir jatuh dekat pintu. Kuraih lengan mama lalu kutampar mama keras - keras sambil berkata, “Jangan pernah mama tampar Uda lagi!”


Aku pun turun meninggalkan mama dengan keterkejutannya. Ayah bertanya mama mana, kujawab masih di kamar, entah lagi ngapain. Ayah pun teriak memanggil mama yang langsung mama jawab “Iya, sebentar yah.” Beberapa saat kemudian mama turun dan menyiapkan makanan. Kami makan seperti biasa. Ayah bertanya tentang sekolah. Mama pun ikut ngobrol seolah tiada yang terjadi.

“Ayah pingin dipijet ntar sebelum tidur.”
“Iya yah,” kata mama.

Selesai makan, seperti biasa, ayah ke atas, ke ruang kerjanya. Tinggallah aku dan mama di sini. Aku pun berdiri dan kutatap mama.


“Sebelum mama beres – beres, isep dulu kontol Uda mah!”

Bukannya menjawab, mama hanya diam terpaku menatapku. Wajahnya terlihat takut. Kudekati mama, kuraih rambutnya dan kutekan hingga membuat mama terpaksa berlutut di hadapanku. Kuturnkan celanaku dan kutekan kontol ke mulut mama. Mama pun mulai menghisap kontolku. Tak tahan akan hisapannya, kulepaskan kepala mama dan langsung kuentot mama di dapur. Tak lama memang, baru juga beberapa tusukan sudah membuaku orgasme di dalam memek mama. Setelah itu, kucabut kontol dari memek mama dan kueluskan kontol ke wajah mama.


“Setelah ayah tidur, langsung ke kamar Uda mah.”
“Gimana kalau ayah bangun?”

Plak... kutampar mama keras.

“Itu masalah mama, bukan masalah Uda.”

Di lain pihak, ayah selalu tidur cepat, jarang begadang. Juga selalu bangun subuh. Setiap hari. Aku pun berbaring di kamar, telanjang, hanya memakai selimut sambil menunggu mama. Jam menunjukan pukul setengah sebelas saat akhirnya mama datang.

Tanpa bicara, kubuat mama menghisap kontolku. Puas menikmati mulutnya, kusuruh mama nungging dan kucoba memasuki anus mama. Menyadari apa yang akan terjadi membuat mama terkejut


“Jangan di sana Uda, mama mohon.”
“Diam!”
“Jangan sayang, sakit...”


Namun, semakin mama memohon, semakin kupaksa. Kuludahi anus mama agar sedikit mudah. Namun meski harus dengan perjuangan, akhirnya kontolku masuk juga di anus mama. Ku diamkan sambil mendengar isak tangis mama. Mama terus menangis hingga aku pun orgasme di anus mama.

Kini mama berbaring terlentang di kasurku sambil menangis.

“Ambil semua pil kb mama ke sini?”
“Buat apa Uda?”
Plak... kutampar lagi mama keras. “Jangan pernah mama mempertanyakan apa yang Uda bilang!”

Kudorong mama hingga keluar dari kamarku. Kuikuti mama ke kamarnya, namun saat mama memasuki kamarnya, aku menunggu di luar kamar. Kudengar ayah bangun.

“Lagi ngapain mah? Sini tidur.”
“Pingin ke kamar mandi yah.”
“Oh. Ya sudah.”


Ayah kembali tidur, sedang mama mengambil pil kbnya. Mama keluar kamarnya lalu memberi seluruh pil kb. Ku ambil dan kubuang ke kamar mandi.

“Jangan nak, mama bisa hamil.”
Aku hanya tersenyum.
“Jangan Uda, mama mohon!”
“Mama mestinya mikir dulu sebelum nampar Uda. Gak usah mengharap belas kasih Uda.


Mama tentu tak mengetahui kalau aku menguping pembicaraannya dengan ayah tadi. Ku suruh mama mengikuti ke kamarku.


“Mama mesti bangunin Uda dengan cara isep kontol Uda tiap pagi. Jika saat Uda bangun, mulut mama gak di kontol Uda, akan Uda tampar pipi mama.”
“Mama bisa bangunin kamu cara itu karena ayah kan pergi kerjanya subuh. Tapi mama gak bisa kalau hari minggu.”
Plak.... kutampar mama dulu, lalu bicara. “Itu masalah mama. Sekarang enyah dari kamar Uda. Oh ya, cukur jembut mama tiap hari.”


Tanpa menjawab, mama lalu pergi dari hadapanku. Aku sungguh menikmati yang telah terjadi hari ini. Esok minggu. Biasanya aku bangun siang saat minggu.
 
Pagi ini merupakan pagi yang sangat menyenangkan. Saat kubuka mata, mamaku sedang sibuk

menghisap kontolku. Mama sedang memakai mantel handuk, sedangkan di rambutnya dililit oleh handuk. Kumasukan tangan melalui mantel mandi mama lalu meremas susu mama. Tak lupa kupilin juga putting mama. Mulut mama sungguh ahli membuat kontolku seperti akan orgasme, namun aku belum ingin. Kudorong kepala mama hingga lepas dari kontolku.





"Udah mah, Uda pingin kencing dulu."



Aku pun turun dari ranjang diikuti mama. Namun, bukannya ke kamar mandi, kubuat mama berlutut di lantai dan kembali kumasukan kontol ke mulut mama. Menyadari apa yang akan terjadi, mama menatapku seolah memohon agar menghentikan aksi ini. Kutatap mama kembali sambil tersenyum. Kucabut kontolku.



"Mama mau ngomong apa?"

Air mata mama jatuh. Mama menangis. "Mama... mama gak mau Uda kencingin. Kenapa Uda seperti ini sama mama?"

"Karena Uda sayang mama. Inilah buktinya. Inilah cara Uda menunjukan kasih sayang Uda ke mama."

"Uda bener – bener seperti ayah."

"Buka anduk dan mantelnya mah. Taruh di lantai trus duduki."



Mama menuruti.



"Kalau Uda gak ngencingin mama, Mama mau kasih apa sebagai gantinya?"

Mama tersenyum. "Akan mama buatin sarapan spesial buat Uda."

"Makasih mah." kataku sambil mengeluarkan urin dari kontolku.



Kubuat tubuh mama basah oleh air kencingku hingga ke anduk yang sedang didudukinya. Hingga aku pun selesai kencing.



"Udah mah. Siapin sarapan dulu tuh."



Mama pun bangkit. Kulihat air matanya masih turn.



"Mama mau mandi dulu lagi. Baru buat sarapan."

"Gak perlu mandi dulu. Sekarang mama jemur tuh anduk dan mantel anduk diluar biar kering. Jangan di cuci dulu. Ntar kalau mama butuh, tinggal langsung pake lagi."

"Tapi si bibi di bawah lagi beres – beres."

Kubiarkan protes mama, "Lapar nih..."

"Gimana kalau mama pake aja dulu nih mantel anduk."

"Mama tuh tuli apa idiot sih? Jemur tuh handuk dan mantel. Terus bikinin Uda sarapan. Gak perlu malu kayak perawan. Sekalian tawarin si bibi susu atau kopi atau apa kek..."

"Terus gimana mama jelasin kenapa mama telanjang dan bau pesing."

"Gak perlu jelasin apa – apa." kataku sambil berlalu ke kamar mandi.



***



Saat keluar dari kamar mandi, kudengar mama di tangga. Aku masuk ke kamarku diikuti mama yang masih telanjang. Rambutnya pun masih basah. Mama meletakan sarapanku di meja.



"Mama bikinin kopi dulu nak."

"Sekalian bawa celemek mama."





Mama terlihat marah namun tak menjawab. Hanya menganggukan kepala. Selesai sarapan kudengar mama datang. Aku duduk di kursi saat mama masuk kamar sambil. Ku ambil kopi dari mama dan dengan tatapanku, kuarahkan tatapanku dari mama ke kontolku. Aku senang mama mengerti maksudku. Mama langsung berlutut memasukan kontol ke mulutnya. Hisapan mama sungguh nikmat. Kuelus pipi dan wajah mama.



"Uda sangat mencintai mama."



Mama mengangguk, entah mengiyakan atau apalah – apalah. Hingga akhirnya aku pun orgasme dalam mulut mama. Mama tak membiarkan satu tetes pun lepas dari mulutnya. Aku sungguh puas dengan pelayanan mama.





"Telan mah semuanya!"

Mama menelan semua pejuku.

"Udah, duduk dulu mah."

Mama pun duduk di lantai.

Timbul keisenganku untuk menggoda mama "Gimana tadi, buatin sesuatu gak buat si bibi?"

Mama menganggukkan kepala.

"Terus, gimana reaksinya liat mama telanjang?"

"Si bibi liat mama dari atas sampai bawah. Terus tersenyum dan bilang 'Bapak pasti bangga karena ibu punya tubuh bagus. Apalagi memamerkannya di rumah.'"

"Terdengar seperti si bibi tertarik sama tubuh mama."



Mama tak menjawab. Kuulang lagi perkataanku dengan sedikit nada tinggi.



"Iya."

"Udah, biar itu kita pikirin nanti."



Selesai berkata, kurengkuh dan kupeluk mama. Mama mulai terisak dipelukanku lalu menangis. Kubiarkan mama menangis sambil mengelus pungung dan pantat mama. Mama lalu menatapku.



"Kenapa gini Uda?"

"Karena Uda sayang sama mama."





Mama kembali menekankan kepala di dadaku sambil terus menangis.



"Udahlah mah, terima saja gak usah berontak. Semakin mama menerima kenyataan ini, semakin mudah mama menjalaninya."





Mama menganggukan kepalanya lalu mulai melepaskan pelukanku. Dengan tangannya mama menghapus air matanya.





"Pake celemeknya mah." Mama menurut dan langsung memakainya. "Nah, beginilah seharusnya seorang mama berpakaian." Mama tak menjawab namun tersenyum.



Kuambil gunting dan kupotong bawahan celemek. Sekarang ujung celemek sejajar dengan memek mama. Aku mundur selangkah dan mengamati mama.



"Kalau sekarang mama terlihat seperti pelacur."



Komentarku membuat air mata mama kembali hadir.



"Ambil dan beresin bekas sarapan Uda mah. Abis itu rebahan di belakang, biar kayak bule, berjemur sinar matahari sambil tetap pake celemek."



Mama langsung terkejut mendengarnya, "bentar lagi ayah pulang, mama mesti jelasin apa ke ayah?"

"Jangan bingung, bilang aja mama pingin itemin kulit mama. Oh ya, gak perlu pake sunkrin atau apa gitu yang sejenisnya. Gak usah diolesin apa – apa lagi. Biar air kencing Uda nyatu sama keringet mama. Jangan berhenti berjemur sebelum Uda suruh."



Setelah itu kubimbing mama agar keluar dari kamarku. Sambil mendorong mama, kembali kuberbicara " Sebelum berjemur, minum dulu dua gelas mah."





***



Dari jendela kamar kulihat halaman belakang rumahku. Mama sedang berjemur, beralas anduk di sisi kolam renang, persis seperti yang kusarankan. Sambil memakai kaca mata hitam. Kufoto mama memakai kamera. Saat sedang mengamati mama, kulihat ada pria yang datang. Pria itu memang tetangga sebelah yang bekerja pada ayah untuk mengurus kolam renang. Namun, melihat mama yang sedang berjemur, pria itu diam sebentar. Lalu pelan – pelan pergi. Lima belas menit kemudian kudengar si bibi mendekati mama.



"Semua udah selesai Bu."



Mama tak menjawab, hanya melambaikan tangan untuk mengusirnya. Si bibi pun pergi. Mama mulai terlihat kepanasan tapi mama sadar mama tak bisa pergi tanpa izinku. Saat itu kudengar suara mobil ayah. Aku lantas turun dan duduk di sofa depan tv. Ayah pun datang.



"Mamamu mana?"

"Gak tau yah. Uda baru aja turun terus langsung duduk di sini. Oh ya, Yah, akhir – akhir ini mama terlihat beda. Gak tau kenapa?"

"Apa yang mamamu lakuin?"

"Maaf yah, tapi mama terlihat agak 'nakal.' Tapi Uda cuekin aja."

"Mungkin akibat pil kb atau entahlah."

"Oh."

"Tapi ayah gak mau mamamu hamil. Ayah gak sanggup punya bayi lagi, udah terlalu tua."

"Gak usah khawatir yah, kan ada Uda. Jadi ayah gak tambah sibuk. Kan yang penting mama gak berubah."

"Terserah kamu deh."

"Lapar nih ayah."



Ayah lalu ke dapur. Saat ayah mencuci tangannya ayah menoleh ke jendela dan melihat mama diluar. Ayah lalu membuka jendela.



"Ngapain mah? Ayah lapar nih."



Mama lalu masuk. Aku menoleh. Kulihat ada sedikit perubahan pada kulit mama, walau secuil. Ayah pun menatap mama.



"Kenapa telanjang mah?"



Mama lalu memakai celemeknya. "Ya kan gak ada siapa – siapa di rumah."

Melihat mama bercelemek ayah menjawab, "cocok sekali mama pake itu." Suara ayah terdengar mengejek.

Aku ikut bicara, "Mama jadi terlihat seksi yah."

Ayah tak merespon. Namun ayah seperti mencium sesuatu. "Mamah kayak bau pesing sih?"

"Oh, ini akibat lotion baru mama."

Ayah hanya geleng – geleng, "Ayah laper nih."

"Ya udah, ayah mandi saja biar mama siapin makanan."

"Iya."





Ayah pun naik ke atas lantas ke kamar mandi. Kudekati mama lalu kuelus – elus rambutnya.



"Bagus... bagus..."



Setelah itu kubuka kulkas lalu kuambil mentimun. Gak besar, sedang saja ukurannya. Kuberikan pada mama.



"Masukan ke memek mama."

"Gak bisa, kebesaran. Terus susah kalau gak ada penahan, kayak celana dalam misalnya."

"Masukan ke memek mama atau Uda masukan ke anus mama!"





Mama lalu mengolesan ujung mentimun itu dengan minyak dan memasukannya.



"Gimana kalau ntar tiba – tiba keluar?"

"Ya jangan sampai dong mah." kataku sambil menuang air ke gelas. Kuberikan gelas itu ke mama, "minum mah. Awas jangan dulu kencing sebelum Uda izinin."





Saat aku kembali duduk di sofa, kudengar ayah menuruni tangga. Menyadari kehadiran ayah mama terlihat panik lalu menatapku seolah meminta agar mentimun itu dicabut. Aku melotot sambil menggeleng. Ayah melihat makanan belum tersaji jadi ayah ikut duduk. Ayah memperhatikan mama.



"Mamamu jalannya keliatan lucu."

Aku menoleh melihat mama, "Iya yah. Munkin karena abis berjemur atau entahlah." Kulihat tv kembali.





***



"Makanan udah siap."



Aku dan ayah lalu beranjak dan duduk di meja makan. Mama menyiapkan makanan.



"Mama bau banget." kata ayah sambil beranjak membawa makanan lalu duduk di sofa.

"Mending makan di sini aja yah." kataku.

"Ntar mama makan terakhir, abis Uda dan ayah selesai."





Selesai makan, aku dan ayah duduk di sofa.



"Bikinin ayah kopi dong mah."



Beberapa saat kemudian mama datang membawa kopi ayah. Sambil membawa cangkir kopi dari mama, ayah bertanya kepadaku, "kamu liat gak, mama agak gemukan sekarang ya?"

"Ya gak liat dong yah, kan mamanya pake celemek."

"Coba mama buka celemeknya, biar Uda bisa liat."





Mama terlihat malu namun mematuhi kata – kata ayah. Air mata mama jatuh.



"Coba mendekat ke Uda mah," kata ayah.



Mama mendekat kepadaku. Aku menunjuk perutnya. Memang terlihat lemak di sana.



"Udah banyak lemaknya. Terus agak besar. Apa mama mau ke kamar mandi."

"Iya."

"Jangan, ambil sini piring mama!" perintah ayah.



Mama pun beranjak kembali ke dapur.



"Kenapa jalan mama gitu sih mah?"





Tentu mama tak mau bilang bahwa ada mentimun di memeknya. Mama hanya menggeleng sambil bilang, "ah perasaan jalan mama biasa aja deh." Akhirnya mama pun kembali sambil membawa piringnya.





"Taruh di lantai. Makan kayak anjing." kata Ayah. Lalu ayah berdiri. "Mama mesti minum obat lagi. Kamu pastiin mamamu habisin makanannya Uda." Setelah itu ayah beranjak naik.





Saat mama sedang makan seperti anjing, kuelus – elus kakiku ke memeknya yang dipenuhi mentimun. Mama langsung menoleh padaku dan memohon.



"Mama pingin kencing, biarin mama kencing nak."

"Iya deh."



Mama langsung berdiri, namun belum mama melangkah langsung kutampar pantatnya dengan keras. Begitu kerasnya hingga membuat tanganku pun sakit.



"Awww..."

"Siapa yang nyuruh berdiri?"



Mama pun kembali merangkak seperti anjing ke arah kamar mandi, namun kuhentikan. Kutunjuk belakang rumah.



"Jangan Uda. Jangan perlakuin mama kayak gini."



Aku tak menjawab, namun kuraih rambut mama dan kutarik keluar kebelakang rumah.



"Angkat pantat mama, Uda pingin liat mama kencing."



Mama mulai menangis. "Gak bisa kalau masih ada mentimun."



Kusentil keras memek mama dengan jemariku membuat mama kembali berteriak. Namun mama langsung memuntahkan air kencingnya hingga selesai.



"Cabut timunnya terus makan mah."



Mama mengeluarkan mentimun. Wajahnya terlihat jijik. Namun tetap memakan timun itu sampai habis.



"Udah, merangkak lagi mah, biar Uda semprot."

"Biarin mama mandi di kamar mandi Uda."

"Lho, anjing kan gak ke kamar mandi."





***





Setelah puas menyemprot mama dengan air dari selang, kusuruh mama kembali masuk. Saat mama merangkak, telepon rumah berbunyi. Kuangkat ternyata tanteku, Yena, adik mama. Tante yena mau bicara sama mama namun kubilang mama lagi di kamar mandi. Ntar kubilang sama mama. Setelah itu kututup teleponnya.



"Ntar malam mama telepon tante yena sambil ngewe. Sekarang abisin dulu makanan mama. Abis itu mama ke garasi, diam di sana hingga waktunya untuk masak malam."



Mama mengangguk lalu menyelesaikan makannya. Setelah itu mama merangkak ke garasi. Kudengar pintu garasi terbuka. Beberapa saat kemudian, ayah turun lalu mengambil minuman dari dalam kulkas. Ayah ikut duduk di sofa.



"Mama mana?"

"Kayaknya tadi pergi ke garasi yah."



Ayah bangkit lalu menuju garasi. Didapatinya mama sedang terbaring tidur di lantai, telanjang. Ayah lalu menutup pelan pintu garasi dan kembali duduk di sampingku.





"Uda mesti lebih hati – hati sama mamamu. Kalau gak bisa berbahaya."

"Uda ngerti. Baiklah, Uda bakal lebih hati – hati lagi."

"Tadi tantemu nelpon ingin ngomong sama mama tapi lagi gak bisa. Mau ngomong apa tantemu Uda?"

"Gak tau yah. Tapi dari nadanya kayak yang sedikit emosi gitu."

"Mungkin ada masalah sama pamanmu, pamanmu memang kacau. Ingetin aja mamamu buat nelpon tantemu. Ayah demen sama tantemu itu," kaya ayah sambil tersenyum penuh arti kepadaku.



Aku pun nonton tv sama ayah.





***





Tak terasa malam pun tiba. Aku pun bangkit, "biar uda bangunin mama buat masak." Aku menuju garasi. Mama terlihat tidur nyenyak. Kubuka celana dan kuarahkan kontolku. Aku mulai kencing dan kuarahkan agar membasahi rambut, wajah dan susu mama. Mama bangun, terkejut namun memilih diam hingga aku selesai kencing. Mama lalu mengusap wajahnya yang penuh air kencingku.



"Saatnya masak mah." kataku sambil melempar celemek mama lalu kembali masuk dan duduk di sebelah ayah. Mama mendekati dan menyapa ayah lalu menuju kulkas. Ayah melihat mama basah, susunya bergerak naik turun. Tentu hal ini tak luput dari perhatian ayah. Ayah pun bangkit lalu memeluk mama dari belakang. Ayah lalu mencium tengkuk mama dan membisikan sesuatu, membuat mama tersenyum. Mama membalikan kepala lalu mencium ayah.



Aku bangkit lalu mendekati mereka.



"Yah, rasanya Uda kepingin punya peliharaan, beli kucing kek, atau kelinci."

"Enggak. Ntar ribet. Kamu mesti beli makannya, mandiin, urus kotorannya."

"Tapi yah, Uda pingin ngelatih peliharaan. Biar nurut, biar bisa diajak jalan – jalan."



Ayah diam lalu menatapku. Setelah itu ayah mendorong mama ke arahku.



"Mulai sekarang, dia bisa jadi peliharaan Uda. Jadi anjing Uda. Mau Uda latih, bermain, terserah. Mau Uda ajak jalan keluar pun biar bisa ketemu sama anjing lainnya pun bisa. Eh tapi, tentu jangan Uda bawa jalan keluar. Biar anjing lain saja yang Uda bawa ke sini. Biar mereka bisa main"

"Tapi yah, kita kan gak tau apa anjing lainnya dikebiri atau engga."

Ayah mengedipkan mata padaku lalu berkata, "ya hanya satu cara untuk mengetahuinya." Setelah itu ayah ke belakang rumah, ke kolam.





***



Kulihat mama yang benar – benar ketakutan.



"Uda gak boleh begitu sama mama."

Plak... kutampar pipi mama keras.

"Jangan bicara sembarangan. Sekarang mama masak aja. Oh ya, sebelum itu, hubungi tante Yena sekarang. Sekalian ajak makan di sini. Bahkan ajak nginep di sini aja."





Masih berair mata, mama menelepon Tante Yena. Setelah basa – basi, mama pun mengajak Tante Yena menginap. Sekalian ngobrol sama suamiku, siapa tahu bisa membantu kalian berdua, kata mama. Mama pun menutup telepon setelah percakapan usai.



"Ngomongin apaan sih mah?"

"Pamanmu lagi butuh uang, siapa tahu ayahmu bisa membantu."



Aku hanya mengangguk lalu beranjak untuk duduk di sofa.



"Sah, Aisah, sini!" untuk kali pertama kupanggil mama dengan menyebut namanya. Mama menghampiri, terlihat tak suka.



"Kamu punya korset gak?"

"Ada tapi, kemungkinan udah gak cukup."

"Bagus. Pake aja. Sekalian pake kaos putih dan rok mini."

"Tapi warna korsetnya merah. Pasti bakal keliatan dari luar kaos."

"Uda juga tau."

"Mama bilang gini karena pamanmu suka bercanda. Apalagi sama mama."

"Uda juga tau itu. Lagian kan masih keluarga."





Mama memilih untuk tidak membantah. Akhirnya mama naik ke kamarnya untuk memakai pakaian. Saat kembali, mama terlihat nakal. Korset merah terlihat dari balik kaos putihnya. Susunya tercetak jelas sedang rok mininya pun sangat pendek.



"Tunjukan yang ada di balik rok mini itu!"



Mama menunjukan bahwa tiada apa pun selain rok mini itu. Puas akan pandangan itu, kuberdiri, mendekati mama, memeluk dan mencium keningya.



"Mama memang pintar, cepat belajar hal baru. Meski bau mama kaya di wc umum, namun mama terlihat cantik."



Aku lalu memutar mama. Kumasukan tangan ke dalam kaos mama ingin tahu apakah korset itu bisa diperketat lagi. Ternyata bisa. Kuperketat saja korset itu hingga mentok.





"Mama susah nafas Uda. Susu mama juga jadinya naik banget."

"Gak apa – apa. Ntar sekalian kamu belajar akting. Paman pasti coba mencuri pandang ke arahmu. Bantu sekalian sama kamu biar dia bisa puas. Namun jangan biarkan dia ngentot kamu. Kalau sampai terjadi, kamu rasakan sendiri akibatnya. Kalau dia tetap memaksa, teriak saja."



Kuhentikan omonganku. Kutampar pantat mama lalu melanjutkan bicara, "Sekarang ayo masak."



Aku kembali duduk di sofa sambil menonton tv. Sesekali kulihat mama. Mama terlihat kaku memakai korset ketat sambil memasak. Aku hanya tersenyum.





Beberapa saat kemudian ayah datang. Saat melihat mama ayah terkejut.



"Wow, ada yang dandan nih. Siapa yang bakal datang?"

"Tante Yena sama paman mama undang makan dan nginep di sini. Juga paman mau bicara sama ayah, lagi butuh uang."

"Enak aja. Gak akan ayah kasih bantuan lagi tuh orang." kata ayah sambil membuka kulkas, mengambil minumannya. Setelah itu ayah ikut duduk di sofa.

"Coba dengar ide Uda yah, kalau ayah bantu paman, sekalian saja ambil sertifikat rumahnya. Juga suruh Tante tinggal di sini sampai hutang paman lunas."





Ayah tiba – tiba tersenyum sambil menatapku. "Bener – bener anak ayah. Idemu sungguh orisinil."

"Tapi jangan langsung ayah kasih. Bilang aja mau ayah pikirkan dulu. Trust tanya buat apaan uangnya."



Ayah tak menjawab, namun pergi. Mungkin mandi. Aku ke kulkas, mengambil mentimun dan menyerahkan ke mama. Mama mengambil dan langsung mencoba memasukan itu ke memeknya. Namun ternyata susah karena ketatnya korset.



"Tolong bantu mama masukin dong Uda."

"Siap. Nungging dulu dong."



Mama langsung nungging kayak anjing. Kumasukan timun itu ke memek mama. Mama kembali bangkit lalu melanjutkan memasak. Aku berjalan ke kamar. Di kamar kusiapkan webcam untuk nanti. Saat aku keluar kamar, kudengar bel berbunyi. Aku pun ke dapur.



"Aisah, coba liat siapa yang datang."





Saat kulihat mama berjalan menuju pintu, kusadari betapa mama terlihat sangat nakal. Susu mama seperti tak muat dalam kaos. Cara jalannya pun unik karena adanya timun. Saat mama membuka pintu, Tante dan Paman berdiri lalu menatap mama. Tante memeluk mama lalu berjalan masuk melewatiku. Kulihat Paman juga memeluk mama. Tangannya ditaruh di pantat mama. Tangan itu dimasukan dan meremas pantat mama yang tak memakai celana dalam.



Kini Tante memeluku, namun mataku terus mengawasi mama yang tak bisa lepas dari pelukan paman. Keadaan ini membuat kontolku menegang. Rupanya Tante pun merasakan kontolku yang menegang. Tante langsung mendorong melepas pelukannya. Tante berbalik dan langsung menyadari tangan suaminya yang sedang berada di pantat mama. Saat Tante memelototi paman, tangan paman pun lepas. Paman lalu mendekatiku dan kami saling berjabat tangan.





"Ayahmu di rumah?"

"Iya, lagi di atas. Bentar lagi turun kok."





Kulihat tante menarik mama ke dapur. Dapat kudengar percakapan mama dan tante.



"Kakak pake apaan sih? Kesannya kok murahan banget. Mending cepetan ganti."

"Laki – laki di rumah ini suka kalau kakak berpakaian seperti ini. Lagian kakak juga gak keberatan kok."

"Laki – laki? Maksud kakak suami dan Uda? Tapi kan Uda anak kakak. Gila. Udahlah, Yena gak mau tahu."



Puas mendengar percakapan kutuang anggur untuk paman dan tante. Kuberi segelas anggur yang langsung diambil tante.



"Tante memang haus."





Merasa mendapat kesempatan, paman lalu mengambil botol dan menuangkan lagi ke gelas kosong di tangan tante. Mama kembali sibuk dengan masakan di dapur. Mata paman kini kembali melihat mama. Ayah pun akhirnya turun yang langsung didekati paman. Mereka berjabat tangan. Tante yena lalu mendekati dan memeluk ayah. Air mata langsung membasahi pipi tante.



"Bantu kami kak. Kami gak mau masuk bui."



Kukira ayah akan sangat mengambil kesempatan untuk mengelus dan meremas tante. Namun ternyata ayah memilih diam.



"Jangan cemas. Kita pikirkan itu nanti. Sekarang kita makan dulu yuk."



Ayah lalu mengajak tante ke meja makan. Sedang paman di dapur mencoba membantu mama. Ayah dan tante lalu duduk di meja makan. Ayah kini menatap mama.



"Kakakmu seksi kan?"

"Iya, yena ngerti kakak suka kalau kak Siti berpakaian seksi."

"Iya. Tubuh kakakmu bagus. Sayang kalau selamanya tersembunyi." Kini ayah menatap tante. "Eh, ngomong – ngomong, tubuh kamu juga bagus kok."

"Kami lagi punya masalah. Lagi gak minat pamer."

"Tenang saja, akan kakak coba bantu." kata ayah sambil menyentuh rambut tante, lalu mengelusnya.





Dapat kurasakan perubahan di wajah tante. Tante seperti bakal menuruti apa yang ayah katakan. Mungkin efek anggur tadi. Entah ini merupakan naluri atau tidak, namun sepertinya tante menunjukan gejala penurut seperti mama. Kuputuskan untu mengujinya. Saat ayah bangkit, mungkin untuk mengambil minumannya, kudekati tante dan berbisik di telinganya.



"Ayah pasti suka kalau tante gak pake celana dalam. Ke kamar mandi sekarang, lepas celana dalam tante lalu gantung dan tutupi dengan handuk. Terus kembali ke sini. Ayo cepat, waktu tante hanya lima menit."



Tante memalingkan wajah untuk menatapku. Wajahnya terlihat malu. Tante lalu berdiri. Kubantu dengan mendorongnya ke arah kamar mandi. Kuikuti tante hingga tante masuk. Namun sebelum tante mengunci pintu, kudorong hingga aku pun ikut masuk.





"Sekalian juga lepas bh tante." Tante akan protes namun langsung kupotong sebelum tante bicara. "Maaf, aturan ayah di rumah ini."



Aku lalu keluar. Kutuangkan anggur di gelas tante dan kuletakan di meja disebelah kursi ayah.



"Tantemu di mana?"

"Di kamar mandi. Lagi melepas bh dan celana dalamnya."

"Kamu pintar. Cepet belajar."



Aku hanya tersenyum. Kuputuskan untuk ke dapur. Saat masuk kulihat paman berdiri di belakang mama. Rok mama terangkat hingga ke pinggang. Kontol paman sedang menggesek – gesek pantat mama. Aku batuk, untuk membuat suara agar mereka menyadari kehadiranku. Paman langsung mundur menjauhi mama.





"Masih lama matengnya mah?"

"Lima menitan lagi."





Lalu kudengar suara kamarmandi terbuka dan kembali tertutup. Tiga puluh detik kemudian, kumasuki kamar mandi untuk mengecek. Ternyata ada bh tante warna biru, selaras dengan warna celana dalamnya. Kuambil dan kubuang ke tempat sampah lalu kembali ke ke meja makan. Kuarahkan kepalaku diantara kepala ayah dan kepala tante.



"Bh tante ukuran tiga enam, namun celana dalamnya kecil." Kutatap tante dan kembali bicara, "ukuran celana tante berapa sih?"



Tante hanya diam sambil memandang ke bawah. Kupegang bahu tante.



"Tante mau Uda ukur sendiri ya?"



Kini kupegang tengkuk tante, "Kalau pantat tante?"

"Tiga empat."

"Jadi ukuran tante tiga enam, dua sembilan dan tiga empat?"

"Iya."

"Tante mulai terangsang ya?"



Tante kini memilih diam. Kuremas tengkuknya.



"Sedikit."



Saat itu ayah mulai bicara, "Udah, jangan ganggu tantemu."



Aku mulai menarik kepalaku, namun kulihat tangan kiri ayah mulai pindah ke paha tante. Lalu mama muncul membawa makanan, dibantu oleh paman.



"Mari makan paman."

"Iya kak, ayo duduk." kata paman sambil menatap mama.

"Enggak, nanti aja. Masih ada urusan di dapur."

"Mama lagi diet. Katanya biar seperti tante."



Kulirik tante yang seperti terkejut, mungkin akibat tangan ayah. Kulihat mama, wajahnya terlihat sedih, mungkin akibat komentarku. Setelah itu mama berbalik akan menuju dapur.



"Bisa tolong ambilin timun mah, yang udah dipotong – potong."



Sepuluh menit berlalu namun mama belum juga datang mengantar timun. Aku pun bangkit menuju dapur. Kulihat mama sedang berdiri bersandar ke kulkas. Menangis sambil mencoba mengeluarkan mentimun. Kudekati mama.



"Kenapa nangis Aisah?"

"Mama gak bisa bungkuk buat ngambil timunnya."

"Oh."



Aku lalu duduk di kursi. "Sini coba buka pahanya." Saat akan mencabut mentimun, kulihat memek mama agak basah.



"Kamu orgasme ya? Berapa kali?"

"Iya... Mungkin tiga kali."



Aku berdiri lalu kutampar mama.



"Dasar murahan, baru digoda segitu aja udah orgasme."



Kubalikan tubuh mama hingga membelakangiku. Lalu kutampar pantat mama beberapa kali dengan keras. Setelah tanganku terasa sakit baru aku hentikan. Ternyata pantat mama penuh lecet warna merah. Kini kuremas rambut mama.





"Diam, jangan nangis. Sekarang sajikan sisa makanan. Dasar murahan, bisanya ngerusak acara makan orang aja."



Aku pun kembali ke meja makan dan duduk.



"Dari mana Uda?" tanya ayah.

"Liat mama. Ternyata timunnya habis."



Kulihat gelas tante kosong, aku pun mengisinya kembali dengan anggur. Beberapa saat kemudian sepertinya kami mulai selesai makan.





Ayah pun menatap Paman, "Kita ngobrol di teras yuk." Ayah bangkit menuju teras diikuti paman.

Tante menatapku, "Kira – kira ayahmu bakal bantuin pamanmu gak yah?"

"Sepertinya ayah hanya mau membantu tante. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Mungkin ayah gak ngebantu secara cuma – cuma."

"Apa tante mesti ke teras buat bantuin paman?"

"Jangan, mending kita duduk aja di sofa sambil nunggu."

"Tante udah susah berdiri, bantuin tante dong. "



Aku berdiri lalu ke belakang tante, kubantu tante berdiri. Tanganku melingkari badannya hingga tangan ini menyentuh susu kanan tante. Tante mencoba mendorong tanganku ini.



"Kalau tante lakuin itu sekalian Uda lepasin aja pakaian tante."



Saat aku melihat ke bawah, ternyata ada bagian yang basah di celana tante. Tepatnya di bagian selangkangan.



"Memek tante basah ya?"

"Iya."

"Sama ayah?"

"Iya."

"Angkat pakaian tante, Uda pingin liat susu tante."

"Jangan, ntar ada yang liat."



Kubuka paksa blus tante dengan kedua tangan membuat kancingnya terlepas.



"Anggap ini pelajaran jika mempertanyakan ucapan Uda."



Kuraih susu tante dengan tanganku. Kuelus dan kuremas. Lalu kumainkan putingnya. Tante masih diam karena terkejut. Kini kuarahkan tanganku di tengkuk tante. Kubuat kepala tante mengarah ke wajahku lalu kucium tanteku. Kucium tante sambil melepas blus dari tubuhnya. Setelah itu kubimbing tante hingga duduk di sofa. Sesaat kulirik dapur, mama masih sibuk.



"Sah, Aisah sini!"



Kupanggil mama yang langsung datang menghampiri. Mama terkejut melihat tante yang sudah tak berblus. Kini mama mungkin menyadari bahwa tante sudah berada dalam cengkramanku.



"Kasih tante kaos kesayangan Uda."



Mama langsung melepas kaosnya. Kaos itu diberikan ke tante dan langsung dipakainya. Sebagian besar susu tante terlihat karena memang lehernya sangat lebar dan rendah. Mama langsung menunjuk celana tante yang basah.



"Yang itu gimana?"

"Biar tante ke atas buat ganti. Makanannya udah siap Sah?"

"Iya."

"Ya udah. Cepet beresin mejanya. Terus hidangkan makanan yang baru mateng. Abis itu ke sini lagi."



Sesaat setelah mama pergi, langsung kucium pipi tante. Setelah itu aku berbisik di telinganya. "Uda pingin liat memek tante." Bukannya menjawab tante malah diam saja. Kupalingkan wajah tante dengan tangan kiriku hingga menatapku. "Kenapa? Masalah buat tante?"



"Gak masalah." kata tante sambil menurunkan celananya hingga sampai lutut. Kulebarkan paha tante, jembutnya hitam namun tak lebat. Kumasukan jari ke memeknya. Ternyata sudah basah.



"Kok udah basah sih."

"Ya karena keadaan."

"Keadaan apa?"

"Seperti ucapanmu."

"Karena ucapan Uda atau cara Uda berucap?"

"Karena cara Uda berucap. Menyuruh – nyuruh."

"Apa paman suka suruh – suruh tante?"

"Enggak. Pamanmu gak peduli sama tante. Malah peduli sama wanita lain."





Mama tiba – tiba muncul di hadapan kami. "Makanan udah tersaji di meja."

"Ntar nunggu ayah sama paman dulu. Sambil nunggu tolong lepasin celana tante. Sekalian jilatin memek tante. Biar tante rileks."



Mama terlihat agak kesusahan melepas celana tante, mungkin akibat korset. Lalu setelah lepas, memek tante mulai dijilati oleh mama. Tante mulai meremas susunya sendiri. Kudekati wajahku ke wajah tante.



"Tante gak boleh orgasme tanpa izin Uda dan atau ayah."



Tante makin melebarkan pahanya menikmati jilatan lidah mama.



"Nikmati aja mulut Aisah. Lebih dari pada itu tidak."

"Makasih."

"Aisah, kamu bawa tante ke atas. Bersihin sekalian kasih tahu aturan rumah ini. Bikin tante mengerti. Abis itu langsung pada turun lagi."





Tante mencoba berdiri, namun belum sepenuhnya tersadar. Kubantu tante berdiri dan kusuruh mama agak merangkulnya. Namun, saat di tangga tiba – tiba tante terjatuh. Untung mama langsung memegangnya hingga tante hanya berlutut sambil dipegang mama. Mama panik dan langsung memanggilku. Aku menghampiri dan melihat keadaan. Kupegang tante dan kusuruh mama untuk turun saja.



"Tante mau ke kamar mandi?"

"Gak. Tante rasanya pingin tidur aja."



Kubawa tante ke kamar ayah dan kubaringkan di kasur. Kulepas kaos mama kesukaanku. Kucium bibir tante. Lalu aku bangkit dan keluar kamar. Mama ternyata menunggu di ruang tv. Kuberi kaos tadi ke mama.



"Udah lepas aja korsetnya. Pake lagi nih kaos."



Mama terlihat senang dan langsung melakukan apa yang kusuruh. Kulihat pantat mama masih memerah.



"Jadi inget gangguan pas makan tadi."



Mama langsung menatap padaku, seperti memohon.



"Terserah kamu. Mau dilakukan sekarang atau ntar nunggu ayah dan paman."

"Sekarang aja."

"Ambilin sabuk Uda."



Mama pergi mengambil sabuk. Aku berdiri dan kusuruh mama telungkup di sofa. Pantatnya terlihat menantang ke atas. Setelah itu kupecut pantat mama kira – kira sepuluh pecutan di pantat kanan dan kiri. Mama hanya meringis sambil menangis. Kulihat betapa pantat mama makin merah hingga membuatku yakin mama takkan sanggup duduk tanpa merasa sakit.



Kutaruh sabuk, lalu berdiri di hadapan wajah mama. Kubantu mama berdiri dan kucium mama.



"Uda harap setelah ini kamu gakkan membuat kesalahan lagi."



Mama menganggukan kepala namun tangisnya tak juga berhenti.



"Udah, cuci muka dulu sana."

"Boleh cabut timunnya?"

"Jangan dulu."



Mama pun pergi dari hadapanku. Beberapa menit berselang, mama kembali muncul.



"Kok yena tidur di kasur ayah?"

"Ya iya. Kalau tante mau tinggal di sini, tentu mesti ayah setujui dulu. Lagian buat apa lagi ayah ngebantuin?





Akhirnya mama berbalik dan menuju dapur. Kuputuskan untuk duduk di sofa sambil melihat mama. Mama sedang membersihakn piring bekas makan tadi.



"Sisa makanannya jangan dibuang semua. Sisihkan sebagian atau seluruhnya buat kamu makan juga buat sarapan kamu besok."





Beberapa saat kemudian ayah muncul disertai paman.



"Mau cuci mulutnya gak?

"Gak ah. Ayah udah ngantuk. Mau tidur dulu." kata ayah sambil berlalu menuju kamarnya. Entah apa yang akan ayah pikirkan saat ada cuci mulut lain di ranjangnya.

"Tantemu mana Uda?"

"Oh, udah di atas. Pingin tidur katanya. Paman makan dong ya cuci mulut buatan mama, biar gak sia – sia. Uda mau pergi dulu nganter mama."

"Iya. Kamu temenin paman makan yuk."

"Ayuk."



Paman langsung duduk di meja makan. Aku hampiri mama dan berbisik, "cabut aja timunnya, terus simpan di freezer." setelah itu aku ikut gabung bersama paman.

"Paman tidur aja di kamar Uda. Uda kayaknya mau nginep di rumah temen."

"Gak usah, paman tidur sama tante aja di kamar tamu."

"Nah itu, Uda bilang gitu karena kayaknya tante ngunci kamar tamu dari dalam."



Mama langsung muncul dan berdiri di dekat meja makan. Susu mama hampir tak tertutupi karena bagian leher kaos yang lebar.



"Uda mau nginep di rumah temen mah. Paman biar tidur di kamar Uda saja. Sekalian ada piyama Uda biar dipakai paman. Uda pamit ya."



Aku pun pergi keluar rumah. Kutunggu di sebrang jalan hingga lampu rumahku padam. Aku pun menyelinap kembali ke rumah dari pintu belakang. Kunyalakan komputer dari ruang kerja ayah. Komputer tersebut telah terhubung ke webcam di kamarku yang tentu saja telah aku persiapkan sebelumnya.



Di kamarku, paman mendesak mama hingga mentok ke dinding. Paman berusaha mencium mama, namun mama berusaha mengelak. Kaos mama sudah terlepas dari tubuh mama. Tangan paman memainkan putting mama. Sesekali diremas pula susu mama.



Paman lalu menarik mama dan mendorong hingga mama berbaring di kasurku. Paman membuka lebar paha mama dan langsung menyusu pada mama. Mama mencoba menendang paman, lalu meraih rambut paman dan mengangkat kepalanya. Mama langsung menampar paman dan menyuruhnya agar berhenti.



Paman langsung berdiri, namun bukan untuk berhenti. Paman langsung melepas celananya. Setelah itu paman mencoba memasukan kontol ke mulut mama. Mama terlihat ketakutan. Puas memainkan mulut mama, paman kembali mencoba melebarkan kaki mama.



Kalah tenaga, kaki mama pun melebar. Paman langsung mengarahkan kontol ke memek mama. Mama mencoba memukul paman dengan bantal, namun jelas tenaga paman menang telak. Dengan tusukan penuh tenaga akhirnya kontol paman amblas di memek mama.



Paman pun memompa kontolnya disertai erangan.



"Udah gak usah ngelawan. Dasar lonte, sengaja ngegoda pingin dientot."

"Hentikan... jangan ...."



Inilah saat yang kunanti. Aku bergegas ke kamarku dan kubuka pintu. Kudekati paman dan langsung kudorong hingga terbanting. Kuangkat paman dan kudorong hingga ke dinding. Kedua tanganku kini mencengkram kerah paman.



"Apa – apaan ini?"

"Maafin paman, Da."

"Biar Uda bunuh saja paman sekalian."

"Jangan Uda, ampun."



Kulepas cengkramanku. Paman langsung terduduk di lantai. Kutatap mama.



"Turun mah, tunggu di bawah!"



Setelah mama turun, kutatap kembali paman.



"Gimana kalau ayah tau. Apa ayah akan tetap membantu?"

"Dengar dulu nak, sedari paman datang, mamamulah yang menggoda paman. Kamu juga liat kan. Bahkan saat paman gak sengaja menyentuh mamamu, gak ada penolakan. Bilang 'jangan' pun tidak. Jadi paman anggap mamamu mau."

"Terus saat mama berteriak sambil bilang jangan, hentikan, apa paman berhenti? Uda rasa sebaiknya paman pergi dan jangan pernah kembali lagi ke sini."

"Iya. Tapi, sebelumnya paman ingin minta maaf dulu sama mamamu."



Aku mengangguk. Paman kembali memakai celananya lalu turun. Kuikuti paman dari belakang. Paman mengahampiri mama yang sedang berdiri di ruang tv. Sendirian. Telanjang. Membelakangi kami. Aku dan paman bisa melihat betapa merahnya pantat mama. Kudorong paman agar semakin mendekati mama.



"Maafin isal kak. Isal janji gak kan ngulangi lagi."



Namun mama tak menjawab. Akhirnya aku bertindak, "Sini mah!"



Mama mendekat, kupeluk mama dan kuelus rambutnya. Mama langsung menangis di pelukanku. Kubiarkan mama menangis selama beberapa menit.



"Mamah baik baik sajakah? Apa mama pingin ke dokter?"



Namun mama tetap menangis. Paman terlihat sangat gugup. Paman tahu masalah ini bisa berakibat fatal padanya.



"Udah, mama minum dulu. Uda mau ke atas dulu sebentar."



Mama pun ke dapur buat minum sesuatu. Aku ke kamar. Rekaman webcam barusan kumasukan ke keping cd. Setelah selesai aku turun. Paman di dapur, masih memohon agar dimaafkan. Namun mama memilih diam. Kudekati mama.



"Ada yang sakit gak mah?"

Mama mengangguk.

"Yang mana yang sakitnya."



Mama malah kembali menangis.



"Ya udah, mama minum dulu, ntar kita ke dokter." Aku lalu menatap paman. "Sebaiknya paman pergi sekarang."

Dengan gugup, paman mencoba bicara, "apa kita bisa bicara berdua?"



Kubawa paman ke teras.



"Dengar, kalau sampai ketauan dokter terdapat pemaksaan di tubuh mamamu, paman bisa celaka."

Aku tak menjawab, namun kuraih cd dan kuberikan pada paman.



"Ini rekaman saat paman perkosa mama. Mama akan Uda bawa ke dokter. Uda janji gak akan melibatkan nama paman dengan syarat paman jangan lagi ke rumah ini. Sebaiknya paman pergi jauh keluar kota dan tinggalkan tante di sini. Tante bakal terurus di sini dan tak kan ada yang memperkosanya."

"Ternyata kamu jebak paman. Dasar bajingan."



Kupukul wajah paman.



"Diam. Pergi sana!"

"Baik, paman akan pergi. Tapi jangan kasih tahu ayahmu. Paman benar – benar butuh uang dari ayahmu. Kalau tidak, paman dan tantemu akan masuk bui."

"Paman bisa datangi ayah di kantornya. Tapi jangan coba hubungi tante."



Aku lalu masuk dan menutup pintu meninggalkan paman sendirian di luar.

Mama masih di dapur menungguku. Kupeluk mama.



"Mana yang sakitnya?"

Mama menunjuk selangkangan dengan jarinya.

"Bisu yah?"

"Di sini." kata mama sambil tetap menunjuk.

"Apa tuh namanya?"

Mama diam, jadi kupegang rambutnya. Mama langsung mejawab, "memek mama."

"Jadi memek mama sakit?"

"Iya."

"Karena timun atau karena kontol paman?"

"Sudah sakit sebelum dipaksa pamanmu."

"Apa maksudnya itu?"



Mama mengerti apa yang ingin kudengar.



"Sudah sakit sebelum dia ngentot mama."

"Mau ke dokter?"

"Gak perlu. Tapi mama pingin kencing."

"Kencing?"

"Maksud mama mama ingin kencing."



Aku menjauh menuju jendela. Kulihat halaman rumah. Ternyata sudah tidak ada paman. Lantas aku membuka pintu belakang rumahku. Kulihat mama.



"Kencingkan saja."



Mama langsung merangkak dan berjalan seperti anjing ke halaman belakang. Menuju titik tempatnya kencing lalu kencing. Setelah selesai mama kembali merangkak mendekati pintu dan diam menunggu disiram. Tapi aku tak ingin menyiramnya yang akan membasahinya.



"Gesek – gesek aja memeknya di teras biar kering."



Ajaib, mama langsung nurut tanpa protes. Mungkin mama juga tak mau basah – basahan. Udah malem juga sih.



"Capek bener hari ini. Pingin ngentot tapi momokmu bau peju paman."

"Mama bisa bersihin kok."

"Gak usah. Langsung aja ke kamar pijitin terus sepong Uda. O ya, pokoknya esok pagi tante harus sudah paham aturan di sini. Jika tidak, ayah kemungkinan gakkan senang dan tante bisa berakhir di bui."



Aku lalu berjalan menuju kamarku diikuti dengan mama yang merangkak di belakangku. Setelah di kamar, mama membantuku melepas pakaian. Aku berbaring telungkup dan mama mulai memijatku.



"Mama boleh nanya?"

"Ya."

"Apa yena akan terus tidur di ranjang mama tiap malam?"

"Itu sih tergantung ayah. Tapi sekarang kamu kan jadi anjing. Lagian anjing kan gak tidur di kasur. Emang, apa pedulimu. Tugasmu anjing hanya satu, nyenangin tuannya."

"Oh iya, lupa. Anjing ini mesti siapin pakaian buat ayahmu besok."

"Iya. Setelah kamu selesai di sini, tidur sana di dekat pintu kamar ayah. Biar gampang nyediain yang tadi."





Aku pun tertidur.
 
Aku bangun jam tujuh. Kudapati mama sedang menhisap kontolku. Kuelus rambut mama... "Pinter... Pinter..." kataku. Kudiamkan mama selama beberapa menit. Hari ini kuputuskan untuk tak sekolah. Selain males upacara, aku terlalu asik dengan perliharaan baruku.



"Ayah sudah berangkat?"

"Sudah."

"Tante mana?"

"Diluar kamar, nunggu."

"Nunggu apa?"

"Katanya ingin izin ke kamar mandi."

"Iya. Biar Uda mandi dulu, ntar baru urus tante. Siapin sarapan Uda, ntar Uda turun."



Saat aku keluar kamar, kudapati tante sedang diam seperti anjing tanpa sehelai benang pun. Kusentuh dan kuelus rambutnya. "Sini ikut." Aku pun menuju kamar mandi dibuntuti tante. Di kamar mandi aku duduk, sedang tante masih tetap merangkak diam.



"Gimana tadi malam."

"Melelahkan?"

"Apanya?"

"Pantat tante sakit. Tenggorokan juga."

"Trus perkara tante gimana kata ayah?"

"Ayahmu bilang gak usah khawatir."

"Memang, pokoknya kalau kata ayah gak usah khawatir, berarti semuanya bisa diatur. Terus jam berapa kira – kira kalian tidur?"

"Kira – kira jam dua saat ayah mau tidur tante disuruh keluar. Diluar kamar tante liat mamamu lagi tidur di lantai, ya sudah tante ikut tidur di sana. Saat subuh tante sama mamamu bangun. Terus mamamu nyiapin keperluan ayahmu. Ayahmu pergi setengah enam, setelah sebelumnya menyuruh tante untuk tahu dan mengikuti aturan di sini jika ingin tinggal di rumah ini. Mamamu yang kebagian menjelaskan aturannya."

"Oh, gitu. Ya udah. Tante tunggu dulu, Uda mau mandi dulu. Abis itu kita jalan – jalan."

"Iya, tante pipis dulu."

"Jangan, ntar aja. Tunggu."





Aku pun selesai mandi. Kupakai celana jin dan kaos. Saat turun, aku bahagia melihat tante mengikutiku dengan merangkak. Sarapan sudah siap, maka dari itu aku pun makan. Kulihat tante masih merangkak dekat kursiku.



Puas makan aku menuju belakang rumah. Kubuka pintu, tante langsung keluar dan kencing di tempat yang telah kutentukan. Aku terkesan dengan cara mama menerangkan. Kulihat mama. Kuanggukan kepala ke belakang rumah.



Rupanya mama mengerti. Mama langsung keluar dan ikut kencing. Setelah itu mama dan tante menunggu diluar pintu. Aku pun ikut keluar. Kuambil selang dan kunyalakan air. Kusemprot memek dan pantat mama serta tante. Mama dan tante terlihat senang serta bersih.



"Jemur dulu tubuh kalian hingga bersih. Setelah itu baru boleh masuk."



***





Kira - kira sepuluh menit kemudain mama dan tante masuk dan mendekaitku yang sedang duduk di sofa.



"Pada laper gak?"

Mama dan tante tak menjawab, hanya menganggukkan kepala.

"Ya udah, Aisah, makanan kemarin masih ada kan? Makan aja berdua.!"



Mama lantas mengeluarkan makanan semalam dari kulkas. Menyiapkan di piring dan menaruh piring itu di lantai. Tak lupa mama menaruh mangkuk besar dan mengisinya dengan air. Mama lantas makan dengan lahap. Sesekali minum dari mangkuk itu. Namun tante hanya diam sambil melihat jijik kepada mama. Tante lantas melihatku. Menyadari ekspresi yang ada di wajahku membuat tante mulai makan dengan cara mama. Beberapa saat kemudian keduanya selesai makan.



"Kalian pake baju dulu sana. Yang rapi aja tapi gak usah pake bh dan cd. Abis itu ke sini lagi. Kita jalan – jalan."



Mama dan tante langsung pergi ke kamar mama. Beberapa saat kemudian mereka keluar. Aku pun ke garasi dan diikuti mama dan tante.



"Aisah nyetir, tante di belakang sama Uda."

"Mau kemana kita?"

"Udah, ikuti saja nanti."





***





Beberapa saat kemudian mobil berhenti di depan sebuah pet shop. Aku turun dan memasuki toko diikuti mama. Di dalam disambut seorang wanita. Entah pegawai atau pemilik toko. Yang pasti tiada lagi orang lain sejauh mata memandang di dalam toko.



"Silakan, bisa saya bantu?"

"Saya mencari kalung anjing, sekalian sama talinya."

"Mari silakan ikuti saya." Kata pelayannya. Kami pun mengikuti pelayan ke bagian perkalungan. "Untuk anjing apa? Seberapa besar anjingnya?"

"Um... sebenarnya bukan buat anjing beneran sih, tapi anjing – anjingan."

"Anjing – anjingan?" pelayan terlihat bingung.

Untuk mengatasi kebingungan pelayan, aku langsung menunjuk pada mama dan tante sambil bilang "Untuk mereka."

"Apa?" pelayan tak bisa menutupi rasa kagetnya. Namun kemudian pelayan dapat mengatasi rasa kagetnya. "Ini ada yang cocok. Mau warna apa?" Kata pelayan sambil menyerahkan beberapa kalung padaku.



Kuraih kalung tersebut. Ada yang warnanya hitam, merah muda serta coklat. "Ini kira – kira ukurannya pas gak?"

"Kalau bapak mau, boleh dicoba kok."

"Bener nih boleh dicoba? Bisa tolong praktekin cara masangnya?" kataku sambil menyerahkan kembali kalung – kalung itu kepada pelayan. Aku lantas menunjuk ke mama dan tante yang ada di belakangku dengan maksud agar mereka maju. Setelah mama dan tante ada di depanku, kutunjuk lantai.



Mama menatapku sambil menggelengkan kepala. Namun kupelototi mama, "Ayo cepet turun!" Mama pun langsung merangkak seperti anjing. Diikuti tante. Pelayan masih tetap terkejut dengan aksiku. Lantas tante dan mama pun merangkak diam.



Kuperhatikan pelayan yang kini terlihat agak gugup mulai memasang kalung warna hitam pada tante. "Anjing – anjingnya cantik – cantik ya pak"

"Tentu, kalau jelek sih mana mau saya pelihara."

"Yang ini cocok pake yang hitam kayaknya." Kata pelayan sesaat setelah kalung terpasang. Namun, pelayan itu tak langsung berdiri. Tangan pelayan kini mengelus – elus rambut tante. Tante hanya diam.

"Kalau boleh saya kasih saran, biasakan latih anjing bapak untuk berterimakasih pak."

"Oh ya? Gimana caranya?"

"Biasanya anjing kami kalau mau berterimakasih pada seseorang, anjing langsung mengelus – elus kaki orang itu dengan kepalanya. Dan tak lupa mencium – cium kakinya juga." Kini tangan pelayan mulai mengelus – elus punggung hingga pantat tante.

"Oh gitu ya? Saya sih belum tahu apa – apa. Maklum, baru punya anjing kemarin."

"Sudah pada bernama belum pak?"

"Yang itu Yena. Yang belum berkalung Aisah. Yen, berterimakasih dulu sama Mbak, udah mau repot pasangin kalung."



Tante langsung mencium kaki mbak pelayan, lalu mengelus – eluskan kepalanya. Namun kuperhatikan wajah tante basah oleh air mata. Saat kulihat mama, wajahnya terlihat sangat ketakutan.



Pelayan mulai mengelus susu dan paha tante sambil terkadang meremasnya. "Yang ini bagus pak. Masih pada kencang." Sementara tante masih menggesekkan kepala ke kaki pelayan. Setelah itu pelayan bangkit mendekati mama dan berjongkok.



"Yang ini bagus nih pak." kata pelayan sambil mencoba memasang kalung warna pink. Setelah terpasang, pelayan juga mengelus dan meremas tubuh mama. Dari mulai rambut hingga punggung. Namun tubuh mama tak terlihat rileks, malah seperti tegang. "Yang ini agak gemuk pak."

"Iya memang."

"Mau dilatih biar kurus gak pak? Ada paketnya lho."

"Justru saya mau dia gemuk. Kira – kira gimana ya caranya?" Mama menoleh padaku mendengar jawabanku, kupelototi mama membuat mama langsung tertunduk menatap lantai.

"Oh, gampang pak. Minumannya mesti susu." kata pelayan sambil meremas dan mengelus susu mama. "Tapi yang full cream. Terus banyak – banyak kasih daging. Yang berlemak lebih bagus." Kini pelayan itu meremas lemak yang terdapat pada perut mama."

"Kalau dikasih minum wine gimana mbak?"

"Wain, apaan tuh pak?"

"Itu lho, minuman yang kayak di film – film barat itu?" Memang, sejak ekonomi papa mulai membaik, papa ingin meniru gaya hidup yang seperti film – film barat. Papa mulai meminum dan bahkan membeli banyak anggur untuk di rumah. Dari yang kadar alkoholnya rendah hingga yang tinggi.

"Oh, yang botolnya gede? Kurang tahu pak, tapi untuk pertumbuhan lebih bagus pake susu."



Setelah itu pelayan berdiri dan diam. Awalnya aku tak mengerti kenapa pelayan diam. Hingga akhirnya kusadari mama belum berterimakasih seperti tadi tante. Kutendang pantat mama, pelan saja. Namun mama tetap diam, malah melihat padaku.



"Kok malah bengong. Terimakasih dulu udah ngerepotin."



Mata mama lantas berair mata. Dengan enggan mama menuruti. Mama maju mendekati kaki pelayan, lantas mencium dan menggesek – gesekan kepalanya. Pelayan pun lalu mengelu – elus rambut mama."Pinter... Pinter..."



"Talinya mau yang sepaket pak?" kata pelayan sambil berdiri lagi.

"Kalau berbahan seperti kulit bisa gak?"

"Tentu bisa pak." Pelayan lalu mengambil tali kulit dari rak dan menyerahkannya padaku. "Yang ini pak."

Kuraih dan kuamati. "Bagus ini. Saya ambil dua." Kukembalikan lagi tali ke pelayan. "Cara masangnya gimana mbak?"



"Gini pak." kata pelayan yang langsung memasang tali pada kalung. Rupanya cukup dikaitkan saja. Sederhana. Setelah itu pelayan memberikan kedua tali padaku.



"Butuh yang lainnya Pak?"

"Kalau mangkuk buat makan minumnya ada gak?"

"Ada pak, mau yang kecil apa besar?"

"Yang mangkuk besar dua. Terus yang seperti piring besar dua."

Pelayan lalu mengambil benda tersebut dan menyerahkannya padaku "Ini pak."

Kuterima dan kuamati. "Saya beli ini sekalian." Kuserahkan kembali benda tersebut ke pelayan. Lantas pelayan memasukannya ke kresek.



"Yang lainnya pak?"

"Ada kandang yang muat gak?"

"Oh ada pak. Ukuran jumbo, mari ikuti saya pak."



Pelayan tersebut pergi ke bagian belakang toko. Aku berjalan mengikuti sambil memegang tali. Tentu saja mama dan tante merangkak mengikutiku karena tali kalungnya kutarik. Pelayan tersebut menoleh melihat dan lalu tersenyum. Akhirnya kami sampai ke bagian perkandangan. Pelayan tersebut menunjuk salah satu kandang, yang tampaknya paling besar.



"Ini pak sepertinya cocok."

"Boleh dicoba?"

"Tentu saja pak. Mari silakan."



Kutatap mama, mama melihatku. Lalu kutatap kandang. Mama memilih diam di tempat sambil menggelengkan kepala. Mama seperti sangat terhina. Lantas ganti kutatap tante. Tante melihatku, lalu kutatap kandang.



Tak seperti mama, tante langsung merangkak masuk. "Coba duduk!" kataku. Tante langsung duduk. Rupanya kandang itu cukup tinggi hingga tante bisa duduk. "Tidur." Tante pun tidur, saat tidur, dengan posisi seperti tidurnya anjing tentu saja, kandang itu pun cukup. "Udah cukup keluar!" Lantas tante pun keluar kandang.



Setelah kandang kosong, kembali kutatap mama. Namun mama tetap tak mau masuk. Pelayan pun geleng – geleng melihat ketidak patuhan mama.



"Barangkali bapak tertarik, cara untuk melatih anjing biar menurut pak?"

"O ya, gimana?"

"Kami punya kalung elektrik. Jadi kalung itu ada remotnya. Tinggal pasang ke anjing, jika najing gak nurut, tinggal pijit tombol di kalung. Maka kalung itu akan menyentrum leher anjing. Ada tiga seting setrum, rendah menengah dan tinggi."

"Bahaya gak?"

"Tentu tidak pak. Tidak mematikan, hanya untuk memberi efek kejut saja."

"Terus, kalung elektriknya bisa dipakein tali gak?"

"Tentu bisa pak."



Kulihat mama dan tante. Wajah mereka ketakutan mendengar pembicaraanku.



"Mau coba pak?"

"Bentar saya suruh dulu sekali lagi. Ayo masuk Sah!"



Akhirnya mama masuk ke kandang. "Nyaman gak di dalam?" Tanyaku.

"Iya." Jawab mama lesu.

"Saya beli ini deh Mbak, dua."

"Siap pak."

"Udah Sah, keluar."



Mama lantas keluar lagi.



"Ada lagi pak?"

"Apa yah. Ada ide mbak?"

"Gimana kalau tutup moncong pak?"

"Apaan tuh?"

"Tutup moncong ini adalah penutup mulut anjing dari stainles. Agar anjing tak menggigit atau tak makan minum. Biasanya dipakai agar anjing bisa mendisiplinkan mulutnya."

"Bagus juga. Coba saya lihat."

"Mari pak."



Pelayan tersebut kembali ke depan. Kuikuti sambil menarik mama dan tante. Di depan, pelayan mengeluarkan tutup moncong tersebut.



"Bisa coba praktekan cara masangnya?"

"Siap pak." Pelayan lalu mendekati mama. Memakainya ternyata mudah. Hanya tinggal pasang di mulut, lalu menalikan ke belakang kepala. "Sudah pak."

"Mudah ya."

"Baik saya beli deh mbak dua." Pelayan pun seperti akan mencabut tutup moncong, namun sebelum terjadi, cepat kuhentikan. "Jangan mbak, biarin aja terpasang."

"Iya pak."



Mama tentu saja terlihat tak senang.



"Selain menjual, kami juga menerima jasa titipan pak."

"Maksudnya?"

"Jika bapak pergi dan tak ada yang mengurus anjing bapak. Bisa bapak titipkan di sini."

"Oh iya. Bayarnya bisa pake debit gak mbak?"

"Bisa pak."



Kusadari tas mama dan tante ada di mobil. "Ambil dulu tasnya Aisah. Terus bayar."

Mama lalu menggerak – gerakkan kepalaku, ingin agar tutup moncongnya dicabut. "Udah gak usah ada yang dicabut. Merangkak saja sampai pintu. Pas keluar pintu baru jalan berdiri. Masuk toko merangkak lagi!"



Kulepas tali dari tanganku. Mama lalu merangkak menuju pintu. Berdiri membuka pintu dan jalan ke mobil. Saat kembali, mama merangkak lagi sambil tangannya memegang tas. Kuambil tas dan kukeluarkan kartu debit. Saat memasukan pin kusuruh mama memencetnya. Setelah selesai, kuambil keresek belanjaan.



"Aisah, Yena, angkat kandang dan masukan ke mobil."



Mama dan tante pun menggotong dua kandang. Sementara itu pelayan mengambil sebuah kartu dan menulis sesuatu di belakangnya. Pelayan itu memberikan kartu kepadaku. "Barangkali bapak butuh bantuan saya tentang anjing dan cara melatihnya. Hubungi saja saya pak."

"Iya mbak makasih. Kalau boleh tahu, namanya siapa ya?"

"Rina." Kami pun berjabat tangan.



Aku tetap di kasir menunggu mama dan tante selesai. Beberapa saat kemudian mama dan tante merangkak mendekatiku. "Udah selesai?" keduanya mengangguk. "Ya udah, makasih dulu sama mbak udah mau repot ngebantuin." Mendengar ucapanku pelayan lalu keluar dari konter kasir dan berjalan ke sampingku.



Tante menggesekkan kepala ke kaki kiri pelayan. Mama diam, namun setelah melihat tante, mama ikut menggesekan kepala ke kaki kanan pelayan. Kedua tangan pelayang mengelus rambut mama dan tante. "Anjing pintar... Anjing pintar...." kata pelayan sambil tersenyum padaku.



"Mari mbak." kuraih kedua tali dan menariknya menuju pintu. Di pintu mereka berdiri dan kulepas tali dari genggamanku. Menuju mobil aku pun berbicara, "Tante yang nyetir, biar Aisah di belakang sama Uda."



Mama terlihat senang dengan ucapanku. Akhirnya selesai juga belanja di petshop.
 
wow...agak sadis jg nih anaknya...sekedar saran yah bos...apa gak lebih baik suami saja yg bertindak seperti itu?agak-agak bikin turun si otong sih baca kelakuan anaknyaa...tp just saran aja sih brooo...soal selera setiap individu kan berbeda beda...tp overall sih udah oke
 
wow...agak sadis jg nih anaknya...sekedar saran yah bos...apa gak lebih baik suami saja yg bertindak seperti itu?agak-agak bikin turun si otong sih baca kelakuan anaknyaa...tp just saran aja sih brooo...soal selera setiap individu kan berbeda beda...tp overall sih udah oke

sarannya mending lgsg ke penulis ceritanya aja gan :D
 
Rasanya cerita ini terlalu sadis, nggak ada unsur comedynya, sekedar saran saja, lebih baik gak usah dilanjut ajha.

Beberapa orang ada yang suka dengan yang sadis - sadis... hehehe... :Peace:
 
Adegan demi adegan yang terjadi di petshop membuatku sangat terangsang. Begitu tante duduk di belakang setir langsung kubuka celanaku hingga lepas. Kulepas juga penutup moncong mama. "Isep mah."


Mama langsung menjilati dan mengisap kontolku. Tak butuh waktu lama untukku menyemburkan peju hingga memenuhi mulut mama. "Jangan dulu ditelan mah. Tapi jangan sampai berceceran."


Kutarik rambut mama hingga lepas. Mama pun duduk. "Kumur – kumur dulu mah." Mama menurut, lantas berkumur dengan pejuku. "Hentikan dulu mobilnya di pinggir." Tante pun menghentikan mobil. "Pindahin peju uda kemulut tante, mulut ke mulut." Mama terkejut, tante langsung berbalik dan mendekatkan kepalanya. Akhirnya mama pun mendekatkan kepala ke dekat kepala tante. Dengan pelan bibir mama mulai mendekati bibir tante hingga akhirnya berciuman. Bukan sekadar ciuman, namun sekalian memindahkan peju dari mulut ke mulut lainnya. "Jangan sampai ada yang berceceran." Mama terlihat kaku, namun kuperhatikan tante begitu menikmati ciuman ini.


Akhirnya pejuku berganti ke mulut tante. Kutarik kembali rambut mama hingga ada di sebelahku. "Buka mulutnya Sah." Mama membuka mulutnya sambil menatapku. Kulihat dan ternyata tak ada sisa peju di mulut mama. "Kumur peju Uda Yen." Tante merasa tak senang kupanggil 'Yen', namun tetap memainkan pejuku di mulutnya. "Udah, telan aja sekalian." Pejuku pun mengalir ke kerongkongan tante.


"Kita langsung pulang aja." Tante kembali nyetir. Di mobil, tanganku tak henti menggerayangi susu mama. Kami melewati jalan yang penuh toko bernama unik. Seperti acong, along, dan sebagainya. Karena penasaran, kuhentikan mobil. "Stop, berhenti dulu." Tante pun memarkirkan mobil. "Tunggu di sini!" Lantas aku keluar dan memasuki salahsatu toko.


Tak ada orang, namun ada sebuah bel. Kutekan bel itu. Beberapa saat kemudian ada orang dari belakang.


"Iya, bisa saya bantu?"

"Mau liat – liat dulu."

"Oh silakan."


Ternyata di sini menjual pelbagai macam obat. Dari obat pelangsing hingga obat perangsang. Ada juga benda seukuran telur puyuh. Kutunjuk benda itu, "Ini apa pak?"

"Ini vibrator remot pak. Bisa dikendalikan jarak jauh."

"Saya beli dua pak, tapi warnanya beda ya."

"Iya pak."

Kembali kulihat etalase. Mataku tertuju ke suatu benda. "Pak, kok ada jepit jemuran juga ya?"

"Bukan untuk jemuran pak, tapi untuk payudara. Bisa juga untuk vagina."

"Oh gitu." kataku malu. "Saya beli deh pak, sepuluh."



Selesai belanja, aku kembali ke mobil. "Maju." Mobil kembali maju. Melewati toko matrial kuhentikan kembali. Kumainkan putting mama hingga terlihat jelas dari luar bajunya. "Sah, kamu beli rantai ukuran sedeng sepanjang satu setengah meter sepuluh biji. Terus gembok kecil sama sedang sepuluh sepuluh. Sekalian rante plastik kecil seratus meter."



Mama turun dengan enggan. Aku menunggu dalam diam. Beberapa saat kemudian mama kembali membawa belanjaan. "Taruh di belakang." Setelah itu mama kembali duduk di sampingku. "Gimana tadi di toko?"

"Pelayan dan pelanggan pria pada liatin mama."

"Hahaha... Terus?"

"Mama malu..." Kata mama sambil kembali berair mata.

"Sekarang ke pulang aja Yen."



Akhirnya kami pun sampai dirumah. "Masukan barang – barang ke rumah." Kataku. Aku langsung masuk dan duduk menunggu di sofa. Sementara mama dan tante memasukan barang - barang. "Rakit dulu kandangnya. Terus taruh di garasi dengan pintu kandang menghadap pintu garasi ke rumah."



Keduanya langsung bahu – membahu merakit kandangnya. Waktu sepenanak nasi kemudian keduanya selesai menyimpan kandang di garasi sebelah bersebelahan. Di sebelah kandang, mama dan tante sedang diam merangkak sambil menatapku.



"Coba kandang satu ditaruh di atas kandang satunya lagi. Biar keliatan dua tingkat."



Tante dan mama langsung menggotongnya. "Kandang Aisah di bawah, kandang Yena di atas. Sekarang waktunya untuk berlatih keluar masuk kandang. Ntar saat Uda balik lagi mesti udah pada lancar."



Aku lantas bergegas ke kamar dan menyalakan komputer. Dengan komputer kuakses kamera yang ada di garasi. Sedari dulu aku memang telah memasang kamera di berbagai tempat di rumah ini yang tersambung dengan komputerku.



Mama terlihat kesulitan saat masuk. Saat keluar pun mama keluar dengan cara merangkak mundur, kaki duluan baru kepala terakhir. Kulihat tante, tante lebih baik. Tante masukan dulu tangannya, terus masuk dengan lancar. Di kandang, tante berputar lalu keluar kandang dengan kepala dulu, terakhir kaki. Tante bahkan lebih cerdas dibanding mama. Sebelum latihan, tante melepas dulu semua pakaiannya hingga telanjang. Setelah telanjang, baru tante mulai latihan.



Mama sepertinya tak mau repot berputar di kandang. Bahkan tak mau repot membuka pakaian. Kulihat layar selama lebih kurang satu jam. Puas melihat aku memutuskan turun. Di garasi aku bersikap seolah belum mengetahui perkembangan.



"Coba sekarang Uda liat apa udah lancar masuk keluar kandang. Kalau yang lancar Uda kasih hadiah. Kalau gak lancar, Uda hukum aja. Yena duluan."



Meski kandang tante di atas, namun tante tak kesulitan untuk masuk kandang. Di kandang, tante berbalik dan keluar dengan mudahnya. Setelah keluar, tante merangkak ke belakangku. Lalu tante mengesek – gesekan tubuh ke kakiku seolah minta hadiah. Aku lalu mengelus rambut dan pantat tante. "Pinter... Anjing pinter..." Kuelus jari di memek tante, lalu kumasukan. Kumainkan jari hingga basah. Setelah itu kucabut dan kudekatkan ke mulut tante. Tante langsung menjilati dan menghisap jariku hingga bersih. "Duduk."



Tante lalu duduk diatas kakinya yang ditekuk hingga pahanya menyatu dengan betis. Tangannya diangkat sedada, lidahnya terjulur diluar mulut.





"Sekarang bagian Aisah."



Mama mulai masuk kandang dengan enggan. Setelah di dalam, mama tak berbalik, namun langsung menjulurkan kakinya. Mama keluar mundur dengan cara kaki dahulu, lalu kepala terakhir. Setelah itu mama berbalik menghadapku.



"Masih butuh latihan. Lagian bukan gitu cara anjing keluar masuk kandang. Inget ini, anjing seharusnya tak memakai pakaian. Emang Aisah pernah liat anjing keluar kandang dengan cara mundur? Bahkan kayaknya Aisah tak pernah berpikir seperti anjing, akibatnya tak berlaku seperti anjing. Udahlah, lagian masih ada waktu semalam buat latihan lagi. Besok Uda mesti liat Aisah udah lancar keluar masuk kandang."



"Karena Yena udah pinter keluar masuk kandang. Seminggu ini kalau mau kencing kapan saja bebas, kencing saja di kandang. Sekarang, ikut sini semua."



Aku berjalan lalu duduk di sofa. Mama hanya diam di dekatku, sedang tante mulai menggesekan badan ke kakiku. Sesekali tante mencium dan menjilati kakiku. Kulihat mama yang hanya diam. Aku jadi males ngeliatnya.



"Mulai sekarang, menu makan buat anjing adalah daging. Selain itu juga boleh ikan, telur, kacang – kacangan. Kalau bosen, boleh pesen junkfood. Di kulkas harus selalu siap makanan itu, jangan sampai kehabisan. Kalau stok menipis, ya beli lagi. Mengerti?" kataku sambil menatap mama.

Mama hanya mengangguk.



"Sekarang coba cek kulkas. Liat apa aja dari makanan itu yang gak ada."



Mama langsung merangkak menuju kulkas. Setelah melihat isinya, mama kembali kehadapanku.



"Kumplit?"

Mama menggeleng.

"Kalau gitu sekarang Aisah belanja biar komplit. Sekalian beli susu sama softdrink ukuran seliter. Pake daster gak usah pake bh sama cd. Ayo cepet ganti baju!"



Mama lalu pergi untuk ganti baju. Setelah selesai mama menghampiriku, merangkak. "Berdiri!" Mama langsung berdiri. Daster itu kelihatan longgar dengan kancing di dada. "Turun lagi, ambil gunting ke sini." Mama merangkak ke meja, membuka laci lalu memegang gunting. Saat akan merangkak lagi aku kuhentikan. "Stop Aisah. Coba pikir dulu gimana layaknya kalau anjing bawa barang!"



Mama diam sejenak. Air mata mama kembali turun. Mama lalu menggigit gunting itu sambil merangkak mendekatiku. Aku tersenyum puas. Kuelus rambut mama, "Nah, gitu dong. Anjing ini mulai pintar."



"Guk," suara tante mengejutkanku. Aku lalu tersenyum. "Nah, liat tuh Aisah. Yena lebih pintar daripada kamu. Iya kan?" Sambil terus menyusap rambut mama. Namun mama tak menjawab.



Kuusap sambil agak kujambak rambut mama. Kuulangi lagi kata – kataku. "Iya kan?"

Mama akhirnya bersuara, "Guk." Namun pelan. Hasilnya gunting itu lepas dari gigitan mama

"Apa? Gak kedengeran. Kamu dengar gak Yen?"

"Guk," kata tante lantang, sembari menggelengkan kepala.

"Guk," akhirnya suara mama lantang.



"Nah, pinter. Sekarng berdiri, ayo cepat!"



Mama langsung berdiri, kulihat daster mama ujungnya beberapa centi diatas mata kaki. Motif batik membuat putting mama tak terlalu terlihat mencetak. Kuambil gunting dari lantai. Kugunting bawah daster mama hingga satu jengkal di atas lutut.



"Turun mah!" mamah kembali merangkak. Kuremas susu mama sambeil ngelus elus memek mama dengan jemariku hingga kurasakan membasah. Mama hanya merintih pelan. Mama mulai menggerak – gerakan pantatnya hinga erangan mama mulai mengeras. Setelah itu kucabut jemariku. "Udah cepet belanja sana. Jalan aja ke tempat terdekat. Dompetnya pegang aja."


Mama menoleh melihatku dengan raut wajah sedih, namun tetap merangkak menuju pintu. Setelah membuka pintu, mama pun berdiri dan berjalan menuju toko terdekat.
 
Setelah mama pergi, tante tetap menggesekan tubuh ke kakiku. Kuraba saja tubuh tante, susunya kuremas sambil mengelus memeknya. Diperlakukan seperti ini membuat tante berhenti bergerak. Puas mengelus, kunaikan tante hingga duduk di pangkuan sambil menghadapku. Kucium tante yang langsung membalas ciumanku. Tak lupa tanganku memainkan susu tante agar gak nganggur.



Kini kuarahkan mulut ku susu tante. Kukenyot dan kujilat silih berganti. Rambutku diremas – remas oleh tante. "Udah, turun!" Kataku, tante langsung turun. Melihat tante merangkak di lantai, langsung kuarahkan kontol ke memek tante dari belakang. Tak terlalu susah penetrasiku karena memek tante pun sudah agak basah. Kuentot tante sambil sesekali kuremas susu dan pantatnya.



Beberapa saat kemudian, aku dan tante pun orgasme hampir bersamaan. Kudiamkan kontol di memek tante sesaat, setelah itu kucabut. Pejuku meleleh keluar dari memek tante. "Balik sini, bersihin kontol Uda," kataku sambil duduk di sofa. Tante berbalik dan mulai menjilati kontolku. Sesekali dihisapnya hingga bersih.



"Tidur dulu sana ke kandang!" Tante pun langsung pergi ke kandangnya. Sedangkan aku, aku memilih tidur di sofa.





***



Aku terbangun akibat rasa geli di kontolku. Rupanya mama sedang menghisap kontolku. Masih ngantuk membuatku agak malah. Kutarik rambut mama hingga lepas dari kontolku. "Panggil sini anjing yang lagi tidur. Cepet!"



Mama langsung merangkak ke garasi. Beberapa saat kemudian mama dan tante datang. Begitu datang, mama langsung duduk diam, sedangkan tante langsung telentang sambil mengangkat kedua kaki dan tangannya. Tangan dan kaki tante tak diam, namun digerak – gerakan, meski pelan. Aku takjub, aku mengerti maksud tante.



Kutatap mama. Sengaja kupasang wajah kecewa. "Udah belanjanya?"

"Guk," kata mama sambil mengangguk.

"Nih liat anjing ini, kalau ada anjing prilakunya mendadak gini, tandanya dia ingin main sama anjing lain. Ngerti gak?"

"Guk," mama mengangguk lagi.

"Kalau ngerti, tunggu apa lagi. Ayo cepet main!"



Mama lalu mendekati tante dan menggesekkan kepala ke seluruh tubuh tante. Aku hanya geleng – geleng kepala. Kutendang mama yang langsung menjauh. "Bukan gitu caranya. Perhatikan." Aku lantas mengelus mulut dan wajah tante, "Jilati dan atau cium ini," kuelus leher dan susu tante, "ini juga," kuelus perut tante, "ini juga," kuelus memek dan anus tante, "ini juga."



Mama diam sambil memperhatikanku. "Ngerti?"

"Guk" angguk mama.



Aku mengangkat tanganku dan kembali duduk di sofa. Mama mulai mendekati dan menjilati serta mencium bibir tante. Lalu turun ke leher, susu, perut hingga akhirnya memek tante. Diperlakukan seperti itu oleh mama membuat tante tak henti bergerak. Entah geli entah nikmat. Mulut mama menimbulkan suara becek.



Tak dapat kujelasakan lebih jauh betapa kerasnya kontol melihat mereka berdua. Kutarik rambut tante. Tante paham, langsung merangkak. Kepala mama tentu lepas dari memek tante. Melihat kontolku yang sudah tegang, tante langsung mendekat dan menjilatinya. Mama kini di belakang tante, tetep berusaha menjilati memek tante. Sambil disepong, aku memikirkan cara lain untuk menghina mama. Entah kenapa, menghina mama lebih menggairahkan dibanding aksi tante.



"Yen, mau ngentot gak? Mau orgasme gak?" Tante lalu melepas kulumannya pada kontolku lalu mengangguk. Kutendang bahu mama agar menjauh. Mama pun diam. Setelah kepala mama lepas, aku langsung ke belakang tante. Kutusukan kontol ke memek tante, gaya anjing tentu.



Betapa mudah masuknya kontol, mungkin karena liur mama juga memek tante yang sudah basah. Beberapa saat kemudian kaki tante bergetar, tubuhnya mengejang dan tante ambruk ke lantai sambil melolong.



Kulepas kontol, kuraih rambut mama dan kubimbing hingga aku duduk lagi di sofa. "Isep Sah!" Kataku. Mama langsung menghisap kontolku. Seperti pada tante, kuulangi pertanyaan pada mama, "Sah, mau orgasme gak?"



Mama melepas isepannya lalu mengangguuk, "Guk." Kuelus rambut mama dan kembali mendorong agar mama kembali menghisap kontolku. Kutatap tante yang langsung melihatku. Kutepuk – tepuk sofa di sebelahku. Tante langsung duduk di sampingku.



Kucium tante sambil memainkan susunya. Saat nafasku mulai berubah, tante paham aku mulai mencapai orgasme. Namun rupanya mama tak menyadarinya. Kini kedua tangan tante memegang kepalaku sambil tetap menciumku. Semprotan peju pada mulutnya membuat mama terkejut hingga beberapa tetes mulai keluar dari mulutnya. Mama langsung menelan yang ada di mulut dan menjilati tetesan yang luput masuk. Setelah itu mama mulai membersihkan kontol dengan mulutnya.
 
Tak terasa waktu sudah sore. "Udah Sah, sana masak dulu." Mama menatapku kecewa sambil berair mata. Mama merangkak ke dapur dengan malas. Tante masih duduk di sampingku. Kumainkan susunya, baik dengan tangan maupun mulutku. Kini tangan tante mengelus rambutku, sedang tangan satunya mengelus kontolku.



"Yen, kenapa sih gak punya anak?"

"Tante bukannya gak mau. Tapi pamanmu yang mau. Katanya entar aja."

"Kalau sekarang gimana, masih mau punya anak?"

"Sekarang bukanlah hak tante untuk memutuskan."



Aku terkejut mendengar jawabannya.



"Apapun putusan Uda buat tante, tante bakalan seneng menjalaninya. Tante tak lagi ingin memutuskan sendiri."



Aku senang mendengarnya. Kuangkat kepala lalu menciumnya. Aku lalu bangkit berdiri. "Ayo kita liat Aisah!" Aku berjalan diikuti tante yang merangkak di belakangku. Sampai dapur kulihat mama sedang masak. "Sah, kamu ikut Uda ke atas. Yena gantikan Aisah masak!"



Tante langsung masak. Mama kembali merangkak lalu mengikutiku ke kamar. Di kamar, aku langsung duduk di kasur. Kutunjuk kontol, mama langsung menerjang dan memakai mulutnya. "Gimana sekarang, mama bahagia gak?" Aku kembali memanggilnya mama. Bukannya aku tak tahu, mama senang jika hanya ada aku dan dia, tanpa orang lain.



Mama melepas kontol dari mulutnya, mengangguk dua kali lalu kembali menghisap kontol. Kuusap rambut mama, punggung lalu susu mama. Kumainkan juga putingnya. "Uda gak mau mama merasa tersaingi dengan adanya Yena. Bagi Uda, mamalah satu – satunya wanita yang Uda cinta dan sayangi. Uda sayang mama."



Mama menghentikan kuluman, lalu menatapku sambil berair mata. "Lalu kenapa kamu perlakukan mama seperti ini?" Kata mama sambil sesegukan.



"Karena Uda sayang mama. Uda menikmati cara Uda mengekspresikan kasih sayang ke mama. Lagian, kenapa enggak? Yang penting adalah hubungan kita. Gak ada yang bisa menggantikan posisi mama di hati Uda." Kuelus rambut mama. "Sekarang coba mama jawab, apa ada yang bisa menggantikan tempat Uda di hati mama?"



Mama menggelengkan kepala tandanya tidak. "Tuh kan. Jadi gak usah khawatir. Sudahlah jangan menangis lagi. Uda pingin ngentot anus mama."



"Jangan Da, sakit. Mama gak suka."

"Iya, Uda tahu. Tapi Uda suka mah. Uda juga yakin, Mama pasti ikut bahagia kalau liat Uda seneng. Iya kan?"



Mama tertawa sambil menghapus air mata dengan tangannya. Mama langsung nungging di lantai. Kuelus dan kuremas pantat mama. Setela itu kumainkan memek mama dengan jemariku. Kumasukan dua jari ke memek mama. Setelah kurasa basah, jariku kutarik dan kutusukkan ke anus mama. Mama terkejut dan berteriak.

Dengan tangan lainnya, kutarik rambut mama bersamaan dengan kutarik jemariku dari anus mama. Kubuat mama memutar hingga kepalanya kembali menghadap kontol. Kulihat mama kembali berairmata. Belum hilang air mata mama, kumasukan kontol ke mulut mama.



"Buat basah sebasah – basahnya mah. Biar jadi pelumas." Kuseka air mata mama. "Udah Uda bilang, Uda bakal izinin mama orgasme hari ini. Uda yakin mama bakal merasa lebih baik setelah orgasme. Iya kan?"



Mama menganggukan kepala dua kali. "Udah, muter lagi mah. Siapin anus mama!" Mama lalu berbalik dan nungging. Kumasukan kontolku dengan usaha, karena tak mudah untuk menerobos anusnya lagi. Sempitnya anus mama membuatku sadar bahwa aku takkan bertahan lama. Kucabut saja kontolku dan kutampar pantat mama dengan keras.



"Awww..."

"Ambil jepit jemuran yang baru tadi ke sini."



Mama merangkak maju, namun dengan perlahan. Tak sabar melihat pergerakan mama, kutendang pantat mama, "cepet ambil anjing."





Beberapa saat kemudian mama merangkak dengan jepit jemuran di tangannya. Kuraih jepitan itu dan kujambak rambut mama hingga menatapku, "sejak kapan anjing ambil barang pake tangan?"



Kulempar jepitan itu keluar kamar. Mama memutar dan merangkak pergi. Kali ini mama merangkak mendatangiku sambil menggigit jepitan itu lalu diam. Kuelus rambut mama. "Bagus. Kalau saja tiap hari seperti gini, pasti gakkan membuat Uda marah. Mulai sekarang biasakan berlaku dan berpikir kayak anjing."



Mama melepas gigitannya hingga jepitan jatuh ke lantai. "Maafin mama. Mama akan berusaha buat Uda seneng."



Kuelus – elus pungung dan pantat mama. "Kepala dan pantat mesti di atas, gak boleh nunduk. Terus kalau lagi jalan dan atau diam, lidah mesti menjulur keluar." Susu mama tak luput dari remasanku. Sambil meremas, kutarik ke bawah susu mama hingga mentok. Aku tau mama merasa tak nyaman susunya kutarik.



Aku berdiri lalu berjalan ke luar kamar. Mama langsung mengambil jepitan dengan mulut dan mengikutiku. Di dapur kulihat tante. "Uda ingin pasang jepitan ini di susu Aisah, tapi pentilnya mesti keras dulu. Mesti gimana ya?"



Tante langsung menimpali, "Cium aja, siapa tau bisa."



"Okelah, berdiri Sah! Yena sekarang cium Aisah!"



Mama langsung berdiri, tante mendekat hingga bibir mereka bersentuhan. Awalnya mama agak pasif, namun beberapa saat kemudian kulihat mama mulai berani menikmati ciuman itu. Tante mencium sambil memainkan susu mama. Merasa putting mama agak mengeras, kini tante menjilati dan menghisapnya.



Kuraih satu jepitan dan memberikan ke tangan tante. Sedang tanganku pun memegang satu. Aku ikut memainkan mulut di susu mama sambil memainkan jemariku di memek mama. Memek mama makin basah. Saat kurasa mama akan orgasme, saat itulah kami, aku dan tante, seperti berjanji, melepas susu mama dan menjepit putingnya denga jepitan.





"Aaaawww..."



Begitu dekatnya mama dengan orgasme akibat belaian aku dan tante, namun saat itu juga kenikmatan itu berganti dengan rasa sakit yang diakibatkan terjepitnya kedua pentil susu mama oleh jepitan. Mama menangis sambil berdiri.



"Udah, jangan nangis. Ayah bentar lagi pulang. Siapin makanannya."



Aku lantas meninggalkan mama dan tante untuk menuju kamarku. Di kamar langsung kulihat kamera yang kutempatkan di dapur. Mama sedang menyiapkan hidangan sambil berbicara.



"Sakit sekali." Kata mama sambil sesegukan.

"Udah, sibukan diri aja. Alihkan perhatian dari rasa sakit. Ntar juga terbiasa kok. Timunnya mana?"

"Hahaha..." Mama tertawa disela tangisannya.

"Apanya yang lucu?"

"Untung gak ada timun. Kalau ada bisa lebih sakit lagi."

"Oh, Uda suka main timun yah?"

"Uda bisa sangat kreatif dalam menyentuh raga."

"Hahaha..." Tante ikut tertawa, diiringa mama.



Tante lalu mengelus pantat mama, "Gimana sekarang?"

"Agak lumayan."

"Yena tau Uda sangat mencintai kakak. Turuti aja apa kemauannya. Lagian Uda gini sama kita juga buat bikin dia tegang."

"Udah ah, siapin dulu yuk."



Mama menyiapkan dua piring dan gelas di meja. Tante menyiapkan hidangan ke meja. Kumatikan komputer, turun lalu duduk di sofa.



"Sah, Aisah sini!"



Mama merangkak mendekat. "Ambil vibrator telur, yang kayak telur puyuh yang tadi kita beli." Mama lalu mengambil keresek belanjaan dengan mulut, lalu melepasnya dihadapanku. "Sini Yen, kalian nungging menghadap ke tv!"



Mama dan tante pun nungging membelakangiku. Kubuka vibrator nirkabel seukuran telur puyuh itu. Kumasukan ke memek mama dan memek tante. Kudiamkan tiga menit. Kulepas vibrator dari memek mama, lalu kumasukan ke anus tante. Kulepas vibrator dari memek tante, lalu kumasukan ke anus mama. Kutekan remot hijau, pantat mama langsung bergetar. Kutekan remot pink, pantat tante langsung bergetar.



"Ntar yang pegang remotnya ayah. Jika ayah menekan, tandanya ayah manggil. Kalian mesti datang meski sedang apalah – apalah. Makanan udah siap?"



"Ya."

"Siapin juga makanan buat kalian, sama minumannya susu atau softdrink. Taruh di tempat makan kalian di dekat kandang!"



Mama dan tante pun menyiapkan makanan untuk mereka sendiri. Beberapa saat kemudian, kucek kandang. Di sebelah kandang sudah ada dua mangkuk makanan dan dua mangkuk minuman. Di sebelahnya terdapat mama dan tante yang sedang diam. Lidah mereka terjulur keluar sambil menatapku.



"Mulai sekarang, kapan pun kalian lapar, kalian harus makan. Kalau haus, harus minum. Kalau makanan dan minuman habis, isi sendiri. Paham?"

"Guk," kata mama dan tante sambil mengangguk.

"Bagus... Bagus..." kataku sambil mengelus elus rambut mama dan tante. "Ayo, sekarang makan. Habisin semua, jangan ada yang tersisa."



Entah karena lapar atau karena takut padaku, mama dan tante langsung makan. Kutinggalkan mereka saat kudengar ayah masuk.
 
"Yang lain mana?" kata ayah begitu melihatku.

"Di garasi yah."

Ayah hanya geleng – geleng sambil tersenyum mendengar jawabanku. Ayah lalu ke kamarnya. Beberapa saat kemudian ayah keluar. "Makanan udah siap belum?"

"Udah yah."



Ayah lantas duduk di meja makan. "Mamamu mana?"

"Yah, Uda punya hadiah buat ayah." kataku sambil memberi remot puyuh pada ayah.

Ayah menerima lalu melihatnya. "Apaan ini?"

"Kayak lampu ajaib aladin, kalau digosok jin datang. Ini juga yah, kalau dipencet, ada yang datang."



Ayah lantas memijit yang hijau. Langsung mama datang merangkak sambil berlari – lari. "Hahahaha... Dia udah jadi anjing penurut belum?"

"Coba aja sama ayah!"

"Duduk!"



Mama langsung duduk diatas betisnya. Tangannya terangkat sedada, lidah menjulur keluar. Ayah lantas mencabut jepitan dari kedua pentil susu mama, meletakkan satu di meja, sedang satu lagi dilemparnya. "Ambil!" Mama langsung berlari mendekati tempat jepitan jatuh, menggigitnya lalu mengembalikan kepada ayah. Ayah mengambilnya, lalu mengelus elus rambut mama. "Bagus..."



"Mana Yena? Bawa dia ke sini!" kata ayah sambil menatap mama. Mama langsung merangkak ke garasi.

"Ayah bangga sama kamu nak!"

"Coba ntar ayah liat kamar baru mereka!"



Mama merangkak kembali dengan tante. Ayah menyuruh mereka mendekat. Ayah lalu mengelus punggung tante, lalu memainkan susunya. "Udah, pergi lagi sana!" Kata ayah sambil menepuk pantat Yena. "Ambil talimu ke sini Sah!"



Mama dan tante merangkak kembali ke garasi, namun mama kembali sambil menggigit tali dan menyerahkannya ke ayah. Ayah mengambil lalu memasang ke kalung mama.



"Ayo ke kandangmu." Mama merangkak di depan dengan ayah mengikuti di belakang sambil memegang talinya. Kuikuti dari belakang. Mama masuk garasi dari pintu dalam rumah.



Di garasi, kandang bawah kosong, sedang kandang atas terisi tante. Ayah menatapku, "gimana caranya mereka masuk dan keluarnya?"

"Minta mereka praktekan aja."



Ayah melepas tali, mama langsung merangkak masuk. Di kandang, mama memutar lalu keluar dengan kepala dahulu. Setelah diluar, mama merangkak ke ayah dan menggesek – gesekkan kepala ke kaki ayah. Ayah memegang kepala mama, membungkuk lalu mencium mama.



Ayah berdiri lagi, lalu melihat tante. Tante langsung keluar kandang, masuk dan keluar lagi. Tante lalu mendekati ayah. Ayah membungkuk untuk meniumnya. Namun sebelum papa mencium, tante menjulurkan lidah lalu menjilati bibir ayah, lalu hidungnya. Setelah itu, tante mengelus – elus kepala ke kaki ayah.



"Udah cukup." Tante pun melepas kepala dari kaki ayah. Ayah langsung ke atas, ke kamarnya. Sedang aku duduk di sofa.



"Sah, sini sah!" Mama merangkak mendekat begitu kupanggil. Tali masih menggantung di kalungnya. Kulepas tali itu. "Nungging sana!" Mama langsung nungging membelakangiku. Tali di tanganku kupakai untuk memecut pantat mama...



"Aawwww," teriak mama. Lalu kembali menangis

"Diam anjing! Mama tau gak kenapa Uda pecut?"

"Iii iiiyyyaaa.."

"Kenapa coba?"

"Karena mama gak jilat ayah setelah ayah cium mama."

"Nah, itu paham, tau dari mana?"

"Tau setelah liat Yena."

"Bagus, udah mulai belajar." Kupasang kembali tali ke kalum mama. "Sana pergi ke kamar Uda!"





Mama merangkak pergi ke kamarku. Aku ke dapur mendapati tante. "Udah beresin semua, abis itu masuk kandang!" Setelah itu aku pun ke kamarku.





Di kamar kudapati mama sedang berbaring di lantai. Kudekati lalu kuelus wajah mama dengan kakiku. Mama mencoba menggigit kakiku, tidak sakit, namun hanya membuat geli saja, lalu mejilati kakiku. Kubiarkan mama bermain dengan kakiku. "Udah, cukup." mama lalu melepas mulutnya dari kakiku.



Aku pindah duduk di kasur sambil bersandar. Kulebarkan kaki. "Sini!" Mama mendekatiku. Kutunjuk pahaku, "Diam di sini." Mama lantas diam di atas pahaku bertumpu pada lututnya. Kutekan bahu mama hingga memek mama menyentuh pahaku.



"Pingin orgasme mah?"

"Guk," kata mama.

"Ya udah, goyangnin aja pantatnya sampai orgasme."



Mama lalu menggesekkan memek ke pahaku. Kulihat mama sangat menikmati gesekan ini hingga akhirnya mama pun orgasme sambil rubuh ke tubuhku. "Nungging!" Mama langsung nungging di kasur. Aku sudah tak tahan, lalu kumasukan kontol ke memek mama. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengisi memek mama dengan pejuku. Kudiamkan hingga akhirnya kontolku berhenti menyembur. Kucabut lalu berbaring. "Bersihin nih!"



Mama langsung berbalik dan membersihkan kontol dengan mulutnya. Saat mama sedang membersihkan, tiba – tiba pantatnya bergetar. Rupanya ayah memanggil. Mama tetap membersihkan kontolku. Pantat mama bergetar lagi.



"Ayah manggil tuh. Pergi sana!" Mama menghentikan aksinya lalu merangkak menuju kamar ayah. Aku pun tertidur pulas.





****







Saat aku bangun, mama sedang menghisap kontolku. Kubiarka saja hingga aku pun keluar. "Siapin sarapan, Uda mandi dulu."



Mama langsung merangkak pergi sedang aku mandi. Hari ini kuputuskan untuk sekolah, setelah kemarin bolos. Saat mandi aku ingat mama gak memberi tahu apa yang ayah lakukan saat memanggil mama. Selesai mandi, mama sudah ada lagi di kamarku. "Apa yang ayah mau semalam?"

"Gak apa – apa, ayah hanya bilang, si bibi sama si bapak tukang kolam ayah rumahkan."

"Kenapa?" Kataku sambil memakai seragam.

"Terlalu beresiko katanya. Ntar kalau mereka lihat, terus mereka cerita, maka berkembanglah kisah yang mungkin dilebih – lebihkan. Maka dari itu, untuk cari aman, maka mereka ayah rumahkan"

"Ya udah, sekarang rumah biar diurus anjing – anjing. Udah kencing belum mah? Udah buang air besar?"

"Belum."

"Mulai sekarang, kalau mau kencing atau lainnya, langsung aja keluar, tempat biasa. Gak usah nunggu Uda. Uda izinin kok. Kasih tau juga Yena."



Mama langsung mendekati kakiku dan memainkan kepalanya di kakiku. Kini bahkan mama menjilati dan menggigit kecil jemari kakiku.



"Tante sama ayah semalam?"

"Iya."

"Tante lagi apa saat mama masuk?"

"Tante lagi..."

"Lagi apa?"

"Tante lagi bercumbu sama ayah."

"Lagi apa?" kataku sambil melotot

"Lagi ng... ngentot..."

"Ayah ngentot sambil ngomong ke mama?"

"Iya."

"Terus?"

"Ayah bilang agar nunggu ayah selesai, abis itu disuruh bersihin ayah."

"Apa ayah izinin mama orgasme setelah itu?"

"Gak."

"Hahahaha..."



Aku ketawa, mama mulai berair mata mendengar tertawaanku. "Sekarang mama ngerti kan, Ayah lebih milih Yena. Hanya Uda yang sayang sama mama." Kuberdirikan mama lalu kupelu. Mama makin menangis dalam pelukanku. Kuelus rambut mama. "Udah, mama tinggal milih, mau nurut atau enggak sama Uda. Karena hanya Uda satu – satunya yang cinta sama mama."

"Iya Da. Mama juga sayang sama Uda."

Iya. Sekrang turun mah!"



Mama lalu kembali merangkak, kuambil tali dan kubawa mama menuju meja makan. Aku lantas sarapan. "Mah, sarapan dulu sana sama Yena!"



Mama langsung menhilang ke garasi. Selesai makan aku menyusul. Ternyata mama dan tante sedang makan.



"Uda sekolah dulu. Kalian beresin rumah, mandi sama beresin kandang kalian juga."

"Guk." kata mama dan tante hampir berbaringan.





****





Tiada yang aneh di sekolah. Hanya beberapa teman menanyakan kenapa kemarin tidak masuk. Biasa, flu berat, kataku. Saat jam pelajaran habis aku pun pulang.



Masuk rumah kulihat keadaan sepi. Kuperiksa ternyata mama dan tante sedang pada di kandang, tidur. Kubiarkan, aku pun lantas ganti pakaian. Kupakai kaos dan celana pendek. Aku kembali ku kandang. Mereka masih tidur. Kubuka celana, kuambil kursi lalu berdiri di atas kursi di depan kandang. Kukencingi tante dan mama. Karena kaget, mereka langsung basah. Lalu mencari sumber air itu. Setelah tahu sumbernya kontolku, mereka diam saja. Setelah kencing, aku turun, "keluar anjing!"



Mereka lalu keluar dan pada duduk di depanku. Kupasang tali pada tante, sedang mama masih memakai talinya. Kupegang dan kubawa ke halaman belakang. Di sana, matahari masih menyengat dengan panasnya. "Jemur tubuhnya sampai kering!" kataku. Mama dan tante lalu berjemur. Kuambil mangkuk anjing dua dan kuletakan di halaman belakang. Aku kembali kerumah mengambil softdrink, kutuangkan hingga penuh lalu kusimpan kembali ke kulkas.



"Nih, jemurnya sambil minum. Ayo sampai habis!" Mereka langsung minum. Ternyata mangkuk tante yang lebih dulu habis. Sedangkan mama, beberapa saat kemudian baru habis. "Juaranya tante nih, siapa yang habisin lebih cepat dapat hadiah."



Tante langsung menatapku dengan gembira. Sedang mama hanya menatap lesu. "Makanya, kalau disuruh itu mesti cepat. Biar dapet hadiah." Tante berguling – guling di rumput, sedang mama hanya diam. "Sah, jilat memek Yeni! Harus sampe keluar!"



Tante langsung tidur sambil melebarkan paha, mama mendekat dan mulai memainkan mulut di memek tante. Terlihat mama agak jijik, namun tetap melakukannya. Sedang tante sangat menikmati mulut mama. Hingga akhirnya tante mengejang, rupanya tante keluar.



"Udah puas yen?"

"Guk," kata tante sambil kembali merangkak lalu mendekatiku. Tante mulai memaikan kepala ke kaki yang sedang duduk. Saat tante akan menyentuh kontolku, kuhentikan kepalanya. "Sekarang gantian. Jilat memek Aisah, Yen!"



Mama terlihat senang lalu berbaring di tempatnya, melebarkan paha dan menunggu. Tante mendekat dan mulai menjilati memek mama. Kudekati mereka dan duduk di sampingnya sambil memperhatikan mama. Kulihat mama mulai mendekati orgasme. Erangannya makin tak karuan. Saat mama seperti akan orgasme, kupegang rambut tante lalu kutarik. Mama mengangkat pinggul mencoba meraih lagi mulut tante dengan memeknya namun tak kubiarkan. Mama menatapku memohon.



"Udah, siapin dulu makanan, laper nih." Tante masuk dengan riang, namun berbeda dengan mama. Aku ikut mereka masuk. Aku duduk di sofa memperhatikan mereka menyiapkan makanan. Setelah selesai, kupanggil mereka. "Sini semua!" Mereka langsung mendekat dan duduk menanti. "Ambil mangkuk kalian di belakan, terus taruh deket kandang. Ayo cepetan!"



Mama dan tante langsung berhambur keluar. Keduanya kembali melewatiku sambil menggigit mangkuk masing – masing. Setelah itu, mereka kembali menghadapku. "Sekarang isi mangkuk kalian dengan makanan dan minumnya. Harus sampai penuh. Ayo cepat!"



Mereka lantas ke dapur, mengambil makanan dan mengisi mangkuknya masing – masing. Setelah itu mengisikan minuman. Di kandang mereka diam menunggu. "Ayo cepet makan semua sampai habis. Minumnya juga mesti gak bersisa!" Mama dan tante langsung makan. Aku kembali ke meja makan, ikut makan sendiri. Setelah makan, aku ke garasi. Mama dan tante sedang menghabiskan minumannya. Setelah habis, kuraih kedua tali dan kutarik. Mama dan tante mengikutiku ke sofa. "Tidur!" Keduanya lalu merebahkan diri di dekat kakiku.



Kuelus wajah mama dengan kakiku. Mama langsung menjilati kakiku. "Duduk sini Sah!" Mama langsung duduk di sofa di sampingku. Kucium mama. Kini mama menciumku dengan penuh nafsu. Kucium sambil meremas susunya. Setelah itu, kutarik rambut mama dan kuarahkan mulut mama ke putingku. Mama langsung menjilatinya. Kulihat tante yang sedang menatap kami. Tante tak berani ikut campur tanpa kata – kataku.



"Nungging Sah!" Mama langsung nungging. Langsung saja kuekse dari belakang. Mudah memang karena memek mama sudah basah. Kuekse hingga kami keluar secara bersamaan. Mama langsung ambruk ke lantai. "Sini duduk Sah, Bersihin Yen!" Tante langsung bangkit, aku duduk di sofa dan tante mendekatiku. Mulut tante kini bermain membersihkan kontolku. Sedang mama duduk di sampingku. Kucium lagi mama. Mama balas menciumku dengan gairah.... Rupanya pejuku ada yang berceceran keluar dari memek mama yang membasahi lantai.



"Sayang tuh peju terbuang, bersihin Sah!" Kulepas mama dan kutunjuk ceceran peju di lantai. Mama langsung nungging dan menjilati serta menyeruput peju itu hingga lantai bersih. Meski tanpa pembersih lantai.





***



Hidup di kabupaten kecil membuatku terisolasi dari dunia perlendiran unik nan menarik. Hanya internetlah satu – satunya buku panduan bagiku untuk memelihara binatang peliharaanku. Ingin rasanya kumpul bareng berbagi cerita dan tips dengan sesama pemilik peliharaan, namun apadaya. Jangankan untuk itu, sedang dian tara semua temanku, tak ada yang suka per – bdsm – an. Tinggalah ku sendiri ditemani ayah yang untungnya sepertiku. Atau aku yang seperti ayah, entahlah. Mesti dibutuhkan pengamatan lebih lanjut.



Kujalani hari – hariku melatih mama dan tante. Setiap ayah di rumah, tante selalu menghilang ke kamar ayah. Kusadari mama menjadi agak murung. Kulihat mama menjadi agak lamban jika merangkak. "Ayo cepet jalan, lambat sekali sih." Namun mama tetep tak menjadi cepat. "Kenapa sih mah?"



"Guk." Katanya sambil menatap lututnya.

Aku penasaran. "Duduk." Mama langsung duduk, kulihat lututnya, ternyata lecet. Mungkin akibat terlalu sering digunakan. "Ya udah, jilati terus biar gak lecet lagi." Mama lalu menjilati lututnya.



Hari – hari berlalu. Ayah mulai sering berada di rumah. Serta selalu ingin bersama tante. Membuatku hanya punya banyak waktu bersama mama. Lecet di lutut mama mulai hilang, berganti dengan kerasnya kulit lutut serta makin lancarnya mama berjalan. Hingga kusadari mama mulai muntah.



"Kenapa mah? Mama sakit?"

"Enggak nak. Kayaknya mama hamil?"

"Apa? Hamil?" Aku senang. Tak dapat kusembunyikan kegembiraanku. "Ntar malam kita makan berdua mah."



Mama terlihat senang dengan ucapanku. Aku lantas pergi, beli lilin merah di toko. Malam pun datang.



"Naik ke meja mah, tidur." Mama tiduran di meja, seperti yang kukatakan. Kuambil makanan untuk dua porsi, lalu kutaburkan di tubuh mama. "Lilinnya dipasang di mana ya?" Kumasukan ke mulut mama. "Basahi mah!" Mama lalu membasahinya. Setelah kurasa cukup, kucabut kembali.



Kumasukan lilin ke memek mama, pelan saja hingga tertancap agak dalam. "Kalau lilin ini gak lepas, Uda kasih mama hadiah."

"Guk." Mama menatapku sambil tersenyum.

Setelah itu, lilin kunyalakan. Meski posisi lilin tak berdiri tegak, namun agak menyamping.



Aku makan. Setelah sesuap, kusuapi mama dengan tanganku. Tanganku bergantian menyuapi diriku dan mulut mama hingga habis. Kulihat lilin, ajaib ternyata tidak lepas dari cengkraman memek mama.



Prok... prok... aku bertepuk tangan, "Makanannya abis." Lalu kutiup lilin. "Ambil tempat minum mama ke sini. Ayo cepet."



Mama lantas turun dari meja dan merangkak ke garasi. Mama kembali sambil menggigit tempat minumnya. Kuambil dan kuletakan di bawah. Di kananku kupegang sebotol softdrink. Sedang di kiriku susu sekotak. "Mau minum yang mana mah?" Mama menunjuk softdrink dengan dagunya. Kutuang softdrink yang langsung diminum mama. "Habisin mah. Sayang kalau terbuang." Mama pun menghabiskannya.



Setelah minum, kupasang kembali tali ke kalung mama. Kubawa mama ke halaman belakang, lalu kusemprot pake selang. Mama berguling – guling agar semua bagian tubuhnya tersembur air. Setelah itu ku ambil anduk mama dari tempat anduk. Kutaruh di lantai.



"Bersihin pake ini aja." Mama lantas menggosokan tubuh ke anduk itu. Mulai sekarang kalau basah, bersihin pake ini aja."

"Guk." Kata mama hingga akhirnya tubuhnya kering.



Kubawa kembali tali mama dan kubawa ke kamarku. "Oh, iya. Karena tadi lilinnya gak jatuh. Mama boleh entot Uda." Kataku sambil berbaring. Namun mama masih diam di lantai. "Ayo sini, gak usah malu."



Akhirnya mama naik ke kasur dan menindih tubuhku. Mama menciumku. Setelah itu mama mulai menikmati kontol dengan mulutnya. Setelah dirasa mengeras, mama mulai memasukan kontol ke memeknya.



Aku tak berdaya dibuatnya. Apalagi mama mendudukiku sambil menggoyangkan pantat. Hingga akhirnya kami orgasme berbarengan.



Setelah puas, mama turun lalu merangkak akan kembali ke kandangnya. "Tunggu mah. Jangan pergi. Malam ini Uda pingin tidur sama mama."



Mama langsung berbalik. Wajahnya terlihat bahagia. Saat mama berbaring di sisiku, kupeluk mama. Kepala mama bersandar di dadaku. Mama menangis. "Kenapa menangis mah?"



"Mama bahagia sayang."

"Uda juga seneng mama hamil anak Uda."



Kami pun tidur.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd