Ane jd pengen Flashback deh :
2005-2009
Pada tahun
2005-2009 lalu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) membuat gerah World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung,
Avian influenza (H5N1). Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul
Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung dan dikutip oleh Situs berita Australia,
The Age. Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO. Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah SBY saat itu bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu.
The Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika edisi Maret 2008 lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung.
Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui
WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen. Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO meminta sampel dikirim ke Hongkong?
Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO untuk dilakukan
risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit virus. Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi.
Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih
Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin!
Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses
data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO. Data itu, uniknya, disimpan di
Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui. Ternyata ini berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu? Untuk vaksin atau senjata kimia?
Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, telah memujinya! Majalah
The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di
Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.
Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007,
International Government Meeting (IGM) WHO akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.
Pada 12 Mei 2009 Supari menyatakan ketidakpuasannya melihat banyak mahasiswa kedokteran asing di Indonesia. Dia meminta Rektor Universitas Padjadjaran, Bandung untuk mengurangi asupan mahasiswa asing secara bertahap, terutama dari Malaysia saat mengunjungi Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung. Supari juga berperan penting dalam penghentian kehadiran Unit Riset Medis Angkatan Laut Amerika Serikat Dua di Jakarta, dan NAMRU-2 yang akhirnya meninggalkan Indonesia pada tahun 2010.
Sebuah memo tahun 2008 yang diungkapkan oleh WikiLeaks menunjukkan kecurigaan pribadinya terhadap “laboratorium militer Amerika” di Indonesia yang tidak berada di bawah kontrolnya, Kementerian Kesehatan.
2009-2014
Rekam jejak karir mantan Menteri Kesehatan periode 2009–2014, Endang Rahayu Sedyaningsih dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II banyak menuai kontroversi. Endang yang dikenal dekat dengan Amerika Serikat (AS), menggantikan Siti Fadillah Supari atas permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 21 Oktober 2009.
Selama menjadi pegawai Depkes, Endang dikenal dekat dengan AS melalui NAMRU Unit 2 (
The US Naval Medical Reseach Unit Two) atau “Unit 2 Pelayanan Medis Angkatan Laut Amerika”. Atas kedekatannya itulah, banyak pihak yang menudingnya sebagai antek AS di Indonesia. Untuk diketahui bahwa Endang pernah menjabat sebagai Kepala Laboratorium di Namru dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa, Swiss, bidang penanganan penyakit menular, pada Juli-Desember 2001.
Proyek Namru 2 berhenti beroperasi sejak 16 Oktober 2009, karena menuai banyak demonstrasi kecaman. Sebagai mantan pegawai Namru dan pegawai Depkes, Endang diduga keras mempertahankan keberadaan Namru-2. Hal itulah yang membuat mantan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari berang dan menuding Endang menjual virus flu burung ke luar negeri tanpa seizinnya!
Namru-2 adalah sebuah laboratorium penelitian biomedis yang meneliti penyakit menular demi kepentingan bersama AS, Departemen Kesehatan RI, dan komunitas kesehatan umum internasional. Kecurigaan Namru-2 sebagai alat kepentingan intelijen AS guna melanggengkan bisnis kesehatan AS di Indonesia itu dibenarkan pakar intelijen Laksamana Muda (Purn) Subardo. Hal itu diketahuinya setelah 30 tahun bekerja di bidang intelijen, serta pernah menjabat sebagai Kepala Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) tahun 1986-1998.
Laboratorium Namru 2 berada di kompleks Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan di Jalan Percetakan Negara, Jakarta >>
Lihat peta ini
Namru- 2 kini pun berganti nama menjadi Indonesia United States Center for Medical Research (UIUC).
Kerja sama Indonesia-Amerika semasa Pemerintahan SBY cukup luas, salah satunya adalah laboratorium biomedis untuk pengembangan vaksin, alat diagnostik, identifikasi virus, bakteri, dan lain-lain.
Setelah setahun menjabat Menteri Kesehatan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. , Endang divonis mengidap kanker oleh RSPAD Gatot Subroto. Masyarakat melihat, banyak terjadi kejanggalan. Hal ini inilah yang menjadi polemik. Seperti diketahui, Endang meninggal dunia pada hari Rabu (2/5/2012) lalu sekira pukul 11.41 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, setelah berjuang melawan penyakit kanker yang dideritanya sejak 1,5 tahun lamanya. Endang meninggal dalam usia 57 tahun.
Kontroversi selanjutnya adalah terhadap mantan menkes sebelum Endang, yaitu Siti Fadilah yang paling gencar melakukan kritik dan anti kebijaksanaan AS dan Badan Kesehatan Dunia WHO kini "Disikat & Dipenjara" karena dijerat pasal dugaan tindak pidana korupsi.
Inilah sedikit jejak fakta bio medis di negara kita, belum lagi fakta-fakta di negara-negara lain. Semoga ini bisa menjawab pertanyaan kita apakah
CORONA/Covid19 itu Bencana atau Rencana.?
Ya, jika seorang pengecut tak berani mengungkapkan kebenaran maka berarti ia ada diseberangnya, pembela ketidak benaran… dan tetaplah kau bersembunyi didalam sana. “The thuth is out there, just keep inside”. Maka… biarlah sejarah dan waktu yang akan mengungkapkannya, itupun jika mungkin.