Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA -dance the night away-

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
ya pokoknya itu lah, ngomong² setelah nonton MV twice langsung suka sama mbak Jihyo, padahal dulu pas sekedar tahu saja, suka sama Tzuyu, sekarang lagi enjoy nonton Signal, paling suka MV ini... lompat lagi ke. wattpad buat riset Twice sekalian bikin story yang gak ngegas soal seks scene disana
Coba nonton mv nya yang Knock Knock atau DTNA deh kak, siapa tau berpaling ke one and only Mina~
 
Bagian 1​



Seoul Incheon International Airport

1 Jam sebelum keberangkatan.


Toko-toko yang ada di terminal keberangkatan sudah tutup, namun para pelancong masih memadati terminal ini. Tidak banyak, namun cukup ramai. Jarum pendek dari sebuah jam yang tergantung di tengah berada diantara angka 9 dan 10, sementara jarum panjangnya menyentuh angka 6.

Pensil yang aku gunakan untuk mengisi kertas kosong dihadapanku kehabisan isinya, membuatku harus merogoh tas yang aku letakkan disampingku ini. Sayang, dompet yang berada di pangkuanku terjatuh dan mengeluarkan isinya sedikit ketika aku berhasil menggapai isi pensilku. Tanganku bergerak merapihkan isinya, namun terhenti saat kudapati sebuah kertas terjatuh.

“Ah, ada sampah.” Tanganku mengambil kertas tersebut dan berniat melemparnya kearah tempat sampah yang berada tepat di depanku.

“Tapi, sejak kapan aku memiliki sampah di dompet?” jemariku membuka lipatannya satu persatu. Sebuah sketsa seseorang yang digambar dengan pensil yang sama terlihat.


“astaga..”


=====


McDonald’s Simpang Dago. Kala itu.


Seorang pria sedang berjalan membawa nampan berisi beberapa makanan. Mataku menangkap menu favorit pria itu. Sebuah cola berukuran besar tanpa es, dan kentang goreng medium. Senyumku mengembang melihat tingkahnya.

“Selalu ditempat ini. Diluar.” Nampan yang tadi ia bawa kini berada di hadapanku. Saraf di otakku reflek menyuarakan tawa.

“Enak kali pemandangan nya.” Tanganku mengambil ikat rambut yang sempat beralih fungsi sesaat menjadi sebuah gelang, lalu menggunakannya dengan semestinya. Tangan pria itu bergerak ke bagian bawah hoodie berwarna navy favoritnya– pemberianku, sedikit menggulungnya, lalu mengangkatnya. Seragamnya ikut terangkat, membuat kaos dalam nya yang berwarna hitam polos itu sedikit terlihat. Hoodie tersebut ia gantungkan di pagar pembatas balkon restoran ini– seperti biasa. Di dada kanannya terdapat sebuah papan nama bertuliskan ‘Kenan A.M.P’.

“Jauh-jauh ke Dago akhirnya ke McD.” Kenan mengambil beberapa potong kentang goreng dan menyelupkannya ke saos.

“Daripada kamu, jauh-jauh ke Ciwalk cuman mau ke Upnor, padahal di IP ada.” Burger yang ada berada di genggamanku aku gigit setelah nada mengejekku terdengar.

“Kan Ciwalk deket dari sekolah kamu.” Anak itu tidak mau kalah rupanya.

“Kan IP searah pulang.” Seorang Momo tidak mungkin kalah! Kulihat Kenan, ia menghela nafas lalu mengambil kembali sepotong ketang goreng dan memakannya.

“Iyadeh, nona Hirai Momo.” Aku menunjukan raut wajah penuh kemenanganku.


Kami menghabiskan sore itu dengan mengobrol banyak hal. Aku selalu suka berhadapan dengan pria ini. Segala sesuatu dapat menjadi bahan obrolan kami. Hal teraneh yang pernah ia tanyakan kepadaku adalah “Kenapa trayek angkot yang ada kata Ci atau Ca nya gapernah disebut? Caheum-Ringin, Caheum-Royom, Royom-Antapani.”

Meski sedikit aneh, aku selalu suka caranya memperlakukan wanita. Ia tidak pernah menggunakan nada tinggi jka berhadapan dengan wanita. Selalu ada keteduhan dari setiap nada bicaranya.

Tangan Kenan merogoh saku, mengambil sebuah pulpen.

Ctak!

Bagian belakang struk pembelian tadi ia gunakan untuk menulis. Ia gemar menulis, apa saja. Bahkan, ia pernah menulis sebuah lagu secara spontan dibalik struk minimarket. Aku merogoh tas, dan mengambil buku sketsa A4 favoritku. Pensil mekanik yang selalu menempel di saku seragamku, aku keluarkan. Guratan-guratan kecil tercipta diatas buku sketsa itu. Seorang pemain gitar absurd di depanku ini menjadi objek menggambarku sore ini.

Kami tenggelam dalam kegiatan kami, sesekali aku meliriknya untuk mendapatkan detail dirinya. Rambutnya yang sedikit kecoklatan. Alisnya yang tebal. Bibirnya yang sedikit tebal dan berwarna hitam akibat obat yang harus ia konsumsi. Pipinya yang tirus dengan lesung pipit khasnya. Aku suka setiap inchi anak ini. Gambarku selesai. Bak pelukis atau illustrator terkenal, aku membubuhkan tanda-tanganku di bagian bawah.

Ctak!

Per dari pulpen Kenan kembali ke ukuran asalnya, tanda ia telah selesai dengan tulisannya.

“Yuk!” tangannya mengepal di depan tanganku. Senyum kembali aku sunggingkan sebentar.

“Kertas..”


“..Gunting..”


“..BATU!”

“..BATU!”


Aku mengacungkan telunjuk dan jari tengahku, membuat gambaran sebuah gunting. Kenan hanya mengepalkan tangannya. Sial. Dia menang.

“Silahkan, Nona Momo.”

Seperti biasa, setelah selesai makan, kami selalu menggambar dan menulis. Setelah itu, kami mengundi siapa yang akan menjelaskan hasilnya terlebih dahulu dengan suit.

Buku sketsa itu aku angkat.

“Kenan A.M.P, hari ini, kurang lebih 30 menit yang lalu, tengah menulis sesuatu.”

Kenan bertepuk tangan. Tangannya mengambil buku sketsaku, merobek halaman itu, lalu melipatnya dan meletakannya di dalam dompetku.

“Bagus. Biar gak ilang.” Katanya. Sekarang gilirannya.

“Puisi sore ini berjudul Hirai, karya Kenan.” Mataku memutuskan menatap Kenan dan segala tindakannya sore itu.

Sore itu, Kenan membacakan puisi karangannya dengan semangat. Meski guratan wajahnya menampakkan bahwa ia lelah, tetapi suaranya tetap halus seperti biasa. Aku bertepuk tangan sesaat setelah Kenan selesai.

“Kalau begitu, mari kita pulang.” Kenan berdiri setelah meletakkan selembar uang dibawah sisa colanya. Aku mengikutinya berdiri, dan dibawah langit senja Kota Bandung kala itu, di jok belakang sebuah Z900, aku tersenyum menikmati hangat tubuh Kenan dalam dekapanku.


====

“Hai, Kenan.” Tanganku mengusap sketsa tersebut, seakan sedang mengusap pipi seorang Kenan. Jariku melipat kembali sketsa tersebut dengan rapih, lalu menyelipkan mahakarya seorang Momo saat itu didalam dompet.

“Ah, akan aneh bukan bila aku bertemu denganmu lagi? Rasanya asing.” Pensil yang kugenggam sudah kembali terisi. Aku melanjutkan kegiatanku yang tertunda. Memori seorang Kenan kembali hadir di benakku.

“Namamu itu sudah keren, sayang sekali kamu harus menggantinya.” Kertas putih di depanku mulai terisi. Coretannya masih kasar, membentuk bangunan ruang tunggu ini.

Ting!

Notifikasi Line ku menyala. Pengirimnya adalah teman lamaku di Indonesia.





9.51

Nadhirazalia

Momo Unnie~ aku besok akan menjemputmu dengan pacarku ya?



Jemariku menekan huruf yang ada, mengirim balasan untuknya.




9.53

모모리

Bahkan tidak perlu kau jemput, aku rasa tidak akan jadi masalah kok hahaha.



Panggilan boarding menggema. Buku sketsa yang kugenggam kumasukan kedalam tas, sementara gawaiku kuatur menjadi mode penerbangan. Beberapa orang berbaris dengan rapih.


Tuhan, berkati perjalananku.
 
Kenan A.M.P = Tama Arnes Andhika(?)

Hmm,..... menarik menarik :baca:
 
Bagian 2​


40.000 feet above sea level


Lampu kabin mulai menyala kembali, sebagian penumpang masih menutup mata mereka, menikmati setiap jengkal mimpi mereka, sementara beberapa kepala kursi menyorot cahaya terang, menandakan IFE yang ada sedang beroperasi.

Bola mataku mengarah keluar jendela. Gumpalan awan terlihat sedikit dibawah sana. Cahaya matahari sesekali memantul dantara awan-awan yang ada. Jemariku memutar-mutar pensil kesayanganku. Ingatanku tenggelam dalam kenangan.


====


36.000 kaki diatas permukaan laut, kala itu.


“Ken?”

Kenan melepas headphone dengan logo maskapai BUMN. Kepalanya menoleh.

“Kenapa? Kamu masih takut?” tangannya meraih jemariku. Kepalaku reflek menggeleng cepat.

“Terus?”

Telunjuk kiriku menunjuk keluar jendela. Mata Kenan mengikuti. Sebuah senyuman mengembang.

“Suka ya?” Kenan mengambil kamera polaroid yang dijepit di kantong kursi. Lensanya mengarah kepadaku.

Jpret!

Selembar foto tercetak. Aku yang tersenyum menjadi objeknya, sementara pemandangan matahari terbit diluar sana menjadi latarnya. Kenan menyelipkan foto itu didalam dompetnya. Kebiasaannya memang. Jika kutanya alasannya, dia hanya menjawab ‘aku suka senyum kamu.’ Anak aneh memang.

“Kemana aja kita di Bali nanti?” Kenan langsung menoleh.

“Kamu maunya kemana?”

“Asal sama kamu.”

“Penangkaran buaya?”

“Kamu gantiin daging buat buayanya, ya?”

Kami berdua tertawa. Matahari bersinar dengan sempurna.


‘Bapak dan ibu yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat di Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai Denpasar, Bali. Kami mohon untuk kembali ke kursi anda dan menegakan sandaran kursi, membuka jendela, melipat meja, dan mengencangkan sabuk pengaman.’

Aku benci momen ini. Sebuah maskapai yang menjadi maskapai pertama saat aku bepergian dengan menggunakan pesawat lah yang memberikan aku ketakutan ini. Istilahnya, kalo kata Kenan, hard landing atau bumpy landing. Semenjak saat itu, aku selalu ketakutan saat mendarat.

“Kalo kamu takut waktu landing..” suara Kenan menggema di gendang telingaku. Telapak tangan kananku digenggamnya. Sebuah boneka dinosaurus berwarna hijau. Rex.

“Pegangan sama ini aja.” Katanya. Teduh sekali suaranya. Aku langsung tersenyum kembali.

Melakukan perintahnya, tangan kiriku menggenggam boneka itu, sementara tangan kananku mengait jemarinya.


Roda Airbus A320 menyentuh runway I Gusti Ngurah Rai dengan selamat. Burung besi ini berhenti, serentak semua orang berdiri untuk turun.

Bali selalu menyenangkan untuk kami kunjungi. Beberapa kali kami kesini, dan sebanyak itu pula...

kami...

ehem..


bercinta.


Jemari kami bertautan. Sebuah papan bertuliskan “Welcome to Bali” menyambut kami dan 160 penumpang lain. Langkah kami berhenti didepan sebuah conveyor belt pembawa bagasi.


“Siap liburan?”

“Tentu!” aku selalu antusias. Kenan tertawa, kemudian merangkul pundakku.


===


‘Ladies and gentleman, we will begin our descent procedure. So please go back to your seat, and make sure your seat back is fully upright, fold your tray table, and your seatbelt is securely fastened.’


Pengeras suara yang tepat berada di atasku menyala. Semua kembali ke posisinya kembali. Tanganku segera merogoh tas jinjingku. Sebuah boneka berwarna hijau aku keluarkan.

“Hai, Rex. This is maybe not our first time, but, as always, hold me, okay?”

Rex mengangguk– meski sebenarnya aku gerakkan kepalanya. Aku tersenyum.


Sebuah Boeing 77W mendarat dengan mulus di Soekarno-Hatta. Matahari bersinar dengan terik. Semua bergegas berdiri saat pesawat kebanggaan warga Korea Selatan ini berhenti.

Aku segera melangkah menuju terminal kedatangan. Banyak sekali penjemput disana. Temanku melambaikan tangannya. Sesekali rambut pendeknya diterpa angin.

“Momo unniee~” tubuh gadis itu menabrakku. Memelukku dengan erat. Tentu saja aku membalas pelukannya.

“Hai, Nadhin. Lama sekali kita tidak bertemu.” Tanganku mengusap-usap punggungnya. Gadis ini biasa aku panggil Nadhin.

“Kita ketemu pacar aku ya~” Nadhin berjalan. Aku mengekor dibelakangnya, namun segera terhenti saat aku melihat seorang pria.


Pria itu duduk sedikit agak jauh. Menggenggam handphone dengan posisi horizontal. Rambutnya sesekali diterpa angin, membuatku dapat melihat sedikit guratan wajahnya.


Tidak.

Tidak mungkin.

Dia hanya mirip.

Tidak.


Baju yang ia kenakan berwarna putih. Mirip seperti seragam olahraga, jersey istilahnya. Lengannya tertulis sebuah hangul.


NAMAKU?!



Kedua pahanya memangku sebuah hoodie. Lipatannya cukup rapih untuk hoodie yang sejatinya masih dikenakan. 4 huruf tercetak di bagian belakang hoodie itu. Dua nomor besar berada dibawahnya.



00



Nadhin tepat berhenti di depan pria itu. Telingaku samar mendengar obrolan mereka.


“Kak, kenalin. Ini temen aku.”


Pria itu mendongak. Matanya yang sedikit berwarna biru terlihat.







TIDAK MUNGKIN.

INI CUMA MIMPI.

DIA TIDAK NYATA.

TOLONG.

INI CUMAN MIMPI KAN?!

TUHAN?!
 
Bagian 3


Seminyak, Bali. Kala itu.


“Atas nama mas Kenan Artama Mirza Pradipa, dan mbak Hirai Momo?” resepsionis itu membaca nama kami.

“Betul mbak.”

“Kamar 501, silahkan. Terimakasih, selamat beristirahat.” Sebuah kartu diserahkan oleh resepsionis itu. Lift membawa kami ke lantai 5. Tangan Kenan masih menggenggam jemariku.

Beep.

Pintu kamar terbuka. Sebuah kasur single bed dengan pemandangan luar langsung ke kolam menjadi pilihan kami. Kenan membanting tasnya, lalu segera melompat keatas kasur. Bahkan sepatunya belum ia lepas. Kulihat matanya terpejam.

“Lelah?”

Kenan mengangguk kecil. Sneakers yang aku kenakan, kulepas. Aku mengikutinya berbaring. Mataku menangkap setiap inci wajah laki-laki kesayanganku ini. Rambutnya yang jarang ia sisir namun terlihat rapih, alisnya yang cukup tebal. Ah, bahkan aku hapal semuanya.

Wajahku berjarak 2 senti. Bibir yang sedikit tebal itu aku kecup. Tubuh Kenan sedikit berguncang, mungkin kaget. Namun, kurasakan objek kecupanku itu membalas. Lengannya menarik tubuhku untuk merapat.

Lidahnya menerobos rongga mulutku, mencari dan menautkan lidahku. Tangannya meraih bagian bokongku, sesekali meremasnya.

“Katanya capek?”

“Kamu mancing.”

“Lanjut gak?”

Dengan cepat, tubuhnya sudah berada diatasku. Kami terbakar nafsu. Kemeja yang aku kenakan terbuka, membuat kedua buah dadaku nampak. Bibir kami kembali bertemu sebentar. Tanganku sibuk membuka sabuknya, sementara ia tengah menciumi setiap inci wajahku. Hidungku, mataku, bahkan telinga dan leherku.

“Geli ih.”

Kenan mengacuhkanku. Niat jailku tercipta. Dengan cepat, penisnya yang sudah tegang aku remas dari luar celana. Dengan kasar tentunya.

“Ah!”

“HAHAHAHA.”

Rupanya, sebuah kesalahan besar aku menjailinya dengan cara seperti itu. Tubuhku ia tarik dengan sedikit memaksa, membuat kemeja dan bra yang aku kenakan terlepas. Kedua buah dadaku ini menjadi sambaran mulutnya.

“hngghh,, geliiii... aahhh..”

Putingku ia mainkan dengan lidahnya. Sesekali ia gigit, membuat tubuhku sedikit menegang. Tangannya mulai bergerak. Kulitnya yang sedikit kasar itu bertemu dengan pahaku, hingga mencapai pangkalnya.

“emhh.... iyaahhh.. kocokin....”

Sesuatu menerobos bibir vaginaku, yang aku tebak itu adalah jarinya. Jarinya makin cepat bergerak keluar-masuk vaginaku.

“hngghh... aahhh.. iyaaahhhh...”

Otot-otot vaginaku mulai menegang. Sesuatu kurasakan akan memberontak keluar dari alat kelaminku ini.

“AAHH.. KENN... AKU KELUARRR... ARRGHHH..”

Cairan mengucur deras dari vaginaku. Reflek tanganku menggapai jemari Kenan, lalu menjilatinya sendiri. Nikmat sekali rasanya. Kenan berdiri. Celana beserta kaosnya ia lepas. Penisnya mengacung tegak. Favoritku.

“Gak mau jilat dulu gitu?”

Aku tertawa, lalu menggeleng.

“Udah keburu gatel, ayo doongg.”

Kupastikan nada bicaraku tadi merengek. Kenan tersenyum. Ia kembali naik keatas tubuhku. Penisnya segera mengarah ke vaginaku.

“aahh...”

Mataku terpejam bersamaan dengan penisnya yang menerobos masuk vaginaku. Buah dadaku menjadi objek permainan tangan Kenan. Pinggulnya maju mundur, membuat kulit penis dan dinding vaginaku bergesekan.

“hngghh.. kenn.. aahhh. Enaakkk....”

Gerakan pinggulnya makin cepat. Sesekali ia memelintir putingku. Aku tidak dapat menahan diri. Kepalaku menggeleng tak karuan menikmati penisnya.

“Keenn... akuu... aargghh.. aku....”

“Barengg... eehh... “

“Diluar plis..... aarghhh...”

Penisnya semakin cepat keluar-masuk di vaginaku. Otot-otot vaginaku kembali menegang. Kurasakan penis Kenan juga menjadi lebih tegang.

“AARHHGG KENAAANNN..”

Cairan cintaku mengalir dengan deras. Beberapa semprotan mengenai pinggulnya. Kenan segera mencabut penisnya dan mengarahkan organ keramat itu ke wajahku.

“Hngghh..”

Mataku terpejam menerima hujan spermanya. Lengket. Beberapa tetes kurasa mengenai rambutku.

Badai orgasme berhenti. Tubuh Kenan ambruk diatas tubuhku. Sperma di wajahku ia bersihkan dengan kaosnya.

Kecupan mendarat di pipiku.

“Mandi yuk?”

“Kamu dulu.”

“Gak bareng aja?”

“Aku capek astagaa.”

“Baiklah, nona Hirai Momo.”

Kenan bangkit. Nafasnya sudah teratur. Amenities dari tasnya ia raih dan berjalan menuju kamar mandi.


“anak aneh memang.”


====


Terminal kedatangan, Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng.




“Kak, kenalin. Ini temen aku.”


Pria itu mendongak. Matanya yang sedikit berwarna biru terlihat.



TIDAK MUNGKIN.

INI CUMA MIMPI.

DIA TIDAK NYATA.

TOLONG.

INI CUMAN MIMPI KAN?!

TUHAN?!



Oke. Aku harus terlihat normal.

“Annyeonghaseyo, jeoneun momoibnida. Mannaseo bangabseub...”


astaga....



Aku tidak dapat menahan diri.


Mulut pria itu terbuka.

“HIRAI MOMO?!”


I’m cracking up.

Kedua kaki ini mengajakku berlari. Menabrak tubuhnya, lalu memeluknya. Sosok yang aku tinggalkan. Astaga, aku rindu dia. Air mata yang menggenang di pelupuk mataku segera mengalir deras ketika tubuh yang dulu menemani hari-hariku ini kembali aku peluk.

Tanganku tidak ingin melepas pelukannya, namun tersadar jika ini adalah pacar dari Nadhin.


“Kenapa pake Hangul sih?”

Nada bicaranya tidak berubah. Suara itu. Sorot mata itu. Tuhan...

“Ya aku kan orang Korea.”

Momo tetap tidak mau kalah, Kenan.


Kenan berlalu, menghampiri Nadhin.

“Oh, Momo ini temen aku waktu dulu dia di Indonesia.”

Nada berbohongmu bisa aku rasakan, Ken.

Gagang koper itu aku raih. Membawanya bersamaku.


“Kok?” Nadhin bersuara. Kebingungan kah?

“Iya, bisnis antar orangtua kami.”

Dia tidak sepenuhnya berbohong kali ini. Kami berjalan beriringan. Jersey yang ia kenakan dibubuhi Hangul di lengannya. Momo, atau jika dalam Hangul tertulis 모모.

Tubuhnya tidak berubah, hanya semakin berisi dan tinggi.

Sebuah mobil menjadi perhentian kami. Kenan menekan tombol di kuncinya, membuat bagasi terbuka. Setelah selesai dengan barangku, aku menyusul Nadhin di kursi penumpang.





Tuhan, jika engkau mendengar, maka tolong. Tolong dengar doaku dua hari lalu. Tolong Tuhan, aku mohon.



Takdir mempertemukan kita lagi kan,

Kenan Artama Mirza Pradipa








Atau kebanyakan orang mengenalmu sebagai

Tama Arnes Andhika

?
 
Terakhir diubah:
Kenan Artama Mirza Pradipa
Alias
Tama Arnes Andhika
Alias
Tamakussaurus
Alias
Namamu banyak banget
Alias
Udah kek buronan aja
Alias
Good Update Momotama
Alias
Lah pake gw tambahin namanya

Kepanjangan ya, ehe bercanda

 
Kenan Artama Mirza Pradipa
Alias
Tama Arnes Andhika
Alias
Tamakussaurus
Alias
Namamu banyak banget
Alias
Udah kek buronan aja
Alias
Good Update Momotama
Alias
Lah pake gw tambahin namanya

Kepanjangan ya, ehe bercanda

hanya dique Son Chae Young yang tau alasan kenapa Kenan alias Tama ini ganti nama :papi:
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd