Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Dari FANTASI berujung REALISASI

Saya berencana mmbuat grup tele'gram untuk mendengar usulan dan masukan para pembaca. Apakah setuju?

  • Setuju

    Votes: 447 78,1%
  • Tidak

    Votes: 125 21,9%

  • Total voters
    572
Status
Please reply by conversation.
PENGHUJUNG KISAH

Beberapa bulan rumah tanggaku dengan Mirna membaik, tak ada kecurigaan di antara kami yang sudah saling terbuka mengenai sesuatu, baik mengenai pekerjaanku di kantor hingga Jajang dan Rani. Selama itu pula aku menemani Mirna berobat ke Psikiater memulihkan psikis dan mentalnya. Ia menjalani beberapa terapi, baik kognitif hingga pengobatan. Kunjungan rutin ke psikiater selama sebulan sekali, sedangkan pengobatan ia minum dua butir obat yang diresepkan dan diminum 2x sehari.

Perlahan-lahan banyak perubahan dalam diri Mirna. Keluar rumah ia sudah mengenakan kerudung yang menutupi bagian dadanya, meskipun pakaian masih belum berbaju kurung. Beberapa gamis ia beli untuk dikenakan saat mengikuti pengajian ibu-ibu komplek di masjid terdekat. Aku mensyukuri itu, kendati ibadahnya masih bolong-bolong. Mirna lebih ceria dan bahagia dari biasanya. Ketika berbicara denganku, kami sudah jarang bertengkar kata mengenai sesuatu. Ia lebih kalem dan menurut. Tidurnya pun lebih awal dari biasanya, lebih pulas dan nyenyak, sehingga beranjak bangun pagi lebih awal untuk sholat Subuh kemudian berolah raga. Sungguh berbeda denganku yang masih begini-begini saja. Aku masih menonton film porno, kadang bersama Mirna yang belum konsisten, untuk sekedar memanaskan hubungan di atas tempat tidur kami.

Di sisi lain, ketika Mirna sudah membaik, kami berdua kerap mentertawakan masa lalu, menjadikannya bahasan sebagai obrolan menjelang tidur. Aku pula jadi tahu apa saja yang dilakukan Pak Yanto selagi mendekati Mirna dan Bu Aminah yang salah kaprah.

"Kamu makanya enggak semua omongan orang itu mesti didengerin"

"Aku tuh kan cape tiap waktu kamu ngomong itu-itu mulu, mas. Kadang butuh temen untuk ungkapin isi hati kita"

"Iyaaa, paham sih"

"Bu Aminah bilang ke kamu dibikin santai aja, eh Pak Yantonya gak pernah santai. Hahahahahahah"

"Isshhh kamu, dieemm, baper tahu"

"Hehehhehe, terus kamu dideketin gimana sama Pak Yanto?"

"Ya dirayu-rayu, digombalin. Aku sih paham banget arahnya akan gimana. Aku merasa dia juga bisa bantuin aku, ya aku dengerin yang dia bilang"

"Hubungan Pura-pura tapi serius? Gitu? Hahahah"

"Pernah suatu waktu dia ngomong ke aku, seandai dia dapat kesempatan nidurin aku beneran gimana, apa aku mau? Ya aku jawab enggak mau"

"Loh terus kok bisa hampir kejadian?"

"Semenjak kejadian di rumah sakit itu dia jadi semakin agresif ke aku Mas. Suka teleponin aku pas kamu di kantor, awalnya sih ngomong biasa nanya lagi apa, apa Mas Riko sudah lebih baik, akhirnya dia nanya-nanya bagaimana ukuran penis dia, mau ngisepin lagi gak, dia bilang susu aku kesukaan dia banget bentuknya"

"Wew! Terus kenapa kamu tanggepin?"

"Enghhhh.... akunya jadi ikut keseret arus", ucap Mirna malu-malu.

"Keseret apa udah tenggelem? Hahaha"

"Tenggelem, puas?"

"Hahahahahha. Emmmhh, sekarang ceritain apa aja yang aku gak tahu selama kamu berhubungan dengan Pak Yanto"

"Emmmmhhh... apa yah?"

"Yang inget aja, masa gak ada"

"Kadang Pak Yanto itu pinter, suka nanya-nanya gitu soal aku ke Bu Aminah, yang ke pasar itu kan aku cuman kasih tahu Bu Aminah. Terus Bu Aminah kasih tahu ke Pak Yanto"

"Waaah jangan-jangan Bu Aminah itu satu komplotan juga"

"Enggg, enggak sih Mas, dia kan ngiranya Pak Yanto itu cuman genit aja, ya dia tanggepin. Cuman dia gak tahu kalau hubungan aku dengan Pak Yanto sudah sejauh itu"

"Terus apalagi?"

"Megang-megang dan cubitin pantat aku pas jalan ke pasar bareng bu aminah, diem-diem sih, bu aminah gak tahu"

"Terus?"

"Emmmhh...chat seks dan telepon seks palingan"

"Gak nyangka beneran yah aku sama kamu, Itu kamu bayangin beneran?"

"Iyaaa"

"Bayangin dientot Pak Yanto?"

"Iiiiyyyyaaaaaaaaahhhhh....."

"Ckckckck"

"Pak Yanto juga pernah hampir mainin memek aku pas nemenin dia ke kamar mandi"

"Hhhhmmm"

"Terus dia ngomong sewaktu-waktu kontolnya pasti bener-bener bisa ngerasain memek aku"

"Gitu? Waduwh aturan kubikin babak belur sekalian dia tahu begitu"

Pembicaraan yang semula penuh lucu-lucuan malah membangkitkan birahiku. Padahal, sejujurnya masalah ini tidak seharusnya diungkit-ungkit lagi. Yang Mirna sampaikan justru memacuku berimajinasi. Sial. Aku membayangkan semua yang Mirna katakan. Entah apa kabarnya Pak Yanto hari ini. Apakah ia bersama istrinya mentertawakannya samahalnya aku dengan Mirna? Atau dia betul-betul sudah melupakan karena aku sudah memberinya bogem mentah yang meninggalkan bekas menyedihkan di kedua pipinya? Aku masih menyimpan kontak Pak Yanto dan tidak menyentuhnya sama sekali saat Mirna dalam proses pemulihan. Lambat laun setelah Mirna melalui masa sulit itu. Aku terpancing ingin menanyakan kabar karena di balik kesalahannya, tetap aku juga merasa bersalah karena telah menggunakan kekerasan untuk melampiaskan kekesalan.

Mirna sendiri selama pemulihannya satu yang meninggalkan bekas adalah sesekali aku mengizinkannya masturbasi. Dia ingin masturbasi membayangi Pak Yanto menidurinya. Bagi Mirna, hal itu adalah momen yang tidak pernah dia alami bahkan hampir mengalami sehingga sangat mengusik mental dan psikisnya. Mirna sulit melupakan bagaimana Pak Yanto menggerayangi dan menghisap payudaranya. Mirna juga sering terbayang bagaimana ia membantu penis Pak Yanto klimaks serta ditambah spermanya yang masih hangat menempel di celana dalam untuk lekas dipakai Mirna. Bayangan cumbuan dan ciuman panas Pak Yanto pula ikut sulit dilupakan. Ia berat mengabaikan, kecuali berdamai dengan masa lalu.

Bahkan selama masa terapi ia pernah melontarkan pertanyaan yang aku tidak tahu antara guyon atau serius. Ia menanyakan bagaimana jika sebaiknya fantasiku itu direalisasikan saja karena ia benar-benar mau disetubuhi oleh Pak Yanto. Aku mengganggapnya main-main. Lagipula saat Mirna melontarkan pertanyaan aku masih sedikit menyimpan rasa kesal apabila mendengar nama Pak Yanto, ditambah kekhawatiranku apabila itu terjadi Mirna malah semakin parah secara mental dan psikologis. Seiring berjalan waktu aku hanya dapat berdamai dengan masa lalu. Bagi kami berdua, Pak Yanto punya ruang tersendiri untuk dikenang terlepas dari perilaku dan sifatnya.

"Pak Yanto apa kabarnya ya?"

"Ciee yang kangen Pak Yanto", ledek Mirna.

"Ah kayak kamu gak kangen aja, pakai pura-pura"

"Enggak yeee"

"Enggak tapi suka ngungkit-ngungkit. Apakah dia masih sehat ya?"

"Coba tanyain Mas"

"Tuh kan, kenapa gak kamu tanya sendiri aja"

"Males ah, takut keterusan kaya dulu", ungkap Mirna. "Apalagi kamu udah nonjok dia, aku makin gak enak aja"

"Enaknya yang lain yah? Hehehe"

"Idddihhh apaan sih mas", Mirna tersenyum.

Aku pun lekas mengambil ponsel dan lekas mengirimkan pesan menanyakan kabar ke Pak Yanto. Sayangnya karena sudah malam, barangkali Pak Yanto sudah tertidur pesan itu hanya tercentang dua alias belum dibaca. Aku meletakkan ponselku kembali, namun Mirna mencegahnya. Ia merampas ponselku dan membuka folder video. Dibukanya rekaman video Jajang berhubungan badan dengan Rani. Video itu aku dapatkan dari Wawan karena keuletan dan ketekunannya dalam bekerja, Jajang sangat terkagum dan menaruh kepercayaan yang besar kepada Wawan. Oleh karena itu, bos dan anak buah tersebut memiliki kedekatan yang istimewa sehingga aku banyak mendapatkan informasi hubungan terselubung Jajang dan Rani. Sayangnya aku tidak mau mencampuri urusan orang lain, sedangkan urusanku dengan Mirna belum beres. Yang kudapat dari Wawan di antaranya adalah video porno hubungan seks Jajang dan Rani.

Menurut Wawan, Rani bisa jatuh kepelukan Jajang karena kesepiannya selama ini ia tumpahkan dan ceritakan ke Jajang. Parahnya lagi, Jajang sudah satu tempat kos dengan Rani sehingga mereka berdua saling bertukar cerita isi hati sebagai sesama pasangan yang menjalin hubungan jarak jauh. Hubungan merek berdua pun kian intens. Uniknya di tempat kerja, mereka pintar menutupi itu semua, tampak tidak terjadi apa-apa. Mereka profesional. Padahal, menurut Wawan mendapatkan cerita dari Jajang, Jajang sudah beberapa kali menyetubuhi Rani. Niat yang diawali pura-pura menjelma menjadi malaikat lalu diakhiri dengan kesurupan iblis. Jajang sudah meraih apa yang dia mau. Tercermin dalam video yang terekam. Kini aku sedang menyaksikannya bersama Mirna. Dalam video berdurasi 5 menit itu tergambarkan Rani dan Jajang dalam posisi doggystyle.

"Aaaaauuuhhh, enaaakk, terusss", desah Rani dalam posisi menungging.

"Urghhhh... Urghhh...."

"Kamu gak akan pindah dari sini kan?"

"Urghhh, gak, mana mungkin, di sini aku bisa ngentot kamu terus sayang"
"Hhhhmmmfffffhhh", dalam posisi yang sama Jajang merangkul leher Rani. Tubuh keduanya lantas bersentuhan. Mereka berciuman mesra sembari Jajang tetaap menghajar vagina Rani.

"Hhmmmmmfffhh"

"Urghhhhh...."

"Aaahhhh lepas kondomnya dong, yang"

"Urghhh nanti kamu hamil", lenguh Jajang menyahut Rani.

"Aaahhh kamu gak pengen hamili aku?"

"Urghhhhhhhhh!"

"Aaaaaaaaaaauhhhhhhh!"

Jajang semakin beringas menyodok-nyodok vagina Rani. Aku yang berpandangan dengan Mirna sambil menonton video, menggeleng-geleng tersenyum. Kami menutup video berdurasi singkat tersebut kendati belum selesai. Aku lalu letakkan ponsel di atas meja. Kami berdua berbaring menunggu kantuk. Beberapa menit kemudian. Aku pun lekas menghadap Mirna dan bertanya,

"Kamu mau kayak itu?"

"Sama Jajang?! Ogah! Jangan Ngaco lagi deh kamu!"

"Bukan!"

"Lalu?"

"Kalau sama Pak Yanto?", tanyaku. Mirna memalingkan badan, tak berkenan menjawab.

"Loh kok diem. Aku kan nanya aja karena daripada kamu suka terbayang-bayang. Bilang gak, tapi kebayang terus. Kalau beneram enggak, yaudah gak usah. Jangan terlalu dianggep serius"

"..... kalau aku beneran mau, kamu gak akan marah kan?"

"Ini ngomongnya beneran apa lucu-lucuan?", tanyaku tak yakin.

"Bener! Aku beneran kali ini! Kan kamu tahu sendiri kalau aku masih suka kebayang"

"Hhhmm...cemburu, iya. Marah sih emmmmmhh,,,, asalkan enggak serius sampai kamu kebawa baper loh ya gara gara masalah aku waktu itu. Sudahlah kamu fokus ke terapi kamu, sayang", jawabku.

"Kamu beneran gak mau fantasi kamu itu jadi terwujud?"

"Mmmmm... enggak... berat..."

"Tttt...tapiii, aku bener kepengen loh Mass", ucap Mirna pelan. "Aku suka kebayang terusss"

"Makanya kamu fokus aja sama terapi kamu, gak usah mikir macem-macem"

"Hhhmm... iya deh..."

Kegalauan Mirna turut menimpaku juga. Sejujurnya aku ingin Mirna segera lepas dari bayangan masa lalu dengan Pak Yanto. Ditambah hari ini dia secara sadar menginginkan Pak Yanto menyetubuhinya, sebuah pernyataan yang membebani pikiranku. Aku sebetulnya sudah tidak terlalu berfantasi Mirna disetubuhi oleh pria lain. Namun kalau ia sudah menginginkan Pak Yanto? Lalu apakah ada jaminan Mirna tidak semakin parah secara mentalnya? Sementara ia masih membayangi laki-laki paruh baya itu terus. Aku terlampau lelah memahami.

Aku harus bisa keluar dari kepelikan yang berlarut-larut ini. Kehidupan rumah tanggaku sejujurnya sudah tenteram dan nyaman, tersisa satu hal, yakni Mirna masih kerap membayangi Pak Yanto. Semakin ingin, semakin sukar untuk dilupakan. Padahal aku sudah memberi aktivitas sampingan bagi Mirna agar ia memiliki kesibukan lain, seperti memasak dengan Bu Aminah, aktif dengan ibu-ibu perumahan, serta bisnis kecil-kecilan, ternyata tidak mempan. Adakah yang terlewatkan dalam pengobatan. Hipnoterapi? Sudah. Lalu apalagi? Betul-betul pusing kepalaku sejadi-jadinya. Aku mengurut kening.

"Kalau aku kabulin kamu beneran gak macem-macem kan?"

"Beneran...", aku teringat sesuatu agar bisa menjamin keduanya tidak terjalin hubungan yang tidak berkesudahan.

"Oke, aku usahain, demi kamu, demi aku juga yang pernah berfantasi"

"Beneran Mas?!"

"Bener!"

"Hhhmmm, kamu terus nanti bilang Pak Yantonya bagaimana?"

"Sama dengan aku bilang ke kamu, hanya cukup sekali, pertama dan terakhir, selebihnya nanti ada penjelasan lain dariku supaya Pak Yanto jangan sampai baper", ujarku menatap langit-langit kamar.

"Hhhmmm iyaa deh Mas"

"Kok iya deh? Iya apa?", tanyaku bingung.

"Iya mau", sahut Mirna.

"Mauuu apaaa?"

"Kebiasaan ah kamu", gerutu Mirna tak mau membalas.

"Hahaahha, aku coba ya, takutnya Pak Yanto sudah tobat, kita kan enggak tahu. Hehehe. Siapa tahu juga sudah meninggal..."
"Lagian kamu juga udah pakai hijab..."

"Kok kamunya ngomongnya seperti itu"

"Apa salahnya berandai-andai?"

Berbeda dengan sebelumnya, aku berharap ini jalan yang terbaik untuk semua pihak. Mirna yang masih 'tanggung' semoga dengan realisasi ini akan sedikit harapan mengobati mental psikisnya yang tertekan penasaran karena Pak Yanto. Dulu ia tercemplung hubungan dengan Pak Yanto karena pelarian dari masalahku yang berujung kepada kebablasan. Sekarang setelah beberapa bulan lamanya dan masalah sudah hampir beres, aku berharap pertemuan dengan Pak Yanto sekedar menyelesaikan apa yang belum selesai. Aku hanya bisa percaya hal itu terlepas dari hal buruknya. Aku meyakini Pak Yanto juga masih memendam hasrat dengan istriku, terlepas aku juga ingin tahu bagaimana perkembangan terbaru kesehatannya selama di kampung. Demikian aku, alangkah fantasi itu benar-benar terkubur dengan realisasi agar mengecilkan kemungkinan ia bangkit suatu hari nanti dengan fantasi-fantasi yang lain. Aku menarik banyak pelajaran dari masa lalu.

Ketika Mirna sudah tertidur. Aku membuka pesan WA Pak Yanto yang baru dibalasnya. Aku memikirkan kata demi kata serta kalimat-kalimat yang tersusun agar tidak terjadi salah paham karena Pak Yanto tentunya memiliki trauma tersendiri juga.

Malam Hari Pukul 22.30

Aku: Assalamualaikum Pak Yanto bagaimana kabarnya?
Pak Yanto: walaikumsalam. alhamdulillah sehat. Maaf ini siapa?
Aku: masa lupa dengan saya pak.
Pak Yanto: Maaf, HP sudah lama ganti, banyak nomor hilang.
Aku: Ohhhh. Saya Riko, bapak masih ingat?
Pak Yanto: .... [Hanya membaca]
Aku: Saya Riko Pak yang tinggal di Perumahan XXX, kan bapak tinggal di situ juga, ingat?
Pak Yanto: Ingat, Ada apa Pak Riko? bukankah urusan bapak dengan saya sudah selesai? Saya tidak ingin diganggu-ganggu lagi, baik dengan bapak ataupun ibu.
Aku: Owwwhh. Saya hanya ingin menanyakan kabar saja pak, masa iya enggak boleh.
Pak Yanto: kan sudah saya jawab.
Aku: apakah kita bisa ketemu pak? Ada hal yang ingin saya sampaikan.
Pak Yanto: masalah apalagi Pak? Pekerjaan dari bapak saya pun tak dapat, terus ini mau apalagi?
Aku: [Aku membisu. Seperti dugaanku, Pak Yanto pasti memendam masa lalu kelam sehingga ia malas menanggapi chat dariku]

Aku tidak mau memohon. Jika Pak Yanto bersikap seperti tadi, berarti memang dia sudah tidak ingin dikontak lagi. Semua benar-benar telah kembali ke awal di mana tidak ada jalinan kontak antara aku dan Pak Yanto begitu juga sebaliknya. Untuk apa menghubungi orang yang tidak mau dihubungi? Sia-sia. Lebih baik aku menyusul Mirna tidur.

Keesokan Pagi....

"Bagaimana Mas, ada balasan dari Pak Yanto?"

"Ada. Kamu baca aja sendiri aja"

"Enggak mau ya?"

"Pada dasarnya dia sudah enggak mau dihubungi lagi", ucapku menemani Mirna sarapan pagi.

"Hhhhmmm berarti batal dong ya"

"Ya batal, males banget aku memohon-mohon"

"Iyaa gak perlu sampai kamu memohon, kalo dianya aja enggak respon"

"Kamu jangan kirim pesan ke dia ya, supaya dia kontakannya dengan aku aja"

"Enggak akan mas", jawab Mirna menyendokki sarapanku.

"Rengga mana? Gak ikut sarapan dengan kita?"

"Tidur"

"Aduh, kebiasaan banget itu"

"Apa gak kita ke kampungnya Pak Yanto aja, Mas?"

"Aduh mau ngapain, males banget aku, itu sama aja memohon-mohon, makan biaya pula"

"Iyaaa sihh"

Sembari sarapan, aku membicarakan tentang balasan chat Pak Yanto semalam. Aku sejujurnya kecewa berat seolah-olah Pak Yanto jual mahal. Aku mendambakan jawaban yang baik, yang masih menganggapku sebagai tetangganya. Apa boleh buat jejak masa lalu begitu menyilukan Pak Yanto. Luka lebam menyayat hatinya yang mungkin sudah tergandrung-gandrungi oleh istriku, namun aku tumbangkan hingga ke akarnya. Apakah Pak Yanto menyisihkan dendam? Rasanya tidak. Sakit hati, iya. Apakah aku perlu membujuknya agar realisasi atas fantasiku kesampaian? Mungkin tidak. Akan tetapi, satu-satunya harapan yang ada hanyalah Pak Yanto. Sudah tidak mungkin membuka ruang lagi untuk pria lain karena justru akan memicu luka baru yang sangat tidak aku inginkan. Lagipula Mirna sudah mengatakan dan mengiyakan apa yang aku katakan. Adapun Pak Yanto menolak bukan karena dia jual mahal, melainkan dia belum mendengarkan yang ingin aku sampaikan kepadanya. Kalau sudah, aku percaya diri bahwa Pak Yanto akan berbunga-bunga, menyesali telah menepi sapaan pertamaku setelah beberapa bulan lamanya.

Kemudian bagaimana agar Pak Yanto mau mendengarkan? Aku tidak mau Mirna yang menghubungi, cemas terjadi sangkut paut yang kedua kali. Aku menghindari hal itu. Di sisi lain, ada hal yang ingin aku sampaikan seandai Pak Yanto menginginkan persetubuhan itu terjadi, yaitu tidak boleh ada keterkaitan sangkut paut antara dia dengan Mirna selanjutnya. Hubungan yang terjalin nanti harus murni birahi yang dulu gagal tersalurkan. Selesai, ya sudah, berakhir. Tidak ada yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Baik Pak Yanto dan Mirna harus memaksimalkan kesempatan yang aku berikan. Penekanan keras lebih akan kutitik beratkan kepada Pak Yanto.

"Maaf ini dengan siapa?"

"Saya Riko, Mas. Bapaknya ada?", tanyaku ternyata yang menjawab telepon adalah putra Pak Yanto.

"Bapaknya sedang keluar nemenin ibu, dari siapa?"

"Dari Riko tetangganya di perumahan XXX"

"Oooh, barangkali ada pesan yang mau dititip?"

"Kalau boleh tahu kondisi bapak di kampung bagaimana?"

"Sehat kok Mas, sehat, alhamdulillah. Sering olahraga ringan di sini, pola makannya beda dengan yang dulu, sekarang dia ada suka makanan yang bergizi dan sehat. Bapak ada pernah sakit selama di Jakarta ya?"

"Emmmhh, ya Mas, kurang makan-makanan sehat aja kok setahu saya"

"Bapak ada banyak cerita kalau Pak Riko ini banyak nolong dia, terutama saat dia sakit, terima kasih banyak ya Pak Riko, maaf kalau bapak saya banyak merepotkan"

"Oh enggak kok, enggak", jawabku terheran-heran. Entah Pak Yanto cerita juga tidak perihal aku pernah meninjunya. Rasanya tidak, karena begitu ramah sambutan anak Pak Yanto.

"Maaf, ada yang mau disampaikankah, pak? Kalau tidak, izin saya menutup teleponnya karena ada yang mau saya kerjakan.

"Enghhh, bilang saja telepon dari saya, ada kabar baik untuknya"

"Kabar baik apa yang dimaksud ya Pak?"

"Sampaikan saja dulu ke bapaknya ya karena dari kemarin bapak kurang berkenan menjawab chat dari saya"

"Oooh baik Pak Riko segera saya sampaikan"

"Terima kasih Mas", balasku lega.

"Eh iya satu lagi Mas, sampai lupa"

"Apa?"

"Bapak sembahyangnya sekarang sudah rajin, saya sampai heran, kenapa bisa mendadak berubah, karena bapak dulu tergolong lalai urusan sholat, sedangkan umur tidak muda lagi"

"Hooooo..... baguslah...", gumamku, "jangan-jangan beneran sudah tobat".

Selesai sarapan aku menelepon Pak Yanto diam-diam tanpa sepengetahuan Mirna, mungkin dia mau menjawab daripada berbalas chat. Akan tetapi justru anaknya yang mengangkat telepon dariku. Aku menaruh yakin pada pesan yang kutitip. Semoga Pak Yanto menelepon balik, setidaknya menjawab pesanku.

"Habis telepon siapa? Kok belum berangkat?", tanya Mirna menjumpaiku di halaman depan.

"Pak Yanto"

"Diangkat? Apa katanya?"

"Anaknya yang mengangkat. Pak Yanto sedang antar istrinya"

"Ooo, yaudah kamu segera ke kantor Mas, udah jam berapa ini"

"Iyaa, aku berangkat dulu yaaaa", ucapku mencium kening Mirna, dibalas ia mencium tanganku.

=Y=​

"Maaf Pak, bapak ada ngomong apa ke Pak Yanto?", tanya Wawan seraya mengaduk nasi dan ikan cuek goreng beserta kuah sayur.

"Maksudnya? Emang Pak Yanto hubungin kamu?"

"Iya, jam 10 pagi tadi dia nanya ke saya lewat WA, apa bener ada lowongan kerja buat dia?"

"Eemmhhhhhh pasti dikiranya itu..", ujarku tersenyum di hadapan Wawan saat jam istirahat. Kami makan siang bersama.

"Itu apa pak?"

"Kamu sering kontak-kontakan sama Pak Yanto, ya?"

"Jarang-jarang, sekalinya kontak, nanya ada pekerjaan untuk dia gak, dia suka nanya lowongan kerjaan. Gak betah dia lama-lama di kampung, kena omel istri mulu. Di Jakarta, banyakan ngalor ngidul, salah juga"

"Kok bisa kena omel istrinya?", tanyaku penasaran sambil mengunyah.

"Istrinya pengen dia bantu-bantu jualan"

"Emang istrinya dagang apa?"

"Jajanan pasar, pak"

"Terus kamu ada infoin kerjaan ke dia?", seingatku susah mencari pekerjaan untuk seseorang yang notabene memiliki riwayat penyakit jantung.

"Enggak, bapak tahu sendiri, nih orang udah penyakitan"

"Nah! Udah berapa lama kami deket dengan Pak Yanto?"

"Sejak disuruh jagain dia sakit Pak", sahut Wawan.

"Emmmm... terus dia ngomong apa ke kamu tadi pagi? Telepon atau WA?"

"WA, dia bilang katanya Pak Riko kasih kabar baik ke dia lewat telepon, sayangnya waktu itu dia lagi nemenin istrinya jualan, ya anaknya yang angkat"

"Kamu jawab apa?"

"Ya aku jawab, tanya Pak Riko langsung malah kenapa tanya aku, begitu...."

"Kemudian?"

"Dia gak jawab lagi"

Pak Yanto mencermati pesan yang kutitip kepada anaknya. Aku mengira ia akan mengabaikan. Informasi dari Wawan sangat berguna bahwa Pak Yanto jenuh selama berada di kampung. Ia hendak kembali ke Jakarta semata-mata menjauh dari istrinya, ingin mendapatkan pekerjaan atau jangan-jangan sekedar bermalas-malasan. Di lain hal, ini sebuah celah bagiku supaya Pak Yanto mau mendengarkan apa yang ingin katakan kepadanya. Aku tidak ingin menghubunginya lewat telepon lagi atau berbalas chat karena akan mudah baginya memasabodohkan. Kalau bertemu langsung, ia dapat menyimak secara keseluruhan, tidak sepotong-potong. Lagipula ada yang ingin aku tekankan kepadanya, terlepas dari hasrat Mirna dan fantasiku. Aku juga ingin memastikan Pak Yanto masih seperti dulu atau tidak. Caranya? Aku memiliki ide yang sangat bagus dan menarik. Aku meminta Wawan bilang ya ada pekerjaan kepada Pak Yanto, tetapi dia harus datang ke Jakarta.

"Ada, terus pekerjaannya apa Pak?"

"Bilang saja ada, yang penting dia ke Jakarta dulu"

"Disuruh bapak?"

"Jangan! Tetep seolah-olah kamu yang meminta dia datang ke Jakarta, bilang kalau ada bos kamu yang ingin bertemu Pak Yanto menyangkut pekerjaan yang ditawarkan"

"Kalau Pak Yanto desak-desak saya, kasih tahu pekerjaannya dulu, gimana?"

"Kamu tinggal jawab, pekerjaannya apa hanya bos kamu yang tahu, bagaimana mau yakin kasih pekerjaan, sedangkan bos kamu ini belum kenal sama Pak Yanto"

"Sekarang?"

"Nanti malam saja"

"Kalau boleh tahu pekerjaannya apa?"

"Rahasia, cuman 'Bosnya Yang Tahu' pekerjaan apa yang ditawarkan", jawabku merahasiakan rencana ke Wawan.

"Bosnya itu Pak Jajang? Bapak? Atau siapa?"

"Bosnya ya Bos, kamu gak perlu tahu", padahal bosnya ya aku sendiri yang ingin bertemu langsung dengan Pak Yanto di Jakarta.

"Oke deh, yuk makan dulu Pak. Keburu diberakin lalat nih", timpal Wawan.

Siang Hari Pukul 12.30

Aku: lagi apa?
Mirna: habis makan siang. Kenapa Mas?
Aku: Minggu depan liburan yuk?
Mirna: asyik dong Mas. liburan ke mana?
Aku: maunya kamu?
Mirna: Loh kok malah nanya aku sih.
Aku: hehehe, ke Puncak mau? Aku ditawarin nginep di Villanya temen aku di daerah Puncak tadi.
Mirna: mau banget Mas. Kapan?
Aku: Minggu depan.
Mirna: serius? Berapa hari?
Aku: seriuslah masa aku main-main, 2 hari cukup? Sabtu-Minggu?
Mirna: kalau berangkat Jum'at sore bagaimana? Supaya puas liburannya.
Aku: boleh, yang penting dari pagi kamunya udah siap-siap.
Mirna: baik Mas. Rengga diajak gak?
Aku: ajak ajaa. Daripada dia bosen di rumah atau nginep di tempat kosan temennya.
Mirna: Aku sampain pas dia sampai rumah.
Aku: ya sudah aku tutup ya teleponnya. Mau lanjut kerja lagi.
Mirna: kamu pulang jam berapa?
Aku: kayak biasa.
Mirna: hati-hati sayang....

Wawan yang masih menemaniku makan siang memberi tahuku sesuatu yang cukup mengegerkan bahwa hubungan Jajang dengan Rani sudah terendus oleh istrinya Jajang. Aku yang terkejut mendengar kabar itu lalu meminta Wawan bercerita lebih menyeluruh. Jajang beberapa hari terakhir pulang ke rumah, tidak menginap di tempat kosnya karena istrinya diam-diam menyelidiki serta mendapatkan kabar bahwa Jajang bukan menginap di kantor, melainkan ngekos. Tambah curiganya, istri Jajang dihembuskan gosip lama yang dianginkan kembali oleh beberapa karyawan yang tidak suka dengannya. Akibatnya, Jajang dicegah untuk menginap di kantor sementara waktu. Istrinya kerap menelepon pihak HRD atau sekuriti apakah Jajang betul pulang telat dan menginap di kantor. Mata-mata sudah di mana-mana. Ruang gerak Jajang menyempit.

Kondisi demikian tidak bisa dimaklumi oleh Rani yang merasa kesepiannya selama ini telah terisi oleh kehadiran Jajang. Rani ngotot menuntut perhatian dari Jajang karena perempuan itu sudah beberapa kali ditiduri olehnya. Sedihnya, Jajang sedang tidak bisa dihubungi. Istrinya sudah menutup akses Rani untuk mengontak Jajang, begitu sebaliknya. Kondisi terpojok itu membikin Rani tertekan. Pada akhirnya hari ini mereka berdua diam-diam menghilang.

"Menurut kamu mereka berdua kemana, Wan?"

"Ya ke kosannya Rani, Pak. Itu kan kosan campuran cowok-cewek satu tempat kos"

"Waduwwhhh, gituan?"

"Iyaaah, ngentot Pak. Hahahahahaha"

"Pssssssssttt hati-hati! jangan asal bicara!"

"Kalau bener?"

"Kalau enggak?"

"Bapak mau bertaruh apa?", tanya Wawan menghabiskam makanannya lalu menyalakan sebatang rokok.

"Bukannya mata-mata istri Jajang di sini banyak?"

"Kalau udah kebelet, persetanlah mata-mata, yang penting asoy, bisa ngecrot"
"Hahahahahahahah", kelakar Jajang membuatku tertawa.

"Sudahlah kita gak usah ikut campur"

"Bener, lurus-lurus saja, tetapi beneran gak mau coba ngecek ke kosan mereka pak?"

Aku melihat jam di ponsel,"deket dari sini?"

"Ya deket, masih ada waktu kok. Gimana? Kalau mau aku anter"

"Kok kamu bisa tahu?", tanyaku ganjil.

"Bos Jajang pernah bilang ke aku, kalau mau lihat orang wik wik wik, dateng ke alamat ini, awalnya aku masa bodoh, karena kepengen tahu maksudnya apa, eh ternyata Bos Jajang lagi indehoy sama Rani"

"Kapan itu?"

"Sebulan yang lalu"

"Hhhhmmm... terus gimana? Jadi?", Wawan beranjak berdiri seraya membayar menu makan siang ke penjaja.

"Sebentaran aja kali ya?"

"GASSS!!"

Dengan menggunakan sepeda motor Wawan, aku meluncur ke tempat kos Rani dan Jajang yang berada tidak jauh dari kantor. Aku melewati jalan raya yang sesak di siang hari. Kami meluncur masuk ke sebuah gang yang juga dapat diakses oleh mobil. Gang tersebut ramai, banyak anak-anak yang sudah tiba di rumah berseliweran sehabis pulang sekolah. Gang ini juga acap dijadikan jalan alternatif atau jalan tembua kalau jalan utama menimbulkan kemacetan panjang. Aku dan Wawan tidak sedang mencari jalan tembus. Aku bermaksud mengecek apakah betul yang dibilang Wawan bahwa menghilangnya Rani dan Jajang di jam istirahat karena mereka sedang berpacu birahi. Awalnya tidak terlalu ingin tahu, karena terkadang menyaksikan video porno antara Rani dan Jajang. Aku pun penasaran jika melihatnya secara langsung. Jajang pula rela bertaruh jika benar.

Sesampainya di depan bangunan berlantai tiga yang tampak sepi, Wawan memarkirkan motornya di depan bangunan yang tak memiliki parkir khusus tamu atau penghuni kos. Malahan dari kejauhan, tukang parkir minimarket menyahut bahwa parkirnya berada di minimarket tersebut. Wawan menyahut balik bahwa kami hanya akan sebentar di situ. Wawan masuk tak mengucap salam dan membuka pagar seolah-olah dialah pemilik kosnya. Aku tercengang. Kata Wawan, ngekos di sini mahal sehingga sepi yang mau menghuni. Kendati harganya tinggi, fasilitasnya lumayan ada kamar yang memiliki khusus AC sekaligus kamar mandi, termasuk WIFI. Kurang laris karena letaknya tidak berada di lingkungan yang rapi, terkesan ramai. Bentuk Bangunan luarnya juga terkesan bangunan tua dengan cat-cat yang sudah rompal serta puing-puing berjatuhan.

Wawan menuntunku menaiki tangga besi yang mengitar, mengantarkanku tiba di lantai 3. Ada beberapa kamar dalam satu baris lantai. Aku menyangka ada 5-6 kamar. Setiap kamar di depannya ada sepasang kursi tunggu, tak ada jendela karena semuanya memakai fasilitas pendingin ruangan. Kami pula bukan ingin duduk-duduk berdialog di sana. Wawan berjalan perlahan. Aku membuntutinya hingga di deret kamar nomor 4, di mana terdapat rak sepatu, namun aku tidak mendapati sepasang sepatu Jajang.

"Ini ngintipnya di mana?", tanyaku mengecilkan volume suara. "Beneran ini kamarnya?"

"Bener, gak bisa diintip pak"

"Loh terus? Ngapain kita ke sini?"

"Coba deketin telinga bapak ke pintu...", pinta Jajang dengan suara lirih.

Aku yang sangsi mengikuti instruksi Wawan, kulekatkan telingaku dengan pintu kamar kos ini, tidak terlalu menempel, setidaknya bisa meraba suara yang berasal dari dalam.

"Aaaaauhhhhh, terusss, ooohhh"

"Urghhhh, crott di dalam ya sayang..."

"Jangan Mass lagi subur akuh, ohhhhh"

"Terus gimana, udah terlanjur enak inihhh"

"Lagian kamu tadi disuruh beli kondom dulu gak mau...."

"Urgghhhh udhhh lanjut duluuu"

"Aaaaaaaaaahhh, becek bangettt"

Walau tidak terlampau jelas. Aku bisa pastikan 100 persen itu merupakan suara Jajang dan Rani. Suara itu membikin aku berfantasi seraya teringat video mereka berdua. Apakah persetubuhan Mirna dengan Pak Yanto juga akan demikian? Tak kalah seru? Ah sial. Aku mulai berkhayal-khayal.

"Bagaimana Pak? Kedengeran?"

"Denger"

"Mantap!"

"Bisa direkam?"

"Kan cuman suara, pak"

"Waktu itu kamu???"

"Dari Pak Jajang langsung..."

"Ohhh iyaaa, lupa"

=Y=​

Malam Hari Pukul 19.30

Aku: Apa jawabannya?
Wawan: Pak Yanto mau, tapi siapa yang mau ongkosin?
Aku: aduh, gak punya duit dia?
Wawan: katanya bos, ya dia minta diongkosin ke Jakarta.
Aku: duh aduh-aduh, ya sudah, bilang ke dia. Pakai uang dia dulu, nanti diganti sampai di Jakarta
Wawan: siap Pak.
Aku: tapi dia beneran mau?
Wawan: bener Pak. Dia lagi butuh duit juga. Bokek di kampung.
Aku: hhhmmm...
Wawan: dia nanyain nih Pak, nanti ketemuannya di mana? Di kantor kita?
Aku: bukan
Wawan: Lah? Di mana? Bosnya siapa sih? Kantornya bukan perusahaan kita?
Aku: bukan, ada deh, bilang aja dia disuruh datang ke alamat ini Jalan Raya XXXXXX
Wawan: Cipanas, Puncak pak? Itu lamaran jadi penjaga villa apa tukang sewa villa? Hahahahahahah
Aku: hahahaha kamu bisa aja. Ya saya mana tahu. Suruh aja dia datang ke sini.
Wawan: baik, saya nurut. Yang mau kerja kan Pak Yanto, saya cuman bantuin.
Aku: Jajang dan Rani gimana?
Wawan: belum ada kabar lagi pak, intinya Pak Jajang pulang ke rumahnya hari ini.
Aku: Ooohh....
Wawan: Pak, ini Pak Yanto gak paham caranya ke sana bagaimana.
Aku: aduh, bener-bener deh ini orang.
Wawan: lagian jauh-jauh amat Pak nemuin bosnya. Enggak bisa di Jakarta aja?
Aku: Ya udah bilang ke dia ketemu di Restoran XXX bisa?
Wawan: sebentar....
Aku: kabarin kalau udah dibalas.
Wawan: bisa pak. Kapan?
Aku: kalau Minggu ini, kira-kira hari apa?
Wawan: enghhhh... 2 hari ke depan dia sampai di Jakarta.
Aku: Passss!!!
Wawan: Apanya yang pas pak?
Aku: pas banget saya mau liburan, jadi gak perlu urus Pak Yanto lagi.
Wawan: Dua hari lagi bapakkan masih kerja. Kok libur?
Aku: besoknya udah Sabtu, Wan,... bisa akhir pekan...
Wawan: hahahahahahaha Pak Yanto nanya, bosnya ini siapa sih, saya musti jawab apa?
Aku: jawab aja, nanti ketemu sendiri di Resto.

"Gimana Mas?", tanya Mirna duduk bersamaku di sofa.

"Beres, kamunya yakin dah siap banget?"

"Siap gak siap sih"

"Emmm jawabnya kok begitu, aku batalin aja deh"

"Hehehehe, bingung jawab apa", ujar Mirna canggung.

"Kalau gak yakin, mumpung belum terlanjur, ya aku batalin. Aku ngatur ini semua kan demi kamu. Demi kita juga"

"Boleh ketemu sama Pak Yantonya dulu?"

"Nanti kita ketemu Pak Yanto sebelum berangkat"

"Maksudnya? Kita berangkat bareng Pak Yanto?"

"Iyaaa, dia gak ada yang mau anterin. Rengga juga gak bisa ikut. Tenang kamu gak akan sendirian kok. Hahaha aku temenin kamu sampai di kasur sekalipun"

"Beneran?"

"Bener! Percaya sama aku!", supaya meredam grogi Mirna. Aku berencana akan menemani Mirna saat bersama Pak Yanto baik di luar, maupun di dalam kamar. Tidak seperti sebelumnya hanya mengintip-intip.

"Bisa tenang deh aku, gak bisa gak satu mobil ya Mas?"

"Hhhmmmm kayaknya enggak, aku usahain deh"

"Semoga ya..."

"Kamu rencana bawa baju apa?", tanyaku menerka-nerka.

"Daster kuning yang dulu dibeli Pak Yanto sama lingerie yang dulu pernah kamu beliin, bagaimana?"

"Bagusss"

"Aku tetep pakai hijab?"

"Pakai aja", jawabku tak mengatur-ngatur.

"Berarti sekarang kita tinggal nunggu hari H aja ya?"

"Iya sayang"

"Kamu bakal bilang apa ke Pak yanto?"

"Serahin semua ke aku...", ucapku menenangkan Mirna seraya menonton televisi bersama.

"Pak Yanto beneran tobat, Mas?"

"Aku kurang tahu, apa salahnya? Siapa tahu karena dia punya penyakit jantung"

"Hhhmmmm...."

Malam Hari Pukul 20.00

Aku: Kamu yang anterin, Wan. Gimana? Ada duitnya kok.
Wawan: yang bener nih Pak.
Aku: rekening kamu kirim....
Wawan: ini baru rezeki, mantap!

=Y=
Hari H Pukul 22.00

Suasana malam komplek Villa di Cipanas ini sangat dingin. Aku keluar sambil cari makan malam menelusuri tiap bangunan Villa yang beberapa sudah diisi. Lampu kerlap-kerlip warna-warni yang menghiasi tamannya memberi kesan aku beruntung sekali bisa menyewa villa ini dari uang tabunganku yang melimpah ruah. Aku menengok ke kiri kanan jalan, menyeberang, mendatangi warung bakso sambil memeluk diriku sendiri yang mengenakan jaket. Cukup lelah perjalanan malam ini. Pulang dari kantor, sampai rumah, aku lekas mengemudikan motor, membonceng Mirna hingga di Villa Cipanas ini. Beberapa kali kami berhenti untuk rehat dan menunggu hujan reda seraya minum dan makan cemilan seadanya. Lalu melaju lagi hingga akhirnya sampai juga. Segera berganti pakaian dan istirahat sebentar di bangunan Villa yang memiliki dua lantai, aku bergegas keluar karena perut sudah lapar. Di samping itu, aku menunggu kedatangan Pak Yanto yang ternyata diantar oleh orang lain suruhan Wawan.

Menurut Wawan, Orang tersebut tidak perlu diberi uang lagi, cukup uang tip apabila rela mengeluarkan. Masalahnya yang mengeluarkan uang tip bukan aku, tentunya Pak Yanto yang aku tidak tahu sudah sampai di mana. Sambil menunggu di warung bakso, aku menengok sekitar pepohonan hijau yang gelap disinari cahaya lampu. Beberapa mobil melintas dibuntuti oleh kendaraan bermotor. Kendaraan masih padat. Semuanya hendak liburan, bukan aku saja. Aku tidak perlu meresahkan Pak Yanto tersasar karena Wawan menjamin kedatangannya. Di sisi lain, jalanan masih ramai, besar kemungkinan Pak Yanto berada di dalam perjalanan kemari.

Setelah membayar, aku menenteng satu plastik berwarna merah berisi dua bungkus bakso dengan campuran mie, bihun, tauge, serta saus sambalnya. Aku terburu-buru menyeberang jalan karena perut sudah mengemis-ngemis keroncongan. Melewati portal gapura villa, di pos keamanan, sekuriti terlihat sedang meladeni seseorang yang menanyakan alamat. Orang itu mengenakan jaket tebal dan celana bahan biru kehitaman, dalamannya kaos berkerah warna hijau dongker. Ia menggunakan sepatu hitam, menenteng ransel di belakang.

"Pak Yanto?!"

"Loh ngapain kamu di sini?!", terbengong-bengong Pak Yanto memandangiku. Aku memerhatikan masih ada sisa lebam di kedua pipi keriputnya yang pernah kuhajar.

"Ayo masuk dulu..."

"Enggak, saya mau menemui seseorang. Bukan kamu"

"Sini Pak, ikut dulu, saya tahu kok bapak mau menemui seseorang", ujarku menarik tangan Pak Yanto secara paksa seraya mengumbar senyum ke pihak sekuriti.

"Jangan sok tahu. Tolong lepaskan saya. Mau apalagi kamu?!"

"Ikut dulu sini pak. Sudah jauh-jauh kok malah mau pergi"

"Saya mau menemui seseorang!"

"Iyaa, bapak dapat infonya dari Wawan kan?! Wawan itu saya yang nginfoin, paham?!", gertakku karena dia berusaha membantah.

"Kamu mau apakan saya lagi? Belum cukup menghajar kedua pipi saya ini? Kamu mau bikin saya mampus di sini? Iya?!", Pak Yanto serba panik. Dia merasa dikelabui dan ingin segera pergi.

"Enggak ada saya bilang begitu, ayo ikut dulu. Saya ke sini niatnya bagus loh, mau ajak Pak Yanto liburan. Saya nanti yang ganti duitnya juga"

"Pak Riko mau apa?! Tolong bilang!", serunya ketakutan sambil berhenti mengikuti jejak langkahku karena tangannya kuseret.

"Saya mau Pak Yanto ikut saya. Ini sebentar lagi nyampe", aku menaikki beberapa anak tangga, bangunan villa yang kutempati tepat di atasnya."Sudah jauh-jauh kok malah mau pulang".

Aku memaksa Pak Yanto berjalan terus walau tergopoh-gopoh, hingga masuk ke perkarangan, lalu kugembok pagar. Ia semakin ketakutan dan hendak dibebaskan. Padahal aku tidak bermaksud jahat padanya. Kemudian Pak Yanto pasrah melihat-lihat seisi bangunan Villa, mengikuti jejak dan mauku kemana dia akan diantarkan. Barangkali ia menduga aku sedang akan mempertemukannya dengan bos yang dimaksud dalam percakapan antara Wawan dan Pak Yanto. Dalam bingungnya Pak Yanto kemudian memandangi ruang tamu di mana ia memutuskan duduk di sana. Aku lekas duduk menemani Pak Yanto. Uniknya, bukan menjawab salam selamat datang dariku, ia justru menanyakan lagi bos yang dimaksud akan memberinya pekerjaan. Aku tersenyum.

"Yang akan memberikan pekerjaan ke bapak itu saya. Bapak lupa meski pekerjaan bapak udah jatuh ke tangan Wawan, saya kan bilang kalau Pak Yanto sudah sehat dan pulih, akan saya carikan"

"Tahu dari mana kamu saya sudah sehat?"

"Anak Pak Yanto sendiri", timpalku.

"Wuuhhh lain kali harus aku sembunyikan ponsel kalau di rumah. Pekerjaan apa yang mau Pak Riko berikan ke saya?", tanya Pak Yanto dengan muka masam. Ia tidak seperti yang aku kenal. "Tolong segera dijawab, jangan bertele-tele"

"Sabar Pak Yanto, saya ajak Pak yanto ke sini bukan sekedar kasih tahu soal pekerjaan, tapi pengen ajak Pak Yanto liburan"

"Setelah melakukan semua ini kepadaku, kamu mau ajak aku liburan?!", Pak Yanto kesal. Ia menunjuk kedua pipinya.

"Tenang dulu Pak Yanto, tenang..."

"Mana saya bisa tenang, saya merasa ditipu"

Aku mendadak murka dengan Pak Yanto karena ia menjadi banyak omong
"Bisa diam Pak Yanto?! Atau masalah dulu saya ungkit lagi?! Bagaimana?! Bisa tenang?!"

"Iyaaaa... apa sebetulnya mau Pak Riko? Belum cukup?! Belum selesai masalah kita?!"

"Belum"

"Apalagi masalahnya? Apa perlu saya dipenjara?"

"Tenangkan diri dulu Pak, biarkan saya cerita"

Di hadapan pak Yanto aku ceritakan duduk perkara mengapa ia aku undang kemari. Di sisi lain aku terangkan kepadanya terlebih dahulu peristiwa apa saja yang tidak diketahui olehnya, terutama masalah psikis dan mental Mirna. Aku jelaskan apa yang terjadi dengan Mirna dan pengobatan yang telah dijalani. Tak kusangkal, kuceritakan juga bahwa Mirna masih memendam hasrat disetubuhi oleh Pak Yanto karena itu membekas di benaknya. Mendengar cerita itu, Pak Yanto mengemukakan sepulangnya ke kampung dia merasa benar-benar bersalah. Hanya saja dia tidak terima dengan perbuatanku menghajarnya seolah-olah disalahkan secara sepihak. Padahal semua itu dilakoni melalui rangkaian tahapan yang panjang, mulai dari Mirna yang menjerat dan merayunya kemudian aku yang menginginkan fantasi cukup sampai level oral. Pak Yanto mengaku bersalah sedalam-dalamnya, tetapi dia kurang bisa menerima atas yang telah kulakukan. Pada akhirnya titik temu kami adalah saling memafkan dan berdamai dengan semua yang telah terjadi. Kalau dibiarkan, ya selamanya akan menjadi emosi sesaat. Aku juga benar-benar mengakui menghajar Pak yanto murni pelampiasan emosi yang semustinya tidak perlu dilakukan.

Setelah titik temu itu berhasil didapat, suasana cair. Pak Yanto seperti yang dulu kukenal. Ceplas-ceplos. Kami tertawa terbahak bersama. Pada saat bersamaan itu pula kuutarakan maksud sebenarnya aku mengundangnya kemari. Ia terkaget dan sulit untuk mempercayai.

"Kali ini serius apa main-main? Entar saya dikerjain lagi. Dihajar lagi sama Pak Riko. Hahahahaha"

"Kali ini enggak akan kok Pak, asalkan dengan catatan loh ya"

"Catatan apa? Perlu buku catatan?"

"Hahaha bukan. Maksudnya dengan catatan kali ini jangan sembunyi-sembunyi seperti kemarin, saya gak suka"

"Loh kenapa waktu itu gak langsung bilang?"

"Ya kan waktu itu bapak juga di belakang saya diem-diem ada api sama Mirna"

"Oh ya, yaa bener juga... maaf, maaf"

"Terus bagaimana, bapak menyanggupi?", tanyaku antusias.

"Ya sanggup, harus malah, cinta saya cuman untuk istri saya kok. Sama Ibu cuman murni nafsu aja. Ibu juga semustinya cintanya sama Pak Riko, pun Pak Riko juga demikian"

"Akhirnyaaa... jadi???"

"Yaaa jadi dong hahabaha", kami tergelak bersama. Saat situasi santai itu Mirna keluar menghidangkan cemilan dan secangkir kopi hangat. Ia mengenakan kerudung biru dongker, rok panjang, serta kaos lengan panjang melekat di tubuhnya. Pak Yanto terpukau dengan penampilan baru Mirna. Aku sudah menceritakan di tengah obrolan. Ia memuji Mirna dengan penampilan yang sekarang. Hanya saja Pak yanto menganjurkan agar Mirna dibelikan baju kurung agar tidak terlalu mencolok sepasang payudaranya di tempat umum. Penampilan tertutup Mirna ini dapat mencegah mata-mata nakal memandang sebagaimana Pak Yanto yang telah menjadi korban.

"Eh ada Pak Yanto... gimana kabarnya?"

"Sehat, ibu bagaimana? Uhh udah pakai kerudung yaaa"

"Iya nih Pak", jawab Mirna duduk di samping Pak Yanto. Aku lekas menyahut tertawa.

"Kok kamu duduknya di situ, di sebelahku dong..."

"Oh ya Mas, hehehe", Mirna bergeser.

"Ibu seriusan bener mau?"

"Mau apa?", tanya Mirna pura-pura tidak tahu menatapku dan Pak Yanto. "Ayo diminum dulu dong Pak tehnya"

"Hehehe iyaa, kok teh sih, saya sukanya susu"

"Astaga Pak yanto, biasanya bukan ngopi?"

"Kalau di depan istri Pak Riko, saya sukanya susu"
"Hahahahahaha", kami terbahak bersama.

"Pak Yanto sudah makan?"

"Belum", Pak yanto meminum secangkir teh hangat bikinan Mirna,"saya mau ganti baju dulu. Kamar saya di mana ya? Jangan-jangan saya tidur di luar ya?"

"Gak kok Pak, mana tega sih saya", jawabku beranjak berdiri diikuti Pak Yanto dan Mirna. Kami bertiga menuju sebuah kamar di lantai 2, di sana Pak Yanto akan tidur. Seiring menaiki tangga aku melihat pantat Mirna diraba-raba oleh Pak Yanto. Aku tidak mempermasahkannya selama masih ada di dalam pengawasanku, kendati Mirna mengelak, namun Pak Yanto terus mengejarnya.

"Masss, dipegang-pegang teruss, gapapa?", gerutu Mirna.

"Gapapa, kan aku masih di depan kamu, selama kamu gak terselubung, jujur, semuanya udah aku atur. Aku udah ngomong ke Pak Yanto kok"

"Tuh bener kan? Hehehe"

"Aaaaiiihhh", Mirna pasrah tangan Pak Yanto meraba bongkahan bokongnya. Mereka bersandingan berjalan sampai di depan kamar Pak Yanto.

"Kamu temenin Pak Yanto dulu ya, bantuin dia taruh baju-bajunya"

"Kamu mau ke mana?"

"Aku mau ngecek pintu dan jendela udah terkunci apa belum. Nanti aku kan ke sini lagi"

"Hhhhmmm...", angguk Mirna dirangkul Pak Yanto masuk ke kamar. Aku lekas buru-buru turun ke bawah, memastikan semua pintu dan jendela terkunci agar keamanan villa terjamin. Sebelum menyusul Mirna dan Pak Yanto pula aku mematikan televisi serta memberitahukan ke Wawan bahwa Pak Yanto telah sampai di tempat tujuan. Kemudian aku bergerak cepat ke lantai 2. Aku buka pintu di mana Pak yanto akan menghuni kamar tersebut beberapa hari ke depan. Ketika pintu kudorong, Mirna sudah berbaring di atas tempat tidur. Ia masih mengenakan kerudung dan kaosnya, sedangkan rok dan celana dalamnya sudah terjuntai di lantai. Kedua pahanya mengangkang. Kepala Pak Yanto berada di tengah-tengahnya. Mirna merem-melek. Pak Yanto sedang mengoral kemaluan Mirna.

Lidah pria paruh baya itu tak berhenti menjilati klitoris Mirna. Liurnya bercampur dengan cairan kemaluan istriku yang melumer sedikit demi sedikit.

"Aaaahhhhhhhh"

"Maaf ya pak riko, dari dulu saya udah gak tahan pengen jilatin bagian ini"
"Ssslllerrrrrfhhhh"

"Aaaaaaihhhhhh", desah Mirna menjamah kepala Pak Yanto.

"Iyaa lanjut saja Pak yanto", jawabku menghampiri Mirna. "Gimana sayang, enak?"

"Aaaahhhh enaaakkkk massss"

Balasan Mirna aku jawab dengan ciuman di bibirnya. "Hhhhhmmmmmmffffhhh"

Aku ikut bergabung dengan Pak yanto meraih kesenangan kami sebagai sesama pejantan. Aku copoti kerudung Mirna hingga terjatuh ke sisi tempat tidur. Kemudian aku mempeloroti seluruh bagian bawah tubuhku yang berbalut kain tak bersisa. Benda tumpul milikku yang lantas mengacung keras, Aku arahkan ke mulut Mirna. Ia menganga dan melahapnya. Mirna diserang dari dua penjuru.

"Ooohhh nikmatnyaa mulutmu sayang", lenguhku memandangi Pak Yanto masih sibuk mengoral vagina Mirna. "Bagaimana Pak?"

"Udah banjir banget iniihhh, apakah udah boleh saya entot ini?", Pak Yanto.menurunkan celana panjang beserta celana dalamnya, terjatuh. Ia loloskan kedua kakinya. Kini ada satu batang penis lagi yang mengacung tegak menjulang sedang menganggur. Batang penis berwarna cokelat dengan kepala agak gelap itu sudah tak sabar masuk ke sarang Mirna, setelah sekian lama harus menunggu dengan sabar dan kesal.

"Jangan dulu pak, hehe, udah gak tahan ya?"

"Iyaa, kebelet banget saya"

"Ooorhhhhh", aku masih menikmati kuluman bibir Mirna di batang penisku.

"Kalau saya gesekkin dulu aja gapapa?"

"Silakan Pak Yanto"

Pak Yanto yang sudah setengah telanjang, meletakkan kepala penisnya di liang senggama Mirna. Di antara rambut kemaluan yang saling bertemu, Kuncup kepala penis Pak Yanto seolah-olah ingin menerebos masuk, tetapi masih dicegah oleh tuannya sehingga ia hanya menyundut-nyundut di ambang pintu. Mirna merespon dengan mengulum penisku lebih beringas.

"Hhhhhmmmmppphhh"

"Ohhhhhhhhh, makin ngaceng akuhh"

"Urghhh lihat Pak Riko, memeknya kembang kempis begini, hehe"

"Udah gak sabar pengen dientot itu, hahaha"

"Udah boleh nih?", tanya Pak Yanto sudah kebelet.

"Sebentar....", aku menarik batang penisku dari mulut Mirna. Basahlah sekujurnya. Aku lalu menjauh sejenak dengan kemaluan yang masih tegak. Aku perhatikan ada bangku yang telah tersedia untukku menyaksikan adegan ranjang mirna dan Pak Yanto. Adegan yang dulu sekedar fantasi kini tengah berlangsung. Aku lantas mundur dan terduduk diam. Mirna berbaring bersiap berpacu nafsu dengan Pak Yanto. Pak Yanto pun tergesa-gesa melepas seluruh pakaiannya hingga Mirna turut dibantu melepaskan kaos lengan panjang beserta BH yang membungkus kedua gunung kembar. Mereka berdua telah telanjang bulat. Mirna mengulum beberapa menit penis Pak Yanto dengan maksud agar basah sehingga bisa dengan mudah melakukan penetrasi ke vaginanya.

Aku mengira saat itu mereka akan segera melangsungkan hubungan badan, namun tidak. Pak Yanto turun dari ranjang seraya menarik tangan Mirna untuk mengikutinya. Pak Yanto menarik kursi di sebelahku. Ia duduk di sana dan meminta Mirna segera duduk dipangkuannya.

"Izin ya Pak Riko, hehehe", Pak Yanto memoncongkan batang penisnya yang sudah tidak tahan ingin menikmati vagina istriku.

"Masssss?", tatap Mirna memohon izin seraya mengusap bibir vaginanya.

"Iyaaa, buruan sayang, udah gak tahan itu. Hehhe"

Mirna menaiki Pak Yanto, kedua pahanya terbuka lebar. Celah vaginanya ia perlihatkan agar Pak Yanto bisa mengarahkan moncong penisnya masuk ke dalam. Mirna berusaha membantu. Kedua pahanya ia buka lebih lebar lagi agar batang penis Pak Yanto bisa terdorong masuk secara pelan-pelan. Tiba-tiba tubuh Mirna bergetar disambut suara kemenangan Pak Yanto.

"Aaaaaaaaahhhhhhhh"

"Urrrgghhhhhh akhirnyaaa, bisa ngentot kamu juga"

"Hhhmmmmmmfffffhh", keduanya berpagut bibir sembari Pak Yanto memukul-mukul bokong istriku.

PLAK PLAK PLAK PLAK.

"Urghhhhh....."

"Gimana Pak Yanto?", tanyaku dengan penis bertambah keras menyaksikan istriku sedang disetubuhi Pak Yanto.

"Enaaaaaaakk, jossssss banget Pak Rikooo!"

"Aadddduuuhhh aaaaaaaaihhh", tubuh Mirna melonjak-lonjak. Dari bawah penis pak yanto ekstra bekerja mengenjot tubuh Mirna yang mulai berkeringat. Aku mendekati tubuh Mirna. Aku pegangi kedua buah dada istriku lalu mengarahkannya ke bibir Pak Yanto. Disergap. Mirna meraih kenikmatan luar biasa.

"Pak Yanto itu suka nenen kamu, dikasih dong..."

"Cyoooopppppphhhh"

"Aaaaaaaaauuuuhhhhh"

"Bagaimana sayang?", tanyaku mengamati kepala Mirna mendongak merem-melek saat bibir Pak Yanto bergantian mencicipi kedua puting susunya.

"Aaaaaiiih iyaaa, pak yanto doyan nenen akuuh"
"Enaaaaakkk aaaahhh"

"Urghhhhh....."

"Aaaaaahhhhhhh"

Pak Yanto mencumbu seluruh jenjang leher Mirna. Mereka saling merangkul, mandi keringat bersama. Beberapa menit kemudian, tubuh keduanya mulai bergerak lebih cepat. Pak Yanto mengeluarkan seluruh tenaganya untuk memompa penis yang masih terbenam dalam vagina Mirna. Tubuh istriku pun bergoncang. Dia betul-betul menikmati bercinta dengan Pak Yanto.

"Urghhhhh crottt dalam yaaa?"

"Masss? Gimana? Aaaaaaahhh"

"Gapapa kamu kan lagi gak subur", jawabku dengan penis tak sabar menikmati aksi Mirna selanjutnya.

"Aaaaaaahhhh"

"Gimana boleh crott di dalam?"

"Bolehhhhh aaaaahhhhh"

"Urghhhhh bener bener mantep binimu Pak Rikooo, izin nyemprotiin pejuu"

"Aaaaaaaaiiihhh aku mmm...maaau keluaaarrr"

"Iyaaaaa, aku jugaaa Mirnaaa, urggghhh siap siap kena crotttt peju ya..."

"Aaaaaaaaaaaahhhhhhh iyaaaaaa, aaahhhh Mirnaaa keluaaaarrr aiiiihhhhh"

"Urghhhhhhhhh rasakan inihhhhh urghhhhh"

CRRROOOTTT CROOOOTTT CROOOOTTTT

...........................

Setelah persetubuhan itu, hari-hari di Villa Cipanas kami jalani selayaknya liburan keluarga. Malamnya aku menikmati tubuh Mirna bersama Pak Yanto. Kami mandi bersama dan berulang kali rahim Mirna tersiram benihku dan benih Pak Yanto. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Mirna sedang tidak subur. Liburan itu benar-benar sangat berarti buat aku, Mirna, dan Pak Yanto. Kami mendapatkan sesuai versi dan maunya kami masing-masing.

Sepulang dari Cipanas, kehidupan telah normal kembali. Pak Yanto aku beri modal dagang di kampung. Sementara Mirna bisa hidup normal seutuhnya tidak terbebani secara psikis dan mental. Ia sudah plong. Aku lega. Tidak ada lagi aku merasa berhutang. Wawan sudah mendapat pekerjaan, Mirna lepas beban, Pak Yanto tak lagi ngacengan, Aku? Giliran Aku menjalani pengobatan di psikiater. Ternyata fantasi ini harus diobati tidak bisa dialihkan, dibiarkan, dipendam, karena kalau tidak, jadi bencana lagi.

"Mas, jangan lupa minum obat yaaa", ucap Mirna mengingatkan sebelum berangkat ke pengajian.

"Iya sayang, Aku lebih tenang setelah menjalani pengobatan dan konsultasi.... fantasi itu akhirnya telah hilang selamanya".......

"Alhamdulillah...."

"Coba dari dulu aku berobat......"

TAMAT.































 
Terakhir diubah:
Apa akan tetep ada pov mirna? Cerita ini apa bener bener tamat atau ada lanjutannya, meskipun lanjutannya ga di sini?
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd