Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Dari FANTASI berujung REALISASI

Saya berencana mmbuat grup tele'gram untuk mendengar usulan dan masukan para pembaca. Apakah setuju?

  • Setuju

    Votes: 447 78,1%
  • Tidak

    Votes: 125 21,9%

  • Total voters
    572
Status
Please reply by conversation.
Sudah diurut, udah siap ✋ jari, tinggal tunggu momentum kisah mirna langsung basah... Moga aja ada kabar baik malam ini 😂
 
AKHIRNYA...

"Apa sih Mas, jangan pegang-pegang, aku masih marah sama kamu..."

"Maafin aku sayang, pliiis. Tolong maafin aku"

"Kalau begini pasti karena ada maunya, udah ah. Aku mau tidur", Mirna yang mengenakan daster pemberian Pak Yanto menyingkirkan rabaan tanganku di lengannya. Bahkan Dia tak sudi menghadap ke arahku yang mau disambut manja. Sepanjang dini hari aku membaca percakapan chat Mirna dan Pak Yanto. Awalnya tak ada timbul reaksi apa-apa dalam diri ini. Namun, karena membacanya berulang-ulang, ditambah imajinasi mengawang-ngawang, mendadak birahiku mengemuka. Apalagi pagi hari kerap batang penisku ereksi, semakin keras melebur bersama imajinasi Mirna disetubuhi oleh Pak Yanto.

"Aku lagi kepengen banget sayang"

"Kamu selesaiin sendiri kan bisa, laki-laki bukannya udah mahir?"

"Tetep beda kalau dengan kamu"

"Semalam aku minta, kamu enggak kasih, giliran kamu kepengen, kamu bujuk-bujuk aku"
"Apa itu enggak egois?"

"Iyaa aku egois, maafin aku. Tapi kemarin aku kondisinya betul-betul sedang cape banget"
"Kamu kan lihat sendiri"

"Sekarang aku juga cape. Maaf ya", jawab Mirna memeluk gulingnya dengan erat. Ia bermaksud balas dendam. Pedih. Karena tergolong cukup lama tak menyentuh istriku, aku tidak mau nafsu ini terlampiaskan lewat onani. Aku kukuh mau menyetubuhi Mirna kendati birahi ini terdorong oleh imajinasi yang menyimpang.

"Sebentar aja yuk, sayang", aku coba mencumbu tengkuk Mirna seraya membelai pundak dan punggungnya.

"Enggak, mas, enggak!"

"Tolong sebentar, kebelet banget inih"

"Issshhhh, lepassssiiiin..."
"Inget aku dan kamu itu lagi bermasalah!"

Yang diungkapkan oleh Mirna kuabaikan. Gulingnya kuhempaskan. Aku mendekap tubuh molek Mirna, namun justru dielakkannya, Mirna menjauh, mewanti-wantiku agar tidak berupaya mendekat lagi. Menghela nafas sejenak, aku lalu menurunkan celana dan memperlihatkan penisku yang sungguh sedang benar-benar ereksi alias tegang. Aku elus benda tumpul berukuran 13 cm itu supaya tambah keras serta keluar urat-uratnya. Kemudian aku menyeret tangan Mirna untuk memegang, tetapi Mirna malah menarik kembali. Tak kehilangan asa, tanganku turun mengambil alih operasi. Ia siaga bergerilya menyelinap melalui arah bawah setelah kuyakini Mirna tidur tidak memakai celana dalam.

"Kamu apaaan sih?! Kan aku udah bilang, enggak mau! Jangan dipaksa!"

"Aaayuk sebentaran ajah"

"Enggaak, Aaaaaahhhh.... lepaasssin", dengan tenaga penuh, kuterkam, peluk, dan tanganku melakukan sebuah serangan kilat ke arah selangkangan Mirna. Perlawanan terjadi. Aku terus melancarkan serangan agar Mirna yang berusaha memberontak bisa segera dilumpuhkan. Penisku tegangku berdiri kokoh seolah-olah sang pemberi komando.

"Urrghhh, udah basah ini memek kamu. Yuk bentaran ajah, enggak lama-lama"

"Aaaaahh enggak mau, aku lagi kesel sama kamu, Mas"

"Kesel kenapa? Heh?", tanyaku sembari menciumi pipi Mirna, serta mencolek klitoris vaginanya.

"Lepaaasin, Mass, lepaaasin..."

"Kamu pegang ini nih, punyaku udah tegang banget, memek kamu juga lagian udah basah, yuk"

"Yaudaaah lepaaasiiin dulu, tapiiii...."

"Enggak mau..."

"Tuh kan egoiss", ujar Mirna, lekas ucapan membosankan berulang itu mendesakku segera mengakhiri serangan, menanti lobi yang akan dia utarakan. Kami lalu rebahan bersandingan, sama-sama kemaluan kami tak terbungkus sehelai benang pun. Saling membisu beberapa menit, Mirna lalu mengatakan,

"Kamu lupa? Aku sama kamu ini lagi bermasalah, berantem. Jangan karena nafsu, kamu berbaikkan sebentar, terus udah tuntas nanti kita ribut lagi"

"Aku mengerti, aku malah enggak mau masalah ini berlarut-larut"

"Yang bikin berlarut-larut itu kamu. Untuk apa kamu mata-matain aku? Saat aku curiga kamu dengan Yanti, bahkan sampai saat ini, gak ada aku berani-beraninya intip isi chat kamu. Selebihnya karena ketahuan aja"

"Iya aku mengaku salah, sangat salah. Tetapi kamu juga harus mengakui kalau kamu salah juga, sayang"

"Hhhhmmmm, iya aku memang salah, udah? Puas?"

"Belum"

"Apalagi?"

"Maksud kelakuan kamu ke Pak Yanto itu apa?"

"Kasih pelajaran"

"Ke Pak Yanto?"

"Bukan"

"Terus?"

"Ke Kamu"

"Maksud kamu? Enggak mengerti aku" tanyaku menyimak lebih dekat.

"Aku tuh heran denganmu, Mas. Enggak ada akhirnya kamu punya fantasi aku disetubuhin"

"Kemarin kan kita udah buat kesepakatan"

"Bener, tetapi aku tanya ke kamu, seberapa sering kamu mengutarakan niat pengen aku disetubuhin pria lain, lalu seberapa sering aku menolaknya?"

"Hemmmmmm...." aku membatin ingin menjawab sering.

"Kemudian kamu intip chat aku itu sudah berapa lama? Selama itu kamu tahu aku berbalas chat dengan Pak Yanto, berapa lama kamu mendiamkannya?"
"Apa jangan-jangan kamu sudah berfantasi aku disetubuhin Pak Yanto? Iya?"
"Buktinya kamu enggak ada menegur aku"

⚡DDDDDDUUUUAAAAARRRRRR⚡

"Enggak"

"Bohong, jujur Mas. Ayo jujur...."
"Seharusnya ketika kita buat kesepakatan itu kamu jujur masalah ini"

Kejujuran yang dipinta oleh Mirna seperti buah simalakama bagiku. Dimakan salah, tidak dimakan salah. Perjanjian yang aku sepakati dengan Mirna tempo hari bahwa aku tidak akan berfantasi macam-macam lagi ternyata telah menjeratku secara tidak sadar. AH BODOH! Bisa-bisanya aku menyetujui perjanjian itu, lupa kalau aku sedang menikmati fantasi percakapan chat Mirna dan Pak Yanto. Kendati Mirna juga salah, dalih itu justru digunakan olehnya untuk menjeratku. Ia membalikkan keadaan. Mirna memang salah berniat mengerjai Pak Yanto. Aku lebih salah lagi karena telah melanggar perjanjian yang baru diucap karena ketahuan juga telah manautkan perangkat WA dan mengintip isi percakapannya. Hal itu dianggap Mirna sebuah pembiaran yang terlampau lama. Suami yang benar semustinya ketika istrinya menyimpang lantas ditegur. Aku malah membuang-buang waktu, berfantasi pula. ADUUH GOBLOGH!

Jika sesuai dengan isi pernjanjian yang kami sepekati, maka Mirna berhak menuntut cerai dariku. Pasrah, pasrah.....

"Ayo dijawab, Mas...."

"Iya, aku berfantasi kamu disetubuhi oleh Pak Yanto. Maafkan, maafkan aku untuk ke sekian kali, tapi itulah aku yang sangat-sangat sulit untuk berhenti berfantasi tentang kamu", jawabku tertunduk lesu.

"Huuuffff...."

"Sekarang apapun keputusan kamu, aku rela, Mirna. Anggap itu hukuman buat aku, suami kamu, yang mungkin setelah hukuman itu, aku bukan lagi suami kamu...."

"Aku bingung harus bagaimana lagi"

"Kamu cukup menjalankan apa yang sudah kita sepakati, sayang. Barangkali itu jalan keluar yang bisa membantu kamu lolos dari fantasi aku. Aku akan hornati keputusan kamu", pemegang komando sudah lunglai tak bergairah. Ia lemas, kekokohannya hanyut dalam pikiran.

"Serius kamu siap cerai?"

"Kalau memang itu sudah keputusan bulat kamu, ya mau tidak mau aku harus siap. Konsekuensi dari kebodohanku.

"Hmmmmm...apa yang bisa bikin kamu berubah lebih baik sih Mas?", rengek Mirna.
Aku hanya bisa mematung, tak mempunyai kekuatan membela diri. Pertanyaan Mirna terakhir tidak mampu kujawab. Seandainya fantasi itu nyata secara fisik, mungkin sudah kubunuh dia sehingga tak hilang-muncul. Mentari di luar sinarnya sudah sampai di kamar kami berdua yang muram karena dibelit masalah yang sama tak berkesudahan. Rasanya hidupku jalan di tempat. Di situ lagi, di situ lagi.

Aku yang sedang kacau balau ini kemudian terbengong-bengong dengan tangan Mirna yang mencengkeram batang penisku yang sebenarnya mulai tersungkur lemas. Mirna mengurut urat-urat yang hampir terjunam sehingga mencuat ke permukaan. Penisku kembali kokoh.

"Aku isep ya...."

"Iya sayang, pelen-pelen ajah"

"Hemmpphhhhh....."

Aku tidak peduli apapun yang ada di benak Mirna sekarang. Yang terpenting aku ingin beban nafsu ini segera tuntas, tidak mengganjal lagi.

"Oorrhhhh, enaak, terusss"

"Hhhmmmmppph", sambil bibirnya mengulum naik-turun, tangan Mirna merenyuk lembut kantong kemihku, seolah-olah ia ingin spermaku segera terdorong keluar, bertambahlah memacu naik syahwatku. Kemudian ia berhenti sebentar, menjilati leher penis sebelum akhirnya kembali melahapnya lagi.

"Slerrrrrffhhh... hhhmmmppph"

"Pinter banget kamuh, Orrhhh, enaaak"

Aku tak mau melenggang menjemput nikmat sendiri. Seks Toys yang masih tergeletak di dekat bantal Mirna kuraih. Aku meminta Mirna menjilati seks toys yang ukurannya sedikit lebih besar dari ukuran penisku saat ereksi ini. Mirna menurut. Dalam pegangan tanganku, Mirna merangkak menghampiri. Ia mengemut seks toys tersebut sembari kedua matanya menatapku. Imajinasiku mulai melayang, kubayangkan itu adalah penis Pak Yanto yang sedang dilahap Mirna. Alhasil, Memuncaklah birahiku.

"Hhhhmmmmpppph"

"Gede ya sayang, kontolnya?"

"He'eh", Mirna hanya mengangguk karena sedang mengulum batang seks toys yang kutuntun maju-mundur di bibir Mirna. Tubuhnya kudorong rebahan di tempat tidur tanpa harus mencabut batang seks toys yang sedang diemutnya. Aku singkap bagian bawah daster istriku, memeriksa vaginanya yang ingin kembali kuserang. Tanpa banyak bicara, jari tanganku mendarat di klitoris Mirna, disentuh lembut pelan-pelan agar Mirna bisa menikmati permainan jariku. Pinggangnya kemudian berguncang sedikit karena aku terkadang mempercepat alunan gerak jari yang tengah mengacak-ngacak vagina Mirna.

"Udah basah banget ini memek kamu"

"Aaaaaahhhhh", desah Mirna seketika batang seks toys itu sengaja kucabut.

"Banjir sayang"

"Aaaaaahhh"

Aku memberikan kesempatan Mirna menghela nafas. Kedua pahanya dalam kondisi terbuka usai kupacu ia untuk meraih orgasmenya. Kini aku bersiap untuk aksi selanjutnya.

"Sayang, batang seks toysnya aku masukin vagina kamu ya? Terus kamu isep penis aku"

"Mas, kalau aku sampai beneran berimajinasi disetubuhi bukan dengan kamu, beneran enggak apa-apa? Kamu beneran sudah yakin?"

"Yang penting kamu dapat kepuasan lebih, sayang. Aku mau kamu merasakan itu", jawabku dalam keadaan dikuasai hawa nafsu.

Mirna lalu terdiam. Ia mengamati batang seks toys yang sebentar lagi kumasukkan ke dalam vaginanya. Sementara aku juga sudah bersiap memasukkan batang penisku ke mulut Mirna. Alangkah aku tiba-tiba terkejut. Mirna justru merebut seks toys tersebut dan memintaku fokus saja dengan penisku sendiri. Mirna yang akan mengambil alih memasukkan batang seks toys ke area vaginanya sendiri. Aku bisa konsenterasi dengan penisku yang rasanya tak lama lagi memyemburkan sperma.

"Pelen-pelen Mas"

"Iya, kubantu...", ujarku tetap membantu Mirna menuntun ujung batang seks yang menyerupai kepala penis asli.

"Aaaaaaahhhhh....."

"Enaaakk?"

"Lumayan, enggak terasa hangat saja dan kurang keras", jawab Mirna.

"Ooohhhh, becek lagi memek kamu"

"Aaaaahhhh"

"Bantu kocokkin aja sayang", pintaku. Membimbing salah satu tangan Mirna mengocok batang penisku yang sudah tegang maksimal.

CLOOP CLOOOP CLOOOP

"Ohhh enaaak, tangan kamu betul-betul lihai ngocokin kontol aku, terus sayang"

"Aaaaahhh, beneran gak apa mas kalau memek aku dikontolin pria lain?"

"Kalau kamu mau gak apa, oooorghhh"

"Kalau lebih enak dari kamu bagaimana?"

"Enggak masalah, biar memek kamu gak bosen, urghhhh"

"Aaaahhh mas, tolong bantu cepetiin"

"Kamu juga yah"

Mirna memohon kepadaku agar batang seks toys yang menancap di vaginanya digerakkan lebih cepat. Vaginanya siap menyongsong orgasme medua, sebaliknya aku bersiaga memuntahkan lahar sperma karena birahiku mencapai puncak klimaksnya setelah mendengarkan respon dari Mirna yang tampaknya mulai bersedia Vaginanya dicicipi oleh penis laki-laki lain. Fantasiku bermain kembali, lebih gila dari biasanya, berpadu dengan kocokan tangan Mirna yang semakin gila dam cepat, mendorong urat kemaluanku agar spermaku menjalar keluar. Aku pun tak kalah, batang seks toys yang mengangkangi Mirna mulai basah sekujurnya. Mirna megap-megap, orgasme kami sudah di ambang pintu.

"Aaaaaaahhhhh, aku mau keluar, masssss"

"Aku juga sayang"

"Aaaaaaaaahhhhhhhh......"

CROTT CROTTT CROOOTTT CROOOOTT

Spermaku tumpah di badan Mirna yang bergoncang hebat. Kami berdua pun terlentang lemas dalam keadaan membisu kurang lebih setengah jam. Selanjutnya Mirna beranjak dari tempat tidur, keluar menuju kamar mandi. Aku masih mengantuk, namun hati gelisah karena belum menjawab pertanyaan istriku.

Ketika hendak ancang-ancang untuk rebahan lagi, teringat janjiku ke Pak RT. Aku sedang malas sebetulnya, namun aku tak mau melanggar janji kembali ke orang lain pula. Apakah memang diriku ini ditakdirkan ingkar? Ditakdirkan sebagai seseorang yang tak bisa dipegang omongannya? Arrghhh. Aku paksakan diriku yang betul-betul sedang malas, berdiri untuk segera membersihkan diri. Aku telah berjanji mengenalkan Wawan kepada Pak Yanto. Aku mengikuti arah angin berhembus.

=Y=​

"Pagi-pagi Pak Riko sudah menjenguk saya saja, habis olahraga?"

"Enggak juga, kebetulan saya mau kenalin ke Pak Yanto, ini Wawan. Dia yang akan menemani Pak Yanto di sini besok"
"Jadi kalo hari Senin perlu bantu apa-apa, Wawan yang akan membantu bapak"

"Waduwh, Enggak perlu, enggak perlu sampai seperti itu loh"
"Saya masih sanggup sendiri. Seumuran Wawan ini lebih baik cari kerja, bukan malah menunggu kakek tua di sini"

"Sambil menunggu panggilan kerja... Wawan bisa membantu Pak Yanto loh. Ini gratis, RT yang menanggung"

"Enggak usah, enggak usah, urusan pribadi masa pakai uang warga"
"Sebaiknya jangan Pak Riko"
"Saya enggak mau!"

"Hhhmmmmm....", aku menatap muka Wawan yang keruh dan pesimis. Ia kehilangan kepercayaan diri.

"Wan, lebih baik kamu bantu ibukmu di rumah sana, bukan di sini. Supaya pahalamu banyak!"

"Saya hanya menurut perintah Pak RT saja kemari", sahut Wawan.

Kehadiran Wawan mendapat penentangan dari Pak Yanto. Ia merasa benar sanggup melalui perawatan seorang diri. Padahal, tetap perlu ada orang yang menuntunnya ke kamar mandi atau kalau ada resep yang perlu ditebus di luar rumah sakit, mana mungkin minta tolong suster. Lagipula tidak akan merepotkan orang banyak karena tugas Wawan menunggu Pak Yanto akan diberi upah. Alhasil, kini Wawan gagal untuk mendapatkan uang saku. Wajahnya memang tak berkesan murung. Malahan senang akan kembali di rumah, bisa rebahan sambil menanti panggilan kerja daripada menunggu Pak Yanto dengan upah yang sedikit.

"Ibu tidak ikut kemari?", tanya Pak Yanto mungkin tidak mengetahui apa yang terjadi di rumah antara aku dan Mirna, istriku. Sebaliknya aku mengetahui percakapan terselubungnya dengan Mirna belakangan.

"kayaknya nanti menyusul. Aku sudah bilang ke dia mau ke sini", jawabku memerhatikan jam di dinding.

"Hahaha pasti kalian habis tempur semalam"

"Hehehe"

"Kalau tidak ada lagi yang mesti dilakukan, apa saya boleh pulang?"

"Loh, baru datang kamu, sudah mau pulang saja, Wan. Jangan ngambek begitu lah. Hahaha", gurau Pak Yanto.

"Ya saya mau ngapain lagi. Bengong doang saya di sini"

"Nanti kamu tolong ambilkan hasil rontgen saya saja, kamu tanya ke suster, apakah sudah ada hasilnya?"

"Sekarang??"

"Belum, nanti, kalau sudah diberitahu"

"Oooo......"

"Kamu sudah sarapan?", tanyaku.

"Belum, Om"

"Ini kamu sarapan dulu nih, cari di luar sana. Di depan banyak yang jualan"

"Aha, begini dari tadi aturan"

"Jangan jauh-jauh! Takutnya hasil rontgennya sudah keluar"

Wawan lalu keluar dari kamar inap Pak Yanto dengan raut campur aduk, antara kesal dan sumarah. Semua mungkin tidak sesuai dengan perkiraan manis dia. Demikian Aku uring-uringan karena telah menawarkan pekerjaan menunggu Pak Yanto kepadanya, namun yang terjadi justru mengingkari harapan Wawan. Beruntung, Pak Yanto mulanya menolak ditemani Wawan, namun barusan ia malah mencoba mengandalkan pemuda itu mengambilkan hasil rontgen. Wawan keluar kamar inap Pak Yanto dengan langkah mantap, melambat kemudian. Ia sedang menentukan ke arah mana harus berjalan agar tidak tersasar.

"Bagaimana kondisi badan, Pak? Sudah enakan?"

"Sedikit lebih baik dari kemarin. Namun sesak ini rasanya tidak hilang-hilang. Sedikit dicoba masuk ke kamar mandi, masih saja terengah-engah"
"Semoga hasil rontgen nanti bagus"

"Aaamiin. Emmmm... berarti ya jangan terlampau banyak bergerak dulu. Mengapa tidak pakai oksigen saja, Pak?"

"Oh, tidak terima kasih, jadi kebiasaan nanti"
"Kalau kepepet sekali, ya saya tinggal panggil suster", ujar Pak Yanto dari posisi bersandar berupaya duduk normal. Aku membantunya.

"Oh iya ada belnya kan ya"

"Ya, betul. Saya juga udah minta tolong ini agar buru-buru dicabut, tetapi belum boleh", gerutu Pak Yanto memperlihatkan tangannya yang tertusuk jarum infus.

"Sabar dulu Pak, kalau sudah semakin membaik pasti dicabut"
"Enggg...belum ganti pakaian"

"Nanti lagi, kemarin sore sudah dibantu suster"
"sore kemarin itu saya ditawari mau mandi air anget apa dingin, saya jawab air anget. Tetapi ternyata hanya dielap-elap. Hoalah Yang namanya mandi ya badan kena guyur air, bukan dipoles-poles. Manalagi tidak pakai sabun"

"Hahahaha namanya juga sedang dirawat di rumah sakit. Mesti banyak maklum"

Aku berangkat ke rumah sakit kala Mirna sedang mandi. Semenjak peristiwa pagi hari tadi Kami nyaris tidak ada interaksi karena jawaban atas pertanyaannya pula belum kujawab. Setidaknya siap kusongsong apapun keputusan Mirna atas pelanggaran perjanjian. Kalaupun harus berpisah, mengapa tidak mencari pasangan baru. Barangkali bisa mendapatkan yang lebih seksi dan menggairahkan ketimbang Mirna. Yang tentunya berkenan mau mewujudkan fantasi-fantasiku. Terkait pertanyaan Pak Yanto kemana Mirna. Aku mengatakan kepadanya bahwa Mirna akan menyusul. Hal itu juga hanya asal ceplos saja. Lagipula bukankah Mirna pasti akan datang ke sini, melanjutkan misinya yang terbilang ngawur. Masa iya karena aku.

Pak Yanto mencoba rebahan. Ia jenuh hanya dapat beraktivitas monoton. Televisi dihidupkan, menampilkan sebuah tayangan menarik atau tidak, sekedar pemecah sunyi. Ponselnya tak digenggam. Kedua matanya panas. Aku ingin mengajak bicara, namun ia malah memejamkan mata. Aku menduga efek samping obatnya mulai kambuhan. Selagi demikian, aku mencari-cari celana dalam Mirna yang menjadi sasaran birahi Pak Yanto. Aku masuk ke kamar mandi dan melirik ke belakang pintu. Celana dalam itu tak ada. Baru kelihatan saat aku memeriksa tumpukan pakaian kotor milik Pak Yanto yang berada di dekat westafel. Aku sembunyi-sembunyi mencomot ketika Pak Yanto lengah. Ia memejamkan mata, sedangkan aku pura-pura mencari benda yang terjatuh. Setelah berhasil meraihnya, kemudian aku masuk ke kamar mandi untuk mengecek. Sperma Pak Yanto telah membekas celana dalam istriku, tampak benih laki-laki itu mengering dengan sendirinya.

"Pak Riko kalau mau keluar, silakan. Saya mau istirahat sebentar"

"Iya. Pak Yanto silakan. Saya juga mau cari kopi dulu, sekalian nemuin Wawan, takutnya dia kesasar atau malah langsung pulang"

"Terima kasih", jawab Pak Yanto. Masih pagi, ia sudah menguap lebar.

Karena ada isyarat mempersilakan, aku keluar dari kamar inap Pak Yanto. Kedua mata lantas memandang suster-suster atau dokter muda yang mondar-mandir mengurusi atau mengantarkan pasien untuk menjalani pemeriksaan. Pak Yanto kiranya sudah mengalami, tinggal menunggu hasil saja. Terlihat tenang dan tak mencemaskan sesuatu, Pak Yanto masih santai-santai walaupun penyakit yang dideritanya tergolong mematikan.

Aku berjalan menelusuri lorong, berharap bisa berpapasan dengan Wawan. Kami bisa minum menghangatkan badan seraya bertukar cerita. Siapa tahu Wawan bisa bekerja di kantorku, menggantikan Pak Yanto yang besar kemungkinan tak jadi bekerja karena kurang memenuhi alasan/syarat kesehatan.

"Kemana dia ya? Masa pulang", tuturku sudah berada di area depan rumah sakit, mengamati satu demi satu wajah diselingi oleh beberapa kendaraan yang keluar-masuk rumah sakit. Oleh karena hampir tak bertemu, aku memutuskan minum kopi hangat di seberang rumah sakit yang kebetulan terdapat warung kopi. Di sana aku menghabiskan waktu mengobrol dengan beberapa orang yang sejatinya adalah keluarga pasien yang kedapatan menjaga. 30 Menit kemudian Wawan meneleponku.

"Maaf Pak lagi di mana ya?"

"Yang ada saya tanya kamu ke mana?"

"Owh, maaf nih pak saya sedang berada di apotek luar nih, disuruh tebus obat sama Pak Yanto, tapi ternyata obatnya kosong, lantas bagaimana?"

"Kamu bukannya cari makan?"

"Iya, udah balik kamar lagi tadi, terus Pak Yanto nyodorin resep untuk ditebus di luar rumah sakit"

"Kamu telepon saja Pak Yanto"

"Itu masalahnya, sudah saya telepon berulang kali, tetapi tidak diangkat. Tolong bantu ditanyakan ya pak, mohon maaf banget ini, jadi malah saya merepotkan"

"Enggak apa-apa, nanti kalau sudah ada kabar saya telepon kembali. Pantau ponselnya terus ya"

"Siap Pak"

Aku lekas pamit dengan teman-teman mengobrol di warung kopi karena telepon dari Wawan barusan. Aku tidak punya pilihan kecuali menemui Pak Yanto langsung karena dalam perjalanan menuju ke kamarnya Pak Yanto tetap tidak mengangkat teleponnya ketika dihubungi. Aku pun panik, segera mempercepat langkah. Dalam bayangan burukku, Pak Yanto memaksa turun dari ranjang untuk berjalan menuju kamar mandi, lalu ia terjatuh di sana. ADUH AMIT AMIT JANGAN SAMPAI. Aku berdoa sepanjang jalan agar hal itu tidak terjadi. Setibanya di kamar, aku tak menemukan Pak Yanto sedang tiduran di tempat tidurnya. Firasatku bertambah buruk. Batinku mendadak sangat gelisah. Segalanya jadi tertuju ke kamar mandi. Ketika aku akan buru-buru mengeceknya, terdengar suara pria dan wanita berada di sana.

"Ayo pak buruan keluar, bapakkan gak boleh lama-lama di kamar mandi. Katanya pengen ganti baju aja, tetapi malah jadi begini"

"Makanya kamu buru-buru kasih lihat susu kamu dulu dong. Hehe.
"Enggak adil kan saya nunjukkin burung saya, tetapi kamu gak ada nunjukkin sama sekali"

"Enggak mau, enggak!"

"Enggak apa kalau enggak mau nunjukkin yang basah-basah kemarin, tetapi susu kamu saja, gak perlu dibuka semuanya, saya hanya mau lihat BH yang kamu pakai. Hehehe"

"Enggak, aaahh"

"Yauda dipilih, mau saya yang pegang, atau kamu pegang burung saya?"

"Enggak mau dua-duanya"

Momen yang aku nanti-nantikan akhirnya datang juga. Aku lantas memasang telinga lebar-lebar, namun sedikit disayangkan tak mampu melihat Mirna dan Pak Yanto yang sedang berduaan di dalam kamar mandi. Tak apalah. Yang terpenting ini adalah momen mendebarkan yang tidak boleh dilewatkan. AKHIRNYA.......
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd