Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
CHAPTER XIII

TRUE



Juni 2018


Semenjak kelahiran putranya, Aryo, hidup Aldi terasa sempurna. Atau paling tidak harusnya terasa seperti itu. Betapa tidak, ia kini telah dianugrahi seorang putra yang telah ia nantikan sejak lama, terlahir sehat tanpa kekurangan apapun dari seorang istri cantik yang sangat ia cintai. Aldi tak tahu entah bagaimana caranya dalam lubuk hati Aldi, di bawah alam sadarnya, terdapat sesuatu yang terasa mengusik realitanya, namun Aldi tak dapat menentukan hal apa itu. Mungkin sebuah premonisi? Firasat?

Selama delapan bulan terakhir, setiap kali perasaan itu tiba-tiba muncul, Aldi tetap tidak bisa mencari apa yang salah dalam hidupnya. Berkali-kali ia menepis rasa yang aneh itu, berkali-kali pula perasaan itu kembali muncul. Ia hampir yakin bahwa hubungannya dengan orang tuanya tak ada masalah, hubungan dengan kolega kerjanya pun juga begitu. Akhirnya ia berfokus pada pernikahannya. Hampir setiap malam, menjelang tidurnya, Aldi memilah satu-satu lembaran hidupnya bersama Arina. Sebagai suami, ia menyadari ia bukanlah yang paling sempurna—mana ada manusia yang sempurna. Benar ia memiliki banyak kekurangan; permasalahan terbesarnya yang paling baru yang ia hadapi ialah kesulitannya dan Arina untuk memiliki momongan, yang disebabkan tak lain karena Aldi sendiri. Ya, dokter telah mengatakan bahwa spermanya bermasalah. Namun setelah banyak ikhtiar, doa yang begitu gencar, Sang Pencipta sepertinya masih menyayangi dirinya. Terbukti dari lahirnya buah hatinya, Aryo.

Apakah ada masalah dengan Arina? Apakah istrinya memiliki masalah dengan keluarganya? Sebagai anak yatim yang diangkat oleh sebuah keluarga teman ibu kandungnya, hubungan mereka tampaknya baik-baik saja. Memang semenjak Arina beranjak dewasa, melepaskan diri dari rumah untuk merantau dan mengenyam pendidikan tinggi dari beasiswa yang didapatkannya hingga saat ini, hubungan istrinya dengan keluarganya tak lagi sedekat sebelumnya, namun tidak dapat dibilang ada masalah. Masalah dengan rekan-rekan kerja? Istrinya sudah tak bekerja bertahun-tahun sejak menikah dengannya, karena permintaan Aldi—namun tak pernah ada protes dari Arina tentang hal itu selama ini. Apakah Arina marah atau kecewa pada Aldi? Untuk hal apa? Sebagai suami istri, bertukar argumen sangatlah wajar. Aldi merasa tak pernah ada masalah yang tak pernah mereka selesaikan dengan baik sebagai suami dan istri. Arina adalah orang yang sangat ia sayangi, tak ada argumen apapun yang mampu mengubah rasa itu kepada istrinya.

Selama delapan bulan terakhir Aldi, sebelum tidur malamnya, Aldi terkadang merasa kesepian. Istrinya yang baru melahirkan buah hati mereka ia titipkan pada orang tuanya yang begitu bahagia mendapatkan cucu—terlalu bahagia. Namun Aldi sedikit bersyukur, akibat desakan orang tuanya itu, Aldi kini mendapatkan banyak waktu untuk merenung, bahkan fokus terhadap pekerjaannya. Setiap dua minggu sekali ia mengunjungi rumah orang tuanya, melepas rindu dengan istri dan putra yang terpisah darinya.

Apa mungkin Arina menyembunyikan sesuatu dari Aldi? Apakah istrinya tidak lagi mempercayai suaminya hingga ia harus merahasiakan sesuatu? Apabila iya, itu akan menjadi pukulan bagi Aldi. Apabila Arina tak dapat menceritakan apa yang ia inginkan pada Aldi, maka istrinya tak percaya lagi pada Aldi, yang berarti Aldi telah gagal menjadi suami yang dapat dipercayai istrinya. Dan Aldi tak ingin itu terjadi.

Apakah Aldi mengecewakan Arina? Benar mereka hanya bertemu 2 minggu sekali. Dalam sebulan hanya ada 4 hari Aldi dan Arina menghabiskan waktu bersama sebagai sepasang suami istri. Saat bersama, istrinya memang selalu tampak seperti kurang puas dengan keintiman mereka. Aldi memaklumi, karena bagaimanapun istrinya memiliki kebutuhan biologis, tak beda dengan dirinya. Apakah hal itu terjadi sejak jarak mereka sebagai suami istri terpisah atau sejak sebelum itu? Aldi tak yakin dengan jawabannya. Ia merutuk dirinya sendiri karena tak pernah terbesit untuk memperhatikan semacam itu.

Apabila Arina telah merasakan ketidakpuasan itu sejak sebelum long distance marriage mereka saat ini, dan Arina selalu memendam perasaannya, maka permasalahannya akan lebih besar yang akan ia kira. Terutama jika Arina kehilangan nalarnya hingga main gila di belakang Aldi; mengkhianatinya. Aldi tak memungkiri bahwa pikiran buruk itu sempat beberapa kali terbesit dalam benaknya. Dalam benaknya, ratusan kali Aldi menanyakan pertanyaan-pertanyaan konyol yang ia jawab sendiri dalam dalam pertentangan batin.

Akan tetapi Aldi percaya perasaan paranoid yang konyol itu tak berdasar. Dalam beberapa bulan terakhir, meskipun tak ideal, Aldi bersyukur orang tuanya ‘menahan’ istrinya bersama mereka. Berdasarkan rutinitas yang istrinya yang ia pernah dengar dari bapak-ibunya, Arina selama ini menjadi stay home mom yang sangat baik bagi putranya dan berbakti pada mertuanya. Aldi juga senang istrinya mendapatkan hobi baru untuk berolahraga dan mengikuti yoga. Mungkin berkat itu pula tubuh istrinya memang tampak semakin segar sejak setelah melahirkan, meskipun ia berkali-kali merajuk tentang betapa bosannya hidup jauh dari ibukota dan teman-temannya. Dari semua itu, Aldi menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada yang patut dicurigai dari istrinya. Pikiran konyolnya benar-benar tak berdasar.

Aldi menyadari bahwa sudah tak ada alasan lagi baginya untuk tidak mengiyakan permintaan istrinya untuk kembali ke ibukota yang selalu tertunda oleh berbagai alasan. Apalagi dengan tumbuhnya janin baru di rahim Arina—sebuah anugrah yang tak direncanakan—menunjukkan bahwa Arina istri yang setia; mereka sedang dikaruniai beruntungan yang bertubi-tubi. Dengan berada di ibukota, dan di sampingnya, Arina akan mendapatkan pelayanan kehamilan yang lebih baik dan sebagai suami Aldi dapat memberikan dukungan dengan lebih optimal. Aldi berpikir mungkin sudah saatnya. Dan Aldi juga harus membuang jauh-jauh perasaan dan pikiran yang mengusiknya.



Dalam bilik kantornya, Aldi melamun memperhatikan jam dinding yang terasa begitu lama sekali menuju jam kepulangannya. Hari itu tak banyak yang ia kerjakan. Proyek-proyek kliennya sebagian besar berjalan dengan lancar. Sehingga Aldi memiliki banyak waktu sebelum pulang, yang sering ia habiskan untuk melamun, memikirkan rumah tangganya.

Sore itu lamunannya dibuyarkan oleh kedatangan dua orang pria berpakaian rapi khas staf korporat, keluar dari lift di lantai kantor itu. Salah seorang di antara mereka berpostur tinggi besar, dengan potongan rambut cepak pendek dan wajah berjambang tercukur rapi, begitu penuh aura kekuasan. Tampaknya orang penting, batin Aldi. Sedangkan pria kedua yang berjalan di samping pria pertama lebih mengagetkan Aldi karena ia mengenali pria itu. Meskipun tak setinggi pria di sampingnya, Aldi mengenali tubuh tinggi dan tegap, dengan rambut berombak terpangkas rapi, kulit kecoklatan, dan wajah tercukur bersih yang begitu familiar. Meskipun lama tak berjumpa, Aldi yakin pria yang ia lihat itu teman masa kuliahnya yang bernama Bima.

Sontak Aldi berdiri keluar dari area kerjanya untuk menyapa temannya. Akan tetapi belum sempat memanggil, teman dan pria di sebelahnya itu tampak dengan cepat telah memasuki ruangan atasannya yang bernama Roni. Kehadiran Bima memberikan petunjuk bagi Aldi bahwa klien yang tampak penting itu pasti dari perusahaan yang bernama PT. Dharma Harso Argosurya milik pebisnis bernama Wiratmono Harsoyoputra—klien yang menjadi salah satu proyek terpenting yang ditangani oleh Aldi sendiri sejak tahun lalu, yang melibatkan anak perusahaan mereka di pulau Selebes. Perusahaan itu juga menjadi tempat kerja Arina sebelum istrinya itu mengundurkan semenjak pernikahan mereka.

Dari tempat kerjanya, Aldi dapat memperhatikan kondisi di dalam ruangan bosnya yang terbingkai kaca transparan. Meskipun tak terdengar apapun, Aldi dapat melihat diskusi yang tampaknya begitu seru di antara atasannya dan kedua klien itu—bahkan tak jarang mereka tampak terbahak-bahak lepas, saling memukul lengan, begitu santai bagaikan sahabat karib. Aldi tak menyangka bahwa Roni seakrab itu dengan klien penting. Melirik jam dinding yang hampir mendekati waktu absen pulang, Aldi hanya berharap tidak akan ada tugas dadakan, seperti yang banyak Roni delegasikan pada Aldi di tahun sebelumnya. Di tahun itu, Aldi relatif bisa menarik nafas lega dengan berkurangnya dinas luarnya.

Tak lama, ternyata kedua klien bosnya itu tampak berdiri, menandakan diskusi mereka telah selesai. Ketiga pria itu keluar dari ruangan Roni itu kemudian berjalan menuju ke arah Aldi yang berada di seberang ruangan Roni, membuat perhatian Aldi sontak berdiri dan memfokuskan pikirannya.

“Aldi! Ini saya kenalkan klien penting kita yang konsultasi hukumnya kau pegang. Ini Pak Giovanni dan Pak Bima,” kata Roni memperkenalkan kedua kliennya.

“Senang akhirnya bisa bertemu, Pak Aldi. Terima kasih selama ini atas pendampingannya untuk anak perusahaan kami. Berkat Pak Aldi segalanya menjadi lancar. Maaf selama ini belum sempat bertemu dan proyek selalu saya serahkan melalui Pak Roni,” kata pria bernama Giovanni itu sambil menjabat tangan Aldi. Dari dekat, pria itu memang memancarkan aura penuh otoritas. Postur yang begitu tinggi besar, suaranya yang dalam, dan genggaman tangan besarnya yang mantap juga mendukung persona itu.

“Sama-sama, Pak Giovanni. Tidak apa-apa. Saya yang berterima kasih sudah diberi kehormatan untuk memegang proyek sekelas perusahaan bapak,” jawab Aldi tersenyum tulus.

“Panggil saja saya Gio. Saya dengar sudah saling dengar dengan karyawan saya Bima ini ya? Apa benar?” tanya Gio yang dijawab dengan anggukan Aldi.

“Apakabar Aldi? Lama banget ga ketemu makin subur aja lo! Hahaha,” sahut Bima mengulurkan jabatan tangannya. Sebuah cengiran sedari tadi sudah tersungging di wajahnya.

“Waduh, bli! Kabar baik! Lo sendiri apa kabarnya? Makin gila aja badan lo, bli. Ga kayak gue, perutnya doang yang jadi subur, hahaha,” balas Aldi sambil terkekeh, menerima jabat tangan Bima yang mantap.

“Kabar gue oke lah.

“Udah nikah belum nih?”

“Masih sendiri aja, sih, bro.”

“Wah ga mungkin ga ada yang suka sama lo, bli. Pasti banyak lah cewek-cewek yang klepek-klepek sama orang keren kayak lo.”

“Haha! Belum ada yang cocok aja sih, bro. Beda sama lo yang dapet rejeki nomplok, paket lengkap, sempurna luar dalam kayak Arina, hahaha,” komentar Bima terkekeh penuh makna, dengan ekspresi yang sulit ditebak.

“Ah bisa aja lo, bli. Hehehe…,” Aldi sedikit kehilangan kata-kata mendengar komentar Bima tentang istrinya. Aldi bangga memiliki istri yang memang cantik dan alim seperti Arina. Bahkan senang ketika ada yang memuji istrinya. Akan tetapi, entah mengapa, ada sesuatu dari ucapan Bima yang membuat bulu kuduknya berdiri. Luar dalam? Ah, firasat konyol lagi, pasti, batin Aldi mengenyahkan perasaaan anehnya.

“Apa kabar si Arin? Udah ada momongan belum, bro?” tanya Bima dengan nada normal kembali.

“Arina baik. Sekarang lagi di rumah orang tua. Momongan udah satu ni, bli. Lahir akhir tahun lalu,” jawab Aldi tersenyum bangga.

“Mantap! Congrats ya, bro,” balas Bima.

“Wah. Selamat ya Pak Aldi. Dengar-dengar dari Bima ini kalau istrinya mantan pegawai perusahaan kami ya?” sahut Gio.

“Terima kasih, Pak Gio. Iya benar. Istri saya resign tidak lama setelah kami menikah,” jawab Aldi.

“Oh, begitu. Kalau istrinya ingin kembali ke perusahaan kami, langsung hubungi saya saja. Kami masih perlu banyak personel,” tawar Gio.

“Terima kasih atas tawarannya, Pak. Tapi sepertinya istri saya tidak akan kembali bekerja dalam waktu dekat. Fokus ke momongan dulu, hehehe,” jawab Aldi sambil sedikit terkekeh.

“Oh, iya. Bagus itu. Anak memang prioritas, Pak Aldi. Saya doakan semoga momongannya tambah banyak. Karena benar kata orang, banyak anak banyak rejeki. Contohnya saya sendiri. Saya sudah buktikan itu, hahaha,” kata Gio terbahak.

“Memang benar-benar, Al! Contohlah ini, Pak Gio. Sejak beliau ini nambah anak, ga main-main, posisi langsung naik ke direksi, profit melejit, anak perusahaan buka bertambah! Bah! Memang panutan. Kalau bisa malah punya sepuluh anak ya Pak. Hahaha,” komentar Roni sambil terkekeh.

“Hahaha… Pak Roni bisa aja. Tapi memang ga ada salahnya lho punya anak sepuluh bahkan lebih. Banyak di generasi kakek-nenek dan orang tua kita bisa melakukan itu dan buktinya mereka baik-baik saja. Mengapa kita tidak? Apalagi dengan banyak penurunan angka kelahiran bayi saat ini yang mengkhawatirkan. Dengan membuat banyak anak, kita memastikan manusia tidak punah dan dunia ini tetap berjalanan. Hahaha…” jelas Gio ikut tergelak menggelegar.

“Wah kalau boleh tahu putra-putrinya sudah berapa, Pak Gio?” tanya Aldi karena penasaran, mengurungkan niatnya untuk memamerkan kehamilan kedua istrinya.

“Anak saya empat. Yang pertama umur 12. Yang kedua umur 10. Perempuan semua. Yang dua terakhir, laki-laki dan perempuan, baru lahir akhir tahun lalu,” jawab Gio.

“Wah, barengan sama anak saya dong, Pak. Anak saya lahir di bulan Oktober.”

“Wah, pas sekali! Kebetulan anak Pak Gio ini juga lahir di bulan Oktober. Mungkin kapan-kapan kita bisa rayakan ulang tahunnya bersamaan, hahaha,” gelak Roni, entah mengapa menyebabkan Aldi merinding kembali tak jelas.

“Hahaha… Ah, Pak Roni ini bisa aja. Tapi boleh tuh idenya,” kata Gio menyeringai.

“Hehe… Makasih Pak Gio tawarannya,” jawab Aldi, tertawa pelan mendengar candaan atasannya, berusaha menepis rasa yang mengganjal di dalam batinnya.

“Oh, iya. Jadi gini Al,” tukas Roni tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. “Pak Gio ini kan sebenarnya pemegang proyek anak perusahaan yang case-nya kamu pegang. Karena beliau sudah naik ke direksi, jadi proyeknya dilimpahkan ke Pak Bima. Jadi untuk selanjutnya kau kerjasama sama Pak Bima.”

“Siap, Pak,” kata Aldi.

“Mohon bantuannya ya, bro,” kata Bima.

“Siap, bli.”

“Lalu ada tender baru lagi Pak Gio untuk cabang perusahaan baru mereka,” lanjut Roni, yang membuat senyum Aldi memudar. Pria itu benar-benar sedang enggan untuk mendapatkan tambahan tugas tiba-tiba.

“Tapi atas permintaan Pak Gio, saya sendiri yang bakal handle. Kebetulan proyeknya ada di kampung halaman saya,” lanjut Roni, seketika meringankan hati Aldi. “Kemungkinan saya ke sana minggu depan. Jadi kau bakal saya titipi kantor ya.”

“Siap, Pak,” jawab Aldi ringan.

Begitulah percakapan itu berakhir di sore itu hingga melewati jam pulang kerja. Keempat pria itu bersamaan meninggalkan gedung perkantoran itu menuju kendaraan masing-masing.



Malam itu, sebelum tidur Aldi menelpon istrinya menanyakan kabarnya. Tampak dari obrolan melalui video itu, Arina sedang di atas ranjang dalam posisi miring ke kiri, satu payudaranya terekspos, sedang menyusui putra mereka. Tampak wajah istrinya yang sempat menirus, kini kembali berisi. Memasuki bulan ketiga kehamilannya, wajah Arina tampak kembali bercahaya seperti kehamilan pertamanya.

“Arin, kebetulan Mas mau ngomong. Bulan depan mas jemput pulang ya? Maaf tertunda terus. Bulan kemarin mas berubah pikiran karena pertimbangin kamu lagi hamil lagi, mas pikir lebih enak kalau momong Aryo dibantuin Ibu,” kata Aldi.

“Hah? Kok jadi berubah pikiran lagi mas?” tanya Arina sedikit kaget.

“Yaa… Gapapa. Mungkin Mas udah mulai kesepian. Hehehe... Fixed nanti mas cariin nanny buat bantuin momong Aryo. Mas biar juga bisa lebih jagain kamu yang hamil. Kalau jauhan nanti kalau ada apa-apa malah susah. Lagipula lahiran di sini lebih bagus kan. Mas sendiri udah percaya Dokter Satria,” jelas Aldi pada istrinya yang mengangguk-angguk, masih tak begitu antusias.

“Eh? Kenapa Arin? Kok kamu kayaknya ga antusias gitu? Bukannya kamu kemarin-kemarin udah pingin banget balik ke Jakarta?”

“Ya… Seperti kata Mas Aldi sendiri, ada benernya kalau Arin jadi lebih terbantu ngurus Aryo-nya. Sebenernya ya gapapa sih pindahan lagi. Arin juga kangen rumah kita mas. Tapi diundurin ke Agustus boleh nggak?” pinta istri Aldi itu tampak sedikit ragu-ragu menawar kepulangannya.

“Lho kenapa emangnya?”

Arina tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab.

“Ceritanya ada temen kerja Arin dulu tiba-tiba ngasih undangan nikah. Nah, Arin sama temen-temen lain mau dateng resepsinya di luar kota, awal Agustus gitu. Mumpung masih di sini, jadi Arin mau nitip Aryo ke Ibu,” jelas Arina pada Aldi.

“Sebenernya Arina mau bilang agak entaran tapi sekalian sekarang aja kalau gitu Arina minta izin ke Mas Aldi. Boleh ya, Mas?” pinta Arina melanjutkan, sebaik mungkin menampakkan ekspresi istri yang seolah sedang mengidam.

“Hah? Sendirian? Naik apa kesana? Mas anter ya? Kamu lagi hamil gitu,” tanya Aldi khawatir.

“Yee… Kan tadi Arin udah bilang kalau sama temen-temen. Kalau mas ikut anter jadi ga enak dong sama yang lain. Padahal Arin udah ngeiyain mau bareng mereka. Mereka mau jemput pake mobil. Santai mas, mumpung Arin masih trimester dua gini. Arin ga bakalan kelelahan. Lagian ada temen-temen juga yang bantu jagain. Itung-itung jalan-jalan, Mas. Hehehe… Boleh yaaa?”

“Hmmm… Janji ya, hati-hati? Mas gamau kamu sama janin kita kenapa-kenapa.”

“Iya Mas, Arin janji… Jadi boleh yaaa?” timpal Arin tampak mulai antusias.

“Iya, iya. Tapi janji, jangan nakal. Jangan aneh-aneh.”

“Ih! Aneh-aneh apaan juga! Mas ini ngada-ada aja,” tukas Arin sedikit terlalu defensif.

“Yaaa… Siapa tau. Hehehe… Ngomon-ngomong, emangnya siapa sih yang mau nikah?” tanya Aldi penasaran.

“Namanya, Dimas. Teman kerja di perusahaan tempat Arin kerja dulu. Dia dulu jadi satpam. Sekarang jadi supir bosnya. Tapi pasti mas gatau.”

“Oh…” kata Aldi tampak tak terlalu peduli, benar kata Arina, Aldi tak terlalu hafal teman-teman Arina kecuali teman terdekatnya yang bernama Cynthia. “Eh, tadi mas ketemu mantan bos kamu. Datang ke kantor sama si Bima. Inget kan sama temen mas yang namanya Bima?”

“Um… I-iya mas inget. Dulu pas mas lagi kuliah pascasarja sering nongkrong sama dia. Kenapa?”

“Sekarang proyek cabangnya perusahaan itu jadi dipegang sama dia. Jadi mas bakal komunikasinya sama dia buat ngasih konsultasi. Trus tadi sempet ngobrol juga sama bosnya yang namanya Gio.”

Deg. Ekspresi Arina tampak berubah serius. Namun Aldi tak terlalu memperhatikan itu dan melanjutkan ceritanya dengan lebih antusias.

“Kelihatannya Pak Gio masih relatif muda tapi udah sukses banget gitu. Dia tadi cerita-cerita anaknya udah empat. Kalau Mas ga salah nangkep, yang terakir kayaknya kembar cowok cewek dan lahirnya kebetulan di bulan yang sama kayak si Aryo. Mungkin kita perlu banyak anak juga ya Rin biar rejeki kita tambah banyak. Hahaha…” kekeh suaminya menggoda istrinya. Arina tampak kembali fokus pada suaminya.

“Ih mas bisa aja. Ya gapapa mas. Arina terima diberi titipan anak berapa aja… Hehe…”

“Ngomong-ngomong anak, sini mana papa mau lihat anak papa.”

Arina mengarahkan perangkatnya ke arah bayi berusia 8 bulan yang sedari tadi sedang menyusu pada payudaranya. Sambil mulut mungilnya menyedot ASI dari puting ibunya dengan lahap, terlihat gerakan tangan dan kakinya yang aktif. Tubuh bayinya tergolong bertumbuh di atas rata-rata usianya, tampak besar menggemaskan.

“Halo, papa… Aryo kangen papa… Papa kapan ke sini…” kata Arina bagaikan menyuarakan bayi yang belum bisa mengeluarkan kata-kata itu.

“Papa juga kangen sayang… Awal bulan papa ke sana ya…”

“Ditunggu ya pa…”



Satu minggu kemudian, Aldi yang sedang berada di dalam bilik kerjanya kembali dibuyarkan oleh dua orang yang keluar dari pintu lift, mamasuki kantor firmanya. Pasangan yang cukup aneh menurut Aldi. Tampak seorang pria tambun cukup tinggi berjalan masuk menggandeng seorang perempuan yang tampak masih sangat muda—antara masih SMA atau baru saja masuk kuliah, pikir Aldi—tampak sedikit murung. Pria tambun tersebut berpotongan rambut cepak dengan kumis tipis menghiasi wajah bulatnya yang tembem—tampak tak terlalu asing di mata Aldi, namun pria itu tak tahu pernah melihat wajah itu dimana. Keduanya masuk ke ruangan atasannya yang tampaknya sudah menanti kedatangan mereka.

Seperti biasa Aldi memperhatikan gerak-gerik Roni dan kedua pasangan klien tak biasa itu dari kaca transparan ruangan atasannya itu. Percakapan mereka tampaknya tak terlalu lama. Terlihat jelas wajah si perempuan muda berubah 180 derajat dari kemurungan menjadi penuh senyum bahagia. Kemudian ketiganya bersamaan keluar dari ruangan Roni itu, dengan Roni menenteng tas dokumennya.

“Dimas, kau tunggu dulu sebentar di depan lift aku mau bicara sama pegawaiku,” perintah Roni kepada pria tambun itu ketika berada di depan ruangannya. Percakapan itu jelas terdengar oleh Aldi yang memperhatikan Roni berjalan ke arahnya.

“Aldi, saya mau berangkat urus proyek Pak Gio sekarang. Nanti hari Senin saya baru masuk lagi,” kata Roni.

“Siap Pak Roni. Itu siapa Pak Ron kalau boleh tau?” tanya Dimas tak bisa membendung rasa penasaran.

“Oh, itu salah satu pegawainya Pak Gio. Yang perempuan itu… yah, bisa dibilang klien. Urusan pribadi. Saya yang urus sendiri, udah beres.”

“Oh…” balas Aldi mengangguk-angguk.

“Ok. Kau jaga kendang baik-baik ya, Aldi! Amankan jangan sampai ada masalah selama kutinggal, hahaha,” gelak Roni yang tampaknya mempercayakan kantornya kepada pria bernama Aldi itu.

“Siap, Pak Roni! Hati-hati di jalan. Semoga tendernya lancar,” balas Aldi pada Roni yang sudah berjalan ke arah lift.

Aldi memperhatikan ketiga orang itu satu persatu memasuki lift yang telah terbuka. Ketika si pria tambun memutar badannya, Aldi kembali memperhatikan wajah yang dipanggil Roni dengan nama Dimas. Dimas… Pegawai perusahaan Gio… Memori Aldi seketika muncul. DIMAS! Pria itu adalah teman kerja yang mengundang Arina untuk datang ke resepsi pernikahannya—Aldi mengingat percakapannya dengan Arina minggu lalu. Kini Aldi menyadari mengapa wajah pria bernama Dimas itu tak asing. Dulu setiap kali Aldi menjemput istrinya, Dimas menjadi salah satu satpam yang menyambut Aldi di pintu gerbang perusahaan tempat Arina bekerja dulu.

Dunia ini begitu sempit, gumam Aldi.



///



Agustus 2018

“Bapak, Ibu, Arina berangkat dulu ya. Titip Aryo dulu…” pamit Arina pada mertuanya sambil mencium tangan mereka.

“Aryo, yang pinter ya sama eyang. Mama pergi dulu,” lanjut wanita itu menciumi wajah anaknya yang tertawa menerima perlakuan ibunya itu. Arina merasa sedikit bersalah meninggalkan putranya untuk beberapa hari. Tapi dengan cepat Arina menepis rasa itu. Kini Arina telah terbiasa dengan mertuanya yang tak pernah keberatan mengasuh Aryo, bahkan menerima dengan senang hati. Lagipula, Arina perlu menghirup udara segar setelah 9 bulan terkungkung di kota itu tanpa kemana-mana. Jiwa petualangannya kembali tergugah.

“Hati-hati ya nduk… Jangan lupa pompa ASI-nya. ASI kamu masih keluar terus gitu. Nanti bahaya kalau ga dikeluarin. Jangan kuatir Aryo, stok ASI-nya masih banyak di freezer. Berkat ASI kamu yang bener-bener melimpah itu, Ibu jan seneng banget liat Aryo sehat gini,” kata ibu mertua Arina itu tersenyum bahagia.

“Hehe… Iya, siap Ibu. Makasih udah diingetin. Pump-nya udah Arin masukin tas. Arina berangkat dulu…,” pamit Arina yang akhirnya memasuki taksi yang sejak tadi menunggu di depan rumah mertuanya.

Arina berbohong pada ibu mertuanya mengenai pompa ASI-nya. Benda itu tak ada di dalam tasnya. Arina dengan sengaja menyimpannya di dalam kamarnya. Untuk kali ini, Arina tak ingin ingin terganggu dengan perlengkapan bayi. Mengenai ASI-nya yang menumpuk di payudaranya, itu persolahan mudah. Arina tahu akan ada ‘cara alami’ untuk mengurangi tumpukan ASI-nya dan mencegah peradangan payudaranya.

Segera taksi itu meluncur membelah jalanan kota pelajar itu. Tak perlu waktu lama, supir taksi telah sampai mengantarkan Arina menuju bandara. Tersisa waktu 1 jam sebelum keberangkatan, lebih dari cukup untuk tidak tergesa.



Perjalanan udara itu hanya memerlukan waktu kurang dari 1 jam. Di hari pertama di bulan Agustus itu, langit di atas pulau Jawa itu begitu cerah, hampir tak tertutup awan. Tak terasa pesawat yang Arina naiki telah mendarat di ibukota provinsi tertimur pulau Jawa, kota terbesar kedua di negeri itu setelah ibu kota. Akhirnya untuk pertama kali dalam hidupnya Arina menapakkan diri di kota yang dijuluki kota pahlawan itu. Setelah meninggalkan pesawat dan melewati panjangnya lorong-lorong panjang bandara, di area tunggu Arina dapat melihat wajah-wajah familiar tiga orang yang telah menunggunya.

“Kak Ariiiin!!!” seorang gadis berteriak melambaikan tangannya dengan antusias kemudian berlari ke arah Arina. Perempuan muda itu dengan mudah dapat mengenali wanita berhijab itu dari wajahnya yang khas dengan tahi lalat di samping mata kirinya dan postur tubuhnya yang mungil berisi.

“Ireeeene!! Apa kabar kamu sayang?? Lama ga ketemuuu!!” sapa Arina yang tiba-tiba dipeluk oleh gadis bernama Irene itu. Si gadis dapat merasakan tonjolan di perut Arina.

“Baiikk… Kak Arin apa kabar juga?” tanya Irene sambil melepaskan pelukannya, langsung mengarahkan pandangannya ke perut Arina yang mulai tampak membuncit di balik sweater dan rok yang dikenakannya. “Kakak hamil lagi??? Udah berapa bulan???”

“Baik, sayang… Iya ini kakak udah jalan bulan ke-4 mau ke-5 bulan,” jawab Arina sambil mengelus perutnya yang mulai tampak membesar meskipun sudah mengenakan baju yang agak longgar.

“Ka-kalau boleh tau… Si-siapa ayahnya, kak? Pak Aldi?” tanya Irene penasaran setengah berbisik, bagai tak menginginkan orang-orang yang berlalu lalang di area bandara itu mendengarkan.

“Bukan lah. Kan kamu udah tau suami kakak mandul…” jawab Arina sama pelannya seperti Irene.

“Jadi siapa?”

“Belum dikasih tau sama orangnya? Padahal kalian ke sini bareng,” jawab Arina tersenyum, mengarahkan pandangannya ke belakang tubuh Irene. Seorang pria tinggi tegap dengan kulit khas coklat kehitaman dan berambut ikal berjalan mendekat ke arah mereka. Di samping pria itu terdapat pria tambun juga berjalan ke arahnya. Irene ikut menoleh mengikuti pandangan Arina.

“Bang Agam????” seru Irene pada Arina. Mata gadis itu membeliak, tangannya menutup mulutnya agar tidak berteriak. Arina sedikit tertawa dan mengangguk.

“Kemana kabar, sayang?” tanya Agam dari belakang Irene, melewati tubuh gadis itu, dan merengkuh tubuh Arina ke pelukannya. Arina membalas pelukan mesra itu dengan hangat.

“Baik, sayang,” jawab Arina melepas pelukannya dan menatap wajah pria itu dengan berbinar. Ingin sekali ia mencium bibir pria itu pada saat itu juga, namun tak ingin mengundang perhatian orang.

“Mbak Arina, pakabar, mbaaa? Ga kangen aku tah?” sapa pria tambun di samping Agam dengan senyum lebarnya dan logat khasnya.

“Baik mas Dimas… Kangen dong. Mas Dimas sih ga pernah nyamperin aku,” jawab Arina sambil memberikan pelukan singkat pada Dimas.

“Ya saya kan gabisa seenaknya ninggalin kantor kayak bang Agam ini. Bisa-bisa dipecat si bos. Hahaha…” jawab Dimas.

“Ayo kita ke mobil saja. Lebih nyaman di sana. Biar tak terlalu sore juga,” ajak Agam.

“Siap bang! Yok ikut saya,” ajak Dimas menggiring yang lain menuju sebuah SUV berwarna putih. Sebagai yang berasal dari kota itu, Dimas sudah mengatur persewaan kendaraan bagi mereka agar memiliki mobilitas yang mudah.

“Cewek-cewek di belakang ya. Cowok-cowok di depan,” kata Arina tiba-tiba berinisiatif, yang membuat Agam tampak kecewa.

“Eh, kak Arin, yakin? Aku gapapa di depan sama mas Dimas, kak,” tanya Irene.

“Udah gapapa… Kakak mau ngegosip sama kamu aja. Lama ga ketemu. Girls’ time gitu,” jawab Arina dengan senyum manis tersungging.

Tak lama keempatnya sudah memasuki mobil dengan Dimas berada di kursi kemudi, Agam di sampingnya, sedangkan kedua wanita berada di kursi penumpang dengan Arina di belakang Dimas dan Irene di belakang Agam. Tanpa aba-aba Agam meraih tangan Arina dari arah depan agar mendekatinya, dengan sigap tangan kekarnya meraih wajah wanita berjilbab itu dan kemudian memagut bibir merahnya. Meskipun sedikit kaget, Arina tak melawan perbuatan Agam.

“Bang Agam, bang, udah bang. Tahan dulu bang,” sergah Dimas mengingatkan sambil tertawa melihat kelakuan seniornya.

Menuruti permintaan logis Dimas, Agam segera melepaskan pagutannya dan kembali merapikan duduknya. Begitu juga dengan Arina yang tampak tersipu wajahnya, kembali membenahi duduknya dan memastikan penutup kepalanya tak berantakan.

“Dua bulan tak bertemu, sekecup dua kecup, wajarlah,” komentar Agam yang hanya dijawab dengan gelengan kepala Dimas, namun tetap nyengir. Segera pria itu menjalankan SUV itu keluar dari bandara dan memasuki jalan bebas hambatan.

“Kemana sih emangnya kita, Mas Dimas?” tanya Arina penasaran kemana Dimas membawa mereka. Jalanan-jalanan itu begitu tak familiar di matanya. Akan tetapi, dibawah langit cerah bulan Agustus, pemandangan indah melintas di hadapannya. Tampak gunung-gunung menjulang di kejauhan dari kanan dan kiri.

“Lihat aja nanti, mbak Arin. Pasti seneng lah,” jawab Dimas sok misterius.

“Ih, sok misterius deh. Mas Dimas, apa gak dicariin tunanganya? Tiga hari lagi mau akad sama resepsi, bukannya nyiapin acaranya malah jalan-jalan,” balas Arina menggoda pria yang sedang menyetir itu.

“Hehehe… Persiapan sudah beres semua mbak sebulan terakhir. Kebanyakan sudah saya atur dari jauh. Beberapa kali pulang juga, saya handel langsung. Keluarga taunya saya bakalan pulang lusa. Tapi saya minta izin sama pak Gio udah dari hari ini, demi rencana kita mbak. Jadi kita bisa puas-puasin maksimal sampe lusa siang. Saya yo kan juga pengen lepas lajang mbak, hahaha…” jelas Dimas dengan tawa.

“Emangnya habis nikah mau udahan main sama kita-kita gitu?” goda Arina tersenyum manis.

“Yo enggak se mbak Arin… Ga mungkin itu… Kalian tetep prioritas. Hehehe…”

“Ih, kok gitu? Ga kasian apa sama istrinya dianggurin?” kejar Arina tanpa ampun.

“Ya gak gitu juga… Tapi calon istriku ga mau tak ajak pindah. Aku yo gak mau ngelepas kerjaan mbak. Udah enak banget. Yo eman kalau tak lepas. Jadi sementara long distance marriage dulu, mbak, hehe,” jelas Dimas agak lebih serius.

“Uangnya yang enak apa ngentotnya yang enak? Jujur lu, Dimas,” tanya Agam menyela dengan seringai di wajahnya.

“Jelas dua-duanya bang, hehehe. Si bos juga baik banget, ini aja saya dikasih bonus banyak banget buat modal nikah,” jelas Dimas penuh rasa syukur. Sebagai seseorang yang berasal dari keluarga sederhana, ia tidaklah memiliki harta yang berlimpah, pendidikan tinggi, maupun posisi pekerjaan dengan berprospek karir. Maka dari itu apa yang Dimas miliki saat ini terasa bagai hartanya yang paling berharga, pekerjaan dengan gaji yang sangat menjamin, kepercayaan penuh dari bosnya, dan tiga bidadari cantik yang dapat ia ajak bercinta dengan suka rela. Dimas tak ingin kehilangan itu semua.

“Eh, mas Dimas tapi ga bilang apa-apa kan sama bosnya tentang jalan-jalan kita?” tanya Arina.

“Tenang, mbak. Semenjak bang Agam bilang ada rencana mau ngajak mbak Arin ke sini, saya gak bilang siapa-siapa kecuali ke Iren. Lagian Pak Gio, Bang Bima, sama Bang Roni pada sibuk semua. Kalau Mbak Cynthia saya ga begitu ngeh kabarnya. Lama gak main sama Mbak Cyn,” jelas Dimas.

“Hm… Ok,” sahut Arina dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Selama perjalan Arina sesekali memperhatikan gunung yang sedari tadi hanya terlihat dari kejauhan perlahan semakin tampak dekat, pertanda Dimas membawa mereka ke arah dataran yang lebih tinggi.

“Kamu sekarang gimana sayang? Gimana kuliah?” tanya Arina membuka percakapan dengan Irene.

“Kuliah aman, kak. Baru aja selesai semester 4. Semester 5 dan 6 nanti ada tugas magang. Masih belum tau kemana.”

“Tanya Mas Gio atau Mas Bima aja. Mereka pasti bantuin,” saran Arina. Cukup jarang Arina menyebutkan nama pria yang menjadi bapak dari anak pertamanya itu. Terasa cukup janggal.

“Iya, kak.”

“Trus gimana pacar kamu? Masih gajelas?”

“Vino? Dia udah masa lalu, kak. Aku udah move on,” jawab Irene, matanya sesekali melirik ke arah kursi pengemudi. Arina yang memperhatikan pandangan mata dan raut wajah Irene seketika dapat menebak apa yang kira-kira terjadi.

“Hmmm… Ciee… Kayaknya kak Arin ketinggalan berita ya,” komentar Arina menggoda.

“Tapi bagus deh kalau kamu udah ga sama mantan kamu yang ga jelas gitu. Nanti ceritain lengkap ke kakak ya. Ntar aja pas berduaan doang. Hihihi…” lanjut Arina sambil meraih tangan si gadis yang tersenyum dan mengangguk antusias.



Setelah lebih dari tiga jam dalam perjalanan melalui medan yang cukup menantang—tanjakan curam, berkelok, tak jarang diapit lereng terjal di sisi kanan kiri—dan melewati jalanan kecil pedesaan area pegunungan, SUV yang dikendarai Dimas dengan lihai itu akhirnya berkelok dari jalan desa perkebunan, memasuki jalan tanah terjal yang lebih sempit yang dihimpit pepohonan pinus cukup rapat di sisi kanan dan kirinya.

“Mas Dimas, beneran ini mau kemana sih? Ke tengah hutan di atas gunung gini,” tanya Arina sedikit was-was.

“Ini udah mau nyampek. Itu di depan udah keliatan rumahnya,” jawab Dimas santai.

Benar saja, setelah melalui jalan sempit yang tampak lebih terisolir, di ujung jalan yang ternyata itu tampak rumah berwarna putih berukuran standar, bergaya modern, berlantai dua, tampak baru dan begitu kontras dari sekitarnya. Rumah itu memiliki pelataran lapang yang tampak dapat diparkiri beberapa mobil sekaligus. Selain itu tampak berbagai macam tanaman bunga tumbuh mengitari rumah itu, tampaknya sampai ke halaman belakang. Setelah Dimas memarkirkan SUV-nya, satu per satu penumpangnya keluar dari mobil itu.

“Mas Dimas ini rumah siapa?” tanya Arina penasaran.

“Jadi gini, Mbak. Pernah ada kenalan saya yang lagi kepepet butuh uang. Saya ditawarin rumah sama tanah, bener-bener antah berantah gini, tapi harganya murah pol bang. Kelewatan murahnya. Setelah konsul sama bang Agam, akhirnya saya iyain aja permintaan temen saya. Kebetulan saya ada sedikit tabungan lebih, sekalian saya renovasi juga. Rumahnya waktu itu jelek banget gak kerawat. Saya nyuruh orang renovasi pelan-pelan. Karena deket tempat wisata, setelah jadi, saya sewain jadi villa. Hehehe…” jelas Dimas panjang lebar.

“Mantap hasilnya, Dimas,” kata Agam bangga sambil menepuk punggung Dimas.

Dimas mengajak yang lain memasuki rumah itu yang ternyata cukup luas. Terdapat dua kamar atas, 1 kamar bawah, kamar mandi di masing-masing lantai yang telah terpasang pemanas air, ruang tengah yang menjadi satu dengan dapur dan ruang makan dengan pintu dan jendela kaca yang menampakkan taman bagian belakang. Dimas membuka pintu menuju taman belakang itu dan keempat orang itu menuruni tangga kecil menuju taman yang lebih rendah dari pada posisi rumah itu. Taman kecil itu dihiasi rumput hijau yang tumbuh terawat, dibatasi dengan pagar-pagar kayu yang membatasi dengan pepohonan pinus yang tumbuh pada tanah lereng yang melandai secara gradual. Tampak terdapat sebuah meja kayu dan tempat api unggun di tengah taman itu. Di dekatnya, terdapat tiga kursi tidur yang cukup lebar dengan matras berwarna putih—furnitur terakhir yang ditambahkan Dimas beberapa minggu lalu, terinspirasi oleh bungalow milik Roni saat ‘perjalanan dinas’ mereka di bulan Juni lalu. Ketika melihat tiga kursi pantai di resort pribadi milik Roni, Dimas mengerti makna dan guna furnitur tersebut. Maka dari itu Dimas mengikuti langkah seniornya.

Di sebelah kanan mereka, terpisah pepohonan yang tebal cukup jauh namun terlihat jelas, tampak sebuah rumah berbentuk kabin yang nampaknya sebuah villa tetangga yang juga lengkap dengan taman belakang menghadap ke lereng. Begitu pula di arah kiri mereka yang juga terdapat villa dengan bentuk hampir mirip, terpisah beberapa ratus meter. Seperti jalur menuju villa Dimas yang memiliki akses pribadi itu, tampaknya akses menuju villa-villa tersebut hanya dapat dimasuki melalui jalan utama desa terakhir yang mereka lewati.

“Seger banget udaranya…” terdengar Irene menghirup nafas dalam-dalam. Terasa udara pegunungan yang begitu dingin.

“Wow… Bagus banget pemandangannya…” gumam Arina, matanya tertuju pada sebuah pemandangan di balik pemandangan pohon-pohon pinus yang memenuhi halaman belakang.

Sontak ketiga orang lain dapat melihat di kejauhan tampak pemandangan pegunungan dengan hamparan pasir dengan kaldera-kaldera yang mencuat, menguapkan asap panas, begitu menawan di bawah langit sore yang cukup cerah itu.

“Keren banget tempatnya, Mas Dimas,” puji Arina tersenyum ke arah Dimas.

“Hehe… Makasih mbak Arina. Makasih juga, berkat mbak Arina juga saya jadi dipercayai Pak Gio. Gaji saya dinaikin banyak. Jadi bisa punya tabungan lebih,” kata Dimas dengan penuh terima kasih. Arina mengerti apa yang dimaksud Dimas. Pertemuannya dengan Gio lima tahun lalu juga mengubah hidupnya.

“Arina gak ngapa-ngapain, Mas. Itu sepenuhnya rejekinya, Mas Dimas,” balas Arina tersenyum simpul. Tiba-tiba Arina mengingat sesuatu. “Oh iya, mas Dimas, pesenan saya ga lupa kan?”

“Enggak, Mbak. Ada di bagasi mobil,” jawab Dimas. “Mau dikeluarin sekarang ta?”

“Iya. Yuk, mas Dimas. Saya bantuin siapin,” ajak Arina. “Bang Agam sama Irene tunggu di sini aja ya.”

Agam dan Irene yang tampak keheranan hanya mengangguk dan duduk di kursi tidur. Tak lama, terdengar suara-suara Dimas dan Arina, menandakan kembalinya mereka, kali ini diiringi dengan sebuah nyanyian.

Happy birthday, Irene, Agam, happy birthday to you…

Tampak Arina memegang sebuah kue coklat ukuran sedang dengan empat buah lilin berbentuk angka ‘1938’ yang tertancap di atasnya, telah dinyalakan. Angka-angka tersebut menandakan usia Irene yang beranjak 19 tahun di hari kemarin dan Agam yang menginjak 38 tahun tepat sehari sebelumnya lagi. Tepat di tahun itu, usia Irene sama dengan separuh usia Agam, dan sebaliknya, usia Agam adalah dua kali usia Irene. Hari ulang tahun Agam dan Irene jelas mengingatkan Arina pada hari ulang tahun Gio yang jatuh tepat pada hari itu—tiga orang terdekatnya yang memiliki hari ulang berurutan—namun ia menepis fakta itu.

“Met ultah ya, cantiiik… Met ultah, abangku sayang… Semoga panjang umur dan bahagia selalu,” ucap Arina pada Irene dan Agam.

“Makasih kakakkuuu… So sweet…” kata Irene sambil mencium pipi kanan Arina.

“Makasih, sayang,” ucap Agam, mencium pipi kiri Arina.

“Potong kuenya gih,” kata Arina sambil meletakkan kue itu di atas meja kayu taman itu.

“Irene sekalian potongin ya, Bang Agam,” kata Irene tersenyum, yang diiyakan oleh Agam. “Jangan lupa potongan pertamanya dikasihin orang yang spesial. Hihihi…”

Gadis itu melenggang ke arah Dimas, memberikan potongan kue pertamanya pada pria itu. Tak berhenti di situ, Irene menyuapi pria itu sedikit demi sedikit. Melihat itu, Agam mengikuti petunjuk si gadis mungil dan mendekati Arina yang telah tersenyum menanti. Kemudian pria itu menyodorkan potongan kue itu ke arah bibir Arina yang dilahap oleh wanita itu. Tak lama, Dimas dan Arina masing-masing telah menghabiskan potongan kue yang disuapkan pasangan mereka—tampak bibir keduanya belepotan banyak krim coklat.

Melihat itu, kini Agam jelas tak memerlukan petunjuk apapun dari siapapun. Pria itu mengikuti instingnya, mendekatkan bibirnya untuk melumat bibir merah Arina yang dipenuhi krim coklat itu. Meskipun sedikit kaget, Arina jelas tak menolak. Apalagi ketika lidah besar dan kasar Agam menjilat, membersihkan krim coklat di permukaan luar bibirnya. Di sebelah mereka, Irene juga melakukan hal yang sama pada Dimas. Gadis itu menjilati sisa-sisa krim coklat yang belepotan di bibir dan kumis tipis Dimas. Tak lama kedua pasangan itu pun lanjut membelit lidah masing-masing, meraskan campuran aroma nafas, ludah, dan rasa pahit-manis dari kue coklat.

Keempat insan manusia itu pun akhirnya terlarut dalam pagutan mesra dengan pasangan masing-masing. Dengusan nafas, serta suara kecipak bibir dan lidah mereka terdengar semakin mengeras. Nafsu keempatnya pun perlahan semakin meningkat. Secara naluriah, kedua pria menginisiasi langkah berikutnya dengan mulai melucuti pakaian pasangan mereka.



Cukup cekatan Agam dapat menemukan kait dan resleting rok Arina dan mulai membuka pakaian wanita itu dari bawah. Rok longgar itu jatuh dengan mudah melingkari kaki Arina, mengekspos tungkai kaki mulus dan paha wanita itu yang mulai menebal, dan yang jelas selangkangannya yang tertutup celana dalam. Kemudian Agam melolosi sweater wanita itu ke arah atas, menghentikan cumbuan mereka, hingga menampakkan tubuh pendeknya yang berisi, khas wanita hamil—perutnya mulai tampak membuncit, walaupun belum seutuhnya besar; payudaranya tampak berisi penuh, meluap, tertopang bra berukuran 36D. Arina kemudian berinisiatif melucuti penutup kepalanya yang ia simpul dengan sedemikian rupa rapi, lembar demi lembar, hingga rambut hitam legam itu terurai, kini tampak lebih panjang hingga di bawah bahunya. Sementara Arina melucuti kerudungnya, Agam berinisiatif melepaskan kaos polos yang mencetak otot-otot besarnya itu. Kini pria yang telah bertelanjang dada itu merengkuh kembali wajah wanita yang kini hanya mengenakan bra dan celana dalam itu; memagutnya lagi. Dengan lebih cekatan, Agam melepas kait bra Arina itu sehingga meluaplah sepasang payudara montok Arina, tampak tahi lalat menghias indah sebelah puting kirinya. Terakhir, Agam menurunkan kain segitiga di selangkangan Arina penutup terakhir tubuh wanita itu hingga terjatuh melingkar di kaki Arina. Lengkap sudah, tak perlu waktu lama Arina telah dibuat telanjang oleh Agam, tak ada benang yang menutupi tubuhnya, kecuali sepatu pumps dengan hak 2 inci yang masih dikenakan wanita itu.

Di sebelah mereka, pasangan Dimas dan Irene juga melakukan hal yang sama. Bedanya Dimas lebih cepat membuat pasangannya bugil karena pakaian yang si gadis kenakan berukuran lebih kecil dan berjumlah lebih sedikit. Dengan cepat Dimas melucuti cardigan yang digunakan Irene. Di bawahnya, gadis itu hanya mengenakan kaos polos lengan pendek di bawah dan celana jeans pendek. Ketika melucuti kaos si gadis, Dimas terkaget karena si gadis tak mengenakan pakaian dalam. Ketika melucuti celana jeans pendek Irene, Dimas tersenyum lebar ternyata si gadis juga tak mengenakan celana dalam.

“Waduh waduh… Berani juga kamu ya, Ren. Hahaha…” komentar Dimas.

“Habisnya, kirain mau ke pantai lagi kayak terakhir kali kemarin…” kilah Irene sedikit tersipu, mengingat liburannya dengan Dimas dan Roni di pantai, kurang dari dua bulan sebelumnya. “Lagian, kan lebih ga ribet.”

Kini gadis itu hanya mengenakan kacamata di wajahnya, kaos kaki putih setinggi setengah betis, dan sepatu kets dengan warna senada. Selain itu, tubuh belia itu kini bugil, polos tak tertutup apapun. Dimas memperhatikan payudara ranum yang biasanya tersangga bra berukuran 32B itu, sebelum mengarahkan pandangannya turun ke rambut pubis tipis yang seingat Dimas tampaknya mulai tumbuh sedikit lebih lebat dari sebelumnya, masih alami, belum pernah tercukur. Bagus, cakep, moga-moga tambah lebat, batin Dimas. Memang tampaknya tanda-tanda seks sekunder gadis itu tumbuh lebih lambat dari umumnya. Mungkin yang diperlukan si gadis adalah lebih banyak seks untuk agar hormon-hormonnya lebih bekerja lebih optimal. Dimas membuat catatan di dalam kepalanya untuk lebih banyak menggauli si gadis di waktu senggangnya. Masih ada banyak waktu untuk gadis belia itu untuk bertumbuh lagi menjadi wanita dewasa. Bahkan Dimas sempat berpikir mungkin kehamilan dapat mendewasakan tubuh gadis itu lebih cepat. Setelah seks beresiko yang sempat mereka lakukan di pantai itu akibat jadwal suntik KB yang dilewatkan Irene, ternyata si gadis belum ditakdirkan mendapatkan kehamilan. Keberuntungan atau kekecewaan, Dimas tak tahu. Yang jelas semenjak itu, Dimas tak pernah berhenti membayangkan si gadis untuk hamil olehnya. Namun Dimas bersabar, ia yakin hari itu akan datang ketika si gadis siap.

Jengah diperhatikan, Irene berinisiatif melepaskan kaos dan celana jeans selutut yang dikenakan pria itu, satu persatu. Tak lama, tampak tubuh tambunnya dengan dada berambut. Di bawah perut besarnya, Irene berjongkok, menarik ke bawah celana dalam Dimas, mengekspos kejantanan yang sudah setengah keras, berhias rambut jembut lebat yang jarang dicukur oleh pemiliknya. Kini seperti Irene sendiri, pria di hadapannya telah telanjang sempurna, kecuali sepatu kets yang dikenakannya. Irene menatap nanar benda tebal bersunat yang sudah berkali-kali membuatnya pipis nikmat itu. Tanpa aba-aba, si gadis melahap kontol Dimas bulat-bulat, membuat pria itu terkaget namun tak protes. Berkat permainan lidah Irene, tak perlu waktu lama, untuk batang Dimas makin menggemuk di dalam mulut hangat Irene. Desahan nikmat pun tak terbendung dari mulut Dimas.

Di sebelah pasangan itu, tampak Arina juga sudah melucuti celana jeans selutut yang dikenakan Agam. Agar lebih leluasa, pria itu meloloskan celananya dari kakinya, tanpa melucuti sepatu bootsnya. Seperti biasa, pria itu tak mengenakan celana dalam. Namun Arina sudah terbiasa dengan kebiasaan pria itu. Di hadapannya kontol hitam besar itu sudah mulai setengah tegang, mengangguk-angguk, bagai menuntut untuk segera dibuat tegang sempurna. Secara naluriah, sebagai betina Arina menjawab panggilan itu dengan melahap kepala kejantanan berkulup itu, menggerakkan lidahnya melingkari kepala tebal itu dan menjilati lipatan kulup pria itu. Tak lupa lidahnya menyerang ujung lubang kencing Agam dan sesekali menghisapnya, menuai setitik cairan precum yang mulai meleleh. Pandangan Arina tak terlalu fokus, mengarah pada jembut lebat ikal di selangkangan Agam yang disambungkan oleh rambut tipis di perutnya menuju dadanya yang juga berambut ikal. Diperlakukan seperti itu oleh ibu dari jabang bayinya, tak ayal desahan pun lolos dari mulut Agam; dengan cepat kontolnya pun akhirnya menegang dengan sempurna.

Tak lama, formasi blowjob itu bubar ketika Dimas mengajak Agam untuk mengatur dua dari tiga kursi santai agar saling berdempetan, untuk menjadi tempat peraduan kedua pasangan itu. Setelah peraduan mereka siap, Dimas dan Agam menuntun kedua wanita mereka untuk berbaring bersebelahan, saling berdekatan di atas kursi santai itu. Agam berjongkok di hadapan Arina dan membuka kedua tungkai kaki yang masih mengenakan heels itu. Memek basah merekah dengan tahi lalat kecil yang khas di bibir memek kirinya, tampak begitu menggoda. Apalagi dengan jembut yang kembali dibiarkan tumbuh natural tak oleh Arina. Segera Agam melahap rekahan memek yang pernah sekali dilewati bayi itu. Sedang disamping mereka, Dimas pun melakukan hal yang sama pada Irene. Kedua tungkai kaki Irene yang masih berhias kaos kaki dan sepatu itu diregangkan selebar-lebarnya oleh Dimas sebelum ia melahap belahan memek belia itu. Kontan, desahan desahan feminin terdengar saling bersahut-sahutan—awalnya pelan, namun perlahan-lahan semakin keras.

Perlahan tapi pasti kedua wanita yang berbaring sebelahan itu semakin larut dalam birahi. Puting mereka semakin menegang. Cairan pelumas pun mulai membasahi belahan kewanitaan mereka. Arina menolehkan wajahnya ke kiri memandang wajah Irene yang mulai sange berat. Merasa diperhatikan, si gadis menolehkan wajahnya dan memandang wajah cantik khas wanita Sunda milik Arina. Gemas dengan ekspresi Irene, Arina refleks memagut bibir si gadis. Sedikit kaget, tapi tak ada penolakan dari Irene. Gadis itu malah membalas pagutan Arina. Perlahan ciuman itu berubah menjadi pertautan lidah. Arina dapat merasakan aroma mulut Irene yang bercampur dengan sisa-sisa rasa coklat, dan lipgloss-nya. Begitu juga Irene yang dapat merasakan aroma khas mulut Arina dengan sedikit rasa lipstik merah yang dikenakan wanita itu. Keduanya dapat merasakan kelembutan bibir dan lidah masing-masing.

Sebelum terlibat dengan Gio dan kawan-kawan, Arina sebenarnya tak memiliki pengalaman intim bersama perempuan lain. Semenjak bergabungnya Cynthia, sebagai dua perempuan yang mengarungi petualangan seks hampir selalu bersamaan, wajar keduanya perlahan mengalami kedekatan lahir dan batin. Sentuhan-sentuhan intim di antara keduanya jelas tak akan terelakkan. Walaupun bermula canggung namun kelamaan hal itu menjadi hal lumrah. Orientasi seksual Arina masih tergolong heteroseksual, namun pada titik ini ia tak lagi memusingkan untuk melabeli interaksi seksual dengan rekan wanitanya yang lain. Untuk Irene sendiri, meskipun sama seperti Arina, maupun Cynthia, yang belum pernah berpengalaman intim dengan wanita, namun sebagai yang lahir dari generasi yang lebih muda, Irene dapat lebih cepat beradaptasi dengan ranah baru dalam petualangan seksnya yang masih tergolong hijau itu.

Setelah beberapa saat yang cukup lama, akhirnya Irene melepaskan pagutan mereka, kehabisan nafas.

“Huf… Huf… Kak…”

“Iya sayang.”

“Boleh nenen?”

“Hehe… Boleh… Nih…” tawar Arina tersenyum membusungkan payudaranya.

Dengan secepat kilat Irene melahap payudara kiri Arina, yang paling dekat dengan posisinya. Desahan Arina semakin menjadi-jadi. Irene menghisap payudara itu dengan perlahan hingga sebuah cairan tiba-tiba keluar dari ujung putingnya—terasa manis bagi Irene. Berkali-kali Irene menghisap payudara itu dan berkali-kali ASI milik bayi Arina itu ia tenggak. Arina pun tak tinggal diam, wanita itu juga menstimulasi puting Irene hingga si gadis mendesah dalam kegiatan menyusu itu.

Tak memerlukan waktu lama untuk Arina yang diserang payudara dan kewanitaannya untuk kehilangan akalnya. Makin lama desahannya makin keras. Hingga akhirnya tubuhnya menggelinjang. Di bawah sana, tiba-tiba cairan cinta Arina meleleh deras, ditangkap dengan cekatan oleh mulut Agam. Sedikit semprotan kecil keluar dari lubang kencing wanita itu, pertanda squirt-nya.

“Ooohhh… Nyampeee…” desah Arina nikmat. Tubuhnya mengejang-ngejang. Beruntung kakinya masih ditahan oleh Agam.

Di sebelahnya Agam, Dimas yang kalah cepat membuat pasangannya klimaks, akhirnya memutuskan menggunakan jarinya yang sudah sangat teruji keahliannya dalam menggaruk memek. Segera setelah Dimas memasukkan jari tengah dan jari manis tangannya dan menggaruk dinding depan Irene, gadis itu terpaksa melepaskan sedotannya dari payudara Arina dan berfokus pada kenikmatan dahsyat yang akan segera mumbuncah di selangkangannya. Gadis itu menundukkan kepalanya ke arah selangkangannya yang sedang dikulum kelentitnya oleh bibir Dimas dengan dua jari menggaruk, mengait liangnya. Wajahnya begitu sayu hingga tiba-tiba berubah renyah, tanda orgasmenya akhirnya tiba.

“Aaaaahhhh… Memek akuuuh… Aaahhhh…” desah Irene panjang dengan beberapa kedutan di area intimnya, menyebabkan kewanitaannya menyemprotkan cairan nikmatnya pada muka Dimas. Dengan sigap pria itu membungkam bibir kewanitaan Irene dengan bibir mulutnya. Lelehan demi lelehan cairan cinta Irene memenuhi rongga mulut Dimas dan diteguknya khidmat—terasa aroma khas yang begitu segar dan nikmat bagi pria itu.

Terengah, Irene menoleh kembali ke arah Arina. Wanita itu juga terengah sedang mengatur nafasnya. Kedua perempuan itu saling memandang dengan tatapan sayu sebelum kemudian perlahan saling mendekatkan wajah mereka kembali. Bibir kedua perempuan itu pun kembali bertemu. Saling merasakan dengusan nafas masing-masing, saling meresapi kenikmatan pertama yang mereka rasakan di sore itu. Keduanya begitu terhanyut dalam pagutan mesra mereka hingga tak menyadari kedua pria telah mengambil ancang-ancang di selangkangan mereka; kontol-kontol mereka telah menempel dan menggesek bibir memek kedua perempuan itu. Tanpa membuang waktu, kepala batang kejantanan kedua pria dengan mantap membelah liang basah wanita mereka. Akan tetapi, kedua wanita merasa ada sesuatu di luar ekspektasi mereka yang mereka sadari dalam beberapa detik setelah masuknya kepala kontol para pejantan.

Irene yang pertama melepaskan pagutannya dengan Arina begitu ia merasakan sebuah desakan hebat sebuah benda tumpul besar yang meregang pintu liang senggamanya. Dalam sepersekian detik si gadis berpikir ada yang tak biasa dengan kejantanan Dimas, hingga pandangannya akhirnya berfokus pada ujung selangkangannya dan mendapati kontol hitam legam milik Agam telah memulai tautannya dengan memeknya. Di sebelah Irene, Arina yang sama kagetnya mendapati Dimas telah sepenuhnya menanamkan kontol gemuknya di memek wanita itu. Jembut dan perut mereka sudah saling menempel. Tanpa disadari oleh kedua wanita, ternyata kedua pejantan mereka telah bertukar tempat dan secara tiba-tiba memutuskan untuk memulai persenggaman dengan bertukar ‘pasangan’. Fokus Irene kembali pada Agam yang perlahan mendorong masuk kontol besarnya hingga akhirnya ujung gundulnya mendesak mulut rahim Irene, membuat si gadis sedikit memekik. Gadis itu cukup terkaget karena lama tak merasakan kejantanan Agam memasuki relungnya. Tampak masih ada bagian pangkal kejantanan itu yang tak bisa masuk lebih dalam ke memek Irene.

Tak menunggu lama, kedua pria mulai menggerakkan pinggul mereka; awalnya perlahan namun tak secara gradual gerakan mereka semakin cepat pada kecepatan ritmis standar. Bagi para wanita, tak perlu waktu lama pula untuk kewanitaan mereka beradaptasi dengan kontol-kontol pejantan mereka hingga merasakan kenikmatan. Lenguhan-lenguhan mulai keluar kembali dari mulut kedua wanita. Begitu juga dengan dengusan nafas dari kedua pria yang tubuhnya aktif bergerak menggempur pasangan masing-masing.

Mungkin hanya berselang lima menit dari mulainya persenggamaan mereka, tubuh Irene menjadi pertama yang mengejang nikmat. Memek belia milik gadis itu tak kuasa menahan serangan kontol jumbo yang menggempurnya.

“Ah… Dapeeet…” desah nikmat gadis itu mengejang. Namun Agam tak menghentikan gerakan pinggulnya. Jelas saja, ini baru saja permulaan. Agam mendekatan tubuhnya menuju tubuh mungil Irene, menindih gadis itu dan melanjutkan genjotannya dalam posisi standar missionary itu.

Di sebelah mereka, tak lama dari orgasme pertama Irene dalam persenggamaannya, akhirnya Arina juga menuju klimaks pertamanya akibat kontol Dimas.

“Sssshhhhh…. Mas Dimass… Aku keluar… Ah…” desah wanita itu. Tubuhnya menggelinjang. Kakinya mengenakan sepatu hak 2 inci yang mengejang di bahu Dimas yang dengan sigap menahan kedua tungkai kaki Arina dan sejenak menghentikan gerakannya.

Dimas menggulirkan tubuh wanita hamil itu menyamping ke arah kirinya, menghadap pasangan di sebelah mereka. Dimas kemudian menyusupkan tubuhnya di belakang tubuh Arina tanpa melepas pertautan kontolnya dengan memek wanita itu. Dengan mudah kini pria itu menjadi big spoon dalam posisi seks spooning yang akan ia lakukan. Dari belakang pria itu mendekap tubuh Arina, membuat perut tambunnya menempel erat dilekukan punggung bawah si wanita dan dada mendesak area punggung atasnya. Selain itu lengan kirinya ia selipkan di bawah kepala Arina agar wanita itu bisa bersandar nyaman dalam pelukannya. Dengan tangan kanan memegang perut hamil Arina, akhirnya Dimas kembali menggerakkan pinggulnya, membuat kontolnya kembali bergerak dalam memek Arina. Mengingat bentuk kontol tebal Dimas yang agak melengkung ke kanan, posisi itu membuat benda yang begitu keras di dalam relungnya itu semakin terasa dalam jepitan selangkangannya. Si ibu hamil mengapresiasi posisi seks yang terasa nyaman itu dengan desah nikmatnya.

“Mas Dimas… Enak…” desah Arina dengan kepala menoleh ke kanan, memandang sayu wajah pejantannya.

“Iya mbak… Nikmatin aja mbak…” balas Dimas mengangguk, menatap mata ibu hamil yang berusia 7 tahun lebih muda darinya itu, sebelum memagut bibirnya. Keduanya hanyut dalam percintaan mesra itu.

Tak lama berselang, Dimas mengakhiri pagutannya dan tiba-tiba mengangkat lengan kanan Arina, mengekspos ketiak mulus dan bongkahan payudara kanan Arina. Dengan semangat bibir Dimas melahap puting Arina dan menyedotnya dengat kuat. Dengan mudah cairan bernutrisi yang seharusnya menjadi asupan Aryo itu mengucur deras ke dalam mulut Dimas dan diteguk oleh pria itu dengan rakusnya. Inilah alasan mengapa Arina tak menggubris saran mertuanya untuk membawa pompa ASI. Ngapain repot-repot bawa pompa, batin Arina. Dengan ‘metode alami’ ini cairan ASI Arina dapat terkuras dan memberi ruang baru bagi payudaranya untuk memproduksi ASI baru yang lebih segar, yang dapat dinikmati oleh partner bercintanya dalam beberapa hari ke depan.

Di sebelah mereka, tak lama setelah mereka mengubah posisi, Irene sudah mendapatkan orgasme keduanya dan kini akan kembali mendapatkannya lagi akibat kontol Agam. Desahan-desahan menggairahkan tak ada henti-hentinya keluar dari bibirnya. Kedua tungkai kakinya yang masih mengenakan sepatu dan kaos kaki itu bertumpu pada kedua bahu Agam dan tertekuk mendekati tubuhnya akibat himpitan tubuh besar Agam. Lengan kurus si gadis melingkar pada leher kekar pejantannya. Dengan posisi tubuh Irene yang terkunci itu Agam lebih leluasa mengerjai memek si gadis dengan kontolnya dalam posisi missionary bertipe mating press itu. Gadis itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, tanda ledakan nikmat akan datang kembali.

“NGGGHHH… DAPET LAGIIIHHH…” jerit si gadis melengking sebelum matanya bergulir ke atas, menampakkan putihnya saja. Tubuh mungilnya kembali mengejang hebat dibawah himpitan Agam. Kali ini Agam mendiamkan sejenak kontolnya untuk merasakan guyuran cairan cinta si gadis dan remasan otot-otot memek yang menurutnya cukup kuat. Tambah legit saja memek nona ini, batin Agam.

“Mas Dimasss… Tadiiih… Aku perhatiin ada villa di deket siniiih… Ini… kitaahh… kedengeran gaaa? Kelihatan gaaaa? Ssshh…” tanya Arina dengan kesusahan di antara desahan nikmatnya, tiba-tiba teringat akan hal itu. Guna menjawab pertanyaan Arina, Dimas terpaksa mengurangi kecepatan genjotannya.

“Agak jauh sih, Mbak… Keliatan kayaknya, tapi mungkin ga jelas. Trus… kalau mbak teriak ya pasti kedengeran. Tapi gapapa mbak. Villa-villa disini memang sering dipake kenthu. Pasti yo kelihatan dan kedengeran. Area ini memang jauh dari pemukiman warga desa. Jadi aman. Gas aja wes. Gausah ditahan suaranya. Gausah malu,” jelas Dimas sama terengahnya, lalu kembali meningkatkan tempo tusukannya.

Mendengar penjelasan Dimas, Arina sedikit lebih tenang. Memang bukan pertama kalinya mereka melakukan outdoor sex. Pada titik ini tak seharusnya Arina terlalu peduli hal-hal sepele, apalagi mereka dalam area milik pribadi, namun Arina tak ingin juga mengundang masalah, mengingat sekalinya terlarut dalam nafsu, akan susah bagi mereka untuk membendungnya. Untunglah area villa di pegunungan itu dapat mengakomodasi perbuatan mereka, dan menurut Dimas, sepertinya banyak kegiatan-kegiatan asusila yang lain yang juga sering terjadi di area itu.

Akibat tusukan Dimas yang makin lama makin kencang, ditambah lagi jemari pria itu yang menstimulasi putingnya, Arina merasakan ledakan orgasmenya sudah sangat dekat. Desahan-desahan nikmatnya terdengar semakin kencang, lebih rileks akibat penjelasan Dimas. Pria yang dapat membaca kali itu kemudian tiba-tiba mengganti tusukan cepatnya menjadi tusukan panjang dan dalam selama beberapa kali hingga akhirnya ledakan kenikmatan itu membuncah dalam sistem tubuh Arina.

“OOOOOOHHHHH… ENAAKKKHHH… AAHHHH!!!” teriak Arina sekencang-kencangnya.

Suara melengking Arina menggaung, hampir pasti terdengar melintasi bukit-bukit di area pegunungan itu. Tubuh hamilnya mengejang hebat dalam pelukan kuat Dimas yang memutuskan menghentikan gerakan pinggulnya. Melalui kontolnya pria itu dapat merasakan guyuran cairan cinta Arina yang begitu hangat, membasahi selangkangan mereka. Dimas menyadari selama ini, bila dibanding kedua perempuannya yang lain, Arina memiliki kemampuan squirt yang paling lemah. Cairan squirt wanita itu memancar, namun tidak sekeras Cynthia yang memang tampaknya otot saluran kencingnya cukup longgar, atau bahkan Irene. Hal itu membuat si pria penasaran mencoba sesuatu.

“Mbak, saya mau coba sesuatu,” kata Dimas sambil tiba-tiba mencabut kontolnya dari memek Arina.

Dimas menopangkan tungkai kanan Arina pada paha kanannya sendiri sebelum ia memasukkan jemari gemuknya ke memek Arina. Jari tengah dan jari manisnya itu dengan cekatan mengait dan menggaruk dinding depan memek Arina yang masih sensitif hingga membuat wanita hamil itu menggeliat belingsatan.

“Mas Dimasss… Aku mau diapain… Masih sensitiiifffhhh…”

“Mbak lemes aja. Jangan ditahan ya kalau kerasa mau pipis. Lepasin aja… Saya coba latih memeknya biar ngecritnya tambah kenceng,” ujar Dimas santai sambil sekuat tenaga mengerahkan teknik ‘garuk memek’-nya yang ia banggakan itu. Dan kondisi biologis Arina saat itu tampaknya mempermudah usaha Dimas tersebut. Mengingat kandung kemih Arina yang memang cukup penuh, akibat urin menumpuk semenjak di perjalanan dan belum dikeluarkan, dan dengan rahim yang mulai membesar dan mendesak organ kemihnya, usaha Dimas dengan cepat membuahkan hasil.

“AAHHHH!!! DAPET LAGIIIIHHH…” teriak Arina, tubuhnya kelojotan. Sebuah semburan air mengucur di telapak tangan Dimas yang tak henti mengobel memek becek itu. Suara kecipak terdengar makin keras.

Walaupun lebih deras dari biasanya, Dimas masih tak puas melihat squirt Arina yang masih mengucur, belum menyemprot kuat. Dengan memanfaatkan momen orgasme Arina itu, Dimas melepaskan kait jemarinya lalu dengan cekatan memasukkan kontol gemuknya yang masih tegang itu kembali ke dalam memek Arina seraya menopang paha kanan wanita itu agar selangkangannya terbuka. Segera pria itu menggempur lubang wanita hamil itu dengan tusukan berkecepatan tinggi. Seketika ia merasakan ada sedikit tekanan atau remasan di memek Arina, dengan sigap Dimas mencabut kontolnya dengan cepat. Benar saja, kehilangan benda padat yang menyumpal lubang saluran kencingnya, kemih Arina refleks berkontraksi dan menyemprotkan isinya, kini tampak menyembur lebih jauh. Masih tak puas, Dimas kembali menghunjamkan kontolnya dengan kuat dan menggempur kembali lubang Arina dengan tempo cepat, kini sedikit lebih lama, sebelum kembali mencabutnya dengan tiba-tiba.

“AAAHHHH…. MAS DIMAS… AMPUN…” teriak Arina tampak kelelahan.

Akhirnya sebuah semprotan kuat memancar dari lubang kencing Arina, menyemprot jauh ke samping hingga cairan pipis itu memercik tubuh pasangan Agam dan Irene. Melihat hal itu, sebuah senyum lebar merekah di wajah Dimas yang puas berhasil mencapai tujuannya. Kini saatnya bagi pria itu untuk melepas benihnya. Melirik ke sebelah, Dimas melihat Agam dan Irene telah mengubah posisi bercinta mereka. Kini Agam menggempur si gadis mungil dengan gaya anjing dengan tusukan-tusukan kuat. Si gadis yang tubuhya direngkuh dari belakang oleh Agam tampak kualahan, melenguh-lenguh manja. Keringat deras menghiasi tubuh keduanya yang saling menempel itu. Hingga titik itu, si gadis sudah klimaks lima kali. Moga-moga ga pingsan tu cewek, batin Dimas. Melihat pasangan sebelahnya sangat larut dalam birahi, Dimas mengurungkan niatnya untuk mengajak Agam bertukar pasangan dan memutuskan untuk melepaskan benihnya di memek Arina.

Sekali lagi, kontol gemuk Dimas amblas ke dalam relung Arina, disambut kembali dengan desahan wanita itu. Segera Dimas memacu kontolnya dalam kecepatan tinggi. Tangan kanannya bergerak bergantian antara menggenggam perut hamil si wanita dan meremas payudaranya. Jemari tangan kirinya menggegam erat salah satu jemari Arina. Wajahnya yang bulat berisi memandang wajah Arina yang begitu sayu.

“Mbak… Saya mau keluar…”

“Iyah… Pejuhin memek Arin, Mas Dimas…” jawab Arina pasrah menerima apapun yang dilakukan pejantannya. Tak kuasa, Dimas memagut mesra bibir betinanya.

Dalam gempuran Dimas, tubuh Arina makin berguncang. Arina dapat merasakan memeknya yang masih sensitif berkat pipis nikmatnya yang terakhir, tampaknya akan meledak kembali dalam orgasme. Dan benar saja, sekali lagi tubuhnya bergetar nikmat dalam rengkuhan, pelukan Dimas. Desahan wanita itu terbungkam oleh tautan lidahnya dan Dimas. Ibu beranak satu itu mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk berkonsentrasi pada kedutan memeknya, berusaha membuat kejantanan yang bersarang di dalamnya agar segera mengeluarkan benih suburnya. Kontol Dimas yang merasakan pijatan lembut liang peranakan yang pernah dilalui bayi itu akhirnya menyerah. Dengan sekali dorongan dalam, Dimas memastikan kepala kontolnya mendesak, menempel erat dengan mulut rahim Arina yang sedang tersumbat rapat, berisi janin berusia lima dibaliknya. Otot-otot prostat dan kejantanan Dimas berkedut hebat sehingga bermili-mili cairan kesuburan berwarna putih dan kental itu berhambur keluar melalui lubang kencing Dimas, memenuhi ruangan di depan rahim Arina.

Sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali… Kedutan-kedutan panas kontol Dimas bagaikan tak pernah berakhir bagi Arina. Mengingat pintu rahimnya yang sedang tertutup, peju berlimpah milik Dimas dengan cepat memenuhi liang peranakan yang masih sempit itu, tak ada jalan lain lagi untuk benih subur Dimas selain meluber keluar dari memek Arina. Kontan cairan putih kental dengan cepat meluber keluar dari sela pertautan kelamin Dimas dan Arina.

Arina merasakan kepalanya begitu ringan, tulang-tulangnya terasa terlepas, relung terintimnya begitu hangat dan nyaman—semua akibat perbuatan Dimas. Pria itu perlahan melepas tautan bibir mereka, terengah, menatap mata Arina yang sayu menikmati gelombang orgasmenya yang perlahan turun. Keringat menetes deras dari wajah Dimas menuju wajah Arina yang sama basahnya oleh keringatnya sendiri. Tak hanya wajah, tampak tubuh keduanya berbalut keringat deras dari ujung kepala hingga ujung kaki di bawah cahaya sore yang mulai meredup. Dalam kedekatan mereka, keduanya dapat merasakan degup jantung masing-masing yang terasa begitu kencang. Melihat wajah betinanya yang begitu damai, syahdu, dan tampak renyah itu, Dimas tak kuasa melumat kembali bibir ranum Arina yang menyambut dengan mesra. Kedua insan bereselisih usia 7 tahun itu larut dalam indahnya percintaan mereka, sesuatu yang jarang terjadi.

Dimas merupakan partner selingkuh kedua yang dimiliki Arina setelah Bima. Dari pertemanannya dengan Bima, pria itu menjadi pria kedua yang wanita itu izinkan untuk menggauli tubuhnya yang masih lajang di kala itu. Percintaan mereka semenjak itu hanya sebatas nafsu. Dengan bertambahnya anggota perempuan dalam perkumpulan mereka, interaksi seksual mereka pun menjadi berkurang. Arina menyadari Dimas lebih banyak menggauli Cynthia dan Irene dalam setahun terakhir. Dengan bertemunya mereka kembali di hari itu setelah tak bersua lebih dari 9 bulan, Arina menyadari bahwa ia selama ini tak banyak mengapresiasi betapa nikmatnya percintaan dengan pria tambun yang keperkasaannya tak kalah dengan pria-pria yang lain itu. Dan dalam momen itu, di sela-sela cumbuan mesra Dimas, akhirnya Arina menyadarinya. Rasa sayang di dalam dadanya pada momen itu begitu membuncah.

Hati-hati, tahan diri, Arina, jangan semuanya diembat, bisik secuil suara hati wanita itu. Benar juga. Arina tiba-tiba harus menahan dirinya. Sebagai wanita yang sudah bersuami, Arina telah melakukan sederet panjang hal-hal di luar norma sosial: mengkhianati kesetiaan suaminya, berselingkuh dengan lima pria dewasa, mengizinkan salah satu dari mereka menanamkan benih dalam rahimnya yang kini telah ia tuai hasilnya, jatuh hati kepada bapak kandung dari buah hatinya meskipun berkali-kali menahan diri agar tak memperumit keadaan, kini mengandung anak kedua hasil benih pria yang berbeda dan menyebabkan perasaan cinta baru muncul kembali tanpa bisa ditahannya. Parahnya, kini, dalam dekapan Dimas, hatinya hampir luruh juga demi pria itu. Arina tak paham mengapa hatinya bisa membagi rasa cinta yang sama besarnya pada tiga pria—suaminya, Gio, dan Agam—dan masih sempat menumbuhkan tunas cinta baru bagi pria keempat. Arina harus menahan dirinya. Arina mengingatkan dirinya untuk tak terlalu serakah. Selain itu Arina juga dapat mendeteksi adanya perasaan-perasaan terpendam tak kasat mata antara Irene dan Dimas, yang saling bertimbal balik. Ia tak ingin keadaan lebih rumit dari yang sudah ada.

Lamunan Arina dibuyarkan dengan tubuh Dimas yang perlahan menjauh, melepaskan pertautan bibir dan kelamin mereka, meninggalkan tubuh hamil Arina tergeletak begitu saja bagai boneka seks rusak. Dengan lepasnya kontol Dimas, lebih banyak benih kental pria itu meluber keluar liang peranakannya. Wanita itu terlentang lemas mengatur nafasnya, memperhatikan tubuh tambun bersimbah keringat milik pria yang baru saja mempecundanginya lima kali itu melenggang memasuki rumah. Arina mengalihkan pandangannya ke arah kiri dan mendapati tumpukan dua tubuh bersimbah keringat seperti dirinya; kontras, hitam dan putih.

Kini tubuh mungil Irene dalam posisi tengkurap, tergencet tubuh besar Agam yang tanpa lelah menaklukkan tubuh mungil itu berkali-kali. Kedua lengan Agam menaungi tubuh mungil itu dari sisi kanan dan kiri. Jemari besarnya menggenggam erat jemari mungil di bawahnya. Pinggul kekarnya berulang kali naik turun di atas pantat Irene, menandakan kontol perkasanya sedang bergerak keluar masuk, dengan mantap menggedor pintu rahim yang belum pernah ditumbuhi janin di dalamnya. Melihat saja, Arina seolah dapat mengerti apa yang dirasakan gadis itu: rasa penuh, rasa ngilu, rasa nikmat yang tiada tara bercampur menjadi satu. Sesekali bibir tebal Agam memburu bibir gadis dari arah samping untuk mencuri kecupan. Namun kepala si gadis yang tak berhenti menggeleng-geleng, menahan kenikmatan tiada tara itu, membuat usaha Agam tak selalu berhasil. Di balik kacamata yang membikai wajah imutnya, pandangannya sudah tampak tak fokus. Bibir si gadis meracau tak jelas dengan lidah kadang menjulur, terengah.

“Vhangh.. Aghammvvh… Amfu-u-unnngghhh… Gahhkkhuaathhh…” tak jelas sudah apa yang dikatakan si gadis.

“Coba empot yang lebih kuat lagi lu punya memek…” jawab Agam tanpa kasihan namun terengah, ia dapat merasakan puncaknya telah dekat.

“HNGGHHHHH… NHGGGHHHHH… HUAAAAHH…” rengek si gadis tiba-tiba dengan suara keras.

Tubuh mungil Irene kembali bergetar, mengejang-ngejang tak karuan dalam himpitan tubuh Agam. Untuk yang ke tujuh kalinya di sore itu, Irene kembali dipaksa, dipecundangi oleh Agam, untuk menggapai orgasmenya kembali—delapan kali apabila menghitung satu orgasme yang diberikan Dimas saat foreplay. Kelopak matanya yang hampir menutup itu hanya menampakkan bagian putih dari bola matanya. Untuk kesekian kalinya, otot-otot kewanitaan si gadis berusaha keras memeras kejantanan besar dan keras yang tak pernah mengendur itu agar segera mengeluarkan tembakan kemenangannya atas pertempuran yang jelas-jelas tak berimbang itu. Tujuh kali berusaha, akhirnya memek Irene berhasil memaksa kontol Agam menuju ambang batas.

“AAARRRGGHH… NGEMPOT!!!” teriak Agam. Ia desakkan kepala kontolnya sekuat tenaga pada dinding rahim Irene. Hingga akhirnya dalam beberapa kali semprotan kuat, benih subur yang telah berhasil tertanam di rahim Arina itu kini meledak kuat memenuhi rahim dan liang peranakan sempit Irene. Beberapa lelehan sperma tampak keluar dari celah sempit pertautan kelamin hitam Agam dan milik Irene yang tampak kemerahan.

Selang beberapa menit, hanya deru nafas kedua insan terpaut 19 tahun yang terdengar di taman kecil itu, sebelum akhirnya Agam kembali menggerakkan pinggulnya.

“Bannnggg… Kenapah masih kerasshh…” rengek Irene secara lemah.

“Abang belum puas, cantik,” dengus Agam.

Pemandangan itu membuat Arina sedikit ngeri dan merasa iba dengan juniornya. Pria perkasa yang staminanya tak wajar itu sedang memasuki fase kebuasannya dan Arina merasa perlu menyelamatkan Irene yang jelas-jelas tak mampu lagi menerima serangan Agam. Arina mencoba menggeser tubuhnya mendekati pasangan itu, sedikit tergelincir karena matras kulit yang saling merapat itu kini telah sepenuhnya basah karena keringat keempat manusia yang beradu kenikmatan di atasnya. Dengan usaha sedikit keras karena masih cukup lemas, Arina meraih lengan Agam. Kontan, pria itu menoleh ke arah ibu dari anaknya yang ia tanamkan di rahim Arina.

“Abang… Sama Arin aja yuk… Biarin Irene istirahat dulu…”

Pria itu mengangguk dan mengangkat tubuhnya dari tubuh mungil si gadis—mencabut kejantanan jumbo itu dari relung sempit si gadis. Dengan nafas lega, Irene merasakan kekosongan yang melegakan dalam selangkangannya yang terasa begitu panas dan kebas. Saat kontol Agam tercabut, Arina dapat melihat untaian cairan kental campuran antara peju Agam dan cairan cinta Irene, terhubung dari celah kemerahan Irene dengan kepala kontol berkulup milik Agam. Arina takjub betapa mengkilap batang hitam itu dengan cairan yang tampak sudah berbuih putih itu.

Dengan sigap Agam menuruni kursi santai dan bergeser ke sisi Arina. Akibat matras yang sudah begitu licin oleh keringat, Agam dengan mudah menarik tubuh Arina agar tubuhnya menggelincir ke tepi kursi mendekati selangkangannya. Dengan cekatan Agam membuka selangkangan Arina yang menampakkan area memek telah penuh belepotan sperma Dimas. Tanpa canggung, Agam menempelkan kepala kontolnya di celah memek Arina dan menekan pinggulnya. Perlahan kontol jumbo hitam legam yang berlumur sperma Agam dan cairan cinta Irene itu memasuki liang peranakan Arina yang sudah sangat licin akibat cairan cintanya sendiri dan sperma Dimas—campuran cairan tubuh dari empat insan membaur jadi satu. Tak perlu waktu lama hingga kepala kontol berkulup itu mendesak mulut rahim yang membatasi kontol sang bapak dari anaknya yang sedang tidur dan bertumbuh di dalam rahim Arina. Otomatis desahan panjang keluar dari bibir si ibu.

Tak berehenti di situ, Agam menarik lengan Arina agar setengah bangun, dan melingkarkannya pada lehernya. Arina menuruti permintaan Agam dan memeluk erat leher pria itu. Secara naluriah Arina juga melingkarkan kedua tungkai kakinya di pinggang Agam, karena wanita itu dapat menebak apa yang akan dilakukan Agam. Dengan satu gerakan mantap, Agam merengkuh bongakahan pantat Arina dan mengangkat tubuh hamilnya dengan kontol yang masih menancap erat di mamek wanita itu; membuatnya kini terangkat di udara dalam gendongannya. Dalam posisi itu, kontol besar itu kini menancap lebih dalam. Secara otomatis sebuah desahan kembali keluar dari bibir Arina yang menatap wajah Agam dengan pandangan sayu dan wajah yang renyah penuh birahi.

Perut hamil Arina yang masih berusia 5 bulan itu belum menyulitkan pertautan kelaminnya dengan kelamin Agam dalam posisi itu. Perut yang mulai membuncit akibat rahimnya yang membesar itu, medesak, menempel erat pada perut kekar Agam. Sambil meresapi posisi yang erotis dan intim itu, Arina mendaratkan sebuah kecupan hangat pada bibir tebal Agam yang disambut lembut oleh pria itu. Bagaikan mendapatkan aba-aba, pria itu mulai menggerakkan pinggulnya secara perlahan, menandakan dimulainya sesi kedua dari persenggamaan Arina.



Masih dalam keadaan telanjang bulat kecuali hanya mengenakan sepatu saja, Dimas akhirnya kembali ke taman belakang villa mungilnya itu dengan membawa supply yang masih belum diturunkan dari mobil. Perlengkapan yang telah ia siapkan untuk kebutuhan mereka hingga lusa hari itu terutama berisi minuman dan bahan-bahan makanan segar dan instan. Melihat hari sudah mulai gelap dan udara sudah mulai lebih dingin, dengan sigap Dimas membuka sebuah terpal yang ternyata menutupi sebuah tumpukan kayu kering yang siap digunakan untuk membuat api unggun. Dengan cekatan pria itu melempar beberapa kayu tebal di sebuah tempat yang sudah didesain untuk membakar kayu. Setelah membasahi kayu dengan cairan kerosen, Dimas menyulutkan api pada tumpukan kayu itu dan tanpa menunggu lama api unggun pun berkobar menghangatkan dan menerangi taman itu, seperti nafsu keempat anak manusia berbeda etnis, kepercayaan, dan generasi yang begitu membara di malam itu.

Setelah melakukan penilaian lapangan, Dimas mendapati situasi pertempuran telah berubah. Dimas memperhatikan Agam tampaknya telah mengarahkan serangannya pada Arina yang melenguh, tampak menerima dengan pasrah, mengejang dalam posisi digendong. Haha, pipis enak lagi mbak Arin… Mantep, lanjut Mbak, batin Dimas melihat pemandangan itu. Sedangkan di atas matras kursi santai, tampak tubuh Irene masih tengkurap. Khawatir, Dimas mendekati gadis dan mendapati gadis itu ternyata masih bernapas, tampaknya hanya terlelap akibat kelelahan. Dengan tangan gemuknya, Dimas membelai rambut si gadis yang basah karena keringat itu dengan lembut. Belaiannya perlahan turun ke pipi, lalu bahu lembut si gadis. Perlahan mata gadis itu membuka.

“Eh, maaf. Mas gak bermaksud bangunin. Gapapa kalau mau tidur dulu.”

Kelopak mata Irene membuka semakin lebar, membuatnya sedikit diorientasi sebelum menangkap pemandangan erotis seorang lelaki kekar yang sedang menggendong seorang wanita hamil, mengingatkannya bahwa ia sedang di villa tengah gunung dan baru saja mengalami bersetubuhan yang begitu intens. Tubuh mungil itu kemudian bergerak dan meregang, sambil menarik nafas dalam-dalam, menguap sepuasnya. Perlahan Irene mencoba mengangkat tubuhnya—dengan sigap Dimas membantu—hingga akhirnya si gadis berhasil duduk di tepi kursi santai itu.

“Mas… Haus…” kata Irene dengan suara sedikit parau.

Dengan cekatan Dimas mengambil sebuah minuman isotonik yang ia buka tutupnya dahulu sebelum menyerahkannya ke Irene. Dengan rakus si gadis menenggak minuman itu dengan cepat hingga tak ada yang tersisa dalam botol itu.

“Ah… Seger banget… Makasih ya Mas… Akhirnya rasanya hidup lagi…” kata Irene memejamkan matanya, tersenyum. “Irene ketiduran lama kah?”

“Kayaknya ga lama-lama amat deh. Mas tinggal ambil barang-barang bentar tadi habis crot dalam di Mbak Arina.”

Gausah sedetil itu kali, Mas, aku udah paham, batin Irene. Setelah menenggak minumannya hingga habis, tiba-tiba tubuhya menyadari bahwa kandung kemihnya terasa penuh, ingin segera dikeluarkan.

“Mas… Irene kebelet pipis…”

“Ya wes pipis aja…”

“Bantuin…” pinta si gadis mengulurkan tangannya ke Dimas.

Oalah. Oke,” kata Dimas.

Namun alih-alih membantu si gadis berdiri, Dimas menaiki matras kursi santai itu dan dengan sigap duduk di belakang si gadis, tubuh tambunnya menghimpit punggung si gadis yang keringatnya sudah mulai menguap dalam dinginnya udara.

“Eh, kok malah duduk siiih… Katanya mau bantuin?”

“Ya ini mau ngebantuin,” jawab Dimas santai. Sebuah ide jahil muncul dalam kepalanya.

“Bantuin kumaha atuUUUHHH!!!” si gadis seketika terpekik kaget ketika dari belakang kedua tangan Dimas meregangkan kedua paha Irene hingga terbuka lebar dan otomatis membuat tubuh si gadis bersandar ke belakang pada tubuh Dimas.

“Mau ngapaiiin?? AAAHHH…” desah si gadis lebih lanjut ketika Dimas tiba-tiba memasukkan jari tengah dan jari manis gemuk kebanggaannya itu ke memeknya.

“Mas Dimaaaasss… Irene beneran kebelet pipiiis…” rengek si gadis yang tiba-tiba dikobel oleh ‘jemari emas’ milik Dimas. Tangannya meraih tangan Dimas, mencoba menyingkirkannya dari memeknya, namun sia-sia. Tenaga Irene jelas tak sebanding.

Lhaiya ini bantuin kamu pipis, Ren…” jawab Dimas santai. Pria itu dapat merasakan betapa beceknya liang Irene oleh cairan yang tampaknya campuran cairan kewanitaan dan sperma Agam. Namun Dimas tak peduli. Tujuannya ialah mengerjai si gadis.

“Maksudnya bantuin berdiriii… Anterin pipiiis… Bukan bantuin giniiihh… Lagian bantuin gimana caranya kalo beginiiih… Ahhhh…” protes gadis yang memeknya terasa geli itu.

“Lho. Gimana toh? Kayak gini kan juga bisa pipis, Ren… Lebih enak kan gak usah ribet jalan ke kamar mandi. Keluarin di sini aja lho gapapa… Lepasin aja…” kata Dimas menyeringai, semakin gencar menggaruk dinding depan memek Irene, membuat si gadis menggeleng-geleng menahan sensasi yang membuat tubuhnya lemas itu.

Seluruh bulu kuduk tubuhnya berdiri, menandakan kemihnya sudah tak mampu lagi menahan kencingnya. Sudah tak peduli lagi, akhirnya Irene pasrah, memilih merilekskan lingkar otot-otot kemihnya, membuat tubuh menggelinjang bagai tersetrum. Dan terbukalah bendungan itu.

“AAAAAHHHHH…. AAAHHHH!!!” teriak si gadis, sudah tak mengetahui sensasi yang dirasakannya itu karena proses berkemihnya atau sebuah orgasme yang datang, atau memang keduanya.

Dari lubang kencingnya yang kecil, menyemburlah secarik cairan, begitu kencang. Satu semprotan cairan itu menjadi sinyal bagi Dimas untuk segera melepaskan kait jari-jarinya dari memek Irene. Benar saja, dengan melemasnya saluran kencing Irene, satu semburan kencang itu segera diikuti kucuran deras cairan berwarna kekuningan, berhambur ke arah rumput dan sebagian mengalir ke matras yang lama-lama menggenang di bawah tubuh Irene dan Dimas. Sekali terbuka, bendungan itu bagaikan memancarkan air bah yang tak kunjung berhenti, membasuh jemari Dimas. Berpuluh detik-detik… Suara gemercik kencing itu deras menuruni kayu tepian kursi itu. Satu menit… Cairan panas itu memproduksi uap hangat akibat kontak dengan udara dingin pegunungan, menguarkan aroma yang begitu khas kencing. Dua menit… Cairan itu tampak menggenang, terahan daun-daun rerumputan, sebelum perlahan diserap tanah yang basah itu secara perlahan. Akhirnya pancaran cairan itu melemah hingga menjadi aliran-aliran kecil. Dengan sigap Dimas memasukkan kembali kedua jari kebanggaannya ke dalam memek Irene.

“Nggghhh…” rintih si gadis merdu, tak tahu lagi Dimas mau apa.

Dimas kembali menggaruk G-spot si gadis, menekan-nekan dinding depan memek itu—yang di baliknya terdapat kantong kemih yang baru saja mengeluarkan isinya itu, namun Dimas tahu masih ada sedikit sisa-sisa kencing yang perlu ia ‘paksa’ untuk keluar. Memang benar, hanya dengan beberapa garukan, cairan seni itu kembali keluar dalam satu… dua… tiga… semprotan kecil sebelumnya akhirnya tak ada lagi yang keluar, menandakan kandung kemih Irene yang sudah kosong total. Gadis itu baru saja merasakan buang air kecil yang paling memuaskan dalam hidupnya; perasaannya begitu ringan, begitu lega. Dengan nyaman, ia bersandar pada tubuh Dimas yang memberikannya kecupan-kecupan ringan di bibirnya.

“Sayang, Mas masukin lagi ya?” pinta Dimas, merasakan kontolnya telah mengeras kembali, melihat gadis yang baru saja melalui pengalaman erotis.

“Mas, Dimas… Maaf… Irene masih ga kuat… Memek juga masih sensitif…” jawab Irene lemah, memelas. “Please?”

Mendengar itu, Dimas pun sedikit kecewa tapi tak tega melihat gadis favoritnya itu memelas. Pria tambun itu kemudian melirik pada pasangan yang saling mesra, masih bergerak liar dalam pertarungan birahi dalam posisi wanita digendong prianya. Dimas tahu harus apa.

“Kalau gitu kamu sepong Mas bentar aja ya. Lumurin ludahmu yang banyak,” pinta Dimas yang dituruti oleh Irene. Tak lama, kontol gemuk itu menjadi semakin tegang dan dilolohi banyak ludah oleh Irene.

“Ok, Ren, cukup. Ya wis, sekarang kamu istirahat dulu. Jangan lupa minum ada di meja ya…” pesan Dimas yang dibalas anggukan si gadis yang kembali merebahkan tubuhnya di matras putih yang sudah tak karuan rupanya itu.

Dengan begitu, Dengan mantap Dimas melangkah menuju pasangan Agam dan Arina. Dari belakang Arina, Dimas menyapa mereka.

“Mbak Arin, Bang Agam, izin join ya…”

 
Chapter XIII (cont.)

Beberapa saat yang lalu, saat Dimas sedang memasang api unggun, pasangan yang berada beberapa langkah di samping kursi santai itu bergerak secara sinergis dalam persenggamaan yang mereka lakukan dalam posisi berdiri. Sang pejantan menggerakkan pinggulnya dengan penuh tenaga yang disambut oleh hempasan tubuh si betina hamil dalam gendongan pejantannya. Hunjaman-hunjaman pria itu terasa semakin cepat hingga si wanita tak lagi dapat mengimbangi, sehingga ia memasrahkan tubuhnya untuk dikendalikan sepenuhnya oleh pria itu.

“ABANG!!! ARIN KELUARRR…NGGHH…” lenguh Arina kencang.

Hunjaman-hunjaman pejantannya mengantarkannya pada orgasmenya yang ke… tujuh, mungkin, di malam itu, tapi jelas bukan yang terakhir. Tubuh hamilnya mengejang-ngejang dalam gendongan pejantannya yang tak mengendur itu. Mengerti tubuh ibu dari calon anaknya itu sedang dilanda kenikmatan, pria itu menghentikan genjotannya, memberikan waktu untuk si ibu untuk menikmati orgasmenya. Kontol perkasanya itu serasa diperas untuk kesekian kalinya, namun masih belum menunjukkan tanda-tanda kekalahan. Cairan cinta mengalir deras, menetes hingga ke rumput di bawah mereka.

Arina tampak tersengal, berusaha keras mengatur nafasnya yang putus-putus. Perasaannya begitu ringan dan nyaman, tenggelam dalam orgasme pertamanya di malam itu dalam pelukan Agam, bapak dari bayi yang sedang dikandungnya. Pelukannya yang erat melingkari leher Agam, membuat perut hamilnya tergencet perut Agam yang ototnya tampak seperti papan cucian itu, serta membuat payudaranya menempel erat pada dada bidang kekar itu. Arina dapat merasakan detak jantungnya yang berderu menjadi satu dengan deburan jantung Agam.

Pada momen-momen itu, seolah mengerti euforia yang dirasakan ibunya, janin yang telah memasuki usia 20 minggu itu tiba-tiba bergerak untuk kali paling pertamanya di dalam rahim Arina, bagaikan sebuah pesan yang diatur alam semesta. Merasakan hal itu, nafas Arina tiba-tiba tercekat. Jantungnya berdebar semakin kencang, bersemangat. Pelukannya pada bahu, leher, dan kepala Agam semakin erat, sambil merasakan gerakan dalam perutnya yang tak salah lagi adalah gerakan janinnya.

“Bang Agaaaam… Kerasa ngga perut Arin??? Anak kitaaa… Dia gerak…” seru Arina dengan mata berbinar menggoyangkan tubuhnya, masih dalam gendongan Agam, masih dengan kelamin bertaut.

“Iya, sayang, terasa,” kata suara berat Agam yang kini tersenyum, sambil semakin erat merengkuh pinggul Arina, agar tubuh yang ia hamili itu semakin erat pada tubuhnya, agar ia dapat merasakan gerakan bayi yang ia tanamkan dalam perut wanita itu.

“Tendangan pertama anak kita, Bang…” kata Arina lirih. Perempuan 26 tahun itu kini menatap wajah pria 38 tahun itu—matanya begitu emosional, penuh rasa cinta—sebelum mendaratkan kecupan-kecupan mesra yang disambut hangat oleh bibir pria itu.

Semenjak kenekatannya menerima ‘bantuan’ Gio untuk menyelamatkan rumah tangganya dengan Aldi, wanita itu tak memiliki rencananya untuk kembali hamil secepat ini; tak pernah membayangkan sebelumnya akan mengandung anak Agam. Sempat muncul rasa cemas dan keraguan ketika ia mengetahui dirinya hamil dari pria itu; terutama tentang kemungkinan karakteristik fisik bush hatinya dan reaksi suaminya, beserta kemungkinan besar kecurigaannya. Terminasi kehamilan? Jelas itu tak pernah terbesit di kepala Arina. Tak pernah sedikitpun wanita itu mempertimbangkan langkah itu. Namun semua itu kini tak lagi membebani pikirannya. Pada momen itu, dalam gendongan ayah dari janinnya yang terasa begitu hidup dalam rahimnya, semua terasa sempurna. Takdir yang ia alami terasa begitu tepat. Untuk pertama kalinya, Arina yakin semua akan baik-baik saja pada akhirnya.

Setelah momen indah bagi pasangan calon ayah dan ibu yang terasa begitu lama itu, Agam kembali menggerakkan kejantanannya dalam liang peranakan Arina, yang membuat wanita itu kembali mendesah. Tak lama, gerakan Agam itu telah mencapai tempo optimal.

“Laki atau perempuan?” tanya Agam, tak mengendurkan gerakannya.

“Ah… Laki-laki, Bang… Ah…” jawab Arina dalam sela-sela desahannya.

“HAHAHA! Mantap!” gelegar Agam, tak menutupi rasa senangnya mendengar kabar itu.

Seperti halnya Arina, apabila ditanya pada saat masa-masa awal pertemuannya dengan Arina lima tahun silam tentang keinginan menghamili wanita muda itu, kemungkinan ia akan menolak tanpa berpikir panjang. Namun kehidupan pun perlahan berubah dengan cepat. Perempuan muda itu akhirnya menikahi kekasihnya, Aldi. Akan tetapi sayang sang suami tak dapat memberikan keturunan. Hingga akhirnya dua tahun yang lalu terdapat wacana untuk ‘membantu’ Arina untuk keluar dari permasalahannya. Seketika tiga pejantan—Gio, Agam, Bima, yang mungkin disebut sebagai ‘alfa’ atau ‘bull’ atau apapun orang biasa sebut, secara naluriah menawarkan diri untuk ‘membantu’ betina mereka untuk mendapat kehamilan itu. Sayangnya bagi Agam, wanita itu memilih Gio—sahabatnya, rekan bisnisnya, rivalnya—untuk memberikan wanita itu keturunan. Setelah itu, fokus Agam beralih pada Cynthia, perempuan kedua yang berpotensi untuk ia belokkan kesetiannya dari pasangannya secara totalitas—dengan menanam benihnya, tentunya. Namun sayang, lagi-lagi ia didahului oleh Gio dan Bima yang terlibat pertaruhan serius menanamkan benih secara bersamaan dalam salah satu sesi seks mereka, yang akhirnya dimenangkan oleh Gio. Sebagai keturunan ras Melanesia yang memiliki fitur yang khas dengan postur besar, kulit gelap, rambut ikal, dan fitur wajah yang khas, Agam sudah terbiasa dengan keraguan-keraguan pasangan-pasangan wanita yang terlibat seks beresiko tinggi kehamilan dengannya, termasuk Arina dan Cynthia. Agam akhirnya menjadi tak terlalu mengambil pusing, sehingga kepribadiannya tampak begitu santai dan sering berkelakar dalam menggoda wanitanya. Namun di dalam alam bawah sadarnya, sebagai seorang lelaki dominan, dorongan untuk menanamkan benih sebanyak-banyaknya itu tak akan pernah pudar. Hingga akhirnya sebuah pertaruhan yang tak terlalu serius, namun tetap dimenangkannya dari Gio. Dalam pertaruhan itu Agam membuat Gio berjanji untuk membuat salah satu wanita mereka menerima benih Agam secara suka rela, entah bagaimana caranya. Agam ternyata tak harus ambil pusing dengan ‘bagaimana caranya’, karena takdir mengarahkannya sendiri pada tujuannya.

Dengan Arina yang terpisah dari anggota yang lain, berkat suami dan keluarganya, hubungannya dengan Gio pun tampaknya merenggang. Agam yang menyadari itu, mengambil kesempatan untuk memberikan perhatian lebih pada wanita itu dan mengurangi fokusnya dari Cynthia yang menjadi fokus rekan-rekannya akibat tak adanya Arina di dekat mereka. Benar firasat Agam, Arina yang tinggal dengan mertuanya dan berada jauh dari sosialitanya, tampak lebih kesepian dan haus kehangatan. Beruntung Agam yang memiliki kebebasan mobilitas sehingga ia dapat menemui Arina dalam interval yang cukup teratur, bahkan kadang lebih teratur daripada suami Arina sendiri. Dewi fortuna tak berhenti di situ dalam memberi pria itu keberuntungan. Dalam 5 bulan pria itu menggauli ibu muda yang baru saja dikaruniai anak satu itu, kabar baik datang dari Arina sendiri yang mengatakan bahwa ia telah berbadan dua lagi akibat benih Agam, di saat putranya dengan Gio baru berusia 6-7 bulan. Dengan kabar mengenai jenis kelamin jabang bayi yang ternyata laki-laki, lengkap sudah kebahagiaan Agam. Skornya kini akan segera berimbang dengan sahabatnya.



“Mbak Arin, Bang Agam, izin join ya…” sebuah suara tiba-tiba menginterupsi keintiman Agam dan Arina yang sedang bercumbu dalam percintaan mereka.

Melepas pertautan bibir dan lidahnya dengan Agam, Arina menolehkan kepalanya ke belakang dan telah mendapati Dimas telah merapat ke punggungnya. Tampaknya Dimas telah bersiap untuk memasukkan kejantanannya ke anus Arina yang belum dipenetrasi itu. Arina dapat merasakan ujung tumpul batang gemuk pria itu telah menempel di lingkaran otot anusnya. Agam yang merasakan keadaan itu, menghentikan sejenak gerakannya, memberikan kesempatan bagi Dimas agar dapat mencapai tujuannya dengan lancar. Rahim wanita mereka memang jadi ladang kompetisi sengit untuk persemaian benih, namun bagian lain tubuh lain para wanita masih menjadi milik bersama semua lelaki.

“Mas Dimas… Pelan ya…” pinta Arina.

“Siap, Mbak. Tenang. Udah di kasih licin-licin sama Iren kok,” kata pria itu sambil menekan pinggulnya dengan mantap.

“Ssshhhh…” terdengar desis suara Arina menarik nafas panjang ketika kepala kontol Dimas menyeruak masuk lingkar anusnya. Sekuat tenaga perempuan itu berusaha merilekskan otot anusnya. Untunglah tak terlalu sulit, karena stimulasi kontol Agam di memek Arina sudah membuat otot-otot dasar panggul wanita itu cukup melemas akibat kenikmatan.

“Aahh… Ketat mbak…” desah Dimas. Tak perlu waktu lama hingga akhirnya batang Dimas seluruhnya tertelan lubang pembuangan Arina. Lubang itu terasa begitu panas dan mencengkram seluruh kejantanannya; begitu sempit.

“Mantap!” sahut Agam ikut berkomentar. Dari seberang dinding tipis yang memisahkan rektum Arina dengan rongga memeknya, Agam sendiri dapat merasakan di kontolnya, bagaimana kontol Dimas perlahan masuk dan semakin mempersempit liang peranakan yang sedang dipenuhi batang besarnya.

“Ooohhh… Aaahhhh… OOOHHHH…” rintih Arina menyahuti kedua pejantannya, tiba-tiba tubuhnya mengejang lalu bergetar lembut. Arina tak mengerti bagaimana bisa, tapi perbuatan kedua pria itu membuat ujung-ujung sarafnya terpantik untuk melepaskan gelombang orgasme. Di bawah sana, titik-titik terintimnya terasa begitu penuh tak terperi; begitu membara panas, penuh kedutan.

“Waduh. Keluar mbak? Padahal cuma dimasukin,” tanya Dimas lembut, dengan sedikit menggoda, dari sebelah telinga Arina.

“Iyah…” jawab wanita itu lirih. Tubuhnya mulai terasa kehilangan tenaga. Wajar, mengingat itu adalah orgasme ke-8-nya.

Namun Dimas dan Agam tak menunggu Arina untuk meresapi orgasmenya. Begitu merasakan partnernya telah mempenetrasi anus Arina dengan sempurna, Agam segera menggerakkan kembali pinggulnya, memicu kontolnya untuk bergerak semakin cepat. Begitu pula Dimas yang mengikuti Agam secara naluriah. Kini Dimas menggantikan Agam menopang bongkahan pantat Arina, sedangkan Agam sendiri menggeser lengan bawahnya untuk mengait belakang lutut wanita itu. Tak lama, sebuah keharmonisan gerakan pun tercipta—ketika Agam menghunjam memek Arina, Dimas membetot duburnya; ketika Agam membetot, Dimas menghunjam.

Diserang dari kedua arah, membuat si betina melepas lenguhan-lenguhan merdu yang semakin mengobarkan nafsu kedua pejantannya. Akibat berkali-kali terstimulasi tanpa henti, area kewanitaanya telah menjadi begitu terlewat sensitif. Jangan tanya tentang lubang peranakannya. Liang itu sudah begitu becek, penuh cairan kental yang membuih dari percampuran cairan cintanya dan sisa-sisa sperma Dimas yang terkocok kontol Agam. Melihat gelagat betina mereka, kedua pejantan mengerti apa yang akan terjadi sehingga—entah siapa yang memulai—secara naluriah mengganti gerakan pinggul mereka dengan tusukan panjang dan dalam, namun kini dalam arah yang bersinergis: kedua kontol itu membetot dan menghunjam pada waktu yang bersamaan. Perlakuan itu dalam kedua lubangnya akhirnya memaksa ujung-ujung saraf Arina untuk kembali meledak.

“OOOOHHHH… AKU KELUARRRR… AAAAHHHH…” teriak Arina menggema, membelah langit biru gelap yang perlahan menuju pekatnya malam. Kedua lengannya semakin erat memeluk bahu dan leher Agam. Tungkai kakinya yang masih berhias heels 2 inci itu melejang-lejang di udara.

Dalam sela-sela ledakan orgasmenya, Arina dapat mendengar deru nafas Agam yang terdengar tak beraturan. Sepertinya pria itu akhirnya mendekati klimaksnya kembali. Dengan sepenuh hati wanita itu mengerahkan tenaganya untuk berkonsentrasi pada otot-otot dasar panggulnya yang sedang berkedut nikmat meremas dua kejantanan perkasa yang tertanam di dalamnya. Agam sendiri dapat merasakan kontolnya terasa diguyur dan diremas hebat untuk kesekian kalinya pada sore itu. Liang peranakan Arina itu bagaikan merayu kejantanan milik ayah dari janinnya itu agar segera melepas benih kesuburannya—benih yang telah berhasil melebur dengan sel telur Arina dan menumbuhkan jabang bayi dalam rahimnya—dan tampaknya rayuan itu berhasil.

“HUWOOHH… ABANG KELUAARRR… HHNNGGHH…” geram Agam begitu menggelegar.

Dengan sekali hentakan kuat, Agam menanamkan ujung tumpul kontol berkulupnya untuk mendesak mulut rahim Arina dan seketika itu bermili-mili cairan putih yang sangat amat kental itu berhambur keluar dari lubang kontolnya memenuhi relung sempit Arina. Seperti sebelumnya, karena tak dapat memasuki rahim Arina, sperma kental Agam itu mengalir melalui celah-celah sempit antara kontol dan dinding memek hingga akhirnya lolos keluar, mengalir ke jembut dan zakar pria itu sebelum beberapa menetes ke rumput di bawah mereka.

Dalam momen yang begitu intim itu, pasangan ayah ibu itu mendengar deru nafas masing-masing saling bersahutan. Detak jantung mereka sangat berderu bagaikan melebur menjadi satu. Perlahan Arina mengangkat kepalanya, yang hingga saat itu bersandar di ceruk leher dan bahu Agam, hingga matanya yang sayu kini menatap mata Agam yang penuh nafsu itu, sebelum kedua anak manusia itu secara naluriah mempertemukan bibir mereka dalam sebuah pagutan penuh cinta.



Dimas yang sejak tadi juga menghentikan gerakannya, kini bersabar mencengkram bongkahan pantat Arina, menahan agar kontolnya tak lepas dari dubur wanita itu. Pria itu dapat merasakan cengkraman lingkar anus Arina yang kemudian diikuti dengan sebuah kedutan hebat di balik dinding tipis rektum Arina—menandakan partnernya akhirnya mengeluarkan spermanya. Dari belakang punggung Arina, Dimas dapat mendengar deru nafas pasangan di depannya dan memperhatikan keintiman mereka. Melihat itu, Dimas yang dapat membaca situasi, memutuskan untuk perlahan menarik kejantanan dari dubur Arina hingga akhirnya terlepas. Dimas tak ingin merusak momen intim pasangan yang akan menjadi ayah dan ibu itu. Beruntung bagi Dimas, terdengar suara lembut memanggilnya.

“Mas Dimas… Sini…”

Menoleh, Dimas mendapati Irene sedang berbaring dengan kedua paha terbuka lebar dan jemari yang bermain di klitoris dan bibir memeknya. Selama istirahat, mau tak mau Irene memperhatikan tiga pasang manusia yang bertaut menjadi satu dalam posisi berdiri di hadapannya. Sebagai perempuan normal dan sehat, pemandangan yang menunjukkan momen-momen yang sangat erotis itu membuat tubuhnya yang masih belia penuh dan hormon seks itu kembali naik libidonya. Dan sebagai pejantan, Dimas memenuhi panggilan betinanya.

Dimas mendatangi Irene dan menarik tubuh mungil itu mendekat ke arahnya, hingga kembali ke tepian matras yang masih basah oleh cairan kencing si gadis. Dengan penuh nafsu, pria itu melumat bibir ranum si gadis secara singkat, sebelum naik ke matras dan menaungi kembali tubuh si gadis dari balik punggungnya.

“Eh… Masa dijariin lagi?” tanya Iren protes.

“Udah ikutin aja,” jawab Dimas singkat, sambil menggenggam kuat paha si gadis, meregangkan kembali selangkangannya.

Dengan bersandarnya Irene di tubuh tambun Dimas, seperti beberapa saat lalu, dengan mudah Dimas sedikit mengangkat pinggul si gadis.

“Pegang kontol Mas… Tempelin ke lubang pantatmu…” bisik Dimas di sebelah telinga Irene, memberi perintah. Mendengar itu, si gadis yang mengerti kemauan pria itu pun tersipu. Namun ia sedikit ragu, mengingat gemuknya kejantanan Dimas.

“Ayo, Ren. Tunggu apa lagi?” kata Dimas tak sabar.

“Tapi… Pelan-pelan ya, Mas…” pinta Irene sambil merengkuh kejantanan Dimas yang baru saja keluar dari dubur Arina itu. Terasa berkedut dan begitu panas. Perlahan jemari mungil itu secara naluriah menempelkan kepala kontol Dimas tepat di kerutan anusnya.

“Sip. Tetep pegang gitu ya sampe masuk. Kamu lemes aja. Nafas dalem,” perintah Dimas.

Dimas perlahan menurunkan kembali pinggul Irene, kali ini dengan sedikit tekanan. Meskipun susah payah, karena rapatnya lingkar anus Irene, namun dengan usaha yang keras dan berkat bantuan gaya gravitasi yang seolah menarik turun beban tubuh si gadis, akhirnya kepala kontol gemuk itu berhasil menyeruak. Dengan masuknya kepala kontolnya, Dimas memerintahkan Irene untuk melepaskan pegangannya di batang gemuknya. Perlahan tapi pasti batang gemuk itu tertelan lubang yang pernah disaksikan proses pembuangannya oleh Dimas itu, hingga akhirnya kedua bongkahan Irene menempel pada area pubis Dimas, tergelitik jembut pria itu—tanda bahwa proses pertautan telah sempurna.

“Ngghhh… Mas… Penuh…” gadis itu merintih, merasakan batang gemuk yang mengisi rektumnya bagaikan menggelitik ususnya dan memicu sedikit perasaan melilit. Pagi itu, sebelum berangkat ke bandara, Irene memaksa perutnya untuk mengeluarkan isinya. Selain itu si gadis telah membersihkan rektumnya dengan cara yang pernah diajarkan Arina dan Cynthia. Namun pengalaman telah menunjukkan bahwa kondisi perut yang sudah beberapa kali tak dapat diajak kompromi setiap Irene melakukan seks anal. Kali ini gadis itu hanya berharap perutnya tak berulah; berharap sisa-sisa makanan yang belum sempat turun, agar tetap ditempatnya, paling tidak hingga seks anal itu berakhir.

“Kakimu taruh sini, Ren,” kata Dimas yang sudah melepaskan genggamannya paha Irene, kini memposiskan kaki si gadis yang masih berbalut sepatu dan kaos kaki putih itu untuk menapak pada paha besarnya sebagai tumpuan.

“Sini tangannya pegangan ke dada,” lanjut Dimas sambil merebahkan dirinya, kini memposisikan kedua telapak tangan si gadis untuk bertumpu di kedua dada bidang berlemaknya.

“Kamu gerakin pantatmu naik turun ya. Mas bantu,” lanjut Dimas dengan sigap merengkuh kedua bongkahan pantat Irene, kemudian mulai menaik turunkan pinggul si gadis.

Dalam posisi reverse cowgirl itu, kini kontol Dimas tampak timbul tenggelam di liang dubur Irene. Desahan dan rintihan lembut keluar dari mulut si gadis, bagai menyemangati pejantannya. Rasa melilit di perut Irene dengan cepat memudar, digantikan rasa hangat yang menggelitik dan menyebar dari lubang pembuangannya. Perlahan gerakan pinggul Irene menjadi lebih cepat, kini dengan inisiatifnya sendiri. Tak hanya naik turun, bahkan si gadis berinisiatif menyelingi dengan gerakan melingkar. Merasakan bahwa gadisnya sudah tak memerlukan bimbingan lagi, Dimas melepaskan pegangan tangan kanannya dari bongkahan pantat Irene, lalu dengan cekatan menyelipkan jemarinya dari arah depan ke dalam memek si gadis.

“Ssshhh… Aaaahhh…”

Merasakan dua jari gemuk Dimas memasuki memeknya, Irene semakin belingsatan. Dengan cekatan jari-jari itu bergerak lincah dan menggaruk-garuk dinding memek si gadis, terutama bagian depan. Stimulasi yang begitu intensnya dirasakan di kedua lubang Irene membuat gadis itu semakin bergerak liar di atas tubuh Dimas, bagai mengejar kenikmatannya sendiri. Tak perlu waktu lama hingga peluh mengembun kembali di tubuh keduanya. Hingga akhirnya Irene tiba-tiba menghempaskan pinggulnya dengan keras, menancapkan dalam-dalam kontol Dimas dalam anusnya, dan seketika otot-otot dasar panggulnya berkontraksi.

“AAAHHHH… MAS DIMAS… IRENE KELUAARRR…”

Beberapa cipratan cairan orgasme Irene dirasakan oleh Dimas membasahi tangannya yang tak berhenti menggaruk dinding liang legit itu. Meskipun tak menyemprot deras, tapi cipratan cairan squirt itu cukup banyak, membasahi selangkangan Dimas. Tak kuasa menahan orgasme, tumpuan Irene pada dada Dimas terasa agak melemah sehingga Dimas dengan sigap mengangkat tubuhnya kembali ke posisi duduk, menjadikan tubuhnya sandaran bagi si gadis. Ingin betinanya meresapi orgasme itu, sang pejantan menghentikan gerakan jarinya dalam memek si betina, tanpa mencabutnya. Terasa pijatan lembut otot-otot keintiman Irene pada jemari dan kontol Dimas.

Sambil menghirupi aroma tubuh gadisnya dari belakang, Dimas tiba-tiba menoleh ke samping, memperhatikan Agam mendekat sambil menggendong tubuh Arina. Tampaknya mereka memutuskan untuk menyudahi percumbuan intim mereka yang berlangsung cukup lama itu. Dengan lembut Agam menghempaskan Arina di atas matras, menampakkan tubuh hamil yang bersimbah keringat itu mengatur pikiran dan nafasnya yang sempat melayang itu. Cairan putih kental menghiasi belahan memek kemerahan yang dibiarkan terekspos oleh pemiliknya itu. Dengan sigap Agam mengambil dua botol minuman isotonik, satu untuknya, dan satu lagi untk Arina.

Setelah lega menenggak habis minuman itu dengan cepat, Agam meninggalkan Arina yang tampak masih kelelahan dan melirik ke sampingnya, ke arah gadis yang juga sedang mengatur nafas di pangkuan Dimas. Pria itu memperhatikan kontol Dimas menghunus dubur Irene dan jemari bermain-main lembut di lubang memek yang tampaknya masih menganggur. Melihat pemandangan itu, Agam perlahan mendekati pasangan yang lebih muda darinya. Dengan mata sayunya, gadis itu memperhatikan tubuh besar kekar khas etnis timur itu berbalut keringat deras berdiri berkacak pinggang tepat di hadapannya. Secara naluriah, pandangan betina belia itu perlahan turun dari wajah, dada kekar, perut berotot, hingga akhirnya kontol pejantan dewasa itu yang entah bagaimana tampak masih keras meskipun ia tahu benda itu baru saja menumpahkan benih suburnya dua kali: satu kali di dalam memeknya dan satu kali di dalam memek betina di sebelahnya. Dengan nanar Irene memperhatikan kontol berkulup itu berangguk-angguk, tampak begitu basah berbalut cairan putih kental, campuran sperma dan cairan cinta Arina. Sedangkan Dimas yang memperhatikan arah perhatian Agam, perlahan membuka lembut bibir memek Irene dengan jemarinya, mengekspos belahan merah muda yang begitu basah di dalamnya, menyebabkan reaksi kedutan di kontol Agam yang mengangguk-angguk itu. Bagai tahu apa yang ada di kepala masing-masing, kedua pejantan itu saling menyeringai, saling bertukar pemahaman.

“Kita main berdiri saja, Dimas!” seru Agam mengajak partnernya itu untuk menggagahi Irene dengan berdiri. Meskipun dirinya baru saja melakukan seks intens dalam posisi berdiri, tampaknya tenaganya masih banyak. Apalagi tubuh Irene yang tergolong sangat ringan baginya tidak akan menjadi masalah.

“Siap!” jawab Dimas dengan sigap melingkarkan lengan kanan Irene pada leher dan bahunya.

“Mas Dimas… Ngapain?” tanya Irene pelan.

“Pegangan kuat di bahuku, ya, yang,” perintah Dimas, yang dituruti oleh Irene.

Kedua tangan besar Dimas kemudian mengait belakang lutut Irene, menggengamnya dengan kuat, sebelum dengan mantap mengangkat tubuh tambunnya berdiri tanpa melepas pertautan kontolnya dengan anus si gadis.

“AH!” pekik Irene merasakan kontol gemuk di duburnya menancap lebih dalam akibat gaya gravitasi.

Kini tubuh mungil itu terangkat di udara, sisi tubuh depannya—payudara, perut, jembut, memek—semua terekspos. Kedua tungkai kakinya yang masih mengenakan kaos kaki dan sepatu putih itu dikait oleh lengan besar Dimas, membentuk M di udara. Perlahan Dimas berjalan ke arah Agam yang kini berdiri di depan api unggun. Mengingat malam telah tiba, pria itu berinisiatif mengajak partnernya melakukan persenggamaan di dekat api saja, agar lebih hangat. Langkah berat sepatu Dimas yang teredam rumput terdengar itu mendekati Agam yang sudah siap, mengarahkan tubuh Irene pada seniornya itu.

“Eh??? Kalian mau ngapaiiin???” jerit gadis itu panik ketika tubuh mungilnya dibawa Dimas mendekati tubuh Agam.

“Ngentot lah, nona,” jawab pria kekar itu sambil menggantikan lengan Dimas untuk mengait lutut si gadis, agar Dimas dapat memindahkan topangannya di kedua bongkahan pantat Irene.

“Pleasseee… Mas Dimasss… Punya Bang Agam kegedean… Irene gabisa kalau barengan giniiiiihh…” rengek gadis itu, matanya membeliak menyadari apa yang akan dilakukan kedua pria itu. Namun karena takut jatuh, gadis itu tak berani terlalu memberontak.

“Nikmatin aja, sayang…” kata Dimas sambil mengecup sisi payudara si gadis, bagaikan menenangkan.

“Janga-AAAAAAHHHHHHNNNNN…” teriak si gadis tiba-tiba, begitu melengking dan membahana. Memeknya tiba-tiba dipaksa terbuka mengakomodasi kontol besar yang sudah mempecundanginya berkali-kali sore tadi.

Dengan dorongan mantap, kontol pria yang berusia dua kali usia Irene itu membelah liang sempit si gadis sedikit demi sedikit hingga rongga itu tak dapat menampung lagi pangkal kejantan itu. Desahan nikmat keluar dari kedua mulut pejantan yang berhasil menanamkan kejantanan mereka secara bersamaan dalam dua lubang terintim betina muda itu. Pertautan ketiga kelamin itu terlihat begitu sempurna, begitu erat, begitu membara seperti nyala api unggun di samping mereka yang semakin memanaskan pergumulan mereka.

Dari tempat tubuhnya masih tergeletak kelelahan sambil mengusap perut hamilnya, Arina dapat melihat temaram cahaya api unggun menerangi tubuh tiga manusia yang berkilau basah karena keringat itu. Pemandangan itu membuatnya tersenyum, mendapati dunianya yang begitu berwarna. Malam itu masih sangat panjang bagi mereka yang masih memiliki waktu hingga lusa untuk mendaki puncak-puncak kenikmatan.



///



Pesta resepsi pernikahan Dimas itu cukup meriah dan berjalan begitu lancar. Bagaikan ritual, Arina, Irene, dan Agam mengikuti alur tamu undangan yang berjajar menunggu untuk bersalaman dengan mempelai. Ketika sampai pada giliran mereka, Dimas memperkenalkan mereka pada istrinya sebagai rekan-rekan kerjanya. Dari dekat Irene memperhatikan istri Dimas yang mengenakan pakaian khas pernikahan tertutup hijab dengan riasan menawan di wajahnya. Begitu cantik dan dewasa. Irene menaksir wanita itu tampaknya seumuran dengan Dimas. Sedikit cemburu, Irene menjabat tangan tangan lembut perempuan itu, mendoakan kelanggengan pernikahannya.

“Iri deh… Andai bisa nikah lagi… Hehehe…” celetuk Arina ketika mereka telah duduk dan menikmati sajian makanan pesta pernikahan itu.

“Sama siapa kak?” tanya Irene menimpali.

“Sama para lelaki yang aku cintai. Pasti enak punya suami lebih dari satu. Ga cuma laki yang pingin istri banyak. Kadang perempuan juga pingin suami banyak. Hehehe…,” jawab Arina berandai-andai yang ditimpali senyuman oleh Irene.

Irene bisa berempati dengan seniornya itu. Perempuan juga menginginkan kebahagian yang mereka impikan. Meskipun impian itu terasa begitu konyol dan mustahil. Irene tak berbohong ketika ia mendoakan kelanggengan Dimas dan istrinya. Gadis itu menerima kenyataan bahwa ia tidak akan bisa menggantikan wanita itu untuk bersanding di sebelah Dimas. Realita hidup mereka terlalu berbeda. Ini adalah dunia nyata milik dimana wanita itu memiliki pria yang menjadi tambatan hatinya secara sah di mata hukum. Irene tak akan mencoba mengubah itu. Namun beruntung bagi Irene, Dimas memiliki dunia rahasia yang masih sama nyatanya dengan realita ini, dan Irene berada di dalamnya, menjadi salah satu tokoh utama yang memenuhi pikiran pria itu. Dalam tiga hari sebelumnya, Irene telah memberikan pesta lepas lajang yang berkesan bagi Dimas. Hari ini Dimas bisa saja kembali ke pelukan istri sahnya. Namun persetan dengan ‘sah di mata hukum’. Dimas memiliki realita kedua yang sama nyatanya dan di dalamnya, pria itu miliknya. Apapun yang terjadi Irene meyakini pria itu tidak akan pernah meninggalkannya.

Mengingat hal itu, Irene tersenyum puas.



————

End of Chapter 13.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd