Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
CHAPTER XII

CHERISH



Mei 2018


Tok. Tok. Tok. Tok. Tok.

Sebuah ketukan di pintu kamar kost itu mengubah segalanya. Andai saja Irene berpura-pura tidak ada di dalam kamar kostnya. Namun sudah terlanjur. Dengan malas-malasan gadis belia itu mengerahkan tenaganya untuk melenggang membuka pintu kamar kost-nya, menuju sebuah petaka.

Seketika Irene membuka pintu, pikirannya terasa berhenti dan menguapkan seluruh kosakata yang ia miliki.

“Kamu kayak lihat setan aja, Rene. Say hi, kek? Silakan masuk, kek? Padahal setahun lebih ga ketemu,” ucap seorang lelaki muda itu sambil dengan santainya melenggang masuk kamar kost Irene tanpa menunggu izin penghuninya.

“Vi- Vino?” hanya kata itu yang terucap dari mulutnya, tercengang melihat pemuda di hadapannya dengan santainya melenggang masuk sebelum ia berkata-kata. Bagaikan di rumahnya sendiri, pemuda yang dipanggil Vino itu meletakkan helm di meja kamar Irene dan melepaskan jaket kulit yang ia kenakan.

“Cuma gitu doang? Sini,” ucap Vino sambil menarik tangan Irene dan memeluk tubuh si gadis. Tubuhnya yang kurus tinggi begitu kontras dengan tubuh mungil Irene.

Tubuh Irene hanya diam tak bergeming mendapatkan pelukan dari Vino. Kedua lengannya tak membalas pelukan pemuda itu. Otaknya berputar keras memproses momen yang terasa berlangsung begitu cepat itu. Pacar? Apakah mereka masih sepasang kekasih?, benak Irene berkecamuk. Akan tetapi lamunan Irene pecah seketika saat Vino menarik dagunya dan mendekatkan wajahnya, mencoba mengecup bibir Irene. Dengan cekatan Irene memalingkan wajahnya dan menarik diri dari pelukan Vino, menghindari ciuman pemuda itu.

“Sama pacar sendiri masa dingin banget gitu,” protes Vino dengan ekspresi terluka.

Irene mengingat masa-masa kelam tahun lalu ketika ia terpuruk dalam kesulitan finansial, di saat yang sama Vino tidak mengindahkan seluruh pesan yang ia kirim, tidak pernah mengangkat panggilannya. Suatu ketika melalui social media, Irene mendapati seorang teman dari sekolah yang saat ini kuliah di perguruan tinggi yang sama dengan Vino mengunggah sebuah konten berisikan momen-momen kencannya dengan seorang pemuda yang tak lain adalah Vino.

“Pacar?” akhirnya Irene menemukan suaranya. “Vino, kamu udah nge-ghosting aku setahun lebih dan kamu sekarang tiba-tiba ke sini, pura-pura ga pernah terjadi apa-apa, dan sok-sokan bilang kalau kita masih pacaran?”

Meskipun suara Irene tidak keras, Vino dapat mendengarkan nada amarah dalam suara Irene. Perlahan Vino menutup pintu kamar kost Irene agar tidak mengundang perhatian rumah kost besar yang tampak lengang di hari Sabtu sore itu.

“Tenang, sayang. Gue bisa jelasin itu nanti. Makanya gue sekarang ke sini mau ngajak kamu keluar. Gue mau jelasin semuanya. Kamu siap-siap, gih.”

“Ga ada yang perlu dijelasin, Vin. Semua udah jelas. Anggep aja kita udah putus. Kamu bisa balik ke cewek kamu itu.”

Please, sayang. Kalau kamu mau kita putus gapapa tapi please dengerin penjelasan gue dulu. Gue sama dia waktu itu cuma hang out bareng aja. Ga lebih. Dan kita keluar sama temen-temen lain, ga berdua doang. Kamu bisa tanya deh sama mereka kalau ga percaya.”

Irene hanya menatap tajam Vino yang memelas, tak mengomentari penjelasannya.

“Please, gue jelasin pas kita keluar. Gue juga butuh bantuan kamu,” pinta Vino.

Irene dapat melihat ada sebuah keputusasaan dalam ekspresi wajah Vino. Dalam hati ia ingin Vino pergi dari kamar kost-nya, namun ada sebagian kecil dari hatinya yang ingin mendengarkan penjelasan Vino, untuk menemukan sebuah penutup dalam kisah mereka.

“Yaudah aku siap-siap dulu,” jawab Irene singkat sambil mengambil baju dan perlatan riasnya sebelum kemudian melenggang masuk ke kamar mandi tanpa berkata-kata.







Di dalam kamar mandi Irene membersihkan diri, memakai pakaian, dan bersolek sambil mengenang kisah percintaannya dengan Vino.

Mereka saling mengenal sejak memasuki bangku SMA bersamaan lima tahun silam. Berasal dari keluarga menengah, Vino yang campuran Tionghoa dan Sunda disekolahkan oleh orang tuanya di sekolah negeri. Ia menjadi satu-satunya anak keturunan campuran Tionghoa di angkatan mereka selain Irene sendiri. Satu tahun menjadi teman sekelas, kedua remaja yang ternyata menemukan banyak kesamaan dan kecocokan itu memutuskan untuk menjalin kasih sebagai sejoli ketika memasuki tahun kedua mereka di SMA.

Selama masa pacaran di sekolah, hubungan mereka tergolong harmonis tanpa drama. Sebagai dua remaja normal dengan hormon yang mulai meninggi, wajar apabila ada rasa penasaran dalam benak keduanya untuk mengekspresikan keintiman. Melewati masa-masa bergandengan tangan, secara bertahap Irene dan Vino mencoba untuk saling berpelukan, kemudian mencium wajah masing-masing, mengecup bibir masing-masing, meraba bagian-bagian intim tubuh masing-masing, hingga akhirnya Irene mencoba memberikan seks oral kepada Vino. Satu hal yang tidak mereka penasaran namun masih menahan diri dari melakukannya yaitu berhubungan seks.

Hingga hari ketika ibu Irene sebagai orang tua tunggal meninggalkan Irene untuk selamanya. Kehidupannya mulai berubah. Begitu pula dengan perhatian Irene kepada Vino. Fokus si gadis mulai terkuras untuk bertahan hidup dan memastikan ia dapat mengejar mimpinya sehingga fokusnya kepada kekasihnya mulai terbagi. Kerenggangan itu mulai ada sebelum Irene pergi untuk mengejar ilmu di perguruan tinggi di ibukota, dengan mempertahankan hubungannya dengan Vino dalam status long distance relationship.

Vino yang awalnya berusaha suportif, menghadiahi kekasihnya sebuah liontin emas dengan inisial I.V., bagaikan pengingat dan simbol hubungan mereka—yang sampai saat ini masih melingkar di leher Irene. Vino menyadari akan ambisi Irene untuk mengejar mimpinya namun di saat bersamaan tak memiliki kemampuan membantu Irene yang didesak masalah finansial. Irene sendiri, bagaikan dalam kegelapan kekalutannya, tak memudahkan keadaan dengan memutuskan terlibat skema kredit online.Vino mulai menjauh dalam situasi rumit hubungan mereka. Jarak yang memisahkan mereka lebih mempermudah kerenggangan hubungan mereka yang semakin melebar. Sebagai pemuda belia dengan masa depan masih penuh kemungkinan, Vino memutuskan untuk tidak lagi fokus kepada Irene dan mengeksplorasi hubungan dengan perempuan lain.

Tapi apa hak kamu buat kesel, Irene. Selama hubungan kamu sama Vino yang ga jelas itu, kamu udah ngelepas perawan kamu dan jadi simpenannya cowok-cowok yang jauh lebih tua dari kamu. Paling ga kasih Vino kesempatan buat jelasin, batin Irene akhirnya memutuskan sambil mematut hasil riasan wajahnya yang tampak menawan dan natural.

Selesai berbenah diri, Irene keluar dari kamar mandi dan mendapati ada sesuatu yang salah.



Di sebelah ranjang tidurnya, di hadapan meja belajarnya tempat ia menaruh ponsel pintarnya, Irene mendapati Vino menggenggam benda pribadi milik Irene itu dengan ekspresi penuh amarah.

“Vin, ngapain kamu? Siniin hape aku!” segera Irene berlari menyebrangi ruang kamarnya dan mengerahkan tenaganya untuk merenggut smartphone-nya dari tangan Vino.

Namun naas bagi Irene, Vino yang bertubuh lebih tinggi dengan mudah menghindari Irene.

“Jadi ternyata selama ini lo gini ya, Rene. Nomer gue lo blok. Pelan-pelan ngejauh dari gue. Bikin gue kesepian dan ngerasa bersalah udah jalan sama cewek lain. Ternyata lo yang sok suci selama ini malah lacur, Irene!” gelegar suara Vino memaki Irene. Tampak mata pemuda itu membeliak tampak merah penuh amarah.

“Kamu ngomong apa sih Vino??? Udah cepet sini balikin hape aku! Kamu udah ngelancangin privasi aku!” balas Irene dengan suara juga meninggi karena panik.

Sontak Irene mencoba sekuat tenaga mencoba merebut benda di tangan Vino itu dengan membabi buta dalam kepanikannya. Dadanya berdebar kencang, telinganya bergemuruh, keringat mulai membasahi tubuhnya meskipun baru saja selesai mandi. Namun tak hanya menghindar dari tangan Irene dengan mudah, kini dengan tangannya yang masih bebas Vino merengkuh salah satu lengan Irene dan menguncinya dari belakang tubuh si gadis.

“AH! VINO! Sakit tau!” jerit Irene karena lengannya yang dipelintir ke belakang oleh Vino.

“Please, Vino… Aku bisa jelasin… Kita bisa saling jelasin…” pinta Irene.

“Apa yang harus dijelasin lagi, Rene? Lo lihat sendiri nih di hape lo gimana lo jadi lonte!” geram Vino di sebelah telinga Irene sambil tangannya yang masih menggenggam smartphone Irene menggulirkan jemarinya, memperlihatkan foto-foto panas Irene dengan pria-pria yang tampak jauh lebih dewasa darinya.

Dengan rasa malu dan tatapan penuh kekalahan, Irene melihat satu per satu foto-foto yang disodorkan di hadapannya itu; foto-foto yang sudah tahu seperti apa penampakannya, yang baru diambil beberapa minggu lalu itu, Irene tampak dalam keadaan telanjang bersama dua orang pria yang sama-sama telanjang, satu bertubuh tambun, satu berkulit kecoklatan bertubuh begitu atletis. Semua foto itu menampakkan adegan-adegan dewasa yang tampaknya diambil dengan kamera depan, yang menandakan Irene sendiri yang kemungkinan besar melakukan swafoto atau selfie itu. Beberapa menampakkan gadis itu sedang melakukan French kiss dengan si pria tambun, beberapa menampakkan ia bagaikan “menyusui” si pria atletis dengan payudara mungilnya, dan tak sedikit juga selfie si gadis sedang mengulum batang kejantanan yang tampak begitu gagah perkasa.

Seketika benak Irene mengingat ucapan yang dikatakan pria atletis yang ia panggil dengan nama Bima itu. Jangan lupa disimpan yang aman. Jangan dibiarin di galeri aja. Beberapa bulan terakhir, Irene yang memang mulai terbiasa dengan aktivitas rahasianya mulai berani untuk lebih bebas berekspresi, salah satunya dengan berswafoto saat melakukan kegiatan intim. Sebagai perempuan muda yang mulai beranjak dari remaja ke dewasa, wajar ada momen-momen tertentu yang membuatnya merasa cantik dan cute, yang ingin ia abadikan. Entah mengapa salah satunya adalah saat bercinta dengan pria yang bernama Dimas dan Bima. Awal mulanya ia lakukan pesan Bima dengan seksama, namun karena merasa foto-foto intim itu hanya untuk konsumsi pribadi dan tak akan ada mata lain yang akan melihat isi smartphone yang ia proteksi dengan sandi itu, lambat laun Irene semakin terlena dan selalu menunda untuk mengorganisir foto-foto sensitif itu. Tak pernah terbesit dalam pikirannya kemungkinan datangnya Vino dengan tiba-tiba, orang yang tanggal lahirnya ia pakai sebagai sandi di semua platform digital yang ia miliki, dan membuka benda yang penuh berisi privasinya. Penyesalan memang selalu tiba di akhir ketika semua telah terlambat.

“Terus ini ada aplikasi isinya ratusan notifikasi yang sandinya bukan ultah gue. Coba lo buka ini, gue mau lihat! Pasti isinya chatsama om-om yang pake lo kan, Rene?” tanya Vino penuh amarah.

“Vin… Dengerin aku… Aku terpaksa, Vin… Demi nggak D.O.”

“Alasan lo, Rene! Mana ada cewek terpaksa bisa selfie dan nikmatin pas ngewe gini! Makanya lo lempeng-lempeng aja sama hubungan kita yang makin ga jelas ini. Lo ngejual diri lo, Rene! Lo itu lonte murahan!”

Segala perkataan Vino membuat telinga Irene panas dan begitu menyakitkan di hati Irene. Ditambah dengan semua usahanya untuk menjelaskan ditolak mentah-mentah oleh pemuda itu dan bahu dan lengannya yang mulai sakit, air mata Irene meleleh sejadi-jadinya.

“Maafin aku Vino…” pinta Irene dalam derai air matanya. Ia tak tahu harus berkata apa lagi agar Vino mau melepaskan lengannya yang terasa sakit.

Alih-alih iba, amarah di hati Vino semakin membuncah. Otaknya yang panas tidak bisa berpikir jernih akibat rasa cemburu karena pengkhianatan Irene. Ia tak rela gadis yang ia jaga kesuciannya itu dengan suka rela memberikan mahkotanya pada pria asing. Ia tak kuat membayangkan apa saja yang pernah si gadis perbuat dengan pria-pria yang tampak jauh lebih dewasa darinya itu. Ia tak berani mengeksplorasi kemungkinan keterlibatan pria-pria lain selain dua orang yang ia lihat di galeri foto Irene. Bertubi-tubi api murka membutakan akal sehatnya sehingga ia melakukan hal yang akan ia sesali kemudian hari.

Seketika Vino melemparkan ponsel Irene ke atas ranjang. Dengan cekatan pemuda itu melucuti sabuk yang ia kenakan dan menggunakannya sebagai tali yang ia ikatkan di kedua pergelangan tangan Irene.

“Vino??? Kamu mau ngapain??? Kenapa aku diiket??? Lepasiiin Viiin! Maafin aku Viiin!!!” pinta Irene memberontak di sela-sela tangisannya yang makin menjadi-jadi. Namun tenaganya sebagai gadis mungil jelas tak dapat menandingi pemuda itu, apalagi dalam rasa kalut dan takut.

Setelah dirasa ikatannya cukup kencang, Vino yang tak mendengarkan, melempar tubuh Irene di atas ranjang. Dengan cekatan Vino meraih sebuah boneka mungil berbentuk bulat dan sebuah scarf milik Irene yang teronggok di meja belajar gadis itu. Dengan sigap Vino memaksa Irene untuk membuka mulut dan menyumpalkan boneka kecil itu ke dalam mulut di gadis, diikuti dengan ikatan kuat kain scarf untuk membungkam sempurna mulut gadis itu, tak lupa memastikan hidung si gadis tetap terbuka.

Diperlakukan bagaikan akan diculik dan ditawan, kontan rasa takut Irene semakin memuncak. Dengan kuat Irene mencoba untuk berteriak sekencang-kencangnya namun suaranya yang mungil terdengar begitu teredam. Mengingat kamar kost-nya yang berada di paling belakang rumah kost besar itu, dan hari itu merupakan Sabtu sore yang mana kebanyakan penghuni kost yang merupakan dewasa muda yang kebanyakan menikmati akhir pekan di luar, dan sebuah gudang kosong yang membatasi belakang kost itu, kemungkinan besar tak akan ada yang mendengar teriakan Irene yang bahkan tak akan melewati tembok tebal kost itu.

Vino yang melihat sebuah audio system di atas meja Irene, menyalakan benda itu dan memutar musik dalam volume yang cukup kencang. Kini kemungkinan suara-suara mencurigakan yang terdengar dari luar akan terbiaskan dengan suara musik.

Hubungan Vino dan Irene sudah tidak bisa diselamatkan. Hal itu sudah jelas dalam benak Vino. Namun paling tidak Vino akan menagih hal yang sudah lama ia ingin rasakan semenjak mereka masih sekolah namun ia tahan demi menjaga kesucian Irene; hal yang sudah dirampas oleh pria-pria hidung belang. Vino sudah bertekad bulat untuk menggagahi Irene sebelum semua ini berakhir.

Tanpa membalikkan tubuh Irene yang dalam keadaan terikat dan tengkurap, Vino dengan kasar membuka paksa rok yang Irene hingga terpampanglah bongkahan pantat yang terbingkai celana dalam model thong yang jelas didisain tak menutupi bongkahan pantat pemakainya. Dengan sekali tarik, Vino dengan kasar merenggut kain mungil penutup selangkangan Irene itu dengan sekali tarik ke arah bawah hingga terdengar bunyi robekan kain. Kini Irene telah telanjang dari pinggul hingga kakinya. Tak ada penghalang yang menghalangi area intimnya yang perlahan diregangkan oleh Vino. Akhirnya Vino dapat melihat vagina milik gadis yang pernah ia puja dulu itu. Dari belakang belahan intim milik Irene itu tampak begitu rapat, berwarna merah muda, berhias rambut-rambut yang sangat halus dan jarang di area pubisnya. Nafas si pemuda perlahan memburu, dadanya berdebar, dan perlahan darah mengisi penisnya yang perlahan menegang di balik celananya. Bagai terburu-buru, pemuda itu melucuti pakaiannya satu persatu; kemeja, celana panjang, hingga akhirnya celana dalamnya.

Kini Vino sudah dalam keadaan telanjang bulat dengan penis tak bersunat yang sudah menegang sempurna hanya karena melihat keintiman Irene. Segera pemuda yang belum pernah bercinta sama sekali dalam hidupnya itu mengambil ancang-ancang di belakang Irene, berencana memasukkan penisnya dari belakang, seperti video-video porno yang pernah ia tonton. Harusnya sesimpel itu, batin Vino percaya diri. Tak lupa pemuda itu melumasi penisnya dengan sedikit ludahnya sendiri sebelum memasukkan kepala penisnya yang tak bersunat itu di pintu belahan pink milik Irene. Kemudian dengan mengerahkan tenaganya, Vino mendorong pinggulnya dengan sekuat-kuatnya hingga penisnya memasuki vagina Irene dengan sekali tusuk yang diikuti dengan jeritan teredam si gadis dan tubuh yang menegang.

“Ah… Memek lo rapet banget, Rene. Anjing lah kata gue. Lo tega banget khianatin gue, Rene. Tapi gampang banget ngasihin memek lo ke cowok lain. Anggep ini ucapan maaf lo!” racau Vino tak jelas akibat sensasi kehangatan dan rapatnya liang senggama Irene di penisnya. Akhirnya status perjakanya ia tanggalkan.

Segera Vino mulai memaju mundurkan pinggulnya, mengingat adegan-adegan porno yang pernah ia lihat. Terdengar jeritan panjang teredam dari si gadis itu. Air mata terus meleleh dari kedua mata si gadis, membasahi ranjangnya. Tubuhnya menegang dalam keadaan terikat, menahan rasa sakit yang begitu hebat di selangkangannya. Apa yang dilakukan Vino adalah sebuah dry penetration, sebuah penetrasi kering—terjadi ketika vagina perempuan masih kering dan tidak siap menerima kehadiran penis akibat kurang atau tidak ada foreplay. Sebagai perempuan dalam kondisi ketakutan dan tekanan batin, vaginanya jelas-jelas kini sedang dalam keadaan tidak bisa mengeluarkan pelumas yang cukup untuk mengurangi gesekan dinding vaginanya dengan penis yang sebenarnya tidak sebesar penis-penis lain yang pernah memasukinya. Akan tetapi setiap tusukan yang dilakukan Vino terasa sebagai siksaan bagi Irene yang hanya dapat berharap segera berakhir.

Penis Vino yang mulai mengeluarkan precum membuat pergesekan penisnya dalam vagina Irene terasa lebih mudah. Namun pemuda itu tak mengetahui atau tak peduli bahwa gadis yang ia gagahi paksa itu masih dalam keadaan kesakitan. Kini hanya pekikan lemah teredam yang keluar dari mulut si gadis. Sesekali Vino menepuk pantat Irene hingga kemerahan, atau menyusupkan jemarinya ke dalam kaos dan bra yang masih dikenakan Irene, untuk meremas kencang gunung kembar ranum milik si gadis, yang hanya direspon dengan teriakan teredam oleh Irene.

Bagai waktu yang terasa terlalu lama bagi Irene, namun tidak sampai sepuluh menit bagi Vino, nafas pemuda itu makin memburu hingga akhirnya gerakan pinggulnya berhenti dan di dalam vaginanya, Irene dapat merasakan semprotan hangat khas sperma, menandakan Vino tengah berejakulasi.

“AAAHHH FUCK! Memek lo rapet banget, Rene, ga tahan gue!!!” geram Vino sambil meremas erat kedua bongkahan payudara Irene, meresapi orgasme pertamanya di dalam vagina perempuan.

Setelah beberapa saat, dengan terengah Vino melepaskan tautan kelamin mereka dan melelehlah spermanya yang baru saja ia semburkan di dalam vagina Irene secara sembarangan, tanpa izin si gadis. Vino yang perlahan mulai turun dari nafsu binatangnya kini berdiri terengah di tengah kamar kost Irene, mengumpulkan akal sehatnya yang sempat hilang karena amarah, cemburu, dan nafsu.

Setelah membersihkan penisnya dengan tissue, perlahan ia kembali mengenakan pakaiannya satu persatu. Dengan tenang Vino kembali meraih smartphone Irene dan mengirimkan seluruh foto-foto mesum gadis itu menuju ponselnya. Kemudian bagaikan telah direncanakan, Vino membuka sebuah aplikasi perbankan yang terproteksi dengan sandi biometrik. Dengan santai Vino menempelkan ibu jari Irene yang masih terikat dan mengakses data perbankan Irene. Ia bersiul mendapati nominal yang terdapat di tabungan Irene dan tanpa peduli mentransferkan hampir seluruh dari tabungan Irene itu ke rekeningnya sendiri, tentu saja dengan PIN transaksi yang tak lain adalah ulang tahunnya sendiri. Tolol banget lo, Rene, batin Vino mencemooh. Tak berhenti di situ, Vino membuka satu per satu laci meja kamar Irene dan menemukan dompet Irene yang juga ia kuras uangnya. Terakhir, Vino kembali mendekati Irene yang sedari tadi masih tak bergerak di atas ranjangnya, tangannya merengkuh sebuah liontin emas yang melingkar di leher Irene dan dengan sekali tarik pemuda itu merenggut paksa benda itu hingga terlepas dari leher si gadis.

“Irene, kalau lo macem-macem lapor-lapor atau cerita sana sini tentang pertemuan kita hari ini, gue pastiin foto-foto lo tersebar ga cuma ke tante, sepupu, dan keluarga lo yang lain, tapi gue pastiin juga semua temen-temen kita bakal tau kalau lo itu merantau buat jadi lonte. Jadi anggap kita ga pernah ketemu,” kata Vino dingin, sambil membuka ikatan ikat pinggangnya dari pergelangan tangan Irene.

Dalam diam Vino mengenakan kembali ikat pinggang dan jaket kulitnya, lalu meraih helmnya. Tanpa melihat ke belakang, Vino keluar dari kamar kost itu tanpa sepatah kata apapun, meninggalkan seorang gadis yang baru saja ia perkosa, bagai teronggok tengkurap dalam keadaan masih terbungkam mulutnya. Itulah terakhir kali Irene melihat Vino.



Hari telah berubah gelap ketika Irene akhirnya mengumpulkan tenaga untuk bangkit dari ranjangnya dan meraih smartphoneyang dibiarkan tergeletak di meja belajarnya oleh Vino. Dengan perlahan Irene membuka daftar kontaknya hingga menemukan sebuah nama dan mengetuk tombol panggilan.

Memanggil… Dimas.



///



Juni 2018

“Reeen? Udah siap belum? Ayo berangkat.”

“Mas Dimas, serius deh kita mau kemana sih pake harus packing sekoper segala gini? Mana lagi minggu tenang lagi ini. Irene harusnya belajar buat UAS minggu depan tauk,” protes Irene cemberut.

“Udaaah ikut ae. Cuma empat hari ae lho. Hari minggu udah balik,” ujar pria berbadan besar tambun bernama dengan logat khasnya itu sambil menggeret koper kabin milik Irene dan menenteng ranselnya sendiri, meninggal sebuah apartemen 2BR yang ia tinggali.

“Yah ini masih hari Rabu, mas Dimas. Irene ga bisa belajar dong?!” protes gadis itu lebih jauh.

“Jangan belajar terus. Udah pinter gitu. Seneng-seneng gitu, sekali-kali. Biar gak stress kamu itu kuliah sama belajar terus yang dipikiri. Main dulu. Biar fresh nanti ngerjain ujiannya minggu depan. Makin dihapalin makin nguap nanti,” balas Dimas santai ketika mereka di dalam lift menuju tempat parkir.

Setelah mencapai lantai parkiran, mereka memasuki sebuah LCGC yang dipinjamkan atasan Dimas, yang tak lain adalah Gio. Tak lama keduanya membelah jalanan ibukota di sore hari kerja itu yang mulai memadat.

“Er… Mas Dimas, bukannya ini kantornya Pak Roni, ya? Kirain jalan-jalan beneran,” tanya Irene sedikit kecewa ketika Dimas memasuki sebuah pelataran gedung berlantai lima, yang dua lantai teratasnya merupakan firma yang dikelola kolega Gio yang bernama Roni yang merupakan seorang corporate lawyer.

“Iya memang kita mau jalan-jalan. Tapi ngerangkep urusan kerjaan dikit. Percaya aja pasti seru. Selain itu, ada urusan lain yang nyangkut kamu. Udah ikut aja dulu,” jawab Dimas.

Tak lama kemudian setelah memarkirkan kendaraan mereka, keduanya sudah berada di dalam kantor Roni yang terletak di lantai tertinggi gedung itu. Dalam percakapan Dimas dan Roni, Irene dapat menangkap bahwa perusahaan Gio yang kembali ingin membuka sebuah cabang anak perusahaan, kali ini di sebuah provinsi di utara pulau Sumatra, asal keluarga Roni. Atas permintaan dari Gio sendiri, Roni diminta turun tangan untuk memberikan pendampingan hukum, yang tak dapat ditolak oleh Roni karena hubungan pertemanan dan memang proyek kali ini melibatkan anggaran yang sangat besar. Demi kelancaran mobilitas Roni, Dimas ditugaskan oleh Gio secara pribadi agar dapat membantu Roni dalam mobilitas. Maka dari itu, di hari itu Dimas meminta izin ke Gio untuk meninggalkan pekerjaan lebih awal, dengan alasan bersiap-siap. Tak salah dengan alasan itu, namun yang tidak diketahui bosnya, ia berencana untuk mengajak Irene; bagaikan sambil menyelam minum air. Dengan melibatkan Roni, Dimas ingin memberikan kejutan sebuah perjalanan liburan bagi Irene yang selama beberapa minggu terakhir tampak tidak seperti Irene yang ia kenal. Dimas tahu sebabnya.



Suatu malam di beberapa minggu lalu Irene menelpon Dimas dengan suara tercekat, meminta Dimas untuk menjemputnya di rumah kost-nya. Sesampainya di kost Irene, awalnya Dimas kebingungan dengan apa yang terjadi dengan gadis itu. Aku mau nginep di tempat mas Dimas, hanya itu pinta Irene dengan wajah yang begitu murung bagai tak ada gairah hidup. Sepanjang perjalanan menuju apartemen Dimas, Irene hanya menangis dalam diam. Sebagai pria yang lebih dewasa, Dimas hanya menggenggam tangan gadis itu sepanjang jalan, tanpa bertanya apapun. Sesampainya mereka di apartemen Dimas, di situlah Irene mulai menceritakan kisahnya dengan Vino. Ia mengutarakan seluruh kejadian yang menimpanya; rasa takutnya, sakitnya, penyesalannya dan kekecewaannya.

“Udah. Udah. Mas nanti beresin,” kata Dimas menenangkan sambil memeluk tubuh mungil Irene.

“Beresin gimana maksudnya? Jangan yang aneh-aneh, Mas Dimas. Irene cuma gamau keluarga Irene tau. Irene juga gamau mas Dimas dan mas Bima kena masalah gara-gara Irene teledor,” ujar Irene sambil mengusap air matanya.

“Hahaha… Udah tenang. Beres… Diminum dulu teh angetnya biar tenang,” kata Dimas sambil mengusap punggung si gadis yang menuruti Dimas menyeruput tehnya. Sesekali tangan jahilnya mendekati pinggiran payudara Irene.

“Mas Dimas, bobonya malem ini gapake seks ya… Please… Irene capek,” pinta Irene menatap Dimas memelas.

“Siapa bilang, Mas pingin seks,” tangkis Dimas sedikit salah tingkah karena si gadis dapat membaca pikirannya. Namun sebagai pria dewasa yang berkomitmen dalam sebuah perkumpulan rahasia terlarang, Dimas tahu harus menahan kepentingan pribadinya pada saat-saat yang dibutuhkan, dan momen itu salah satunya. Gadis di hadapannya sedang dalam kondisi mental yang jauh dari baik dan ia telah dipercaya si gadis sebagai penyelamat dari kekalutannya. Sebagai pria bertanggung jawab, Dimas tak akan memperparah keadaan dengan memaksa si gadis bercinta walaupun tak dapat dipungkiri, berduaan dengan gadis belia dan ranum itu mengusik kejantanannya.

“Ah, bokis. Sok-sokan,” timpal Irene mematahkan kilah Dimas, namun kembali memeluk tubuh Dimas yang empuk dan begitu melindungi. “Irene serius, Mas Dimas.”

“Oke.”

“Irene juga gamau balik ke kost Irene.”

“Oke. Kamu bisa tinggal di sini selama yang kamu mau, sayang.”

Dimas menepati janjinya. Seluruh barang Irene ia pindahkan ke apartemennya yang disewakan secara cuma-cuma oleh Agam kepadanya. Bahkan hingga beberapa minggu setelah kejadian itu, ketika Irene masih tetap menolak dijamah oleh Dimas, pria itu tetap menepati janjinya.



“Jadi dik Irene, si Dimas ini udah cerita semua masalah kamu. Dia udah beresin sendiri masalah kamu sama pacar kamu yang namanya Vino itu. Dengan bantuan saya tentunya,” kata Roni memecahkan lamunan Irene.

“Mantan, Pak Roni. Mantan,” kata Irene mengoreksi. “Beresin gimana maksudnya?”

“Mas udah nemuin langsung Vino. Mas kasih dia peringatan tegas,” sahut Dimas menimpali.

Tanpa sepengetahuan Irene, Dimas sudah menemui menemui Vino. Dengan bantuan dua rekannya, Dimas menunggu momen yang tepat ketika Vino sedang sendiri di parkiran kampusnya untuk menyeretnya masuk ke dalam minibus yang disewa Dimas dan membawanya ke sebuah tempat cukup terpencil di pinggiran kabupaten dari kota bunga itu, hanya untuk ‘memperingatkan’ Vino. Pertama Dimas ‘mempersuasi’ Vino untuk menyerahkan smartphone-nya pada Dimas. Dengan cekatan Dimas mendapati foto-foto dari smartphone Irene yang masih tersimpan di dalam galeri dan percakapan Vino dengan Irene. Seperti dugaan Dimas, beruntung bagi Dimas dan Irene bahwa pemuda itu tampaknya belum menyebarkan gambar-gambar pribadi itu kepada siapapun. Cupu, batin Dimas kecewa. Tanpa aba-aba, Dimas mengakses pengaturan dan memilih untuk menghapus seluruh data smartphone milik Vino itu, yang jelas ditanggapi dengan protes marah pemuda itu, namun disambut oleh sebuah pukulan yang melayang ke wajah pemuda itu. Setelah puas memberikan ‘peringatan tegas’ pada pemuda itu, Dimas kemudian memberikan sebuah surat somasi yang telah disiapkan Roni sebagai kuasa hukum Irene yang berisikan sebuah ancaman untuk mengambil jalur hukum atas perbuatan yang dilakukan oleh Vino kepada Irene, termasuk potensi laporan atas pemerkosaan, penganiayaan, dan perampokan, dengan sederet ancaman akan pembeberan barang bukti. Vino yang mengingat dirinya telah meninggalkan banyak jejak dirinya di dalam kamar kost dan tubuh Irene, menyadari keadaan tidak akan berpihak kepadanya apabila ia berniat untuk melakukan laporan balik; tidak dengan kuasa hukum yang melindungi Irene, tidak dengan keadaannya yang kini dalam kesulitan finansial dan meminta bantuan orang tuanya bukan merupakan suatu pilihan. Ia tak akan segila itu untuk melibatkan keluarganya pada suatu masalah yang ia sendiri sadari bahwa ia juga telah banyak melakukan kesalahan. Ia menyadari telah mengusik orang-orang yang seharusnya tak ia usik. Satu-satunya keputusan terlogis ialah dengan melepaskan masalah itu dan menguburnya dalam-dalam. Dengan kepasrahan, Vino menerima surat yang telah ia baca itu, beserta smartphone-nya yang kini sudah kosong tak memiliki data, tanpa data cadangan apapun. Puas bahwa targetnya ternyata lebih mudah untuk dijinakkan, Dimas dan rekan-rekannya menurunkan Vino ke tempat semula dirinya dibawa dengan paksaan.

“Sumpah, Mas Dimas, dia ga kenapa-kenapa kan?” desak Irene setelah mendengar cerita Dimas.

“Suer! Mas juga ga ******, Ren. Lagian ngapain juga kamu masih peduli sama cowok kayak gitu?” sanggah Dimas sedikit tak terima Irene masih menanyakan keadaan mantan kekasihnya itu.

“Aku ga peduli dia, Mas. Aku takutnya Mas Dimas nanti yang ada masalah karena udah nyakitin dia.”

“Tenang aja dik Irene. Dimas tak seceroboh itu. Yang penting masalah sekarang sudah beres. Dik Irene sudah bisa tenang, saya jamin tak akan ada masalah dari foto-foto itu. Kalaupun ada, kita pasti akan tuntut dia dan saya pastikan kita bakal menang. Karena foto-foto itu adalah properti pribadi kamu dan dia sudah melakukan sederet kesalahan lain yang kita dapat buktikan dengan mudah,” potong Roni dengan begitu penuh percaya diri.

“Lagian, Ren, usut punya usut dia juga lagi kesulitan finansial karena jadi korban judi online. Mas jamin dia ga akan bisa ngapa-ngapain,” kata Dimas menenangkan.

“Jangan lupa dik Irene, ganti semua sandi kau itu. Dan jangan sekali-kali ceroboh lagi,” hardik Roni sambil tersenyum.

Irene mengangguk menerima kritik dari Roni itu. Pria itu benar, Irene harus semakin berhati-hati dan lebih menuruti perkataan pria-pria dewasa yang peduli padanya. Dibanding mereka yang jauh lebih memiliki pengalaman dalam hidup, Irene hanyalah gadis baru didewasakan kemarin dan masih perlu banyak belajar menghadapi masalah.

“Ya sudah, ayo kita berangkat. Jangan sampai kita tertinggal pesawat,” ajak Roni sambil beranjak dari tempat duduknya.

Meninggalkan ruangan Roni, Dimas dan Irene menunggu Roni yang sedang bercakap dengan seorang pria berpawakan sedang dengan perut membuncit hampir menyaingi Dimas, yang tampaknya adalah karyawan Roni. Dari kejauhan Irene dapat mendengar samar percakapan kedua pria tersebut.

“Ok. Kau jaga kendang baik-baik ya, Aldi! Amankan jangan sampai ada masalah selama kutinggal, hahaha,” gelak Roni yang tampaknya mempercayakan kantornya kepada pria bernama Aldi itu.

“Siap, Pak Roni! Hati-hati di jalan. Semoga tendernya lancar,” balas Aldi pada Roni yang sudah berjalan ke arah Irene dan Dimas yang menunggu di depan lift.

Sekilas pandangan Irene bertemu dengan yang dipanggil Aldi itu. Wajah dan nama itu tak terasa asing bagi gadis itu, walaupun Irene yakin ia tak pernah bertemu dengan pria itu sama sekali. Dengan perasaan ringan, karena beban masalahnya yang ia pikirkan beberapa minggu terakhir kini telah terangakat, Irene melenggang masuk lift yang terbuka, mengikuti dua pria di sebelahnya. Pintu lift tertutup perlahan ketika Irene, yang sekali lagi mengarahkan pada pria bernama Aldi itu, tiba-tiba teringat dimana ia pernah melihat wajah pria itu: di foto-foto yang terpajang di rumah wanita bernama Arina, berbulan-bulan lalu ketika Irene terlibat sebuah pesta seks panas di rumah Arina itu. Pria bernama Aldi itu adalah suami Arina, wanita yang tak terlihat batang hidungnya selama beberapa bulan terakhir sejak kelahiran putranya.



Sesampainya di tanah Batak, selama tiga malam dua hari Dimas dan Irene menginap di sebuah hotel di sebuah kota kecil yang relatif dekat dengan sebuah danau ternama di provinsi itu—demi kemudahan antara acara wisata Irene dan urusan menuju situs anak perusahaan Gio. Sedangkan Roni memilih menginap di rumah kerabat dari pihak istrinya di kota itu; titah sang istri yang tak dapat ia tolak. Pagi hari hingga siang, Irene ditinggalkan Dimas yang harus mengantar Roni berkeliling dengan mobil yang disediakan anak perusahaan Gio. Siang hingga malam hari Dimas menemani Irene berkeliling melihat pemandangan—pegunungan, air terjun, danau yang begitu besar—hingga berkuliner. Dalam hari-hari itu, sedikit demi sedikit Irene dapat menemukan dirinya kembali yang sempat terpuruk, terpendam dalam kubangan trauma, kecemasan, dan kesedihan. Jauh dari realita kesehariannya di ibukota, kini Irene dapat bernapas dengan lega, berjalan dengan ringan, dan tertawa dengan lebih lepas. Everything is gonna be alright again, benak Irene mengatakan.

“Katanya pulang Minggu, mas Dimas. Ini masih Sabtu pagi,” kata Irene pada Dimas saat mereka akhirnya check out.

“Tunggu kejutannya ya,” jawab Dimas sambil mengerlingkan mata.

Tiga malam berjalan dengan cepat. Di pagi akhir pekan itu, Dimas memacu mobil kantornya menuju ibukota provinsi itu. Irene mendapati ternyata Dimas mengarahkan mereka menuju bandara kembali. Katanya belum mau pulang, batin Irene sedikit kecewa. Di bandara ternyata Roni telah menunggu mereka dengan tiga lembar tiket di tangannya. Irene yang menerima sebuah tiket pesawat dari Roni membaca namanya tertera pada boarding pass yang mencantumkan sebuah kode bandara yang tidak familiar—yang jelas bukan menuju ibukota.

“Kita mau ke sih?” tanya Irene.

“Tunggu kejutannya,” jawab Roni tersenyum, menyamai Dimas beberapa saat sebelumnya.

“Rajin banget, Bang, sampe duluan. Ga mau dijemput takut ketahuan keluarga besar ya? Hahaha…” sapa Dimas pada Roni dengan kelakar.

“Jadi, Rene, Bang Roni ini alesannya mau pulang kampung ke rumah keluarga orang tuanya. Padahal mau ehem ehem. Hahaha,” lanjut Dimas mengejek pria yang lebih tua itu.

Tak membantah, Roni hanya tersenyum lebar mendengar kelakar Dimas dan mengajak kedua rekannya menuju gerbang keberangkatan. Memang benar adanya ia berkilah pada istrinya dan kerabatnya bahwa akan menghabiskan akhir pekannya di salah satu kota di selatan provinsi itu—kota asal opungnya yang berdarah Mandailing. Orang tua Roni yang merantau ke ibukota membuatnya menjadi generasi pertama di keluarganya yang dilahirkan di luar tanah leluhurnya. Kini dengan opungnya yang sudah tiada, Among-Inongnya yang memasuki usia senja di ibukota, saudara-saudara mereka yang kebanyakan sudah tiada atau mengikuti anak-anak mereka—sepupu-sepupu Roni—merantau, kini rumah keluarga besar milik opungnya tak berpenghuni dan hanya sesekali diurus oleh seorang penjaga rumah yang dipercayai keluarganya.

Kini Roni membuat kota kelahiran Among-Inongnya itu sebagai kambing hitam kepada istrinya untuk kepulangannya yang tertunda hingga Minggu malam. Faktanya, Roni menuju sebuah pulau di pesisir barat tanah Batak itu. Di pulau itu, Roni memiliki sebuah properti yang ia rahasiakan dari seluruh keluarganya. Secara diam-diam ia memiliki sebidang tanah yang sangat luas yang di pesisir utara pulau itu yang kini telah berdiri sebuah rumah. Untuk menuju tempat itu, Roni, Dimas, dan Irene perlu menempuh satu jam perjalanan udara, ditambah sekitar 2 jam darat dengan mobil sewaan.

Matahari mulai menggelincir ke sisi barat ketika mereka mulai memasuki akses jalan tanah yang kecil di antara hamparan kebun kelapa sawit dan cukup jauh dari jalan utama yang beraspal, hingga akhirnya di ujung jalan itu tampak sebuah pagar yang melingkari sebuah bungalow putih yang tampak bersih, cantik dan terawat dengan bunga-bunga tumbuh di tamannya. Taman belakang bungalow tersebut terbuka menuju pantai berpasir putih dan menampakkan bentangan samudra berwarna biru, begitu megah, mempesona, sekaligus menenangkan. Tak ada seorangpun di area itu, bahkan hingga berkilo-kilometer di sisi kanan dan kiri pesisir itu—jelas, karena area itu milik pribadi yang terbentang sekitar seratus ribu meter persegi, menurut pengakuan Roni sebagai pemilik tanah itu, dan di luar tanah miliknya itu pun masih didominasi belantaran sawit.

Edan! Bang Roni, dapet tanah seluas ini gimana ceritanya?” tanya Dimas terkagum, sambil keluar dari mobil sewaan mereka.

“Hadiah. Setelah bantu salah satu kliennya Gio. Hahaha…” jawab Roni terkekeh, mengakui sebuah tindak gratifikasi yang pernah ia terima.

“Wah, wah… Edan, Bang. Mantap,” puji Dimas sambil menggelengkan kepala.

“Bah. Masih tak seberapa lah. Dibanding mereka-mereka yang punya pulau pribadi,” tukas Roni.

Setelah memasukkan barang-barang mereka ke dalam rumah mungil dan cantik itu, Irene berjalan menuju pantai yang tak jauh dari rumah rahasia Roni itu. Terdapat tiga kursi tidur lengkap dengan parasol, yang masih lagi terlindungi pohon kelapa yang rindang di pesisir pantai itu. Irene duduk di kursi tengah dan meresapi suara deburan ombak yang begitu menenangkan. Sudah lama gadis itu tak merasakan perasaan seringan itu. Suara samudra luas di hadapannya bagaikan mengingatkannya untuk melepaskan beban pikiran dan lebih menikmati hidup.

Terdengar suara seseorang mendekatinya dari belakang. Irene menolehkan kepalanya dan mendapati Dimas mendekatinya, telah bertelanjang dada, hanya mengenakan celana renang pendek.

“Mataharinya panas. Tapi untung di sini rindang dan anginnya adem,” komentar Dimas.

Sebelum sempat Irene membalas perkataan Dimas, terdapat suara Roni dari belakang Dimas menginterupsi.

“Au keluar dulu ya, Dimas. Macam mana kelupaan beli bensin buat genset. Sambil cari makan buat nanti malam juga. Kau santai-santai dulu lah. Mau mulai dulu juga ok,” kata Roni pada Dimas dengan seringai penuh makna.

“Wah siap, bang! Makasih!”

Dengan begitu, tinggal lah Dimas dan Irene berdua.

“Iren. Renang, yuk?” ajak Dimas menyeringai pada Irene, yang dianggukan gadis itu, tak peduli lagi dengan pronunciation Dimas yang selalu memanggil dirinya Iren alih-alih Airin.

Tak perlu lama bagi Irene untuk berganti dengan bikini two-piece berwarna putih yang tampak menggemaskan di tubuh mungilnya yang cerah tanpa cela. Sebuah pemandangan yang menggoda iman bagi Dimas. Beberapa saat berikutnya, keduanya telah berenang kesana kemari tak jauh dari tepi pantai. Sesekali mereka saling bermain air laut yang terasa segar di tubuh mereka. Keduanya saling mengejar, tertawa lepas, hingga akhirnya berguling-guling di atas pasir terengah kehabisan nafas. Hidup terasa indah pada momen-momen itu.

Dalam basahnya kedua tubuh mereka yang diterpa sinar mentari yang perlahan menuju sore, kedua insan manusia terpaut 14 tahun usia itu saling menatap sepasang mata masing-masing. Debaran jantung mereka perlahan mulai cepat. Kedua wajah mereka makin mendekat. Perlahan keduanya menutup mata mereka dan membiarkan insting mereka yang bekerja. Tak lama, bibir keduanya saling bersentuhan dan merapat erat dalam sebuah ciuman mesra sepasang sejoli. Perlahan lidah Dimas mulai menyapu bibir Irene yang disambut dengan sapuan lidah si gadis dan bibir ranumnya yang merekah, mengizinkan lidah pejantannya untuk memasuki rongga mulutnya, membelit lidah mungilnya. Akhirnya setelah sekian lama, setiap tetes cairan ludah mereka saling membaur kembali. Keduanya saling hirup khas aroma nafas, ludah, dan mulut masing-masing yang begitu membuai. Di momen itu mereka merasakan indahnya sebuah pagutan mesra yang menjadi langkah pertama kedua insan manusia berbeda jenis kelamin itu membuka peraduan cinta dan nafsu mereka di sore itu.

Setelah momen percumbuan yang terasa begitu lama itu akhirnya keduanya melepaskan pertautan bibir mereka. Terengah mereka menarik nafas dan perlahan membuka mata masing-masing. Terdapat rasa cinta dan nafsu yang membara dalam pandangan mereka.

“Iren. Mas Dimas izin mau ngentot kamu, ya sayang. Boleh?” Dimas menjadi yang pertama memecah keheningan dengan permintaannya yang begitu tulus dan sungguh-sungguh.

Selama sebulan terakhir, Irene yang sedang dirundung kekalutan batin merasa terima kasih tak terkira pada Dimas yang telah menepati janji untuk tak menjamah tubuhnya; yang telah bersabar hingga Irene merasa siap. Kini dengan perasaan ringan, hati berbunga-bunga, dan kebahagian yang membuncah, Irene kini sudah tahu jawabannya dengan pasti, bahwa ia sudah siap kembali untuk dijamah secara lahir dan batin. Tubuh dan hatinya ingin bercinta dengan pria dewasa di hadapannya.

“Boleh, Mas Dimas. Please, entot Irene. Puasin Irene,” jawab Irene lembut namun mantap, yang dibalas senyuman lebar Dimas. Akhirnya ia dapat menggagahi tubuh gadis favoritnya kembali.

Perlahan Dimas menarik lepas ikatan bikini atas yang bersimpul di leher dan punggung Irene. Terlepaslah penutup payudara ranum si gadis. Dengan cekatan, Dimas menggenggam kedua pasang gunung kembar itu dan meremasnya dengan lembut sebelum akhirnya memasukan salah satu puncak payudara berputing coklat pucat itu ke dalam mulutnya. Pria itu melakukan hisapan dengan intensitas sedang pada puting ranum milik si gadis yang diselingi dengan gigitan-gigitan manja pada puting dan areolanya. Hal itu Dimas lakukan bergantian pada kedua payudara Irene dalam beberapa kali sebelum ia akhirnya berfokus pada kain penutup terakhir yang melekat di tubuh si gadis. Pada titik itu pria itu sudah tak mau membuang waktu untuk berpindah tempat. Ia sudah bertekad untuk menggagahi gadis itu tepat di garis tepi pantai tempat ombak menyentuh pantai dan kembali menjauh.

Perlahan Dimas baringkan tubuh Irene di atas pasir putih. Pria itu menemukan ujung simpul bikini bawah milik Irene yang terikat di sisi kanan dan kiri pinggulnya dan menariknya secara bersamaan. Dengan sekali renggut, kini tak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh belia Irene. Dengan sigap Dimas merenggangkan kedua tungkai kaki Irene untuk membuka area keintiman si gadis. Dengan pandangan nanar, Dimas menatap sebuah rekahan vagina berwarna merah muda yang dihiasi rambut pubis yang masih tergolong tipis dan jarang. Pria itu mendekatkan hidungnya di depan rekahan itu dan menghirup dalam-dalam aroma khas kewanitaan milik gadis belia itu yang kini telah bercampur dengan aroma air laut. Tampak mencuat di ujung atas bibir memek indah itu, sebuah klitoris si gadis yang mulai menegang, pertanda libidonya mulai naik.

Tak menghabiskan waktu, Dimas melahap rekahan daging mentah berwarna merah muda itu yang disambut dengan desah manja dari pemiliknya. Secara teliti lidah kasar Dimas menyapu setiap lipatan-lipatan area terintim milik Irene, mulai dari tonjolan kelentitnya, lubang kecil yang mengeluarkan air seninya, vulvanya yang merekah basah, perineumnya, hingga kerutan pintu pembuangannya pun tak luput dari jilatan mesra lidah Dimas. Dibuai seperti itu, dengan cepat cairan pelumas milik Irene makin melimpah membasahi dinding memeknya dan meleleh melalui celah vulvanya. Bahagia, Dimas menyeruput lelehan bening yang tak kunjung berhenti itu hingga pada satu titik Dimas merasa saatnya membuat gadisnya menuju puncak sebelum hidangan utamanya. Dengan cekatan Dimas tiba-tiba memasukkan jari tengah dan jari manisnya ke dalam lubang sempit Irene dan mulailah ia melakukan gerakan menggaruk dinding depan memek mungil itu. Seketika lenguhan merdu terlepas dari mulut Irene.

Lama kelaman tubuh Irene bagai cacing kepanasan dengan jemari Dimas yang secara persisten mengait wilayah terintimnya itudan menyerang G-spot-nya. Melihat gadisnya tampak mendekati klimaksnya, Dimas segera melumat biji kelentit si gadis hingga akhirnya bendungan itu tak dapat ditahan lagi oleh Irene.

“MAS DIMASSSS… AKU DAPET… AAHHH…” lolong Irene yang tubuhnya serasa dilolosi. Otot-ototnya berkontraksi, terutama otot area dasar panggulnya, membuat cairan squirt sedikit menyemprot, yang secara sigap ditangkap oleh mulut Dimas. Cairan cinta si gadis pun makin meleleh tak karuan, juga diseruput oleh Dimas. Akhirnya setelah berminggu-minggu yang terasa seperti bertahun-tahun, Irene mendapatkan orgasme sejatinya secara hakiki.

Dimas melepaskan kait jemarinya dari memek Irene untuk memberikan si gadis kesempatan untuk mengatur nafasnya. Momen itu ia gunakan untuk melepaskan celana renangnya dan mengekspos batang kejantanannya yang sudah setengah tegang. Dengan berlutut di dekat kepala Irene, Dimas seolah memberikan kode yang dimengerti si gadis untuk segera memberikan oral seks. Irene bersimpuh di hadapan selangkangan Dimas itu dan memberikan kocokan beberapa kali pada kejantanan bersunat berwarna coklat itu sebelum memasukkannya ke dalam mulutnya. Lidah si gadis dengan cekatan menyapu kepala kejantanan, sisi bawah, hingga ke pangkalnya, membuat benda yang sering disebut kontol itu dengan cepat mencapai ketegangannya yang maksimal. Kontol itu kini memenuhi mulut si gadis secara sempurna. Meskipun memang berpawakan tambun besar sejak kecil, saat melewati masa pubertas, Dimas dikaruniai sebuah kejantanan yang ikut bertumbuh menjadi besar hingga masa dewasa mudanya. Ukurannya yang tergolong masih di atas rata-rata itu kini menjadi nilai lebih dalam masalah percintaan.

“Udah, sayang, mas langsung masukin sekarang ya,” ucap Dimas yang menjadi kode bagi Irene untuk mengakhiri blowjob-nya dan segera kembali merebahkan tubuhnya di atas pasir yang hangat.

Segera tubuh besar Dimas menaungi tubuh mungil Irene. Kedua tungkai kakinya telah ia regangkan agar batang keras di selangkangan Dimas dapat mendekati celah kewanitaannya. Jemari mungilnya menggenggam batang panas milik pejantannya, berinisiatif membimbing kepala kejantanan itu untuk menemukan pintu masuk ke belahan peraduannya. Dimas mengerti Irene telah terbakar nafsu, karena dirinya pun begitu. Maka dari itu ketika kepala kontolnya menyentuh bibir memek Irene, berkat bimbingan jemari gadis itu, Dimas tak menunda untuk segera menekan pinggulnya. Kepala batang gemuknya seketika membelah celah basah si gadis yang diikuti dengan dengus nafas keduanya. Dimas tetap mendorong pinggulnya, membuat kontolnya yang sepadan gemuknya dengan tubuhnya memasuki memek Irene dengan perlahan tapi pasti hingga akhirnya pria itu dapat merasakan halangan padat di ujung kontolnya, menandakan kepala kejantanannya telah bertemu dengan mulut rahim yang beberapa minggu tak dijumpai. Bagaikan seekor burung yang lama terbang berkelana hingga akhirnya menemukan sarangnya, seluruh batang gemuk Dimas akhirnya tertanam sempurna di dalam liang cinta Irene. Kedua insan berbeda generasi itu saling menatap mesra, meresapi hangatnya pertautan sempurna kelamin mereka, untaian rambut pubis yang saling berbaur, perut tambun pria yang mendesak rapat wanitanya, dada bidang berbulu menggesek lembut puncak payudara ranum, dua pasang bibir yang saling bertukar kecupan-kecupan penuh cinta.

“Mas mulai gerak ya,” kata Dimas memberikan aba-aba yang hanya dijawab dengan angukan kecil Irene.

Berjuta-juta stimulasi dalam rongga surgawi Irene bagaikan teramplifikasi berjuta-juta kali lipat. Setelah berminggu-minggu dalam kesedihan dan tak didatangi kejantanan, kewanitaannya kini begitu begitu prima menerima hadirnya sebuah kejantanan perkasa. Dengan pikiran penuh kebahagiaan dan rasa cinta, kenikmatan yang kini Irene rasakan perlahan bagaikan menghapus pengalaman traumatis yang ia rasakan secara lahir dan batin beberapa minggu sebelumnya. Kini tubuhnya menemukan kembali jati dirinya dan Irene sangat menikmatinya. Tak perlu waktu lama hingga akhirnya si gadis menggapai puncak pertamanya dalam persenggamaan sore itu.

“Ah… Mas Dimas… Irene keluar…” desah lembut si gadis, tubuhnya bergetar di bawah naungan tubuh pejantannya—makin mendekap erat.

Dimas dapat merasakan guyuran hangat cairan cinta Irene membasahi batang gemuknya. Namun Dimas sama sekali tak mengendurkan gerakan pinggulnya. Pria itu telah dengan sabar menunggu si gadis untuk membuka jiwa dan raganya kembali dan kini tubuh besarnya ingin mereguk kenikmatan sebanyak-banyaknya dari tubuh mungil itu. Ia kerahkan pinggulnya untuk bergerak naik turun dan sesekali berputar; semakin lama semakin bertenaga, semakin membuai saraf-saraf kenikmatan si gadis. Sesekali bibir Dimas mengecupi bibir Irene, mencumbu putingnya yang mencuat, menjilati telinga si gadis; membuai tubuh belia itu dalam lumpur kenikmatan. Hingga akhirnya tak lama, gadis itu kembali mencapai puncak surga dunianya kembali, kini sedikit lebih hebat dari sebelumnya.

“OOH… OOH… IRENE KELUAR LAGIII…” teriak lantang si gadis, suaranya teredam deburan ombak yang mengiringi suara percintaan mereka. Jemarinya makin mencengkeram punggung pejantannya. Kedua tungkai kakinya makin melingkar erat di pinggang pejantannya, seolah tak ingin pertautan tubuh mereka terlepas.

Kini Dimas menghentikan sejenak gerakannya, menatap dalam-dalam wajah Irene yang sedang tenggelam dalam surga dunia. Tubuh kedua insan itu telah basah oleh keringat yang begitu cepat membanjir keluar akibat kelembaban udara Samudera Hindia dan aktivitas fisik sangat intim di bawah mentari sore yang begitu memicu debaran jantung mereka.

Tanpa aba-aba, Dimas merengkuh tubuh mungil Irene yang masih mendekap erat tubuh besarnya dan dengan cekatan menggulingkan tubuhnya ke arah samping, membalik keadaan mereka sehingga kini Dimas berada di bawah dan Irene berada di atas.

Kini dalam posisi woman on top, Irene mulai mengangkat tubuhnya, bertopang pada dada lebar dan berbulu milik Dimas dan mencoba berinisiatif untuk perlahan menggerakan tubuhnya naik turun di atas tubuh Dimas. Akibat belum reda sepenuhnya dari orgasmenya, tenaganya tak dapat ia kerahkan sepenuhnya untuk menggerakkan pinggulnya dengan optimal. Dimas yang menyadari kondisi gadisnya, mengimbangi dengan menggerakkan pinggulnya dari arah bawah, menyambut hempasan selangkangan Irene. Tak lama, tubuh Irene berguncang naik turun secara ritmis di atas tubuh Dimas. Sepasang payudaranya tak terlalu besar yang dihiasi puting mencuat keras itu berguncang indah. Butiran-butiran pasir yang menempel di punggung Irene mulai berhamburan akibat hempasan tubuh dua insan yang tampak berkilau di bawah cahaya mentari yang makin menggelincir di sisi barat.

“Mas Dimaasss… Mau keluar lagiii… Aaaahhhh…” rengek Irene di atas tubuh Dimas. Pandangannya sayu.

Pinggul si gadis tak bisa berhenti mencari kenikmatan, makin bergoyang liar bagai menguleni sebuah adonan keras yang tak lain adalah kontol Dimas yang masih perkasa berada di dalam memeknya. Jemari mungilnya mencari jemari gemuk Dimas, mengajak untuk saling bersilang. Si gadis meremas erat genggaman pejantannya, ketika gelombang orgasmenya kembali meluluh lantakkan seluruh tubuhnya. Otot-otot dasar panggul si gadis berkontraksi hebat sehingga pada orgasme kali itu, selain lelehan cairan cinta yang makin membuih putih akibat kocokan intens di dalam memeknya, suatu cairan bening menyemprot kuat keluar dari lubang kencing Irene dan membasahi perut bawah Dimas.

Ketika puncak kenikmatannya mulai mereda, tubuh Irene mulai kembali melunglai, yang kini menjadi sinyal bagi Dimas untuk mengangkat tubuhnya dari berbaring menjadi duduk, menyambut tubuh mungil yang mulai ambruk dan melemas dalam badai orgasmenya yang ketiga dalam persenggamaan itu. Terengah, gadis itu meletakkan kepalanya yang terasa sangat ringan pada bahu Dimas yang empuk dan bidang. Aroma khas keringat pria itu semerbak menyeruak indra penghidu si gadis yang sedang mengatur nafasnya. Begitu pula dengan Dimas dapat mengirup aroma khas keringat Irene dari sela-sela rambut kepala si gadis yang sudah begitu basah dan lepek. Pria itu menggunakan jeda itu untuk mengatur nafas dan meresapi sensasi remasan dinding memek gadis yang sudah ia pecundangi tiga kali dengan kontolnya.

“Mas Dimas… Masih keras… Belum keluar?” tanya Irene lirih di antara deburan ombak, hampir tak terdengar oleh Dimas.

“Mungkin bentar lagi. Iren masih kuat kan sampe Mas keluar?” tanya Dimas balik pada Irene yang dijawab dengan anggukan kecil si gadis yang dibuat tersipu oleh keperkasaan pria yang memeluknya itu.

Meskipun tambun karena bawaan genetik, namun Dimas merupakan seorang yang penyuka aktivitas fisik. Tubuh tambunnya tidak lemah sama sekali. Apalagi dengan dianugrahi bentuk dan ukuran kejantanan yang cukup bersaing membuat Dimas tidak kalah dalam urusan ranjang dan wanita. Pertemanannya dengan rekan sekantornya, Bima, membuat petualangan hidupnya lebih berwarna dalam hal selangkangan, hingga berujung keterlibatannya dalam kelompok rahasia yang dibentuknya bosnya, Gio. Sebagai pria termuda dan satu-satunya yang tidak berasal dari kalangan atas dalam grup itu, Dimas selalu mengusahakan yang terbaik dalam mengikuti ekspektasi-ekspektasi rekan-rekan seniornya yang status sosialnya lebih tinggi darinya. Dengan kepercayaan mereka pada Dimas untuk menjadi salah satu pria penjaga tiga bidadari pemuas nafsu pilihan bosnya itu, pria itu selalu berusaha keras memberikan yang terbaik, terutama dalam hal ini adalah performa seks. Sejak usianya yang ke-27, ketika perkumpulan seks itu dibentuk oleh bosnya, selama lima tahun terakhir tubuh tambunnya tak banyak mengalami perubahan meskipun aktivitas fisiknya meningkat—tak ada yang bisa Dimas lakukan untuk mengubah sesuatu yang sudah terpatri di DNA-nya. Namun di sisi lain, dalam kurun waktu yang sama, stamina Dimas begitu meningkat pesat, terutama performanya dalam memuaskan wanita. Meskipun ia tak dapat menandingi performa rekannya yang bernama Agam, seorang pejantan tangguh dari Timur, namun kini Dimas dapat menyaingi performa rekannya Bima, pria paling atletis dalam kelompoknya itu, dan juga Gio, bosnya sendiri.

Dalam posisi duduk itu, Dimas mulai menggerakkan pinggulnya, memicu kembali pergerakan kontolnya yang masih bertaut di dalam memek Irene. Dimas yang menyadari bahwa Irene masih lemas, menggenggam kedua bongkahan pantat gadis itu dan berinisiatif menggerakkan pinggulnya. Selama beberapa menit gerakan itu Dimas lakukan dengan ritme yang stabil hingga akhirnya tubuh Irene perlahan mulai menggeliat, pertanda libidonya kembali ‘dipaksa’ untuk bangkit. Tak lama, desahan-desahan manja kembali terdengar keluar dari bibir si gadis. Betapa misterius dan mengagumkan bagaimana tubuh wanita dapat mereguk kenikmatan bertubi-tubi.

Melihat tubuh betinanya mulai panas kembali, Dimas lebih meningkatkan intensitas gerakan pinggulnya yang akhirnya disambut sendiri oleh pinggul Irene tanpa Dimas harus gerakkan. Kontol Dimas yang sudah begitu mengkilap basah berlumurkan cairan cinta Irene yang sudah berbuih putih itu dengan instens bergerak keluar masuk liang peranakan rapat yang belum pernah dilalui bayi itu. Irene yang sedari tadi masih menyandarkan kepalanya di bahu Dimas, kini mulai menengadah, menatap lekat wajah pejatannya, dan mengalungkan kedua lengan kecilnya di leher Dimas. Ditatap seperti itu, kontan membuat chemistry di antara mereka kembali bergejolak. Jantung Dimas pun berdetak makin kencang. Begitu pula jantung Irene yang tak kalah kencangnya. Bagi si gadis, posisi mereka saat itu mengingatkannya pada malam pertemuan pertama mereka dimana mereka memadu kasih untuk pertama kalinya di ranjang Bima, dalam posisi persetubuhan yang sama ketika Dimas menghamburkan benih suburnya di dalam rahimnya. Dan hal itu yang akan terjadi juga kali ini.

“Mas mau keluar…”

“Hah… Hah… Irene juga masss…”

“Bareng, sayang! AAAHHH…”

“AAAHHH… MAS DIMAASSS…”

Remasan hebat dan guyuran deras cairan cinta Irene dapat dirasakan Dimas pada kontolnya yang sudah bertahan sedari tadi. Sehebat apapun kontol, pasti harus mengeluarkan peju juga pada akhirnya. Namun kontol Dimas itu telah menang empat kali dalam mempecundangi memek Irene—sebuah performa yang luar biasa, dan kini saatnya kejantanan bersunat yang gemuk itu berhak mengeluarkan tembakan kemengannya. Dengan satu kali hentakan kuat, Dimas mengubur dalam-dalam kontolnya dalam memek Irene. Klimaksnya sudah tak dapat ditahan lagi. Kepala kontol yang dalam posisi menempel erat dengan mulut rahim rapat Irene itu kemudian menumpahkan lahar putih berisi benih-benih subur yang begitu kental dan melimpah ruah—sebagian memasuki rahim Irene, sebagian menyusuri celah antara kontol Dimas dan dinding memek Irene untuk meluber keluar pertautan kelamin mereka. Bagi Irene, kedutan kontol Dimas terasa begitu kuat dan jantan. Sperma pria itu yang begitu panas menghangatkan seluruh relung terdalam Irene yang sempat dingin dalam beberapa minggu terakhir.

Matahari yang makin menggelincir kini memancarkan sinar keemasan, menerpa pesisir utara pantai pulau itu, juga menerpa dua sejoli berbeda generasi, status sosial, etnis, warna kulit, dan bentuk tubuh yang sedang menempel erat dalam posisi sang pria memangku wanitanya di atas hamparan pasir putih pantai yang terbuka, kelamin mereka masih bertaut erat. Keduanya tampak berkilau indah akibat keringat deras yang membasahi tubuh mereka. Keduanya dilanda badai kenikmatan, begitu juga badai asmara. Keduanya saling menatap dalam-dalam satu sama lain, hingga akhirnya bibir mereka saling menumbuk, melumat; lidah mereka saling bertaut bagai menyaingi keeratan tautan kelamin mereka. Dalam cumbuan mesra itu, keduanya saling bertukar ludah, aroma, dan esensi masing-masing. Melalui pertautan kelamin dan lidah, keduanya bagaikan saling bertukar perasaan cinta.

Waktu terasa berjalan begitu lama hingga akhirnya sejoli itu melepaskan pagutan mereka, tapi tak mau melepaskan kelamin. Dimas begitu lembut menatap paras cantik belia milik Irene—mata khas campuran darah orientalnya, hidung mungil, bibir ranum, dan mahkota hitam yang menghiasi kepala dan membingkai wajahnya. Tatapan itu dibalas dengan senyuman manis Irene yang memperhatikan wajah bulat berisi berhiaskan jambang yang selalu tercukur tipis rapi—mata hitam legam, kulit coklatnya, rambut bergelombang yang terpangkas rapi. Irene ingin momen indah itu berlangsung selamanya. Kata-kata cinta sudah berada di ujung lidahnya, namun ada bagian dari lubuk hati Irene yang seolah dengan sekuat tenaga mencegah untuk melontarkan. Apabila Dimas melontarkannya terlebih dahulu, Irene tak akan membendung perasaannya sama sekali; akan ia tumpahkan perasaan yang membuncah di dadanya. Namun Dimas menyadari keterlibatan mereka dalam perkumpulan nafsu laknat itu merupakan hal yang sangat rumit; meskipun hanya tersirat, tidak tersurat, melontarkan kata cinta merupakan hal terlarang yang hanya akan semakin memperumit semuanya.

Dengan lembut tangan kiri Dimas membelai pipi kanan si gadis. Reflek jemari kanannya menggenggam tangan besar Dimas, merasakan kehangatan tangan gempal itu. Gadis itu dapat merasakan sebuah benda keras yang melingkar di salah satu jemari Dimas—yang dari ujung matanya ia dapat melihat refleksikan kilau cahaya matahari. Perlahan Irene mengamati sebuah cincin tersemat di jari manis Dimas. Gadis itu memberikan tatapan penuh arti pada Dimas.

“Cincin tunangan,” kata Dimas yang dapat membaca pertanyaan dari wajah Irene.

“Oh. Kapan nikahannya?”

Rencanae bulan depan. Datang ya. Mau?”

“Yakin? Nanti ada yang marah lagi. Lagian mana mungkin dateng sendiri. Kan ga lucu.”

“Nanti bareng-bareng berangkatnya, sama Mas. Sama Bang Agam sama mbak Arin juga dateng kok. Anggep aja grup temen-temen kantornya, Mas.”

“Kak Arin bukannya di Jogja?”

“Iya. Gampang lah itu bisa diatur. Eh, tapi jangan bilang siapa-siapa yo kalau bang Agam sama mbak Arin ikut. Terutama kebos. Mas cuma izinnya pulang kampung sendiri buat nikahan.”

Irene tak begitu mengerti kenapa tapi tetap mengangguk.

“Ok. Sip. Fixed ya berarti kamu ikut, ya?” tanya Dimas tersenyum, memastikan.

Ih. Dasar ga sensitif. Cowok mana yang ngajak selingkuhan yang udah dia bikin jatuh hati ke nikahannya, rajuk Irene dalam hati. Tapi si gadis menepiskan perasaan yang begitu rumit itu. Ia tersenyum tulus dan menangguk.

Begitu cepat, batin Irene. Dalam beberapa minggu terakhir pikirannya begitu tersita dengan kesedihannya sendiri ia tak menyadari dunia sekitarnya berubah cepat. Kini Irene menjadi gadis tanpa ikatan dengan siapapun. Liontin emas yang menjadi simbol ikatan itu pun tak tampak lagi di lehernya. Hatinya terbuka untuk lelaki baru dalam hidupnya. Ironisnya, di jemari lelaki itu kini sudah tersemat sebuah cincin, tanda bahwa ia merupakan milik perempuan lain. Perempuan yang pasti lebih dewasa dari Irene. Andai cinta tak diikuti dengan keinginan untuk memiliki, batin Irene. Hidup ini terasa seperti lelucon dan semuanya terasa rumit.

“Ngomong-ngomong, Mas Dimas. Irene telat belum ke dokter untuk suntik KB. Harusnya dua minggu lalu,” ucap Irene tiba-tiba. Entah mengapa ia tiba-tiba mengungkit hal itu.

“Hah? Kok baru ngomong sekarang kamu, Ren? Tau gitu tadi cari P*st*n*r dulu,” balas Dimas berusaha tetap tenang, menyembukan kepanikannya mendengar info mengagetkan itu.

“Ga kepikiran… Ah, paling gapapa. Besok kan udah pulang juga. Lusa Irene janji kontrol, habis pulang ujian,” jawab Irene pelan yang dibalas dengan anggukan Dimas, dahinya mengernyit.

Apabila gadis di hadapannya adalah wanita lain, Arina atau Cynthia, Dimas tidak akan terlalu mengambil pusing apabila mendengar pernyataan bahwa mereka baru saja melakukan seks yang berpotensi besar menyebabkan kehamilan. Mengingat kedua wanita itu telah menikah. Apalagi kehamilan di luar ikatan pernikahan bukan lagi hal yang baru bagi mereka. Beda dengan Irene yang masih lajang, tanpa ada pacar yang dapat ‘dikondisikan’ untuk menikahinya. Apabila Irene hamil, akan berujung pada kerumitan. Terlebih lagi ketika Dimas sudah harus menikahi kekasihnya bulan depan. Namun apabila Irene hamil olehnya pun, Dimas tahu akan ada banyak opsi-opsi yang dapat dilakukan dan bosnya akan membantu mencari solusinya, termasuk yang paling ekstrim. Bila diperlukan, Dimas tahu bosnya memiliki koneksi baik dengan dokter kandungan yang dapat dipercayai. Tapi Dimas sendiri tidak akan mau memilih opsi itu, ia tidak mau membunuh darah dagingnya yang tumbuh di rahim wanita manapun. Pria itu hanya bisa mengesampingkan pikiran itu untuk sementara dan berharap yang terbaik. Lagipula, lamunannya tak dapat melayang lebih jauh karena ia tiba-tiba mendengar suara seseorang berjalan mendekati mereka dari belakangnya.

“Wah… Wah… Seru sekali sepertinya kalian,” suara khas logat campuran Batak dan Betawi terdengar mendekati mereka.

Dari tepi pantai, Irene dan Dimas melihat tubuh tinggi kurus Roni yang sudah tak mengenakan busana itu melenggang santai mendekati mereka.

 
Chapter XII (cont.)

Ketika dekat, tampak Roni membawa dua bentukan bulat di masing-masing telapak tangannya yang ternyata adalah kelapa muda.

“Nih minum dulu. Pulihkan tenaga dulu. Sebelum lanjut, hahaha,” kekeh Roni menyerahkan kedua buah kelapa muda itu kepada Dimas dan Irene.

Sejoli itu menerima buah yang telah terbuka sisi atasnya itu, menampakkan cairan bening yang begitu segar. Dengan rakus Dimas dan Irene menenggak cairan segar dari buah itu. Keduanya menyadari bahwa aktivitas seksual mereka yang begitu intens di bawah mentari sore itu membuat tubuh mereka kehilangan banyak cairan, terutama melalui keringat mereka yang tak ada henti-hentinya mengucur dengan deras. Dalam keadaan masih saling berpangkuan, kelamin belum terlepas, walaupun batang Dimas telah melemas, keduanya dengan khidmat meneguk air kelapa muda itu hingga tetes terakhirnya.

“AH! SEGER! Mantap, bang Roni! Muakasih buanyak! Jadi pengen lagi,” gelegar Dimas puas, sambil menggulirkan tempurung kelapa muda yang telah kosong itu di hamparan pasir.

“Tuh masih banyak di bawah pohonnya. Ada parang di dekat situ buat buka kelapanya,” tunjuk Roni pada pohon kelapa dekat rumah rahasianya itu.

Tak lama, air kelapa milik Irene pun perlahan menyusut hingga ludes. Seperti Dimas, gadis itu menggeletakkan buah yang telah kosong airnya itu secara sembarangan di hamparan pasir. Dengan tenaga yang perlahan pulih, kelegaan begitu tampak di wajahnya yang bagaikan menemukan kembali ronanya.

“Ayo, sayang, sekarang sama saya,” ajak Roni tersenyum, sambil mengulurkan tangannya pada Irene.

Irene menyambut jemari Roni yang membimbing tubuh mungilnya untuk berdiri, melepaskan diri dari tubuh Dimas. Begitu sumbat di dalam memeknya—yang tak lain adalah kontol Dimas yang sudah melemas—tercabut, relungnya terasa kosong dan berhamburlah segala cairan yang tertahan di dalamnya. Cairan kental putih menetes sembarangan di atas pasir, sebagian mengenai tubuh Dimas, sebagian meleleh menuruni paha dan tungkai kaki si gadis sendiri. Lutut Irene yang belum menemukan tenaganya belum dapat beradaptasi menahan tubuhnya sendiri sehingga ia limpung. Beruntung Roni yang masih menggenggam tangan gadis belia itu dengan cekatan menahan tubuhnya agar tak terjatuh, bagaikan menuntun anaknya. Tak akan salah apabila ada yang berpikir seperti itu karena kenyataannya memang usia keduanya terpaut 22 tahun, tampak bagaikan seorang bapak yang sedang menuntun putri kesayangannya. Namun berbeda dengan hubungan normal ayah dan anak putrinya, sang “ayah” menuntun “putri”-nya untuk bersimpuh di hadapan selangkangannya yang sudah tak berpenutup apapun, menuntut gadis itu agar memberikannya seks oral, untuk membangunkan kejantanannya yang akan ia gunakan untuk menggahi tubuh belia itu.

Benar-benar bagaikan seorang anak yang patuh, Irene bersimpuh, menatap nanar sebuah benda panjang yang masih menjuntai lemas di selangkangan Roni itu. Kejantanan bersunat itu berwarna coklat senada dengan warna kulit pria itu, namun tak segelap milik Dimas. Pangkalnya dihiasi jembut bergelombang, tak jauh beda lebatnya dengan milik Dimas. Irene segera meraih kejantanan yang masih lemas itu dengan jemari mungilnya dan membimbingnya memasuki mulutnya. Semerbak khas aroma kejantanan berkeringat memenuhi penghidu Irene. Seperti yang biasa ia lakukan, lidahnya perlahan menjilati kepala kejantanan itu, dari sisi bawahnya dan melingkar secara bergantian. Tak lupa sedotan-sedotan mesra yang berselingan dengan sentilan-sentilan jahil lidah Irene pada lubang kencing pria itu bagai makin menggoda dan mengusik kejantanan Roni. Diiringi desah kenikmatan pria itu, tak perlu waktu lama bagi darah dari tubuh Roni untuk memasuki batang kebanggaannya, dengan cepat, membuat benda itu akhirnya mengeras sempurna di dalam mulut Irene yang jelas-jelas tak dapat mengakomodasi seluruh panjang itu. Maka dari itu, demi memberikan perhatian ke seluruh batang itu, Irene terkadang melepas kulumannya pada kepala kontol itu, untuk memberikan jilatan pada bagian pangkalnya, begitu pula sedotan-sedotan mesra pada kedua biji zakar berambut itu. Kemampuan gadis yang yang baru akan beranjak 19 tahun bulan depan itu memang benar-benar memuaskan.

“Sssshhhh… Oke cukup, sayang. Langsung ngentot aja yuk,” kata Roni menyudahi blowjob nikmat yang diberikan Irene.

Irene mendongak mencari petunjuk di wajah Roni tentang bagaimana ia akan menyetubuhinya. Dengan cepat pria itu berpindah posisi dan berlutut di belakang tubuh si gadis, menandakan ia akan menggagahinya dari belakang. Benar saja, dengan lembut pria itu mendorong punggung si gadis, seolah memerintahkannya untuk menopang tubuhnya dengan kedua tangan dan lututnya. Dengan patuh Irene menuruti permintaan Roni, memposisikan dirinya bagai anjing yang siap dikawini. Roni makin melebarkan kedua paha Irene dengan kakinya, sedangkan kedua tangannya ia gunakan untuk memegangi pinggul si gadis. Tampak dari belakang celah kewanitaan Irene begitu belepotan sperma Dimas dan cairan cintanya sendiri, menandakan lubang itu tak perlu ‘dipersiapkan’ kembali. Tanpa rasa ragu, Roni memposisikan kepala kontolnya di celah lengket Irene dan mulai mendorong pinggulnya, membuat bibir kewanitaan Irene kembali terbelah sebuah batang kejantanan.

Seiring dengan kejantanan panjang yang memasuki relung terintim milik Irene itu, desahan manja secara otomatis keluar dari mulut si gadis. Perlahan tapi pasti kontol Roni mengisi relung kewanitaan gadis itu hingga ia dapat merasakan kepala kejantanannya membentur mulut rahim dan tak dapat masuk lebih dalam lagi. Sekali lagi, Irene dapat merasakan rongga intimnya terisi penuh oleh kejantanan lelaki; walaupun kini tak setebal sebelumnya, namun panjangnya terasa begitu menusuk di dalam perutnya. Bagi Roni sendiri, liang milik Irene itu begitu terasa rapat, basah, licin, dan hangat.

Segera Roni memacu pinggulnya, awalnya dengan gerakan lambat dan teratur yang secara gradual semakin meningkat temponya, tetap ritmis. Perlahan suara merdu desahan dapat terdengar semakin keras dari mulut Irene, diiringi dengusan nafas Roni dan suara khas pertemuan selangkangan mereka, berbaur syahdu dengan suara deburan ombak sore hari itu.

Dari posisi tegap, Roni menurunkan bagian atas tubuhnya untuk menaungi tubuh mungil yang sedang ia gagahi itu. Dengan badan yang menempel punggung lembut si gadis dan kepala saling berdekatan, kini Roni dapat mendengar lebih jelas suara desahan merdu Irene, bagaikan penyemangat yang membuatnya semakin gencar menggempur kewanitaan si gadis. Bagi Irene sendiri, ia dapat merasakan pancaran kehangatan dari tubuh Roni. Berbeda dengan tubuh berlemak milik Dimas, dengan Roni gadis itu dapat merasakan otot-otot tegas tak terlalu besar dibalik kulit dan sedikit lemak dari tubuh rampingnya. Keduanya tampak bergerak bersinergi—Roni menghunjamkan kejantanannya ke depan, Irene menyambut hunjaman itu di kewanitaannya ke arah belakang—menampilkan pemandangan dua insan yang dikendalikan insting hewaniah perakawinan.

Pada posisi kepala menaungi kepala Irene, Roni dapat memperhatikan raut wajah si gadis yang tenggelam dalam nafsu itu—dahi yang mengernyit menahan nikmat, kelopak mata sayu, serta bibir ranum yang sedikit terbuka, mengeluarkan suara kenikmatan dan desah nafas. Memperhatikan pemandangan menggairahkan itu begitu mengusik naluri kelelakiannya. Tak kuat, dengan satu tangannya Roni menolehkan wajah cantik itu ke arah samping. Sejenak ia tatap wajah belia milik gadis yang berkuliah di semester 4 itu, yang sebenarnya pantas menjadi putrinya mengingat putrinya sendiri telah memasuki usia remaja. Melalui pandangan sayunya, Irene mau tak mau memperhatikan pula wajah khas kebapakan milik pria berusia kepala empat itu—rambut rapinya yang mulai dihiasi beberapa helai yang memutih, serta jenggot goatee-nya yang khas—membuat Roni akhirnya tak kuasa untuk memagut lembut bibir belia Irene.

Berawal dari ciuman lembut, perlahan pagutan itu berubah menjadi adu lidah yang saling bertaut dan membelit. Bagi Roni, terasa sisa-sisa rasa air kelapa bercampur khas aroma mulut Irene. Bagi Irene, terasa aroma kuat tembakau dan nikotin. Berbeda dengan percumbuannya dengan Dimas yang membuat jantungnya berdebar lebih kencang, cumbuan Roni tidak menimbulkan efek yang serupa, namun tetap begitu erotis, menggairahkan, dan membuai. Pagutan tetaplah pagutan—sebuah aktivitas seksual yang hampir dalam setahun terakhir ia simpulkan sebagai komponen yang sangat penting dalam hubungan seks. Sebagai gadis baru gede, awalnya Irene mempercayai bahwa ciuman hanya dapat dilakukan oleh dua orang yang saling jatuh cinta, namun ia ternyata salah besar. Bagi Irene yang masih naif, kelima pejantannya memiliki keunikan masing-masing ketika memagutnya. Yang jelas kelimanya begitu jauh lebih berpengalaman dibanding dirinya yang bahkan belum mencapai usia kepala dua. Kelima pejantan dewasa yang telah menjamahnya itu membuktikan bahwa sebuah ciuman merupakan bagian esensial dalam percintaan, sebuah manuver yang dimanfaatkan sebagai komunikasi non-verbal dua insan yang terlibat aktivitas seks untuk saling mengkomunikasikan perasaan mereka: entah itu nafsu, cinta, atau keduanya. Dan kini, yang ia rasakan adalah nafsu.

Nafas Irene semakin memburu dalam pagutan Roni. Pria itu mengetahui gelagat akan datangnya orgasme si gadis. Dengan cekatan jemari pria itu memberikan stimulasi pada puting payudara dan kelentit Irene secara bergantian yang membuat si gadis makin mabuk kepayang. Tak ada tanda-tanda mengendur dari pagutan dan belitan lidah Roni, yang membuat si gadis makin terbuai. Desah manja dan dengus nafasnya teredam mulut dan lidah Roni.

“MMMMHHHHH…” desah dan hembusan nafas panjang teredam keluar dari mulut si gadis. Irene akhirnya menggapai orgasmenya dalam kondisi bibir masih dipagut buas oleh Roni. Tubuhnya tersentak, bergetar dibawah naungan tubuh pria itu.

Roni menghentikan gerakan pinggulnya, membiarkan Irene menikmati orgasmenya. Ia dapat merasakan dengusan nafas Irene yang sedang berusaha keras mengumpulkan nafasnya yang putus-putus di sela-sela pagutannya tetap saja tak mengendur, tak peduli liur mereka yang sudah tak karuan meleleh keluar celah bibir mereka dan membasahi dagu keduanya dan helaianjenggot Roni sendiri. Begitu nikmat terasa bagi Roni yang kontolnya serasa diguyur cairan cinta dan diperas oleh kontraksi ritmis otot-otot vagina Irene.

“Ehem.”

Sebuah suara menginterupsi pikiran melayang dua insan yang sedang meresapi kenikmatan mereka. Perlahan Roni dan Irene akhirnya saling melepaskan pagutan mesra penuh nafsu yang terasa begitu lama itu. Ludah mereka begitu jelas menjutai bagaikan tak terima pertautan bibir dua insan itu terlepas. Perlahan Irene menolehkan kepalanya ke arah sumber suara yang tak lain merupakan Dimas, lalu menunduk tersipu malu, bagaikan seorang yang ketahuan berselingkuh—perasaan yang segera ia coba kesampingkan karena tak masuk akal. Sedangkan melihat rekan juniornya kembali, Roni nyengir bagai bangga karena baru saja mengantarkan Irene menggapai klimaks.

“Ditinggal bentar mecah degan udah ngecrit lagi, Ren? Ckckck…” komentar Dimas sambil menggeleng dan menyeringai, menggoda Irene.

“Bang, ati-ati, Iren lupa gak suntik KB bulan lalu,” komentar Dimas santai, kini pada Roni.

“PUKIMAK!” Roni tiba-tiba tersentak kaget dan secepat kilat melepas pertautan kontolnya dari dalam memek Irene dengan sekali cabut, membuat si gadis melenguh kaget tiba-tiba relungnya dibuat kosong. Kontan si gadis cemberut, karena merasa tak ada pria yang menginginkannya hamil—begitu berbeda dengan perlakuan mereka ke Arina dan Cynthia.

“Macam mana kau tak bilang dari tadi! Untung abang kau ini belum tembak dalam! Bisa tak karuan nanti,” hardik Roni pada Dimas yang malah terbahak melihat ekspresi panik seniornya itu.

“Kenapa tadi kau tembak dalam? Udah sinting kau?” tanya Roni lebih jauh.



“Ya gimana lagi. Si cantik baru bilang pas udah selesai sembur dalam, Bang. Aku yo gak tau awalnya. Kalau keterlanjuran jadiyaudah wes, Bang Ron. Berarti takdir. Hahaha,” gelak Dimas santai, yang kini tampaknya menemukan jawaban untuk kerisauannya akan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari.

Roni yang mendengar jawaban santai Dimas hanya menggelengkan kepala, tapi menghormati keputusan berani pria yang lebih muda darinya itu atas resiko kehamilan Irene, meskipun dirinya akan menikahi kekasihnya di bulan depan.

“Okelah. Kalau begitu anal ya, sayang,” kata Roni kepada Irene, sambil membelai lembut rambut si gadis itu.

“Eh? Jangan, please. Aku belum pup hari ini, Pak Roni. Belum bersihin dalemnya…” protes Irene lirih. Wajahnya merona.

“Seperti baru kenal sama saya aja Dik Irene ini,” tukas Roni.

“Santai aja lah, Ren. Kan udah pernah beberapa kali lewat belakang toh. Haruse gak masalah,” timpal Dimas.

“T-tapi…” Irene mencoba protes kembali, namun Roni telah mengangkat kembali pinggulnya, memposisikannya menungging, sambil membuka bongkahan pantatnya, menampakkan kerutan anus yang masih tampak sangat rapat karena memang gadis itu belum banyak disenggamai anusnya.

Bukannya Irene tak tahu kalau Roni tak keberatan dengan kemungkinan penisnya menjadi belepotan. Namun rasa perut mulas di tengah-tengah seks lah yang dapat membuat Irene tak nyaman. Selain membuat libidonya sedikit menurun, kemungkinan seks mereka terinterupsi oleh dorongan peristaltik ususnya sangat besar. Belum lagi apabila benar-benar terjadi ‘insiden tak tertahankan’ ketika Irene tak dapat menahan otot anusnya sehingga isi rektumnya bertumpah ruah di hadapan orang lain—sebuah kejadian yang telah terjadi dua kali: ketika pengalaman anal pertamanya bersama Gio di rumah Arina dan sebuah sesi anal beberapa bulan lalu dengan tak lain Roni sendiri. Bayangkan betapa malunya seorang gadis dibuat mengeluarkan kotoran dihadapan pria-pria dewasa, meskipun pria-pria tersebut tak pernah menunjukkan ekspresi keberatan sama sekali—bahkan sebaliknya, mereka begitu bersimpati dan tak pernah mengolok-oloknya setiap itu terjadi.

Lamunan Irene dipecahkan oleh sebuah tekanan hebat benda tumpul di lingkar anusnya. Alih-alih melonggarkan anus si gadis dengan jari terlebih dahulu seperti biasanya, tampaknya Roni memutuskan untuk langsung memasukkan kejantanannya. Pria itu meludahi area dimana kepala kontolnya menempel di tepat di kerutan lubang anus si gadis. Dengan bimbingan tangannya dan tekanan kuat pinggulnya, kepala kontol Roni membuka paksa lubang yang tampak begitu sempit itu.

“Ah!” pekik Irene tersentak merasakan sebuah benda tumpul menyeruak lubang pembuangannya. Sedikit ngilu namun masih tertahankan.

Beruntung kejantanan Roni sempat memasuki memek Irene yang penuh cairan pelumas seperti cairan cintanya dan sperma Dimas, sehingga kini kontol itu memiliki banyak pelicin untuk mengurangi gesekan dengan rektum Irene. Si gadis berusaha keras merilekskan otot lingkar anusnya ketika perlahan Roni dorong pinggulnya sedikit demi sedikit hingga batang kurus panjang itu akhirnya terbenam seluruhnya. Keringat bercucuran di dahi Roni, terlebih juga pada punggung Irene yang sedang berjuang menerima tamu jantan di dalam duburnya. Terasa panas dan penuh yang Irene rasakan di dalam perutnya. Terdapat sedikit rasa ngilu tapi Irene bernafas lega karena ternyata sama sekali tidak ada rasa perih dan sakit tak tertahankan. Irene tak tahu bagaimana, tapi benar-benar pria itu memiliki keahlian yang tak dapat dijelaskan dalam menggagahi lubang anus wanita.

Tak menunggu lama, Roni segera menggoyangkan kembali pinggulnya, kini agar membuat kontolnya keluar masuk secara ritmis dalam dubur Irene, alih-alih memeknya. Desahan mulai keluar dari mulut Irene, merasakan panasnya batang Roni keluar masuk saluran belakangnya. Dalam kondisi seperti itu, Irene disodori batang kejantanan Dimas yang kini kembali setengah tegang. Tanpa protes, Irene melahap kontol itu, merasakan sisa-sisa campuran cairan cintanya sendiri dan sperma Dimas di permukaan kontol itu, hasil percintaan mereka sebelumnya. Tak perlu waktu lama untuk batang itu menggemuk sempurna di dalam mulutnya. Gadis itu mengulum rakus kejantanan beraroma khas itu bagai sebuah lollipop.

Keringat mulai kembali membasahi punggung Irene akibat gempuran Roni di belakangnya. Roni sendiri pun lebih parah, tubuhnya dengan cepat memproduksi keringat akibat gerakan pinggulnya yang begitu stabil dan mantap, serta usaha kuatnya untuk tidak cepat keluar. Stamina Roni tidaklah jelek. Bahkan dapat dibilang masih di atas rata-rata. Seolah berkebalikan dari Dimas, dalam DNA Roni bagaikan terpatri kemampuan metabolisme tinggi yang menyebabkan tubuhnya tak pernah menggemuk meskipun mengonsumsi makanan yang tak pernah sedikit. Namun sebagai pengacara korporat, dengan tingkat stres yang cukup tinggo dan aktivitas fisik yang jelas jauh di bawah Dimas yang lebih muda itu, sedikit timbunan lemak secara natural mulai tampak pada perutnya yang dulu begitu rata. Dalam hal performa seks, juniornya itu jelas mampu melampaui dirinya yang sudah berkepala empat itu.

Hanya mendapatkan pelayanan oral, Dimas mulai merasa bosan dan kurang puas. Ia ingin segera memasukkan kontolnya dalam lubang Irene. Dimas tak ingin terlalu lama menunggu rekannya yang tampak jelas masih jauh dari selesai mengerjai anus si gadis. Dimas tak dapat menemukan cara lain selain satu-satunya solusi yang paling nyata.

“Bang Ron, bagi lah. Pingin ngentot juga,” kata Dimas pelan menatap seniornya penuh makna.

Roni yang mengerti maksud Dimas tiba-tiba menghentikan gerakan pinggulnya, kemudian dengan cekatan mengaitkan kedua lengannya melalui celah ketiak Irene, melingkar pada kedua bahu si gadis. Dengan sigap Roni menarik tubuh Irene kebelakang agar merapat pada tubuhnya, kemudian perlahan merebahkan tubuhnya sendiri di atas pasir lembut itu dengan memastikan tubuh Irene tetap menempel pada tubuhnya. Kontan tubuh Irene mengikuti tubuh Roni terguling ke belakang hingga tubuh mungilnya berbaring dengan punggung beralaskan tubuh Roni. Semua itu Roni lakukan tanpa melepas tautan erat kontolnya dalam anus Irene. Si gadis sempat terpekik dan kebingungan namun dengan patuh mengikuti manuver Roni tersebut hingga kini tubuhnya terbaring di atas tubuh pria itu dengan kontol yang menancap semakin dalam dalam rektumnya.

Si gadis menolehkan kepalanya ke samping, seolah mencari petunjuk apa yang pria itu harapkan dengan posisi seperti itu. Namun alih-alih dari pria yang berada di bawah tubuhnya, petunjuk yang Irene butuhkan tak lain adalah pria yang berada di hadapan tubuhnya. Pria tambun itu mengait belakang lutut si gadis dan tiba-tiba membuka lebar kedua pahanya, memampangkan pemandangan menggairahkan sebuah kontol yang telah menancap erat pada saluran pembuangan Irene dan sebuah celah kemerahan di atas lubang itu yang masih belum terisi apapun. Celah yang tak lain adalah memek Irene itu adalah sasaran Dimas.

“Eh??? Mas Dimas??? Mau ngapain???” Irene akhirnya menemukan suaranya.

“Iren udah tau depe kan? Mbak Arina sama Mbak Cynthia udah bolak balik kita gituin,” kata Dimas tenang. Kepala kontolnya telah menyentuh bibir memek Irene.

Gadis itu tahu dengan pasti apa yang dimaksud oleh Dimas. Pria itu bermaksud memasukkan kejantanannya ke dalam liang kewanitaannya, bersamaan dengan kejantanan Roni yang sudah terlebih dahulu menancap di liang pembuangannya. Double Penetration merupakan aktivitas seks yang sangat lumrah terjadi terutama untuk para pelaku aktivitas seks yang memiliki lebih banyak anggota lelaki daripada perempuan; seperti perkumpulan mereka yang beranggotakan lima pria dan tiga wanita itu. Pada kondisi seperti itu, terjadinya seorang wanita yang digagahi oleh lebih dari satu pria secara bersamaan pasti tak terelakkan. Seperti yang sering terjadi pada Arina dan Cynthia, persis apa yang dikatakan Dimas, kedua wanita itu telah berkali-kali disenggamai oleh dua, tiga pria sekaligus. Bahkan Irene pernah menyaksikan Cynthia digagahi liang peranakannya secara bersamaan oleh Bima dan Dimas. Semua itu wajar, sayang… Natural, kata Cynthia suatu hari menjelaskan pada Irene yang masih polos. Namun Irene masih tak yakin.

“Mas Dimas, Irene belum siap, Maasss… Irene takut sakiiit…”

“Mau kapan lagi kalau gak sekarang? Kamu lho sekarang udah biasa anal gitu. Ini momennya pas. Sakit dikit tok paling. Nanti Mas jamin enak,” kata Dimas merayu Irene, jelas-jelas tak mengindahkan kekalutan gadis itu. Dimas sudah kepalang bernafsu. Kepala kontolnya sudah menyolek-nyolek kelentit dan bibir memek Irene.

Tak dapat dipungkiri, melihat kedua senior perempuannya sering diperlakukan seperti itu, mengusik rasa penasaran Irene. Bagaimana mereka bisa terbiasa? Bagaimana rasa sakit itu memudar? Bagaimana mereka begitu tampak menikmati? Semua pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiran Irene hingga mengingatkan gadis itu pada pesan dari Arina: Sayang, suatu hari kamu bakal ngalamin kok. Percaya aja sama cowok-cowok kita. Pesen kakak cuma satu, yang penting kamu rileks. Nikmatin.

Tapi… Tapi…

“Mas Dimas, please jangan dul-UUUUUHHH… NGGGGHHH…”

Dengan mantap, Dimas mendorong pinggulnya hingga akhirnya kepala kontolnya kembali membelah celah sempit memek Irene. Terasa begitu sempit bagi Dimas. Beruntung bagi pria itu dapat mengamati ekspresi wajah Irene yang tampak sangat amat renyah selagi ia meneruskan dorongan pinggulnya, hingga perlahan tapi pasti kontol gemuknya akhirnya amblas sepenuhnya dalam celah kewanitaan si gadis. Roni yang kedua lengannya masih mengunci rapat bahu Irene agar tidak bergerak memberontak, dapat merasakan sensasi masuknya kejantanan rekannya melalui lapisan tipis yang memisahkan rektum Irene, tempat kejantanannya bersarang, dari lubang memek tempat kontol Dimas perlahan menyeruak. Bagi Irene sendiri, gadis itu merasakan relungnya tiba-tiba terasa begitu penuh sedikit demi sedikit hingga akhirnya secara total. Perasaan yang begitu tak terperi, tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Pada momen itu, akhirnya gadis belia itu secara resmi merasakan penetrasi ganda untuk pertama kalinya di usianya yang belum genap 19 tahun; masih begitu belia.

“Nghhh… Please… Jangan gerak duluu…” rengek Irene pelan, pasrah menerima nasibnya. Tubuh mungil itu berusaha sepenuh tenaga beradaptasi dengan campuran rasa penuh, ngilu, dan sedikit mulas di dalam perut bagian bawahnya. Selangkangannya terasa begitu panas dan bagai terbelah akibat dua kejantanan panas berkedut di dalamnya.

Edan… Rapet cok…” gumam Dimas yang meresapi liang Irene yang begitu menggigit kontolnya.

“Kimak… Mantap kali…” sahut Roni sambil meremas lembut kedua bongkah payudara Irene; rektum yang makin terasa menyempit di kontolnya makin membuat pria itu gemas dengan si gadis belia.

Merasa tak sabar lagi, Dimas mulai menggerakkan pinggulnya, membuat kontol tebalnya mulai bergerak secara perlahan keluar masuk memek yang benar-benar tampak kepenuhan itu. Otomatis sebuah suara rengekan keluar dari mulut Irene yang tak berhenti menganga sejak pertautan dua kejantanan di selangkangannya. Sedangkan Roni yang sudah yakin Irene tidak akan berontak, melepaskan genggaman kedua tangannya dari payudara si gadis dan mulai memindahkan genggaman kuatnya di kedua belahan pantat si gadis, sedikit mengangkatnya melayang di udara, agar terdapat sedikit ruang bagi pinggulnya untuk bergerak. Kini lengkaplah sudah, kedua kontol perkasa milik Dimas dan Roni sama-sama bergerak. Tak memerlukan waktu lama, secara natural kedua pria itu akhirnya menemukan ritme yang begitu khas terjadi dalam penetrasi ganda: ketika kontol Dimas menghunjam di memek Irene, kontol Roni membetot keluar lingkar anus si gadis, dan sebaliknya, ketika kontol Roni amblas seluruhnya di rektum Irene, Dimas menarik kontolnya hingga hanya tersisa kepala gemuknya saja di memek si gadis.

Beruntung bagi Irene, sensasi tak nyaman yang ia sempat rasakan di awal ketika batang perkasa kedua pejantannya bertaut bersamaan itu ternyata memudar dengan amat cepat, tak lama setelah kedua pria itu menggerakkan kejantanan mereka; sebuah pertanda bahwa ternyata tubuh belianya memang sudah lebih siap untuk menerima penetrasi ganda daripada yang ia kira.Terlahir sebagai anggota kaum Hawa, gadis itu menyadari kedua lubangnya ditakdirkan untuk dapat ditaut oleh anggota kaum Adam secara bersamaan. Bukankah sebuah sel telur juga menjadi rebutan jutaan sel sperma? Ini kodratnya sebagai betina untuk dikerumuni para pejantan dan dijadikan wanita dengan seutuhnya. Natural…, terngiang kembali kata-kata Cynthia***dis itu perlahan menyadari bahwa penolakan yang ia lontarkan tadi hanyalah logikanya yang berbicara, yang masih terkungkung norma. Realitanya, tubuhnya mengatakan hal yang berbeda. Tubuhnya siap untuk merasakan kenikmatan yang lebih. Begitulah memang kontradiksi antara logika dan nafsu yang sering kali terjadi. Beruntung lagi bagi Irene bahwa ia memiliki dua pria dewasa yang jauh lebih matang dan berpengalaman secara fisik dan psikis untuk membimbingnya, yang pengalamannya masih sangat hijau, ke arah kedewasaan. Kedua pria itu bahkan lebih mengerti apa yang tubuh belianya inginkan. Nikmatin, terngiang kembali kata Arina dalam benak Irene. Dan kali ini, si gadis menuruti sepenuhnya.

Berjuta-juta ujung saraf di area dasar panggulnya, terutama di sekitar memek dan anusnya, bagaikan meledak-ledak dengan berjuta-juta stimulasi. Rasa tak nyaman kini sirna sepenuhnya, digantikan dengan kenikmatan yang tak terperi, yang sangat sulit untuk dideskripsikan dengan kata-kata. Kenikmatan itu berpusat dari selangkangannya, perlahan dibawa oleh darahnya untuk menyebar ke perutnya, ke tulang belakangnya, ke kedua payudaranya, hingga memenuhi isi kepalanya. Kepalanya kosong, tak ada pikiran apapun selain kenikmatan. Kedua matanya kehilangan fokus, menatap langit biru yang perlahan berubah jingga membentang di atasnya. Kedua lubangnya yang berisi kejantanan-kejantanan perkasa itu secara cepat mengeluarkan pelumas-pelumas alami, seolah mengerti mereka harus bekerja ekstra keras untuk mengakomodasi dan memberikan rasa nyaman bagi dua kejantanan itu secara bersamaan.

“Aahh… Memek akuhh… Aahh… Pantat akuuh… Aahh…” hanya itu desahan yang keluar dari si betina muda, begitu merdu, bagai menyemangati dua pejantan dewasa yang sedang menggagahi tubuh belianya secara bersamaan.

Ketiga tubuh itu kembali memanas dengan cepat dalam birahi tak terbendung. Dimas dan Roni pun secara naluriah semakin meningkatkan kecepatan tusukan kontol mereka. Keringat dengan cepat membanjir di tubuh ketiganya akibat aktivitas yang sangat intens itu. Di bawah sinar matahari yang kini telah berubah jingga kemerahan mendekati senja itu tampak tiga tubuh insan manusia berbeda generasi itu saling bertaut erat, berkilau bersimbah keringat, saling memberi dan mereguk kenikmatan dalam sebuah aktivitas primal di alam terbuka—di sebuah pesisir pantai berpasir putih bersih, diiringi suara syahdu deburan ombak yang sesekali membelai tubuh mereka dengan lembut. Ketiganya larut dalam sebuah insting purba di alam terbuka; begitu alamiah, tak ada kepura-puraan. Pada titik itu pun mereka tak mempedulikan meskipun ada mata yang memperhatikan dari kejauhan.

“Aah… Aahh… Aahhmmmm… MMMHH…” bibir mungil yang tiba-tiba tersumpal bibir tebal berjambang milik Dimas. Bibir ranum yang tak kunjung berhenti mendesah itu terlalu menggemaskan untuk dibiarkan saja oleh Dimas. Dengan menumpukan tangannya pada pasir di bawah tumpukan tubuh itu, tubuh gemuk Dimas tiba-tiba menindih, menaungi tubuh mungil si gadis dan memagut bibirnya.

Keputusan yang tepat bagi Dimas untuk semakin menutup jarak di antara tubuhnya dan tubuh Irene. Dalam posisi yang makin intim itu, dalam pagutan dan pertautan lidahnya dengan Irene, pria itu kini semakin dapat membaca bahasa tubuh si gadis. Melalui desahan, deru nafas, dan detak jantung Irene—dan ditunjang dengan penilaian kondisi memek si gadis melalui kontolnya—Dimas mengetahui si gadis telah dekat dengan orgasmenya. Pria itu bertekad memberikan orgasme yang begitu berkesan bagi gadisnya yang sedang mengalami penetrasi ganda untuk pertama kalinya di hidupnya. Maka dari itu Dimas makin meningkatkan kecepatan tusukan kontolnya di memek Irene. Sedangkan Roni yang sudah hafal betul makna gerakan partnernya, tak mau kalah dan ikut menggencarkan gerakannya.

Diserang bertubi-tubi seperti itu, tubuh belia Irene tak dapat menahan lagi kenikmatan yang begitu memenuhi sistemnya. Secara refleks, keempat tungkainya melingkar erat pada tubuh Dimas, seolah ingin meleburkan tubuhnya pada tubuh salah satu pria yang telah berhasil mencuri hatinya itu. Seketika bendungan itu meledak dengan dahsyatnya, bermula dari area kewanitaannya lalu dengan cepat meluluh lantakkan seluruh tubuhnya. Tak dapat dikontrol, Irene melepaskan pagutan Dimas untuk melepaskan lolongan terkeras dalam hidupnya.

“AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!! AAAKKKHHH!!!” begitu kencang hingga suaranya terdengar parau. Lolongan betina yang begitu lepas tanpa kepalsuan.

Tak hanya teriakan Irene saja yang bagai tanpa penghalang. Di bawah sana, kedua lubangnya berkontraksi dengan sangat amat hebat, meremas kuat dua kejantanan yang telah berhasil mempecundangi dua lubang terintim si gadis. Tak hanya meremas, memek Irene pun melelehkan cairan cinta yang begitu banyak hingga meluber keluar, lolos dari sumpalan kontol Dimas, meleleh ke batang kontol Roni yang masih bercokol di anusnya. Tak berhenti di situ, kontraksi hebat otot-otot dasar panggul Irene pun membuat kandung kemih si gadis berkontraksi hingga si gadis tak dapat membendung isinya; air seni hasil metabolisme air kelapa yang ia teguk habis tadi pun memancar cukup deras melalui lubang kencingnya.

Kedua pejantan secara naluriah menghentikan gerakan pinggul mereka sementara, memberikan kesempatan untuk betina muda mereka untuk menikmati dan meresapi kenikamatan duniawi yang hakiki. Keduanya dapat merasakan otot-otot tubuh si gadis tak berhenti mengejang nikmat akibat saraf-sarafnya yang sedang meledakkan badai orgasme ke seluruh tubuh mungil itu. Selain itu kedua pria itu memanfaatkan momen rehat sejenak itu untuk menikmati remasan hebat lubang si gadis di kejantanan mereka; kenikmatan yang berhak direguk oleh pejantan-pejantan yang berhasil menaklukkan betina mereka dengan seutuhnya. Namun bukan itu kenikmatan tertinggi yang Dimas dan Roni butuhkan dan keduanya sudah tak sabar untuk mencapainya, sehingga mereka memutuskan untuk menggerakkan kembali pinggul mereka tanpa menunggu Irene pulih.

“Aaahh… Ma… sihh… Sen… sihh… tiiiifffhh…” terbata-bata si gadis protes lemah, dengan susah payah berusaha mengumpulkan akal sehatnya.

Akan tetapi Dimas dan Roni tak peduli. Mereka kini fokus mengejar kenikmatan mereka sendiri. Tak perlu waktu lama gerakan keduanya kembali mencapai kecepatan tertinggi mereka. Bagai piston mesin, dua kontol bersunat perkasa berwarna kecoklatan itu menggempur memek dan anus Irene tanpa ampun. Seperti sebelumnya, gerakan mereka menjadi sinkron dan ritmis dengan sendirinya. Namun terdapat satu perbedaan. Kini, secara naluriah dan tanpa direncakan, arah tusukan kedua kontol pejantan itu tidak lagi saling bertolak belakang seperti sebelumnya, melainkan secara sinkron bergerak secara bersamaan menuju arah yang sama: ketika kontol Dimas membetot lingkar otot memek Irene, begitu pula kontol Roni di anus si gadis, yang kemudian diikuti dengan kedua kontol itu menghunjam masuk relung memek dan rektum si gadis juga pada waktu yang bersamaan. Gerakan itu memberikan efek yang begitu dahsyat pada tubuh Irene. Bagaimana tidak, gadis itu merasakan rasa penuh yang begitu konstan, bergerak sinergis dari lingkar terluar kedua lubangnya hingga relung terdalamnya. Tak ayal, gadis itu bagai kehilangan akal.

“Mas Dimasshh… Pakkhh Roniihhh… Ampuunnn… Irene gakuatthh… Ampuuunnhhh…”

Rengekan itu tak digubris oleh kedua pria yang kini tampak seperti kesetanan dikontrol hawa nafsu dan memperlakukan tubuh si gadis bagaikan boneka seks. Kedua pria itu semakin gencar menggempur dua lubang si gadis yang meskipun sudah tak karuan basah itu kini tampak memar kemerahan. Meskipun ruang geraknya minimal, pria berusia 41 tahun itu dengan sekuat tenaga mengerahkan otot-otot pinggulnya untuk menghunjam ke atas, mengerahkan kontol panjang kurus nan keras miliknya agar menusuk saluran pembuangan kotoran milik gadis yang pantas seperti anaknya itu dengan sedalam-dalamnya. Tubuhnyayang sejak tadi menempel erat dengan punggung si gadis terasa begitu panas membara seperti birahinya. Sesekali pria itu juga menjilati leher jenjang dan telinga si gadis, memberikan rasa geli akibat jilatan dan sapuan jenggotnya yang menyapu kulit si gadis. Sedangkan dari arah atas, pria tambun berusia 33 tahun itu menempel semakin erat seolah ingin menghilangkan celah di antara tubuhnya dan tubuh gadis yang ia tindih itu; jembut lebatnya membaur dengan jembut tipis si gadis, perut tambunnya mendesak perut rata si gadis, dada bidang berlemaknya saling menempel dengan gunung kembar si gadis yang puncaknya menegang keras, tak lupa bibirnya memagut buas bibir lembut si gadis yang merasakan gelitik jambang pria itu di wajahnya. Kedua tubuh pria itu bagai semakin erat mendekap tubuh belia yang belum genap 19 tahun itu di antara mereka, seolah ingin tiga tubuh insan manusia berbeda generasi itu melebur menjadi satu.

“Nnngghhh… Aaahh… Aaahhh… Dapet lagiiihhh??? AAAKKKHHH…” Irene tak menyangka tubuh sensitifnya yang tak lama baru saja mendapatkan orgasme kini kembali menghianatinya dan mencapai klimaksnya lagi dengan begitu cepat. Wajar saja, tubuh belia itu jelas tak dapat mengimbangi dua kontol perkasa yang menggahinya sekuat tenaga itu.

Tubuh si gadis yang sempat melunglai secara refleks kembali memeluk pejantan di atasnya dan mengejang. Otot-otot keintimannya sekali lagi berkontraksi hebat, berkali-kali memeras benda keras yang tertanam di kedua lubangnya; seolah berharap kedua kejantanan itu agar segera menyudahi serangan mereka dan melembek kembali. Dan beruntung bagi Irene, remasan lubang betina miliknya yang sempat gagal menaklukkan dua kejantan itu kini tampaknya berhasil mencapai tujuannya.

Dengusan-dengusan berat terdengar lolos dari hidung dua pria yang mengapit Irene itu. Gadis itu juga dapat mendengarkan suara-suara berat desahan jantan Dimas dan Roni di masing-masing telinganya. Hingga akhirnya dua tubuh jantan itu menghentikan gerakan pinggul mereka pada saat yang hampir bersamaan, semakin memeluk erat tubuh Irene yang tergencet, bagai ingin meremukkannya. Tiba-tiba dalam relung perut terbawahnya, Irene dapat merasakan kedutan hebat, diikuti sensasi panas membara, dan disertai dengan teriakan lantang memecah suara deburan ombak; dua lolongan jantan yang begitu lepas, tanpa bendungan.

“PUKIMAKKK!!! AAAAAHHHH NGENTOT BOOOLLLL!!! AAARRGGHHH!!” teriak Roni sekuat-kuatnya. Kepalanya yang mendongak menampakkan guratan urat nadi dilehernya. Wajahnya yang basah berbalur peluh itu begitu merah padam.

“JANCOOOKK!!! HAAARRGGGHHH!!!” teriak Dimas tak kalah lantangnya. Kepalanya sama-sama mendongak, wajahnya yang lebih gelap tak terlalu terlihat merah padam namun keringat begitu membanjir parah.

Dalam momen yang begitu langka, beberapa detik setelah orgasme Irene, Dimas dan Roni akhirnya mencapai orgasme pada saat yang benar-benar nyaris bersamaan—hanya berselisih detik. Tak akan ada yang bisa memungkiri bahwa dua pejantan itu telah menunjukkan dominasi dan keperkasaan mereka pada betina muda mereka dan dengan hak penuh mereka menandai teritori kekuasaan mereka. Jauh di dalam rektum Irene, kontol panjang milik Roni menyemburkan begitu banyak cairan putih kekuningan berisi protein dan puluhan juta benih-benih yang masih subur—benih-benih yang jelas tak akan dapat membuahi apapun. Sebaliknya, tepat di depan pintu rahim Irene ujung kontol gemuk Dimas dengan telak kembali menyemburkan tembakan kemenangannya dengan mengeluarkan cairan putih kental yang masih begitu banyak meskipun sempat keluar sebelumnya; cairan yang berisi ratusan juta benih prima yang teramat subur, berusaha menemukan sel telur untuk dibuahi.



Irene menjadi yang pertama membuka matanya. Kilatan-kilatan putih di matanya perlahan memudar, digantikan bentangan langit senja yang begitu indah di hadapannya. Semburat biru jingga keunguan menandakan bahwa mentari telah tenggelam di ufuk barat, kemungkinan besar bersamaan dengan momen terindah yang baru saja ia rasakan di sepanjang hidupnya. Deru nafasnya perlahan menjadi teratur. Irene dapat merasakan detak jantungnya seakan melebur jadi satu dengan debur ombak, detak jantung Roni yang terasa dari balik punggungnya, dan terutama detak jantung pria yang terasa dekat di dadanya, Dimas.

Pria yang menguburkan wajah tembemnya di ceruk leher Irene itu perlahan mengangkat kepalanya, mencari wajah gadis di hadapannya itu. Wajah keduanya saling menatap dalam-dalam sebelum pria itu memberikan kecupan ringan di bibir si gadis.

“Makasih, Mas Dimas…” ujar Irene pelan, yang dijawab dengan anggukan Dimas. Pria itu kembali memberikan kecupan kedua, lebih dalam, sebelum perlahan menjauhkan tubuhnya yang terasa begitu menempel erat dengan tubuh gadisnya.

Ketika kejantanannya tercabut sempurna, Dimas dapat melihat perbuatannya pada Irene. Liang kewanitaan gadis itu tampak begitu merah akibat pergesekan hebat dengan kejantanannya. Tampak lelehan-lelehan cairan putih kental miliknya keluar perlahan-lahan mengalir turun ke perineum Irene, batang dan zakar Roni, sebelum menetes ke pasir. Apapun yang akan terjadi di kemudian hari, Dimas sudah tidak peduli lagi. Apabila Irene hamil, Dimas akan tetap mencari jalan yang terbaik bagi Irene dan janin mereka. Pernikahan dengan tunangannya juga harus tetap berjalan.

Irene yang memperhatikan arah pandangan Dimas, berusaha mengangkat tubuhnya menuju posisi duduk—dengan sigap Dimas merengkuh lengan si gadis, membantunya. Irene ingin melihat hasil perbuatan Dimas pada lubang terintimnya. Dalam posisi duduk, si gadis dapat melihat lebih banyak cairan putih kental yang keluar dari lubangnya. Meskipun ia menyadari resiko yang dapat terjadi, namun ia pasrah. Ia berharap Dimas akan melakukan yang terbaik. Dengan bantuan Dimas, perlahan Irene mengangkat pinggulnya menjauhi tubuh Roni yang sampai deyik itu sudah dengan kuat dan sabar menopang tubuhnya. Si gadis mendesah kecil merasakan kontol panjang Roni itu perlahan meninggalkan lubang pembuangannya bagaikan kotoran yang panjang. Ketika pertautan itu terlepas, cairan putih kekuningan yang tak kalah banyak dan kental menghambur keluar dari lubang anus kemerahan yang kini sedikit menganga itu. Saat si gadis akhirnya berdiri sempurna di atas pasir, tentunya masih dengan topangan Dimas, cairan kental berisi benih kedua pejantan itu mengalir semakin deras menuruni paha dan tungkai kakinya. Di belakang keduanya, Roni juga mengangkat tubuhnya sendiri dari hamparan pasir di bawahnya, yang kini menjadi semakin dalam, tercetak bekas tubuh tiga insan yang beradu nafsu.






Secara naluriah, Irene melirik ke arah kelamin Roni yang perlahan mulai kehilangan ketegangannya itu dan memperhatikan terapat bercak-bercak kecoklatan, begitu khas.

“Pak Roni, maaf…” ucap Irene pelan, wajahnya bersemu.

Roni melihat arah pandangan Irene dan terkekeh.

“Hahaha… Bah! Sudah saya bilang berapa kali. Saya sudah biasa. Yang penting kau nyaman, cantik,” kata Roni santai sambil membelai rambut lepek Irene yng basah oleh keringat dan memberi sebuah kecupan hangat di kening si gadis, bagaikan menenangkan putrinya yang sedang kalut.

“Kebelet, Ren?” tanya Dimas tiba-tiba, begitu santainya seakan itu pertanyaan tak memalukan, membuat si gadis makin malu.

Tapi setelah dirasakan dengan seksama oleh Irene, benar bahwa di dalam perutnya ada sebuah rasa melilit yang perlahan mulai turun dan terasa makin intens. Irene kesal betapa pria yang ia sukai itu bagaikan dapat membaca seluruh bahasa tubuhnya. Dengan tersipu, gadis itu hanya mengangguk.

“Ayo langsung sekalian basuh sama-sama kalau begitu. Pas sekali, air lautnya segar kalau jam-jam segini,” kata Roni sambil menggait salah satu lengan Irene.

Ketiganya saling beriringan berjalan menuju laut—Irene di tengah diapit Roni di kiri dan Dimas di kanannya. Tiga insan manusia itu menerjang ombak lembut yang membasuh tubuh mereka yang begitu penuh berbagai macam cairan tubuh dan pasir putih.

“Keluarkan saja di sini tak apa,” perintah Roni santai ketika separuh bawah tubuh mereka telah terendam air laut.

“T-tapi…” protes Irene ragu. Diperhatikan Roni, Irene tak terlalu keberatan, mengingat pria itu pernah melihatnya di rumah Arina. Namun beda cerita dengan Dimas yang belum pernah. Apalagi ketika Irene kini telah jatuh hati pada pria itu.

Wes, gapapa, Ren. Gausah ditahan gitu. Ga sehat,” timpal Dimas meyakinkan. Dalam hati penasaran dan ingin banyak belajar dari seniornya yang sangat terbiasa dengan urusan pintu belakang wanita dan segala macam konsekuensinya.

Irene sudah tak dapat berpikir jernih lagi di antara rasa malunya dan dorongan perutnya yang semakin terasa hebat. Akhirnya, seperti sebelumnya, Irene lebih memilih mendengarkan keinginan tubuhnya dan mengesampingkan logikanya. Tubuh si gadis dengan refleks merilekskan otot lingkar anusnya, membuka bendungan yang menahan isi rektumnya. Berhamburlah isi dari rektum Irene, ditandai dengan ekspresi wajah yang menjadi sayu dan renyah. Beberapa bentukan padat berwarna kuning kecoklatan tiba-tiba melayang di air laut jernih di sekitar mereka. Kedua tangan si gadis mencengkram erat tangan Roni dan Dimas, yang merasa melewatkan momen-momen langka karena pinggang si gadis tak begitu jelas di bawah air laut.

“Bang, angkat, bang. Pingin liat,” kata Dimas memberikan kode ke Roni yang mudah untuk memahami.

Dengan cekatan Dimas melingarkan lengan kanan Irene ke bahunya, begitu juga Roni yang melakukan hal yang sama terhadap lengan kiri si gadis. Kemudian dengan sigap pria itu mengait belakang lutut Irene dan mengangkat kedua tungkai kaki si gadis dari sisi masing-masing. Dengan secepat kilat kini tubuh gadis itu melayang di udara diantara Dimas dan Roni, menghadap ke lautan, dengan selangkangan terbuka lebar.

“AAAAHHH! Irene belum selesaaiii… Masih kebeleeeet…” gadis itu merengek dan meronta.

“Sudahlah, lanjutkan saja. Mana enak kau berak berdiri. Karena tak mungkin kau bisa jongkok di tempat sedalam pinggang kau ini. Lebih baik begini,” tukas Roni.

“Bener tuh, Ren, kata bang Roni. Santai aja. Lanjutin gakpapa, sayang,” dukung Dimas yang dalam hati kagum dengan kecepatan berpikir Roni yang memberikan alasan mengapa mereka tiba-tiba mengangkat tubuh gadis yang belum selesai menuntaskan hajatnya itu.

Putus asa, Irene sudah benar-benar tak peduli lagi. Dorongan di perutnya belum mereda dan menuntut segera dituntaskan.

“NNNGGGHHH…” si gadis kembali merilekskan lingkar anusnya, kini disertai mengejan.

Kontan isi rektumnya kembali berhambur. Ampas makanan padat berwarna kuning kecoklatan itu meregangkan lingkar anus Irene, jatuh menuju air laut di bawah mereka dengan bunyi yang khas. Semua kini lebih jelas bagi Dimas untuk memenuhi rasa penasarannya, melihat gadis cantik belia itu melakukan kegiatan yang seharusnya ia lakukan di ruang tertutup tanpa ada mata yang melihat. Alih-alih begitu, gadis itu malah terpaksa melakukan itu di alam terbuka, dengan tubuh dan selangkangan terbuka lebar bagai menantang samudra luas di hadapannya. Perlahan sisa-sisa makanan itu mulai banyak menggenang air laut jernih di sekitar mereka, berenang terombang-ambing oleh ombak. Pastinya, setiap benda itu keluar dari anus Irene, terpancar aroma yang sangat khas namun segera ditiup oleh angin laut. Bagaikan khidmat, gadis itu terus mengejan, mengikuti permintaan perutnya yang menuntut untuk dikosongkan hingga akhirnya tak ada yang keluar lagi.

“Udah…” ucap Irene lirih, menolehkan kepalanya ke arah Dimas yang ternyata sama sekali tidak jijik melihat gadis itu buang air besar. Alih-alih, sebuah senyum lembut tersungging di wajah pria itu.

Perlahan dua pria dewasa itu kembali menurunkan tubuh mungil gadis belia itu hingga separuh tubuh si gadis kembali terendam air laut. Tanpa basa-basi Dimas merengkuh wajah Irene dan memberikan gadis itu sebuah kecupan mesra di bibirnya. Walaupun kaget, Irene menyambut pagutan itu dengan hangat. Setelah momen yang terasa panjang itu, keduanya melepas pertautan bibir mereka dan saling menatap dalam-dalam, hingga akhirnya Dimas menjadi yang pertama memecah keheningan.

“Banyak banget yang dikeluarin, Ren. Kemarin makan opo ae?” goda Dimas dengan cengiran lebar di wajahnya. Kontan mata Irene membelalak kaget dikomentari seperti itu.

“IIIIIHHH!!! NYEBELIN!!!” teriak Irene sambil menampar badan berlemak Dimas berulang-ulang. Wajahnya langsung merah padam karena malu. Untung saja sinar senja itu mulai meredup. “Yang ajak banyak keliling-keliling sama kulineran mulu siapa cobaa!!”

“HAHAHAHA… Iya-iya gapapa kok, yang… Hahaha…” gelak Dimas tak menghindari pukulan sayang dari Irene.

“Oi. Kita geser agak ke sana yo,” ajak Roni menyela, mengingatkan pasangan yang terlihat jelas sedang bermesraan di sampingnya untuk melanjutkan membersihkan tubuh di area yang lebih jauh, dengan air yang masih bersih—mengingat area yang mereka tempati telah terkotori. Mungkin dalam semalaman ombak akan membawa jauh ampas pembuangan si gadis untuk terurai di samudra dan menjadi nutrisi bagi makhluk-makhluk lautan.




Perlahan ketiga anak manusia itu berjalan pelan menuju area perairan dangkal itu yang tampak masih begitu bersih; perlahan membelah ombak lembut yang menerpa tubuh mereka. Ketiganya saling berenang kemari, saling membasuh tubuh masing dari ujung rambut hingga ujung kaki. Air laut yang terasa begitu segar itu bagai membasuh realita kehidupan dari pikiran mereka. Mereka masih memiliki hingga siang esok hari sebelum kembali ke realita hidup. Namun sebelum itu mereka ingin menyerap sebanyak-banyaknya momen-momen indah itu, bagaikan ingin mengabadikan dalam ingatan mereka.

Pada momen itu, ketiganya begitu lepas, tak ada beban dalam pikiran masing-masing. Rasa nyaman dan kebahagian memenuhi tubuh mereka dalam buaian air laut kala senja itu.



———



End of Chapter 12
.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd