CHAPTER XII
CHERISH
Mei 2018
Tok. Tok. Tok. Tok. Tok.
Sebuah ketukan di pintu kamar kost itu mengubah segalanya. Andai saja Irene berpura-pura tidak ada di dalam kamar kostnya. Namun sudah terlanjur. Dengan malas-malasan gadis belia itu mengerahkan tenaganya untuk melenggang membuka pintu kamar kost-nya, menuju sebuah petaka.
Seketika Irene membuka pintu, pikirannya terasa berhenti dan menguapkan seluruh kosakata yang ia miliki.
“Kamu kayak lihat setan aja, Rene. Say hi, kek? Silakan masuk, kek? Padahal setahun lebih ga ketemu,” ucap seorang lelaki muda itu sambil dengan santainya melenggang masuk kamar kost Irene tanpa menunggu izin penghuninya.
“Vi- Vino?” hanya kata itu yang terucap dari mulutnya, tercengang melihat pemuda di hadapannya dengan santainya melenggang masuk sebelum ia berkata-kata. Bagaikan di rumahnya sendiri, pemuda yang dipanggil Vino itu meletakkan helm di meja kamar Irene dan melepaskan jaket kulit yang ia kenakan.
“Cuma gitu doang? Sini,” ucap Vino sambil menarik tangan Irene dan memeluk tubuh si gadis. Tubuhnya yang kurus tinggi begitu kontras dengan tubuh mungil Irene.
Tubuh Irene hanya diam tak bergeming mendapatkan pelukan dari Vino. Kedua lengannya tak membalas pelukan pemuda itu. Otaknya berputar keras memproses momen yang terasa berlangsung begitu cepat itu. Pacar? Apakah mereka masih sepasang kekasih?, benak Irene berkecamuk. Akan tetapi lamunan Irene pecah seketika saat Vino menarik dagunya dan mendekatkan wajahnya, mencoba mengecup bibir Irene. Dengan cekatan Irene memalingkan wajahnya dan menarik diri dari pelukan Vino, menghindari ciuman pemuda itu.
“Sama pacar sendiri masa dingin banget gitu,” protes Vino dengan ekspresi terluka.
Irene mengingat masa-masa kelam tahun lalu ketika ia terpuruk dalam kesulitan finansial, di saat yang sama Vino tidak mengindahkan seluruh pesan yang ia kirim, tidak pernah mengangkat panggilannya. Suatu ketika melalui social media, Irene mendapati seorang teman dari sekolah yang saat ini kuliah di perguruan tinggi yang sama dengan Vino mengunggah sebuah konten berisikan momen-momen kencannya dengan seorang pemuda yang tak lain adalah Vino.
“Pacar?” akhirnya Irene menemukan suaranya. “Vino, kamu udah nge-ghosting aku setahun lebih dan kamu sekarang tiba-tiba ke sini, pura-pura ga pernah terjadi apa-apa, dan sok-sokan bilang kalau kita masih pacaran?”
Meskipun suara Irene tidak keras, Vino dapat mendengarkan nada amarah dalam suara Irene. Perlahan Vino menutup pintu kamar kost Irene agar tidak mengundang perhatian rumah kost besar yang tampak lengang di hari Sabtu sore itu.
“Tenang, sayang. Gue bisa jelasin itu nanti. Makanya gue sekarang ke sini mau ngajak kamu keluar. Gue mau jelasin semuanya. Kamu siap-siap, gih.”
“Ga ada yang perlu dijelasin, Vin. Semua udah jelas. Anggep aja kita udah putus. Kamu bisa balik ke cewek kamu itu.”
“Please, sayang. Kalau kamu mau kita putus gapapa tapi please dengerin penjelasan gue dulu. Gue sama dia waktu itu cuma hang out bareng aja. Ga lebih. Dan kita keluar sama temen-temen lain, ga berdua doang. Kamu bisa tanya deh sama mereka kalau ga percaya.”
Irene hanya menatap tajam Vino yang memelas, tak mengomentari penjelasannya.
“Please, gue jelasin pas kita keluar. Gue juga butuh bantuan kamu,” pinta Vino.
Irene dapat melihat ada sebuah keputusasaan dalam ekspresi wajah Vino. Dalam hati ia ingin Vino pergi dari kamar kost-nya, namun ada sebagian kecil dari hatinya yang ingin mendengarkan penjelasan Vino, untuk menemukan sebuah penutup dalam kisah mereka.
“Yaudah aku siap-siap dulu,” jawab Irene singkat sambil mengambil baju dan perlatan riasnya sebelum kemudian melenggang masuk ke kamar mandi tanpa berkata-kata.
—
Di dalam kamar mandi Irene membersihkan diri, memakai pakaian, dan bersolek sambil mengenang kisah percintaannya dengan Vino.
Mereka saling mengenal sejak memasuki bangku SMA bersamaan lima tahun silam. Berasal dari keluarga menengah, Vino yang campuran Tionghoa dan Sunda disekolahkan oleh orang tuanya di sekolah negeri. Ia menjadi satu-satunya anak keturunan campuran Tionghoa di angkatan mereka selain Irene sendiri. Satu tahun menjadi teman sekelas, kedua remaja yang ternyata menemukan banyak kesamaan dan kecocokan itu memutuskan untuk menjalin kasih sebagai sejoli ketika memasuki tahun kedua mereka di SMA.
Selama masa pacaran di sekolah, hubungan mereka tergolong harmonis tanpa drama. Sebagai dua remaja normal dengan hormon yang mulai meninggi, wajar apabila ada rasa penasaran dalam benak keduanya untuk mengekspresikan keintiman. Melewati masa-masa bergandengan tangan, secara bertahap Irene dan Vino mencoba untuk saling berpelukan, kemudian mencium wajah masing-masing, mengecup bibir masing-masing, meraba bagian-bagian intim tubuh masing-masing, hingga akhirnya Irene mencoba memberikan seks oral kepada Vino. Satu hal yang tidak mereka penasaran namun masih menahan diri dari melakukannya yaitu berhubungan seks.
Hingga hari ketika ibu Irene sebagai orang tua tunggal meninggalkan Irene untuk selamanya. Kehidupannya mulai berubah. Begitu pula dengan perhatian Irene kepada Vino. Fokus si gadis mulai terkuras untuk bertahan hidup dan memastikan ia dapat mengejar mimpinya sehingga fokusnya kepada kekasihnya mulai terbagi. Kerenggangan itu mulai ada sebelum Irene pergi untuk mengejar ilmu di perguruan tinggi di ibukota, dengan mempertahankan hubungannya dengan Vino dalam status long distance relationship.
Vino yang awalnya berusaha suportif, menghadiahi kekasihnya sebuah liontin emas dengan inisial I.V., bagaikan pengingat dan simbol hubungan mereka—yang sampai saat ini masih melingkar di leher Irene. Vino menyadari akan ambisi Irene untuk mengejar mimpinya namun di saat bersamaan tak memiliki kemampuan membantu Irene yang didesak masalah finansial. Irene sendiri, bagaikan dalam kegelapan kekalutannya, tak memudahkan keadaan dengan memutuskan terlibat skema kredit online.Vino mulai menjauh dalam situasi rumit hubungan mereka. Jarak yang memisahkan mereka lebih mempermudah kerenggangan hubungan mereka yang semakin melebar. Sebagai pemuda belia dengan masa depan masih penuh kemungkinan, Vino memutuskan untuk tidak lagi fokus kepada Irene dan mengeksplorasi hubungan dengan perempuan lain.
Tapi apa hak kamu buat kesel, Irene. Selama hubungan kamu sama Vino yang ga jelas itu, kamu udah ngelepas perawan kamu dan jadi simpenannya cowok-cowok yang jauh lebih tua dari kamu. Paling ga kasih Vino kesempatan buat jelasin, batin Irene akhirnya memutuskan sambil mematut hasil riasan wajahnya yang tampak menawan dan natural.
Selesai berbenah diri, Irene keluar dari kamar mandi dan mendapati ada sesuatu yang salah.
—
Di sebelah ranjang tidurnya, di hadapan meja belajarnya tempat ia menaruh ponsel pintarnya, Irene mendapati Vino menggenggam benda pribadi milik Irene itu dengan ekspresi penuh amarah.
“Vin, ngapain kamu? Siniin hape aku!” segera Irene berlari menyebrangi ruang kamarnya dan mengerahkan tenaganya untuk merenggut smartphone-nya dari tangan Vino.
Namun naas bagi Irene, Vino yang bertubuh lebih tinggi dengan mudah menghindari Irene.
“Jadi ternyata selama ini lo gini ya, Rene. Nomer gue lo blok. Pelan-pelan ngejauh dari gue. Bikin gue kesepian dan ngerasa bersalah udah jalan sama cewek lain. Ternyata lo yang sok suci selama ini malah lacur, Irene!” gelegar suara Vino memaki Irene. Tampak mata pemuda itu membeliak tampak merah penuh amarah.
“Kamu ngomong apa sih Vino??? Udah cepet sini balikin hape aku! Kamu udah ngelancangin privasi aku!” balas Irene dengan suara juga meninggi karena panik.
Sontak Irene mencoba sekuat tenaga mencoba merebut benda di tangan Vino itu dengan membabi buta dalam kepanikannya. Dadanya berdebar kencang, telinganya bergemuruh, keringat mulai membasahi tubuhnya meskipun baru saja selesai mandi. Namun tak hanya menghindar dari tangan Irene dengan mudah, kini dengan tangannya yang masih bebas Vino merengkuh salah satu lengan Irene dan menguncinya dari belakang tubuh si gadis.
“AH! VINO! Sakit tau!” jerit Irene karena lengannya yang dipelintir ke belakang oleh Vino.
“Please, Vino… Aku bisa jelasin… Kita bisa saling jelasin…” pinta Irene.
“Apa yang harus dijelasin lagi, Rene? Lo lihat sendiri nih di hape lo gimana lo jadi lonte!” geram Vino di sebelah telinga Irene sambil tangannya yang masih menggenggam smartphone Irene menggulirkan jemarinya, memperlihatkan foto-foto panas Irene dengan pria-pria yang tampak jauh lebih dewasa darinya.
Dengan rasa malu dan tatapan penuh kekalahan, Irene melihat satu per satu foto-foto yang disodorkan di hadapannya itu; foto-foto yang sudah tahu seperti apa penampakannya, yang baru diambil beberapa minggu lalu itu, Irene tampak dalam keadaan telanjang bersama dua orang pria yang sama-sama telanjang, satu bertubuh tambun, satu berkulit kecoklatan bertubuh begitu atletis. Semua foto itu menampakkan adegan-adegan dewasa yang tampaknya diambil dengan kamera depan, yang menandakan Irene sendiri yang kemungkinan besar melakukan swafoto atau selfie itu. Beberapa menampakkan gadis itu sedang melakukan French kiss dengan si pria tambun, beberapa menampakkan ia bagaikan “menyusui” si pria atletis dengan payudara mungilnya, dan tak sedikit juga selfie si gadis sedang mengulum batang kejantanan yang tampak begitu gagah perkasa.
Seketika benak Irene mengingat ucapan yang dikatakan pria atletis yang ia panggil dengan nama Bima itu. Jangan lupa disimpan yang aman. Jangan dibiarin di galeri aja. Beberapa bulan terakhir, Irene yang memang mulai terbiasa dengan aktivitas rahasianya mulai berani untuk lebih bebas berekspresi, salah satunya dengan berswafoto saat melakukan kegiatan intim. Sebagai perempuan muda yang mulai beranjak dari remaja ke dewasa, wajar ada momen-momen tertentu yang membuatnya merasa cantik dan cute, yang ingin ia abadikan. Entah mengapa salah satunya adalah saat bercinta dengan pria yang bernama Dimas dan Bima. Awal mulanya ia lakukan pesan Bima dengan seksama, namun karena merasa foto-foto intim itu hanya untuk konsumsi pribadi dan tak akan ada mata lain yang akan melihat isi smartphone yang ia proteksi dengan sandi itu, lambat laun Irene semakin terlena dan selalu menunda untuk mengorganisir foto-foto sensitif itu. Tak pernah terbesit dalam pikirannya kemungkinan datangnya Vino dengan tiba-tiba, orang yang tanggal lahirnya ia pakai sebagai sandi di semua platform digital yang ia miliki, dan membuka benda yang penuh berisi privasinya. Penyesalan memang selalu tiba di akhir ketika semua telah terlambat.
“Terus ini ada aplikasi isinya ratusan notifikasi yang sandinya bukan ultah gue. Coba lo buka ini, gue mau lihat! Pasti isinya chatsama om-om yang pake lo kan, Rene?” tanya Vino penuh amarah.
“Vin… Dengerin aku… Aku terpaksa, Vin… Demi nggak D.O.”
“Alasan lo, Rene! Mana ada cewek terpaksa bisa selfie dan nikmatin pas ngewe gini! Makanya lo lempeng-lempeng aja sama hubungan kita yang makin ga jelas ini. Lo ngejual diri lo, Rene! Lo itu lonte murahan!”
Segala perkataan Vino membuat telinga Irene panas dan begitu menyakitkan di hati Irene. Ditambah dengan semua usahanya untuk menjelaskan ditolak mentah-mentah oleh pemuda itu dan bahu dan lengannya yang mulai sakit, air mata Irene meleleh sejadi-jadinya.
“Maafin aku Vino…” pinta Irene dalam derai air matanya. Ia tak tahu harus berkata apa lagi agar Vino mau melepaskan lengannya yang terasa sakit.
Alih-alih iba, amarah di hati Vino semakin membuncah. Otaknya yang panas tidak bisa berpikir jernih akibat rasa cemburu karena pengkhianatan Irene. Ia tak rela gadis yang ia jaga kesuciannya itu dengan suka rela memberikan mahkotanya pada pria asing. Ia tak kuat membayangkan apa saja yang pernah si gadis perbuat dengan pria-pria yang tampak jauh lebih dewasa darinya itu. Ia tak berani mengeksplorasi kemungkinan keterlibatan pria-pria lain selain dua orang yang ia lihat di galeri foto Irene. Bertubi-tubi api murka membutakan akal sehatnya sehingga ia melakukan hal yang akan ia sesali kemudian hari.
Seketika Vino melemparkan ponsel Irene ke atas ranjang. Dengan cekatan pemuda itu melucuti sabuk yang ia kenakan dan menggunakannya sebagai tali yang ia ikatkan di kedua pergelangan tangan Irene.
“Vino??? Kamu mau ngapain??? Kenapa aku diiket??? Lepasiiin Viiin! Maafin aku Viiin!!!” pinta Irene memberontak di sela-sela tangisannya yang makin menjadi-jadi. Namun tenaganya sebagai gadis mungil jelas tak dapat menandingi pemuda itu, apalagi dalam rasa kalut dan takut.
Setelah dirasa ikatannya cukup kencang, Vino yang tak mendengarkan, melempar tubuh Irene di atas ranjang. Dengan cekatan Vino meraih sebuah boneka mungil berbentuk bulat dan sebuah scarf milik Irene yang teronggok di meja belajar gadis itu. Dengan sigap Vino memaksa Irene untuk membuka mulut dan menyumpalkan boneka kecil itu ke dalam mulut di gadis, diikuti dengan ikatan kuat kain scarf untuk membungkam sempurna mulut gadis itu, tak lupa memastikan hidung si gadis tetap terbuka.
Diperlakukan bagaikan akan diculik dan ditawan, kontan rasa takut Irene semakin memuncak. Dengan kuat Irene mencoba untuk berteriak sekencang-kencangnya namun suaranya yang mungil terdengar begitu teredam. Mengingat kamar kost-nya yang berada di paling belakang rumah kost besar itu, dan hari itu merupakan Sabtu sore yang mana kebanyakan penghuni kost yang merupakan dewasa muda yang kebanyakan menikmati akhir pekan di luar, dan sebuah gudang kosong yang membatasi belakang kost itu, kemungkinan besar tak akan ada yang mendengar teriakan Irene yang bahkan tak akan melewati tembok tebal kost itu.
Vino yang melihat sebuah audio system di atas meja Irene, menyalakan benda itu dan memutar musik dalam volume yang cukup kencang. Kini kemungkinan suara-suara mencurigakan yang terdengar dari luar akan terbiaskan dengan suara musik.
Hubungan Vino dan Irene sudah tidak bisa diselamatkan. Hal itu sudah jelas dalam benak Vino. Namun paling tidak Vino akan menagih hal yang sudah lama ia ingin rasakan semenjak mereka masih sekolah namun ia tahan demi menjaga kesucian Irene; hal yang sudah dirampas oleh pria-pria hidung belang. Vino sudah bertekad bulat untuk menggagahi Irene sebelum semua ini berakhir.
Tanpa membalikkan tubuh Irene yang dalam keadaan terikat dan tengkurap, Vino dengan kasar membuka paksa rok yang Irene hingga terpampanglah bongkahan pantat yang terbingkai celana dalam model thong yang jelas didisain tak menutupi bongkahan pantat pemakainya. Dengan sekali tarik, Vino dengan kasar merenggut kain mungil penutup selangkangan Irene itu dengan sekali tarik ke arah bawah hingga terdengar bunyi robekan kain. Kini Irene telah telanjang dari pinggul hingga kakinya. Tak ada penghalang yang menghalangi area intimnya yang perlahan diregangkan oleh Vino. Akhirnya Vino dapat melihat vagina milik gadis yang pernah ia puja dulu itu. Dari belakang belahan intim milik Irene itu tampak begitu rapat, berwarna merah muda, berhias rambut-rambut yang sangat halus dan jarang di area pubisnya. Nafas si pemuda perlahan memburu, dadanya berdebar, dan perlahan darah mengisi penisnya yang perlahan menegang di balik celananya. Bagai terburu-buru, pemuda itu melucuti pakaiannya satu persatu; kemeja, celana panjang, hingga akhirnya celana dalamnya.
Kini Vino sudah dalam keadaan telanjang bulat dengan penis tak bersunat yang sudah menegang sempurna hanya karena melihat keintiman Irene. Segera pemuda yang belum pernah bercinta sama sekali dalam hidupnya itu mengambil ancang-ancang di belakang Irene, berencana memasukkan penisnya dari belakang, seperti video-video porno yang pernah ia tonton. Harusnya sesimpel itu, batin Vino percaya diri. Tak lupa pemuda itu melumasi penisnya dengan sedikit ludahnya sendiri sebelum memasukkan kepala penisnya yang tak bersunat itu di pintu belahan pink milik Irene. Kemudian dengan mengerahkan tenaganya, Vino mendorong pinggulnya dengan sekuat-kuatnya hingga penisnya memasuki vagina Irene dengan sekali tusuk yang diikuti dengan jeritan teredam si gadis dan tubuh yang menegang.
“Ah… Memek lo rapet banget, Rene. Anjing lah kata gue. Lo tega banget khianatin gue, Rene. Tapi gampang banget ngasihin memek lo ke cowok lain. Anggep ini ucapan maaf lo!” racau Vino tak jelas akibat sensasi kehangatan dan rapatnya liang senggama Irene di penisnya. Akhirnya status perjakanya ia tanggalkan.
Segera Vino mulai memaju mundurkan pinggulnya, mengingat adegan-adegan porno yang pernah ia lihat. Terdengar jeritan panjang teredam dari si gadis itu. Air mata terus meleleh dari kedua mata si gadis, membasahi ranjangnya. Tubuhnya menegang dalam keadaan terikat, menahan rasa sakit yang begitu hebat di selangkangannya. Apa yang dilakukan Vino adalah sebuah dry penetration, sebuah penetrasi kering—terjadi ketika vagina perempuan masih kering dan tidak siap menerima kehadiran penis akibat kurang atau tidak ada foreplay. Sebagai perempuan dalam kondisi ketakutan dan tekanan batin, vaginanya jelas-jelas kini sedang dalam keadaan tidak bisa mengeluarkan pelumas yang cukup untuk mengurangi gesekan dinding vaginanya dengan penis yang sebenarnya tidak sebesar penis-penis lain yang pernah memasukinya. Akan tetapi setiap tusukan yang dilakukan Vino terasa sebagai siksaan bagi Irene yang hanya dapat berharap segera berakhir.
Penis Vino yang mulai mengeluarkan precum membuat pergesekan penisnya dalam vagina Irene terasa lebih mudah. Namun pemuda itu tak mengetahui atau tak peduli bahwa gadis yang ia gagahi paksa itu masih dalam keadaan kesakitan. Kini hanya pekikan lemah teredam yang keluar dari mulut si gadis. Sesekali Vino menepuk pantat Irene hingga kemerahan, atau menyusupkan jemarinya ke dalam kaos dan bra yang masih dikenakan Irene, untuk meremas kencang gunung kembar ranum milik si gadis, yang hanya direspon dengan teriakan teredam oleh Irene.
Bagai waktu yang terasa terlalu lama bagi Irene, namun tidak sampai sepuluh menit bagi Vino, nafas pemuda itu makin memburu hingga akhirnya gerakan pinggulnya berhenti dan di dalam vaginanya, Irene dapat merasakan semprotan hangat khas sperma, menandakan Vino tengah berejakulasi.
“AAAHHH FUCK! Memek lo rapet banget, Rene, ga tahan gue!!!” geram Vino sambil meremas erat kedua bongkahan payudara Irene, meresapi orgasme pertamanya di dalam vagina perempuan.
Setelah beberapa saat, dengan terengah Vino melepaskan tautan kelamin mereka dan melelehlah spermanya yang baru saja ia semburkan di dalam vagina Irene secara sembarangan, tanpa izin si gadis. Vino yang perlahan mulai turun dari nafsu binatangnya kini berdiri terengah di tengah kamar kost Irene, mengumpulkan akal sehatnya yang sempat hilang karena amarah, cemburu, dan nafsu.
Setelah membersihkan penisnya dengan tissue, perlahan ia kembali mengenakan pakaiannya satu persatu. Dengan tenang Vino kembali meraih smartphone Irene dan mengirimkan seluruh foto-foto mesum gadis itu menuju ponselnya. Kemudian bagaikan telah direncanakan, Vino membuka sebuah aplikasi perbankan yang terproteksi dengan sandi biometrik. Dengan santai Vino menempelkan ibu jari Irene yang masih terikat dan mengakses data perbankan Irene. Ia bersiul mendapati nominal yang terdapat di tabungan Irene dan tanpa peduli mentransferkan hampir seluruh dari tabungan Irene itu ke rekeningnya sendiri, tentu saja dengan PIN transaksi yang tak lain adalah ulang tahunnya sendiri. Tolol banget lo, Rene, batin Vino mencemooh. Tak berhenti di situ, Vino membuka satu per satu laci meja kamar Irene dan menemukan dompet Irene yang juga ia kuras uangnya. Terakhir, Vino kembali mendekati Irene yang sedari tadi masih tak bergerak di atas ranjangnya, tangannya merengkuh sebuah liontin emas yang melingkar di leher Irene dan dengan sekali tarik pemuda itu merenggut paksa benda itu hingga terlepas dari leher si gadis.
“Irene, kalau lo macem-macem lapor-lapor atau cerita sana sini tentang pertemuan kita hari ini, gue pastiin foto-foto lo tersebar ga cuma ke tante, sepupu, dan keluarga lo yang lain, tapi gue pastiin juga semua temen-temen kita bakal tau kalau lo itu merantau buat jadi lonte. Jadi anggap kita ga pernah ketemu,” kata Vino dingin, sambil membuka ikatan ikat pinggangnya dari pergelangan tangan Irene.
Dalam diam Vino mengenakan kembali ikat pinggang dan jaket kulitnya, lalu meraih helmnya. Tanpa melihat ke belakang, Vino keluar dari kamar kost itu tanpa sepatah kata apapun, meninggalkan seorang gadis yang baru saja ia perkosa, bagai teronggok tengkurap dalam keadaan masih terbungkam mulutnya. Itulah terakhir kali Irene melihat Vino.
—
Hari telah berubah gelap ketika Irene akhirnya mengumpulkan tenaga untuk bangkit dari ranjangnya dan meraih smartphoneyang dibiarkan tergeletak di meja belajarnya oleh Vino. Dengan perlahan Irene membuka daftar kontaknya hingga menemukan sebuah nama dan mengetuk tombol panggilan.
Memanggil… Dimas.
///
Juni 2018
“Reeen? Udah siap belum? Ayo berangkat.”
“Mas Dimas, serius deh kita mau kemana sih pake harus packing sekoper segala gini? Mana lagi minggu tenang lagi ini. Irene harusnya belajar buat UAS minggu depan tauk,” protes Irene cemberut.
“Udaaah ikut ae. Cuma empat hari ae lho. Hari minggu udah balik,” ujar pria berbadan besar tambun bernama dengan logat khasnya itu sambil menggeret koper kabin milik Irene dan menenteng ranselnya sendiri, meninggal sebuah apartemen 2BR yang ia tinggali.
“Yah ini masih hari Rabu, mas Dimas. Irene ga bisa belajar dong?!” protes gadis itu lebih jauh.
“Jangan belajar terus. Udah pinter gitu. Seneng-seneng gitu, sekali-kali. Biar gak stress kamu itu kuliah sama belajar terus yang dipikiri. Main dulu. Biar fresh nanti ngerjain ujiannya minggu depan. Makin dihapalin makin nguap nanti,” balas Dimas santai ketika mereka di dalam lift menuju tempat parkir.
Setelah mencapai lantai parkiran, mereka memasuki sebuah LCGC yang dipinjamkan atasan Dimas, yang tak lain adalah Gio. Tak lama keduanya membelah jalanan ibukota di sore hari kerja itu yang mulai memadat.
“Er… Mas Dimas, bukannya ini kantornya Pak Roni, ya? Kirain jalan-jalan beneran,” tanya Irene sedikit kecewa ketika Dimas memasuki sebuah pelataran gedung berlantai lima, yang dua lantai teratasnya merupakan firma yang dikelola kolega Gio yang bernama Roni yang merupakan seorang corporate lawyer.
“Iya memang kita mau jalan-jalan. Tapi ngerangkep urusan kerjaan dikit. Percaya aja pasti seru. Selain itu, ada urusan lain yang nyangkut kamu. Udah ikut aja dulu,” jawab Dimas.
Tak lama kemudian setelah memarkirkan kendaraan mereka, keduanya sudah berada di dalam kantor Roni yang terletak di lantai tertinggi gedung itu. Dalam percakapan Dimas dan Roni, Irene dapat menangkap bahwa perusahaan Gio yang kembali ingin membuka sebuah cabang anak perusahaan, kali ini di sebuah provinsi di utara pulau Sumatra, asal keluarga Roni. Atas permintaan dari Gio sendiri, Roni diminta turun tangan untuk memberikan pendampingan hukum, yang tak dapat ditolak oleh Roni karena hubungan pertemanan dan memang proyek kali ini melibatkan anggaran yang sangat besar. Demi kelancaran mobilitas Roni, Dimas ditugaskan oleh Gio secara pribadi agar dapat membantu Roni dalam mobilitas. Maka dari itu, di hari itu Dimas meminta izin ke Gio untuk meninggalkan pekerjaan lebih awal, dengan alasan bersiap-siap. Tak salah dengan alasan itu, namun yang tidak diketahui bosnya, ia berencana untuk mengajak Irene; bagaikan sambil menyelam minum air. Dengan melibatkan Roni, Dimas ingin memberikan kejutan sebuah perjalanan liburan bagi Irene yang selama beberapa minggu terakhir tampak tidak seperti Irene yang ia kenal. Dimas tahu sebabnya.
—
Suatu malam di beberapa minggu lalu Irene menelpon Dimas dengan suara tercekat, meminta Dimas untuk menjemputnya di rumah kost-nya. Sesampainya di kost Irene, awalnya Dimas kebingungan dengan apa yang terjadi dengan gadis itu. Aku mau nginep di tempat mas Dimas, hanya itu pinta Irene dengan wajah yang begitu murung bagai tak ada gairah hidup. Sepanjang perjalanan menuju apartemen Dimas, Irene hanya menangis dalam diam. Sebagai pria yang lebih dewasa, Dimas hanya menggenggam tangan gadis itu sepanjang jalan, tanpa bertanya apapun. Sesampainya mereka di apartemen Dimas, di situlah Irene mulai menceritakan kisahnya dengan Vino. Ia mengutarakan seluruh kejadian yang menimpanya; rasa takutnya, sakitnya, penyesalannya dan kekecewaannya.
“Udah. Udah. Mas nanti beresin,” kata Dimas menenangkan sambil memeluk tubuh mungil Irene.
“Beresin gimana maksudnya? Jangan yang aneh-aneh, Mas Dimas. Irene cuma gamau keluarga Irene tau. Irene juga gamau mas Dimas dan mas Bima kena masalah gara-gara Irene teledor,” ujar Irene sambil mengusap air matanya.
“Hahaha… Udah tenang. Beres… Diminum dulu teh angetnya biar tenang,” kata Dimas sambil mengusap punggung si gadis yang menuruti Dimas menyeruput tehnya. Sesekali tangan jahilnya mendekati pinggiran payudara Irene.
“Mas Dimas, bobonya malem ini gapake seks ya… Please… Irene capek,” pinta Irene menatap Dimas memelas.
“Siapa bilang, Mas pingin seks,” tangkis Dimas sedikit salah tingkah karena si gadis dapat membaca pikirannya. Namun sebagai pria dewasa yang berkomitmen dalam sebuah perkumpulan rahasia terlarang, Dimas tahu harus menahan kepentingan pribadinya pada saat-saat yang dibutuhkan, dan momen itu salah satunya. Gadis di hadapannya sedang dalam kondisi mental yang jauh dari baik dan ia telah dipercaya si gadis sebagai penyelamat dari kekalutannya. Sebagai pria bertanggung jawab, Dimas tak akan memperparah keadaan dengan memaksa si gadis bercinta walaupun tak dapat dipungkiri, berduaan dengan gadis belia dan ranum itu mengusik kejantanannya.
“Ah, bokis. Sok-sokan,” timpal Irene mematahkan kilah Dimas, namun kembali memeluk tubuh Dimas yang empuk dan begitu melindungi. “Irene serius, Mas Dimas.”
“Oke.”
“Irene juga gamau balik ke kost Irene.”
“Oke. Kamu bisa tinggal di sini selama yang kamu mau, sayang.”
Dimas menepati janjinya. Seluruh barang Irene ia pindahkan ke apartemennya yang disewakan secara cuma-cuma oleh Agam kepadanya. Bahkan hingga beberapa minggu setelah kejadian itu, ketika Irene masih tetap menolak dijamah oleh Dimas, pria itu tetap menepati janjinya.
—
“Jadi dik Irene, si Dimas ini udah cerita semua masalah kamu. Dia udah beresin sendiri masalah kamu sama pacar kamu yang namanya Vino itu. Dengan bantuan saya tentunya,” kata Roni memecahkan lamunan Irene.
“Mantan, Pak Roni. Mantan,” kata Irene mengoreksi. “Beresin gimana maksudnya?”
“Mas udah nemuin langsung Vino. Mas kasih dia peringatan tegas,” sahut Dimas menimpali.
Tanpa sepengetahuan Irene, Dimas sudah menemui menemui Vino. Dengan bantuan dua rekannya, Dimas menunggu momen yang tepat ketika Vino sedang sendiri di parkiran kampusnya untuk menyeretnya masuk ke dalam minibus yang disewa Dimas dan membawanya ke sebuah tempat cukup terpencil di pinggiran kabupaten dari kota bunga itu, hanya untuk ‘memperingatkan’ Vino. Pertama Dimas ‘mempersuasi’ Vino untuk menyerahkan smartphone-nya pada Dimas. Dengan cekatan Dimas mendapati foto-foto dari smartphone Irene yang masih tersimpan di dalam galeri dan percakapan Vino dengan Irene. Seperti dugaan Dimas, beruntung bagi Dimas dan Irene bahwa pemuda itu tampaknya belum menyebarkan gambar-gambar pribadi itu kepada siapapun. Cupu, batin Dimas kecewa. Tanpa aba-aba, Dimas mengakses pengaturan dan memilih untuk menghapus seluruh data smartphone milik Vino itu, yang jelas ditanggapi dengan protes marah pemuda itu, namun disambut oleh sebuah pukulan yang melayang ke wajah pemuda itu. Setelah puas memberikan ‘peringatan tegas’ pada pemuda itu, Dimas kemudian memberikan sebuah surat somasi yang telah disiapkan Roni sebagai kuasa hukum Irene yang berisikan sebuah ancaman untuk mengambil jalur hukum atas perbuatan yang dilakukan oleh Vino kepada Irene, termasuk potensi laporan atas pemerkosaan, penganiayaan, dan perampokan, dengan sederet ancaman akan pembeberan barang bukti. Vino yang mengingat dirinya telah meninggalkan banyak jejak dirinya di dalam kamar kost dan tubuh Irene, menyadari keadaan tidak akan berpihak kepadanya apabila ia berniat untuk melakukan laporan balik; tidak dengan kuasa hukum yang melindungi Irene, tidak dengan keadaannya yang kini dalam kesulitan finansial dan meminta bantuan orang tuanya bukan merupakan suatu pilihan. Ia tak akan segila itu untuk melibatkan keluarganya pada suatu masalah yang ia sendiri sadari bahwa ia juga telah banyak melakukan kesalahan. Ia menyadari telah mengusik orang-orang yang seharusnya tak ia usik. Satu-satunya keputusan terlogis ialah dengan melepaskan masalah itu dan menguburnya dalam-dalam. Dengan kepasrahan, Vino menerima surat yang telah ia baca itu, beserta smartphone-nya yang kini sudah kosong tak memiliki data, tanpa data cadangan apapun. Puas bahwa targetnya ternyata lebih mudah untuk dijinakkan, Dimas dan rekan-rekannya menurunkan Vino ke tempat semula dirinya dibawa dengan paksaan.
“Sumpah, Mas Dimas, dia ga kenapa-kenapa kan?” desak Irene setelah mendengar cerita Dimas.
“Suer! Mas juga ga ******, Ren. Lagian ngapain juga kamu masih peduli sama cowok kayak gitu?” sanggah Dimas sedikit tak terima Irene masih menanyakan keadaan mantan kekasihnya itu.
“Aku ga peduli dia, Mas. Aku takutnya Mas Dimas nanti yang ada masalah karena udah nyakitin dia.”
“Tenang aja dik Irene. Dimas tak seceroboh itu. Yang penting masalah sekarang sudah beres. Dik Irene sudah bisa tenang, saya jamin tak akan ada masalah dari foto-foto itu. Kalaupun ada, kita pasti akan tuntut dia dan saya pastikan kita bakal menang. Karena foto-foto itu adalah properti pribadi kamu dan dia sudah melakukan sederet kesalahan lain yang kita dapat buktikan dengan mudah,” potong Roni dengan begitu penuh percaya diri.
“Lagian, Ren, usut punya usut dia juga lagi kesulitan finansial karena jadi korban judi online. Mas jamin dia ga akan bisa ngapa-ngapain,” kata Dimas menenangkan.
“Jangan lupa dik Irene, ganti semua sandi kau itu. Dan jangan sekali-kali ceroboh lagi,” hardik Roni sambil tersenyum.
Irene mengangguk menerima kritik dari Roni itu. Pria itu benar, Irene harus semakin berhati-hati dan lebih menuruti perkataan pria-pria dewasa yang peduli padanya. Dibanding mereka yang jauh lebih memiliki pengalaman dalam hidup, Irene hanyalah gadis baru didewasakan kemarin dan masih perlu banyak belajar menghadapi masalah.
“Ya sudah, ayo kita berangkat. Jangan sampai kita tertinggal pesawat,” ajak Roni sambil beranjak dari tempat duduknya.
Meninggalkan ruangan Roni, Dimas dan Irene menunggu Roni yang sedang bercakap dengan seorang pria berpawakan sedang dengan perut membuncit hampir menyaingi Dimas, yang tampaknya adalah karyawan Roni. Dari kejauhan Irene dapat mendengar samar percakapan kedua pria tersebut.
“Ok. Kau jaga kendang baik-baik ya, Aldi! Amankan jangan sampai ada masalah selama kutinggal, hahaha,” gelak Roni yang tampaknya mempercayakan kantornya kepada pria bernama Aldi itu.
“Siap, Pak Roni! Hati-hati di jalan. Semoga tendernya lancar,” balas Aldi pada Roni yang sudah berjalan ke arah Irene dan Dimas yang menunggu di depan lift.
Sekilas pandangan Irene bertemu dengan yang dipanggil Aldi itu. Wajah dan nama itu tak terasa asing bagi gadis itu, walaupun Irene yakin ia tak pernah bertemu dengan pria itu sama sekali. Dengan perasaan ringan, karena beban masalahnya yang ia pikirkan beberapa minggu terakhir kini telah terangakat, Irene melenggang masuk lift yang terbuka, mengikuti dua pria di sebelahnya. Pintu lift tertutup perlahan ketika Irene, yang sekali lagi mengarahkan pada pria bernama Aldi itu, tiba-tiba teringat dimana ia pernah melihat wajah pria itu: di foto-foto yang terpajang di rumah wanita bernama Arina, berbulan-bulan lalu ketika Irene terlibat sebuah pesta seks panas di rumah Arina itu. Pria bernama Aldi itu adalah suami Arina, wanita yang tak terlihat batang hidungnya selama beberapa bulan terakhir sejak kelahiran putranya.
—
Sesampainya di tanah Batak, selama tiga malam dua hari Dimas dan Irene menginap di sebuah hotel di sebuah kota kecil yang relatif dekat dengan sebuah danau ternama di provinsi itu—demi kemudahan antara acara wisata Irene dan urusan menuju situs anak perusahaan Gio. Sedangkan Roni memilih menginap di rumah kerabat dari pihak istrinya di kota itu; titah sang istri yang tak dapat ia tolak. Pagi hari hingga siang, Irene ditinggalkan Dimas yang harus mengantar Roni berkeliling dengan mobil yang disediakan anak perusahaan Gio. Siang hingga malam hari Dimas menemani Irene berkeliling melihat pemandangan—pegunungan, air terjun, danau yang begitu besar—hingga berkuliner. Dalam hari-hari itu, sedikit demi sedikit Irene dapat menemukan dirinya kembali yang sempat terpuruk, terpendam dalam kubangan trauma, kecemasan, dan kesedihan. Jauh dari realita kesehariannya di ibukota, kini Irene dapat bernapas dengan lega, berjalan dengan ringan, dan tertawa dengan lebih lepas. Everything is gonna be alright again, benak Irene mengatakan.
“Katanya pulang Minggu, mas Dimas. Ini masih Sabtu pagi,” kata Irene pada Dimas saat mereka akhirnya check out.
“Tunggu kejutannya ya,” jawab Dimas sambil mengerlingkan mata.
Tiga malam berjalan dengan cepat. Di pagi akhir pekan itu, Dimas memacu mobil kantornya menuju ibukota provinsi itu. Irene mendapati ternyata Dimas mengarahkan mereka menuju bandara kembali. Katanya belum mau pulang, batin Irene sedikit kecewa. Di bandara ternyata Roni telah menunggu mereka dengan tiga lembar tiket di tangannya. Irene yang menerima sebuah tiket pesawat dari Roni membaca namanya tertera pada boarding pass yang mencantumkan sebuah kode bandara yang tidak familiar—yang jelas bukan menuju ibukota.
“Kita mau ke sih?” tanya Irene.
“Tunggu kejutannya,” jawab Roni tersenyum, menyamai Dimas beberapa saat sebelumnya.
“Rajin banget, Bang, sampe duluan. Ga mau dijemput takut ketahuan keluarga besar ya? Hahaha…” sapa Dimas pada Roni dengan kelakar.
“Jadi, Rene, Bang Roni ini alesannya mau pulang kampung ke rumah keluarga orang tuanya. Padahal mau ehem ehem. Hahaha,” lanjut Dimas mengejek pria yang lebih tua itu.
Tak membantah, Roni hanya tersenyum lebar mendengar kelakar Dimas dan mengajak kedua rekannya menuju gerbang keberangkatan. Memang benar adanya ia berkilah pada istrinya dan kerabatnya bahwa akan menghabiskan akhir pekannya di salah satu kota di selatan provinsi itu—kota asal opungnya yang berdarah Mandailing. Orang tua Roni yang merantau ke ibukota membuatnya menjadi generasi pertama di keluarganya yang dilahirkan di luar tanah leluhurnya. Kini dengan opungnya yang sudah tiada, Among-Inongnya yang memasuki usia senja di ibukota, saudara-saudara mereka yang kebanyakan sudah tiada atau mengikuti anak-anak mereka—sepupu-sepupu Roni—merantau, kini rumah keluarga besar milik opungnya tak berpenghuni dan hanya sesekali diurus oleh seorang penjaga rumah yang dipercayai keluarganya.
Kini Roni membuat kota kelahiran Among-Inongnya itu sebagai kambing hitam kepada istrinya untuk kepulangannya yang tertunda hingga Minggu malam. Faktanya, Roni menuju sebuah pulau di pesisir barat tanah Batak itu. Di pulau itu, Roni memiliki sebuah properti yang ia rahasiakan dari seluruh keluarganya. Secara diam-diam ia memiliki sebidang tanah yang sangat luas yang di pesisir utara pulau itu yang kini telah berdiri sebuah rumah. Untuk menuju tempat itu, Roni, Dimas, dan Irene perlu menempuh satu jam perjalanan udara, ditambah sekitar 2 jam darat dengan mobil sewaan.
Matahari mulai menggelincir ke sisi barat ketika mereka mulai memasuki akses jalan tanah yang kecil di antara hamparan kebun kelapa sawit dan cukup jauh dari jalan utama yang beraspal, hingga akhirnya di ujung jalan itu tampak sebuah pagar yang melingkari sebuah bungalow putih yang tampak bersih, cantik dan terawat dengan bunga-bunga tumbuh di tamannya. Taman belakang bungalow tersebut terbuka menuju pantai berpasir putih dan menampakkan bentangan samudra berwarna biru, begitu megah, mempesona, sekaligus menenangkan. Tak ada seorangpun di area itu, bahkan hingga berkilo-kilometer di sisi kanan dan kiri pesisir itu—jelas, karena area itu milik pribadi yang terbentang sekitar seratus ribu meter persegi, menurut pengakuan Roni sebagai pemilik tanah itu, dan di luar tanah miliknya itu pun masih didominasi belantaran sawit.
“Edan! Bang Roni, dapet tanah seluas ini gimana ceritanya?” tanya Dimas terkagum, sambil keluar dari mobil sewaan mereka.
“Hadiah. Setelah bantu salah satu kliennya Gio. Hahaha…” jawab Roni terkekeh, mengakui sebuah tindak gratifikasi yang pernah ia terima.
“Wah, wah… Edan, Bang. Mantap,” puji Dimas sambil menggelengkan kepala.
“Bah. Masih tak seberapa lah. Dibanding mereka-mereka yang punya pulau pribadi,” tukas Roni.
Setelah memasukkan barang-barang mereka ke dalam rumah mungil dan cantik itu, Irene berjalan menuju pantai yang tak jauh dari rumah rahasia Roni itu. Terdapat tiga kursi tidur lengkap dengan parasol, yang masih lagi terlindungi pohon kelapa yang rindang di pesisir pantai itu. Irene duduk di kursi tengah dan meresapi suara deburan ombak yang begitu menenangkan. Sudah lama gadis itu tak merasakan perasaan seringan itu. Suara samudra luas di hadapannya bagaikan mengingatkannya untuk melepaskan beban pikiran dan lebih menikmati hidup.
Terdengar suara seseorang mendekatinya dari belakang. Irene menolehkan kepalanya dan mendapati Dimas mendekatinya, telah bertelanjang dada, hanya mengenakan celana renang pendek.
“Mataharinya panas. Tapi untung di sini rindang dan anginnya adem,” komentar Dimas.
Sebelum sempat Irene membalas perkataan Dimas, terdapat suara Roni dari belakang Dimas menginterupsi.
“Au keluar dulu ya, Dimas. Macam mana kelupaan beli bensin buat genset. Sambil cari makan buat nanti malam juga. Kau santai-santai dulu lah. Mau mulai dulu juga ok,” kata Roni pada Dimas dengan seringai penuh makna.
“Wah siap, bang! Makasih!”
Dengan begitu, tinggal lah Dimas dan Irene berdua.
“Iren. Renang, yuk?” ajak Dimas menyeringai pada Irene, yang dianggukan gadis itu, tak peduli lagi dengan pronunciation Dimas yang selalu memanggil dirinya Iren alih-alih Airin.
Tak perlu lama bagi Irene untuk berganti dengan bikini two-piece berwarna putih yang tampak menggemaskan di tubuh mungilnya yang cerah tanpa cela. Sebuah pemandangan yang menggoda iman bagi Dimas. Beberapa saat berikutnya, keduanya telah berenang kesana kemari tak jauh dari tepi pantai. Sesekali mereka saling bermain air laut yang terasa segar di tubuh mereka. Keduanya saling mengejar, tertawa lepas, hingga akhirnya berguling-guling di atas pasir terengah kehabisan nafas. Hidup terasa indah pada momen-momen itu.
Dalam basahnya kedua tubuh mereka yang diterpa sinar mentari yang perlahan menuju sore, kedua insan manusia terpaut 14 tahun usia itu saling menatap sepasang mata masing-masing. Debaran jantung mereka perlahan mulai cepat. Kedua wajah mereka makin mendekat. Perlahan keduanya menutup mata mereka dan membiarkan insting mereka yang bekerja. Tak lama, bibir keduanya saling bersentuhan dan merapat erat dalam sebuah ciuman mesra sepasang sejoli. Perlahan lidah Dimas mulai menyapu bibir Irene yang disambut dengan sapuan lidah si gadis dan bibir ranumnya yang merekah, mengizinkan lidah pejantannya untuk memasuki rongga mulutnya, membelit lidah mungilnya. Akhirnya setelah sekian lama, setiap tetes cairan ludah mereka saling membaur kembali. Keduanya saling hirup khas aroma nafas, ludah, dan mulut masing-masing yang begitu membuai. Di momen itu mereka merasakan indahnya sebuah pagutan mesra yang menjadi langkah pertama kedua insan manusia berbeda jenis kelamin itu membuka peraduan cinta dan nafsu mereka di sore itu.
Setelah momen percumbuan yang terasa begitu lama itu akhirnya keduanya melepaskan pertautan bibir mereka. Terengah mereka menarik nafas dan perlahan membuka mata masing-masing. Terdapat rasa cinta dan nafsu yang membara dalam pandangan mereka.
“Iren. Mas Dimas izin mau ngentot kamu, ya sayang. Boleh?” Dimas menjadi yang pertama memecah keheningan dengan permintaannya yang begitu tulus dan sungguh-sungguh.
Selama sebulan terakhir, Irene yang sedang dirundung kekalutan batin merasa terima kasih tak terkira pada Dimas yang telah menepati janji untuk tak menjamah tubuhnya; yang telah bersabar hingga Irene merasa siap. Kini dengan perasaan ringan, hati berbunga-bunga, dan kebahagian yang membuncah, Irene kini sudah tahu jawabannya dengan pasti, bahwa ia sudah siap kembali untuk dijamah secara lahir dan batin. Tubuh dan hatinya ingin bercinta dengan pria dewasa di hadapannya.
“Boleh, Mas Dimas. Please, entot Irene. Puasin Irene,” jawab Irene lembut namun mantap, yang dibalas senyuman lebar Dimas. Akhirnya ia dapat menggagahi tubuh gadis favoritnya kembali.
Perlahan Dimas menarik lepas ikatan bikini atas yang bersimpul di leher dan punggung Irene. Terlepaslah penutup payudara ranum si gadis. Dengan cekatan, Dimas menggenggam kedua pasang gunung kembar itu dan meremasnya dengan lembut sebelum akhirnya memasukan salah satu puncak payudara berputing coklat pucat itu ke dalam mulutnya. Pria itu melakukan hisapan dengan intensitas sedang pada puting ranum milik si gadis yang diselingi dengan gigitan-gigitan manja pada puting dan areolanya. Hal itu Dimas lakukan bergantian pada kedua payudara Irene dalam beberapa kali sebelum ia akhirnya berfokus pada kain penutup terakhir yang melekat di tubuh si gadis. Pada titik itu pria itu sudah tak mau membuang waktu untuk berpindah tempat. Ia sudah bertekad untuk menggagahi gadis itu tepat di garis tepi pantai tempat ombak menyentuh pantai dan kembali menjauh.
Perlahan Dimas baringkan tubuh Irene di atas pasir putih. Pria itu menemukan ujung simpul bikini bawah milik Irene yang terikat di sisi kanan dan kiri pinggulnya dan menariknya secara bersamaan. Dengan sekali renggut, kini tak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh belia Irene. Dengan sigap Dimas merenggangkan kedua tungkai kaki Irene untuk membuka area keintiman si gadis. Dengan pandangan nanar, Dimas menatap sebuah rekahan vagina berwarna merah muda yang dihiasi rambut pubis yang masih tergolong tipis dan jarang. Pria itu mendekatkan hidungnya di depan rekahan itu dan menghirup dalam-dalam aroma khas kewanitaan milik gadis belia itu yang kini telah bercampur dengan aroma air laut. Tampak mencuat di ujung atas bibir memek indah itu, sebuah klitoris si gadis yang mulai menegang, pertanda libidonya mulai naik.
Tak menghabiskan waktu, Dimas melahap rekahan daging mentah berwarna merah muda itu yang disambut dengan desah manja dari pemiliknya. Secara teliti lidah kasar Dimas menyapu setiap lipatan-lipatan area terintim milik Irene, mulai dari tonjolan kelentitnya, lubang kecil yang mengeluarkan air seninya, vulvanya yang merekah basah, perineumnya, hingga kerutan pintu pembuangannya pun tak luput dari jilatan mesra lidah Dimas. Dibuai seperti itu, dengan cepat cairan pelumas milik Irene makin melimpah membasahi dinding memeknya dan meleleh melalui celah vulvanya. Bahagia, Dimas menyeruput lelehan bening yang tak kunjung berhenti itu hingga pada satu titik Dimas merasa saatnya membuat gadisnya menuju puncak sebelum hidangan utamanya. Dengan cekatan Dimas tiba-tiba memasukkan jari tengah dan jari manisnya ke dalam lubang sempit Irene dan mulailah ia melakukan gerakan menggaruk dinding depan memek mungil itu. Seketika lenguhan merdu terlepas dari mulut Irene.
Lama kelaman tubuh Irene bagai cacing kepanasan dengan jemari Dimas yang secara persisten mengait wilayah terintimnya itudan menyerang G-spot-nya. Melihat gadisnya tampak mendekati klimaksnya, Dimas segera melumat biji kelentit si gadis hingga akhirnya bendungan itu tak dapat ditahan lagi oleh Irene.
“MAS DIMASSSS… AKU DAPET… AAHHH…” lolong Irene yang tubuhnya serasa dilolosi. Otot-ototnya berkontraksi, terutama otot area dasar panggulnya, membuat cairan squirt sedikit menyemprot, yang secara sigap ditangkap oleh mulut Dimas. Cairan cinta si gadis pun makin meleleh tak karuan, juga diseruput oleh Dimas. Akhirnya setelah berminggu-minggu yang terasa seperti bertahun-tahun, Irene mendapatkan orgasme sejatinya secara hakiki.
Dimas melepaskan kait jemarinya dari memek Irene untuk memberikan si gadis kesempatan untuk mengatur nafasnya. Momen itu ia gunakan untuk melepaskan celana renangnya dan mengekspos batang kejantanannya yang sudah setengah tegang. Dengan berlutut di dekat kepala Irene, Dimas seolah memberikan kode yang dimengerti si gadis untuk segera memberikan oral seks. Irene bersimpuh di hadapan selangkangan Dimas itu dan memberikan kocokan beberapa kali pada kejantanan bersunat berwarna coklat itu sebelum memasukkannya ke dalam mulutnya. Lidah si gadis dengan cekatan menyapu kepala kejantanan, sisi bawah, hingga ke pangkalnya, membuat benda yang sering disebut kontol itu dengan cepat mencapai ketegangannya yang maksimal. Kontol itu kini memenuhi mulut si gadis secara sempurna. Meskipun memang berpawakan tambun besar sejak kecil, saat melewati masa pubertas, Dimas dikaruniai sebuah kejantanan yang ikut bertumbuh menjadi besar hingga masa dewasa mudanya. Ukurannya yang tergolong masih di atas rata-rata itu kini menjadi nilai lebih dalam masalah percintaan.
“Udah, sayang, mas langsung masukin sekarang ya,” ucap Dimas yang menjadi kode bagi Irene untuk mengakhiri blowjob-nya dan segera kembali merebahkan tubuhnya di atas pasir yang hangat.
Segera tubuh besar Dimas menaungi tubuh mungil Irene. Kedua tungkai kakinya telah ia regangkan agar batang keras di selangkangan Dimas dapat mendekati celah kewanitaannya. Jemari mungilnya menggenggam batang panas milik pejantannya, berinisiatif membimbing kepala kejantanan itu untuk menemukan pintu masuk ke belahan peraduannya. Dimas mengerti Irene telah terbakar nafsu, karena dirinya pun begitu. Maka dari itu ketika kepala kontolnya menyentuh bibir memek Irene, berkat bimbingan jemari gadis itu, Dimas tak menunda untuk segera menekan pinggulnya. Kepala batang gemuknya seketika membelah celah basah si gadis yang diikuti dengan dengus nafas keduanya. Dimas tetap mendorong pinggulnya, membuat kontolnya yang sepadan gemuknya dengan tubuhnya memasuki memek Irene dengan perlahan tapi pasti hingga akhirnya pria itu dapat merasakan halangan padat di ujung kontolnya, menandakan kepala kejantanannya telah bertemu dengan mulut rahim yang beberapa minggu tak dijumpai. Bagaikan seekor burung yang lama terbang berkelana hingga akhirnya menemukan sarangnya, seluruh batang gemuk Dimas akhirnya tertanam sempurna di dalam liang cinta Irene. Kedua insan berbeda generasi itu saling menatap mesra, meresapi hangatnya pertautan sempurna kelamin mereka, untaian rambut pubis yang saling berbaur, perut tambun pria yang mendesak rapat wanitanya, dada bidang berbulu menggesek lembut puncak payudara ranum, dua pasang bibir yang saling bertukar kecupan-kecupan penuh cinta.
“Mas mulai gerak ya,” kata Dimas memberikan aba-aba yang hanya dijawab dengan angukan kecil Irene.
Berjuta-juta stimulasi dalam rongga surgawi Irene bagaikan teramplifikasi berjuta-juta kali lipat. Setelah berminggu-minggu dalam kesedihan dan tak didatangi kejantanan, kewanitaannya kini begitu begitu prima menerima hadirnya sebuah kejantanan perkasa. Dengan pikiran penuh kebahagiaan dan rasa cinta, kenikmatan yang kini Irene rasakan perlahan bagaikan menghapus pengalaman traumatis yang ia rasakan secara lahir dan batin beberapa minggu sebelumnya. Kini tubuhnya menemukan kembali jati dirinya dan Irene sangat menikmatinya. Tak perlu waktu lama hingga akhirnya si gadis menggapai puncak pertamanya dalam persenggamaan sore itu.
“Ah… Mas Dimas… Irene keluar…” desah lembut si gadis, tubuhnya bergetar di bawah naungan tubuh pejantannya—makin mendekap erat.
Dimas dapat merasakan guyuran hangat cairan cinta Irene membasahi batang gemuknya. Namun Dimas sama sekali tak mengendurkan gerakan pinggulnya. Pria itu telah dengan sabar menunggu si gadis untuk membuka jiwa dan raganya kembali dan kini tubuh besarnya ingin mereguk kenikmatan sebanyak-banyaknya dari tubuh mungil itu. Ia kerahkan pinggulnya untuk bergerak naik turun dan sesekali berputar; semakin lama semakin bertenaga, semakin membuai saraf-saraf kenikmatan si gadis. Sesekali bibir Dimas mengecupi bibir Irene, mencumbu putingnya yang mencuat, menjilati telinga si gadis; membuai tubuh belia itu dalam lumpur kenikmatan. Hingga akhirnya tak lama, gadis itu kembali mencapai puncak surga dunianya kembali, kini sedikit lebih hebat dari sebelumnya.
“OOH… OOH… IRENE KELUAR LAGIII…” teriak lantang si gadis, suaranya teredam deburan ombak yang mengiringi suara percintaan mereka. Jemarinya makin mencengkeram punggung pejantannya. Kedua tungkai kakinya makin melingkar erat di pinggang pejantannya, seolah tak ingin pertautan tubuh mereka terlepas.
Kini Dimas menghentikan sejenak gerakannya, menatap dalam-dalam wajah Irene yang sedang tenggelam dalam surga dunia. Tubuh kedua insan itu telah basah oleh keringat yang begitu cepat membanjir keluar akibat kelembaban udara Samudera Hindia dan aktivitas fisik sangat intim di bawah mentari sore yang begitu memicu debaran jantung mereka.
Tanpa aba-aba, Dimas merengkuh tubuh mungil Irene yang masih mendekap erat tubuh besarnya dan dengan cekatan menggulingkan tubuhnya ke arah samping, membalik keadaan mereka sehingga kini Dimas berada di bawah dan Irene berada di atas.
Kini dalam posisi woman on top, Irene mulai mengangkat tubuhnya, bertopang pada dada lebar dan berbulu milik Dimas dan mencoba berinisiatif untuk perlahan menggerakan tubuhnya naik turun di atas tubuh Dimas. Akibat belum reda sepenuhnya dari orgasmenya, tenaganya tak dapat ia kerahkan sepenuhnya untuk menggerakkan pinggulnya dengan optimal. Dimas yang menyadari kondisi gadisnya, mengimbangi dengan menggerakkan pinggulnya dari arah bawah, menyambut hempasan selangkangan Irene. Tak lama, tubuh Irene berguncang naik turun secara ritmis di atas tubuh Dimas. Sepasang payudaranya tak terlalu besar yang dihiasi puting mencuat keras itu berguncang indah. Butiran-butiran pasir yang menempel di punggung Irene mulai berhamburan akibat hempasan tubuh dua insan yang tampak berkilau di bawah cahaya mentari yang makin menggelincir di sisi barat.
“Mas Dimaasss… Mau keluar lagiii… Aaaahhhh…” rengek Irene di atas tubuh Dimas. Pandangannya sayu.
Pinggul si gadis tak bisa berhenti mencari kenikmatan, makin bergoyang liar bagai menguleni sebuah adonan keras yang tak lain adalah kontol Dimas yang masih perkasa berada di dalam memeknya. Jemari mungilnya mencari jemari gemuk Dimas, mengajak untuk saling bersilang. Si gadis meremas erat genggaman pejantannya, ketika gelombang orgasmenya kembali meluluh lantakkan seluruh tubuhnya. Otot-otot dasar panggul si gadis berkontraksi hebat sehingga pada orgasme kali itu, selain lelehan cairan cinta yang makin membuih putih akibat kocokan intens di dalam memeknya, suatu cairan bening menyemprot kuat keluar dari lubang kencing Irene dan membasahi perut bawah Dimas.
Ketika puncak kenikmatannya mulai mereda, tubuh Irene mulai kembali melunglai, yang kini menjadi sinyal bagi Dimas untuk mengangkat tubuhnya dari berbaring menjadi duduk, menyambut tubuh mungil yang mulai ambruk dan melemas dalam badai orgasmenya yang ketiga dalam persenggamaan itu. Terengah, gadis itu meletakkan kepalanya yang terasa sangat ringan pada bahu Dimas yang empuk dan bidang. Aroma khas keringat pria itu semerbak menyeruak indra penghidu si gadis yang sedang mengatur nafasnya. Begitu pula dengan Dimas dapat mengirup aroma khas keringat Irene dari sela-sela rambut kepala si gadis yang sudah begitu basah dan lepek. Pria itu menggunakan jeda itu untuk mengatur nafas dan meresapi sensasi remasan dinding memek gadis yang sudah ia pecundangi tiga kali dengan kontolnya.
“Mas Dimas… Masih keras… Belum keluar?” tanya Irene lirih di antara deburan ombak, hampir tak terdengar oleh Dimas.
“Mungkin bentar lagi. Iren masih kuat kan sampe Mas keluar?” tanya Dimas balik pada Irene yang dijawab dengan anggukan kecil si gadis yang dibuat tersipu oleh keperkasaan pria yang memeluknya itu.
Meskipun tambun karena bawaan genetik, namun Dimas merupakan seorang yang penyuka aktivitas fisik. Tubuh tambunnya tidak lemah sama sekali. Apalagi dengan dianugrahi bentuk dan ukuran kejantanan yang cukup bersaing membuat Dimas tidak kalah dalam urusan ranjang dan wanita. Pertemanannya dengan rekan sekantornya, Bima, membuat petualangan hidupnya lebih berwarna dalam hal selangkangan, hingga berujung keterlibatannya dalam kelompok rahasia yang dibentuknya bosnya, Gio. Sebagai pria termuda dan satu-satunya yang tidak berasal dari kalangan atas dalam grup itu, Dimas selalu mengusahakan yang terbaik dalam mengikuti ekspektasi-ekspektasi rekan-rekan seniornya yang status sosialnya lebih tinggi darinya. Dengan kepercayaan mereka pada Dimas untuk menjadi salah satu pria penjaga tiga bidadari pemuas nafsu pilihan bosnya itu, pria itu selalu berusaha keras memberikan yang terbaik, terutama dalam hal ini adalah performa seks. Sejak usianya yang ke-27, ketika perkumpulan seks itu dibentuk oleh bosnya, selama lima tahun terakhir tubuh tambunnya tak banyak mengalami perubahan meskipun aktivitas fisiknya meningkat—tak ada yang bisa Dimas lakukan untuk mengubah sesuatu yang sudah terpatri di DNA-nya. Namun di sisi lain, dalam kurun waktu yang sama, stamina Dimas begitu meningkat pesat, terutama performanya dalam memuaskan wanita. Meskipun ia tak dapat menandingi performa rekannya yang bernama Agam, seorang pejantan tangguh dari Timur, namun kini Dimas dapat menyaingi performa rekannya Bima, pria paling atletis dalam kelompoknya itu, dan juga Gio, bosnya sendiri.
Dalam posisi duduk itu, Dimas mulai menggerakkan pinggulnya, memicu kembali pergerakan kontolnya yang masih bertaut di dalam memek Irene. Dimas yang menyadari bahwa Irene masih lemas, menggenggam kedua bongkahan pantat gadis itu dan berinisiatif menggerakkan pinggulnya. Selama beberapa menit gerakan itu Dimas lakukan dengan ritme yang stabil hingga akhirnya tubuh Irene perlahan mulai menggeliat, pertanda libidonya kembali ‘dipaksa’ untuk bangkit. Tak lama, desahan-desahan manja kembali terdengar keluar dari bibir si gadis. Betapa misterius dan mengagumkan bagaimana tubuh wanita dapat mereguk kenikmatan bertubi-tubi.
Melihat tubuh betinanya mulai panas kembali, Dimas lebih meningkatkan intensitas gerakan pinggulnya yang akhirnya disambut sendiri oleh pinggul Irene tanpa Dimas harus gerakkan. Kontol Dimas yang sudah begitu mengkilap basah berlumurkan cairan cinta Irene yang sudah berbuih putih itu dengan instens bergerak keluar masuk liang peranakan rapat yang belum pernah dilalui bayi itu. Irene yang sedari tadi masih menyandarkan kepalanya di bahu Dimas, kini mulai menengadah, menatap lekat wajah pejatannya, dan mengalungkan kedua lengan kecilnya di leher Dimas. Ditatap seperti itu, kontan membuat chemistry di antara mereka kembali bergejolak. Jantung Dimas pun berdetak makin kencang. Begitu pula jantung Irene yang tak kalah kencangnya. Bagi si gadis, posisi mereka saat itu mengingatkannya pada malam pertemuan pertama mereka dimana mereka memadu kasih untuk pertama kalinya di ranjang Bima, dalam posisi persetubuhan yang sama ketika Dimas menghamburkan benih suburnya di dalam rahimnya. Dan hal itu yang akan terjadi juga kali ini.
“Mas mau keluar…”
“Hah… Hah… Irene juga masss…”
“Bareng, sayang! AAAHHH…”
“AAAHHH… MAS DIMAASSS…”
Remasan hebat dan guyuran deras cairan cinta Irene dapat dirasakan Dimas pada kontolnya yang sudah bertahan sedari tadi. Sehebat apapun kontol, pasti harus mengeluarkan peju juga pada akhirnya. Namun kontol Dimas itu telah menang empat kali dalam mempecundangi memek Irene—sebuah performa yang luar biasa, dan kini saatnya kejantanan bersunat yang gemuk itu berhak mengeluarkan tembakan kemengannya. Dengan satu kali hentakan kuat, Dimas mengubur dalam-dalam kontolnya dalam memek Irene. Klimaksnya sudah tak dapat ditahan lagi. Kepala kontol yang dalam posisi menempel erat dengan mulut rahim rapat Irene itu kemudian menumpahkan lahar putih berisi benih-benih subur yang begitu kental dan melimpah ruah—sebagian memasuki rahim Irene, sebagian menyusuri celah antara kontol Dimas dan dinding memek Irene untuk meluber keluar pertautan kelamin mereka. Bagi Irene, kedutan kontol Dimas terasa begitu kuat dan jantan. Sperma pria itu yang begitu panas menghangatkan seluruh relung terdalam Irene yang sempat dingin dalam beberapa minggu terakhir.
Matahari yang makin menggelincir kini memancarkan sinar keemasan, menerpa pesisir utara pantai pulau itu, juga menerpa dua sejoli berbeda generasi, status sosial, etnis, warna kulit, dan bentuk tubuh yang sedang menempel erat dalam posisi sang pria memangku wanitanya di atas hamparan pasir putih pantai yang terbuka, kelamin mereka masih bertaut erat. Keduanya tampak berkilau indah akibat keringat deras yang membasahi tubuh mereka. Keduanya dilanda badai kenikmatan, begitu juga badai asmara. Keduanya saling menatap dalam-dalam satu sama lain, hingga akhirnya bibir mereka saling menumbuk, melumat; lidah mereka saling bertaut bagai menyaingi keeratan tautan kelamin mereka. Dalam cumbuan mesra itu, keduanya saling bertukar ludah, aroma, dan esensi masing-masing. Melalui pertautan kelamin dan lidah, keduanya bagaikan saling bertukar perasaan cinta.
Waktu terasa berjalan begitu lama hingga akhirnya sejoli itu melepaskan pagutan mereka, tapi tak mau melepaskan kelamin. Dimas begitu lembut menatap paras cantik belia milik Irene—mata khas campuran darah orientalnya, hidung mungil, bibir ranum, dan mahkota hitam yang menghiasi kepala dan membingkai wajahnya. Tatapan itu dibalas dengan senyuman manis Irene yang memperhatikan wajah bulat berisi berhiaskan jambang yang selalu tercukur tipis rapi—mata hitam legam, kulit coklatnya, rambut bergelombang yang terpangkas rapi. Irene ingin momen indah itu berlangsung selamanya. Kata-kata cinta sudah berada di ujung lidahnya, namun ada bagian dari lubuk hati Irene yang seolah dengan sekuat tenaga mencegah untuk melontarkan. Apabila Dimas melontarkannya terlebih dahulu, Irene tak akan membendung perasaannya sama sekali; akan ia tumpahkan perasaan yang membuncah di dadanya. Namun Dimas menyadari keterlibatan mereka dalam perkumpulan nafsu laknat itu merupakan hal yang sangat rumit; meskipun hanya tersirat, tidak tersurat, melontarkan kata cinta merupakan hal terlarang yang hanya akan semakin memperumit semuanya.
Dengan lembut tangan kiri Dimas membelai pipi kanan si gadis. Reflek jemari kanannya menggenggam tangan besar Dimas, merasakan kehangatan tangan gempal itu. Gadis itu dapat merasakan sebuah benda keras yang melingkar di salah satu jemari Dimas—yang dari ujung matanya ia dapat melihat refleksikan kilau cahaya matahari. Perlahan Irene mengamati sebuah cincin tersemat di jari manis Dimas. Gadis itu memberikan tatapan penuh arti pada Dimas.
“Cincin tunangan,” kata Dimas yang dapat membaca pertanyaan dari wajah Irene.
“Oh. Kapan nikahannya?”
“Rencanae bulan depan. Datang ya. Mau?”
“Yakin? Nanti ada yang marah lagi. Lagian mana mungkin dateng sendiri. Kan ga lucu.”
“Nanti bareng-bareng berangkatnya, sama Mas. Sama Bang Agam sama mbak Arin juga dateng kok. Anggep aja grup temen-temen kantornya, Mas.”
“Kak Arin bukannya di Jogja?”
“Iya. Gampang lah itu bisa diatur. Eh, tapi jangan bilang siapa-siapa yo kalau bang Agam sama mbak Arin ikut. Terutama kebos. Mas cuma izinnya pulang kampung sendiri buat nikahan.”
Irene tak begitu mengerti kenapa tapi tetap mengangguk.
“Ok. Sip. Fixed ya berarti kamu ikut, ya?” tanya Dimas tersenyum, memastikan.
Ih. Dasar ga sensitif. Cowok mana yang ngajak selingkuhan yang udah dia bikin jatuh hati ke nikahannya, rajuk Irene dalam hati. Tapi si gadis menepiskan perasaan yang begitu rumit itu. Ia tersenyum tulus dan menangguk.
Begitu cepat, batin Irene. Dalam beberapa minggu terakhir pikirannya begitu tersita dengan kesedihannya sendiri ia tak menyadari dunia sekitarnya berubah cepat. Kini Irene menjadi gadis tanpa ikatan dengan siapapun. Liontin emas yang menjadi simbol ikatan itu pun tak tampak lagi di lehernya. Hatinya terbuka untuk lelaki baru dalam hidupnya. Ironisnya, di jemari lelaki itu kini sudah tersemat sebuah cincin, tanda bahwa ia merupakan milik perempuan lain. Perempuan yang pasti lebih dewasa dari Irene. Andai cinta tak diikuti dengan keinginan untuk memiliki, batin Irene. Hidup ini terasa seperti lelucon dan semuanya terasa rumit.
“Ngomong-ngomong, Mas Dimas. Irene telat belum ke dokter untuk suntik KB. Harusnya dua minggu lalu,” ucap Irene tiba-tiba. Entah mengapa ia tiba-tiba mengungkit hal itu.
“Hah? Kok baru ngomong sekarang kamu, Ren? Tau gitu tadi cari P*st*n*r dulu,” balas Dimas berusaha tetap tenang, menyembukan kepanikannya mendengar info mengagetkan itu.
“Ga kepikiran… Ah, paling gapapa. Besok kan udah pulang juga. Lusa Irene janji kontrol, habis pulang ujian,” jawab Irene pelan yang dibalas dengan anggukan Dimas, dahinya mengernyit.
Apabila gadis di hadapannya adalah wanita lain, Arina atau Cynthia, Dimas tidak akan terlalu mengambil pusing apabila mendengar pernyataan bahwa mereka baru saja melakukan seks yang berpotensi besar menyebabkan kehamilan. Mengingat kedua wanita itu telah menikah. Apalagi kehamilan di luar ikatan pernikahan bukan lagi hal yang baru bagi mereka. Beda dengan Irene yang masih lajang, tanpa ada pacar yang dapat ‘dikondisikan’ untuk menikahinya. Apabila Irene hamil, akan berujung pada kerumitan. Terlebih lagi ketika Dimas sudah harus menikahi kekasihnya bulan depan. Namun apabila Irene hamil olehnya pun, Dimas tahu akan ada banyak opsi-opsi yang dapat dilakukan dan bosnya akan membantu mencari solusinya, termasuk yang paling ekstrim. Bila diperlukan, Dimas tahu bosnya memiliki koneksi baik dengan dokter kandungan yang dapat dipercayai. Tapi Dimas sendiri tidak akan mau memilih opsi itu, ia tidak mau membunuh darah dagingnya yang tumbuh di rahim wanita manapun. Pria itu hanya bisa mengesampingkan pikiran itu untuk sementara dan berharap yang terbaik. Lagipula, lamunannya tak dapat melayang lebih jauh karena ia tiba-tiba mendengar suara seseorang berjalan mendekati mereka dari belakangnya.
“Wah… Wah… Seru sekali sepertinya kalian,” suara khas logat campuran Batak dan Betawi terdengar mendekati mereka.
Dari tepi pantai, Irene dan Dimas melihat tubuh tinggi kurus Roni yang sudah tak mengenakan busana itu melenggang santai mendekati mereka.
—