Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
CHAPTER XI

TOTAL ECLIPSE OF THE HEART



April 2018


Semua tidak berjalan seperti yang Arina harapkan. Selama enam bulan terakhir Arina terjebak di rumah orang tua Aldi, suaminya. Awalnya, sesuai rencana, di penghujung cuti Aldi di bulan November tahun lalu, Aldi akan membawa Arina dan buah hati mereka kembali ke ibukota setelah satu bulan menikmati quality time bersama keluarga. Namun, naas bagi Arina, Aldi berubah pikiran. Pasalnya, beberapa hari dari rencana kepulangan mereka ke ibukota, orang tua Aldi—terutama sang Ibunda yang tidak ingin berpisah dengan cucunya—mengatakan betapa ingin menantu dan cucunya tinggal bersamanya.

“Aldi, mbok ya Arina sama Aryo jangan diajak balik dulu. Di sini nemenin Ibu sama Bapak kan lebih enak daripada sendirian di sana. Kalian di sini cuma satu bulan, ibu masih nggak rela pisah sama cucu kesayangan Ibu,” pinta Ibu Aldi itu kepada anak semata wayangnya dan menantunya agar tidak dipisahkan dari cucu yang memang telah lama dinantikannya.

“Eh… Tapi Arina nggak mau ngerepotin Ibu,” timpal Arina ketika suaminya tampak tak bisa berkata-kata.

“Ah, mana ada ngerepotin. Yang ada ibu malah seneng bisa momong cucu. Momong bayi itu repot lho, nduk. Kamu kan ndak ada yang nemenin di sana. Mending di sini, ibu bisa bantu momong,” kata ibu Aldi bersikeras.

“T-tapi, Aldi sendirian dong, Bu,” protes Aldi pelan, tampak tak terlalu berani memprotes ibunya.

“Iya, Ibu. Kan nggak mungkin juga Arina di sini seterusnya,” tambah Arina lebih meyakinkan, dalam hati mengutuk protes Aldi yang terdengar setengah hati.

“Sekarang kan banyak catering toh, le. Nanti kamu pulang ke sini sebulan sekali. Demi anak sama istri apa susahnya toh. Daripada istrimu keteteran ngurusin kamu sama Aryo yang perlu perhatian lebih,” balas sang Ibu yang sudah bertekad bulat menginginkan menantu dan cucunya untuk tetap tinggal.

“Tapi mas Aldi sudah setuju mau cari babysitter, Bu. Iya kan, Mas?” balas Arina tak mau kalah, mencari suara dukungan dari suaminya yang sudah tampak tak mau menentang keinginan ibunya.

“Pakai asisten rumah tangga juga cocok-cocokan kan. Lagi pula carinya juga ga gampang. Udahlah paling nggak sampe Aryo umur tiga bulan, nduk. Pas tahun baru. Biar Aldi sambil cari babysitter juga. Sudah. Ibu sama bapak ndak merasa direpoti kok. Kamu sama Aryo di sini dulu,” kata ibu Aldi dengan nada final.

“Ok deh bu. Kayaknya itu yang terbaik saat ini,” ucap Aldi yang membuat Arina hampir terperangah, namun menahan dirinya.

Begitulah akhirnya Arina terjebak tinggal bersama mertuanya. Rencana kepulangan di awal tahun baru saat bayinya berusia 3 bulan pun kembali terundur dan terundur akibat persuasi dari ibu mertuanya pada anaknya yang tampak tak terlalu keberatan seiring dengan berjalannya waktu. Hingga kini Aryo telah memasuki usia 6 bulan dan telah mulai mendapatkan Makanan Pendamping ASI (MPASI), belum ada rencana jelas untuk Aldi membawa Arina kembali ke rumah mereka. Berat badan buah hati mereka kini mencapai 8,5 kilogram, di atas rata-rata bayi pada umumnya, menandakan gizinya yang terpenuhi dengan baik. Dengan penuh perasaan cinta, Arina menidurkan Aryo di ranjang khusus bayi miliknya, sebelum akhirnya menaiki ranjangnya bersama Aldi di sebuah kamar di rumah besar milik orang tua Aldi itu.

Perlahan Arina menanggalkan daster yang ia kenakan di hadapan suaminya yang telah bertelanjang dada, hanya memakai celana dalam dengan area selangkangan yang perlahan menggelembung. Karena sehari-hari di rumah Arina tak mengenakan jilbab dan bra, oleh agar mudah menyusui Aryo, sepenanggal daster yang dikenakannya, tampaklah tubuh ibu beranak satu yang kini sintal namun kencang itu berkat hobi barunya untuk mengikuti kelas yoga dan aerobik di salah satu gym di kota itu. Payudara yang kini besar, berat, dan penuh dengan ASI itu, tampak khas dengan tahi lalat mungil menghiasi sebelah puting kirinya, senada dengan sisi mata kirinya. Walaupun tak sekecil sebelum hamil, perutnya yang berisi lemak saat kehamilan kini perlahan mulai mengempis dan mengencang kembali. Yang paling Arina suka adalah bokongnya yang tetap berisi, tidak kembali mungil seperti sebelum ia hamil, kini malah semakin meningkatkan kepercayaan dirinya. Perlahan wanita itu memelorotkan celana dalamnya dan terpampanglah area kewanitaannya yang kini telah rapi karena Arina kembali melakukan perawatan area intimnya. Tampak area pubisnya dihiati jembut hasil waxrapi yang disisakan sedikit di atas bagian area klitorisnya.

“Mas rebahan aja,” perintah Arina sambil mendorong tubuh suaminya yang hendak bangun dari ranjang.

“Jilatin memek Arin,” lanjut Arina memerintah sambil menaiki ranjang dan kemudian mengangkangi suaminya tepat di wajahnya.

Aldi yang tak protes hanya bisa menelan ludah melihat rekahan vagina istrinya tepat di depan wajahnya itu. Tampak bibir vagina yang bebas dari rambut kemaluan, menampakkan sebuah tahilalat mungil di bibir sisi kiri. Rekahannya menampakkan kelembaban dan menguarkan aroma khas milik istri yang dicintainya itu. Tanpa menunggu lama Aldi melakukan jilatan dan melahap rakus bibir kewanitaan istrinya itu, membuat desahan terlepas dari bibir Arina.

“Ah iyaa… Terus kayak gitu mas… Jilatin semuaah… Kelentit aku… Memek aku…” perintah Arina dalam desahannya. Betapa haus tubuhnya tubuhnya akan seks. Semenjak ia terjebak di rumah itu, Arina tak dapat melampiaskan hasrat biologisnya seperti sebelumnya. Di usianya yang kini menginjak 26 itu, libido ibu muda itu masih tak kenal padam. Dengan suaminya yang hanya ada 2-3 hari dalam sebulan semenjak 5 bulan terakhir, nafsu yang tak tersalurkan dengan baik itu kadang membuatnya uring-uringan tanpa ada pelampiasan.

Aldi yang tak dapat berkata-kata hanya menuruti keinginan istrinya yang memang tampak selalu bernafsu setiap kali ia pulang ke rumah orang tuanya. Sebagai suami, Aldi senang-senang saja mendapati istrinya seperti itu, yang menandakan bahwa ia benar-benar merindukannya. Aldi sendiri yang disibukkan dengan pekerjaan juga selalu menanti momen ketika ia dapat berkumpul kembali dengan istrinya dan menyalurkan kebutuhan seksnya juga. Sebagai lelaki yang jarang memberikan seks oral kepada istrinya, Aldi perlahan mulai berubah dengan dorongan dari istrinya yang dalam beberapa bulan terakhir selalu memintanya untuk menjilati vaginanya. Seiring berjalannya waktu, Aldi belajar dengan arahan dari Arina. Melihat istrinya semakin terangsang, Aldi lebih berinisiatif untuk memasukkan lidahnya di belahan liang peranakan istrinya yang jelas sudah tidak serapat dulu namun tetap kencang padahal telah dilalui kepala buah hati mereka.

“AAHH iyaa mas Aldiii masukin lidahnya… yang daleemm… bentar lagi Arin nyampee…” kata Arina sambil merangsang klitorisnya sendiri.

Di bawah selangkangannya, Aldi yang tak bisa protes menepuk beberapa kali pantat Arina dan melontarkan pandangan memperingatkan pada istrinya agar ia tak terlalu gaduh hingga terdengar orang tuanya. Namun Arina, yang sedang memejamkan mata tak menangkap sinyal yang suaminya berikan, malah menikmati pukulan sang suami pada bokongnya dan semakin menjadi-jadi. Wanita itu semakin menekan rekahan bibir vaginanya pada bibir suaminya agar lidah suaminya masuk semakin dalam. Dengan sedikit brutal ia goyangkan pinggulnya, bagaikan menggagahi wajah sang suami hingga akhirnya bendungannya terbuka.

“OH MAS ALDI ARIN NYAMPE!” seru istri Aldi itu terkesiap, kelepasan. Semoga ga ada yang denger, batin Arina. Beberapa mililiter cairan cintanya mengucur membasahi mulut dan wajah suaminya, sebagian tertelan oleh Aldi. Akhirnya wanita itu berhasil menyalurkan nafsunya yang tak dapat dibendung itu. Dengan terengah ia menjauhkan selangkangannya dari wajah suaminya yang ia baru saja pecundangi. Tentu saja satu orgasme tidak cukup bagi Arina.

“Hah… Hah… Mas kehabisan nafas, Arin. Brutal banget kamu. Jangan keras-keras juga suaranya,” protes suaminya juga terengah menarik nafas.

“Maaf mas… Iya Arin coba ga keras-keras ya. Yuk ah langsung. Mas,” balas Arina sambil melucuti celana dalam suaminya. Tampak penis suaminya sudah tegang maksimal tanpa harus Arina kulum terlebih dahulu. Bahkan precum-nya sudah mulai meleleh.

“Kamu nggak mau gantian jilatin punya Mas dulu, Rin? Kan mas udah jilatin punya kamu,” pinta Aldi berharap.

“Ah ngga usah mas. Arin udah pengen banget nih. Toh Arin juga udah basah,” bantah istri Aldi.

Tanpa membuang waktu, Arina kembali mengangkangi tubuh suaminya, kini dengan selangkangannya tepat di atas selangkangan suaminya. Mengingat ia sudah basah akibat orgasmenya, Arina segera mengarahkan penis suaminya untuk memasuki liang kawinnya. Dengan mudahnya, penis bersunat milik Aldi segera bersemayam dalam liang vagina istrinya. Segera, Arina menunggangi suaminya itu dengan semangat.

Desahan tertahan mulai sahut-sahutan di dalam kamar itu. Dengan penuh tenaga, Arina menggoyangkan pinggulnya naik, turun, ke depan, ke belakang, hingga tak lupa dengan gerakan memutar. Kedua tangannya tak luput merangsang putingnya dan klitorisnya bergantian.

“Ariiin, pelan pelan… Kalau gini terus mas bisa cepet keluaar…”

“Gabisa masss… Mas Aldi tahan dooong… Lagi enak niiih…” balas Arina tak menggubris suaminya. Libidonya perlahan tapi pasti semakin memuncak. Cairan cintanya yang jelas semakin membanjir, melumasi pertautan kelaminnya dengan suaminya. Putingnya mengeluarkan lelehan ASI karena ia terus remasi dengan jemarinya. Klitorisnya juga semakin menegang akibat rangsangannya sendiri. Desahan semakin intens keluar dari bibirnya walaupun ia ingat agar tidak terlalu kelepasan. Dih ribet banget ngentot di rumah mertua gabisa bebas kayak di rumah sendiri, gerutu Arina dalam hati.

“ARIN, MAS MAU KELUAR!”

“AAHH mas tahan dulu arin juga bentar lagiii”

“GA BISA ARIN MAS KELUARRR AAAHHH…” lenguh Aldi yang sudah tak sanggup menahan orgasmenya hanya tak sampai 15 menit persetubuhannya dengan istrinya.

Arina yang dapat merasakan semburan hangat khas sperma di liang vaginanya tetap menggerakkan pinggulnya, berharap menggapai orgasme juga. Namun percuma penis Aldi perlahan mulai melembek, sehingga Arina hanya dapat menghela nafas panjang dan menghentikan gerakannya, membiarkan suaminya meresapi orgasme dan menuntaskan menyalurkan spermanya yang tak perlu waktu lama. Segera Arina mengangkat tubuhnya sehingga meneteslah lelehan sperma suami yang tak terlalu banyak di atas kain penutup ranjang.

“Iiih mas Aldi nyebeliin! Arin kan belum keluar…” rajuk istri Aldi itu.

“Ya gimana mas mau kuat kalau kamu brutal gitu goyangnya, sayang… Mas juga baru sampe tadi, masih capek di perjalanan. Toh kamu tadi kamu udah keluar kan…” protes Aldi membela diri.

“Ya kan Arin pingin lagi mas… Orgasme cewek sama cowok kan bedaaa… Yaudah jilatin lagi memek Arin nih…”

“Eh kok gitu… Kan Mas baru aja keluar di dalem Arin. Mas bantuin mainin klit kamu aja ya, sayang…” tolak Aldi.

“Ah, mas Aldi kan ga jago ngobelin memek Arin. Mas mainin puting aku aja, biar Arin colok memek sendiri,” perintah Arina yang segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan membuka lebar pahanya agar jemarinya bisa ia sisipkan ke dalam rekahan liang peranakannya. Aldi yang sempat tertegun akibat kritik istrinya tentang ketidakmahirannya memainkan organ intim istrinya itu, segera memainkan kedua tonjolan kecoklatan yang menegang keluar dari payudara besar istrinya. Dalam beberapa menit, berkat nafsu besar yang masih tak tersalurkan dengan baik, Arina kembali mendekati puncak dengan mudahnya.

“MAS ALDI ARIN KELUAAR…. AHHH… LEGA….”

Terdengar bunyi kecipak cairan berhambur dari liang peranakan Arina. Pandangan sayunya tak terfokus ia arahkan pada tubuh suaminya yang makin tertimbun lemak akibat gaya hidupnya yang kembali tak karuan selepas program hamil. Dengan hamilnya Arina, Aldi menyimpulkan bahwa tak ada yang salah pada tubuhnya dan dapat seenaknya kembali tak mengatur pola hidupnya, terlebih dengan tak adanya Arina untuk mengingatkan suaminya selama di ibukota.

“Hah… Hah… Mas Aldi makasih ya udah dibantuin… Maafin Arin kalau agak kelewatan ngomongnya, hehehe…” ujar Arina meminta maklum dari suaminya akibat dirinya yang memang dalam beberapa bulan ini frustrasi dengan nafsu seks tanpa penyaluran yang membuatnya uring-uringan.

“Gapapa mas maklum kok…” ucap suami Arina itu sambil berbaring di samping istrinya dan merangkulnya.

“Habisnya… Arin kan frustrasi kalau jauh dari mas… Arin kan juga punya kebutuhan sebagai istri… Masa cuma sekssebulan sekali… Kapan sih Arin boleh balik mas?” rajuk Arina memelas memandang wajah suaminya.

Apabila diurai lebih jauh, perasaan yang Arina rasakan tidak hanya keinginannya untuk dekat suaminya. Memang, selama enam bulan terakhir kehidupan barunya sebagai ibu sangat terbantu dan dimudahkan berkat bantuan mertuanya dalam mengasuh Aryo. Ibu dan Ayah Aldi itu sangat telaten dalam mengasuh buah hatinya tanpa ada paksaan. Bahkan Arina bisa melakukan hal-hal lain yang berfokus pada dirinya, seperti kelas yoga dan aerobik yang membuahkan hasil baik dalam penampilannya yang sempat tampak curvy saat hamil dan setelah melahirkan Aryo. Kelas yang ia ikuti pun mengajarkan senam kegel yang membuat otot-otot area intimnya kembali kencang setelah melahirkan buah hatinya. Namun tak dapat dipungkiri Arina merindukan kebebasannya. Sejujurnya suaminya bukan yang menjadi seseorang yang ia harapkan dapat menuntaskan hasrat biologisnya secara paripurna, melainkan Gio, Agam, Bima, Roni, dan Dimas, kelima pria yang menjadi kekasih gelapnya. Selain itu, Cynthia dan Irene yang menjadi teman-teman baiknya.

“Mas sempet ngobrol sama Ibu dan Bapak. Mas bilang bakal bawa kamu balik bulan depan. Mas bilang ga baik juga kalau kita terus-terusan pisah. Bapak juga ikut ngasih pengertian ke Ibu,” kata Aldi membuyarkan lamunan Arina.

“Serius mas?” tanya Arina terperangah tak dapat mempercayai kabar baik itu.

“Serius dong. Mas juga udah nemu calon sitter buat bantu momong Aryo, sama asisten buat bantu-bantu di rumah,” jawab Aldi tersenyum.

“Aaa! Mas Aldi, I love you so much!” kata Arina sambil memeluk suaminya. Akhirnya ia dapat merasa lega. Satu masalah terurai.

Tiba-tiba terdengar getaran smartphone secara bertubi-tubi dengan interval teratur.

“Suara apa itu? Hape kamu getar itu, sayang?”

Arina yang masih berada di pelukan suaminya melirik ke arah suara getaran ponselnya itu. Deg, ia lupa untuk menyimpan ponsel rahasianya yang kini tergeletak di atas nakas. Duh, siapa sih, batin Arina. Namun tak lama suara getaran itu berhenti.

“Ah, udah biarin, Mas. Lagi mager. Paling dari temen kelas yoga ngajak keluar,” jawab Arina asal. Ia dapat merasakan kepala suaminya sedikit menoleh ke arah meja nakas di sebelah ranjang mereka.

“Oh gitu. Bagus deh. Mas seneng kamu punya kegiatan di sini. Jadi ga bosen,” timpal Aldi tak terlalu bersemangat, tampaknya mulai mengantuk. Tak berapa lama, Aldi memejamkan matanya dengan cepat terlelap.

Arina menunggu hingga nafas suaminya terasa dalam dan teratur, pertanda tidurnya yang mulai pulas, sebelum perlahan Arina melepas pelukannya. Tanpa suara Arina meraih smartphone-nya dari meja nakas. Beruntung ia memutuskan untuk memiliki smartphone cadangan dengan tipe dan warna yang sama dan serupa dengan smartphone utamanya yang sedang menancap pada pengisian daya di meja rias. Beruntung pula Aldi tak menyadari hal itu.

Arina melihat ada sebuah panggilan tak terjawab diikuti dengan sebuah pesan singkat yang membuat sebuah senyuman hangat merekah di wajahnya yang tersipu. Segera ia balas pesan itu sebelum menyimpan kembali ponselnya pada tempat yang lebih aman. Dengan perasaan bahagia ia kembali merebahkan diri di samping suaminya dan terlelap dengan perasaan bahagia.







Keesokan harinya, Aldi dibangunkan oleh sebuah suara muntahan di dalam kamar mandi yang tak jauh dari kamarnya tempat dirinya, Arina, dan buah hatinya tidur. Serasa déjà vu bagi Aldi. Dengan langkah gontai ia mendapati Arina keluar dari kamar mandi dengan wajah yang ekspresinya sulit ditebak.

“Kamu gapapa, Rin?” tanya Aldi.

“Beberapa hari terakhir mual terus pas bangun tidur, mas. Tapi habis itu kayak ga ada apa-apa. Stres mungkin, kangen kamu Mas, hehe. Gausah serius gitu ngapa wajahnya,” kata Arina setengah becanda karena Aldi tetap menatapnya serius.

“Yuk nanti ke dokter,” ajak suaminya pelan.

“Ih ngapain? Arin gapapa lagi,” protes Arina, enggan.

“Udah, please, nurut sama Mas kali ini aja,” kata Aldi memutuskan.

Siang itu Aldi membawa istrinya ke rumah sakit. Setelah prosedur penapisan yang panjang, akhirnya Arina diarahkan untuk menenemui seorang dokter kandungan di rumah sakit itu. Berdasarkan pemeriksaan, didapatkan Arina kini sedang hamil. Berdasarkan ukuran janin Arina dari pemeriksaan ultrasonografi, usia janin Arina diperkirakan berusia 4-5 minggu.Tapi saya belum mens sama sekali Dok sejak melahirkan, sempat Arina bertanya pada dokter yang menjawab bahwa fertilitas paska melahirkan sangat mungkin terjadi tanpa didahului dengan kembalinya siklus menstruasi dan tanda-tandanya memang sulit ditebak. Seorang perempuan dapat tiba-tiba menjadi subur meskipun sedang menyusui. Apalagi ketika melakukan hubungan seks teratur.

Mendengar berita itu, Aldi tak dapat menyembunyikan raut bahagianya meskipun awal mulanya kaget. Tak disangka-sangka ia kembali menerima sebuah anugrah besar, kini tanpa terduga dan terencana. Meskipun Aryo masih berusia 6 bulan, Aldi tak keberatan untuk mendapatkan momongan lagi dalam waktu dekat. Pria itu menganggap kehamilan kedua istrinya itu merupakan sebuah keberuntungan; pertanda baik.

Akan tetapi berbeda dengan Arina yang masih tak tahu harus bagaimana dalam menyikapi nasibnya. Bukan karena kepulangannya ke ibukota akan kembali tertunda hingga waktu yang belum dapat ditentukan. Namun karena ada suatu hal yang lebih penting dari itu, terkait asal usul benih janin yang sedang tumbuh di rahimnya itu.



///



Mei 2018



“Arina, jemputan kamu sudah datang itu di depan,” pangil Ibu mertua Arina dari ruang tengah.

“Iya, Ibu,” balas Arina dari dalam kamar sambil sekali lagi mematut dirinya di depan cermin. Kerudung warna beige,blouse putih, baggy pants hitam membalut rapi sebuah tubuh mungil berisi itu. Puas dengan penampilannya, Arina tersenyum dan melenggang keluar kamar.

Di ruang tengah Arina memperhatikan buah hatinya sedang bergerak aktif dalam posisi terlentang di atas karpet tempatnya bermain, sesekali tertawa oleh karena dihibur oleh Ibu mertuanya. Ayah mertuanya duduk di sofa di dekat mereka, sedang menonton televisi.

“Aryo sayang mama keluar dulu yaa anak cakeep. Main sama eyang putri dulu ya sayangkuu,” kata Arina sambil memberikan kecupan di kening putranya, yang dijawab dengan ekspresi bahagia si bayi. Setiap hari buah hatinya itu bertumbuh dan berkembang dengan baik. Setiap jengkal tubuh tanpa dosa itu semakin menunjukkan kemiripannya dengan ayahnya. Bila mengingat itu, terasa melankoli dalam hati Arina.

“Ibu, Arin nitip Aryo, ya. Arin belanja dulu. Sama janjian ketemuan sama temen-temen dari kelas yoga,” kata Arina pada mertuanya.

“Iya, hati-hati ya, nduk,” balas mertuanya yang dalam 7 bulan terakhir sudah terbiasa menjaga Aryo ketika ibunya melakukan kegiatan rutinnya tiap akhir pekan, yaitu mengikuti kelas yoga atau belanja kebutuhan bayi.

“Maaf ya Pak, Bu, Arin ngerepotin tiap minggu untuk jagain Aryo, hehe,” lanjut Arina.

“Kamu ini anak menantu Arina. Bukan orang asing. Kan Bapak Ibu udah bilang kalau momong Aryo itu nggak ngerepotin. Malah Bapak Ibu seneng,” sahut Bapak mertua.

“Iya, nduk. Mana ada repot. Wong cah bagus pinter gini, momongnya gampang. Selama stok ASI kamu masih ada banyak di freezer, aman, nduk. Lakukan urusanmu ndakpapa. Asal jangan pulang terlalu malam,” tambah Ibu mertua. Mendengar perkataan mertuanya, Arina tersenyum lega dan mengucapkan salam pamit.

Di depan rumah, Arina mendapati taksi online yang ia pesan telah menunggu. Ketika memasuki kursi penumpang belakang, pengemudi segera menyapa Arina dan mengkonfirmasi tujuannya.

“Tujuannya sudah sesuai titik ya, Mbak?” tanya supir.

“Iya, Pak, sudah. Agak cepet ya, Pak,” jawab Arina.

“Wah kalau hari Sabtu gini ndak bisa njamin bisa cepet, mbak.”

“Oh, iya gapapa, sebisanya aja, Pak, kalau gitu.”

“Mau ketemu orang penting tah mbake?” tanya supir itu iseng, tersenyum ramah.

Arina hanya tersenyum simpul ke arah kaca rearview, tak memberikan jawaban, sebelum mengalihkan perhatiannya ke jalanan kota itu yang dibakar matahari siang. Sesekali ia memeriksa pesan di perangkat cerdas di tangannya. Sebuah pesan semalam dari seseorang yang memberikan nama tempat dan waktu untuk bertemu. Dari riwayat percakapan pribadi mereka, dapat disimpulkan orang itu menjadi orang yang paling sering Arina hubungi dalam 7 bulan terakhir. Orang yang menjadi pelariannya dalam keterjebakannya di kota itu. Setelah beberapa saat, Arina akhirnya mengetikkan pesan balasan.

Skrg lagi otw. Kangen bgt. <3







Tak sampai memakan waktu satu jam perjalanan dari rumah mertua Arina ke tujuannya. Jelas saja, kota yang dijuluki kota pelajar itu masih jauh lebih mending dalam hal kemacetan dibanding ibukota. Kota yang cukup nyaman ditinggali apabila saja Arina tidak merasa kesepian. Perlahan mobil yang Arina naiki memasuki sebuah pelataran gedung bertingkat. Yang jelas tempat itu bukanlah sebuah supermarket, pusat grosir, apalagi mall. Tempat itu tak lain merupakan sebuah hotel berbintang empat di kawasan dekat bandara kota itu.

“Sudah sampai, Mbak,” kata supir.

“Iya Pak makasih banyak ya. Sudah saya tip di aplikasi,” jawab Arina sambil keluar mobil.

Tanpa membuang waktu Arina segera memasuki lobi hotel dan menemukan elevator yang ia masuki untuk mengantarkannya ke lantai yang telah diinfokan. Sesampainya di lantai 8, Arina menyusuri lorong hingga menemukan ruang paling pojok bertuliskan 808 yang dengan cepat ia ketuk pintunya. Tak lama, seseorang membuka pintu kamar hotel itu. Tampak senyum lebar di wajah orang itu yang segera disergap tubuhnya oleh Arina. Tanpa aba-aba, wanita itu menghambur masuk ruangan itu dan memeluk erat pria tersebut.

“Arina… Arina… Seperti yang tak bertemu lama saja. Baru dua minggu, hahaha,” kekeh pria itu sambil memeluk Arina.

“Biarin… Kangen…” kata Arina pelan.

Dalam dekapan hangat dan lembut pria itu, Arina dapat merasakan pancaran kehangatan pria itu yang ia baru sadari ternyata sudah tak memakai baju atasan. Tampak dada bidang nan kekar bagai terpahat dihiasi rambut dada yang rajin dirapikan oleh empunya namun mulai tumbuh kembali, ikal. Dalam pelukan pria itu, Arina dapat pula mendengarkan debaran jantung pria itu, lembut, teratur di telinganya. Tak luput aroma parfum yang mulai memudar dan bercampur dengan khas aroma alami keringat pria itu juga tertangkap oleh indra penciuman Arina. Semua sensasi itu Arina resapi dalam-dalam, sebelum pria itu merengkuh lembut dagunya dan mengarahkan wajahnya yang manis berbingkai kerudung rapi untuk menatap wajah pria itu dari jarak begitu dekat. Arina memperhatikan kedua mata hitam legam, alis yang tebal, hidung besar, bibir tebal, dan rahang tegas milik pria di hadapannya. Tanpa dapat dikontrol, jantungnya berdebar lebih kencang dari normalnya. Secara instingtif, Arina memejamkan matanya dan tak lama, ia dapat merasakan sebuah kecupan lembut, hangat, dan basah mendarat di bibirnya.

Sebuah sensasi hangat menjalar di sekujur tubuhnya. Degup jantungnya semakin mengencang. Terdapat rasa melilit di perutnya yang tak pernah sebelumnya ia rasakan ketika mencium pria itu. Perlahan Arina membuka sedikit bibirnya dan seketika wanita itu dapat merasakan lidah sang pria mulai memasuki celah bibirnya bagaikan ular yang menyelinap masuk celah sempit untuk mencari pasangannya. Secara naluriah, bagai ular betina yang dicari pejantannya, lidah Arina menyambut lidah pejantannya hingga saling membelit. Segala rasa bercampur aduk menyergap indra pengecap dan penghidu kedua insan itu. Campuran lipstik, pasta gigi, sisa sarapan pagi, aroma asam kopi, fermentasi natural ludah keduanya saling membaur dan meleleh. Entah berapa lama kedua insan itu bagai terlena meresapi esensi masing-masing dari pertautan lidah dan bibir mereka, hingga akhirnya Arina yang pertama melepaskan diri dengan perlahan dan menatap dalam-dalam mata hitam menawan itu.

“Bang Agam, please, entotin Arin,” pinta wanita itu dengan sepenuh hati, yang dijawab dengan anggukan pria itu.

Tak membuang waktu, dengan bantuan Agam, Arina segera membuka satu persatu pakainya. Mulai dari penutup kepalanya, hingga tergerailah rambutnya yang kini memanjang hingga bawah bahunya. Perlahan setiap kancing bajunya dilepas hingga blouse putihnya pun ditanggalkan, menampakkan payudara yang tampak ketat disangga bra berwarna hitam berukuran 34D. Dengan lihainya Agam melucuti untaian bra itu hingga akhirnya meluaplah payudara montok milik ibu muda beranak satu itu, menggelantung berat berisi air susu ibu, dihiasi puting dan areola kecokelatan. Agam menatap nanar sambil mulai menggenggam lembut kedua gunung kembar Arina itu, penuh ketakjuban bagaimana seseorang perempuan mungil seperti Arina dengan payudara yang tadinya membulat kencang tak sampai penuh dalam genggaman tangan besarnya kini berubah meluap, terasa penuh mantap dan berat dalam genggamannya. Perlahan Agam meremas lembut kedua bongkahan di genggamannya itu, di sekitar areolanya, dan melelehlah cairan berwarna putih dari kedua puting Arina.

Segera Agam menundukkan tubuhnya yang tinggi agar kepalanya sejajar dengan dada Arina dan dengan tak sabarmemasukkan puncak payudara kiri yang berhias tahi lalat mungil itu ke dalam mulutnya dan dengan kuat melakukan hisapan hingga mengucurlah dengan deras cairan manis bergizi milik bayi Arina itu ke dalam mulut Agam. Satu sedot. Dua sedot. Tiga sedot. Hingga Arina tak dapat mengikuti sudah berapa hisapan yang pria itu lakukan, menjarah minuman bergizi milik buah hatinya. Berbeda dengan Aryo yang menghisap lembut dengan bibir dan lidah mungilnya, hisapan Agam terasa begitu tegas, cepat, begitu penuh nafsu. Bibir tebalnya yang melingkari penuh puting dan areolanya, lidahnya yang sesekali bergerak melingkar, dan ludahnya yang memberikan kelembaban ekstra, semuanya bagaikan membongkar paksa gairah seks yang ia kungkung.

Tiba-tiba, secepat ketika mulainya, Agam dengan sigap melepas hisapan mulutnya dari payudara kiri Arina.

“Abang suka Arina punya susu seperti tak habis-habis,” komentar Agam sambil nyengir lebar.

“Soalnya Arin cuma netekin sekali tadi pagi, bang. Dan belum Arin pompa karena stok yang di kulkas masih banyak banget,” jelas Arin tersipu. Memang sebagai ibu ia dianugrahi dengan produksi ASI relatif berlimpah dan Arina bersyukur akan hal itu.

Sambil menatap wanita yang baru saja ia hisap sebagian air susunya itu, Agam melucuti kait celana milik Arina sehingga pakaiannya yang cukup longgar itu jatuh bebas di kaki wanita itu. Kini hanya tersisa kain ketat celana dalam model thongdengan warna senada dengan branya yang telah terlepas entah ke mana. Dengan tepukan ringan lalu diikuti remasan kencang, Agam segera menyergap bongkahan pantat Arina yang meluap seperti payudaranya, namun makin kencang karena program olahraga Arina selama 6 bulan terakhir.

“Tak cuma susu yang mantap. Bokong ini juga mantap punya,” komentar Agam mengagumi bongkahan pantat Arina.

Tak menunggu tanggapan Arina, Agam segera mendorong tubuh mungil Arina ke atas ranjang hotel itu. Dengan gerakan cepat, pria itu merenggut lepas thong yang dikenakan Arina dengan mudahnya lalu melempar penutup selangkangan mungil itu secara asal. Kedua tangan Agam dengan sigap melebarkan paha Arina sehingga terpampanglah dengan jelas rekahan liang surgawi milik Arina yang tak pernah bosan ia taklukkan. Dalam posisi terekspos seperti itu, dari titik terbawah, tampak kerutan cincin otot anus Arina yang kembang kempis. Lubang yang jarang dijamah oleh Agam. Di atas anusnya, dibatasi area sempit perineumnya, tampak labia mayora tembem tak berambut, sisi kiri berhias tahi lalat mungil, merekah menampakkan celah vulva yang pernah sekali dilewati kepala bayi sudah tampak lembab dan merona merah. Di atasnya, lubang kencing tampak siap mengeluarkan cairannya pada saatnya. Di atasnya lagi, kepala klitoris yang sudah keras mengintip dari selubungnya. Lebih atas lagi, terdapat rambut yang tumbuh di area pubis berbentuk segitiga dengan panjang tanggung.

“Ah… Bang Agam…” desahan lembut keluar dari mulut Arina ketika pria itu tanpa aba-aba melahap rekahan liang intimnya.

Dengan beberapa kali sapuan, lidah Agam bergerak dari anus menuju klitoris secara berulang sebelum kemudian fokus kepada rekahan liang memek Arina. Perlahan Agam mendorong lidahnya memasuki saluran peranakan Arina, membuat detak jantung Arina semakin kencang. Tak lama Arina dapat merasakan sensasi mantap bibir tebal Agam melingkari bibir luar kemaluannya, bagaikan mengunci rapat, membuat vakum di liang peranakannya. Terasa lidah Agam bergerak menusuk, melingkar, pada kedalaman yang ditaksir Arina di sekitar bekas selaput daranya yang sudah hilang bertahun-tahun lalu. Terasa bagi Agam, aroma khas kewanitaan yang lembab oleh cairan pelumas vagina dan bercampur dengan campuran aroma keringat dan sedikit aroma khas urin. Terasa bagi Arina, sebuah kenikmatan surga dunia.

“Bang Agaaammm enakkk… Jangan berhentiii…”

Tak lupa Agam menjahili kelentit Arina yang semakin mengeras akibat ulah Agam. Desahan demi desahan keluar dari mulut Arina. Kecipak basah terdengar dari selangkangan Arina yang diolah oleh Agam yang bagaikan berpagutan buas dengan “bibir bawah” Arina itu. Lelehan demi lelehan cairan cinta Arina dengan rakusnya meluncur lancar memasuki mulut Agam yang harus cekatan meneguki nektar kewanitaan itu agar tidak menumpuk dalam mulutnya.

Secara nalurian, kedua tangan Arina merengkuh kepala Agam yang berambut ikal, bagaikan tak mengizinkan pria itu beranjak dari selangkangannya. Terdengar oleh Agam nafar Arina yang semakin menderu tak teratur, pertanda wanitanya mendekati puncak pertamanya. Bibir wanita itu pun tak henti-hentinya mengeluarkan racauan. Menangkap gelagat-gelagat itu, Agam meningkatkan intensitas jilatannya di memek Arina dan kejahilan jarinya di itil wanita itu, dengan sesekali diselingi gelitikan jemari tangannya yang masih bebas di area anus. Diperlakukan sedemikian rupa, nafas Arina semakin berderu cepat, hingga akhirnya tubuhnya melepaskan orgasme pertamanya di sore hari itu.

“AAAHHHH!!! ARIN KELUAR!!! AAAHHH ENAAKKK…” teriak Arina membahana.

Bermili-mili cairan keluar membanjiri mulut dan wajah Agam. Sebisa mungkin pria itu meneguk apapun yang dikeluarkan oleh liang Arina. Tampak oleh mata pria itu secara jelas, sekaligus terasa di bibir dan lidahnya, kontraksi otot-otot kemaluan Arina yang berkedut luar biasa kencang.

Ketika aliran cairan cinta Arina mulai berhenti mengucur deras, Agam melepaskan pagutan nikmatnya dari memek Arina. Jambangnya yang selalu tercukur rapi tampak basah dengan lelehan cairan cinta wanita itu. Namun tidak berhenti di situ, tanpa aba-aba Agam memasukkan jari tengah dan jari manis tangan kanannya yang begitu tebal itu ke dalam liang senggama Arina. Mengikuti teknik yang sering dilakukan Dimas, rekannya dalam petualangan seks, Agam melakukan gerakan menggaruk dan mengait dinding vagina bagian depan, yang diikuti hasil yang kontan.

“AAHHH!! BANG AGAM MEMEK AKUH DIAPAINN AAAHHH ARIN DAPET LAGIII,” jerit Arina.

Sebuah cairan yang lebih encer dari cairan cintanya tiba-tiba berhambur keluar tanpa bisa dibendung oleh Arina. Cairan yang relatif jernih namun beraroma khas itu menyemprot kuat tak terkontrol dari lubang kecil di antara rongga peranakannya dan klitorisnya. Baru saja wanita itu mendapat ledakan besar orgasme, namun entah bagaimana tubuhnya kembali mengejang. Otot-otot vaginanya kembali kembang kempis, kini tampak lebih jelas dari sebelumnya. Semprotan demi semprotan squirt Arina keluar membasahi tangan dan tubuh Agam dan terlebih lagi ranjang di bawah mereka yang sebelumnya sudah basah oleh cairan cinta Arina. Orgasme wanita memang adalah sebuah misteri dan keajaiban.

Setelah beberapa menit yang intens itu, deru nafas Arina perlahan berubah teratur. Melihat wanitanya mulai turun dari dua klimaks pertamanya yang datang berurutan, akhirnya Agam melepaskan kait jemarinya yang sudah begitu basah dari lubang memek Arina. Tampak Arina sendiri terengah mencoba mengatur nafasnya. Keringat tipis mulai tampak membasahi seluruh tubuhnya. Raut wajahnya menampakkan kelegaan yang hakiki—sebuah kenikmatan yang tak dapat diberikan oleh siapapun dalam tujuh bulan terakhir, kecuali Agam. Dan Arina tahu itu masih permulaan. Kenikmatannya tak akan berhenti di situ.







Di pinggir ranjang, Agam berdiri sambil menatap Arina yang sedang bersimpuh di atas tepi ranjang, di hadapan selangkangannya yang masih tertutup celana. Perlahan tangan jemari mungil Arina merabai sebuah bentukan yang menonjol dari balik celana jeans yang dikenakan Agam, sebelum membuka kancing dan resletingnya.

“Bang Agam, kebiasaan ga pake celana dalam. Pantes aja nyeplak banget. Ati-ati kontolnya kejepit atuh,” kata Arina mengomentari kebiasaan pria di hadapannya yang memang sering tak menggunakan celana dalam, membuat kemaluannya yang ukurannya di atas rata-rata kadang tercetak jelas dari balutan celananya.

Agam hanya terkekeh mendengar komentar Arina. Alih-alih ia hanya membantu wanita di hadapannya itu yang Arina menarik turun celana jeans-nya dari pinggangnya yang otot-ototnya kekar, tercetak jelas, hingga akhirnya terbebaslah ia dari kain penutup terakhir di tubuhnya.

Di hadapan Arina, tampak jelas sebuah organ tubuh yang keluar dari selangkangan, khas hanya dimiliki oleh lelaki. Bedanya dengan standar pada umumnya, milik lelaki di hadapannya jelas tergolong di atas rata-rata dari panjang maupun tebalnya. Benda itu meggelantung, berayun bebas dalam keadaan masih setengah keras. Ujung kepalanya meregang sebuah lipatan kulit yang sering disebut kulup itu, bagaikan mengintip, menampakkan lubang kencing yang tampak sedikit mengkilap oleh karena sebuah cairan bening mulai keluar. Pangkal batang yang berwarna coklat kehitaman, senada dengan warna kulit pria dengan darah Melanesia itu dihiasi rambut berwarna hitam, ikal dan cukup lebat. Sedangkan di bawah batang itu, tampak dua biji zakar yang bergelantung dalam kantong hitamnya, tampak begitu besar dan berat, berisi ratusan juta benih subur. Dengan pandangan nanar, Arina menatap kontol milik Agam itu dengan penuh damba dan puja.

Secara lembut Arina melingkarkan jemari tangan kanannya pada kejantanan Agam dan mengarahkannya ke arah mulutnya yang mulai terbuka. Perlahan ujung kejantanan itu menyeruak masuk mulut mungil Arina. Dalam sepersekian detik, sebuah aroma dan rasa yang khas segera memenuhi indra pengecap dan penghidunya. Sebuah campuran antara rasa asam, asin, dan anyir menyapu lidahnya. Sedangkan campuran aroma khas urin dan keringat lembab yang telah terakumulasi seharian menyergap hidungnya. Begitu jantan aroma dan rasa itu bagi Arina hingga membuat darahnya kembali berdesir dan tubuhnya perlahan menghangat. Dengan mantap, kepala Arina mulai bergerak maju dan mundur.

Sambil berkacak pinggang, Agam mendesah dan mendongakkan kepalanya, menikmati permainan lidah Arina. Sesekali ia menatap ke bawah, ke arah wajah wanita yang mulutnya dipenuhi kontolnya itu. Akibat permainan lidah Arina, tubuh Agam secara alami memompakan makin banyak darah menuju organ intimnya, sehingga dalam mulut Arina, kontol Agam dengan cepat semakin memanjang dan menebal. Kepala kontolnya yang makin membesar kini mulai keluar dari kulupnya—kulup beraroma khas yang disapu melingkar oleh lidah Arina.

Dalam ketegangan paling maksimalnya, jelas mulut mungil Arina tak dapat mengakomodasi seluruh batang kontol Agam. Pria itu memperhatikan mulut wanitanya maju mundur, hanya setengah batang keperkasaannya. Pipinya yang menjadi tirus menandakan wanita itu tengah memberikan pelayanan sebaik mungkin. Selain itu Agam dapat merasakan remasan jemari lembut Arina di kedua biji zakarnya yang menggantung. Dalam perlakuan Arina, Agam hanya mengeluarkan desah dan geraman beratnya.

Tiba-tiba kepala Arina dicengkeram oleh kedua tangan kekar Agam. Perlahan namun dengan dorongan kuat pinggul kekarnya, Agam membenamkan batang kontolnya hingga wajah Arina menempel pada jembutnya. Arina yang awal mulanya dikagetkan dengan perlakuan Agam itu hanya bisa membelalakkan matanya dan berusaha kuat merilekskan kerongkongannya dan berharap refleks muntahnya. Terasa bagi Arina betapa batang tebal itu perlahan menuruni pintu kerongkongannya bagaikan makanan padat yang mengganjal selama beberapa detik yang terasa begitu lama bagi Arina.

“Ooohhh… Mantap!” desah suara berat Agam.

Kemudian dengan satu gerakan cepat, Agam menarik pinggulnya dengan kuat hingga seluruh batang perkasanya keluar dari mulut Arina, diikuti dengan refleks batuk wanita itu.

UHUK… UHUK… BANG AGAM TEGA AMAT!protes Arina tersengal mengumpulkan nafasnya, tampak setitik air mata meleleh di ujung kedua matanya. Reflek ia memukul paha kekar lelaki itu.

“Hahaha… Maaf abang gemas sama mulut Arina,” balas Agam terkekeh, puas melihat batang kontolnya yang kini sudah keras sempurna, mengkilap basah terbalut ludah Arina.

“Untung kagak keluar nih isi lambung Arin,” protes Arina lagi.

“Hahaha… Sudahlah, ayo, abang sudah siap ini. Mau tidak Arina abang entot ini?”

“Mau…” jawab Arina lirih, antara cemberut dan tersipu, sambil mengusap mata dan meredakan kekesalannya.

Dengan cekatan Arina berbaring kembali di ranjang tempatnya dipecundangi oleh mulut dan jari Agam beberapa saat lalu. Tanpa diminta, Arina melebarkan pahanya, membuka jalan bagi kejantanan Agam agar menemukan jalan menuju kewanitaannya yang sudah siap untuk dimasuki pasangannya. Dengan sigap Agam menaiki ranjang dan memposisikan tubuh kekarnya menaungi tubuh Arina yang relatif masih mungil bila dibandingkan dengan tubuhnya. Tanpa lama-lama Agam mengarahkan kontolnya di hadapan memek Arina dan mendorong pinggulnya. Perlahan kepala kontolnya menyeruak celah basah Arina yang disambut desahan wanita itu. Dengan saling bertatap mata, kontol Agam perlahan tapi pasti semakin terbenam di dalam rongga kenikmatan milik Arina hingga akhirnya kepala kontolnya mendorong sebuah halangan dan tak dapat masuk lebih dalam lagi; pertanda bahwa kepala kontol Agam itu telah mendesak pintu rahim Arina.

Dalam kesempurnaan pertautan kelamin mereka, Agam dan Arina saling menatap dalam, tidak langsung melakukan gerakan seks, namun meresapi kelamin masing-masing terlebih dahulu. Perlahan Agam mendekatkan wajahnya pada wajah Arina. Bibir tebalnya menemukan bibir tipis Arina. Pagutan itu disambut mesra oleh Arina. Debaran jantung mereka terasa melebur menjadi satu.



Dalam pertautan bibir dan kelamin mereka, Arina dapat merasakan betapa liang vaginanya yang sudah pernah dilalui bayi itu terasa dipenuhi kejantanan Agam hingga terasa ke relungnya. Ketika melirik ke arah selangkangannya, Arina takjub melihat masih ada sedikit kontol Agam yang tidak masuk dalam memeknya. Namun apabila dibanding sebelum melahirkan, yang mana vaginanya hanya dapat dimasukin 2/3 batang Agam, kini hanya ¼ yang tersisa, pertanda elastisitas liang pernakannya meningkat. Untuk Agam sendiri, ia dapat merasakan betapa liang peranakan Arina begitu hangat dan masih mencengkram kuat; entah karena perempuan itu rajin latihan kegel, atau karena memang liangnya yang memang tergolong mungil seperti tubuhnya, atau memang kontolnya yang masih terlalu besar untuknya, atau kombinasi ketiga kondisi itu.

Agam yang pertama kali melepaskan pagutannya dari bibir Arina dan menatap Arina dalam-dalam.

“Arin kangen banget sama bang Agam,” ucap Arina lirih, memecah hening di antara tatapan intens mereka.

“Padahal tiap dua minggu abang temui Arina.”

“Iya, tetep kangen. Makasih udah jadi satu-satunya yang masih inget dan peduli Arin selama 6 bulan terakhir. Yang lain mungkin udah lupa. Apalagi mas Gio.”

Deg.

“Sudah tak perlu diungkit itu. Yang penting abang di sini. Abang selalu ada kalau Arina perlu.”

“Janji?”

“Janji.”

Seiring dengan janji yang terasa sakral itu, Agam mulai menggerakkan batang kejantanannya di dalam liang kewanitaan Arina. Secara naluriah, wanita itu mengeluarkan desahannya yang merdu dan sensual.







Tak memerlukan waktu lama untuk Arina mencapai klimaks pertamanya karena disenggamai Agam. Kejantanan pria itu dengan mudahnya menstimulasi ujung-ujung saraf di area kewanitaan Arina untuk melepaskan ledakan orgasme pertamanya dalam pertautan mereka.

“Oh… Bang Agam… Arin keluar… Ah…” desah merdu ibu muda itu.

Tubuh Arina bergetar dalam tindihan pria yang menyetubuhinya dalam posisi missionary itu. Seluruh lengan dan kakinya melingkar pada tubuh kekar pria itu bagai tak mau lepas. Sejenak Agam hentikan Gerakan pinggulnya agar wanitanya dapat meresapi kenikmatannya. Batang perkasanya pun terasa diremas dan makin basah di dalam rongga cinta Arina. Bulir-bulir halus keringat mulai mengembun di permukaan kulit tubuh keduanya.

Tanpa menunggu orgasme Arina reda sepenuhnya, Agam segera menggeser tubuh mereka ke tepian ranjang agar kaki jenjang dan kekarnya kembali menapak ke lantai. Kedua tangan kekarnya ia selipkan tepat di bongkahan pantatnya yang kini lebih sintal dan berisi dibanding sebelum wanita itu memiliki momongan. Karena sudah hafal akan kebiasaan pejantannya dan mengerti percintaan mereka akan memasuki fase selanjutnya, Arina semakin erat memeluk tubuh pasangannya. Benar saja, dengan sekali gerakan mantap, dengan mudahnya Agam mengangkat tubuh Arina—yang sudah lebih mengecil sejak seusai melahirkan namun tetap lebih berat dibanding masa sebelum kehamilannya. Tak membuang waktu lama, kejantanan besar dan panjang itu segera bergerak kembali di dalam liang surgawi Arina.

“Bang Agaamm… Enaakkhh… Entot Arin… Jangan berhentiii… Aahhh…” racau ibu beranak satu itu, tubuhnya kini terombang-ambing di udara dalam gendongan Agam yang menggenjot dalam gerakan kuat dan mantap.

Hanya suara deru nafas yang terdengar dari pria keturunan Timur itu. Konsentrasinya terpusat pada gerakan pinggulnya dan menopang berat tubuh ibu muda yang ia gendong itu. Akibat aktivitas fisik yang tergolong berintensitas tinggi tersebut, kontan peluhnya dengan cepat membasahi seluruh tubuhnya. Begitu pula dengan Arina yang menerima stimulasi dahsyat di liang peranakannya sehingga membuat jantungnya berdegup kencang, menyaingi degup kencang jantung pejantannya yang dapat ia dengarkan dengan jelas karena kepalanya yang menempel erat pada dada bidang milik Agam.

Tetes demi tetes nektar cinta Arina dipaksa keluar, meleleh melalui celah sempit antara bibir memeknya dan kontol Agam yang tak kenal lelah keluar masuk liangnya. Cairan yang membuih putih itu tampak kontras mengalir ke kantong zakar Agam yang hitam legam, hingga menetes membasahi lantai kamar hotel itu, sedikit demi sedikit. Dengan birahi yang memenuhi setiap sudut dan lekuk tubuhnya, Arina mengangkat kepalanya, menengadah, menatap sayu wajah pejantannya yang membalas dengan tatapan mata yang dalam dan begitu penuh nafsu. Secara naluriah, kedua insan itu saling mendekatkan wajah masing-masing, hingga kedua bibir mereka bertemu dalam sebuah pagutan mesra dan panas.

Bibir tebal Agam terasa basah menyelimuti bibir tipis Arina. Lidah Agam dengan cekatan menyeruak melewati celah bibir Arina hingga masuk ke mulut wanita itu. Segera lidah pria itu menemukan lidah Arina yang menyambut hangat ajakan pasangannya untuk saling membelit. Dalam percumbuan itu, bermili-mili ludah keduanya saling membaur dan berpindah dari satu rongga mulut ke rongga mulut pasangannya, diiringi lelehan yang lolos keluar mengalir melalui dagu masing-masing dan tak jarang menetes ke tubuh mereka. Tak hanya pertautan kelamin jantan dan betina saja, esensi aroma dan rasa dari sepasang insan tanpa terikat status pernikahan itu juga bagai melebur menjadi satu melalui pertautan lidah dan bibir keduanya.

Déjà vu. Seluruh sensasi itu menyergap dan menyelubungi jiwa dan raga Arina hingga mengantarkannya ke sebuah memori dari bertahun-tahun lalu ketika ia mengalami sensasi yang serupa. Di suatu malam, di sebuah ruang supplysebuah perusahaan, tubuhnya yang masih mungil di usianya ke-21 kala itu, berada dalam gendongan seorang pria lain yang juga bertubuh sama kekarnya dengan Agam, dengan bibir saling berpagut, untuk pertama kalinya. Sebuah pertama kali yang mengubah hidupnya. Sebuah pertama kali yang membuatnya memiliki keturunan dengan pria yang kemudian memiliki tempat spesial di hatinya. Seorang pria yang tak lagi menjamah tubuhnya semenjak kelahiran putra mereka; bagaikan tak lagi mempedulikannya semenjak perpindahannya di kota itu.

Mas Gio, kamu jahat banget udah lupain Arin, batin Arina. Namun Arina segera menepis lamunan itu. Tak ada gunanya berkubang dalam kenangan. Takdir baru telah datang dan mengubah hidupnya dengan cepat.

Dalam pagutan panas mereka, Agam dapat merasakan nafas Arina yang makin tak teratur. Kontolnya yang keluar masuk memek Arina bagai piston dapat merasakan sesekali kedutan memek wanita itu, ditambah lagi cairan cinta wanita itu yang makin meleleh. Agam yang sudah hafal akan bahasa tubuh seorang betina yang ia pecundangi itu mengerti bahwa Arina hampir mendekati orgasmenya. Tanpa aba-aba, segera pria itu memicu kontolnya semakin cepat di dalam memek wanitanya, bagaikan menaikkan gigi putaran piston mesin seksnya.

“Aaahhh… Bang Agaaammm… Arin mau nyampeee…” teriak Arina melepas pagutan Agam.

Tak menggubris, Agam hanya fokus pada gerakan pinggulnya yang makin ia percepat. Arina yang dilanda birahi tinggi hanya bisa menengadah dan menggelengkan kepalanya. Matanya bergulir ke atas hingga sebagian besar menampakkan putihnya saja. Hingga akhirnya meledaklah bendungan itu.

“AH! BANG AGAM! ARIN NYAMPEK!” jerit Arina tiba-tiba.

Tubuh wanita itu seketika menempel erat ke tubuh Agam. Jemarinya meremas punggung kekar pria itu, mengguratkan beberapa bekas cakaran kukunya. Tak kuasa dengan ledakan orgasmenya, Arina menggigit kulit leher Agam. Pria itu mau tak mau hanya menahan rasa sakit yang tak begitu seberapa itu. Ia berkonsentrasi menopang tubuh Arina yang sedang berkontraksi dan mengejang hebat, agar tidak terjatuh. Kaki wanita itu mengejang-ngejang di balik punggungnya, jemari kakinya saling melingkar, menekuk, menandakan empunya sedang dilanda badai kenikmatan yang dahsyat. Tak lupa, bermili-mili cairan squirt bercampur kencing milik Arina menyemprot keluar dari lubang kecil yang berada di antara biji kelentitnya dan memeknya yang tersumbat kontol jumbo Agam. Cairan itu menyemprot berkali-kali seiring tubuhnya yang mengejang, hingga makin membasahi untaian jembut miliknya dan milik Agam yang ikal, mengalir makin membasahi lantai kamar hotel yang kini sudah tampak seperti genangan air.

Tidak seperti orgasme sebelumnya, butuh waktu lebih lama untuk Arina mengumpulkan nafas dan akal pikirannya kali ini. Dalam badai kenikmatan yang tak kunjung reda itu, Arina merasakan sundulan-sundulan kecil di dalam perut bagian bawahnya, menandakan kontol Agam yang saat orgasmenya sempat berhenti bergerak, mulai bergerak kembali sedikit demi sedikit. Di sela-sela kabut dalam pikirannya, Arina menyadari bahwa pejantannya memang belum mencapai klimaksnya. Ya ampun, emang perkasa banget laki satu ini, batin Arina lemah, sedikit menggeliat dalam gendongan Agam.

“Bang Agam… Arin masih sensitif…” protes Arina lemah sambil masih memeluk erat tubuh Agam. Wanita itu dapat merasakan lelakinya bergeser mendekati ranjang dengan punggung kekarnya membelakangi ranjang.

“Abang sudah dekat. Tahan ya, sayang,” jawab Agam singkat sambil merebahkan tubuh besarnya di atas ranjang tanpa melepas tautan kelamin mereka. Kontan Arina berada di atas tubuh Agam dalam posisi woman on top atau cowgirl.

“Abang, kok posisi gini sih… Arin lemes… Ga kuat gerak…”

“Santai. Arina diam saja. Bang Agam yang gerak,” jawab Agam singkat dalam logat khasnya itu sambil merengkuh punggung Arina, mendekap tubuh ibu muda itu ke pelukannya. Kemudian tanpa aba-aba pria itu kembali memicu kontolnya dari arah bawah.

“Aaahhh… Bang Agam, Arin masih sensitiiif…” iba Arina yang tiba-tiba merasakan kembali gerakan kencang kontol Agam di memeknya.

Tak menggubris protes Arina, konsentrasinya ia arahkan pada gerakan pinggulnya yang membuat kontolnya semakin cepat keluar masuk di memek Arina. Jika sebelumnya ia fokus membuat Arina orgasme, kini fokusnya berganti untuk klimaksnya sendiri dan kali ini ia tak peduli apa yang akan dialami tubuh betinanya.

“AAAHH BANG AGAM ARIN DAPET LAGIIIH!!!”

Tak lama dari dimulainya fase akhir ronde pertama persetubuhan mereka itu, tiba-tiba tubuh Arina kembali mengejang dan bergetar hebat di dalam dekapan kuat Agam. Kembali Agam dapat merasakan sebuah semprotan cairan dari memek Arina membasahi tubuhnya dan mengalir membasahi ke ranjang. Arina kembali mendapatkan orgasme dan Agam semakin erat melingkarkan kedua lengan kekarnya di punggung atas dan bawah Arina, bagai memastikan agar tautan kelamin mereka tidak terlepas, walaupun Arina tak akan bisa melakukan hal itu meskipun ia mencoba.

“Nggghhh… Abangghh… Nggghhhh… Sshshshhh…” hanya rintihan dan rengekan nikmat yang sanggup dikeluarkan Arina.

Gerakan kontol Agam tak mengendur di dalam memek Arina. Jika ditelaah lebih dekat, buih cairan cinta Arina tampak bertumpah ruah, tak hanya kontras menyelubungi kontol Agam yang hitam legam, namun juga meluber keluar ke zakar pria itu, pun beruntai pekat di antara jembutnya dan milik Arina yang saling membaur. Lalu tiba-tiba, tubuh Arina kembali mengejang, dibarengi dengan luberan squirt yang kembali menyemprot. Melihat begitu dekatnya orgasmenya kembali datang, tak salah lagi, kini Arina sedang dalam fase multiorgasme. Oleh karena itu, Agam makin mengencangkan gerakan kontolnya, hingga menusuk lebih kuat dan lebih dalam, menggedor pintu rahim Arina.

“Abang… Please pelaaaann… Anak kitaa… Please… Arin ga kuat… Please… Cepet keluarin pejuhnya…” pinta Arin lirih, kini telah kehabisan tenaga.

Konsentrasi Agam sedikit terpecah ketika mendengar ucapan lirih Arina. Anak kita? Tak salah ucap kah?, batin Agam. Namun perkataan Arina itu akhirnya melemparkannya ke puncak badai kenikmatannya.

“AAAHHHH ARINA!! ABANG KELUAR!! AAAHHH!!!” teriak Agam menggelegar, akhirnya.

Gerakan cepat kontolnya seketika berhenti digantikan dengan tiga tusukan yang begitu dalam, sebelum akhirnya Agam merengkuh pinggang Arina dengan begitu kuat dan erat, seolah ingin membenamkan kontol besarnya secara seutuhnya dalam liang peranakan Arina. Dengan kepala kontol tak bersunat yang menempel rapat di mulut rahim betinanya, bermili-mili cairan kental berwarna putih menyemprot dengan kuat, menghamburkan ratusan juta sel-sel sperma subur untuk memasuki mulut rahim dan mencari sebuah sel telur untuk dibuahi. Sensasi hentakan kuat dan semburan panas di dalam relung Arina membuat tubuh wanita itu sekali lagi dipaksa bergetar, mengalami gelombang orgasme terakhir dalam multiorgasmenya.

Namun mulut rahim milik Arina saat itu telah tertutup. Sel telur Arina telah kembali diproduksi 5 bulan setelah melahirkan buah hatinya, telah dibuahi dua bulan sebelumnya. Terdapat sebuah kantong mungil berisi cairan ketuban dan sebuah darah daging yang berdetak dan perlahan sedang bertumbuh sejak dua bulan terakhir; sebuah janin hasil peleburan benih unggul milik Agam—seorang lelaki berdarah Timur—yang membuahi sel telur Arina—seorang perempuan berdarah Priangan yang telah bersuami.







Dari jendela kamar hotel tersebut, cahaya keemasan dari langit sore yang cerah menyeruak masuk, menerpa tubuh telanjang kedua insan berbeda jenis kelamin, etnis, dan terpaut 11 tahun dalam usia. Dengan tubuh yang masih saling bertumpuk—Arina berada di atas tubuh Agam—tampak keduanya sedang mengatur nafas mereka sambil menikmati indahnya langit sore kota pelajar itu.

Dalam posisi itu, dada Arina yang meluap karena ASI sedang menempel erat pada dada bidang dan kekar milik Agam. Kontol besar dan panjang milik Agam masih bertaut di dalam memek Arina, walaupun kini melemas. Tubuh keduanya yang terbalut peluh yang begitu membanjir tampak berkilau dalam terpaan cahaya sore keemasan. Degup jantung keduanya bagaikan tersinkronisasi, berdetak bagaikan satu jiwa. Nafas mereka bagaikan seirama. Keduanya dibalut oleh perasaan damai.

Dengan lembut tangan besar Agam membelai rambut basah Arina. Jemari besarnya perlahan menggelincir menuruni punggung wanita itu yang basah oleh keringat, sebelum kembali mengulangi gerakan tersebut. Sesekali, pria itu mengecup kepala dan dahi Arina yang juga basah oleh keringat, menghirup dalam-dalam aroma khas wanita yang menurut pengakuannya kini tengah kembali berbadan dua itu.

“Serius Arina hamil? Betul anak Abang?” tanya Agam pelan.

Jeda beberapa detik itu terasa lama, sebelum Arina akhirnya menarik nafas dan menjawab.

“Iyalah… Mau anak siapa lagi…”

“Ya mungkin saja anak suami Arina.”

Tanpa menggeser posisi tubuhnya, Arina mendongakkan kepalanya, menatap wajah Agam dengan tersenyum geli.

“Ih, abang pura-pura lupa apa? Ya mana mungkin lah. Kan jelas-jelas Mas Aldi mandul,” tukas Arina, tak ada amarah, hanya menyampaikan fakta. Agam diam, pikirannya memproses fakta itu.

“Dan sejak Arin pindah ke sini, cuma Bang Agam yang mau nyamperin Arin,” lanjut Arina mengingatkan Agam akan fakta kedua.

Semenjak rencana perpindahannya kembali ke ibukota yang kandas, Arina semakin frustrasi menjalani hari-harinya tanpa dekapan hangat para lelaki selingkuhannya, terutama Gio. Pria yang menjadi bapak dari anaknya itu kini semakin disibukkan oleh pekerjaannya dan sudah 7 bulan tak menemuinya. Meskipun nafkah untuknya dan Aryo masih tetap lancar, komunikasi dengannya lambat laun bagaikan hanya menjadi ala kadarnya. Maaf sibuk. Maaf ada urusan bisnis. Maaf lagi di luar negeri. Hingga akhirnya Arina lelah mengharapkan bapak dari buah hatinya itu untuk meluangkan sedikit perhatiannya untuknya dan putranya.

Di kala itulah akhirnya suatu hari Agam datang menemuinya. Awalnya Arina kesulitan untuk mencari celah untuk meninggalkan Aryo selama beberapa jam untuk menemui Agam. Dari situlah akhirnya Arina memutuskan untuk mengikuti kegiatan kebugaran seperti kelas yoga dan aerobik. Selain untuk menjaga tubuhnya agar tetap menarik, setelah sempat menggemuk sesuai melahirkan Aryo, kini Arina memiliki alasan lain selain “belanja bulanan” untuk bisa menitipkan putranya untuk diasuh selama beberapa jam oleh mertuanya selagi ia serong dengan selingkuhannya. Untungnya lagi, mertuanya yang memang sejak lama benar-benar menanti kehadiran seorang cucu tidak pernah keberatan untuk mengasuh Aryo selama Arina pergi.

Sebagai satu-satunya anggota pria yang tidak terikat jam kerja kantor, Agam memiliki kebebasan lebih untuk melakukan perjalanan luar kota, selama tidak ada bisnis yang perlu ia lakukan di ibukota. Dalam kebosanannya, suatu hari ia memutuskan untuk mengunjungi Arina yang sedang “dipingit” keluarga suaminya untuk tinggal di kota pelajar. Pada malam pertama pertemuannya kembali dengan Arina, wanita itu tampak begitu liar bagaikan kesetanan. Berkali-kali ia pecundangi tubuh sintalnya itu, namun berkali-kali pula wanita itu meminta lebih. Sayangnya pertemuan dadakan yang tak direncanakan dengan baik itu tak dapat mereka nikmati melewati malam untuk menghindari kecurigaan mertua Arina. Akhirnya Agam memutuskan untuk mengunjungi Arina secara berkala, sebulan dua kali, jelas tanpa sepengetahuan anggota yang lain. Dan pertemuan rahasia yang dilakukan secara rutin oleh Arina dan Agam sejak akhir tahun lalu itu kinitelah ‘membuahkan’ hasil.

Dari penjelasan dokter kandungan, Arina jelas-jelas mengalami kondisi yang dinamakan Post-partum fertility atau kesuburan paska melahirkan, yang mana indung telur Arina telah berovulasi di tengah-tengah periode menyusui tanpa didahului dengan kembalinya siklus menstruasi terlebih dahulu. Akibatnya, Arina menganggap bahwa ia masih dalam masa tidak subur akibat menyusui dan tak menyadari bahwa sebenarnya sel telurnya telah matang dan dikeluarkan oleh indungnya. Hubungan gelapnya dengan Agam pun berlanjut tanpa ada halangan. Arina yang selalu tak sabar menantipertemuannya dengan Agam pun tak pernah terbesit untuk repot-repot menggunakan kontrasepsi, maka persenggamaan pun mereka lakukan tanpa pengaman, seperti yang sudah biasa mereka lakukan. Dari situlah akhirnya sperma subur Agam dengan mudahnya membuahi sel telur Arina dua bulan lalu. Kini buah hati mereka perlahan tumbuh di dalam rahim Arina.

“Mantap. Akhirnya Arina berhasil beta buat bunting, hahaha…” kekeh Agam berkomentar, memecah lamunan Arina.

“Ih bang Agam… Tapi Arina ngga siap tiba-tiba hamil lagi gini… Aryo masih 7 bulan… Lagian…” rajuk Arina menggantung.

“Lagian apa?” tanya Agam mengorek.

“Lagian Arina takut ketahuan mas Aldi, bang… Kalau kelihatan banget nggak mirip Arina gimana…” ucap Arina lirih.

“Itu pikir saja belakangan. Yang penting sekarang fokus sama kesehatan Arina dan anak kita. Abang tak akan lepas tangan lah. Arina akan Abang beri nafkah tiap bulan. Lagipula…” ucap Agam menggantung, sedikit ragu melanjutkan.

“Jangan bales ngegantung gitu juga ah, Bang,” protes Arina yang tiba-tiba mengangkat tubuhnya dari tubuh Agam, sambil menepuk ringan dada bidang pria itu. Kedua mata Agam otomatis berfokus pada kedua gunung kembar milik Arina yang kini menggantung, berguncang ringan akibat gerakan tubuh empunya yang tiba-tiba. Tak kuasa, Agam merengkuh kedua bongkahan payudara yang berat berisi ASI itu. Dengan gerakan sigap, Agam bangun ke posisi duduk dan seketika itu melahap puting payudara kiri Arina. Seperti sebelum pertempuran birahi mereka sore itu, Agam kembali menyeruput cairan kental berwarna putih dan terasa manis dari payudara Arina—cairan yang seharusnya menjadi menjadi sumber gizi anak pertama Arina itu. Dengan kehamilannya yang kedua, dapat dipastikan cairan itu tidak akan berhenti, paling tidak hingga lebih dari satu tahun mendatang.

“Iiih, serius aahh… Jangan netek dulu. Jawab ‘lagipula’ apaan?” protes Arina sambil mendorong kepala berambut ikal milik Agam hingga mulut pria itu terpisah dari putingnya dengan suara sedotan yang khas.

“Hahaha… Siapa suruh punya susu segar tiada tanding,” kekeh Agam. “Lagipula… Percuma Arina risau. Dari foto-foto yang Arina beri lihat Abang dari hape Arina, anak Gio itu jelas tak ada miripnya dengan Arina punya suami. Tapi selama 7 bulan ini suami Arina dan mertua sepertinya tak curiga. Jadi mungkin Arina punya keberuntungan baik, hahaha…”

“Ih, abang, ngaco,” kata Arina, kini sambil memukul lengan Agam.

Namun Arina tak membalas perkataan Agam lebih lanjut. Perlahan jemari tangan Arina yang masih berada di antara rambut kepala Agam hanya mengarahkan kepala pria itu untuk mendekati payudaranya kembali—kini sisi kanan. Pria itu dengan sigap melahap puting besar kecoklatan milik Arina dan kembali menyeruput cairan gizi milik bayi Arina itu. Pikiran Arina terbelah antara rasa geli di putingnya dan lamunannya. Ia selalu mempercayai bahwa anak adalah sebuah takdir, anugrah, dan rezeki. Berbeda dengan kehadiran Aryo yang sangat amat ia rencanakan, tumbuhnya buah hatinya yang kedua dalam rahimnya kali ini sangatlah di luar rencananya. Namun Arina meyakini sebuah kuasa yang menakdirkannya untuk menerima sebuah jiwa yang kelak ia harapkan benar-benar menjadi sebuah anugrah—meskipun jiwa tak berdosa dalam rahimnya itu bukan dari suami sahnya, melainkan benih dari pria di hadapannya yang mengintiminya selama lima tahun terakhir; yang dalam 6 bulan terakhir terasa semakin dekat dalam hatinya; yang setiap lekukan dan aroma tubuhnya ia hafal; yang rambut ikalnya kini terasa lebih nyata, karena kelak buah hatinya kemungkinan besar akan memiliki karakteristik yang serupa. Apapun yang akan terjadi kelak di masa depan, Arina harus bisa menghadapi. Dengan keyakinan itu, Arina membulatkan tekad.

Dalam lamunan, batang kejantanan besar milik Agam yang sempat melembek kini perlahan kembali mengeras di dalam liang peranakan Arna. Belum sempat terlepas, tautan kelamin itu kembali menjadi erat, menuntut ronde berikutnya. Bagaikan mengumpulkan kembali tenaganya, Arina menggeliatkan tubuhnya, menarik kepala Agam agar terpisah dari payudaranya. Dalam hati Arina terdapat keinginan besar untuk tidak kembali pulang ke rumah orang tua suaminya, menghabiskan malam di samping kekasih gelapnya. Andai saja ia dapat melakukan itu tanpa takut menyabotase rahasianya sendiri yang ia tutupi dari keluarganya. Namun sebelum ia kembali ke keluarganya, jiwa dan raganya seutuhnya milik Agam. Dengan tatapan yang dalam dan penuh kasih sayang, Arina mengecup bibir tebal pejantannya sebelum tersenyum dan mengatakan:

“Bang Agam, cepetan puasin Arin lagi. Habis itu anterin belanja. Arin harus udah di rumah jam 9.”



———



End of Chapter 11
.
 
Makasih banyak suhu-suhu atas apresiasinya! Lama ga mampir ke forum ini. Maaf belum bisa balas satu-satu, tapi sumpah makasih udah pada mampir. Saya habis sakit, jadi lagi maleeees banget buka word dan edit tulisan yang tampak ruwet di mata ini wkwkwk... Kita lihat bab berikutnya berapa purnama lagi sampe akhirnya rilis.
:kk::kangen:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd