Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Desa Waringin. (Terjebak kawin kontrak)

Status
Please reply by conversation.
Bab 24

"kakek nggak papa?" Aku segera membantu kakek itu duduk, ku lihat wajahnya penuh lebam. Dan tangannya sedari tadi hanya memegangi perutnya. mungkin masih sakit karena tendangan dari pria kurang aja tadi.


Sial! Mengingatnya saja sudah membuat ku muak.


"Nggak papa nak, maaf kakek malah ngerepotin kamu..." Ujar kakek dengan suara terbata.


Aku melihat sekilas seolah melihat mendiang kakek ku dulu. Walau wajahnya tidak mirip tapi nasib kakek hampir sama dengan mendiang kakek ku. Terlilit hutang dan sampai sulit untuk membayar, jadi walau dia bukan siapa-siapa dan mungkin aku tidak mendapatkan keuntungan darinya. Aku tidak masalah, toh aku bisa mendapatkan dari desa ini sendiri. Jadi aku sudah menganggap semua orang di desa ini adalah keluarga.


"Nggak usah terlalu dipikirkan kek, pelan-pelan aja jalannya, biar saya bantu ke rumah kakek!" Kataku pelan sembari memapah sang kakek. "Rumah kakek di mana?" Tanyaku kemudian.


"Si sebelah sana nak." Kata kakek menunjuk arah rumahnya. Aku memapahnya perlahan, agar sang kakek tak merasa kesakitan. Walau dalam hati ingin sekali rasanya ku gendong saja kakek ini. Tapi melihat kondisi kakek tentu tidak mungkin.


"Kakek dari mana emang? Kok bisa ketemu sama Mereka?" Tanyaku heran saat melihat kakek di tagih oleh debt kolektor bukan di rumahnya melainkan di dekat lapangan kamp yang letaknya cukup jauh dari rumah kakek.


"Habis dari warung nak, beli obat buat istri saya." Ujar kakek dengan suara parau.


"Nenek sakit kek?" Tanyaku terkejut. Sungguh aku merasa tak karuan di kala melihat kondisi sang kakek dan juga saat mendengar kabar tentang nenek yang sakit. Orang yang sudah renta dan tak bertenaga seperti dulu harus menerima kenyataan hidup yang pahit.


"Iya nak, sudah dua hari nggak bisa bangun."


"Kenapa nggak di bawa ke klinik saja kek?"


"Maaf nak, bukan nggak mau, tapi kakek tidak punya uang."


Aku termangu seketika saat mendengar ucapan kakek. Apakah kakek tidak bekerja selama ini tidak bekerja, atau perusahaan yang kurang memperhatikan pekerjaannya. Jika memang perusahaan kurang perhatian, maka aku akan mengurus ini segera.


"Maaf, apa kakek tidak bekerja?" Tanyaku hati-hati. Lalu ketika sang kakek menggeleng aku langsung paham.


"Kakek sudah tua nak, nggak ada lagi yang mau kakek ikuti. Untuk panen sendiri kakek juga sudah nggak mampu. Palingan kalo pas lagi fit banget kakek ikut brondol bareng ibu-ibu yang lain."


Berondol adalah memungut buah sawit yang jatuh karena terlalu matang, dan harga untuk berondol di hitung perkarung, dan satu karung hanya di hargai 15 ribu saja, itu sangat kecil untuk seorang kepala rumah tangga seperti kakek. Tapi mungkin memang hanya itu yang bisa kakek lakukan. Karena tubuhnya yang sudah renta tidak mampu lagi melakukan pekerjaan kasar.


Aku memapahnya sampai di depan rumah. Lalu saat aku sampai, seorang perempuan datang berlari ke arah kakek. Aku terdiam seketika melihat parah dari perempuan ini.


Jika melihat dari penampilannya, aku taksir usianya sekitar 20 tahunan dengan tubuh tinggi, kulit putih dan rambut lurus, wajah yang mulus tanpa belang, lalu bulu mata yang lentik juga hidung mancung. Sesaat aku mengagumi kecantikannya. Dia adalah perempuan satu-satunya yang bisa ku sebut paling cantik di desa ini, setelah aku melihat banyak perempuan di desa ini, dari yang tua sampai anak-anak semua berada di taraf yang biasa saja di mataku, hanya dia satu-satunya wanita yangmembuatku terdiam untuk sesaat ketika melihat parasnya.


"Bapak! Bapak kenapa? Bapak nggak papa kan?" Teriak perempuan itu panik saat melihat kondisi sang kakek yang sudah penuh lebam di wajahnya.


"Nggak papa ndok, bapak baru aja di datangi anak buah juragan."


"Jadi bapak Giman? Bapak di hajar lagi?"


"Iya nduk, ya kayak biasanya, mereka langsung kasar ke bapak dan langsung hajar bapak. Untung ada pak Adit, mereka langsung pergi dan hutang kita sudah di lunasi sama pak Adit. Andai nggak ada pak Adit, mungkin bapak sudah di seret sama mereka." Perempuan itu perlahan membantu kakek untuk duduk di resban sebuah ranjang kecil yang di letakkan depan rumah untuk duduk-dudukan.


Setelah mendengar ucapan sang kakek. Perempuan itu menoleh menatapku dengan tatapan sendu. Dia tersenyum kecil lalu berlari ke dalam rumah meninggalkan kami berdua.


"Itu anak saya, nak, harta satu-satunya milik saya... uhuk!" Ujar kakek itu sembari memegangi perutnya dan merintih kesakitan.


"Kek, jangan ngomong dulu. Biar di obati saja dulu. Nanti malah tambah sakit." Kataku sembari menenangkan sang kakek.


Kakek tersenyum kecil lalu menyandarkan tubuhnya pada tembok rumah. "Kakek orang nggak punya, nak, satu-satunya yang saya punya hanya lahan itu, lahan yang akhirnya menjadi bumerang buat saya, lahan yang harusnya milik saya malah saya harus membayar karena saya di tipu, sudah tidak punya tanah, habis juga uang saya." Dia tersenyum lemas. Rasanya memang kurang ajar orang-orang seperti juragan itu.


Mereka tidak memikirkan bagaimana kehidupan orang lain atas perbuatannya.


Jujur saja aku benci pada orang-orang yang menghak milik sesuatu yang jelas-jelas bukan milik mereka. Sama halnya mereka merampas atau merampok orang itu secara tidak langsung.


"Ya udah nggak papa kek, sekarang hutang kakek sudah lunas. Jadi tidak udah dipikirin."


"Maaf ya nak, kakek jadi ngerepotin kamu. Padahal kita nggak kenal sebelumnya, tapi kamu udah banyak bantu kakek."


Aku tersenyum tulus menatap dirinya. Sedangkan kakek membalas senyumku sembari berkata.


"Jika kamu mau, kakek hanya bisa membayar semua kebaikan kamu dengan memberikan anak saya. Dia memang pemalu. Dan tidak cantik. Tapi dia satu-satunya harta keluarga kakek, dia yang paling berharga untuk kakek. Kalo kamu mau, kakek akan memberikannya padamu."


Apakah bisa kukatakan jika sang kakek menjual anaknya sendiri demi membayar hutang padaku?
Padahal tak pernah terbesit dalam otakku untuk meminta balas Budi dari kakek. Karena apa yang kulakukan adalah murni dari hatiku yang terdalam. Tapi di lain sisi kakek malah memberikan anaknya padaku. Haha.... Jujur saja jika dia memberikannya begitu saja aku akan dengan senang hati menerimanya.


Apalagi gadis secantik dirinya. Yang jujur saja memang masuk ke dalam kriteria untuk menjadi pasanganku.


"Tidak usah kek, aku tidak apa-apa aku ikhlas membantu kakek, karena jujur saja aku tidak ingin ada keributan di kampung ini, karena aku sudah menganggap kampung ini seperti kampung halamanku sendiri. Aku suka ada d tempat ini."


"Tidak apa-apa, saya tidak enak hati karena kami sudah mengeluarkan uang banyak untuk pria tua seperti kakek ini. Apa anak kakek saja tidak cukup. Jika memang tidak cukup. Kakek juga rela memberikan istri kakek untuk kamu."


Sungguh aku tidak habis pikir. Ucapan kakek seolah menjual anak Istri untuk mengganti apa yang sudah aku berikan kepadanya. Sungguh tidak beradab memang, tapi melihat kebiasaan dan adat di desa ini aku tidak heran, jadi ucapan itu seolah sudah biasa di telingaku.


Tak lama anak gadis kakek keluar bersama dengan wanita yang ku taksir seusia bik Sri, masih terlihat cukup muda. Tapi ku yakin itu adalah istri sang kakek. Wanita itu hanya mengenakan celana pendek yang bolong di bagian paha serta kaos lusuh yang hampir tak layak pakai.


Tapi dibalik pakaian lusuh itu, kecantikannya hampir mirip dengan anak gadis kakek. Dengan tubuh agak berisi dan perut berlipat. Payudara besar serta pantat yang sedikit berisi namun sudsh kendur.


Astaga. Jika aku diberi kedua wanita ini untuk bisa ku nikmati, sepertinya uang 15 juta masih tidak sebanding jika harus ditukar dengan dua bidadari ini.


Aku terkekeh dalam hati membayangkan dilayani oleh dia wanita itu.


"Gimana nak? Kakek cuma punya mereka berdua sebagai harta satu-satunya milik kakek." Kata kakek. "Ini istri kakek, namanya Tini, Sudah tua memang. Tapi kakek yakin dia bisa melayani kamu dengan baik. Dan ini anak saya Retno, dia belum memiliki pengalaman dalam melayani pak. Tapi saya yakin dia bisa belajar dari ibunya."


"Pak...." Sapa Bu Tini dengan ramah lalu duduk di sebelah kakek.


Sang anak gadis tadi langsung membantu sang ayah untuk mengobati luka akibat pukulan debt colector tadi. Mereka dengan seksama mendengarkan ucapan dari kakek.


"Maafin bapak yah... Karena bapak kalian harus repot ini. Terlebih karena bapak juga kalian harus melayani anak ini sekarang. Bapak berhutang uang pada dia, dan sekarang hutang bapak sudah lunas. Tapi bapak nggak enak hati jika menerima pemberian anak ini begitu saja. Jadi bapak menawarkan kalian berdua untuk nikah kontrak dengan anak ini." Kata bapak dengan nada sendu.


"Kek. Nggak usah nggak papa." Tolak lembut. Jujur saja aku tidak ada niatan untuk nikah kontrak lagi, terlebih bagiku bik Sri dan Jumirah saja sudah cukup.


"Nggak bisagm gitu nak, kakek sudah tua. Kakek tidak mau membawa mati hutang. Kamu sudah bantu kakek, sudah selayaknya kakek balas kebaikan kamu?"


"Benar pak, sesuai adat dan peraturan di ini. Kami juga harus membalas kebaikan bapak. Karena bapak sudah bantu suami saya, saya tidak keberatan jika harus teriakat kontrak dengan bapak, terlebih anak saya juga tidak keberatan." Timpal Bu Tini. "kamu nggak papa kan ndok?" Tanya Bu Tini ke anaknya.


Retno mengangguk pelan sebagai jawaban.


Aku yang tak bisa menolak hanya bisa menghela napas pelan, apalagi mengetahui fakta jika Retno masih awan. Yang berarti dugaanku sekarang Retno masih perawan, apakah aku beruntung? Yah tentu saja. Aku beruntung.


"Tapi Bu, sepertinya uang 15 juta tidak sepadan dengan apa yang saya dapat."


"Sangat sepadan, pak, karena bapak melunasi hutang kami, anak saya dan saya bisa bebas dari ancaman juragan, kami juga tidak perlu takut lagi jika harus menjadi sapi perah mereka yang bekerja tanpa di bayar." Balas Bu Tini.


Aku tak bisa berkata-kata lagi. "Ya sudah kalo itu kemauan ibu dan kakek, tapi maaf jika saya tidak adil nantinya. Ibu sendiri tahu jika saat ini saya sudah terikat kontrak dengan Bik Sri dan Jumirah, jadi mohon maklum kalau saya tidak adil..."


"Tidak apa-apa pak, dengan kontrak itu saja sudah membuat kami tenang. Terserah bapak mau menyentuh kami atau tidak. Setidaknya nasib kami tidak terombang-ambing."


Dan begitulah, pengeluaran ku tiap bulan jadi bertambah dengan bertambahnya kontrak yang aku buat. Aku tidak tahu harus berbuat apa, dan entah akan ada berapa banyak wanita lagi yang terikat padaku.


Tapi dengan adanya mereka berdua tentu aku bisa senang. Apalagi Retno. Aku akan memiliki dia seutuhnya untuk diriku sendiri. Dan akan memperlakukannya secara berbeda.


Aku tidak ini gadis secantik dirinya yang sudah membuatku terpana dalam sekali pertemuan dinikmati oleh pria lain. Dia hanya akan untuk diriku sendiri. Jika bisa dia akan ku ikat selamanya.


Setelah kejadian itu aku pamit pada mereka. Malamnya kami membuat kontrak di rumah pak kades. Dan hari pun berlalu tanpa ada yang terjadi.


Keesokan harinya aku menemui pak Supri untuk meminta kunci mobil kepadanya.


"Loh emang Aden mau ke mana?" Tanya pak Supri.


"Mau ke kantor pusat pak. Ada rapat." Jawabku, memang hari ini aku ada rapat dengan orang pusat.


"Biar saya yang nyetirin aja den, jauh soalnya, nanti Aden capek." Jawab pak Supri.


"Nggak usah pak, aku nggak sendirian kok. Sekalian mau ajak Retno keluar." Balasku lagi.


"Heleh-heleh, mau jalan-jalan sama bini mudah nie!" Ejek bik Sri yang keluar hanya mengenakan daster tipis yang memperlihatkan lekuk tubuhnya.


"Hehe sekalian jalan-jalan loh bik. Kasian dia nggak pernah keluar katanya."


"Iya sih. Retno emang pendiam den. Dia lebih milih kerja dari pada jalan-jalan.."


"Makanya itu bik, aku pengen ajak jalan-jalan, sekalian belanja, bibi mau titip sesuatu?"


"Em apa ya...." Ujar bik Sri sembari berpikir. "Baju haram boleh deh den." Ujarnya dengan senyum nakal.


"Lah, kan udah ada banyak!" Jawabku. Memang beberapa hari lalu saat aku keluar dengan pak Supri aku membelikan banyak pakaian untuk bik Sri dan Jumirah.


"Hehe gak papa, biar banyak koleksi, toh yang seneng juga Aden kan."


"Hehe iya juga, ya udah nanti tak belikan, sekalian belikan untuk Bu Tini."


"Nah gitu juga boleh. Biar bini muda makin hot ya den..."


"Ah bibik bisa aja!"


Kamipun tertawaan bersamaan, setelahnya aku pamit dan mengendarai mobil Jeep. tak lupa aku menghampiri Retno yang sudah siap dengan pakaian sederhananya. Pakaian lama yang masih terlihat bagus. Aku tersenyum miris, mungkin penghasilan mereka sangat kecil sampai baju lama pun masih dikenakan untuk berpergian.


"Udah siap?" Tanyaku yang di jawab Retno dengan anggukan.


Aku membukakan pintu dan mempersilahkan Retno masuk. Barulah setelah itu kami berdua pergi menyusuri jalanan rusak yang semakin parah.


"Kayaknya kita bakal nginep di kota. Kamu nggak papa kan?"


Retno mengangguk kecil. "Nggak papa pak."


"Jangan panggil pak dong. Kesannya aku tua banget, panggil aja mas yah."


"Iya mas..."


Setelah itu tak ada obrolan lagi selama perjalanan karena Retno tidur di sepanjang perjalanan.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd