Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Desa Waringin.

Bab 4

"Kenapa Lo? Suntuk banget kayaknya tuh muka?" Tanya Rudi tepat setelah aku memperkenalkan diri pada pekerja pagi ini. Sengaja aku mengumpulkan mereka sebelum bekerja. Untuk memperkenalkan diri dan juga memperkenalkan kedua teman ku ini.

Sekarang baru jam 7:30 tapi mereka sudah berangkat beraktivitas setelah aku menutup acara pagi ini.

Aku menghela napas sebentar, mimpi semalam masih terbayang-bayang di benakku.

"Mimpi buruk gue." Keluhku.

"Yaelah. Baru juga semalam di sini, udah nggak betah aja lu!" Jawab Adi.

"Bukan masalah nggak betah, cuma ini lain."

"Jadi?"

"Ada lah pokoknya..." Balasku yang tentu saja malas untuk menceritakan pengalaman ku malam tadi. Malu dan aneh jika aku membicarakan hal yang intim bagiku.

"Pak Supri mana? Bukannya kita mau keliling area?" Ujarku mengalihkan pembicaraan.

"Masih ngambil mobil katanya." Jawab Adi.

"Kalian naik mobil aja, gue mau coba motor pentaris." Tukas Rudi.

Kebiasaan anak itu emang.

"Awas nyasar, nggak bisa balik nanti lu." Kelekar Adi.

"Aman, gue nanti ikut di belakang kalian."

"Ya udah kalo gitu. Jujur gue masih belum sanggup kayaknya kalo kudu naik motor." Ucapku. Walau sedikit masih ada rasa nggak nyaman jika harus bertemu dengan pak Adi, tapi ya gimana, gue cuma bisa anggap semalam itu cuma mimpi buruk aja, jangan di bawa ke pekerjaan, nanti malah menurunkan keprofesionalan ku.

"Iya bayangin jalannya aja dah bikin gue mau nyerah." Jawab Adi.

Tak lama pak Supri datang dengan membawa mobil Jeep. Yang orang sekitar menyebutnya mobil Helen.

"Maaf den agak lama, ada masalah sedikit sama mobilnya tadi." Ucap pak Supri sembari turun.

"Nggak papa pak, yang penting nggak ada masalah lagi kan?" Tanyaku.

"Aman den. Jadi mau berangkat sekarang?" Tanyanya.

Aku menoleh ke arah Rudi, bertanya melalui tatapanku.

"Ayok aja gue mah, udah siap juga motornya." Jawab Rudi.

"Ya udah pak, ayok jalan."

Kami segera naik dan pak Supri langsung menjalankan mobil dan menjelaskan area yang akan aku handle kedepannya. Luas dari area ini sekitar 600 hektar dan seluruhnya diisi oleh pohon sawin. Lahannya pun cukup curam dengan sedikit perbukitan dan lahan gambut. Lalu perkebunan sawit ini dikelilingi oleh hutan belantara, yang menurut penjelasan pak Supri yang sudah tinggal di sini sedari remaja. Tidak ada desa terdekat, hanya ada pemukiman kecil yang diisi oleh penduduk pribumi. Mereka jarang menunjukkan diri. Dan kampungnya pun terletak jauh di dalam hutan. Akses jalannya pun hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua.

"Mereka jarang keluar den. Paling ke kamp kalo pas panen saja. Atau kadang mereka datang untuk menjual hasil buruan." Jelas pak Supri.

"Wah, udah mirip suku pedalaman ya pak?" Tanya adi

"Iya, pak. Cuma mereka nggak tertutup banget, kadang ada beberapa yang suka main ke kamp untuk sekedar nonton tv. Oh iya istri saya juga termasuk orang sana."

Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan pak Supri.

Pak Supri juga menambahkan. Pekerja yang tinggal di kamp juga jarang pergi keluar desa. Mereka hanya bekerja dan bekerja, katanya sih malas kalo harus pergi keluar. Karena terlalu jauh.

Tidak heran sih, karena menurutku akan membuang waktu hanya untuk pergi ke kota, apalagi jarak waktu yang ditempuh cukup jauh, belum lagi jika tidak punya sanak saudara di kota, mereka akan bermalam di sana.

"Jadi kebutuhan mereka gimana pak?"

"Ya itu tadi. Kami mengandalkan orang pribumi yang datang menjual sayuran. Kalo kebutuhan pokok, PT sudah menyediakan koprasi, yang bisa dibilang lengkap jadi nggak perlu repot pergi keluar lagi."

Wajar jika mereka lebih memilih tetap tinggal. PT juga terlihat memperhatikan kondisi mereka. Walau dari segi kenyamanan memang belum terjamin. Terlebih, penduduk kamp emang dihuni oleh orang-orang yang berasal dari daerah sini. Dan kebanyakan, mereka itu sudah turun temurun tinggal di tempat ini. Hanya saja untuk pekerja dan pemanen kebanyakan berasal dari luar.

"Orang-orang asli sini kebanyakan nggak mau manen pak, nggak sanggup, jadi pemuda di sini lebih milih kerja jadi supir atau bantu-bantu saja, yah ada sih beberapa yang ikut kerja. Karena mereka kan bisa dibilang tinggal di area PT, jadi ya harus ikut andil agar tidak di usir, cuma ya itu. Paling-paling, satu rumah itu yang kerja di PT cuma satu orang saja."

"Udah mirip kayak kampung gitu nggak sih?" Tanya Adi.

"Ya kurang lebih begitu pak, mereka tubuh besar di sini, jadi sudah menganggap tempat ini sebagai kampung halaman mereka."

"Terus, untuk anak remaja, kalo cari pasangan gimana? Masa iya cuma sama tetangga aja, kalo gitu saudara semua dong?" Tanya Adi polos.

Pak Supri nggak menjawab, dia hanya tersenyum kecil sembari mengalihkan pembicaraan dan menjelaskan beberapa area yang ada di sekeliling kami.

Aku sebenarnya cukup penasaran juga dengan jawaban pak Supri atas pertanyaan Adi. Agak aneh kan kalau di sini cuma hanya ada satu kamp saja, dan hanya dihuni sekitar 100 orang yang mana mereka jarang keluar dari PT. Lalu?

Ah... Sepertinya itu bukan ranah ku untuk tahu. Aku lebih menyimak penjelasan pak Supri sembari melihat peta denah di GPS yang diberikan oleh PT.

Melihat lokasi yang ada di sekitar. Hingga tak terasa setengah hari berlalu. Pak Supri mengantarkan kami dari ujung hingga ujung lagi. Jam sudah menunjukkan pukul 12 lewat, sepertinya butuh waktu lama untuk mengelilingi area yang luasnya 600 hektar ini. Dan bisa dibilang. Hari ini kami belum sepenuhnya melihat aera lahan sawit milik PT.

"Semakin siang makin panas yah?" Keluh Adi.

"Iya pak, di sini emang terkenal panas, wajar lahan gambut dan juga kebun sawit. Orang bilang angin nggak sampai bawah. Jadi panas banget."

"Buka baju nggak papa kan pak?" Tanya Adi yang ku lihat kaus yang dia kenakan sudah basah oleh keringat.

"Nggak papa pak, wajar kalo bapak kepanasan."

Aku hanya menggeleng kecil melihat kelakuan temanku itu, Mataku masih tertuju pada area sawit yang sedikit yak terawat, ada banyak pr yang harus aku selesaikan sepertinya.

Lalu saat mobil hampir sampai ke areka kamp, kami melewati sebuah sungai yang cukup besar, dari airnya saja terlihat jernih sekali. Melihatnya saja sudah membuatku berpikir bepata segarnya mandi di sungai ini.

"Gila sih, gue rasa dari tadi tiap lewat sungai, bening semua jir. Jadi pengen nyemplung panas-panas gini." Ujar Adi.

"Iya pak, sungai di sini memang masih bersih, belum tercemar. Soalnya air di sini sumber kehidupan kami, mandi cuci dan air minum pun dari sungai ini. Jadi sebisa mungkin kami jaga kealamiannya.

"Ohh... Pantes kayaknya saya liat jarang banget orang-orang pake kamar mandi di kamp." Ucapku.

"Iya den, kamar mandi di camp cuma buat bab saja. Urusan mandi dan mencuci pada di sungai semua." Aku mengangguk, wajar sih. Di kamp memang tidak ada sumur ataupun sumber air. Bahkan air di rumah dinas ku pun katanya berasa dari sungai ini.

Tak lama mobil kami melewati sungai kedua yang menjadi sungai terakhir sebelum sampai di kamp. Kata pak Supri sungai inilah yang digunakan warga untuk mandi dan mencuci, serta untuk urusan memasak di rumah.

Dari kejauhan aku melihat ke arah sungai. Dan sedikit terkejut begitu melihat banyak ibu-ibu dan anak-anak yang terlihat asik dengan kegiatan mereka masing-masing. Anak-anak yang asik berenang dan ibu-ibu yang terlihat mencuci serta ada beberapa yang mandi juga.

Begitu mobil bergerak mendekati ke arah mereka, aku lebih terkejut lagi. Pasalnya ibu-ibu yang sedang mencuci di sana terlihat dengan santainya mencuci tanpa mengenakan pakaian, hanya berlapis-lapis bh saja yang membuat tubuh mereka terekspos sempurna.

Aku dan Adi saling lirik, dan melihat ke arah sungai.

Ada 5 orang wanita, dua orang yang terlihat seperti masih remaja dan juga satu orang yang sudah lanjut usia. Mereka asik ngobrol dan tertawa. Dan semuanya sama, 6 orang hanya mengenakan bh, dan dua lagi mengenakan kain tipis melingkari dada sampai paha mereka, yang mana itu sama sekali tidak menutupi aurat mereka. Aku meneguk ludah pelan melihat pemandangan itu, ya bagaimana tidak, untuk seorang wanita yang biasanya akan sibuk menutupi tubuh mereka, ini malah memamerkan begitu saja.

"Harap maklum den, di sini memang gitu. Sudah didikan dari kecil, jadi sesama orang kampung tidak ada yang saling ditutup-tutupi. Bahkan kalo sore. Mereka bisa Manding bareng tanpa pakai baju." Ujar pak Supri sembari terkekeh. Dia seperti tahu dengan isi kepala kami melihat pemandangan ini.

Lalu pak Supri menepikan mobil tak jauh dari jembatan.

"Yuk turun, biar nggak penasaran." Ajak pak Supri.

"Eh...." Aku dan Adi terkejut bersamaan.

"Katanya tadi penasaran sama air di ini. Mumpung lagi ada ibu-ibu, biar saya kenalkan sekalian." Ujar pak Supri dengan santainya.

"Nggak papa pak? Kita bukan orang sini loh." Tanya Adi.

"Nggak papa, pak. Kan bapak orang dari PT. Yang bakal ngurus kami nantinya." Jawab pak Supri.

"Emm... Kayaknya nggak usah deh pak nggak sopan gitu."

"Nggak papa, den. Justru sekalian kenalan, Aden kan cuma kenalan sama para pekerja aja tadi, biar ibu-ibu tahu atasan baru di tempat ini."

"Yakin pak, mereka em... Cuma pake Daleman aja loh... Nanti di kira cabul pula?" Tanyaku ragu-ragu.

"Kan udah saya bilang, den. Di sini mah ngga perlu terlalu formal, kami udah biasa sama hal begituan, soalnya udah kebiasaan dari kecil. Jadi nggak usah malu atau ngerasa nggak sopan. Emmm... Kalo orang bilang. Udah budayanya gini." Jelas pak Supri.

Aku mengerutkan kening mendengar penjelasan dari pak Supri. Emang beneran nggak papa? Ini mereka cuma pake bh woy. Mana tuh bh udah buluk (lusuh) semua lagi.

Tete mereka aja hampir kelihatan gitu. Buset dan benar-benar cari masalah ini pak Supri.

Agak nggak enak sih sebenarnya, tapi mau menolak, Adi justru sudah turun terlebih dahulu menyusul pak Adi. Dan karena itu mau tak mau aku ikut turun.

"Bu Dewi, Bu Sinta, Bu Ratna. Ini ada pak asisten, kenalan dulu?" Ucap pak Supri sembari berjalan mendekat. Aku saling balas tatap dengan Adi. Lalu tak lama Rudi datang menghampiri kami.

"Pada ngapain?" Tanya Rudi sembari memarkirkan motornya.

"Kenalan sama ibu-ibu kata pak Supri." Jawab Adi.

"Oh..."

Lalu tak lama ibu-ibu tadi berdiri dan berjalan mendekat ke arah kami.

Aku terpelongo seketika saat mereka berdiri dan berjalan tanpa malu menghampiri kami. Mereka bisa dikatakan setengah telanjang. Karena hanya mengenakan bh lusuh dan CD yang juga terlihat sudah lusuh kedodoran, apalagi karena Baru berendam air. Membuat penampilan mereka terlihat seksi dan memukau. Apalagi masih ada bulir Ari yang menetes turun melewati kulit mereka.

Dan satu hal yang membuatku meneguk ludah beberapa kali. Payudara mereka hampir memiliki ukuran yang besar, yah walau tidak sebesar milik nik Sri. Karena bagiku payudara bik Sri tuh payudara terbesar yang pernah ku lihat, ukuran jumbo super gondal gandul mantap pokoknya.

Tapi tetap saja, siapa laki-laki yang tak tergoda melihat wanita yang hanya mengenakan bh dan CD berjalan mendekati.

Aku pun tak bisa lepas dari belahan payudara yang terlihat sempit itu.

Uh.... Gila! Gila! Gila! Bisa beneran gila aku lama-lama di sini.

"Wah ada pak asisten baru, gantiin pak Roni ya, pak?" Tanya salah satu wanita yang berjalan paling depan, dia menghampiri ku lalu mengulurkan tanya tanpa ada rasa sungkan sedikitpun.

Bahkan mereka tak terganggu saat melihat kami sedikit terpelongo melihat penampilan mereka.

Aku herdeham sebentar, lalu menyambut uluran tangan mereka satu persatu.

Yang pertama tadi namanya bu Ratna, usianya 38 tahun. Dengan postur tubuh ideal, tidak kurus dan tidak gemuk. Payudara proporsional, dan bokong yang aduhai. Aku menelan ludah berkali-kali tiap kali melihat belahan payudaranya yang terpampang jelas di hadapanku.

Yang kedua menghampiri ku namanya bu sinta, usianya 40 tahun. Memiliki tubuh paling gemuk diantara mereka dengan lipatan lemak di perut yang cukup banyak. Payudaranya pun terlihat paling besar diantara mereka. Serta pantat yang biasa saja menurutku. Karena dia memiliki postur tubuh gendut jadi ya wajar saja.

Ketiga, Bu Dewi, usianya 29 tahun. Kurus dengan payudara yang paling kecil diantara mereka, lalu bodinya biasa saja, yah bukan seleraku.

Ke empat Bu Nuni. Ini yang bisa dibilang masuk ke dalam seleraku. Umurnya 30 tahun. Tubuh standar, tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus, payudara besar, yang ku taksir sekitar 36D karena bh yang dia kenakan seolah tidak mampu menutupi seluruh payudaranya, bahkan area coklat yang di sekitar puting terlihat jelas di sana. Pantat besar nan bulan membuatku berkali-kali menelan ludah dan melotot melihat pemandangan ini.

Benar-benar gila! Rasanya aku akan betah tinggal lama-lama di sini. Dan AH.... Apakah aku akan dimanjakan dengan lingkungan baru ini.

Sungguh luar biasa. Melihat mereka tidak canggung bahkan sama sekali tidak tersinggung saat kami menatap ke arah payudara serta selangkangan mereka saja sudah membuat ku dan kedua temanku puas menatap pemandangan indah itu.

Bahkan kami sudah tidak peduli lagi dengan penjelasan dari pak Supri yang memperkenalkan kami.

Bodo amat! Bagiku Di kasih pemandangan kayak gini, ya jangan disia-siakan. Sikat aja!
 
Bab 5

Pagi itu aku di sambut dengan payudara gondal gandul milik bik Sri yang bergerak ke sana kemari seiring pergerakan pemiliknya.

Pagi ini saat aku bangun, Beliau tengah mengepel lantai ruangan tamu dan ruang makan yang membuatku langsung memilih duduk di meja makan sembari menonton suguhan indah itu lagi.

Pagi ini Bu Sri hanya mengenakan daster pendek sebatas paha tanpa bra hingga puting besarnya itu tercetak jelas.

Aku disuguhkan kopi dan satintoples cemilan, sembari menikmati pemandangan itu. Aku membakar satu batang rokok. Bik Sri tanpa risih melakukan kegiatannya. Pergerakan tangan yang tengah mengepel lantai itu membuat payudara tanpa bh bergerak gondal gandul. Santapan nikmat sembari menyesap kopi.

"Aden mau sarapan dulu apa nanti saja?" Tanya bik Sri tanpa menatapku.

"Nanti aja bi, lagian hari ini nggak banyak kegiatan." Jawabku.

Ini hari ketiga aku di rumah dinas ini, dan aku sudah mulai terbiasa dengan apa yang dilakukan bik Sri, hanya saja komandan di bawah sana masih belum terbiasa, karena tiap kali melihat penampilan bik sri membuat komandan selalu tegang.

Beruntung pagi ini aku hanya mengenakan celana boxer tanpa celana dalam dan baju atasan alias bertelanjang dada. jadi saat komandan tegang tidak membuatnya sesak.

Saat bik Sri membelakangi ku dan memeras kain pel, Otomatis tubuhnya yang membungkuk dan membuat daster bagian bawah ikut terangkat karena pantatnya yang besar, di sana aku bisa melihat jika pagi itu bik Sri tidak mengenakan celana dalam.

Sial! Dari posisi ku saat ini aku bisa melihat dengan jelas vagina bik Sri. Vagina dengan bulu jembut yang lebat itu terpampang jelas di mataku. Membuat komandan semakin memberontak di bawah sana.

Gairah pagi hari memang sulit untuk ku kembalikan, bahkan sekarang jangan kananku sudah turun untuk mengelus komandan.

Bodo amat lah! Siapa suruh mancing gairahku. Lagian kesempatan kayak gini jangan disia-siakan lah. Kapan lagi coba. Uh! Bik Sri. Aku pengen ngentot pentil mu bik! Aku pengen jilat memek mu yang tembem itu .....

Aku segera mengeluarkan penisku dari dalam boxer. Sembari membayangkan tubuh indah bik Sri aku mulai mengocok penisku pelan.

Bik sri kembali bergerak ke sana kemari mengepel lantai tanpa memperhatikan ku.

Aku terus mengocok sembari membayangkan penisku yang di jepit diantara belahan payudaranya.

Aku melenguh pelan. Ku hisapnlsgi batang rokokku dengan tatapan yang tak lepas dari tubuh bik Sri.

Kini di mataku bik Sri tengah telanjang bulat, payudaranya yang bebas itu bergerak ke sana kemari. Memeknya yang ditumbuhi bulu lebat terlihat jelas.

Aku membayangkan bik Sri tengah mengangkang di hadapanku, mengobok memeknya dengan jari lentiknya. Dia mendesah pelan, membuat rasa nikmat kini ku rasakan.

Desahan lembut dan indah itu terngiang di kepalaku. Bayangan tubuh montok dengan payudara besar dan puting yang juga besar menari-nari di kepala ku.

Aku mempercepat kocokan. Penisku mulai menegang rasanya aku akan keluar saat ini juga.

"Ahhh.....!" Aku melenguh seringin air mani ku yang muncrat ke lantai di bawah meja.

Aku terdiam sejenak. Menikmati sisa Onami yang baru saja aku dapatkan.

Tak ingin aksiku ketahuan, aku segera memasukkan penisku ke dalam boxer lagi.

Lalu setelahnya bik beri menghadap kearahku seraya bertanya.

"Aden kenapa?"

Aku yang baru sana Onami sembari membayangkan tubuh bik Sri langsung gelagapan. "Eh... Nggak papa kok bi."

"Oh kirain Aden kenapa, bibik pikir Aden manggil bibik tadi..."

Sial! Apa dalam lamunanku tadi aku memanggil namanya? Ku harap tidak, karena jika iya maka betapa malunya aku.

"Ehh enggak kok bik."

"Oalah, ya udah kalo gitu." Ujar bibi sembari membawa ember dan kain pel ke arahku. "Permisi sebentar ya den, mau bibik pel?"

"Oh ... Ehh... Iy... Iya bi!" Aku gelagapan seketika. Ku pikir bibi sudah mengepel lantai di bawah meja.

Aduh! Kalo bibi liat pejuh ku gimana coba.

Karena takut mengangguk aku memilih beranjak. Mendorong kursi yang aku duduki kebelakang dan berdiri tepat di sebelah bik Sri.

Ku lihat bik Sri menatap ke arah selangkangan ku. Lalu terlihat dia tersenyum kecil sebelum kembali mengepel.

Aku segera bergegas ke kamar mandi. Lalu mandi untuk membersihkan diri.

Persetan jika bibik lihat pejuhku. Bodo amat! Salah sendiri pagi-pagi dah buat orang pengen aja!

===

Siang itu aku sibuk dengan pekerjaan dan masih menginput beberapa data di kantor. Tak lama berselang Rudi datang dan duduk di hadpanku.

"Kayaknya kita bakal dalam masalah dit." Ujarnya pelan membuatku mengerutkan kening seketika.

"Kenapa?" Tanyaku heran.

"Bukan cuma lahan aja yang parah, ternyata hasil produksi nggak sampai target."

"Serius?"

Rudi mengangguk. "Hari ini dan kemaren benar-benar di bawah target produksi. Padahal kalo gue lihat-lihat kemaren. Buah setiap area itu setidaknya cukup buat capai target, tapi udah dua hari lewat, belum juga nyentuh target."

"Coba lo liat besok di area, gimana cara pemanen kerja. Tanya juga kira-kira ada hambatan nggak. Kalo semisal emang buah banyak tapi nggak capai target berarti kinerja mereka yang kurang maksimal, dan kalo bener. Coba kita sosialisasi besok."

"Oke deh, besok gue coba cek. Sama ini hasil laporan hari ini." Ujar Rudi.

"Kasih ke Adi dulu biar di kerjain, gue masih ada kerjaan lain."

"Ya udah kalo gitu. Gue cabut yak!"

"Mau ke mana?" Tanyaku.

"Jalan-jalan! Lagian kerjaan gue udah kelar kan?"

Aku hanya mengangguk, diantara kami bertiga Rudi memang memiliki pekerjaan yang lebih ringan. Walau dari segi gaji tetap jauh berbeda. Tapi ya sudahlah, aku kembali fokus dengan pekerjaan ku hingga tak terasa sore datang menjelang.

Aku merentangkan tangan ku. Lalu melihat cangkir kopi yang sudah kosong di tanganku. Segera aku berangak, lalu berjalan pulang untuk meminta bik Sri membuatkan kopi lagi. Karena aku harus kerja dua jam lagi sebelum pekerjaan ku selesai.

"Bik! Bik!" Aku memanggil Bik Sri.

"Iya den, bibi di dalem!" Jawab bibik dari ruang tv.

Aku segera masuk. Dan meminta bibi untuk membuatkan ku kopi. Seperti pagi tadi. Bik Sri masih mengenakan daster pendek itu. Beliau tengah duduk di sofa sembari nonton tv dengan kaki yang selonjoran di atas sofa. Paha mulus itu langsung menyapaku. Melambai seolah minta untuk di elus.

"Buatkan kopi dong bik!" Pintaku.

"Loh. Masih kerja den?"

"Iya bik masih ada kerjaan dilit lagi."

"Tapi udah sore loh den. Nggak besok aja?"

"Gimana ya bi, besok Minggu, waktunya libur. Jadi ya sebisa mungkin dikerjain sekarang."

"Oalah, ya udah kalo gitu. Sebentar bibik buatkan."

Bik sri segera beranjak dari sofa. Lalu mengambil gelas yang ku ulurkan hingga membuat jarak kami sangat dekat. Dari sini aku bisa melihat jelas payudara bik Sri yang tertutup kain daster tipis.

Wangi keringat langsung menguar menyeruak ke dal hidungku. Aku menggeleng pelan untuk menyadarkan diri.

"Sabar-sabar! Inget masih ada kerjaan! Jangan aneh-aneh dulu!" Batinku memberontak.

"Nanti antar ke kantor ya bik!" Ujarku sembari lalu kembali ke dalam kantor.

Aku takut jika terlalu lama berhadapan dengan bok Sri aku tak bisa menahan diri dan malah menyergapnya saat itu juga.

===

Singkat cerita. Hari sudah hampir petang, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore dan sejam yang lalu bik Sri sudah pamit untuk pulang lebih awal.

Aku segera mengakhiri pekerjaan ku lalu kembali pulang. Segera aku mengambil handuk dan mandi. Lalu setelah siap aku kembali ke kamar untuk memakai baju.

Di sela itu, aku melihat sebuah map yang hampir tiga hari ini tergeletak di atas meja tanpa tersentuh. Map yang kemaren ditanyakan oleh pak Roni saat aku menghubungi beliau.

Kata pak Roni map itu sangat penting dan jangan sampai hilang. Dan karena itu membuat ku merasa penasaran.

Aku segera meraih map itu, dan segera membuka serta membaca isinya.

Surat keterangan serah terima.

Adalah tulisan yang ada di sampul map.

Aku segera membaca isi map tersebut.

===

Surat penyataan dan perjanjian.

Saya atas nama supriyanto alamat desa waringin jaya, kecamatan *** provinsi *** kabupaten Palembang menyatakan.
1. Bahwa saya dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, serta tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun membuat surat ini sebagai bukti perjanjian yang saya buat atas kesaksian pak Roni serta pak RT dan ketua dusun setempat.
2. Bahwa saya sudah menyetujui perjanjian kawin kontrak atas nama Sri Wahyuni yang mana tak lain adalah istri saya selama satu tahun penuh dengan nominal yang sudah di janjikan. Yaitu 10 juta Rupiah.
3. Bahwa saya tidak akan atau menarik surat perjanjian ini sebelum masa kontrak habis. Dan jika saya melakukan itu. Maka saya siap menerima saksi denda sebesar 3x lipat dari yang kontrak.

Ada pun perjanjian yang disetujui antara lain.
1. Menyetujui istri saya yang bernama sri Wahyuni Melakukan kawin kontrak dengan keponakan pak Roni yang bernama Adit Satria Wiguna.
2. Menyetujui dan mewajibkan Sri Wahyuni untuk melayani Adit Satria Wiguna seperti halnya melayani suaminya.
3. Mewajibkan istri saya Sri Wahyuni menuruti semua perkataan Adit Satria Wiguna sebagai suami kontrak.

Adapun tanggung jawab Adit Satria Wiguna sebagai pemilik kontrak diantaranya.
1. Selama kontrak berlaku, diwajibkan Menafkahi Sri Wahyuni sebagaimana mestinya seorang suami menafkahi istri.
2. Mengizinkan Sri Wahyuni untuk melakukan kewajibannya kepada suami. supriyanto seperti biasanya.
3. Memberi uang untuk keluarga Sri Wahyuni sebesar 500rb rupiah setiap bulannya.

Begitu sekiranya kontrak ini di buat atas kesepakatan bersama dan tanpa ada paksaaydari pihak manapun.

Yang mengetahui.

Saksi sah.
Roni Setiawan.

Yang mengajukan.
Supriyanto.

Saksi hukum.
Sugeng Waluyo.
Muhadi.
Sri Handayani.

Yang bertanggung jawab sebagai pemilik kontrak.
Adit Satria Wiguna.

===

Aku tertegun saat melihat isi dari map tersebut, terlebih saat melihat empat materai yang ditandatangani oleh beberapa orang saksi dan salah satunya aku.

What? Serius?

Kenapa gue asal aja tandatangan tanpa membaca isi kontrak tersebut.

Dan apa-apaan ini? Kenapa pak Roni nggak bilang dulu ke aku?

Atau jangan-jangan, ini adalah hadiah yang dia kasih ke aku sebelum aku datang?

Sial!

Ini nggak bercanda kan?

Sumpah! Apa-apaan dengan kontrak kawin kontrak, dan kontrak apa sebenarnya ini!

Tunggu!

Aku membaca isi perjanjian poin 2.
Melayani Adit sebagai Sri melayani suaminya?
Jangan bilang.... What the... Jangan bilang aku bisa ngentot bik Sri semua gue dengan adanya kontrak ini?!

Wah... Wah... Kayaknya aku harus memastikan isi kontrak ini langsung ke pak Supri. Aku nggak bisa asal percaya aja. Apalagi aku berada di desa orang dan langsung main sikat aja. Salah-salah bisa runyam masalahnya!
 
lanjutkan suhu updatenya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd