Bab 4
"Kenapa Lo? Suntuk banget kayaknya tuh muka?" Tanya Rudi tepat setelah aku memperkenalkan diri pada pekerja pagi ini. Sengaja aku mengumpulkan mereka sebelum bekerja. Untuk memperkenalkan diri dan juga memperkenalkan kedua teman ku ini.
Sekarang baru jam 7:30 tapi mereka sudah berangkat beraktivitas setelah aku menutup acara pagi ini.
Aku menghela napas sebentar, mimpi semalam masih terbayang-bayang di benakku.
"Mimpi buruk gue." Keluhku.
"Yaelah. Baru juga semalam di sini, udah nggak betah aja lu!" Jawab Adi.
"Bukan masalah nggak betah, cuma ini lain."
"Jadi?"
"Ada lah pokoknya..." Balasku yang tentu saja malas untuk menceritakan pengalaman ku malam tadi. Malu dan aneh jika aku membicarakan hal yang intim bagiku.
"Pak Supri mana? Bukannya kita mau keliling area?" Ujarku mengalihkan pembicaraan.
"Masih ngambil mobil katanya." Jawab Adi.
"Kalian naik mobil aja, gue mau coba motor pentaris." Tukas Rudi.
Kebiasaan anak itu emang.
"Awas nyasar, nggak bisa balik nanti lu." Kelekar Adi.
"Aman, gue nanti ikut di belakang kalian."
"Ya udah kalo gitu. Jujur gue masih belum sanggup kayaknya kalo kudu naik motor." Ucapku. Walau sedikit masih ada rasa nggak nyaman jika harus bertemu dengan pak Adi, tapi ya gimana, gue cuma bisa anggap semalam itu cuma mimpi buruk aja, jangan di bawa ke pekerjaan, nanti malah menurunkan keprofesionalan ku.
"Iya bayangin jalannya aja dah bikin gue mau nyerah." Jawab Adi.
Tak lama pak Supri datang dengan membawa mobil Jeep. Yang orang sekitar menyebutnya mobil Helen.
"Maaf den agak lama, ada masalah sedikit sama mobilnya tadi." Ucap pak Supri sembari turun.
"Nggak papa pak, yang penting nggak ada masalah lagi kan?" Tanyaku.
"Aman den. Jadi mau berangkat sekarang?" Tanyanya.
Aku menoleh ke arah Rudi, bertanya melalui tatapanku.
"Ayok aja gue mah, udah siap juga motornya." Jawab Rudi.
"Ya udah pak, ayok jalan."
Kami segera naik dan pak Supri langsung menjalankan mobil dan menjelaskan area yang akan aku handle kedepannya. Luas dari area ini sekitar 600 hektar dan seluruhnya diisi oleh pohon sawin. Lahannya pun cukup curam dengan sedikit perbukitan dan lahan gambut. Lalu perkebunan sawit ini dikelilingi oleh hutan belantara, yang menurut penjelasan pak Supri yang sudah tinggal di sini sedari remaja. Tidak ada desa terdekat, hanya ada pemukiman kecil yang diisi oleh penduduk pribumi. Mereka jarang menunjukkan diri. Dan kampungnya pun terletak jauh di dalam hutan. Akses jalannya pun hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua.
"Mereka jarang keluar den. Paling ke kamp kalo pas panen saja. Atau kadang mereka datang untuk menjual hasil buruan." Jelas pak Supri.
"Wah, udah mirip suku pedalaman ya pak?" Tanya adi
"Iya, pak. Cuma mereka nggak tertutup banget, kadang ada beberapa yang suka main ke kamp untuk sekedar nonton tv. Oh iya istri saya juga termasuk orang sana."
Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan pak Supri.
Pak Supri juga menambahkan. Pekerja yang tinggal di kamp juga jarang pergi keluar desa. Mereka hanya bekerja dan bekerja, katanya sih malas kalo harus pergi keluar. Karena terlalu jauh.
Tidak heran sih, karena menurutku akan membuang waktu hanya untuk pergi ke kota, apalagi jarak waktu yang ditempuh cukup jauh, belum lagi jika tidak punya sanak saudara di kota, mereka akan bermalam di sana.
"Jadi kebutuhan mereka gimana pak?"
"Ya itu tadi. Kami mengandalkan orang pribumi yang datang menjual sayuran. Kalo kebutuhan pokok, PT sudah menyediakan koprasi, yang bisa dibilang lengkap jadi nggak perlu repot pergi keluar lagi."
Wajar jika mereka lebih memilih tetap tinggal. PT juga terlihat memperhatikan kondisi mereka. Walau dari segi kenyamanan memang belum terjamin. Terlebih, penduduk kamp emang dihuni oleh orang-orang yang berasal dari daerah sini. Dan kebanyakan, mereka itu sudah turun temurun tinggal di tempat ini. Hanya saja untuk pekerja dan pemanen kebanyakan berasal dari luar.
"Orang-orang asli sini kebanyakan nggak mau manen pak, nggak sanggup, jadi pemuda di sini lebih milih kerja jadi supir atau bantu-bantu saja, yah ada sih beberapa yang ikut kerja. Karena mereka kan bisa dibilang tinggal di area PT, jadi ya harus ikut andil agar tidak di usir, cuma ya itu. Paling-paling, satu rumah itu yang kerja di PT cuma satu orang saja."
"Udah mirip kayak kampung gitu nggak sih?" Tanya Adi.
"Ya kurang lebih begitu pak, mereka tubuh besar di sini, jadi sudah menganggap tempat ini sebagai kampung halaman mereka."
"Terus, untuk anak remaja, kalo cari pasangan gimana? Masa iya cuma sama tetangga aja, kalo gitu saudara semua dong?" Tanya Adi polos.
Pak Supri nggak menjawab, dia hanya tersenyum kecil sembari mengalihkan pembicaraan dan menjelaskan beberapa area yang ada di sekeliling kami.
Aku sebenarnya cukup penasaran juga dengan jawaban pak Supri atas pertanyaan Adi. Agak aneh kan kalau di sini cuma hanya ada satu kamp saja, dan hanya dihuni sekitar 100 orang yang mana mereka jarang keluar dari PT. Lalu?
Ah... Sepertinya itu bukan ranah ku untuk tahu. Aku lebih menyimak penjelasan pak Supri sembari melihat peta denah di GPS yang diberikan oleh PT.
Melihat lokasi yang ada di sekitar. Hingga tak terasa setengah hari berlalu. Pak Supri mengantarkan kami dari ujung hingga ujung lagi. Jam sudah menunjukkan pukul 12 lewat, sepertinya butuh waktu lama untuk mengelilingi area yang luasnya 600 hektar ini. Dan bisa dibilang. Hari ini kami belum sepenuhnya melihat aera lahan sawit milik PT.
"Semakin siang makin panas yah?" Keluh Adi.
"Iya pak, di sini emang terkenal panas, wajar lahan gambut dan juga kebun sawit. Orang bilang angin nggak sampai bawah. Jadi panas banget."
"Buka baju nggak papa kan pak?" Tanya Adi yang ku lihat kaus yang dia kenakan sudah basah oleh keringat.
"Nggak papa pak, wajar kalo bapak kepanasan."
Aku hanya menggeleng kecil melihat kelakuan temanku itu, Mataku masih tertuju pada area sawit yang sedikit yak terawat, ada banyak pr yang harus aku selesaikan sepertinya.
Lalu saat mobil hampir sampai ke areka kamp, kami melewati sebuah sungai yang cukup besar, dari airnya saja terlihat jernih sekali. Melihatnya saja sudah membuatku berpikir bepata segarnya mandi di sungai ini.
"Gila sih, gue rasa dari tadi tiap lewat sungai, bening semua jir. Jadi pengen nyemplung panas-panas gini." Ujar Adi.
"Iya pak, sungai di sini memang masih bersih, belum tercemar. Soalnya air di sini sumber kehidupan kami, mandi cuci dan air minum pun dari sungai ini. Jadi sebisa mungkin kami jaga kealamiannya.
"Ohh... Pantes kayaknya saya liat jarang banget orang-orang pake kamar mandi di kamp." Ucapku.
"Iya den, kamar mandi di camp cuma buat bab saja. Urusan mandi dan mencuci pada di sungai semua." Aku mengangguk, wajar sih. Di kamp memang tidak ada sumur ataupun sumber air. Bahkan air di rumah dinas ku pun katanya berasa dari sungai ini.
Tak lama mobil kami melewati sungai kedua yang menjadi sungai terakhir sebelum sampai di kamp. Kata pak Supri sungai inilah yang digunakan warga untuk mandi dan mencuci, serta untuk urusan memasak di rumah.
Dari kejauhan aku melihat ke arah sungai. Dan sedikit terkejut begitu melihat banyak ibu-ibu dan anak-anak yang terlihat asik dengan kegiatan mereka masing-masing. Anak-anak yang asik berenang dan ibu-ibu yang terlihat mencuci serta ada beberapa yang mandi juga.
Begitu mobil bergerak mendekati ke arah mereka, aku lebih terkejut lagi. Pasalnya ibu-ibu yang sedang mencuci di sana terlihat dengan santainya mencuci tanpa mengenakan pakaian, hanya berlapis-lapis bh saja yang membuat tubuh mereka terekspos sempurna.
Aku dan Adi saling lirik, dan melihat ke arah sungai.
Ada 5 orang wanita, dua orang yang terlihat seperti masih remaja dan juga satu orang yang sudah lanjut usia. Mereka asik ngobrol dan tertawa. Dan semuanya sama, 6 orang hanya mengenakan bh, dan dua lagi mengenakan kain tipis melingkari dada sampai paha mereka, yang mana itu sama sekali tidak menutupi aurat mereka. Aku meneguk ludah pelan melihat pemandangan itu, ya bagaimana tidak, untuk seorang wanita yang biasanya akan sibuk menutupi tubuh mereka, ini malah memamerkan begitu saja.
"Harap maklum den, di sini memang gitu. Sudah didikan dari kecil, jadi sesama orang kampung tidak ada yang saling ditutup-tutupi. Bahkan kalo sore. Mereka bisa Manding bareng tanpa pakai baju." Ujar pak Supri sembari terkekeh. Dia seperti tahu dengan isi kepala kami melihat pemandangan ini.
Lalu pak Supri menepikan mobil tak jauh dari jembatan.
"Yuk turun, biar nggak penasaran." Ajak pak Supri.
"Eh...." Aku dan Adi terkejut bersamaan.
"Katanya tadi penasaran sama air di ini. Mumpung lagi ada ibu-ibu, biar saya kenalkan sekalian." Ujar pak Supri dengan santainya.
"Nggak papa pak? Kita bukan orang sini loh." Tanya Adi.
"Nggak papa, pak. Kan bapak orang dari PT. Yang bakal ngurus kami nantinya." Jawab pak Supri.
"Emm... Kayaknya nggak usah deh pak nggak sopan gitu."
"Nggak papa, den. Justru sekalian kenalan, Aden kan cuma kenalan sama para pekerja aja tadi, biar ibu-ibu tahu atasan baru di tempat ini."
"Yakin pak, mereka em... Cuma pake Daleman aja loh... Nanti di kira cabul pula?" Tanyaku ragu-ragu.
"Kan udah saya bilang, den. Di sini mah ngga perlu terlalu formal, kami udah biasa sama hal begituan, soalnya udah kebiasaan dari kecil. Jadi nggak usah malu atau ngerasa nggak sopan. Emmm... Kalo orang bilang. Udah budayanya gini." Jelas pak Supri.
Aku mengerutkan kening mendengar penjelasan dari pak Supri. Emang beneran nggak papa? Ini mereka cuma pake bh woy. Mana tuh bh udah buluk (lusuh) semua lagi.
Tete mereka aja hampir kelihatan gitu. Buset dan benar-benar cari masalah ini pak Supri.
Agak nggak enak sih sebenarnya, tapi mau menolak, Adi justru sudah turun terlebih dahulu menyusul pak Adi. Dan karena itu mau tak mau aku ikut turun.
"Bu Dewi, Bu Sinta, Bu Ratna. Ini ada pak asisten, kenalan dulu?" Ucap pak Supri sembari berjalan mendekat. Aku saling balas tatap dengan Adi. Lalu tak lama Rudi datang menghampiri kami.
"Pada ngapain?" Tanya Rudi sembari memarkirkan motornya.
"Kenalan sama ibu-ibu kata pak Supri." Jawab Adi.
"Oh..."
Lalu tak lama ibu-ibu tadi berdiri dan berjalan mendekat ke arah kami.
Aku terpelongo seketika saat mereka berdiri dan berjalan tanpa malu menghampiri kami. Mereka bisa dikatakan setengah telanjang. Karena hanya mengenakan bh lusuh dan CD yang juga terlihat sudah lusuh kedodoran, apalagi karena Baru berendam air. Membuat penampilan mereka terlihat seksi dan memukau. Apalagi masih ada bulir Ari yang menetes turun melewati kulit mereka.
Dan satu hal yang membuatku meneguk ludah beberapa kali. Payudara mereka hampir memiliki ukuran yang besar, yah walau tidak sebesar milik nik Sri. Karena bagiku payudara bik Sri tuh payudara terbesar yang pernah ku lihat, ukuran jumbo super gondal gandul mantap pokoknya.
Tapi tetap saja, siapa laki-laki yang tak tergoda melihat wanita yang hanya mengenakan bh dan CD berjalan mendekati.
Aku pun tak bisa lepas dari belahan payudara yang terlihat sempit itu.
Uh.... Gila! Gila! Gila! Bisa beneran gila aku lama-lama di sini.
"Wah ada pak asisten baru, gantiin pak Roni ya, pak?" Tanya salah satu wanita yang berjalan paling depan, dia menghampiri ku lalu mengulurkan tanya tanpa ada rasa sungkan sedikitpun.
Bahkan mereka tak terganggu saat melihat kami sedikit terpelongo melihat penampilan mereka.
Aku herdeham sebentar, lalu menyambut uluran tangan mereka satu persatu.
Yang pertama tadi namanya bu Ratna, usianya 38 tahun. Dengan postur tubuh ideal, tidak kurus dan tidak gemuk. Payudara proporsional, dan bokong yang aduhai. Aku menelan ludah berkali-kali tiap kali melihat belahan payudaranya yang terpampang jelas di hadapanku.
Yang kedua menghampiri ku namanya bu sinta, usianya 40 tahun. Memiliki tubuh paling gemuk diantara mereka dengan lipatan lemak di perut yang cukup banyak. Payudaranya pun terlihat paling besar diantara mereka. Serta pantat yang biasa saja menurutku. Karena dia memiliki postur tubuh gendut jadi ya wajar saja.
Ketiga, Bu Dewi, usianya 29 tahun. Kurus dengan payudara yang paling kecil diantara mereka, lalu bodinya biasa saja, yah bukan seleraku.
Ke empat Bu Nuni. Ini yang bisa dibilang masuk ke dalam seleraku. Umurnya 30 tahun. Tubuh standar, tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus, payudara besar, yang ku taksir sekitar 36D karena bh yang dia kenakan seolah tidak mampu menutupi seluruh payudaranya, bahkan area coklat yang di sekitar puting terlihat jelas di sana. Pantat besar nan bulan membuatku berkali-kali menelan ludah dan melotot melihat pemandangan ini.
Benar-benar gila! Rasanya aku akan betah tinggal lama-lama di sini. Dan AH.... Apakah aku akan dimanjakan dengan lingkungan baru ini.
Sungguh luar biasa. Melihat mereka tidak canggung bahkan sama sekali tidak tersinggung saat kami menatap ke arah payudara serta selangkangan mereka saja sudah membuat ku dan kedua temanku puas menatap pemandangan indah itu.
Bahkan kami sudah tidak peduli lagi dengan penjelasan dari pak Supri yang memperkenalkan kami.
Bodo amat! Bagiku Di kasih pemandangan kayak gini, ya jangan disia-siakan. Sikat aja!