Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DIBALIK KISAH DENGAN BAPAK MERTUA

Aswasada

Suhu Semprot
Daftar
23 Jun 2022
Post
3.003
Like diterima
28.708
Bimabet
PRAKATA

Cerita ini cuma khayalan tidak terjadi di dunia nyata. Kalaupun ada paling mirip atau kebetulan. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian atau cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Cerita ini hanya cerita oneshoot alias sekali selesai. Jangan meminta penulis untuk melanjutkan karena penulis takut mangkrak seperti kebanyakan cerita di forum ini yang ditinggalkan penulisnya tanpa ada kejelasan. Harapan penulis adalah cerita sederhana dari penulis ini bisa menghibur para pembaca di forum yang kita cintai ini. Selamat menikmati.​

-----ooo-----

Perkenalkan namaku Dewi Juliani, usiaku 27 tahun. Teman dan keluargaku biasa memanggilku Dewi. Aku terlahir dengan darah campuran, ayahku orang Eropa dan ibuku asli Jawa. Sedikit gambaran tentang penampilanku. Wajah tentu indo dan cantik, dengan mata bulat, hidung mancung, serta bibir seksi. Tinggiku 170 cm dengan berat badan 62 kg. Ukuran dada 34 C, masih kencang karena aku belum pernah menyusui. Pinggangku cukup ramping, pantat juga padat berisi.

Aku menikah dengan suamiku, Irwan, tiga tahun yang lalu. Usia suamiku 28 tahun. Dia pria yang tampan dengan tinggi badan 173 cm dan berat 70 kg. Selama tiga tahun masa pernikahan, kami belum dikaruniai anak. Suamiku sangat baik dan penyayang. Dia juga pekerja keras sebagai pegawai bank pemerintah dengan penghasilan cukup besar. Bahkan Irwan sanggup membiayai semua kebutuhan hidup sehari-hari kami tanpa aku ikut bekerja. Sebuah rumah lumayan luas berserta perabotannya dan dua buah mobil adalah hasil kerja kerasnya.

Suatu hari, tanpa diduga sebelumnya, bapak mertuaku tiba-tiba datang ke rumah kami. Bapak mertua sebenarnya tinggal di kota kabupaten yang jaraknya 10 jam perjalanan darat dari rumah tempat tinggal kami. Tentu aku kelimpungan tapi juga senang dengan kedatangan beliau. Bapak mertuaku bernama Marto yang berusia 51 tahun. Dengan semangat aku membereskan kamar untuknya, sementara Irwan dan bapaknya ngobrol di teras belakang sambil menikmati kopi panas dan gorengan.

Tak ada yang bisa menyangkal kalau bapak mertuaku itu berparas tampan. Dalam usianya yang tidak bisa dibilang muda, bapak mertua masih mempunyai tubuh yang tegap dan bidang, terlihat sangat atletis. Rambutnya pendek dan hitam, belum beruban. Kulitnya sawo matang. Berada di dekatnya membuatku berdebar. Memandang wajahnya yang rupawan membuatku berbinar. Namun sayangnya, dia bapak mertuaku. Aku tidak mungkin memperlihatkan rasa sukaku padanya. Ya, itulah perasaanku padanya. Aku tak mau dia tahu bahwa aku suka padanya. Sikap dia pun sangat normal sebagai bapak mertua kepada menantunya.

“Sudah selesai, nduk?” Tiba-tiba bapak mertua menyapaku di ambang pintu kamar.

“Oh ... Tinggal memasang sarung bantal, pak ...” Sahutku sedikit terkejut.

“Cepat sedikit ya nduk ... Bapak sudah ingin berbaring. Badan bapak pegal semua.” Kata mertuaku sembari menghampiriku yang sedang memasang sarung bantak di sisi tempat tidur.

“Apa bapak mau dipijat. Saya bisa memanggil tukan pijat ke sini.” Tawarku.

“Tak usah, nduk ... Bapak hanya perlu berbaring saja. Nanti juga pegalnya hilang.” Katanya sambil duduk di sisi tempat tidur tak jauh dariku.

“Habisnya bapak nyetir sendiri sih? Kenapa tidak naik pesawat saja?” Kataku sambil meletakkan bantal terakhir yang sudah bersarung bantal.

“Bapak sengaja naik mobil dan menyetir sendiri untuk bernostalgia. Itu sudah lama tidak bapak lakukan saat mendiang ibu mertuamu meninggal dunia. Kamu tahu kalau ibu mertuamu lebih suka jalan darat daripada naik pesawat.” Jelas bapak mertua sambil tersenyum.

“Ya, saya tahu ... Tapi bapak kan sudah tua, sudah banyak yang kerasa.” Kataku lagi.

“Kamu ini seperti mendiang ibu mertuamu saja.” Tiba-tiba dia mencubit hidungku. Sontak aku kaget namun senang. Hidungku dicubit sayang seperti ini adalah pertama kalinya bapak mertua berani menyentuhku.

“Ihk ... Bapak ...” Aku bersuara manja sambil mengulum senyum.

“Terima kasih, nduk ... Kamu telah menjadi menantu yang baik. Bapak sangat senang mempunyai menantu sepertimu. Kamu banyak dipuji Irwan dan bapak bangga mendengarnya. Pujian Irwan padamu mengingatkan bapak kepada mendiang ibu. Kalian banyak kemiripan.” Ungkap bapak mertua dan kali ini dia menggenggam kedua tanganku. Aku tertegun. Efek sentuhan tangannya sungguh ajaib membuatku sangat nyaman dan bergelora.

“Saya tidak bisa dibandingkan dengan ibu, pak ... Ibu jauh lebih baik daripada saya.” Kataku sambil meremas tangannya. Sungguh, perasaan senang mengalir begitu saja tanpa diminta dan tanpa terduga.

“Ya ... Terkadang bapak masih belum bisa melupakan ibu. Bayangan ibu masih suka hadir di benak bapak. Meskipun hampir dua tahun ibu telah tiada, tetapi terasa seperti masih ada. Bapak sampai menangis saat merasa ibu sedang memeluk bapak.” Ungkapnya dan entah kenapa aku merasa diberi jalan atas ucapannya itu.

“Bapak bisa memelukku.” Ucapku yang benar-benar spontanitas karena dorongan keinginan yang meledak begitu saja.

Bapak mertua menatapku sejenak dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan. Namun kemudian dia menggeser badannya hingga bersentuhan dengan badanku. Oh Tuhan, dia benar-benar memelukku. Tentu saja aku sambut pelukannya dengan suka cita. Menurutku, ini adalah pelukan yang terbaik di dunia karena pelukannya begitu iklas namun berdampak nikmat. Aku memeluk erat bapak mertua, mengalungkan lenganku di lehernya. Aku bisa merasakan dekapan bapak mertua begitu membuat aku merasa hangat dan nyaman.

Tak lama berselang, terasa pipiku diciumnya. Serta merta bulu-bulu halus di sekujur tubuhku meremang. Ada gelenyar rasa aneh yang melanda seketika. Memberikannya sebuah sensasi menenangkan ketika bibirnya menyentuh kulit pipiku. Tetapi kemudian aku harus kecewa tatkala bapak mertua mengurai pelukannya. Aku seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Sial, aku masih ingin dipeluknya lagi.

“Bapak mau tidur sebentar. Kalau kebablasan, bangunkan bapak saja ya.” Ucapnya.

“Ya.” Jawabku singkat.

Aku beranjak dari tempat tidur lalu berjalan ke pintu. Sebelum menutup pintu, aku menatap bapak mertua yang sudah berbaring di atas kasur. Dia pun membalas tatapanku. Tatapan kami seakan memiliki arti. Seakan memiliki maksud tersendiri. Dia pun tersenyum lalu memejamkan mata. Aku segera menutup pintu kamar dan berjalan mengarah ke dapur. Sejujurnya, aku bingung harus bagaimana menyikapinya atas kejadian yang baru saja kualami, karena memang hatiku benar-benar gundah, takut mengambil suatu kesimpulan yang salah.

“Tadi bapak bilang ingin istirahat. Apakah kamarnya sudah siap?” Tanya suamiku saat aku sampai di dapur.

“Baru saja selesai. Bapak sudah berbaring dan istirahat.” Jawabku sambil mengambil gelas dari atas meja lalu mencicikan air putih dari teko plastik ke dalam gelas. Aku minum air putih itu sampai habis.

“Bapak akan tinggal di sini dalam waktu seminggu. Aku minta kamu tidak keberatan.” Kata suamiku lagi.

“Aku bahkan menginginkan dia tinggal di sini selamanya. Aku ingin sekali mengurusnya. Kasian bapak harus tinggal sendiri di kampung.” Kataku seraya duduk di kursi meja makan samping suamiku.

“Aku juga begitu. Tapi bapak bilang tidak ingin merepotkan kita. Lagi pula, bapak punya lahan pertanian yang harus diurus.” Ungkap Irwan.

“Kamu bisa membujuknya lagi untuk tinggal di sini. Aku kasian kalau bapak harus masih banting tulang. Sudah saatnya bapak diam dan menikmati hidup. Lagian, aku melihat bapak belum bisa melupakan ibu. Bapak bilang kalau dia masih teringat-ingat sama ibu.” Jelasku.

“Ya ... Bapak memang sangat menyayangi ibu.” Ujar Irwan dengan nada sendu.

Setelah ngobrol bersama suamiku beberapa menit, aku mulai memasak untuk makan malam. Aku memasak makanan kesukaan bapak mertua, yaitu kangkung asam manis, ikan asin yang digoreng kering, dan sambal terasi. Irwan membantuku sambil ngobrol kesama-kemari. Saat masakan telah tersaji, aku mandi dan mengganti pakaian. Aku pilih mengenakan kaos yang agak ketat agar lekuk tubuhku sedikit terekspos serta rok sebatas lutut yang juga agak ketat. Jujur, aku berdandan seperti ini hanya untuk bapak mertua dengan harapan dia tertarik dengan penampilanku.

Aku keluar kamar dan berjalan menuju dapur. Irwan dan bapak mertua ternyata sudah menungguku untuk memulai acara makan malam. Sekilas aku melirik ke arah bapak mertua yang kebetulan dia sedang memperhatikanku. Hatiku tersenyum saat menemukan raut yang berbeda di wajah bapak mertua. Entah kegeeran atau apalah, aku bisa melihat tatapan kekagumannya padaku sangatlah kentara di matanya yang berbinar. Aku berharap kalau aku tidak salah menilai.

“Ayo ... Kita mulai ...” Kataku sembari mengambil piring lalu menyendok nasi. Setelahnya kuberikan piring isi nasi itu pada suamiku.

“Jangan terlalu banyak.” Ujar bapak mertua saat aku menyiduk nasi untuknya.

“Segini, Pak?” Tanyaku.

“Iya ...” Jawabnya sambil menerima piring berisi nasi dari tanganku.

Akhirnya kami makan malam bersama dengan suasana yang hangat dan meriah yang diselingi canda dan tawa. Tanpa sepengetahuan suamiku, aku terkadang curi-curi pandang dengan bapak mertua, dan sering sekali aku dan bapak mertua saling menatap, tetapi hanya sekilas. Tentu saja aku bermaksud memberinya sinyal dan berharap bapak mertuaku dapat menangkap sinyalku. Bapak mertuaku tersenyum simpul padaku dan aku sangat yakin kalau dia berhasil menangkap sinyal yang aku berikan.

Selepas makan malam, kami bertiga pindah ke ruang tengah. Kami menyaksikan siaran langsung sepakbola Timnas yang sedang berlaga melawan negara tetangga. Suamiku duduk di sofa tunggal agak maju ke depan layar televisi. Dia memang gila bola, apalagi jika Timnas yang berlaga. Suamiku sangat serius dan fokus dengan tontonannya. Sementara aku dan bapak mertua duduk di sofa panjang berdampingan. Posisi kami agak di belakang posisi suamiku.

“Kamu ini memang pecandu sepakbola. Bapak menyesal tidak memasukanmu ke sekolah bola waktu kamu masih kecil.” Ucap bapak mertua sambil menyimpan lengan kirinya di atas sandaran sofa tepat di posisi dudukku.

“Waktu itu bapak malah melarangku bermain bola.” Kata Irwan dengan wajah tidak bergeming terfokus pada layar televisi.

“Waktu kamu kecil, kamu sering sakit-sakitan. Itu alasan kenapa bapak melarangmu main bola.” Kata bapak mertua sembari agak menggeser duduknya hingga badannya menyentuh badanku.

“Ah! Kenapa ditendang!” Irwan berteriak saat pemain Timnas menyia-nyiakan peluang.

Pada saat yang sama, lengan bapak mertua yang berada di sandaran sofa turun ke bahuku. Lengan kirinya langsung merangkul bahuku. Aku pun lebih menyandarkan tubuhku di tubuhnya. Entah setan apa yang bersemayam di otakku, tanpa ragu dan sungkan, aku menghadapkan wajahku ke wajahnya. Kini jarak wajah kami hanya sepersenti saja. Kami saling menatap penuh dengan hasrat. Hingga membiarkan bibir kami bertemu untuk menyampaikan perasaan yang tak terucapkan. Kami sempat bermain lidah sebelum akhirnya melepaskan ciuman karena takut Irwan melihat.

“Awas di kiri tuh!!!” Irwan berteriak lagi sambil menunjuk layar televisi.

“Permainan Timnas kayaknya gak maksimal.” Kata bapak mertua dan tiba-tiba saja telapak tangan kirinya menangkup buah dadaku sebelah kiri. Aku terkejut sesaat, tapi selepas itu terasa gelenyar nikmat menerpa tubuhku. Gelenyar nikmat itu semakin nyata dan remasan lembut tangannya di dadaku menghilangkan setengah kesadaranku.

“Iya, pak ... Parah! Keserang terus!” Jawab Irwan yang tetap terpaku ke layar televisi.

Sementara Irwan asik dengan tontonannya, aku dan bapak mertua semakin berani berbuat mesum. Kami berciuman dengan waktu yang agak lama. Bahkan kedua tangan bapak mertua sudah membuat kedua buah dadaku mengeras. Bapak mertuaku semakin gencar memainkan buah dadaku yang semakin mengeras. Aku dan bapak mertua terus mencuri moment di antara kesibukan Irwan pada pertandingan bolanya. Sungguh luar biasa nikmat yang aku rasakan saat berbuat cabul dengan bapak mertua di dekat suamiku. Adrenalinku seakan terpacu, seperti menaiki roller coaster dengan trek yang sangat ekstrim. Kami pun menghentikan aktivitas nikmat kami saat pertandingan bola mencapai setengah babak.

“Aku ingin buang air dulu.” Ujar Irwan yang langsung bergegas ke kamar mandi yang berada di dapur.

Kami saling pandang lalu saling tersenyum. Saat Irwan melewati pintu penghubung ruang tengah dan dapur. Tanganku langsung saja menyambar resleting celana bapak mertua. Laki-laki tampan itu memekik pelan sambil melotot, tetapi apa yang aku lakukan malah mendapat bantuan. Dengan cepat aku mengeluarkan kejantanannya dari balik celana panjang dan boxer-nya yang melorot sedikit. Tentu saja kejantanan bapak mertua sudah sangat tegang. Kejantanan bapak mertua ternyata tidak kalah dengan kepemilikan suamiku. Irwan memang menang di ketebalan, tetapi kejantanan bapak mertua menang di kepanjangan.

Dengan cepat, aku memasukkan kejantanannya ke dalam mulutku, dan mencoba menghisapnya. "Ngghh.." Aku tersenyum dalam hati, senang bisa membuatnya mendesah seperti itu. Kucoba berikan service bibirku pada penisnya. Kukocok batang penisnya dengan mulutku, kuberikan service sepongan terbaikku seperti aku melakukannya pada penis suamiku. ‘Ugh.. gilaa’, tak pernah kubayangkan penis mertuaku bisa ada dalam mulutku.

“Aaahhkk ... Kamu nakal sekali ...” Bapak mertua mendesah pelan sambil membelai-belai kepalaku.

Kulihat bapak mertua menatapku dengan senyuman kecil di bibirnya sambil menikmati seponganku. Kulepas penisnya dari bibirku dan kuperhatikan batang penisnya. Penisnya terlihat tegang mengacung dan sangat keras. Tak kubiarkan penis itu berdiri bebas. Aku langsung mengulumnya lagi dan memajukan mundurkan kepalaku, berusaha mengocok batang penis mertuaku sendiri.

"Ohhhh... Sayyaannghh... Eeenak sekali..." Desah mertuaku menerima seponganku.

Tiba-tiba terdengar pintu kamar mandi yang terbuka. Aku segera menyudahi ‘pekerjaan mulutku’ pada penis bapak mertua. Aku lap sekitar mulutku yang basah dengan tissue sementara bapak mertua membenarkan posisi celananya. Aku pura-pura mengambil botol air mineral dari atas meja.

“Minum air ini saja, pak ... Ini masih utuh kok.” Kataku pada bapak mertua saat melihat Irwan masuk ke ruang tengah.

“Bapak ingin yang manis, sayang.” Ujar bapak mertua yang juga berpura-pura.

“Minum sirup dingin saja.” Sambar Irwan sembari duduk di tempatnya semula.

“Betul sekali. Kayaknya enak minum air sirup dingin. Bapak kok merasa gerah di sini. Sekalian bapak ingin ngadem di luar.” Ucap bapak mertua sembari mengedipkan mata padaku, dan aku tahu sinyal apa yang diberikan bapak mertua padaku.

“Kalau begitu, saya akan membuatkan sirup dingin buat bapak dan menemani bapak.” Kataku sambil tersenyum pada bapak mertuaku.

“Gak apa-apa kalau istrimu bapak pinjam sebentar, Wan ...?” Tanya bapak mertua pada Irwan dengan nada canda tapi bermakna. Aku pun tersenyum lucu mendengarnya.

“Ambil saja buat bapak.” Celoteh Irwan. Tentu saja aku dan bapak mertua tertawa lirih sambil beranjak ke dapur.

Aku berjalan di depan bapak mertua. Sungguh aku terkejut bercampur terangsang hebat saat tangan bapak mertua meremas buah pantatku, padahal Irwan hanya berjarak tidak lebih dari dua meter, hanya saja Irwan pasti tidak melihat kekonyolan bapak mertua karena terhalangi tubuhnya. Aku membiarkan tangan bapak mertua meremas-remas buah pantatku sampai kami masuk dapur.

Setelah pintu penghubung dapur tertutup, tiba-tiba bapak mertua menangkap tubuhku dan membalikan aku hingga kami saling berhadapan. Tanpa ampun bibir kami saling melumat, berpangutan tanpa tuntuntan. Tubuh kami berusaha lebih rapat ketika tangan kekarnya memeluk pinggangku erat. Kami berciuman seperti kami saling memerlukan antara satu sama lain. Tidak hanya memerlukan. Kami terdesak untuk mendapatkan sentuhan masing-masing.

Bibirku dan bibir bapak mertua saling mencecap, hingga aku tidak tahan untuk mengulumnya lebih dalam. Kujulurkan lidahku, menjelajahi rongga mulutnya, membelit lidahnya. Hasrat sudah terpercik, menyalakan api dengan cepat, membuat gairah membara, membakar tubuhku. Berulang kali kueratkan pelukanku, hingga dada kenyalku menekan dan menggesek dadanya kian lekat. Aku semakin lupa diri. Seluruh gelenyar sarafku hanya terpusat pada bapak mertua dalam pelukanku.

Saat oksigen dalam dadaku menipis, aku melepaskannya dalam kabut gelora yang makin pekat. Bibirnya, mata sayunya, dadanya yang naik turun menandakan nafasnya yang tersengal, semua menyeretku dalam kubangan gairah yang sangat dalam dan luas. Aku pun segera meraih resleting celananya, namun bapak mertua menahan tanganku.

“Jangan di sini. Di luar saja.” Bisiknya yang langsung kujawab dengan anggukan kepala.

Kami berjalan bersama sambil bergandengan tangan. Kami menuju sebuah gazebo di ujung taman. Sesampainya di sana, aku tanpa malu melepaskan celana dalamku lalu melemparkannya ke dada bapak mertuaku. Bapak mertua pun mencium celana dalamku sambil tersenyum mesum. Dia kemudian melepaskan celana panjang dan boxer-nya. Tampak kejantanannya mencuat tegak.

Dengan gaya erotis aku berdiri dengan pantat sedikit menungging. Tanganku bertumpu di kayu pembatas gazebo. Kugoyang-goyangkan bokongku sebagai undangan kepada bapak mertua. Dia kini berdiri di belakangku lalu memasukkan batang kerasnya ke dalam vaginaku dari belakang. Aku mulai mendesah saat merasakan penis bapak mertua bergerak di dalam vaginaku. Kunikmati inci demi inci batang kemaluan bapak mertua saat memasuki liang vaginaku. Terasa penuh, nikmat luar biasa.

“Oooohh…” Sesaat kemudian aku mulai bereaksi tak karuan. Tubuhku langsung menggerinjal-gerinjal, sementara bapak mertua mulai memaju-mundurkan tongkat wasiatnya. Mulutku mulai merintih-rintih tak terkendali.

“Paaakkk ... Eeenaaak…!!!” Kataku setengah mendesah.

Bapak mertua tidak menjawab, melainkan terus memaju mundurkan rudalnya. Gerakannya cepat dan kuat, bahkan cenderung kasar. Tentu saja aku semakin mendesah-desah dibuatnya. Jika saja tidak ada suamiku di dalam rumah, sudah pasti aku menjerit-jerit keenakan. Batang penisnya yang besar panjang itu seperti hendak membongkar liang vaginaku sampai ke dasar.

“Oooohhh ... Guussttiiiii ....” Rintihku yang aku tahan. Bapak mertua malah semakin bersemangat mendengar rintihanku. Aku semakin erotis.

“Aaaahh ... Kontol bapak ... Oooohh... Aaarrghh… Kontoooll… Oooohh…!!!”

Bapak mertua terus menggecak-gecak. Tenaganya kuat sekali, apalagi dengan batang penis yang luar biasa keras dan kaku. Walaupun kami bersetubuh dengan posisi agak menungging, nampaknya bapak mertua sama sekali tidak kesulitan menyodokkan batang kemaluannya pada vaginaku. Vaginaku terasa semakin basah dan itu membuat gesekan kami semakin nikmat. Genjotan bapak mertua semakin kuat dan bertenaga, terkadang diselingi dengan gerakan memutar yang membuat vaginaku terasa diobok-obok. Semua itu membuat orgasmeku cepat sekali terasa akan meledak.

“Saya mau keluar, pak ...! Aaaahh... Saya mau keluaaar!!” Aku mengerang-erang pelan.

“Ya... Bapak juga! Oh, enak banget sayanghh!” Bapak mertua menyodok-nyodok semakin kencang.

“Sodok terus, paakk..!!! Ya, ooohhh, yahh, ugghh...!!!”

“Oh, ah, uuugghhh…” Bapak mertuapun mendengus-dengus.

“Enaaak… Kontol bapak enak ... Kontol bapak sedap ... Yaahhh... Teruuusss…!!!”

Pada detik-detik terakhir, tangan kananku meraih pantat bapak mertua, kuremas bongkahan pantatnya, sementara paha kananku mengangkat lurus tinggi-tinggi. Terasa vaginaku berdenyut-denyut kencang sekali. Tubuhku mengejang sementara otot vaginaku terus berdenyut-denyut semakin kencang saja. Aku mengerang panjang dan pelan, tak kuasa menahan nikmatnya orgasme.

“Oooohhh ..... Aaaaaaccchhh ....!!!”

Sesaat aku seperti melayang, tidak ingat apa-apa kecuali nikmat yang tidak terkatakan. Bapak mertua mengecup-ngecup pipi serta daun telingaku. Sejenak dia membiarkan aku mengatur nafas, sebelum kemudian dia memintaku tetap menungging. Aku baru sadar bahwa ternyata dia belum mencapai orgasme. Kuturuti permintaan bapak mertua. Dengan agak lunglai akibat orgasme yang luar biasa, kuatur posisi tubuhku hingga menungging penuh dengan tangan dan kaki bertumpu di lantai gazebo. Bapak mertua mengikuti gerakanku, batang kemaluannya yang besar dan panjang itu tetap menancap dalam vaginaku.

Lalu perlahan terasa dia mulai mengayun pinggulnya. Ternyata dia luar biasa sabar. Dia memaju mundurkan gerak pinggulnya satu-dua secara teratur, seakan-akan kami baru saja memulai permainan, padahal tentu perjalanan birahinya sudah cukup tinggi tadi. Aku menikmati gerakan maju-mundur penis bapak mertua dengan diam. Kepalaku tertunduk, kuatur kembali nafasku. Tidak berapa lama, vaginaku mulai terasa enak kembali. Kuangkat kepalaku, menoleh ke belakang. Bapak mertua segera menunduk, dikecupnya pipiku.

“Pak ... Bapak hebat sekali... Saya kira tadi bapak sudah hampir keluar.” Kataku terus terang.

“Emangnya kamu suka kalau bapak cepet keluar?” Jawabnya lembut di telingaku. Aku pun tersenyum. “Bapak suka punya menantu nakal sepertimu.” Bisiknya lagi.

“Saya juga suka punya mertua seperti bapak.” Kataku.

Aku terus tersenyum, kupalingkan mukaku lebih ke belakang. Bapak mertua mengerti, diciumnya bibirku. Lalu dia menggenjot lebih cepat. Dia seperti mengetahui bahwa aku mulai keenakan lagi. Maka kugoyang-goyang pinggulku perlahan, ke kiri dan ke kanan. Bapak mertua melenguh. Diremasnya kedua bongkah pantatku, lalu gerakannya jadi lebih kuat dan cepat. Batang kemaluannya yang luar biasa keras menghunjam-hunjam vaginaku. Aku mulai mengerang-erang lagi.

“Oorrgghh… Aaaahh… Eeennaak… Kontol bapak enak bangeett… Aaaahh...!!”

Bapak mertua tidak bersuara, melainkan menggecak-gecak semakin kuat. Tubuhku sampai terguncang-guncang. Aku mengerang-erang pelan. Cepat sekali, birahiku merambat naik semakin tinggi. Kurasakan bapak mertuaku pun kali ini segera akan mencapai klimaks. Maka kuimbangi gerakannya dengan menggoyangkan pinggulku cepat-cepat. Kuputar-putar pantatku, sesekali kumaju-mundurkan berlawanan dengan gerakannya. Bapak mertua mulai mengerang-erang pelan pertanda dia pun segera akan mencapai puncak kenikmatan.

Tiba-tiba bapak mertua menyuruhku berbalik. Dicabutnya penisnya dari kemaluanku. Aku berbalik cepat. Lalu kukangkangkan kedua kakiku dengan setengah mengangkatnya. Bapak mertua langsung menyodokkan kedua dengkulnya hingga merapat pada pahaku. Kedua kakiku menekuk mengangkang. Bapak mertua memegang kedua kakiku di bawah lutut, lalu batang penisnya yang keras menghunjam mulut vaginaku yang menganga.

“Aarrgghhh…!!!” Aku mengerang lagi agak kuat.

“Bapak hampir keluar!” Bapak mertua bergumam. Gerakannya langsung cepat dan kuat. Aku tidak bisa bergoyang dalam posisi seperti itu, maka aku pasrah saja, menikmati gecakan-gecakan keras batang kemaluannya.

“Terus sayang… Teruuusss…!” Desahku.

“Oooohhh... Eeennaakkk sekallliiiii...” Bapak mertua ikut mendesah.

Genjotan bapak mertua semakin menggila. Tubuhku mengejang sesaat sementara otot vaginaku terasa berdenyut-denyut kencang. Aku mendesah panjang, tak kuasa menahan nikmatnya orgasme. Pada saat bersamaan, bapak mertua menekan kuat-kuat, menghunjamkan batang kemaluannya dalam-dalam di liang vaginaku.

“Oohhh…!!!” Bapak mertaku pun mengerang, sementara terasa kemaluannya menyembur-nyemburkan cairan mani di dalam vaginaku. Nikmatnya tak terkatakan, indah sekali mencapai orgasme dalam waktu persis bersamaan seperti itu.

Lalu tubuh kami sama-sama melunglai, tetapi kemaluan kami masih terus bertautan. Bapak mertua memelukku mesra sekali. Sejenak kami sama-sama sibuk mengatur nafas. Bapak mertua akhirnya melepaskan pertautan kelamin kami dan memakai celananya kembali. Sama dengannya, aku pun memakai celana dalamku lalu merapihkan pakaianku yang sedikit tak beraturan.

“Bagaimana kalau kita duduk-duduk dulu di sini.” Ajak bapak mertua.

“Ya ...” Jawabku singkat sambil mendahuluinya duduk di bangku panjang dari kayu.

“Kita telah membuat kesalahan.” Tiba-tiba bapak mertua bicara demikian sambil duduk di sampingku. Tangannya lantas memeluk pinggangku. “Tapi bapak tidak menyesalinya.” Dia melanjutkan yang membuat hatiku lega.

“Saya juga tidak menyesal, pak ... Saya menyukai bapak.” Jujurku sambil membaringkan kepala di bahunya.

Kami pun berciuman lagi. Lebih dalam, lebih lama dan tidak pernah puas. Setelah ciuman yang sangat intens itu kami berdua terengah-engah dan berusaha menenangkan detak jangtung kami yang sama-sama berdegub sangat kencang. Baru saja aku hendak mendekatkan wajahku ke wajahnya, tiba-tiba terdengar bunyi pintu dapur terbuka. Kami pun langsung membuat jarak, dan benar saja Irwan keluar dari dalam rumah. Kepalanya mengedar hingga menemukan kami di gazebo. Aku cepat berdiri dan berjalan mendekati suamiku.

“Sudah selesai bolanya?” Tanyaku setelah berada di hadapannya.

“Baru saja selesai. Kamu benar-benar kepanasan ya?” Tiba-tiba Irwan bertanya seperti itu.

“I..iya ... Emangnya kenapa?” Tanyaku heran.

“Kamu berkeringat. Rambut dan keningmu basah begitu.” Jawab Irwan sambil memperhatikanku.

“Oh ...” Tentu aku terhenyak. Itu bukan keringat kepanasan tetapi keringat kenikmatan. “Kayaknya aku perlu mandi ... Gerah sekali ...” Buru-buru aku berlalu dari hadapan Irwan.

Sungguh, jantungku berdetak sangat kencang. Ada rasa khawatir jika aku ketahuan oleh suamiku. Secepatnya aku ke kamar lalu mandi sebersih-bersihnya. Aku basuh vaginaku hingga sisa-sisa air mani bapak mertua hilang. Setelah selesai mandi, aku mengenakan baju tidurku dan berbaring di atas tempat tidur. Aku membayangkan kejadian barusan sambil senyam-senyum sendiri. Benar adanya kalau aku tidak menyesal bahkan tidak merasa bersalah telah berhubungan badan dengan bapak mertua. Sungguh, aku sangat menikmatinya dan ingin mengulanginya lagi. Aku ingin sekali menghabiskan malam dengan bercinta dengannya.

Saat asik melamun, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Irwan masuk ke dalam kamar dan menghampiriku. Suamiku duduk di sisi ranjang sambil menatapku sayu. Aku menjadi heran dan bingung melihat mimik muka suamiku itu yang tampak sendu. Aku bangkit dari posisi terlentangku dan duduk bersila di atas kasur.

“Kenapa mukamu bersedih seperti itu?” Tanyaku sambil memperhatikan wajah Irwan yang mendung.

“Aku ingin bicara sesuatu yang pasti sangat mengejutkanmu.” Jawabnya pelan dan bergetar.

“Mengejutkan? Emangnya ada apa?” Tanyaku kini perasaanku menjadi tidak enak. Jangan-jangan dia akan bicara tentang perbuatanku yang menyimpang.

“Apapun yang akan aku katakan nanti ... Percayalah! Aku sangat mencintai dan menyayangimu. Aku harap kamu tidak marah karena ini berkaitan dengan masa silamku. Berjanjilah! Berjanji padaku kalau kamu tidak akan marah padaku.” Kata Irwan semakin membuatku penasaran.

“Ya ... Aku berjanji ...” Jawabku sungguh-sungguh.

Irwan menghela nafas berat berkali-kali lalu berkata, “Dulu ... Kira-kira delapan tahun yang lalu, saat usiaku 20 tahun. Aku membuat kesalahan sangat fatal.” Tiba-tiba Irwan sesegukan. Aku yang melihatnya menjadi ikut bersedih.

“Apapun kesalahanmu ... Itu kan masa lalu ...” Aku coba menghiburnya.

“Aku malu ... Aku malu padamu ...” Ucap Irwan sangat pelan hampir tak terdengar.

“Katakan saja. Gak usah malu, apalagi padaku.” Aku mengambil tangannya lalu menciumnya.

Irwan menatapku untuk beberapa saat lalu berkata, “Aku mempunyai hubungan terlarang dengan ibuku.”

Aku yang tadinya merasa yakin kuat, tiba-tiba melempar tangan Irwan saking terkejutnya. Mataku membulat sungguh tak percaya mendengar apa yang baru saja Irwan katakan. Aku tidak marah tapi aku benar-benar terkejut dan heran. Bagaimana bisa seorang anak mempunyai hubungan gelap dengan ibunya sendiri, wanita yang melahirkannya. Jujur, aku merinding mengetahuinya.

“Ka..kamu ... Me..melakukan ...” Bibirku bergetar sampai-sampai tidak bisa melanjutkan ucapanku.

“Ya ... Aku dan ibu berhubungan badan.” Jawabnya semakin aku tak yakin kalau aku hidup di dunia nyata.

“Ya, ampun ...” Gumamku sambil menutup mulut dengan kedua tanganku.

“Kamu marah ya?” Tanyanya sambil menundukan wajah.

Ada keheningan sejenak sebelum aku bersuara, “Oke ... Sekarang aku yang ingin bertanya?” Kataku dengan suara yang agak meninggi. Jujur, aku kecewa mendengar pengakuan suamiku.

“Bertanyalah ...” Katanya sambil mengangkat wajahnya. Dia memandangku penuh harap.

“Kenapa kamu tidak simpan saja cerita yang menjijikan itu untuk dirimu sendiri. Aku lebih senang mendengar jika kamu bercinta dengan ibuku daripada bercinta dengan ibumu sendiri. Itu lebih logis dan masuk akal.” Kataku tegas.

“Karena ada kaitannya dengan bapakku.” Jawabnya semakin lemah.

“Bapakmu? Maksudmu apa?” Tanyaku sangat penasaran.

Lagi-lagi Irwan menghela napas. Tampak sekali depresi kecil di air mukanya. Setelah menelan ludahnya sendiri, Irwan pun berkata, “Hubungan terlarangku diketahui bapak. Bapak sangat terpukul dan sangat sedih. Semangat hidupnya seakan hilang. Bapak mulai mabuk-mabukan setiap hari dan kehilangan pekerjaannya. Beberapa kali bapak mencoba bunuh diri tapi untungnya masih bisa diselamatkan. Akhirnya, aku, ibu dan bapak membuat perjanjian. Dengan perjanjian itu bapak akhirnya bersemangat kembali dan kami bisa hidup bahagia lagi.” Jelasnya.

“Apa isi perjanjian itu?” Tanyaku mendesak.

“Maafkan aku ... Maafkan aku ...” Irwan malah terisak lagi.

“Katakan ...” Lirihku.

“Perjanjian itu ... Aku akan memberikan istriku pada bapak sebagai hukumanku telah menyetubuhi istrinya. Darah dibayar darah, istri dibayar istri. Itu yang diminta ayah.” Jawabnya. Sontak saja hatiku menjerit. Bukan menjerit marah, aku menjerit senang.

“Apa??!!” Aku setengah berteriak. Tentu saja aku pura-pura kaget dan pura-pura marah. Aku membelalakan mata seolah aku benar-benar marah. Aku dramatisir semuanya agar terlihat natural.

“Maafkan aku ...” Irwan tertunduk lesu.

Aku sengaja membuat suasana hening. Hatiku tersenyum penuh kegembiraan. Bagaimana tidak, kini aku mempunyai dua orang suami yang sama-sama aku sayangi. Irwan adalah suami yang baik dan sangat pengertian. Dia suami yang bisa membuat kehidupanku nyaman. Sementara bapak mertua adalah laki-laki yang aku sukai. Jujur, aku tidak mencintainya. Aku hanya tertarik padanya karena daya tarik seksual. Bagiku, bapak mertuaku adalah laki-laki terseksi. Keseksiannya jauh melebihi Irwan.

“Bagaimana?” Tiba-tiba Irwan membuyarkan lamunanku.

“Aku kecewa padamu ...” Aku mulai berdrama lagi. “Bisa-bisanya kamu menggadaikan aku untuk bapakmu. Kalau tahu fakta ini, aku sangat yakin akan menolak lamaranmu.” Kataku lagi kemudian dengan nada tak senang.

“Aku sangat mencintaimu ...” Irwan menatapku sangat memelas yang malah membuatku tertawa dalam hati.

“Sekarang apa maumu?” Tanyaku dengan nada marah yang dibuat-buat.

“A..ku ingin ... Aku ingin menolongku ... Dewi, demi apapun, aku sangat menyayangimu ...” Katanya memohon.

“Aku jadi terjebak dengan perjanjian konyolmu itu ... Aku tidak tahu harus bagaimana.” Kataku pura-pura menjaga image.

“Sayang ... Aku mohon ... Aku pikir bapak telah melupakan perjanjian itu. Tapi, tiba-tiba dia menagihnya. Aku telah bersumpah di hadapan bapak dan mendiang ibu, kalau aku akan melaksanakan perjanjian itu. Aku tidak ingin melanggar sumpahku terutama pada mendiang ibu. Satu lagi, tapi ini bukan menjadi alasanku, sama sekali bukan. Bapak tidak akan menyerahkan warisannya kepadaku kalau aku tidak melaksanakan perjanjian yang telah kami sepakati. Dewiku sayang, aku akan menyerahkan seluruh warisan bapakku padamu jika kamu mau melakukan perjanjian itu demiku. Percayalah! Bapak mewariskan harta yang banyak. Harta itu tidak akan habis sampai tujuh turunan.” Jelasnya.

Wow ... Amazing ...” Teriakku dalam hati. Aku tahu kalau bapak mertua mempunyai belasan milyar di tabungannya.

“Bagaimana?” Irwan mendesakku.

“Jika aku menerima permintaanmu, apakah kamu tidak merasa sakit hati? Apakah kamu tidak khawatir kalau aku jadi jatuh cinta pada bapakmu? Apakah kamu tidak memikirkan hubungan kita ke depan akan berbeda? Apakah kamu tidak memikirkan konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak kamu duga?” Tanyaku beruntun.

“Aku hanya bisa pasrah dengan nasib yang akan menimpaku. Itu adalah penebusan kesalahanku, itu adalah hukuman yang aku harus terima. Aku merasa bersalah sama bapak. Jadi, apapun konsekuensinya akan aku terima dengan lapang dada.” Jawabnya.

“Baiklah kalau begitu. Jangan pernah menyalahkan aku, kalau aku sampai keluar jalur karena itu adalah keinginanmu. Sekarang, aku akan bicara dengan bapakmu dan mungkin mulai malam ini aku akan bercinta dengannya. Tetaplah di sini dan semoga kamu puas.” Kataku masih dengan drama marahku.

Aku bergegas keluar kamar dan menutup pintunya. Tiba-tiba aku meloncat-loncat kegirangan seperti anak kecil mendapatkan mainan baru. Aku setengah berlari menuju kamar bapak mertua. Tanpa permisi, aku langsung membuka pintu kamar. Alangkah terkejutnya tatkala aku mendapatkan bapak mertua berbaring di atas kasur dengan telanjang bulat. Dia tersenyum sambil memegang kejantanannya yang sudah tegak mengacung. Aku pun menutup pintu lalu menghampirinya.

“Dilarang berpakaian di atas ranjangku.” Ujar bapak mertua dan aku pun terkikik pelan.

Aku pun segera melepaskan seluruh kain yang melekat di tubuhku. Setelah itu, aku naik ke atas ranjang lalu menerkam tubuh seksi mertuaku. Aku yang dipenuhi birahi langsung duduk di atas panggul bapak mertua. Tanpa kesulitan aku memasukan batang kejantanannya ke dalam liang lendirku. Tak lupa kusodorkan buah dadaku ke mulutnya. Posisi ini menjadi favoritku karena aku mendapat kenikmatan ganda. Dengan cepat aku melompat-lompat agar batang keras bapak mertua keluar masuk ke liang kewanitaanku. Belum lagi, buah dadaku yang bergoyang dan sesekali dijilat oleh laki-laki terseksi itu. Aku terus bergerak liar di atas tubuh bapak mertua. Aku yang telah dimabuk birahi begitu kuat menggenjot penis besar panjangnya yang menggaruk-garuk liang senggamaku.

"Aaaahhh ... Enak nggak sayang?" Tanyaku karena aku harus beristirahat untuk kembali mengumpulkan tenaga.

Bapak mertua mendongak menatapku, "Enak banget sayang ..."

Lalu aku melumat bibirnya dan menjulurkan lidahku. Lidah kami saling bertaut dan bapak mertua meremas kedua pipi pantatku. Tak hanya itu, ia berbaring dan bersiap menggenjot vaginaku dari bawah. Penyatuan dua alat kelamin menimbulkan lenguhan bergairah memancing birahi. Tak berbeda dengan seorang pelacur. Aku bergerak naik dan turun sehingga suara tepukan dua kulit menggema di setiap sudut ruangan.

"Aaahhhh... Aaahhhh... Enak banget sayang!" Aku meracau kesetanan ketika kubenamkan wajah bapak mertua ke buah dadaku. Dengan sigap mulut bapak mertua mencari puting susuku. Aku mengalami efek yang serupa namun tak pernah kubosankan. Wajahku menatap bibir bapak mertua yang mengoral puting susuku dan gerakan pinggulku bergerak maju dan mundur. Semakin kencang hingga tubuhku mulai menggelinjang.

"Aarrhhh... Aauuhhh... Iihhhh...!" Aku menggeram dan tubuhku berkedut kencang. Panas menjalari setiap ujung rambutku hingga pahaku yang kesemutan. Semua tumpah ketika efek kejangan membuatku tertumpu pada tubuh bapak mertua.

"Eh... Kamu udah keluar ya? Cepet sekali!" Ungkap bapak mertua dengan bangganya. Ia mendorong kedua tanganku ke belakang dengan harapan puting susuku dapat dijilatinya.

"Mmnnn..." Aku hanya menggumam perlahan. Tubuhku yang lemas membuatku hampir tak sadar.

"Padahal bapak belum apa-apa ini." Ucapnya dengan penuh kebanggaan. Bapak mertua mendorong tubuhku sehingga aku kini yang tidur terlentang di atas kasur. "Sekarang giliran bapak." Mertuaku tersenyum tipis seraya merentangkan dengan sedikit mengangkat kedua kakiku.

"Auhhh... sayang!?" Desahku mulai tak terbendung. Kulihat buah dadaku bergerak naik turun seiring dengan guncangan yang dilancarkan oleh bapak mertua.

"Hmnnn.. Eenak?" Tanya bapak mertua sambil tersenyum dan menggenjot.

Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyakan darinya. Memang, lambat laun birahiku mulai bangkit kembali. Apalagi tubuhku seperti diikat karena bapak mertua mencengkeram kedua tanganku. Genjotannya semakin kencang dan keras membuatku tersentak tak berdaya.

"Enak gak?" Bapak mertua memancingku lagi.

"Enak bangettt sayaaanngghh...! Ayooo ... Ngebut lagi!" Godaku seraya tersenyum nakal padanya. Bapak mertua menegakkan tubuhnya. Kedua tangannya mencengkeram pahaku, lalu ia menekannya.

"Aaahhhh... Saayyaannghh... Terus...!" Aku meracau membuang rasa malu. Buah dadaku berayun tak beraturan sehingga membuat birahiku terbungkam.

Bapak mertua berhenti sejenak untuk menarik nafasnya. Aku yakin, aku sudah mencapai puncakku. Namun birahi seakan tak pernah padam. Kuelus dada yang bidang beserta putingnya. "Kuat banget sih..." Pujiku agar bapak mertua lebih semangat mengawiniku.

"Apanya yang kuat?" Tanyanya seraya membalas usapanku dengan remasan di buah dadaku.

"Kontolnya, kenceng banget nyodok memekku." Rengekku manja dengan bahasa kasar.

"Kamu suka?" Bapak mertua seperti ingin mengali sisi liarku.

"Suka banget!" Entah kenapa, suaraku melentik seperti ini.

"Mau lagi?" Katanya.

"Eeemm... bo..auhhh..leh!" Suara terputus dan tersendat.

Belum sempat aku menyelesaikan jawabanku. Bapak mertua mulai bergerak lagi. Kali ini ia menarik pinggangku ke arahnya. Sehingga liang kewanitaanku cukup luas untuk menjadi objek permainannya. Wajahku mendongak merasakan raungan birahi yang tiada matinya. Desah hingga jeritan kulontarkan karena baru kali ini aku dapat lepas seperti ini. Tadi aku dikerjainya secara diam-diam karena berada di tempat yang tak seharusnya. Sekarang kami bebas, hanya kami berdua saja. Layaknya suami dan istri yang sedang berbulan madu.

Kedua buah dadaku bergoyang seiring dengan suara tepukan pinggul kami berdua. Wajahku meringis merasakan dentuman nafsu yang tiada taranya. Di saat itulah aku mengejang menandai setiap pekikan ringan di dalam bibirku. Di lain pihak, bapak mertua juga merasakan hal yang sama. Ia terhentak menapaki setiap semburan air belia yang begitu hangat. Sama seperti air panas yang datang dari pegunungan. Wajahnya tertanam di ceruk leherku. Belum lagi, ia mencipok leherku itu, hisapan itu ditandai dengan noda merah di sana. Setelah selesai semuanya, aku berbaring di samping bapak mertua.

“Pak ... Sebenarnya apa yang terjadi antara bapak, ibu dan Irwan?” Aku mungkin bisa mendapat penjelasan dari versi bapak mertuaku.

“Bapak yakin kalau Irwan sudah menceritakan padamu.” Jawab Bapak mertua sambil membaringkan badan menyamping menghadapku. Tangannya mulai membelai payudaraku lagi sangat mesra.

Aku menoleh dan berkata, “Darah dibayar darah ... Istri dibayar istri ... Kenapa bapak baru memintanya sekarang? Tidak sejak dulu saja? Padahal aku sudah lama menyukai bapak.”

“Oh ... Benarkah?” Bapak mertua seperti tak percaya.

“Ya ... Kenapa?” Tanyaku sambil menghadapkan wajahku ke wajahnya.

“Karena bapak baru mendapat sinyal darimu hari ini. Awalnya bapak tidak akan menagih janji pada Irwan karena bapak juga tidak ingin kamu merasa terpaksa. Tidak adil rasanya melibatkanmu dalam masalah ini.” Jawabnya.

“Oh tuhan ... Aku malu sekali ... Harusnya laki-laki yang duluan memberi sinyal bukannya perempuan.” Kataku lirih.

“Tidak usah malu, sayang ... Terima kasih karena kamu mau menerima bapak.” Katanya membesarkan hati.

“Habisnya bapak seksi banget.” Jujurku.

“Terima kasih sekali lagi. Dan sejak saat ini kamu mempunyai dua laki-laki yang harus kamu layani dengan segenap hati. Sayangilah dan cintailah kami. Kamu harus adil membaginya. Percayalah sama bapak, kalau Irwan akan lebih menyayangimu seperti bapak menyayangi mendiang ibu mertuamu, walaupun dia telah melakukan kesalahan yang sangat fatal.” Jelasnya.

“Aku malah sanksi, pak ... Apakah dengan kejadian ini Irwan akan lebih menyayangiku. Faktanya, aku sekarang tidur dengan bapak. Pasti di hati Irwan timbul sakit hati dan benci.” Kataku.

“Tidak seperti itu ... Irwan sudah berjanji akan menyayangi istrinya kelak karena telah terlibat dalam masalah yang ditimbulkannya. Bapak yakin kalau Irwan merasa bersalah dan tidak ingin kehilangan dirimu. Sebagai penguat, berikan kasih sayangmu sebesar-besarnya pada Irwan. Bapak yakin seribu persen, kalau Irwan akan membalas kasih sayangmu berlipat-lipat.” Jelas bapak mertua.

“Baiklah ... Tapi ...” Aku menjeda perkataanku.

“Tapi apa?” Tanya bapak mertua.

“Memekku gatal lagi ...” Aku mendesah genit.

“Kamu memang nakal ...”

Malam itu, menjadi malam yang panjang bagi kami berdua. Aku dan bapak mertua benar-benar terseret dan tenggelam dalam samudra nafsu birahi. Kami bercinta tanpa bisa menahan suara. Aku yang memekik dan dia yang menggeram seperti hewan buas. Aku tidak perduli lagi tentang menahan suara, aku lupa dengan yang dinamakan malu. Yang kutahu hanya dia, bapak mertuaku melakukan apapun yang dia inginkan pada tubuhku dan aku suka, sangat menyukainya. Kami bercinta, berbagi rasa bersama. Hingga tenaga kami benar-benar terkuras, dan kami pun tertidur kelelahan.​

-----ooo-----


Epilog

Hari ini, besok lusa, dan seterusnya, aku akan selalu bahagia dan berterima kasih kepada kedua suamiku. Mereka adalah sumber kebahagiaanku. Perlahan namun pasti, Irwan menerima keadaan yang dia ciptakan sendiri. Sementara itu, aku mampu membagi dengan adil kasih sayangku kepada keduanya. Setelah aku menjalani dua bulan dengan kehidupan bahagiaku ini, aku dinyatakan hamil. Entah sperma siapa yang berhasil membuahi rahimku dan kami bertiga tidak peduli. Dalam hukum manapun, anak yang lahir dalam perkawinan, maka merekalah yang mengklaim anak hasil perkawinan tersebut. Aku sungguh bahagia dengan peranku. Kebahagiaanku ini tidak bisa diganti dengan apapun.​

T A M A T
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd