Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Dinding Rumah Kita

POV Favorite anda


  • Total voters
    34
POV ERWIN
Sudah beberapa minggu aku mengeksplorasi perkebunan teh milik Pak Karta yang kini kepemilikannya diwariskan pada Hans. Dengan sebuah kartu identitas palsu yang kudapat dengan menyogok murah pada seorang pegawai kependudukan, aku bisa melamar di sekretariat perkebunan. Beruntung birokrasi sekretariat itu tidak terlalu ketat hingga kartu identitas palsuku bisa lolos begitu saja. Aku akhirnya diterima bekerja setelah berpura-pura menghiba dan mengemis-ngemis, menceritakan jika aku baru saja diPHK di usia paruh baya, sementara aku punya keluarga yang harus kunafkahi. Tak sepenuhnya bohong memang, karena aku benar baru saja diPHK. Tapi aku tak sesengsara itu. Mandor sekretariat kemudian mempekerjakanku sebagai juru tulis hasil timbangan para pemetik teh, meringankan petugas timbang agar tak perlu bolak-balik alat timbang dan buku catatan. Gajinya tak seberapa, tapi mandor itu mengizinkanku makan siang bersama karyawan sekretariat yang lain.
Menjadi juru tulis timbangan membuatku tak bisa leluasa berkeliling kebun teh yang sangat luas ini, karena waktuku habis di gudang pengumpulan. Namun di sisi lain aku langsung tahu kapasitas produksi kebun ini dari catatan timbangan. Diam-diam kugandakan tiap catatanku dengan menyelipkan karbon dan kertas pribadiku di bawah tiap catatan. Dan benar saja dugaanku. Hasil kebun teh ini tak sesehat laporan di kantor pusat di Jakarta sana. Sampai kini aku masih belum tahu bagaimana caranya kebun ini menghasilkan laporan keuangan yang banyak dari pengiriman daun teh kering ke perusahaan-perusahaan pengemas teh. Uang dari mana yang mereka masukkan ke perusahaan masih menjadi misteri bagiku.
Misteri itu menjadikan aku menduga-duga. Dugaan pertamaku, barangkali orang-orang sekretariat kebun tidak mau kehilangan muka pada kantor pusat hingga melakukan talangan agar tampak positif. Namun kemungkin itu terlalu kecil karena sangat merugikan mereka sendiri. Dugaan keduaku, sekretariat kebun memiliki bisnis lain yang tak dilaporkan ke kantor pusat. Ini tampak lebih memungkinkan. Mereka kemudian menyiapkan sejenis upeti untuk menyembunyikan kedok usaha mereka. Dugaan seperti ini memang tidak merugikan perusahaan secara finansial, malah menguntungkan. Namun lain jadinya jika bisnis yang dijalankan orang-orang ini melanggar hukum. Perusahaan bisa-bisa dituduh melakukan praktek pencucian uang.
Aku lebih meyakini dugaan kedua ini. Tapi selama bekerja di sini, aku tidak juga menemukan bisnis apa yang dilakukan orang-orang kebun ini di luar tanaman teh. Aku sudah bisa membuktikan rekayasa keuangan mereka dari catatan-catatan timbangan yang kukumpulkan tiap hari. Tapi aku belum tahu dari mana kelebihan sumber keuangan mereka. Ketika menyamar menjadi wisatawan vila beberapa waktu sebelumnya, aku hanya bisa mengeksplorasi sebagian kecil kebun teh warisan Pak Karta ini.
Karena terpikir orang-orang kebun melakukan bisnis kotor, aku sempat menyambangi kantor polisi. Ingin rasanya aku melaporkan kecurigaanku dengan bertindak sebagai pihak perusahaan agar, jika saja nanti terbukti bisnis mereka melanggar hukum, perusahaan tidak terseret karena tidak tahu menahu. Namun ketika sudah sampai di kantor polisi, bahkan setelah mengisi formulir laporan, niatku urung kulakukan. Aku belum tahu sekuat apa bisnis diam-diam orang-orang ini, itupun kalau ada bisnis kotornya. Laporan ini bisa menjadi bumerang jika ternyata tak terbukti. Bisa-bisa Hans kehilangan hak warisnya gara-gara perbuatanku.
Dari kantor polisi itulah aku mengenal Shelly, seorang polisi yang melakukan hal sama denganku, sedang melakukan penyamaran. Waktu itu, ketika melangkah meninggalkan kantor polisi, berniat kembali ke kost-kostan murah yang kusewa selama ini, aku terhenti ketika merasa ada yang mengikutiku. Membalik badan dengan mendadak, kukira penguntitku akan menyingkir setelah kupergoki. Namun sebaliknya, seorang perempuan berpostur tinggi dengan setelan kemeja ramping kotak-kotak dan celana denim ketat malah santai mendekatiku.
“Selamat siang, Pak,” sapanya lembut namun tegas. “Mari ikut saya!”
Aku tak berkutik ketika perempuan itu memperlihatkan identitas kepolisiannya. Saat itulah aku tahu namanya Marcelia Gunawan. Aku nurut tak mau ambil perkara ketika ia melangkah ke sebuah warung makan sederhana.
“Kita mau minum aja, Pak,” ucapnya ketika akan ditawari makan oleh pemilik warung. Tangan panjangnya menjangkau dua botol soda dingin dan diangsurkan padaku.
“Kita belum berkenalan. Bapak tadi sudah liat kartu identitas saya. Panggil aja Shelly,” ulur tangan polwan yang ternyata cantik sekali.
“Tatang ,” sambutku pada jabat tangannya, tak ingin menyebut nama asliku.
“Kenapa tidak jadi bikin laporan di kantor tadi? Kan sudah isi formulir,” tanyanya santai membuka botol soda dan mereguknya.
“Maksudnya apa?” Aku mencoba berkilah.
Shelly tampak tersenyum melihat kewaspadaanku. Menilik wajahnya, tampaknya dia tak terlalu jauh lebih tua dari Herlin. Perempuan dewasa yang matang namun masih cukup muda.
“Sudahlah, Pak Tatang. Nama Tatang Winata yang Bapak pakai untuk melamar kerja di Kebun Teh mudah dilacak kepalsuannya. Sekarang jujur saja apa yang membuat Bapak ingin berurusan dengan kepolisian, Bapak Erwin Wardono?”
Aku tahu ucapannya bukan gertak sambal. Dengan dia sudah tahu identitas palsuku, aku cukup mengerti bahwa ia tidak main-main.
“Apa... apa ini sebuah interogasi? Kalau begitu saya minta surat perintah dan BAPnya.” Aku masih mencoba berkilah.
Shelly tampak manggut-manggut seperti sudah menemukan sesuatu dari sikapku. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu.
“Pak Erwin,” ucapnya tampak serius.
“Bapak sudah memperlihatkan kecerdasan Bapak dengan meminta surat perintah. Itu bagus. Jadi Bapak sudah mengerti posisi Bapak. Kartu identitas palsu di dompet Bapak saat ini dengan mudah menjebloskan Bapak ke penjara. Jadi Bapak tidak punya pilihan selain memberikan keterangan yang saya butuhkan. Kecerdasan yang Bapak tunjukkan bukan level seorang juru tulis timbangan teh. Sekarang, tinggal Bapak ungkapkan pada saya, apa urusan Bapak di Kebun Teh?”
Awalnya memang hubungan kami dimulai seperti itu, penuh dengan saling curiga. Namun itu tak perlu berlangsung lama. Semua terungkap ketika kami mulai saling bicara. Ternyata Shelly pun melakukan hal yang sama sepertiku terhadap jajaran di kantor kepolisian yang sedang ditempatinya. Shelly diam-diam tengah menyelidiki kasus peredaran ***** di wilayah ini. Shelly mengaku padaku jika ia melakukannya tanpa sepengetahuan pihak kantor kepolisian yang ditempatinya sekarang. Ia dikirim untuk misi ini oleh institusi yang lebih tinggi dari Jakarta sana. Hal itu disebabkan ada kecurigaan ada oknum aparat yang terlibat.
Setelah beberapa kali kami bertemu, ternyata justru Shelly membutuhkan aku untuk menjadi informannya di Kebun Teh. Ia mencurigai Kebun Teh sebagai kamuflase tempat produksi ***** yang diedarkan. Aku kaget, tetapi senang, ternyata kecurigaanku pada bisnis kotor kebun teh mulai terbukti. Rupanya kepolisian pun mencurigai aktifitas di kebun teh ini. Lebih jauh, Shelly ingin menggunakan kost-kostan sederhanaku sebagai markas penyelidikannya. Misi Shelly ternyata rentan bocor karena ada kemungkinan teman kantornya sendiri terlibat. Aku awalnya keberatan. Namun setelah banyak tawar menawar, akhirnya aku memberinya izin. Aku bersedia mengizinkan Shelly dengan syarat, jika nanti orang-orang kebun teh terbukti melakukan tindak pidana, perusahaan pusat di Jakarta tidak akan terseret pada kasus ini, karena aku sebagai pihak perusahaan membantu membongkar tindak pidana ini.
Shelly setuju. Jadilah Shelly kerap ke kostanku tiap ada perkembangan kasus. Aku bahkan memberikan kunci cadangan padanya karena ia datang tak kenal waktu, sering pada saat aku tidak ada di Kost. Hanya saja ia tak pernah menginap di kostanku. Dari Shelly aku banyak mendapat informasi keadaan lapangan Kebun Teh. Entah bagaimana Shelly tahu banyak seluk beluk Kebun Teh. Bahkan pada beberapa bagian sepertinya ia mampu menjelaskan dengan detail. Aku menduga ia juga memiliki informan sepertiku di bagian kebun, bisa jadi salah satu buruh pemetik teh adalah informan Shelly. Itu juga yang menjadi salah satu pertimbanganku mempertahankan Shelly menjadi partner mensyelidiki Kebun Teh.
Selama tinggal di sini, ada yang lucu ketika mendapat kabar dari Tukiman. Dia benar-benar percaya ketika Si Brengsek Sherly mengaku-ngaku hamil padanya. Aku tahu persis itu hanyalah akal-akalan Sherly untuk menggaet Tukiman, orang yang masih dia kira jajaran direksi di tempat kerjaku sebelumnya. Memiliki anak dari hubungan dengan orang penting tentu saja menjadi keuntungan tersendiri, jika saja orang itu benar-benar orang penting, bukan orang penting akal-akalan seperti Si Tukiman itu.
Tapi kasihan juga Tukiman. Gara-gara SMS Si Sherly hubungannya dengan Bi Sum jadi kurang baik sekarang. Semua aku tahu dari cerita Natalie. Natalie cerita padaku jika ia kesepian karena sejak malam terakhir aku di Rumah, ia belum lagi bisa bercinta. Kerenggangan hubungan Tukiman dan Bi Sum mempengaruhi kehidupan sexnya. Aku tak mau banyak bertanya apakah ia mencari kepuasan di kantornya. Semenjak pengakuannya di gazebo bahwa ia punya hubungan dengan Pak Slamet, satpam kantornya, aku tak pernah lagi menanyakan affairnya di kantor. Walaupun aku tak sepenuhnya percaya kalau ia benar-benar terlepas dari kehidupan affair kantornya. Kebisuannya ketika kutanya kenapa ia dan Herlin pulang dalam keadaan kusut masai ketika pertama dijemput Herlin tidak pernah menemukan titik terang.
Mengingat Herlin, aku sedikit sedih menyadari ironi dalam kehidupan keluargaku. Bukan dari Natalie yang nyata-nyata ibu kandung aku mendapat kabar tentang Hans, tapi justru dari Herlin. Si Cantik sepupu Natalie itu memang dekat dengan Hans. Herlin mengabariku jika Hans sepertinya sedang mengalami masalah menjelang kelulusannya. Terlepas dari rasa penasaranku yang penuh curiga bagaimana Hans menjadi pewaris tunggal perusahaan teh Pak Karta, tetap saja waktu yang dihabiskan untuk membesarkannya hingga kini membuatku memiliki kasih sayang padanya. Aku lega dan berterima kasih pada Herlin yang mau peduli pada anak itu.
Sisa-sisa kenormalan hubungan suami-istri dengan Natalie membuatku sedikit lega mengetahui Natalie tidak berkesempatan main serong dariku, seimbang dengan keadaanku di sini yang tak bisa main mata sedikitpun. Menjadi seorang pegawai rendahan ternyata benar-benar menjatuhkan harga seorang laki-laki. Tetangga-tetangga kostku yang rata-rata memang pegawai rendahan tak ada yang mempedulikanku. Aku juga menjaga agar tak terlalu menarik perhatian karena saat ini memang sedang menyamar. Satu-satunya orang yang mengetahui jati diriku hanyalah Shelly Si Polwan itu.
Kemudian tiba-tiba saja Natalie menghubungiku dan berencana ingin menginap di kostanku di akhir pekan ini. Ada nada kerinduan darinya kurasakan ketika ia mengabarkan padaku rencananya itu, kerinduan yang sejujurnya juga memenuhi denyut di rongga selangkanganku yang terasa penuh tak pernah tersalurkan. Namun di sisi lain, aku sebetulnya tak siap menerima kunjungan siapapun dengan situasi kost-kostanku yang dipenuhi berkas-berkas penyelidikan kasus milik Shelly. Kukabari Shelly masalah itu hingga tadi malam ia datang ke kostanku, ingin setidaknya membereskan berkas-berkas agar tidak tercecer dan rahasianya bocor. Janji datang jam sembilan, Shelly malah molor sampai jam sebelas sampai di kostanku. Aku terkantuk-kantuk membuka pintu.
Shelly memohon maaf padaku karena ketika hendak ke sini jam sembilan ada rekan kepolisiannya yang main ke kostannya. Aku tak memerlukan alasannnya, malah merasa kasihan dengan dengus terengah-engah tubuhnya yang terbalut kemeja ketat dan celana jeans cirikhas dandanan Shelly. Sepertinya ia sangat terburu-buru ke sini. Aku membiarkannya masuk membereskan berkas-berkasnya. Ingin rasanya aku membantu menyusun dan menutup berkas-berkas itu. Namun ia mencegahku karena tata letak berkas itu hanya dia yang tahu. Aku yang selama ini hanya menyediakan tempat dan tak pernah turut campur ketika ia sedang bekerja di sini hanya mengangkat bahu dan membaringkan diri di kasur murahan di sudut ruangan, satu-satunya perabotan di ruangan ini. Shelly mulai sibuk memasukkan berkas-berkas ke dalam kardus bekas minumku yang tak pernah kubersihkan.
“Ya sudah. Kalo mau ngopi masih ada tuh di belakang. Tapi panasin air sendiri ya. Gas ada kok,” ucapku memejam-mejam terkantuk-kantuk.
“Hmm,” balasnya membereskan sebuah laptop.
Aku terlelap ketika Sehlly hampir selesai mengemasi semua berkasnya. Ia tampak ingin istirahat dan beranjak ke ruang belakang kostku yang kujadikan dapur. Kesadaranku hilang bersamaan dengan hilangnya ia di balik tembok.
Kesadaranku terusik ketika terdengar suara grandle pintu. Aku memang peka mendengar grandle pintu. Memicingkan mata dengan lampu ruang yang masih menyala, pandanganku tertumbuk pada pantat Sehlly yang tengah merunduk di pintu. Hanya tubuhnya yang terlihat, kepalanya mengintip keluar.
“Ikh... malah di luar kayaknya ada anak-anak lagi begadang tuh di kamar kost sebelah, Mas.”
Shelly kembali menutup pintu. Tampak ia tengah menelepon. Aku kembali memejam ingin meneruskan tidurku. Ruang kost yang sudah lebih leluasa setelah berkas-berkas Shelly dibereskan membuat tempat cukup lapang kini. Kubiarkan saja Shelly di sini menelepon, membebaskan kapan saja ia hendak meninggalkan kost. Toh ia punya kunci cadangan sendiri.
“Lagian ngapain sih minta yang aneh-aneh deeeh...,” rengek manja Shelly ketika aku kembali terlelap.
Aku tak tahu berapa lama aku terlelap. Ketika merasa senggolan di kakiku, kesadaranku terusik. Ruang kost gelap. Sejenak kumengira Shelly sudah meninggalkan kostku. Namun aku segera menyadari pendar cahaya di sudut ruangan. Ternyata itu adalah pendar yang berasal dari layar ponsel Shelly. Dalam keremangan kulihat polwan itu duduk bersandar di tembok pembatas dengan ruang belakang kostku yang langsung menuju kamar mandi sekalian dapurku. Duduk berselonjor di lantai, kaki panjangnya rupanya menyenggol kakiku hingga tak sengaja membangunkanku.
“Masa kurang jelas juga sih, Mas. Aku matiin lampu lah. Kan ada temanku, Mas. Lagi tidur tuh...,” bisik Shelly. Samar-samar kulihat ia kini menggunakan headset.
Aku sedikit kaget melihat kondisi kemeja yang dipakai Shelly saat ini. Lebih dari separuh kancingnya telah terbuka memperlihatkan payudara yang kini mengintip karena BHnya sudah disingkap ke atas. Payudara kecil itu tampak mengintip diterangi pendar cahaya ponsel.
“Udah, Mas. Ya? Aku balik ke kostku dulu deh terus lanjut... Ya?
Aku mengerti sekarang. Sepertinya Shelly sedang video call dengan seseorang. Sepertinya dengan suaminya. Aku tahu Shelly sudah bersuami dan kini memiliki seorang anak berusia 3 tahun.
“Ada temenku, Maaass...,” keluh Shelly pada lawan bicaranya.
“Ikh... awas ya kalo temenku bangun liat-liat perabotanku... Mas yang tanggung jawab ya...”
Aku memejamkan mata ketika Shelly bangkit. Ternyata ia menyalakan lampu. Aku silau dalam pejamku. Hening beberapa saat. Kemudian kurasakan tangan lembut Shelly menggoncang-goncang bahuku beberapa kali. Aku semula berniat akan membuka mata jika ia mengoncangkan tubuhku sekali lagi, karena aku mengira ia akan pamit. Namun tak ada lagi kurasakan tangan Shelly.
“Iddiihh.... dia udah buka aja. Tegang banget, Mas. Nggak dikeluar-keluarin ya?”
Malah terdengar Shelly sepertinya melanjutkan video callnya. Kupicingkan mata hingga bisa melihat dia sudah kembali ke tempat semula, duduk selonjor di lantai bersandar pada tembok. Diterangi lampu ruangan, kini wajahnya terlihat jelas, tampak senyum-senyum memandang layar ponsel. Terlihat ia sejenak mengalihkan pandangan padaku, seperti mengawasiku, sebelum akhirnya ia menanggalkan semua kancing kemeja kotaknya. Perut rata polwan itu tampak tertekuk karena punggungnya terbungkuk bersandar santai. Kemeja itu membelah memamerkan payudara yang masih mengintip karena ternyata ia tak menurunkan BHnya ketika menyalakan lampu tadi.
Sepertinya Shelly tak menyadari aku memicingkan mata. Ia kini membelai payudaranya sendiri dengan tangan kiri yang tak memegang ponsel sambil menatap menatap layar ponsel.
“Kontolmu tegang banget, Mas. Aku nafsu liatnya...hhhhh,” aku Shelly dengan vulgar pada lawan bicaranya diiringi desah.
Aku sadar atmorfir yang sedang merebak di ruang kost ini. Di sudut dinding, seorang betina tengah bernafsu menahan kerinduan digoda oleh erotisme suaminya yang terhalang jarak, hanya terhubung oleh kecanggihan alat komunikasi. Sementara tergeletak tak jauh di hadapan si betina, tak kalah pula seorang jantan yang tengah merindu, jantan yang dalam kondisi penuh semenjak tak mendapatkan pelampiasan.
“Ohhh..., Mas.”
Hanya sekejap Shelly mengawasiku sebelum ia melepas kancing celana jeansnya. Zipper celana itu segera terkuak ketika tangan kiri Shelly yang tadi memainkan payudaranya menelusup. Tak jelas kulihat bagaimana selangkangan Shelly karena posisiku yang berbaring di lantai. Yang dapat kulihat, wajah Shelly kini telah sayu memandang telepon. Bisik mesranya pada lawan bicara hanya terdengar seperti gumaman terhalang oleh desahnya yang terdengar dominan, desah yang tampak sekuat tenaga ditahan oleh Shelly agar tak terdengar berisik.
“Idihhhh... udah keluar ya!” Shelly tampak membelalak ke layar ponselnya. Ia tersenyum-senyum seperti menertawakan teman bicaranya itu.
“Aku belum sih... tapi udah basah banget, Yang.” Shelly mengeluarkan tangannya yang tadi menelusup ke celana. Benar saja, jemari itu tampak basah kuyup, bahkan terlihat sangat jelas walaupun aku hanya melihat dengan memicingkan mata.
“Udah deh, Maaas...,” keluhnya manja.
“Kan Mas udah. Masa masih aja pengen liat. Tuh tuh tuh... becek banget.” Shelly menunjukkan jemari basahnya pada ponsel.
“Aku ribet loh, Mas. Kalo kudu pegang ponsel terus kudu kasi liat ke kamu juga.”
Shelly tampak mendengarkan dengan seksama lawan bicaranya. Beberapa saat kemudian ia kembali menatapku, mengawasiku. Selanjutnya ia bangkit berdiri.
“Aku jadinya nanti ga bisa ngomong loh sama kamu kalo kayak gitu,” timbang Shelly.
Entah apa yang dikatakan lawan bicaranya. Yang pasti, Shelly tampak melepas headset dari telinganya. Shelly kemudian mengambil sebuah cangkir. Rupanya ia sempat menyeduh kopi saat aku tidur tadi. Ia sandarkan ponsel pada cangkir itu.
Aku hampir tak mempercayai apa yang kulihat selanjutnya. Tampak waspada mengawasiku, Shelly mulai menurunkan celananya hingga lepas. Celana dalam kecil putih yang ia kenakan pun segera menyusul terlepas. Hampir telanjang sepenuhnya, tubuh Shelly hanya menyisakan kemeja dan BH. Kemeja yang terkuak terlepas kancing seluruhnya dengan BH yang masih tersingkap ke atas. Aurat Shelly terekspose seluruhya. Payudara kecil itu memperlihatkan puting yang kini mengkilat dan mengacung sempurna, tak ingin menyembunyikan gairah pemiliknya. Di pangkal paha Shelly, sudut itu memperlihatkan kelamin yang ranum di antara dua paha yang jenjang, kelamin yang memperlihatkan bulu-bulu yang memanjang jarang-jarang tak begitu lebat.
Aku berdegup sekuat tenaga menahan agar tak terpengaruh, berusaha sekuat tenaga agar penisku tak merespon pemandangan erotis di hadapanku ketika Shelly kembali duduk, mengangkangi ponselnya yang tersandar pada cangkir. Speaker headset ia posisikan hanya beberapa senti di depan vaginannya yang kini ternganga memperlihatkan rekahan merah mudah yang basah.
Mengalihkan pikiran, kupusatkan benakkau pada hal lain agar penisku tak terpancing untuk ereksi. Namun ketika aku mencoba mengingat gundukan batu, mataku malah terantuk pada gundukan kecil dada Shelly yang terengah-engah seiring belaian jemari kirinya di puting-putingnya secara bergiliran. Ketika aku mencoba mengingat hamparan pasir pantai, aku terpaku pada hamparan perut rata Shelly yang ramping dan tungkai jenjang yang berpangkal pada paha mulus yang jenjang pula. Ketika aku mencoba mengingat makan siang dengan stik mewah, malah potongan daging merah di sela-sela jembut jarang Shelly menghipnotis gairahku, daging merah yang makin mengkilat memperlihatkan basahnya si pemilik daging merekah itu.
Jemari tangan kanan Shelly terus menerus membelai sudut atas belahan vaginanya. Terkangkang menghadap cangkir kopi, belahan kemaluan Shelly tak mampu menyembunyikan merahnya dua bibir kecil yang menyudut pada sebongkah clitoris yang tersiksa nikmat digiling jari tengah Shelly. Jembut-jembut jarang yang memanjang tak tercukur lepek membasah dari cairan senggama yang sebetulnya diperuntukkan agar penis mudah menembus liang itu.
“Hhhh….”
Shelly meringis sendiri menahan desah. Aku tahu sudut matanya sesekali mengawasiku yang masih tersiksa dalam tidur pura-pura. Aku sangat menyesali posisi terlentang yang kupilih sebagai posisi tidur favoritku. Tontonan yang disuguhkan Shelly benar-benar telah memacu aliran darahku menuju selangkanganku. Lorong-lorong kelaminku terasa hangat dipenuhi hangatnya kelenjar yang menghangatkan gairah, membuat batang penisku berdenyut-denyut, perlahan membengkak.
Shelly makin intens menggilas clitorisnya yang tampak makin banjir dan licin. Tangan kirinya yang tadi memainkan payudranya kini menelusup lewat bawah pahanya yang terkangkang lebar, menggapai selangkangan di pangkal pahanya, meremas belahan pantat dan bibir kiri vaginanya hingga belahan itu makin merekah saja. Pinggulnya terdorong-dorong ke depan mengejar jemarinya sendiri, seakan-akan mengejar-ngejar dan menyongsong batang kontol agar segera menyeruak liang vaginanya.
Aku sudah pasrah andai saja Shelly tiba-tiba memergoki gembung di celanaku. Aku saat ini hanya diselamatkan oleh kondisi Shelly yang sudah di ambang klimaksnya hingga matanya terpejam penuh, tak lagi awas pada keadaanku. Aku berdebar-debar menanti nasibku andai saja tertangkap basah mengintip aktivitas pribadi seorang yang sangat sembrono itu. Semua jari tangan kanan Shelly kini penuh menggosok seluruh permukaan vaginanya yang terbelah lebar direkah oleh cengkraman tangan kirinya di belahan pantat kiri. Dorongan pinggulnya makin intens mengejar orgasmenya. Terdesak dan terdesak pinggulnya mendorong kosong ke depan hingga pada satu titik pinggul itu mengunci diri pada satu doronga penuh diiringin tekanan penuh pula pada kelaminnya yang digesek secara becek dan brutal oleh tangan kanannya.
“Kyaa!!!!”
Sempat kudengar pekik kaget tertahan Shelly ketika ia terperanjat dan langsung bangkit menyambar celananya, segera menghilang secepat kilat di balik tembok ketika tiba-tiba saja alarm ponselku berbunyi. Akupun tak kalah kaget mendengar bunyi alarm itu. Kubuka mataku sepenuhnya setelah yakin Shelly tak ada lagi di ruang itu, buru-buru membetulkan celanaku menyamarkan ereksi. Keadaanku memang tak separah Shelly.
Kumatikan alarm ponsel. Alarm yang tadinya sengaja kubuat sebagai jaga-jaga jika saja Shelly benar-benar tak datang malam ini. Aku berencana akan membereskan sendiri berkas-berkas Shelly malam-malam sebelum Natalie datang hari ini. Alarm yang tanpa diduga menginterupsi gairah Shelly hanya sepersekian detik sebelum mencapai orgasmenya.
“Shelly! Kamu masih di sini.”
Pura-pura seperti orang baru bangun tidur, kupanggil Shelly dari tempat tidurku. Aku yakin dia bisa mendengarnya di kost kecil ini. Aku bangkit melewati ponsel Shelly yang masih tersandar di cangkir, kini menampilkan layar gelap. Video call tampaknya dimatikan oleh lawan bicara Shelly. Di depan kamar mandi yang sekaligus menjadi dapur, tak kutemukan Shelly. Hingga kuketuk pintu.
“Kamu di sana, Shelly?” ketukku pada pintu kamar mandi.
Shelly membuka pintu kamar mandi dengan penampilan yang sudah rapi. Kutuang air putih dan mereguknya ketika Shelly melewatiku dengan senyum canggung. Kuiringi langkah Shelly ke ruang tidur kost yang kini tampak lapang.
“Kenapa, Shelly?” tanyaku ketika melihat Shelly celingak-celinguk seperti mencari-cari sesuatu.
“Eeeh... enggaaak... itu... eeeeh.... aku pamit!” bingung Shelly.
“Okey...,” jawabku walau sejujurnya masih berdebar dengan aksi Shelly beberapa saat lalu.
Merunduk menghindari pandanganku, Shelly memungut ponselnya, bergegas ke belakang membereskan cangkir kopinya. Ia masih menghindari tatapanku ketika melangkah ke pintu. Sebelum memegang handle pintu, dia masih menyapukan pandangan ke sekeliling ruang kost sempit ini.
“Kamu nggak ke kamar mandi dulu? Nggak kepengen pipis gitu? Kan baru bangun tidur.”
Aku tidak mengerti ke arah mana pembicaraan Shelly menanyakan hal-hal semacam itu. Padahal sedetik sebelumnya ia sudah pamit pulang. Aku merunduk menatap selangkanganku sendiri hingga yakin ereksiku tak terlihat oleh Shelly. Akhirnya aku hanya menggeleng.
“Eeehh... ya sudah kalo gitu... eeee... aku pamit.”
Lama aku mematung sepeninggal Shelly sebelum akhirnya memutuskan kembali tidur tanpa mematikan lampu. Ketika merebahkan kepala di bantal, hidungku seperti menghirup aroma yang cukup kukenal, aroma kental kewanitaan. Aku terbelalak ketika menoleh ke kanan. Seonggok celana dalam Shelly terjebak di celah antara bantal dan tembok. Rupanya Shelly terlalu kaget meraih celananya saat alarm berbunyi hingga tak menyadari celana dalamnya terlempar ke sini ketika ia tengah bergegas ke belakang. Aku saja yang tadi tidur di sini tak menyadari hal itu karena kaget. Pantas saja Shelly celingak-celingkuk dan setengah memaksa aku ke kamar mandi. Rupanya ia ingin lebih leluasa mencari celana dalamnya.
Dadaku kembali berdegup kencang menemukan penutup perabotan pribadi Shelly ini. Tanpa dapat kucegah tangan kiriku bergerak sendiri menjejalkan celana dalam itu ke hidungku, menghirup aroma yang tadinya hanya bisa kusaksikan dengan pura-pura tidur. Tangan kananku dalam sekejap menelusup ke penisku, memberikan kocokan-kocokan nikmat sembari tetap menghirup aroma kewanitaan Sehlly. Aku hampir orgasme ketika ponsel terkutuk itu kembali berbunyi. Puncak gairahku bernasib sama seperti Shelly, putus di ujung pelampiasan. Kuterima telepon yang ternyata berasal dari Herlin, yang lebih terkutuknya hanya menggodaku mengenai rencana kedatangan Natalie hari ini. Dongkol kumarahi Herlin, tak peduli ejekan sepupu istriku itu yang tak mengerti siksaan gairahku. Aku terlalu kesal untuk melanjutkan aktifitas seksualku setelah selesai menelepon.
Aku terbangun keesokan harinya pagi-pagi buta karena dering ponsel. Tadinya aku mengira Natalie yang meneleponku untuk memastikan kedatangannya hari ini. Dia memang sudah bilang padaku jika ia berencana berangkat pagi-pagi agar siangnya dia sudah sampai di sini. Namun layar di ponsel menampilkan nama Shelly. Aku sempat melirik celana dalam yang masih terongkok di bantalku sebelum menerima telepon.
“Erwin, kamu datang sekarang ke kebun teh. Kita ketemu.” Suara Shelly terdengar sigap.
“Lah kan emang ntar aku mesti kerja di gudang, Shelly,” jawabku.
“Sekarang, Erwin!” tegas Shelly. “Semalam aku sempat survey ke Sektor 6, blok kebun teh yang selama ini paling tertutup. Pagi ini aku berencana menyelidiki lebih dalam ke Sektor 6, tapi aku perlu bantuan kamu. Cepat ya. Aku tunggu di jalur sektor 6. Kamu bisa liat di peta kebun di sekretariat.”
Tak sepenuhnya mengerti, aku turuti keinginan Shelly. Aku hanya membersihkan diri seadanya. Menumpuk pakaian kotorku dengan celana dalam Shelly di ember dan berganti dengan pakaian sehari-hari aku bekerja di kebun teh.
Aku tak sebodoh itu untuk tidak tahu jalur sektor 6. Walau tak pernah punya waktu menelusuri seluruh kebun teh, aku cukup hafal jalur-jalur tiap blok dan sektor kebun ini karena seringnya melihat peta di kantor sekretariat. Aku langsung melangkah ke arah yang ditunjuk Shelly itu.
Selama melangkah, aku mengingat-ingat kembali peristiwa semalam. Setahuku, Shelly keluar dari kostku tak memakai celana dalam. Berarti semalam ia melakukan survey ke Sektor 6 hanya memakai celana denim ketat tanpa celana dalam. Lalu berapa lama ia melakukan survey hingga pagi-pagi buta begini ia sudah mengajakku mengeksplorasi Sektor 6? Berarti semalam Shelly sangat sibuk. Apakah tidak melanjutkan aktivitas seksualnya? Selama ini aku selalu menduga-duga jika Shelly memiliki seorang informan di kebun teh karena ia begitu tahu banyak seluk-beluk Kebun. Kenapa ia tidak mengajak informannya itu?
“Erwin...”
Suara panggilan seorang perempuan menghentikan langkahku di mulut jalur Sektor 6. Dari bawah sebuah pohon, seorang perempuan pemetik teh mendekatiku. Aku mengenal tubuh jangkung pemetik teh itu. Namanya Yayat. Tiap menyerahkan hasil petikannya, aku sering tergoda hendak mendekatinya. Di antara para pemetik teh, tubuhnya yang selalu terbalut kebaya lusuh di balik baju hangat lengan panjang yang tak kalah lusuh cukup menggoda. Wajahnya yang selalu terbalut handuk bermandi peluh jauh lebih menarik dibanding perempuan-perempuan pemetik teh yang lain.
“Ngapain di sini pagi-pagi gini, Yayat?” heranku dipanggil begitu akrab oleh orang yang diam-diam ingin kuincar.
“Kamu bodoh atau kurang perhatian sih, Erwin?”
Aku terbelalak ketika Yayat memperlihatkan sebuah kartu identitas padaku. Barulah aku menyadari siapa Yayat selama ini. Ternyata dia adalah Shelly yang tengah menyamar. Pantas saja ia tahu banyak seluk beluk Kebun Teh.
Wajahku menghangat ketika Yayat alias Shelly menggiringku memasuki jalur Sektor 6. Aku membuang muka tiap kali Shelly menatap wajahku.
“Jadi ngerti kan sekarang kenapa aku bisa tahu identitas palsumu.”
Ada nada mengejek yang kurasakan dari ucapan Shelly. Aku sedikit beku dengan nada itu. Namun mengingat bagaimana gairah Shelly semalam, aku lebih hangat.
“Kamu pulang dari kostanku langsung survey ke sini?” penasaranku sambil berjalan.
“Ii... yaaaah,” jawab Shelly tampak enggan. “Niatnya sih mau langsung pulang. Tapi di perjalanan aku sempat beli wedang hangat. Nggak sengaja ketemu Pak Jemi, orang yang selalu menghalau para pemetik teh kalau nyasar ke Sektor 6. Aku diam-diam nguping omongan dia sama temannya. Pagi ini dia mau pergi ada urusan keluarga, dia minta temannya buat jaga Sektor 6. Temannya itu bisa siap sekitar jam 8. Sekarang baru jam 6 lewat. Jadi kita punya waktu nggak lebih dari 2 jam.”
Aku ingat Pak Jemi. Sesekali memang kulihat di Sekretariat Kebun. Aku tidak pernah tahu apa pekerjaan orang itu. Tiap datang ke Sekretariat pasti dia diajak langsung masuk ke ruang Mandor. Rupanya dia penjaga Sektor 6.
“Jadi kamu curiga Sektor 6 adalah ladang *****?” tebakku.
“Tampak mencurigakan sih. Sektor 6 paling luas kan, di antara sektor-sektor kebun yang lain. Tapi selama aku menyamar menjadi buruh pemetik teh di sini, aku tidak pernah sekalipun mendapat kesempatan memetik di Sektor 6. Padahal di sektor lain aku malah sudah lebih dari sekali memetik teh di sana. Aku Tanya-tanya sama pemetik-pemetik lain, sama. Mereka juga tidak ada yang pernah memetik teh di Sektor 6. Aku makin curiga ketika pernah melihat sebuah truk memasuki Sektor 6 membawa buruh pemetik teh yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku hafal bentuk dan nomor truk itu, tapi aku tak pernah melihatnya parkir di gudang teh. Truk-truk itu langsung pergi begitu keluar dari sektor 6.”
Shelly betul. Selama ini truk teh hanya mengambil teh di gudang, tidak mengambil langsung dari kebun. Semua fakta ini semakin menguatkan dugaan penyelewengan kebun teh ini.
“Kamu tahu kan lokasi pengeringan?” tanya Shelly sembari berjalan.
“Yaah,” jawabku yakin. Pabrik pengeringan tak sampai sekilo dari gudang.
“Aku nggak punya informan di sana. Rencananya sih aku mau investigasi ke sana setelah investigasi di sini selesai. Tapi kayaknya riskan banget deh kalo aku harus kejar-kejar ke sana pas ada jadwal truk. Kita kurang orang emang.”
“Hadeh… bilang aja butuh bantuanku,” sindirku. “Emang tugasnya apaan?”
“Gampang kok.” Shelly alias Yayat tersenyum. “Cuman ngebandingin jumlah truk yang berangkat dari gudang penimbangan ke pabrik pengeringan, sama jumlah truk yang keluar dari pabrik pengeringan ke pengiriman.”
“Hmm… jadi jelas ada yang nggak beres kalo ternyata jumlah truk yang menuju ke pengiriman tiba-tiba nambah, ya?” analisisku.
“Aku pastikan itu kamuflase pengiriman ***** kering jika hasil kita hari ini benar-benar menemukan ladang *****,” yakin Shelly.
Kami berjalan semakin jauh ke dalam Sektor 6. Semakin masuk, semakin tampak tanaman-tanaman teh tak terawat. Sangat ironis, sektor kebun teh yang paling luas justru tak terawat seperti ini. Tanaman-tanaman teh tumpang tindih dengan tanama-tanaman ilalang yang justru tampak lebih lebat daripada tanaman teh itu sendiri.
“Anjrit!!!” ungkap Shelly tiba-tiba.
“Sudah terbukti, sudah terbukti, kebun teh di sektor ini sudah difungsikan menjadi ladang *****. Erwin, cepat ambil foto dan video.”
Shelly menunjuk-nunjuk tanaman-tanaman yang terselip di antara tanaman-tanaman teh dan ilalang. Aku tak begitu tahu bentuk pohon ***** awalnya, jika saja Shelly tak memberi tahuku. Aku mengumpat pula dalam hati, ternyata kebun teh warisan untuk anakku disalahgunakan seperti ini.
“Erwin,” panggil Shelly tiba-tiba serius.
“Jangan membuat gerakan mencurigakan, jangan banyak tanya. Kamu sekarang foto-foto aku.”
Aku tanggap menuruti perintah Shelly. Berkali-kali aku memotretnya dengan berbagai pose dengan latar belakang kebun teh. Aku sedikit gelagapan ketika dia tiba-tiba mendekat dan merengkuhku. Postur tubuhnya yang lebih tinggi membuatku sedikit mendongak ketika menatap matanya.
“Ini di luar dugaanku,” bisiknya. “Ada yang mengamati kita.”
“Shh… shhh… shhh…”
Shelly memegang kedua pipiku, menahan wajahku, ketika aku hendak menoleh ke sekeliling.
“Kita ikuti permainan pengintip itu,” bisik Shelly. “Kalo bukan Pak Jemi, paling-paling itu temannya. Lebih aman lagi kalo itu adalah pengintip lain yang kebetulan lewat. Kita membuat alibi seolah-olah kita sepasang selingkuhan yang sedang memadu kasih ke Sektor 6, sektor yang terkenal paling sepi di kalangan buruh pemetik teh. Ingat, kamu adalah Tatang Winata, seorang pencatat timbang, sedang aku adalah Yayat, buruh pemetik teh. Itu yang orang-orang tahu. Samaran kita masih aman kalo orang-orang tahu kita hanyalah sepasang selingkuhan.”
Aku faham setelah penjelasan panjang lebar Shelly, malah merasa hangat dengan pelukan yang tiba-tiba kudapatkan di antara dinginnya udara perkebunan teh. Dalam rengkuhan Shelly, mau tak mau tubuhku berhimpit dengan tubuhnya, merasakan lekuk tubuh jangkung proporsionalnya. Ingatan adegan erotis yang yang diperagakan Shelly semalam membuat jantungku berdebar kencang dalam pelukan Shelly.
“Ih… apa yang kamu lakukan?” kaget Shelly ketika tiba-tiba kukecup pipinya.
“Mencoba bersikap natural,” jelasku. “Kita sudah berpelukan cukup lama. Biasanya sepasang kekasih akan ke tahap selanjutnya, ciuman.”
Shelly tak menanggapi penjelasanku. Dalam jarak sedekat itu, aku tahu matanya sedang fokus mengawasi satu titik tanpa menolehkan wajahnya ke sana. Aku menduga titik itu adalah tempat orang yang tengah mengintip kami. Mata awam sepertiku malah tak melihat apa-apa sama sekali di sana. Yang pasti, Shelly tak protes lagi ketika bibirku mendekati bibirnya. Kulabuhkan sebuah ciuman ringan yang hangat menggoda bibirnya. Ciuman-ciuman kecil yang tak dalam namun bertubi-tubi selanjutnya kulancarkan. Shelly tak menanggapi ciuman-ciumanku, matanya tetap saja waspada mengawasi pengintip kami. Namun lama kelamaan bibirnya yang tadinya kaku mulai santai. Ketika dengan jail kuhentikan ciumanku, bibir Shelly tiba-tiba saja mengejar bibirku.
Shelly terpatung ketika menyadari kini dia yang menciumku. Bibirnya membeku pada posisi aktif. Entah apa perasaan perempuan itu ketika ia melepaskan ciuman dan tersipu. Namun aku kepalang tanggung melepaskannya begitu saja. Ketika bibirnya malu-malu menjauh, aku malah mengejar bibirnya kembali. Bibirku menyorakkan kemenangan ketika merasakan bibir Shelly memberikan respon balasan. Resmilah kami berciuman, saling berciuman, bukan aku menciumnya, atau dia menciumku. Sekali lagi, kami kini benar-benar saling berciuman.
Berawal dari ciuman kecil saling menggoda. Tautan bertubi-tubi itu lama kelamaan menjerat bibir kami makin erat hingga terkekang pada ciuman yang dalam. Tahu-tahu bibir kami tak terpisahkan saling mengulum. Rongga mulut kami saling menutup satu sama lain, menghubungkan organ lidah kami yang tiba-tiba saja bertemu dan saling membelit.
“Apa ini juga bagian dari percobaan bersikap natural?” tanya Shelly ketika tangan kananku menjamah dadanya.
Bibir yang basah dengan leleran ciuman itu menatapku penuh selidik. Tangan kirinya yang tadi merengkuhku menggenggam tanganku di dadanya. Kulabuhkan kembali ciumanku setelah penolakan itu. Kugagahi keranjang daun teh yang sejak tadi menggelantung punggungnya hingga terjatuh ke rerumputan. Tanganku yang terlepas ketika ia meloloskan keranjang kugunakan untuk mempererat pelukanku. Kulingkari pinggangnya dalam dekapan erat tanpa melepaskan ciumanku. Shelly menepis tangan kiriku yang meremas bokongnya hanya untuk mendapati tangan kananku kembali menjamah dadanya. Ketika tangan kirinya menggenggam tangan kananku agar melepas dadanya, malah itu kesempatan bagi tangan kiriku menjamah selangkangannya yang tertutup kain jarik batik.
Selama melakukan itu, tak kulepaskan ciumanku pada bibirnya. Kuperhatikan matanya yang selalu mengawasi pengintip kami kini tak setajam sebelumnya. Tepisan tangannya kian lama kian lemah. Hingga ketika satu saat aku tengah meremas dadanya, bersiap hendak menjamah selangkanganya jika saja kini ia menepis lagi, aku tak mendapati perlawanan lagi. Shelly membiarkan tangaku meremas payudara kecilnya, mencubit kecil pinggangku ketika tanganku menelusup kebaya lusuhnya, lebih dalam menerobos kaos lengan panjangnya, membelai perutnya, naik ke atas menemukan cup BHnya.
“Hmmhhh…”
Shelly mempererat kuluman bibirnya. Sia-sia ia sembunyikan desah yang sekejap ia luahkan ketika tanganku menemukan puting susunya yang ternyata sekeras batu. Kulayani ciumannya yang semakin dalam ketika jemariku memainkan puting susu kirinya.
Aku tak mengenal seksualitas Shelly hingga tadi malam. Tiap wanita ingin diperlakukan berbeda ketika payudaranya dijamah. Memori semalam membuat aku tahu apa saja yang disukai Shelly ketika membelai titik erotisnya itu, aku tinggal mengikuti saja apa yang ia lakukan semalam. Dan hasilnya segera terlihat. Dalam sekejap Shelly telah menggelinjang dalam pelukanku. Usaha untuk menyembunyikan gairahnya makin sia-sia ketika dengus nafasnya makin menderu terdengar dalam ciumannya. Bahkan ketika kedua tanganku sudah menelusup ke dalam kaos panjangnya, ia terdongak membuka akses ke lehernya yang segera kulahap. Menggigit bibir menahan desah hanya membuatnya menjadi terlihat semakin seksi. Menggeleng-gelengkan kepalanya lebih terlihat seperti orang keenakan alih-alih memperlihatkan penolakan.
“Erwin!!!” pekik Shelly dalam bisikan ketika kugiring ke sebuah pohon dan menyingkap kebaya dan kaos panjangnya sekaligus dengan cup branya, memamerkan payudara kecil berputing besar yang langsung kulumat.
“Er… Er…winhhh…. Stttopp…hhhhh…”
Terpepet di batang pohon, Shelly meronta menolak ketika kucoba memberikan rangsangan yang lebih kuat dengan kulumanku di puting payudaranya yang telah terekspose. Dengan kuat ia sentakkan kepalaku menjauhi dadanya hingga kulumanku terlepas ketika aku tak menggubris penolakannya. Wajahku yang tertahan kuat oleh tangannya kini bisa melihat dengus nafas mata yang telah bergairah kuat di wajahnya. Ia menggeleng ketika aku tunjukkan ekspresi memohon.
Kutegakkan tubuhku menjajari tubuhnya menghentikan perbuatanku melihat keraguan wajahnya. Baju kaos dan kebayanya luruh menutup tubuhnya. Hanya BH yang tersangkut gundukan payudaranya yang masih tertahan di dada atasnya. Ekor mata Shelly melirik ke arah pengintip kami mengawasi.
“Masih ada?” tanyaku lirih membelai pipinya. Ia mengangguk.
“Shelly..., tujuan utama kita ke sini untuk mencari bukti penyalahgunaan kebun ini sudah terpenuhi kan? Jadi sebetulnya kita bisa pergi kapan saja....hmm sekarang pun bisa.”
Shelly hanya mengangguk. Jelas kegamangan di wajahnya menanti kelanjutan ucapanku. Kegamangan yang aku tahu menyimpan gairah. Aku yakin Shelly hanya butuh alasan yang tepat untuk melanjutkannya.
“Dengerin, Shelly. Aku bohong kalo bilang aku nggak menikmati semua ini. Aku laki-laki normal, dan kamu cantik. Kau tahu, bahkan aku sudah tertarik padamu sejak mengenalmu sebagai Yayat, si pemetik teh tercantik yang pernah kulihat.” Kunikmati rona merah wajah Shelly mendengar ucapanku yang memujinya. Kukecup keningnya lembut.
“Tapi aku telah bersuami, Erwin. Aku punya anak,” dengus Shelly membuang muka menghindari ciumanku yang ingin menyasar bibirnya lagi.
Aku tak menanggapi ucapan Shelly. Kupepet erat tubuhnya ke pohon. Tanganku langsung menyergap selangkangannya dan meremas gundukan kecil di sana.
“Hmm, kayaknya kamu sudah ganti celana dalam ya, Shelly?”
“Hah!” kaget Shelly mendengar tebakanku yang tanpa tedeng aling-aling.
Itu adalah waktu yang tepat bagiku untuk kembali menyingkap baju dan kebayanya, menemukan kembali payudara yang masih tak tertutup BH. Entah apa yang ada dalam benak Shelly ketika aku menyinggung celana dalamnya yang ketinggalan di kostanku setelah semalam ia lepaskan untuk bermain video call sex dengan suaminya. Aku menduga ia kini merasa bahwa gairahnya telah tertangkap basah olehku. Dugaanku makin kuat ketika ia kini tak melawan lagi ketika aku merunduk dan mengulum putingnya lagi. Di luar dugaan, puting yang tadi mengendur sejenak tiba-tiba mengeras hanya dalam sedetik. Jemari Shelly meremas rambutku ketika aku makin intens menjilat dan menyedot lembut puting susunya.
Simpul kain jarik di pinggang Shelly kulepaskan. Kain batik itu mengendor urung luruh ke bawah karena terjepit antara pantat Shelly dengan batang pohon. Namun itu sudah cukup bagi tangan kananku untuk menelusup ke dalam kain jarik, menemukan karet celana dalam Shelly, terus menerobos menemukan bulu-bulu kemaluan Shelly yang panjang. Aku telah melihatnya semalam, bulu-bulu panjang yang terasa jarang di tanganku kubelai makin ke bawah, menemukan sudut atas belahan kelamin Shelly. Berkutat di dalam celana dalam Shelly, kucoba membelai lembut permukaan kelamin Shelly.
“Erwinn..., komohon.... ini terlalu jauhhh,” bisik Shelly di telingaku yang tak henti-hentinya menyusu di dadanya.
Kutegakkan tubuhku dan menempelkan keningku di kening Shelly. Tangan kiriku menjamah payudaranya menggantikan mulutku, memelintir puting yang kini licin, merasakan desakan aliran gairah yang tetap membatu puting itu. Tangan kananku pun tak ingin berhenti di dalam celana dalam Shelly. Di luar dugaanku, tangan Shelly tak menepis perbuatanku. Tangan itu lunglai tak melawan semuanya. Mata kami bersitatap saling membaca pikiran masing-masing.
“Sehlly, ini satu-satunya alasan logis untuk meninggalkan tempat ini. Apa kata pengintip kita jika kita tiba-tiba saja berhenti sekarang tanpa penyelesaian?”
Sebuah alasan omong kosong yang kuucapkan asal-asalan. Belum tentu juga pengintip kami terpikir sejauh itu ketika melihat orang yang sedang pacaran. Namun ternyata Shelly tak menanggapi apa-apa ketika mendengar alasanku. Ia diam saja ketika aku mencium bibirnya, tanpa menghentikan rangsanganku di payudara dan kelaminnya. Aku kegirangan ketika merasakan jemari kananku membasah di dalam celana dalam Shelly.
Entah yang mana yang membakar gairah polisi cantik ini. Apakah kesepiannya terpisah dengan suaminya? Apakah gairah tanggung yang semalam tak terlampiaskan? Atau apakah rangsangan bertubi-tubi yang kuberikan sejak tadi? Namun yang pasti tanganku terasa makin becek, dengus nafas Shelly semakin berat, dan ciumannya terasa semakin dalam.
“Mmmh... kamu benar, Ewrin. Semakin cepat ini selesai, semakin cepat kita tinggalkan tempat ini tanpa membongkar samaran kita.”
Tak kuduga, tiba-tiba saja Shelly sudah luruh terjongkok di hadapanku. Kain jariknya yang telah longgar tak sempurna menutup bagian bawah tubuhnya ketika ia duduk jongkok terkangkang lebar, hanya tersampir di paha sebelah kanannya. Kaki sebelah kirinya terekspose telanjang sempurna memperlihatkan celana dalam putih yang ia kenakan di pangkal paha yang begitu mulus terlihat. Aku masih belum pulih dari kekagetan gerakan tiba-tiba Shelly itu ketika ikat pinggangku digagahi. Tak sampai semenit Shelly berhasil membuka celana kerjaku itu. Kutemukan binar kesungguhan di wajah Shelly ketika celana dalamku segera melorot untuk mendapat kuluman di penisku.
“Uuuh..., Shelly.”
Aku bertumpu dengan tangan kanan di batang pohon menahan nikmat di penisku ketika Shelly memberikan layanan oral padaku. Tangan kiriku membelai rambutnya, mengelus lehernya, sesekali berusaha menjangkau kenyalnya payudara kecil itu.
“Slruuuppppp.”
Shelly menyedot kuat penisku menembus kerongkongannya. Lidahnya bergerak-gerak menggelitik bagian bawah penisku yang sensitif.
“Uhukkk..... Mmuahhhh.... Cuihh.....”
Diiringi batuk mual Shelly, penis itu terlepas hanya untuk segera mendapatkan kocokan cepat yang licin karena liur Shelly. Kocokan cepat itu segera ditingkahi lagi dengan sedotan di kepala penisku, dan gelitik ujung lidahnya di leher bawah penisku. Selama melakukan aktifitasnya itu, mata Shelly terus menatapku, menghipnotisku dalam kenikmatan tiada tara, membuatku merasa telah menaklukkan gairah polisi cantik ini.
Aku segera tersadar ketika memejamkan mata menikmati perlakuan Shelly. Ketika secara alami penisku bersiap membangun gelombang orgasme, aku ingat ini baru permulaan.
“Shelly...,” dorongku pelan untuk menghentikan kuluman Shelly.
Namun betina ini malah kukuh dengan apa yang dilakukan. Menepis tanganku yang mencoba menghentikannya. Ia malah memajukan kepalanya menelan seluruh batang penisku. Menggeleng-gelengkan kepalanya membuat sensasi memijit di kerongkongannya, tak peduli batuk mual yang segera menderanya memuntahkan cairan lendir membasahi penisku.
Ketika ia kembali mengocok kencang penisku, aku gelagapan menyadari maksud Shelly dengan ‘segera selesai’. Ternyata maksudnya segera selesai untukku. Ternyata ia belum mau menyelesaikan ini bersama-sama.
“Se... sebentar, Shelly,” erangku. “A... aku mau duduk... pegal berdiri.”
Ini hanya alasanku untuk mengulur rangsangan. Kuatur nafasku menetralisir dorongan orgasmeku dengan melepas celanaku dan celana dalamku pelan-pelan. Ketika duduk bersandar di batang pohon di samping kiri Shelly, aku telah cukup reda untuk menerima kuluman Shelly lagi.
Dan benar saja. Ia tak memberi banyak waktu untukku. Segera saja ia mencaplok kembali penisku. Namun kali ini ia harus melakukannya dengan menunggingkan tubuhnya. Kain jarik batiknya yang telah berantakan tak mampu lagi menutup kedua kakinya ketika pantatnya terangkat saat menungging.
“Jangan...,” cegahnya dalam bisikan menahan tanganku yang hendak melepas kainnya.
“Shelly..., biarkan aku bermain-main sedikit.”
Jujur aku geregetan ketika berpikir Shelly masih saja bermain setengah-setengah. Membiarkan tangannya menahan kain jarik, tangan kananku dengan nakal kembali menelusup ke pinggangnya, terus ke bawah meraih karet celana dalamnya. Walaupun kain jarik tetap menutup tubuh bawahnya, toh Shelly tak mampu mencegahku melorotkan celana dalamnya.
Menelusup di antara paha Shelly, jemariku kembali bermain di belahan kelaminnya. Tangan kiriku kembali menyingkap seluruh pakaian atas Shelly. Tadinya kukira ia akan mencegahku seperti ketika aku menyingkap kain jariknya, kini Shelly tak sedikitpun mencegahku. Dari bawah ketiak kanannya, tangan kiriku memainkan payudara kecil yang menggelantung itu.
Aku sebetulnya sudah mengalah jika memang Shelly ingin memegang prinsipnya untuk tak melakukan hubungan kelamin denganku. Aku pasrah jika saja harus ejakulasi hanya dengan layanan oralnya. Sebagai prinsip laki-laki sejati, aku akhirnya hanya fokus untuk memuaskan Shelly tanpa hubungan kelamin pula. Tanganku semakin intens membelai dan menggelitik lidah bibir bawahnya ketika belahan itu terasa semakin banjir.
“Yaaahhhh.... begitu, Shelly. Sedot yang kencang biar cepet keluar,” racauku mengejar ejakulasiku, tanpa melemahkan gempuran di kelamin Shelly dengan jemari tangan kananku dan gelitik tangan kiriku di puting susunya.
Namun lama kelamaan kuluman Shelly terasa makin longgar. Sodokan mulutnya kini tak lagi menembus kerongkongannya, namun lama-kelamaan hanya berupa anggukan-anggukan kecil saja. Jepitan bibirnya bahkan kini tak terasa. Lidahnya pun tak lagi menggelitik ujung penisku. Semakin lama malah penisku hanya mencangklung saja di mulutnya, sedangkan kocokan tangannya menjadi sangat pelan.
Keherananku makin menjadi ketika ia malah bangkit bersimpuh di samping pahaku, menghadap ke arahku.
“Jangan berhenti,” desahnya.
Kuurungkan niatku menarik tangan dari selangkangannya mendengar ucapannya. Bersimpuh mengangkangi tangan kananku, ia raih tangan kiriku dan menangkupkan di dadanya. Tak ada pilihan lain bagiku selain melanjutkan rangsangan padanya. Namun anehnya, ia tak lagi merangsang penisku. Ia hanya memegang penisku dan mengocoknya pelan, kocokan yang hanya mempertahankan ketegangan penisku saja, tak ada rangsangan lebih.
“Jangan berhenti,” ucapnya mengingatkan ketika ia melepaskan penisku dan mengarahkan pandangan ke sekeliling.
“Hmmmh... coba perhatikan dedaunan sebelah sana. Jangan menoleh ke sana, hanya perhatikan lebih baik.”
Di antara desahnya, Shelly mengajakku memperhatikan tempat pengintip kami. Jika diperhatikan dengan baik, memang tampak bayangan seseorang di sana.
“Orangnya belum pergi kan?” tanyanya menguji pengamatanku.
Aku hanya mengangguk. Kini bisa memperhatikan tempat itu tanpa menoleh ke sana, tetap fokus merangsang Shelly.
Shreekk... shrekkk....
Aku membelalak ketika Shelly mengeluarkan sesuatu dari paha kanannya yang sejak tadi tertutup kain jarik. Rupanya sejak tadi ia menyembunyikan sepucuk pistol kecil di sana. Tanpa memperlihatkan lebih jauh lagi, Shelly menanggalkan kain jariknya dan menggunakannya untuk membungkus pistol. Polisi cantik itu kini telah telanjang seutuhnya dari dada ke bawah. Pakaian atasnya menggelung di bawah lehernya.
Shelly beringsut ke sampingku, menunggingkan tubuhnya bertumpu pada lutut dan berpegangan pada batang pohon. Menempelkan pipinya di batang pohon ia menatap mataku yang menunggu apa yang hendak ia ucapakan. Ia membelai pipiku dengan tatapan sayu.
“Ayo,” bisiknya. “Tapi jangan lama-lama ya.”
Aku tanggap dan beringsut ke belakang pantatnya yang merekah. Dengan tangan kiri memeluk pohon dan kepala tetap tersandar, tangan kanannya terjulur ke belakang, merekahkan bongkahan pantat kanannya, membuka akses yang begitu lebar dan basah di pangkal pahanya.
Kutempelkan ujung penisku di pintu liang senggama Shelly. Tangan kanan Shelly menggenggam penisku yang hendak menerobos masuk.
“Tetap awasi pengintip kita,” bisiknya.
“Aaaahhhhh!!!!”
Desah kami bersamaan ketika penisku langsung amblas begitu licin di dalam vaginanya. Tak seperti persetubuhan yang enggan, liang vagina Shelly menelan penisku dengan licin tanpa halangan dalam sekali dorong. Dan akhirnya persenggamaan ini terjadi begitu saja. Layaknya hubungan sex, pinggulku bergoyang depan belakang menggedor pantat Shelly dengan selangkanganku, menancap batang kerasku di lubang sempit dan licin itu.
Plok plok plok
Paha depanku beradu keras dengan paha belakang Shelly menimbulkan suara ketepok berisik di pagi yang dingin di tengah kebun teh, di antara ilalang *****, di bawah pohon yang menjadi saksi wajah Shelly yang meringis dan mengerang bebas pada tiap sodokanku. Wajah itu tampak kegelian dalam kenikmatan. Aku faham kerinduan pada ekspresi itu, aku faham akan kebutuhannya pada sebuah pelampiasan. Karena akupun mengalami hal yang sama. Kami adalah dua insan yang dilanda kesepian. Tak ada salahnya bagi kami melampiaskannya dengan alasan bodoh menyembunyikan penyamaran.
Shelly terpejam. Pantas saja ia memesan agar aku yang mengawasi pengintip kami. Sebagaimana semalam, ketika mengejar gairahnya, kewaspadaan Shelly memang turun drastis. Apalagi ketika sodokanku dari belakang tubuhnya kupercepat, aku tahu Shelly tak bisa melihat apapun di sekelilingnya dengan pandangan matanya yang hanya bisa sayu ditingkahi erangan kerasnya itu.
Sayang sekali kami sudah terlalu lama menahan pelampiasan. Hal itu menyebabkan persetubuhan ini tak bisa layak untuk dinikmati berlama-lama. Dalam sekejap kami sudah sampai pada fase untuk segera terhempas pada klimaks hubungan kelamin kami. Ketika merasakan liang senggama Shelly kian lama kian kuat mencengkram batang penisku di dalam, aku tahu aku tak perlu menahan gairahku lebih lama lagi.
“Shelly..., aku sedikit lagi keluar.... hah hah hah....,” dengusku tanpa menghentikan sodokan kencangku.
“Iyahhh.....”
Shelly hanya menanggapi lemah, namun makin memantapkan posisi pantatnya lebih tinggi menyongsong tiap sodokanku. Tangan kanannya menelusup di sela-sela pahanya menggosok clitorisnya sendiri dengan kencang, tampak ingin menambah kenikmatan dari sodokanku yang bertubi-tubi tanpa henti. Kepalanya yang tadi menyandar pohon terdongak menghayati denyut liang senggama yang menjelang orgasme.
Mengejar orgasmeku, mataku terpejam. Seperti Shelly menghayati denyut gelombang orgasme yang perlahan datang, akupun melalukan hal yang sama. Sodokan cepatku mendesak kencang ketika pertahanan ejakulasiku ambrol hingga aku melesakkaan penisku sedalam-dalamnya di liang vagina Shelly.
“Hah!!!”
Di puncak hilangnya kesadaranku saat orgasme, sempat kudengar pekikan keras dari mulut Shelly. Aku tetap terpejam menikmati ejakulasiku dan mengabaikan hilangnya daya cengkraman pada batang penisku. Spermaku menyembur saat penisku tak lagi berada di dalam vagina Shelly.
Awalnya aku mengira Shelly melakukannya karena tak ingin aku ejakulasi di dalam. Aku mengira ia melakukannya karena tidak menggunakan kontrasepsi dan mencegah resiko hamil benihku. Namun alasan sebenarnya semua itu terjawab ketika aku membuka mata. Di depanku, bersimpuh dengan wajah pias karena kaget, Shelly meringkuk tak berdaya di bawah tatapan Pak Jemi yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping pohon.
“Asyik banget kayaknya nih...” ucap laki-laki paruh baya itu enteng dan berkacak pinggang memandang tubuh telanjang kami dengan tatapan selidik. Tubuhnya tampak rapi seperti orang hendak pergi ke acara pesta, berkemeja batik kedodoran membungkus tubuh tuanya yang kurus dengan setelan celana formal. Tangan kanannya sigap mencengkram kemeja dan BH di leher Shelly hingga Shelly tak bisa menurunkan pakaian atasnya itu. Shelly tak berdaya sepenuhnya telanjang. Hanya mampu meringkuk menutup aurat utamanya dengan merapatkan paha, sementara kedua tangannya berusaha menutup buah dada kecilnya.
“Ppp... Pak Jemi... eeeh.... ini... eeeh....” Aku gelagapan tak menduga hal ini terjadi.
“Ampun, Paak. Kami ngaku salah. Kami nggak akan masuk-masuk ke sini lagi. Ampun, Paak. Jangan dilaporin ke mandor. Jangan dipecat kami. Tolong jangan bilang-bilang ke keluarga kami.”
Dalam ketelanjangannya di bawah ancaman Pak Jemi, Shelly merintih-rintih memohon. Sikapnya segera menyadarkanku hal yang paling penting saat ini. Tertangkap basah memasuki Sektor 6, hal terpenting yang bisa kami lakukan adalah mempertahankan penyamaran. Aku kagum dengan cepatnya Shelly tanggap dengan keadaan.
Mata Pak Jemi jelalatan melihat tubuh bawah Shelly yang masih telanjang sempurna. Pengalihan perhatian Shelly berhasil. Kain jarik Shelly yang teronggok tak jauh dari kaki Pak Jemi dan menyembunyikan sepucuk pistol tak sedikitpun menjadi perhatian Pak Jemi. Namun mudah diduga ke arah mana perhatian utama Pak Jemi. Tak lain pada kemolekan Shelly.
“Mau ngapain lo?” bentaknya ketika aku memungut kain jarik sekaligus pistol Shelly secara tersembunyi.
“Maafkan kami, Pak Jemi. Kami akan segera meninggalkan tempat ini,” alasanku mengulurkan kain jarik pada Shelly.
“Siapa bilang saya ijinin kalian pergi. Enak aja udah masuk area terlarang terus mau pergi begitu saja.”
Pak Jemi menarik leher Shelly hingga terpaksa bangkit. Shelly berdiri telanjang masih berusaha menutupi buah dada dengan tangan kiri dan selangkangan dengan tangan kanan. Tanganku menelusup ke dalam kain jarik menemukan pistol. Namun sayang, tak ada pengalamanku sedikitkpun menggunakan senjata api. Aku hanya memegang gagang pistol itu tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Shelly yang melihat gelagatku menggeleng-gelengkan kepala, mencegahku nekat menodong Pak Jemi dengan pistol.
“Pak Jemi, tolong jangan laporkan kami pada mandor karena masuk ke sini. Kami akan lakukan apapun. Tolonglah. Kami akan lakukan apapun asal tidak dilaporkan dan dibiarkan pergi.”
Aku kaget dengan sikap Shelly. Begitu kuatnya dia ingin mempertahankan samaran hingga membuat penawaran seperti itu. Padahal kamilah yang memiliki senjata saat itu.
“Nah, liat. Cewekmu lebih pintar dari kamu. Makanya, jadi laki jangan mau enak sendiri aja. Ceweknya lagi enak-enak udah ngecrot aja. Cewekmu tanggung tuh. Bukan begitu, Manis?”
Aku teringat kondisi di saat aku orgasme tadi. Aku tak menyadari kehadiran mendadak Pak Jemi. Jika Shelly menyadarinya saat itu, wajar saja ia urung mendapat puncak kepuasan karena kagetnya. Pantas saja tautan kelamin kami terputus begitu saja. Shelly menggigit bibir ketika Pak Jemi menghirup lehernya. Benarkah Shelly bersedia melayani laki-laki tua itu?
“Baik, Pak.... hhhh,” desis Shelly digerayangi Pak Jemi.
“Tapi tolong, jangan laporkan kami sama mandor ya. Biar Pak Jemi ndak dimarah, biar kami ndak dipecat, biar kita semua dapat enak....mmmmhhhh.”
“Cewek pintar... cewek pintar.... he he he...”
Pak Jemi terkekeh-kekeh melihat kepasrahan yang diperlihatkan Shelly. Segera saja ia mendorong tubuh Shelly hingga terdesak ke pohon. Kepalanya langsung merunduk mencaplok payudara telanjang di hadapannya. Shelly terpekik ketika menerima sedotan di puting susu kirinya. Dengan mata membelalak menerima perbuatan Pak Jemi, ia isyaratkan padaku agar mengenakan pakaianku. Kulepaskan jarik yang tengah kupegang, tetap menyembunyikan pistol. Ketika aku selesai memasang celanaku, Shelly yang masih terpejam-pejam menyusui Pak Jemi menunjuk ponsel di dekat keranjang teh.
Aku tanggap. Shelly berencana membuat video skandal Pak Jemi. Tak ada rugi baginya karena tak ada yang mengenalnya sebagai Shelly. Saat ini dia hanyalah seorang buruh pemetik teh bernama Yayat. Ia menggeleng dan menunjuk ke arah rerimbunan perdu ketika aku hendak merekam. Nurut aku menyelinap ke dalam pohon perdu itu untuk merekam.
“Jangan!!! Kyaaa!!!!”
Ketika aku sudah bersembunyi dan bersiap merekam, sikap Shelly yang tadinya pasrah tiba-tiba saja berubah. Dengan tubuh telanjang terdesak ke batang pohon, tiba-tiba saja ia meronta sekuat tenaga. Pak Jemi yang tak menduga hal itu sampai terdorong beberapa langkah ke belakang. Kesempatan itu digunakan Shelly untuk melepaskan diri dan berlari.
“Heh... mau ke mana loh. Dasar lonte!” kesal Pak Jemi mengejar.
Lagi-lagi Shelly memperihatkan kecerdasannya dalam situasi ini. Ia berlari ternyata bukan untuk menghindari Pak Jemi, ia menuju sudut yang sangat meminimkannya terlihat dalam rekaman. Pada sudut itu, aku yakin ia sengaja membuat dirinya terpelesat karena akar pohon. Pak Jemi yang melihat Shelly tersungkur segera menyergapnya. Layar rekaman ponsel yang kupegang segera menangkap adegan pemerkosaan itu. Meronta-ronta di bawah tindihan Pak Jemi, kesan Shelly sebagai korban diabadikan dengan baik.
“Tolooong! Jangaaaan!! Aaaahh!!!”
“Teriaklah sepuasmu, perempuan jalang! Nggak akan ada yang mendengarmu. Mmmhh...mmmhh....”
Merasa di atas angin, Pak Jemi dengan rakus kembali menyerang susu-susu kecil Shelly. Puting susu itu menjadi basah kuyup karena leleran liurnya. Lepas dari perhatian Pak Jemi, tak terlihat dalam rekaman ponsel, hanya aku yang bisa melihat ekspresi sesungguhnya di wajah Shelly. Menggeleng-geleng di bawah tindihan Pak Jemi. Gelengan itu adalah gelengan kenikmatan. Itu adalah ekspresi yang sama persis ia perlihatkan semalam atau beberapa saat lalu ketika aku menikmati susunya. Ekspresi yang jujur ia perlihatkan saat Pak Jemi tak memperhatikan, ekspresi yang ia tahu tak terekam oleh ponsel.
Sambil merekam, aku menggeleng-geleng dengan kepiawaian Shelly menghadapi kondisi ini. Tetap meronta-ronta sebagai korban pemerkosaan, hanya aku yang bisa mengerti maksud dari kaki-kaki Shelly ketika menendang-nendang kosong. Sekilas tampak seperti ingin melepaskan diri dari Pak Jemi, namun jika diperhatikan dengan baik, kaki-kakinya meronta-ronta itu justru dengan samar menyebabkan pinggulnya terdorong-dorong ke depan, menggesek-gesek pada perut Pak Jemi. Aku terbahak dalam hati menyadari bahwa Shelly pun tengah merangsang dirinya tanpa sepengetahuan Pak Jemi.
Puas menyusu, Pak Jemi bangkit dan menggunakan tangan kirinya mendorong leher Shelly ke tanah. Terdesak dengan ancaman tercekik jika melawan, tangan-tangan Shelly menggapai-gapai tak menentu arah memperlihatkan perlawanan. Memang tampak seperti tak sengaja, namun gerakan tangan Shelly itu justru menguak baju batik Pak Jemi hingga kancing-kancingnya terlepas, membelah dan memamerkan dada dan perut kurus laki-laki itu. Ketika tangan kanan Pak Jemi melepas kancing celananya, kaki-kaki Shelly yang sejak tadi meronta justru membuat celana itu lebih cepat merosot. Pak Jemi hanya perlu merogoh keluar batang penisnya dari celana dalamnya.
“Tidaaakkk!!! Tolooong!!! Jangaaan!!!!”
Shelly berteriak sangat keras ketika Pak Jemi mengarahkan ujung penisnya ke arah selangkangan Shelly. Namun bukannya merapatkan kaki dan menutup akses bagi penis keras itu, justru Shelly menjejak kaki dan mendorong pinggulnya ke atas. Sekilas nampak seperti orang yang menjejak untuk melepaskan diri dari himpitan. Namun alih-alih terlepas dari himpitan, penis Pak Jemi malah tertancap sempurna.
“Aaaaaakkkhh!!!!” teriak Shelly keras. Terekam sebagai suara histeris ngeri di layar ponsel, namun kenyataannya menyembunyikan ekspresi kenikmatan yang hanya dilihat oleh mata kepalaku.
“Ha ha ha ha!!!!” tawa Pak Jemi keras penuh kemenangan.
Kedua tangan Pak Jemi mencekal kedua pergelangan tangan Shelly kemudian mengaitkannya pada kedua paha Shelly yang tertekuk ke dada sehingga selangkangannya benar-benar terkuak dengan kedua kaki membentuk huruf M. Pak Jemi kemudian mengunci posisi itu hingga Shelly tak bisa bergerak.
Plok plok plok
“Kyaaaa...!!!”
Shelly makin berteriak histeris ketika Pak Jemi mulai menggenjotnya pada posisi itu. Posisinya yang terkunci membuatnya hanya bisa menggeleng ke kiri dan ke kanan menerima perlakuan Pak Jemi. Sebisanya meronta pada ruang gerak yang terbatas memperlihatkan sisa-sisa perlawanan seorang korban pemerkosaan. Sodokan-sodokan Pak Jemi sekilas terlihat tampak beringas. Namun sejatinya itu adalah buah dari licinnya liang senggama Shelly yang sedang ia gagahi. Aku pertahankan kesan brutal pemerkosaan dan focus merekam itu, menghindari raut wajah Shelly yang kini terpejam-pejam tiap menerima sodokan Pak Jemi, menggigit bibir bawahnya untuk meredam suara desahannya yang mengerang.
“Anjrit! Sempit bangat ni lonte!” umpat Pak Jemi tiba-tiba menarik penisnya dari liang vagina Shelly. Nyata ia tengah menarik nafas menetralisir ketegangannya.
Aku tersenyum mengejek kondisi Pak Jemi sekarang, mengingat ia sebelumnya mengejekku yang tak mampu memuaskan Shelly gara-gara kedatangannya yang tiba-tiba. Padahal kini pun ia harus bertahan sekuat tenaga mempertahankan performanya.
Pak Jemi memiringkan tubuh Shelly ke kanan, menyebabkan tangan kanan Shelly tertindih. Tetap menekuk lutut Shelly ke dadanya, kini ia rapatkan kedua lutut perempuan itu. Pak Jemi kemudian menggunakan tangan kiri Shelly sebagai pengikat kedua lututnya. Kini Shelly terkunci dengan posisi meringkuk ke kanan. Mengunci Shelly dengan posisi itu dengan tangan kirinya, jari-jari kanan Pak Jemi kemudian menggantikan penisnya mengorek belahan kelamin Shelly.
“Tidaaaakkkk!!!” kejang Shelly menerima perlakuan Pak Jemi. Meronta-ronta pada ruang gerak yang sangat terbatas itu sebisanya.
Pak Jemi tak peduli rontaan dan teriakan Shelly. Tangan kirinya makin kuat mengunci posisi Shelly sementara tangan kanannya mengubek-ubek vagina Shelly tanpa ampun.
“Sudaaaah.... sudah cukup... matikan,” teriak Shelly.
Aku masih setia mengabadikan momen pemerkosaan itu sebagai bahan skandal Pak Jemi ketika mendengar teriakan Shelly tersebut.
“Cukuuup... matikan...”
Aku mulai heran ketika ada yang janggal dengan ucapan Shelly. Kenapa ia mengatakan ‘cukup, matikan’, bukannya ‘cukup, hentikan’.
“Cukuuupppp.... matiiikaaaannnn.”
Lolongan Shelly menyadarkanku bahwa ucapan itu bukan ditujukan pada Pak Jemi, namun ditujukan padaku. Tanggap aku mematikan rekaman video dan menyembulkan kepala dari balik rerimbunan perdu.
“Sudah?” tanya Shelly tanpa suara menengik padaku yang kutanggapi anggukan.
Buk!
Aku terkejut dengan apa yang kulihat selanjutnya. Entah bagaimana caranya kini Shelly sudah terlepas dari kuncian Pak Jemi, malah sebuah tendangan membuat Pak Jemi terjengkang ke belakang. Ia jatuh dengan posisi duduk dan tak kalah terkejutnya dengan aku. Aku segera menyadari inilah kemampuan Shelly sebenarnya sebagai seorang polisi wanita, bukan perempuan pemetik teh yang lemah.
Terlepas dari cengkraman Pak Jemi, Shelly mengangkat kepalanya dengan bertumpu pada kedua sikunya di tanah. Dua kaki jenjang yang panjang segera menjepit kepala Pak Jemi kemudian menariknya hingga laki-laki tua itu tersungkur dengan hidung tepat ke selangkangan Shelly. Pak Jemi yang semula hendak bangkit dengan menjejak kedua telapak tangan segera menyadari maksud Shelly ketika wajahnya didesak ke belahan vagina Shelly.
“He he he,” kekehnya menatap mata Shelly.
“Hmmmhhh.... yes. Jilatin yang enak bandot tua. Kamu harus tanggung jawab atas perbuatanmu. Karena sudah berani-berani perkosa aku, sekarang kamu buktikan kalo kamu bisa puasin aku. Masa baru separuh permainan udah dikeluarin aja kontolnya. Sebel!!!”
Pak Jemi pasrah dalam kekuasaan Shelly. Ketika kepalanya digiring ke kiri dan ke kanan, ia tanggap menjilat bibir kiri dan kanan belahan vagina Shelly. Ketika kepalanya di dorong ke belakang, ia tanggap memberikan jilatan di clitoris Shelly. Ketika kepalanya ditarik dan dijejalkan ke selangkangan Shelly, ia tanggap meneroboskan lidahnya ke liang senggama perempuan itu dan menelusuri tiap rongganya dengan belitan lidahnya.
Melihat dominannya Shelly yang kini sudah tanpa tedeng aling-aling, gairahku bangkit. Aku melangkah mendekati pasangan itu.
“Diam di situ, Tatang,” tegas Shelly memanggilku dengan nama samaranku.
“Maafin Yayat ya, Sayang,” lanjutnya kemdian. “Yayat udah kepalang tanggung sama Pak Jemi. Kamu enggak keberatan kan aku mau selesai sama Pak Jemi aja. Kamu entar aja, aku mau dapet dulu sama Pak Jemi.”
Aku menggeleng-geleng kepala mendengar janji Shelly. Dalam kondisi ini masih saja ia mempertahankan penyamaran kami. Dengan kedua kakinya mengendalikan Pak Jemi, Shelly memutar kepala Pak Jemi hingga kini laki-laki tua itu terlentang dengan kepala dikangkangi Shelly. Pak Jemi hanya sekejap kehilangan mainannya karena Shelly segera bangkit dari posisi setengah terlentangnya. Tetap mengangkangi kepala Pak Jemi, kini ia jongkok di atas wajah laki-laki tua itu dengan kaki berjinjit.
“He he he,” kekeh Pak Jemi. “Dengerin tuh... cewek lo udah kepincut sama gue.... he he he.”
Shelly hanya mencibir mendengar kepongahan Pak Jemi. Tetap jongkok di atas wajah Pak Jemi, kedua telapak tangannya membelai dada keriput itu, mengusap hingga ke perut dan selangkangan Pak Jemi. Penis Pak Jemi yang mulai tenang istirahat agak lama kini sedikit kehilangan ketegangannya. Shelly meraihnya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya meremas kecil bola peler Pak Jemi.
“Naaahh... gitu dong, Neeng. Jangan ngelawan terus kayak tadi. Kalo kayak gini kan eenaaa....mmmhhh”
Ucapan Pak Jemi yang sesumbar segera terbungkam dijejali belahan memek di mulutnya. Laki-laki tua itu megap-megap disumpal selangkangan berbulu jarang panjang-panjang itu. Mau tidak mau ia melanjutkan kembali perannya menjaga rangsangan Shelly, pasrah dengan belaian Shelly yang bermain-main dengan penisnya.
Menggigit bibir entah karena menjaga keseimbangan pada posisi jongkoknya yang hanya bertumpu pada kaki yang berjinjit, atau karena nikmat dari permainan mulut Pak Jemi di kelaminnya, Shelly menggumam-gumam dalam desahan tetap mengocok penis Pak Jemi. Aku berdiri dengan setia hanya dua langkah dari mereka.
“Auuhh..., Pak!!!”
Pada satu moment, Shelly mendorong dada Pak Jemi dan mengangkat pantatnya menjauhi mulut Pak Jemi. Aku sempat melihat pahanya tersentak kejang sebentar sebelum ia menarik nafas dan terdongak.
“Tunggu sebentar...,” cegahnya ketika kedua tangan Pak Jemi hendak menarik pantatnya ke bawah.
Perlu waktu sejenak baginya sebelum kembali menurunkan pantatnya untuk dimainkan oleh Pak Jemi. Kembali tangannya mengocok batang penis Pak Jemi. Ia ludahi batang penis itu sebagai bahan pelumas hingga batang dan biji Pak Jemi tampak basah kuyup.
“Khrrrkhhh.... cuihhh!!!!”
Aku sempat terkaget dengan banyaknya liur yang diludahkan Shelly pada batang penis Pak Jemi. Detik selanjutnya aku dibuat geleng-geleng dengan kocokan cepat kedua tangan Shelly yang tak kalah kuyupnya. Penis itu tampak pasrah disiksa nikmat oleh Shelly. Namun ketika beralih ke wajah Shelly, ada ekspresi ketidaksabaran yang kutangkap. Aku terbahak-bahak dalam hati ketika menyadari ternyata penis Pak Jemi bukannya makin tegang dikocok Shelly, malah kulihat makin lunglai. Untung saja penis itu cukup panjang untuk bisa tetap dimainkan Shelly walaupun keadaanya mulai loyo.
“Anjrit...,” umpat Shelly dalam bisikan ketika ia kembali mendorong dada Pak Jemi dan mengangkat pantatnya. Kejang di paha Shelly kini lebih lama dari yang tadi. Ia butuh lebih lama untuk mengatur nafasnya sebelum kembali menurunkan pantatnya.
“Buka...”
Aku sebetulnya menunggu Shelly melanjutkan aksinya pada penis yang kian lama kian loyo itu. Namun bisikan tegas Shelly terdengar. Ketika aku menoleh ke wajahnya, ekspresi itu tampak memohon dan menunjuk celanaku. Gembung di selangkanganku jelas jauh berbeda dengan kondisi penis di genggaman perempuan itu.
Celanaku melorot dan hanya sekejap celana dalamku dilorotkan dengan tak sabaran oleh Shelly. Ia tarik tanganku hingga terduduk di samping kiri kaki kiri Pak Jemi. Shelly dengan kasar mendorong dada Pak Jemi dan mengangkat pantatnya. Telanjang bulat dengan tatapan beringas tepat ke arah mataku, ia merangkak ke arahku seperti harimau kelaparan. Mengangkangi kedua pahaku, kedua kakinya segera menjejak tanah. Kedua tangannya segera merengkuh tengkukku untuk mencari keseimbangan karena tubuhnya kini condong ke belakang. Ketika meraaskan desakan pinggul Shelly ke perutku, aku pun condong ke belakang dan menangkap lingkar pinggangnya untuk mencari keseimbangan. Posisi itu dengan tepat menautkan kelamin kami. Dan ketika pantat Shelly turun, penisku terbenam untuk kedua kalinya di kelamin polwan cantik itu.
“Ahhh....!!!”
Baik aku maupun Pak Jemi hanya melongo ketika tiba-tiba saja betina itu menjadi begitu liarnya di atas pahaku. Tanpa memerlukan waktu untuk mengadaptasikan penisku di liang senggamanya, Shelly langsung menggenjotku dengan kecepatan penuh.
Tetap menjaga keseimbanganku dengan memeluk pinggang Shelly, sebisanya kucoba menyusu pada puting payudara kecil yang bergerak turun naik dengan liar. Ketika aku berhasil mencaplok susu kiri, aku sekuat tenaga mempertahankan peganganku pada susu itu, hingga tak menyadari Pak Jemi sudah berdiri di samping kiriku. Ketika melepaskan susu Shelly untuk bernafas, tiba-tiba saja di atas kepalaku Shelly sudah mengulum penis Pak Jemi.
Shelly melepaskan pegangan padaku hingga tanpa dapat di tahan lagi tubuhku limbung ke belakang. Terpaksa akupun melepaskan pegangan pada pinggang Shelly untuk menggunakan tanganku menjaga tubuh yang merosot ke belakang agar tidak cedera. Terlentang di bawah kangkangan Shelly, kini aku bisa melihat rakusnya perempuan itu memberikan layanan oral pada Pak Jemi. Berpegangan pada paha Pak Jemi, ia relakan rambutnya dijambak Pak Jemi yang menyetubuhi wajahnya. Kuakui, sensasi itu sepertinya membangkitkan gairah Pak Jemi. Penis itu perlahan kembali menegang.
Shelly makin lama makin cepat menyetubuhi penisku. Gerakannya kian lama makin beringas. Nyata bahwa titik klimaksnya sudah dekat. Sebetulnya kasihan juga perempuan ini. Denganku ia urung mendapatkan kepuasan karena dikejutkan oleh kedatangan Pak Jemi yang tiba-tiba. Dengan Pak Jemi pun ia urung mendapat kepuasan karena tiba-tiba saja bandot tua itu loyo di tengah-tengah permainan. Dengan tenaga ronde keduaku, akupun membantu polwan ini meraih kepuasan seksualnya, aku turut menggenjot Shelly dari bawah.
“Aaakkh!!!” pekik Shelly menerima genjotanku dari bawah.
Paha Shelly mengejang hingga gerakannya terkunci. Dengan tangan kanan berpegangan pada paha Pak Jemi, tangan kirinya terpaksa ia gunakan untuk mendorong clitorisnya agar terpusat gesekan penisku. Hanya beberapa sodokan cepat setelahnya, batang penisku terkunci di dalam jepitan rongga vagina Shelly. Perempuan itu mengejang sesaat sebelum pinggulnya terkedut-kedut ke depan dalam ritme orgasme. Paha yang sekuat tenaga ia pertahankan mengangkang tak mampu lagi bertahan ketika kedutan pinggulnya tak kunjung terhenti hingga akhirnya Shelly tersungkur di dadaku.
Aku masih merasakan sisa dengus nafas orgasme Shelly di wajahku ketika merasakan pantat Shelly tergerak ke atas melepas cengkraman vaginanya dari penisku. Semula aku mengira Shelly ingin melepaskan tautan kelamin kami hendak beristirahat. Namun ketika merasakan tubuh Shelly terhentak-hentak, aku menyadari bahwa Pak Jemi telah menggunakan kesempatan itu untuk kembali menggagahi Shelly.
“Biarin aja...,” lemah Shelly mencegahku ketika hendak bangkit, mengeratkan pelukannya padaku di bawah hentakan Pak Jemi.
Plok plok plok
Dekatnya wajah Shelly dengan wajahku membuatku bisa melihat bagaimana siksa senggama yang dialami Shelly. Baru saja mengalami orgasme, yang telah tertahan begitu lama sejak semalam, bahkan dari gairah yang entak sejak kapan tertumpuk, kini ia harus menerima sodokan kencang bertubi-tubi di pusat syaraf seksualnya. Aku hanya bisa membelai wajah yang sedang tersiksa itu ketika makin lama sodokan Pak Jemi dari belakang Shelly terasa makin kencang.
“Hmmhhh...”
Shelly menciumku begitu dalam dengan tubuh kembali bergetar ketika sebuah sodokan kuat mendorong tubuhnya dalam sebuah hentakan. Ketika tak lagi terasa hentakan tubuh Shelly, aku tahu Pak Jemi sudah selesai dengan hajatnya.
“Jancuk!!! Enak banget memek buruh teh ini...” komentar Pak Jemi ketika bangkit dari belakang Shelly.
Lemah Shelly menegakkan tubuhnya dari posisi nungging tadi. Tampak lelah wajahnya ketika melihat penisku yang masih tegang belum menuntaskan ronde keduaku.
“Masih ada sperma Pak Jemi,” ucapnya memandang wajahku dengan lelah. Tangannya sudah menggenggam ujung penisku, menawarkan untuk melanjutkan dan menuntaskan.
Merasa kasihan dengan kelelahan Shelly, ditambah lagi pasti di dalam sana ada bekas sperma Pak Jemi, gairahku down. Apalagi ketika Pak Jemi yang sedang membenahi pakaiannya tampak sangat dekat dengan kain jarik Shelly yang menyembunyikan pistol. Aku menggeleng kemudian mendorong tubuh Shelly agar membebaskan tubuhku dari tindihannya. Beruntung Shelly telah pindah dari atas tubuhku ketika sperma Pak Jemi luruh dari sealngkangan Shelly. Wajah polwan itu memerah di bawah tatapanku yang memaksakan penis tegangku masuk celana. Entah apa perasaan perempuan itu menguras sisa sperma di liang vaginanya di bawah tatapanku.
Secepat yang aku bisa aku mengambil kain jarik dan celana dalam Shelly sekaligus dengan pakaian atasnya. Perempuan itu menyambarnya dan bersembunyi di balik pohon mengenakan pakaiannya.
“Ngapain ngumpet-ngumpet. Segala luar dalem udah kita liat dan udah kita rasain,” komentar Pak Jemi. Tak tahu alasan Shelly ke balik pohon agar pistolnya tak kelihatan.
“Iiih... ngapain sih bikin video-video kayak gini,” pekik Shelly tiba-tiba sudah keluar dari balik pohon dengan pakaian sudah rapi khas pemetik teh. Tangannya memegang ponsel yang tadi kugunakan merekam adegan pemerkosaan Pak Jemi padanya. Kedipan samarnya membuatku faham.
“Ya, buat kenang-kenangan lah, Yayat,” kataku.
“Kan Pak Jemi udah ngerasain tubuh kamu. Aku sebagai pacarmu tahu dirilah harus mengalah. Daripada dipecat. Makanya biar sama-sama enak, aku buat kenang-kenangan kita. Bukan begitu, Pak Jemi.”
Wajah tegang Pak Jemi ketika kuperlihatkan rekaman video di ponsel sudah cukup bahwa ia tak berkutik dengan skandal itu. Aku tahu ia tidak takut video itu disebar. Ia lebih takut tumbuhan ***** yang terekam di video itu yang tersebar.
“Sekali lagi maafkan kami, Pak Jemi. Kami nggak akan masuk lagi ke Sektor 6. Tapi biar kami mampu bayar hotel buat selingkuh, kami jangan dilaporin Mandor ya, biar nggak dipecat,” lanjutku memainkan peran.
Shelly menarik tanganku menjauhi laki-laki tua yang mematung itu. Matahari sudah cukup tinggi ketika kami meninggalkan Sektor 6. Kami bergegas ke tempat kerja samaran kami masing-masing. Aku ke gudang penimbangan teh, sedangkan Shelly bergabung dengan buru-buruh pemetik teh yang lain.
Tengah hari Natelie sudah sampai ke kostanku. Niatku yang hendak memadu kasih dengan istriku itu karena gairah tanggung yang diberikan Shelly di ronde keduaku tadi urung terlaksana karena ternyata Natalie bukan hanya datang dengan Bi Sum, namun bersama Riko pacar Herlin juga.
Ketika menjelang sore Riko dan Bi Sum jalan-jalan ke kebun teh, aku mengira itu adalah kesempatanku memadu kasih dengan Natalie. Apalagi saat itu Natalie sudah berbaring di kasur kostanku dengan hanya mengenakan salah satu kemeja kerjaku tanpa sehelai pun pakaian di baliknya. Pakaian yang ia gunakan saat perjalanan ke sini hanya tergantung di kapstok pintu. Tampaknya ia berniat menggunakannya kembali untuk perjalanan pulang nanti. Namun ketika aku berniat membersihkan diri sebelum bercinta dengannya, aku menemukan kejanggalan pakaian Natalie yang tergantung di kapstok. Pakaian itu terdiri dari kaos putih dan blazer abu yang menyelimuti sebuah BH dan celana denim ¾ yang tergantung di bawahnya. Mana celana dalamnya?
Melihat tas Natalie di dapur kost, aku tergoda membukanya. Dan ketika menemukan celana dalamnya basah kuyup dengan aroma sperma, aku tahu ada sesuatu yang terjadi dalam perjalanan ke sini. Pantas saja Natalie terlihat letih berbaring di kasur tadi.
Aku sebetulnya maklum jika Natalie melakukannya entah dengan siapa. Bisa jadi dengan Riko pacar Herlin itu. Hanya saja menjadi mengesalkan karena ketika giliran aku yang hendak menikmati tubuhnya, Natalie malah terlelap dengan wajah lelahnya, seperti wajah lelah Shelly setelah melayani Pak Jemi tadi pagi. Kutenangkan diriku meredakan birahi dan menelepon Herlin ke rumah.
“Hallo, Mas. Mbak Natalie udah nyampe? Dari tadi nggak ada kabarnya loh.” Suara Herlin terdengar di seberang.
“Udah. Tuh lagi istirahat. Kalian gimana di rumah?” tanyaku.
“Baik-baik aja. Ni aku baru abis mandi. Hans lagi mandi tuh abis aku selesai,” jelas Herlin.
“Kamu kok nggak nanyain pacarmu?” candaku.
“Kami udah putus kok,” aku Herlin mengagetkanku.
“Oh... yaudah kalo gitu. Baik-baik di rumah ya. Paling Mbakmu besok udah pulang. Kan Senin kudu ngantor. Aku telepon Tukiman dulu biar liat-liat rumah malam ini...”
“Nggak usah,” potong Herlin tiba-tiba.
“Kenapa?” tanyaku.
“Nggak usah deh... kan itu... eeeh... kan Riko dan Bi Sum... eh... eeee... kan Mbak Natalie tadi... eee... Tukiman... Nggak usah deh... eee.... itu... Kan Hans lebih gede... eh... maksud aku.. Hans kan udah gede buat jaga rumah.... udah dulu ya. Dadah, Mas Erwin.”
Aku makin heran dengan gelagapan Herlin yang menutup telepon tiba-tiba seperti itu. Tapi betul juga sih, Hans sudah cukup dewasa untuk menjaga rumah. Lebih gede..., ya mungkin maksud Herlin Hans sudah cukup bisa diandalkan untuk menjaganya. Kuputuskan menjerang air untuk membuat kopi membiarkan Natalie istirahat dalam tidur sorenya.


makasih updet lanjutannya @fantasisinta
 
POV ERWIN
Sudah beberapa minggu aku mengeksplorasi perkebunan teh milik Pak Karta yang kini kepemilikannya diwariskan pada Hans. Dengan sebuah kartu identitas palsu yang kudapat dengan menyogok murah pada seorang pegawai kependudukan, aku bisa melamar di sekretariat perkebunan. Beruntung birokrasi sekretariat itu tidak terlalu ketat hingga kartu identitas palsuku bisa lolos begitu saja. Aku akhirnya diterima bekerja setelah berpura-pura menghiba dan mengemis-ngemis, menceritakan jika aku baru saja diPHK di usia paruh baya, sementara aku punya keluarga yang harus kunafkahi. Tak sepenuhnya bohong memang, karena aku benar baru saja diPHK. Tapi aku tak sesengsara itu. Mandor sekretariat kemudian mempekerjakanku sebagai juru tulis hasil timbangan para pemetik teh, meringankan petugas timbang agar tak perlu bolak-balik alat timbang dan buku catatan. Gajinya tak seberapa, tapi mandor itu mengizinkanku makan siang bersama karyawan sekretariat yang lain.
Menjadi juru tulis timbangan membuatku tak bisa leluasa berkeliling kebun teh yang sangat luas ini, karena waktuku habis di gudang pengumpulan. Namun di sisi lain aku langsung tahu kapasitas produksi kebun ini dari catatan timbangan. Diam-diam kugandakan tiap catatanku dengan menyelipkan karbon dan kertas pribadiku di bawah tiap catatan. Dan benar saja dugaanku. Hasil kebun teh ini tak sesehat laporan di kantor pusat di Jakarta sana. Sampai kini aku masih belum tahu bagaimana caranya kebun ini menghasilkan laporan keuangan yang banyak dari pengiriman daun teh kering ke perusahaan-perusahaan pengemas teh. Uang dari mana yang mereka masukkan ke perusahaan masih menjadi misteri bagiku.
Misteri itu menjadikan aku menduga-duga. Dugaan pertamaku, barangkali orang-orang sekretariat kebun tidak mau kehilangan muka pada kantor pusat hingga melakukan talangan agar tampak positif. Namun kemungkin itu terlalu kecil karena sangat merugikan mereka sendiri. Dugaan keduaku, sekretariat kebun memiliki bisnis lain yang tak dilaporkan ke kantor pusat. Ini tampak lebih memungkinkan. Mereka kemudian menyiapkan sejenis upeti untuk menyembunyikan kedok usaha mereka. Dugaan seperti ini memang tidak merugikan perusahaan secara finansial, malah menguntungkan. Namun lain jadinya jika bisnis yang dijalankan orang-orang ini melanggar hukum. Perusahaan bisa-bisa dituduh melakukan praktek pencucian uang.
Aku lebih meyakini dugaan kedua ini. Tapi selama bekerja di sini, aku tidak juga menemukan bisnis apa yang dilakukan orang-orang kebun ini di luar tanaman teh. Aku sudah bisa membuktikan rekayasa keuangan mereka dari catatan-catatan timbangan yang kukumpulkan tiap hari. Tapi aku belum tahu dari mana kelebihan sumber keuangan mereka. Ketika menyamar menjadi wisatawan vila beberapa waktu sebelumnya, aku hanya bisa mengeksplorasi sebagian kecil kebun teh warisan Pak Karta ini.
Karena terpikir orang-orang kebun melakukan bisnis kotor, aku sempat menyambangi kantor polisi. Ingin rasanya aku melaporkan kecurigaanku dengan bertindak sebagai pihak perusahaan agar, jika saja nanti terbukti bisnis mereka melanggar hukum, perusahaan tidak terseret karena tidak tahu menahu. Namun ketika sudah sampai di kantor polisi, bahkan setelah mengisi formulir laporan, niatku urung kulakukan. Aku belum tahu sekuat apa bisnis diam-diam orang-orang ini, itupun kalau ada bisnis kotornya. Laporan ini bisa menjadi bumerang jika ternyata tak terbukti. Bisa-bisa Hans kehilangan hak warisnya gara-gara perbuatanku.
Dari kantor polisi itulah aku mengenal Shelly, seorang polisi yang melakukan hal sama denganku, sedang melakukan penyamaran. Waktu itu, ketika melangkah meninggalkan kantor polisi, berniat kembali ke kost-kostan murah yang kusewa selama ini, aku terhenti ketika merasa ada yang mengikutiku. Membalik badan dengan mendadak, kukira penguntitku akan menyingkir setelah kupergoki. Namun sebaliknya, seorang perempuan berpostur tinggi dengan setelan kemeja ramping kotak-kotak dan celana denim ketat malah santai mendekatiku.
“Selamat siang, Pak,” sapanya lembut namun tegas. “Mari ikut saya!”
Aku tak berkutik ketika perempuan itu memperlihatkan identitas kepolisiannya. Saat itulah aku tahu namanya Marcelia Gunawan. Aku nurut tak mau ambil perkara ketika ia melangkah ke sebuah warung makan sederhana.
“Kita mau minum aja, Pak,” ucapnya ketika akan ditawari makan oleh pemilik warung. Tangan panjangnya menjangkau dua botol soda dingin dan diangsurkan padaku.
“Kita belum berkenalan. Bapak tadi sudah liat kartu identitas saya. Panggil aja Shelly,” ulur tangan polwan yang ternyata cantik sekali.
“Tatang ,” sambutku pada jabat tangannya, tak ingin menyebut nama asliku.
“Kenapa tidak jadi bikin laporan di kantor tadi? Kan sudah isi formulir,” tanyanya santai membuka botol soda dan mereguknya.
“Maksudnya apa?” Aku mencoba berkilah.
Shelly tampak tersenyum melihat kewaspadaanku. Menilik wajahnya, tampaknya dia tak terlalu jauh lebih tua dari Herlin. Perempuan dewasa yang matang namun masih cukup muda.
“Sudahlah, Pak Tatang. Nama Tatang Winata yang Bapak pakai untuk melamar kerja di Kebun Teh mudah dilacak kepalsuannya. Sekarang jujur saja apa yang membuat Bapak ingin berurusan dengan kepolisian, Bapak Erwin Wardono?”
Aku tahu ucapannya bukan gertak sambal. Dengan dia sudah tahu identitas palsuku, aku cukup mengerti bahwa ia tidak main-main.
“Apa... apa ini sebuah interogasi? Kalau begitu saya minta surat perintah dan BAPnya.” Aku masih mencoba berkilah.
Shelly tampak manggut-manggut seperti sudah menemukan sesuatu dari sikapku. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu.
“Pak Erwin,” ucapnya tampak serius.
“Bapak sudah memperlihatkan kecerdasan Bapak dengan meminta surat perintah. Itu bagus. Jadi Bapak sudah mengerti posisi Bapak. Kartu identitas palsu di dompet Bapak saat ini dengan mudah menjebloskan Bapak ke penjara. Jadi Bapak tidak punya pilihan selain memberikan keterangan yang saya butuhkan. Kecerdasan yang Bapak tunjukkan bukan level seorang juru tulis timbangan teh. Sekarang, tinggal Bapak ungkapkan pada saya, apa urusan Bapak di Kebun Teh?”
Awalnya memang hubungan kami dimulai seperti itu, penuh dengan saling curiga. Namun itu tak perlu berlangsung lama. Semua terungkap ketika kami mulai saling bicara. Ternyata Shelly pun melakukan hal yang sama sepertiku terhadap jajaran di kantor kepolisian yang sedang ditempatinya. Shelly diam-diam tengah menyelidiki kasus peredaran ***** di wilayah ini. Shelly mengaku padaku jika ia melakukannya tanpa sepengetahuan pihak kantor kepolisian yang ditempatinya sekarang. Ia dikirim untuk misi ini oleh institusi yang lebih tinggi dari Jakarta sana. Hal itu disebabkan ada kecurigaan ada oknum aparat yang terlibat.
Setelah beberapa kali kami bertemu, ternyata justru Shelly membutuhkan aku untuk menjadi informannya di Kebun Teh. Ia mencurigai Kebun Teh sebagai kamuflase tempat produksi ***** yang diedarkan. Aku kaget, tetapi senang, ternyata kecurigaanku pada bisnis kotor kebun teh mulai terbukti. Rupanya kepolisian pun mencurigai aktifitas di kebun teh ini. Lebih jauh, Shelly ingin menggunakan kost-kostan sederhanaku sebagai markas penyelidikannya. Misi Shelly ternyata rentan bocor karena ada kemungkinan teman kantornya sendiri terlibat. Aku awalnya keberatan. Namun setelah banyak tawar menawar, akhirnya aku memberinya izin. Aku bersedia mengizinkan Shelly dengan syarat, jika nanti orang-orang kebun teh terbukti melakukan tindak pidana, perusahaan pusat di Jakarta tidak akan terseret pada kasus ini, karena aku sebagai pihak perusahaan membantu membongkar tindak pidana ini.
Shelly setuju. Jadilah Shelly kerap ke kostanku tiap ada perkembangan kasus. Aku bahkan memberikan kunci cadangan padanya karena ia datang tak kenal waktu, sering pada saat aku tidak ada di Kost. Hanya saja ia tak pernah menginap di kostanku. Dari Shelly aku banyak mendapat informasi keadaan lapangan Kebun Teh. Entah bagaimana Shelly tahu banyak seluk beluk Kebun Teh. Bahkan pada beberapa bagian sepertinya ia mampu menjelaskan dengan detail. Aku menduga ia juga memiliki informan sepertiku di bagian kebun, bisa jadi salah satu buruh pemetik teh adalah informan Shelly. Itu juga yang menjadi salah satu pertimbanganku mempertahankan Shelly menjadi partner mensyelidiki Kebun Teh.
Selama tinggal di sini, ada yang lucu ketika mendapat kabar dari Tukiman. Dia benar-benar percaya ketika Si Brengsek Sherly mengaku-ngaku hamil padanya. Aku tahu persis itu hanyalah akal-akalan Sherly untuk menggaet Tukiman, orang yang masih dia kira jajaran direksi di tempat kerjaku sebelumnya. Memiliki anak dari hubungan dengan orang penting tentu saja menjadi keuntungan tersendiri, jika saja orang itu benar-benar orang penting, bukan orang penting akal-akalan seperti Si Tukiman itu.
Tapi kasihan juga Tukiman. Gara-gara SMS Si Sherly hubungannya dengan Bi Sum jadi kurang baik sekarang. Semua aku tahu dari cerita Natalie. Natalie cerita padaku jika ia kesepian karena sejak malam terakhir aku di Rumah, ia belum lagi bisa bercinta. Kerenggangan hubungan Tukiman dan Bi Sum mempengaruhi kehidupan sexnya. Aku tak mau banyak bertanya apakah ia mencari kepuasan di kantornya. Semenjak pengakuannya di gazebo bahwa ia punya hubungan dengan Pak Slamet, satpam kantornya, aku tak pernah lagi menanyakan affairnya di kantor. Walaupun aku tak sepenuhnya percaya kalau ia benar-benar terlepas dari kehidupan affair kantornya. Kebisuannya ketika kutanya kenapa ia dan Herlin pulang dalam keadaan kusut masai ketika pertama dijemput Herlin tidak pernah menemukan titik terang.
Mengingat Herlin, aku sedikit sedih menyadari ironi dalam kehidupan keluargaku. Bukan dari Natalie yang nyata-nyata ibu kandung aku mendapat kabar tentang Hans, tapi justru dari Herlin. Si Cantik sepupu Natalie itu memang dekat dengan Hans. Herlin mengabariku jika Hans sepertinya sedang mengalami masalah menjelang kelulusannya. Terlepas dari rasa penasaranku yang penuh curiga bagaimana Hans menjadi pewaris tunggal perusahaan teh Pak Karta, tetap saja waktu yang dihabiskan untuk membesarkannya hingga kini membuatku memiliki kasih sayang padanya. Aku lega dan berterima kasih pada Herlin yang mau peduli pada anak itu.
Sisa-sisa kenormalan hubungan suami-istri dengan Natalie membuatku sedikit lega mengetahui Natalie tidak berkesempatan main serong dariku, seimbang dengan keadaanku di sini yang tak bisa main mata sedikitpun. Menjadi seorang pegawai rendahan ternyata benar-benar menjatuhkan harga seorang laki-laki. Tetangga-tetangga kostku yang rata-rata memang pegawai rendahan tak ada yang mempedulikanku. Aku juga menjaga agar tak terlalu menarik perhatian karena saat ini memang sedang menyamar. Satu-satunya orang yang mengetahui jati diriku hanyalah Shelly Si Polwan itu.
Kemudian tiba-tiba saja Natalie menghubungiku dan berencana ingin menginap di kostanku di akhir pekan ini. Ada nada kerinduan darinya kurasakan ketika ia mengabarkan padaku rencananya itu, kerinduan yang sejujurnya juga memenuhi denyut di rongga selangkanganku yang terasa penuh tak pernah tersalurkan. Namun di sisi lain, aku sebetulnya tak siap menerima kunjungan siapapun dengan situasi kost-kostanku yang dipenuhi berkas-berkas penyelidikan kasus milik Shelly. Kukabari Shelly masalah itu hingga tadi malam ia datang ke kostanku, ingin setidaknya membereskan berkas-berkas agar tidak tercecer dan rahasianya bocor. Janji datang jam sembilan, Shelly malah molor sampai jam sebelas sampai di kostanku. Aku terkantuk-kantuk membuka pintu.
Shelly memohon maaf padaku karena ketika hendak ke sini jam sembilan ada rekan kepolisiannya yang main ke kostannya. Aku tak memerlukan alasannnya, malah merasa kasihan dengan dengus terengah-engah tubuhnya yang terbalut kemeja ketat dan celana jeans cirikhas dandanan Shelly. Sepertinya ia sangat terburu-buru ke sini. Aku membiarkannya masuk membereskan berkas-berkasnya. Ingin rasanya aku membantu menyusun dan menutup berkas-berkas itu. Namun ia mencegahku karena tata letak berkas itu hanya dia yang tahu. Aku yang selama ini hanya menyediakan tempat dan tak pernah turut campur ketika ia sedang bekerja di sini hanya mengangkat bahu dan membaringkan diri di kasur murahan di sudut ruangan, satu-satunya perabotan di ruangan ini. Shelly mulai sibuk memasukkan berkas-berkas ke dalam kardus bekas minumku yang tak pernah kubersihkan.
“Ya sudah. Kalo mau ngopi masih ada tuh di belakang. Tapi panasin air sendiri ya. Gas ada kok,” ucapku memejam-mejam terkantuk-kantuk.
“Hmm,” balasnya membereskan sebuah laptop.
Aku terlelap ketika Sehlly hampir selesai mengemasi semua berkasnya. Ia tampak ingin istirahat dan beranjak ke ruang belakang kostku yang kujadikan dapur. Kesadaranku hilang bersamaan dengan hilangnya ia di balik tembok.
Kesadaranku terusik ketika terdengar suara grandle pintu. Aku memang peka mendengar grandle pintu. Memicingkan mata dengan lampu ruang yang masih menyala, pandanganku tertumbuk pada pantat Sehlly yang tengah merunduk di pintu. Hanya tubuhnya yang terlihat, kepalanya mengintip keluar.
“Ikh... malah di luar kayaknya ada anak-anak lagi begadang tuh di kamar kost sebelah, Mas.”
Shelly kembali menutup pintu. Tampak ia tengah menelepon. Aku kembali memejam ingin meneruskan tidurku. Ruang kost yang sudah lebih leluasa setelah berkas-berkas Shelly dibereskan membuat tempat cukup lapang kini. Kubiarkan saja Shelly di sini menelepon, membebaskan kapan saja ia hendak meninggalkan kost. Toh ia punya kunci cadangan sendiri.
“Lagian ngapain sih minta yang aneh-aneh deeeh...,” rengek manja Shelly ketika aku kembali terlelap.
Aku tak tahu berapa lama aku terlelap. Ketika merasa senggolan di kakiku, kesadaranku terusik. Ruang kost gelap. Sejenak kumengira Shelly sudah meninggalkan kostku. Namun aku segera menyadari pendar cahaya di sudut ruangan. Ternyata itu adalah pendar yang berasal dari layar ponsel Shelly. Dalam keremangan kulihat polwan itu duduk bersandar di tembok pembatas dengan ruang belakang kostku yang langsung menuju kamar mandi sekalian dapurku. Duduk berselonjor di lantai, kaki panjangnya rupanya menyenggol kakiku hingga tak sengaja membangunkanku.
“Masa kurang jelas juga sih, Mas. Aku matiin lampu lah. Kan ada temanku, Mas. Lagi tidur tuh...,” bisik Shelly. Samar-samar kulihat ia kini menggunakan headset.
Aku sedikit kaget melihat kondisi kemeja yang dipakai Shelly saat ini. Lebih dari separuh kancingnya telah terbuka memperlihatkan payudara yang kini mengintip karena BHnya sudah disingkap ke atas. Payudara kecil itu tampak mengintip diterangi pendar cahaya ponsel.
“Udah, Mas. Ya? Aku balik ke kostku dulu deh terus lanjut... Ya?
Aku mengerti sekarang. Sepertinya Shelly sedang video call dengan seseorang. Sepertinya dengan suaminya. Aku tahu Shelly sudah bersuami dan kini memiliki seorang anak berusia 3 tahun.
“Ada temenku, Maaass...,” keluh Shelly pada lawan bicaranya.
“Ikh... awas ya kalo temenku bangun liat-liat perabotanku... Mas yang tanggung jawab ya...”
Aku memejamkan mata ketika Shelly bangkit. Ternyata ia menyalakan lampu. Aku silau dalam pejamku. Hening beberapa saat. Kemudian kurasakan tangan lembut Shelly menggoncang-goncang bahuku beberapa kali. Aku semula berniat akan membuka mata jika ia mengoncangkan tubuhku sekali lagi, karena aku mengira ia akan pamit. Namun tak ada lagi kurasakan tangan Shelly.
“Iddiihh.... dia udah buka aja. Tegang banget, Mas. Nggak dikeluar-keluarin ya?”
Malah terdengar Shelly sepertinya melanjutkan video callnya. Kupicingkan mata hingga bisa melihat dia sudah kembali ke tempat semula, duduk selonjor di lantai bersandar pada tembok. Diterangi lampu ruangan, kini wajahnya terlihat jelas, tampak senyum-senyum memandang layar ponsel. Terlihat ia sejenak mengalihkan pandangan padaku, seperti mengawasiku, sebelum akhirnya ia menanggalkan semua kancing kemeja kotaknya. Perut rata polwan itu tampak tertekuk karena punggungnya terbungkuk bersandar santai. Kemeja itu membelah memamerkan payudara yang masih mengintip karena ternyata ia tak menurunkan BHnya ketika menyalakan lampu tadi.
Sepertinya Shelly tak menyadari aku memicingkan mata. Ia kini membelai payudaranya sendiri dengan tangan kiri yang tak memegang ponsel sambil menatap menatap layar ponsel.
“Kontolmu tegang banget, Mas. Aku nafsu liatnya...hhhhh,” aku Shelly dengan vulgar pada lawan bicaranya diiringi desah.
Aku sadar atmorfir yang sedang merebak di ruang kost ini. Di sudut dinding, seorang betina tengah bernafsu menahan kerinduan digoda oleh erotisme suaminya yang terhalang jarak, hanya terhubung oleh kecanggihan alat komunikasi. Sementara tergeletak tak jauh di hadapan si betina, tak kalah pula seorang jantan yang tengah merindu, jantan yang dalam kondisi penuh semenjak tak mendapatkan pelampiasan.
“Ohhh..., Mas.”
Hanya sekejap Shelly mengawasiku sebelum ia melepas kancing celana jeansnya. Zipper celana itu segera terkuak ketika tangan kiri Shelly yang tadi memainkan payudaranya menelusup. Tak jelas kulihat bagaimana selangkangan Shelly karena posisiku yang berbaring di lantai. Yang dapat kulihat, wajah Shelly kini telah sayu memandang telepon. Bisik mesranya pada lawan bicara hanya terdengar seperti gumaman terhalang oleh desahnya yang terdengar dominan, desah yang tampak sekuat tenaga ditahan oleh Shelly agar tak terdengar berisik.
“Idihhhh... udah keluar ya!” Shelly tampak membelalak ke layar ponselnya. Ia tersenyum-senyum seperti menertawakan teman bicaranya itu.
“Aku belum sih... tapi udah basah banget, Yang.” Shelly mengeluarkan tangannya yang tadi menelusup ke celana. Benar saja, jemari itu tampak basah kuyup, bahkan terlihat sangat jelas walaupun aku hanya melihat dengan memicingkan mata.
“Udah deh, Maaas...,” keluhnya manja.
“Kan Mas udah. Masa masih aja pengen liat. Tuh tuh tuh... becek banget.” Shelly menunjukkan jemari basahnya pada ponsel.
“Aku ribet loh, Mas. Kalo kudu pegang ponsel terus kudu kasi liat ke kamu juga.”
Shelly tampak mendengarkan dengan seksama lawan bicaranya. Beberapa saat kemudian ia kembali menatapku, mengawasiku. Selanjutnya ia bangkit berdiri.
“Aku jadinya nanti ga bisa ngomong loh sama kamu kalo kayak gitu,” timbang Shelly.
Entah apa yang dikatakan lawan bicaranya. Yang pasti, Shelly tampak melepas headset dari telinganya. Shelly kemudian mengambil sebuah cangkir. Rupanya ia sempat menyeduh kopi saat aku tidur tadi. Ia sandarkan ponsel pada cangkir itu.
Aku hampir tak mempercayai apa yang kulihat selanjutnya. Tampak waspada mengawasiku, Shelly mulai menurunkan celananya hingga lepas. Celana dalam kecil putih yang ia kenakan pun segera menyusul terlepas. Hampir telanjang sepenuhnya, tubuh Shelly hanya menyisakan kemeja dan BH. Kemeja yang terkuak terlepas kancing seluruhnya dengan BH yang masih tersingkap ke atas. Aurat Shelly terekspose seluruhya. Payudara kecil itu memperlihatkan puting yang kini mengkilat dan mengacung sempurna, tak ingin menyembunyikan gairah pemiliknya. Di pangkal paha Shelly, sudut itu memperlihatkan kelamin yang ranum di antara dua paha yang jenjang, kelamin yang memperlihatkan bulu-bulu yang memanjang jarang-jarang tak begitu lebat.
Aku berdegup sekuat tenaga menahan agar tak terpengaruh, berusaha sekuat tenaga agar penisku tak merespon pemandangan erotis di hadapanku ketika Shelly kembali duduk, mengangkangi ponselnya yang tersandar pada cangkir. Speaker headset ia posisikan hanya beberapa senti di depan vaginannya yang kini ternganga memperlihatkan rekahan merah mudah yang basah.
Mengalihkan pikiran, kupusatkan benakkau pada hal lain agar penisku tak terpancing untuk ereksi. Namun ketika aku mencoba mengingat gundukan batu, mataku malah terantuk pada gundukan kecil dada Shelly yang terengah-engah seiring belaian jemari kirinya di puting-putingnya secara bergiliran. Ketika aku mencoba mengingat hamparan pasir pantai, aku terpaku pada hamparan perut rata Shelly yang ramping dan tungkai jenjang yang berpangkal pada paha mulus yang jenjang pula. Ketika aku mencoba mengingat makan siang dengan stik mewah, malah potongan daging merah di sela-sela jembut jarang Shelly menghipnotis gairahku, daging merah yang makin mengkilat memperlihatkan basahnya si pemilik daging merekah itu.
Jemari tangan kanan Shelly terus menerus membelai sudut atas belahan vaginanya. Terkangkang menghadap cangkir kopi, belahan kemaluan Shelly tak mampu menyembunyikan merahnya dua bibir kecil yang menyudut pada sebongkah clitoris yang tersiksa nikmat digiling jari tengah Shelly. Jembut-jembut jarang yang memanjang tak tercukur lepek membasah dari cairan senggama yang sebetulnya diperuntukkan agar penis mudah menembus liang itu.
“Hhhh….”
Shelly meringis sendiri menahan desah. Aku tahu sudut matanya sesekali mengawasiku yang masih tersiksa dalam tidur pura-pura. Aku sangat menyesali posisi terlentang yang kupilih sebagai posisi tidur favoritku. Tontonan yang disuguhkan Shelly benar-benar telah memacu aliran darahku menuju selangkanganku. Lorong-lorong kelaminku terasa hangat dipenuhi hangatnya kelenjar yang menghangatkan gairah, membuat batang penisku berdenyut-denyut, perlahan membengkak.
Shelly makin intens menggilas clitorisnya yang tampak makin banjir dan licin. Tangan kirinya yang tadi memainkan payudranya kini menelusup lewat bawah pahanya yang terkangkang lebar, menggapai selangkangan di pangkal pahanya, meremas belahan pantat dan bibir kiri vaginanya hingga belahan itu makin merekah saja. Pinggulnya terdorong-dorong ke depan mengejar jemarinya sendiri, seakan-akan mengejar-ngejar dan menyongsong batang kontol agar segera menyeruak liang vaginanya.
Aku sudah pasrah andai saja Shelly tiba-tiba memergoki gembung di celanaku. Aku saat ini hanya diselamatkan oleh kondisi Shelly yang sudah di ambang klimaksnya hingga matanya terpejam penuh, tak lagi awas pada keadaanku. Aku berdebar-debar menanti nasibku andai saja tertangkap basah mengintip aktivitas pribadi seorang yang sangat sembrono itu. Semua jari tangan kanan Shelly kini penuh menggosok seluruh permukaan vaginanya yang terbelah lebar direkah oleh cengkraman tangan kirinya di belahan pantat kiri. Dorongan pinggulnya makin intens mengejar orgasmenya. Terdesak dan terdesak pinggulnya mendorong kosong ke depan hingga pada satu titik pinggul itu mengunci diri pada satu doronga penuh diiringin tekanan penuh pula pada kelaminnya yang digesek secara becek dan brutal oleh tangan kanannya.
“Kyaa!!!!”
Sempat kudengar pekik kaget tertahan Shelly ketika ia terperanjat dan langsung bangkit menyambar celananya, segera menghilang secepat kilat di balik tembok ketika tiba-tiba saja alarm ponselku berbunyi. Akupun tak kalah kaget mendengar bunyi alarm itu. Kubuka mataku sepenuhnya setelah yakin Shelly tak ada lagi di ruang itu, buru-buru membetulkan celanaku menyamarkan ereksi. Keadaanku memang tak separah Shelly.
Kumatikan alarm ponsel. Alarm yang tadinya sengaja kubuat sebagai jaga-jaga jika saja Shelly benar-benar tak datang malam ini. Aku berencana akan membereskan sendiri berkas-berkas Shelly malam-malam sebelum Natalie datang hari ini. Alarm yang tanpa diduga menginterupsi gairah Shelly hanya sepersekian detik sebelum mencapai orgasmenya.
“Shelly! Kamu masih di sini.”
Pura-pura seperti orang baru bangun tidur, kupanggil Shelly dari tempat tidurku. Aku yakin dia bisa mendengarnya di kost kecil ini. Aku bangkit melewati ponsel Shelly yang masih tersandar di cangkir, kini menampilkan layar gelap. Video call tampaknya dimatikan oleh lawan bicara Shelly. Di depan kamar mandi yang sekaligus menjadi dapur, tak kutemukan Shelly. Hingga kuketuk pintu.
“Kamu di sana, Shelly?” ketukku pada pintu kamar mandi.
Shelly membuka pintu kamar mandi dengan penampilan yang sudah rapi. Kutuang air putih dan mereguknya ketika Shelly melewatiku dengan senyum canggung. Kuiringi langkah Shelly ke ruang tidur kost yang kini tampak lapang.
“Kenapa, Shelly?” tanyaku ketika melihat Shelly celingak-celinguk seperti mencari-cari sesuatu.
“Eeeh... enggaaak... itu... eeeeh.... aku pamit!” bingung Shelly.
“Okey...,” jawabku walau sejujurnya masih berdebar dengan aksi Shelly beberapa saat lalu.
Merunduk menghindari pandanganku, Shelly memungut ponselnya, bergegas ke belakang membereskan cangkir kopinya. Ia masih menghindari tatapanku ketika melangkah ke pintu. Sebelum memegang handle pintu, dia masih menyapukan pandangan ke sekeliling ruang kost sempit ini.
“Kamu nggak ke kamar mandi dulu? Nggak kepengen pipis gitu? Kan baru bangun tidur.”
Aku tidak mengerti ke arah mana pembicaraan Shelly menanyakan hal-hal semacam itu. Padahal sedetik sebelumnya ia sudah pamit pulang. Aku merunduk menatap selangkanganku sendiri hingga yakin ereksiku tak terlihat oleh Shelly. Akhirnya aku hanya menggeleng.
“Eeehh... ya sudah kalo gitu... eeee... aku pamit.”
Lama aku mematung sepeninggal Shelly sebelum akhirnya memutuskan kembali tidur tanpa mematikan lampu. Ketika merebahkan kepala di bantal, hidungku seperti menghirup aroma yang cukup kukenal, aroma kental kewanitaan. Aku terbelalak ketika menoleh ke kanan. Seonggok celana dalam Shelly terjebak di celah antara bantal dan tembok. Rupanya Shelly terlalu kaget meraih celananya saat alarm berbunyi hingga tak menyadari celana dalamnya terlempar ke sini ketika ia tengah bergegas ke belakang. Aku saja yang tadi tidur di sini tak menyadari hal itu karena kaget. Pantas saja Shelly celingak-celingkuk dan setengah memaksa aku ke kamar mandi. Rupanya ia ingin lebih leluasa mencari celana dalamnya.
Dadaku kembali berdegup kencang menemukan penutup perabotan pribadi Shelly ini. Tanpa dapat kucegah tangan kiriku bergerak sendiri menjejalkan celana dalam itu ke hidungku, menghirup aroma yang tadinya hanya bisa kusaksikan dengan pura-pura tidur. Tangan kananku dalam sekejap menelusup ke penisku, memberikan kocokan-kocokan nikmat sembari tetap menghirup aroma kewanitaan Sehlly. Aku hampir orgasme ketika ponsel terkutuk itu kembali berbunyi. Puncak gairahku bernasib sama seperti Shelly, putus di ujung pelampiasan. Kuterima telepon yang ternyata berasal dari Herlin, yang lebih terkutuknya hanya menggodaku mengenai rencana kedatangan Natalie hari ini. Dongkol kumarahi Herlin, tak peduli ejekan sepupu istriku itu yang tak mengerti siksaan gairahku. Aku terlalu kesal untuk melanjutkan aktifitas seksualku setelah selesai menelepon.
Aku terbangun keesokan harinya pagi-pagi buta karena dering ponsel. Tadinya aku mengira Natalie yang meneleponku untuk memastikan kedatangannya hari ini. Dia memang sudah bilang padaku jika ia berencana berangkat pagi-pagi agar siangnya dia sudah sampai di sini. Namun layar di ponsel menampilkan nama Shelly. Aku sempat melirik celana dalam yang masih terongkok di bantalku sebelum menerima telepon.
“Erwin, kamu datang sekarang ke kebun teh. Kita ketemu.” Suara Shelly terdengar sigap.
“Lah kan emang ntar aku mesti kerja di gudang, Shelly,” jawabku.
“Sekarang, Erwin!” tegas Shelly. “Semalam aku sempat survey ke Sektor 6, blok kebun teh yang selama ini paling tertutup. Pagi ini aku berencana menyelidiki lebih dalam ke Sektor 6, tapi aku perlu bantuan kamu. Cepat ya. Aku tunggu di jalur sektor 6. Kamu bisa liat di peta kebun di sekretariat.”
Tak sepenuhnya mengerti, aku turuti keinginan Shelly. Aku hanya membersihkan diri seadanya. Menumpuk pakaian kotorku dengan celana dalam Shelly di ember dan berganti dengan pakaian sehari-hari aku bekerja di kebun teh.
Aku tak sebodoh itu untuk tidak tahu jalur sektor 6. Walau tak pernah punya waktu menelusuri seluruh kebun teh, aku cukup hafal jalur-jalur tiap blok dan sektor kebun ini karena seringnya melihat peta di kantor sekretariat. Aku langsung melangkah ke arah yang ditunjuk Shelly itu.
Selama melangkah, aku mengingat-ingat kembali peristiwa semalam. Setahuku, Shelly keluar dari kostku tak memakai celana dalam. Berarti semalam ia melakukan survey ke Sektor 6 hanya memakai celana denim ketat tanpa celana dalam. Lalu berapa lama ia melakukan survey hingga pagi-pagi buta begini ia sudah mengajakku mengeksplorasi Sektor 6? Berarti semalam Shelly sangat sibuk. Apakah tidak melanjutkan aktivitas seksualnya? Selama ini aku selalu menduga-duga jika Shelly memiliki seorang informan di kebun teh karena ia begitu tahu banyak seluk-beluk Kebun. Kenapa ia tidak mengajak informannya itu?
“Erwin...”
Suara panggilan seorang perempuan menghentikan langkahku di mulut jalur Sektor 6. Dari bawah sebuah pohon, seorang perempuan pemetik teh mendekatiku. Aku mengenal tubuh jangkung pemetik teh itu. Namanya Yayat. Tiap menyerahkan hasil petikannya, aku sering tergoda hendak mendekatinya. Di antara para pemetik teh, tubuhnya yang selalu terbalut kebaya lusuh di balik baju hangat lengan panjang yang tak kalah lusuh cukup menggoda. Wajahnya yang selalu terbalut handuk bermandi peluh jauh lebih menarik dibanding perempuan-perempuan pemetik teh yang lain.
“Ngapain di sini pagi-pagi gini, Yayat?” heranku dipanggil begitu akrab oleh orang yang diam-diam ingin kuincar.
“Kamu bodoh atau kurang perhatian sih, Erwin?”
Aku terbelalak ketika Yayat memperlihatkan sebuah kartu identitas padaku. Barulah aku menyadari siapa Yayat selama ini. Ternyata dia adalah Shelly yang tengah menyamar. Pantas saja ia tahu banyak seluk beluk Kebun Teh.
Wajahku menghangat ketika Yayat alias Shelly menggiringku memasuki jalur Sektor 6. Aku membuang muka tiap kali Shelly menatap wajahku.
“Jadi ngerti kan sekarang kenapa aku bisa tahu identitas palsumu.”
Ada nada mengejek yang kurasakan dari ucapan Shelly. Aku sedikit beku dengan nada itu. Namun mengingat bagaimana gairah Shelly semalam, aku lebih hangat.
“Kamu pulang dari kostanku langsung survey ke sini?” penasaranku sambil berjalan.
“Ii... yaaaah,” jawab Shelly tampak enggan. “Niatnya sih mau langsung pulang. Tapi di perjalanan aku sempat beli wedang hangat. Nggak sengaja ketemu Pak Jemi, orang yang selalu menghalau para pemetik teh kalau nyasar ke Sektor 6. Aku diam-diam nguping omongan dia sama temannya. Pagi ini dia mau pergi ada urusan keluarga, dia minta temannya buat jaga Sektor 6. Temannya itu bisa siap sekitar jam 8. Sekarang baru jam 6 lewat. Jadi kita punya waktu nggak lebih dari 2 jam.”
Aku ingat Pak Jemi. Sesekali memang kulihat di Sekretariat Kebun. Aku tidak pernah tahu apa pekerjaan orang itu. Tiap datang ke Sekretariat pasti dia diajak langsung masuk ke ruang Mandor. Rupanya dia penjaga Sektor 6.
“Jadi kamu curiga Sektor 6 adalah ladang *****?” tebakku.
“Tampak mencurigakan sih. Sektor 6 paling luas kan, di antara sektor-sektor kebun yang lain. Tapi selama aku menyamar menjadi buruh pemetik teh di sini, aku tidak pernah sekalipun mendapat kesempatan memetik di Sektor 6. Padahal di sektor lain aku malah sudah lebih dari sekali memetik teh di sana. Aku Tanya-tanya sama pemetik-pemetik lain, sama. Mereka juga tidak ada yang pernah memetik teh di Sektor 6. Aku makin curiga ketika pernah melihat sebuah truk memasuki Sektor 6 membawa buruh pemetik teh yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku hafal bentuk dan nomor truk itu, tapi aku tak pernah melihatnya parkir di gudang teh. Truk-truk itu langsung pergi begitu keluar dari sektor 6.”
Shelly betul. Selama ini truk teh hanya mengambil teh di gudang, tidak mengambil langsung dari kebun. Semua fakta ini semakin menguatkan dugaan penyelewengan kebun teh ini.
“Kamu tahu kan lokasi pengeringan?” tanya Shelly sembari berjalan.
“Yaah,” jawabku yakin. Pabrik pengeringan tak sampai sekilo dari gudang.
“Aku nggak punya informan di sana. Rencananya sih aku mau investigasi ke sana setelah investigasi di sini selesai. Tapi kayaknya riskan banget deh kalo aku harus kejar-kejar ke sana pas ada jadwal truk. Kita kurang orang emang.”
“Hadeh… bilang aja butuh bantuanku,” sindirku. “Emang tugasnya apaan?”
“Gampang kok.” Shelly alias Yayat tersenyum. “Cuman ngebandingin jumlah truk yang berangkat dari gudang penimbangan ke pabrik pengeringan, sama jumlah truk yang keluar dari pabrik pengeringan ke pengiriman.”
“Hmm… jadi jelas ada yang nggak beres kalo ternyata jumlah truk yang menuju ke pengiriman tiba-tiba nambah, ya?” analisisku.
“Aku pastikan itu kamuflase pengiriman ***** kering jika hasil kita hari ini benar-benar menemukan ladang *****,” yakin Shelly.
Kami berjalan semakin jauh ke dalam Sektor 6. Semakin masuk, semakin tampak tanaman-tanaman teh tak terawat. Sangat ironis, sektor kebun teh yang paling luas justru tak terawat seperti ini. Tanaman-tanaman teh tumpang tindih dengan tanama-tanaman ilalang yang justru tampak lebih lebat daripada tanaman teh itu sendiri.
“Anjrit!!!” ungkap Shelly tiba-tiba.
“Sudah terbukti, sudah terbukti, kebun teh di sektor ini sudah difungsikan menjadi ladang *****. Erwin, cepat ambil foto dan video.”
Shelly menunjuk-nunjuk tanaman-tanaman yang terselip di antara tanaman-tanaman teh dan ilalang. Aku tak begitu tahu bentuk pohon ***** awalnya, jika saja Shelly tak memberi tahuku. Aku mengumpat pula dalam hati, ternyata kebun teh warisan untuk anakku disalahgunakan seperti ini.
“Erwin,” panggil Shelly tiba-tiba serius.
“Jangan membuat gerakan mencurigakan, jangan banyak tanya. Kamu sekarang foto-foto aku.”
Aku tanggap menuruti perintah Shelly. Berkali-kali aku memotretnya dengan berbagai pose dengan latar belakang kebun teh. Aku sedikit gelagapan ketika dia tiba-tiba mendekat dan merengkuhku. Postur tubuhnya yang lebih tinggi membuatku sedikit mendongak ketika menatap matanya.
“Ini di luar dugaanku,” bisiknya. “Ada yang mengamati kita.”
“Shh… shhh… shhh…”
Shelly memegang kedua pipiku, menahan wajahku, ketika aku hendak menoleh ke sekeliling.
“Kita ikuti permainan pengintip itu,” bisik Shelly. “Kalo bukan Pak Jemi, paling-paling itu temannya. Lebih aman lagi kalo itu adalah pengintip lain yang kebetulan lewat. Kita membuat alibi seolah-olah kita sepasang selingkuhan yang sedang memadu kasih ke Sektor 6, sektor yang terkenal paling sepi di kalangan buruh pemetik teh. Ingat, kamu adalah Tatang Winata, seorang pencatat timbang, sedang aku adalah Yayat, buruh pemetik teh. Itu yang orang-orang tahu. Samaran kita masih aman kalo orang-orang tahu kita hanyalah sepasang selingkuhan.”
Aku faham setelah penjelasan panjang lebar Shelly, malah merasa hangat dengan pelukan yang tiba-tiba kudapatkan di antara dinginnya udara perkebunan teh. Dalam rengkuhan Shelly, mau tak mau tubuhku berhimpit dengan tubuhnya, merasakan lekuk tubuh jangkung proporsionalnya. Ingatan adegan erotis yang yang diperagakan Shelly semalam membuat jantungku berdebar kencang dalam pelukan Shelly.
“Ih… apa yang kamu lakukan?” kaget Shelly ketika tiba-tiba kukecup pipinya.
“Mencoba bersikap natural,” jelasku. “Kita sudah berpelukan cukup lama. Biasanya sepasang kekasih akan ke tahap selanjutnya, ciuman.”
Shelly tak menanggapi penjelasanku. Dalam jarak sedekat itu, aku tahu matanya sedang fokus mengawasi satu titik tanpa menolehkan wajahnya ke sana. Aku menduga titik itu adalah tempat orang yang tengah mengintip kami. Mata awam sepertiku malah tak melihat apa-apa sama sekali di sana. Yang pasti, Shelly tak protes lagi ketika bibirku mendekati bibirnya. Kulabuhkan sebuah ciuman ringan yang hangat menggoda bibirnya. Ciuman-ciuman kecil yang tak dalam namun bertubi-tubi selanjutnya kulancarkan. Shelly tak menanggapi ciuman-ciumanku, matanya tetap saja waspada mengawasi pengintip kami. Namun lama kelamaan bibirnya yang tadinya kaku mulai santai. Ketika dengan jail kuhentikan ciumanku, bibir Shelly tiba-tiba saja mengejar bibirku.
Shelly terpatung ketika menyadari kini dia yang menciumku. Bibirnya membeku pada posisi aktif. Entah apa perasaan perempuan itu ketika ia melepaskan ciuman dan tersipu. Namun aku kepalang tanggung melepaskannya begitu saja. Ketika bibirnya malu-malu menjauh, aku malah mengejar bibirnya kembali. Bibirku menyorakkan kemenangan ketika merasakan bibir Shelly memberikan respon balasan. Resmilah kami berciuman, saling berciuman, bukan aku menciumnya, atau dia menciumku. Sekali lagi, kami kini benar-benar saling berciuman.
Berawal dari ciuman kecil saling menggoda. Tautan bertubi-tubi itu lama kelamaan menjerat bibir kami makin erat hingga terkekang pada ciuman yang dalam. Tahu-tahu bibir kami tak terpisahkan saling mengulum. Rongga mulut kami saling menutup satu sama lain, menghubungkan organ lidah kami yang tiba-tiba saja bertemu dan saling membelit.
“Apa ini juga bagian dari percobaan bersikap natural?” tanya Shelly ketika tangan kananku menjamah dadanya.
Bibir yang basah dengan leleran ciuman itu menatapku penuh selidik. Tangan kirinya yang tadi merengkuhku menggenggam tanganku di dadanya. Kulabuhkan kembali ciumanku setelah penolakan itu. Kugagahi keranjang daun teh yang sejak tadi menggelantung punggungnya hingga terjatuh ke rerumputan. Tanganku yang terlepas ketika ia meloloskan keranjang kugunakan untuk mempererat pelukanku. Kulingkari pinggangnya dalam dekapan erat tanpa melepaskan ciumanku. Shelly menepis tangan kiriku yang meremas bokongnya hanya untuk mendapati tangan kananku kembali menjamah dadanya. Ketika tangan kirinya menggenggam tangan kananku agar melepas dadanya, malah itu kesempatan bagi tangan kiriku menjamah selangkangannya yang tertutup kain jarik batik.
Selama melakukan itu, tak kulepaskan ciumanku pada bibirnya. Kuperhatikan matanya yang selalu mengawasi pengintip kami kini tak setajam sebelumnya. Tepisan tangannya kian lama kian lemah. Hingga ketika satu saat aku tengah meremas dadanya, bersiap hendak menjamah selangkanganya jika saja kini ia menepis lagi, aku tak mendapati perlawanan lagi. Shelly membiarkan tangaku meremas payudara kecilnya, mencubit kecil pinggangku ketika tanganku menelusup kebaya lusuhnya, lebih dalam menerobos kaos lengan panjangnya, membelai perutnya, naik ke atas menemukan cup BHnya.
“Hmmhhh…”
Shelly mempererat kuluman bibirnya. Sia-sia ia sembunyikan desah yang sekejap ia luahkan ketika tanganku menemukan puting susunya yang ternyata sekeras batu. Kulayani ciumannya yang semakin dalam ketika jemariku memainkan puting susu kirinya.
Aku tak mengenal seksualitas Shelly hingga tadi malam. Tiap wanita ingin diperlakukan berbeda ketika payudaranya dijamah. Memori semalam membuat aku tahu apa saja yang disukai Shelly ketika membelai titik erotisnya itu, aku tinggal mengikuti saja apa yang ia lakukan semalam. Dan hasilnya segera terlihat. Dalam sekejap Shelly telah menggelinjang dalam pelukanku. Usaha untuk menyembunyikan gairahnya makin sia-sia ketika dengus nafasnya makin menderu terdengar dalam ciumannya. Bahkan ketika kedua tanganku sudah menelusup ke dalam kaos panjangnya, ia terdongak membuka akses ke lehernya yang segera kulahap. Menggigit bibir menahan desah hanya membuatnya menjadi terlihat semakin seksi. Menggeleng-gelengkan kepalanya lebih terlihat seperti orang keenakan alih-alih memperlihatkan penolakan.
“Erwin!!!” pekik Shelly dalam bisikan ketika kugiring ke sebuah pohon dan menyingkap kebaya dan kaos panjangnya sekaligus dengan cup branya, memamerkan payudara kecil berputing besar yang langsung kulumat.
“Er… Er…winhhh…. Stttopp…hhhhh…”
Terpepet di batang pohon, Shelly meronta menolak ketika kucoba memberikan rangsangan yang lebih kuat dengan kulumanku di puting payudaranya yang telah terekspose. Dengan kuat ia sentakkan kepalaku menjauhi dadanya hingga kulumanku terlepas ketika aku tak menggubris penolakannya. Wajahku yang tertahan kuat oleh tangannya kini bisa melihat dengus nafas mata yang telah bergairah kuat di wajahnya. Ia menggeleng ketika aku tunjukkan ekspresi memohon.
Kutegakkan tubuhku menjajari tubuhnya menghentikan perbuatanku melihat keraguan wajahnya. Baju kaos dan kebayanya luruh menutup tubuhnya. Hanya BH yang tersangkut gundukan payudaranya yang masih tertahan di dada atasnya. Ekor mata Shelly melirik ke arah pengintip kami mengawasi.
“Masih ada?” tanyaku lirih membelai pipinya. Ia mengangguk.
“Shelly..., tujuan utama kita ke sini untuk mencari bukti penyalahgunaan kebun ini sudah terpenuhi kan? Jadi sebetulnya kita bisa pergi kapan saja....hmm sekarang pun bisa.”
Shelly hanya mengangguk. Jelas kegamangan di wajahnya menanti kelanjutan ucapanku. Kegamangan yang aku tahu menyimpan gairah. Aku yakin Shelly hanya butuh alasan yang tepat untuk melanjutkannya.
“Dengerin, Shelly. Aku bohong kalo bilang aku nggak menikmati semua ini. Aku laki-laki normal, dan kamu cantik. Kau tahu, bahkan aku sudah tertarik padamu sejak mengenalmu sebagai Yayat, si pemetik teh tercantik yang pernah kulihat.” Kunikmati rona merah wajah Shelly mendengar ucapanku yang memujinya. Kukecup keningnya lembut.
“Tapi aku telah bersuami, Erwin. Aku punya anak,” dengus Shelly membuang muka menghindari ciumanku yang ingin menyasar bibirnya lagi.
Aku tak menanggapi ucapan Shelly. Kupepet erat tubuhnya ke pohon. Tanganku langsung menyergap selangkangannya dan meremas gundukan kecil di sana.
“Hmm, kayaknya kamu sudah ganti celana dalam ya, Shelly?”
“Hah!” kaget Shelly mendengar tebakanku yang tanpa tedeng aling-aling.
Itu adalah waktu yang tepat bagiku untuk kembali menyingkap baju dan kebayanya, menemukan kembali payudara yang masih tak tertutup BH. Entah apa yang ada dalam benak Shelly ketika aku menyinggung celana dalamnya yang ketinggalan di kostanku setelah semalam ia lepaskan untuk bermain video call sex dengan suaminya. Aku menduga ia kini merasa bahwa gairahnya telah tertangkap basah olehku. Dugaanku makin kuat ketika ia kini tak melawan lagi ketika aku merunduk dan mengulum putingnya lagi. Di luar dugaan, puting yang tadi mengendur sejenak tiba-tiba mengeras hanya dalam sedetik. Jemari Shelly meremas rambutku ketika aku makin intens menjilat dan menyedot lembut puting susunya.
Simpul kain jarik di pinggang Shelly kulepaskan. Kain batik itu mengendor urung luruh ke bawah karena terjepit antara pantat Shelly dengan batang pohon. Namun itu sudah cukup bagi tangan kananku untuk menelusup ke dalam kain jarik, menemukan karet celana dalam Shelly, terus menerobos menemukan bulu-bulu kemaluan Shelly yang panjang. Aku telah melihatnya semalam, bulu-bulu panjang yang terasa jarang di tanganku kubelai makin ke bawah, menemukan sudut atas belahan kelamin Shelly. Berkutat di dalam celana dalam Shelly, kucoba membelai lembut permukaan kelamin Shelly.
“Erwinn..., komohon.... ini terlalu jauhhh,” bisik Shelly di telingaku yang tak henti-hentinya menyusu di dadanya.
Kutegakkan tubuhku dan menempelkan keningku di kening Shelly. Tangan kiriku menjamah payudaranya menggantikan mulutku, memelintir puting yang kini licin, merasakan desakan aliran gairah yang tetap membatu puting itu. Tangan kananku pun tak ingin berhenti di dalam celana dalam Shelly. Di luar dugaanku, tangan Shelly tak menepis perbuatanku. Tangan itu lunglai tak melawan semuanya. Mata kami bersitatap saling membaca pikiran masing-masing.
“Sehlly, ini satu-satunya alasan logis untuk meninggalkan tempat ini. Apa kata pengintip kita jika kita tiba-tiba saja berhenti sekarang tanpa penyelesaian?”
Sebuah alasan omong kosong yang kuucapkan asal-asalan. Belum tentu juga pengintip kami terpikir sejauh itu ketika melihat orang yang sedang pacaran. Namun ternyata Shelly tak menanggapi apa-apa ketika mendengar alasanku. Ia diam saja ketika aku mencium bibirnya, tanpa menghentikan rangsanganku di payudara dan kelaminnya. Aku kegirangan ketika merasakan jemari kananku membasah di dalam celana dalam Shelly.
Entah yang mana yang membakar gairah polisi cantik ini. Apakah kesepiannya terpisah dengan suaminya? Apakah gairah tanggung yang semalam tak terlampiaskan? Atau apakah rangsangan bertubi-tubi yang kuberikan sejak tadi? Namun yang pasti tanganku terasa makin becek, dengus nafas Shelly semakin berat, dan ciumannya terasa semakin dalam.
“Mmmh... kamu benar, Ewrin. Semakin cepat ini selesai, semakin cepat kita tinggalkan tempat ini tanpa membongkar samaran kita.”
Tak kuduga, tiba-tiba saja Shelly sudah luruh terjongkok di hadapanku. Kain jariknya yang telah longgar tak sempurna menutup bagian bawah tubuhnya ketika ia duduk jongkok terkangkang lebar, hanya tersampir di paha sebelah kanannya. Kaki sebelah kirinya terekspose telanjang sempurna memperlihatkan celana dalam putih yang ia kenakan di pangkal paha yang begitu mulus terlihat. Aku masih belum pulih dari kekagetan gerakan tiba-tiba Shelly itu ketika ikat pinggangku digagahi. Tak sampai semenit Shelly berhasil membuka celana kerjaku itu. Kutemukan binar kesungguhan di wajah Shelly ketika celana dalamku segera melorot untuk mendapat kuluman di penisku.
“Uuuh..., Shelly.”
Aku bertumpu dengan tangan kanan di batang pohon menahan nikmat di penisku ketika Shelly memberikan layanan oral padaku. Tangan kiriku membelai rambutnya, mengelus lehernya, sesekali berusaha menjangkau kenyalnya payudara kecil itu.
“Slruuuppppp.”
Shelly menyedot kuat penisku menembus kerongkongannya. Lidahnya bergerak-gerak menggelitik bagian bawah penisku yang sensitif.
“Uhukkk..... Mmuahhhh.... Cuihh.....”
Diiringi batuk mual Shelly, penis itu terlepas hanya untuk segera mendapatkan kocokan cepat yang licin karena liur Shelly. Kocokan cepat itu segera ditingkahi lagi dengan sedotan di kepala penisku, dan gelitik ujung lidahnya di leher bawah penisku. Selama melakukan aktifitasnya itu, mata Shelly terus menatapku, menghipnotisku dalam kenikmatan tiada tara, membuatku merasa telah menaklukkan gairah polisi cantik ini.
Aku segera tersadar ketika memejamkan mata menikmati perlakuan Shelly. Ketika secara alami penisku bersiap membangun gelombang orgasme, aku ingat ini baru permulaan.
“Shelly...,” dorongku pelan untuk menghentikan kuluman Shelly.
Namun betina ini malah kukuh dengan apa yang dilakukan. Menepis tanganku yang mencoba menghentikannya. Ia malah memajukan kepalanya menelan seluruh batang penisku. Menggeleng-gelengkan kepalanya membuat sensasi memijit di kerongkongannya, tak peduli batuk mual yang segera menderanya memuntahkan cairan lendir membasahi penisku.
Ketika ia kembali mengocok kencang penisku, aku gelagapan menyadari maksud Shelly dengan ‘segera selesai’. Ternyata maksudnya segera selesai untukku. Ternyata ia belum mau menyelesaikan ini bersama-sama.
“Se... sebentar, Shelly,” erangku. “A... aku mau duduk... pegal berdiri.”
Ini hanya alasanku untuk mengulur rangsangan. Kuatur nafasku menetralisir dorongan orgasmeku dengan melepas celanaku dan celana dalamku pelan-pelan. Ketika duduk bersandar di batang pohon di samping kiri Shelly, aku telah cukup reda untuk menerima kuluman Shelly lagi.
Dan benar saja. Ia tak memberi banyak waktu untukku. Segera saja ia mencaplok kembali penisku. Namun kali ini ia harus melakukannya dengan menunggingkan tubuhnya. Kain jarik batiknya yang telah berantakan tak mampu lagi menutup kedua kakinya ketika pantatnya terangkat saat menungging.
“Jangan...,” cegahnya dalam bisikan menahan tanganku yang hendak melepas kainnya.
“Shelly..., biarkan aku bermain-main sedikit.”
Jujur aku geregetan ketika berpikir Shelly masih saja bermain setengah-setengah. Membiarkan tangannya menahan kain jarik, tangan kananku dengan nakal kembali menelusup ke pinggangnya, terus ke bawah meraih karet celana dalamnya. Walaupun kain jarik tetap menutup tubuh bawahnya, toh Shelly tak mampu mencegahku melorotkan celana dalamnya.
Menelusup di antara paha Shelly, jemariku kembali bermain di belahan kelaminnya. Tangan kiriku kembali menyingkap seluruh pakaian atas Shelly. Tadinya kukira ia akan mencegahku seperti ketika aku menyingkap kain jariknya, kini Shelly tak sedikitpun mencegahku. Dari bawah ketiak kanannya, tangan kiriku memainkan payudara kecil yang menggelantung itu.
Aku sebetulnya sudah mengalah jika memang Shelly ingin memegang prinsipnya untuk tak melakukan hubungan kelamin denganku. Aku pasrah jika saja harus ejakulasi hanya dengan layanan oralnya. Sebagai prinsip laki-laki sejati, aku akhirnya hanya fokus untuk memuaskan Shelly tanpa hubungan kelamin pula. Tanganku semakin intens membelai dan menggelitik lidah bibir bawahnya ketika belahan itu terasa semakin banjir.
“Yaaahhhh.... begitu, Shelly. Sedot yang kencang biar cepet keluar,” racauku mengejar ejakulasiku, tanpa melemahkan gempuran di kelamin Shelly dengan jemari tangan kananku dan gelitik tangan kiriku di puting susunya.
Namun lama kelamaan kuluman Shelly terasa makin longgar. Sodokan mulutnya kini tak lagi menembus kerongkongannya, namun lama-kelamaan hanya berupa anggukan-anggukan kecil saja. Jepitan bibirnya bahkan kini tak terasa. Lidahnya pun tak lagi menggelitik ujung penisku. Semakin lama malah penisku hanya mencangklung saja di mulutnya, sedangkan kocokan tangannya menjadi sangat pelan.
Keherananku makin menjadi ketika ia malah bangkit bersimpuh di samping pahaku, menghadap ke arahku.
“Jangan berhenti,” desahnya.
Kuurungkan niatku menarik tangan dari selangkangannya mendengar ucapannya. Bersimpuh mengangkangi tangan kananku, ia raih tangan kiriku dan menangkupkan di dadanya. Tak ada pilihan lain bagiku selain melanjutkan rangsangan padanya. Namun anehnya, ia tak lagi merangsang penisku. Ia hanya memegang penisku dan mengocoknya pelan, kocokan yang hanya mempertahankan ketegangan penisku saja, tak ada rangsangan lebih.
“Jangan berhenti,” ucapnya mengingatkan ketika ia melepaskan penisku dan mengarahkan pandangan ke sekeliling.
“Hmmmh... coba perhatikan dedaunan sebelah sana. Jangan menoleh ke sana, hanya perhatikan lebih baik.”
Di antara desahnya, Shelly mengajakku memperhatikan tempat pengintip kami. Jika diperhatikan dengan baik, memang tampak bayangan seseorang di sana.
“Orangnya belum pergi kan?” tanyanya menguji pengamatanku.
Aku hanya mengangguk. Kini bisa memperhatikan tempat itu tanpa menoleh ke sana, tetap fokus merangsang Shelly.
Shreekk... shrekkk....
Aku membelalak ketika Shelly mengeluarkan sesuatu dari paha kanannya yang sejak tadi tertutup kain jarik. Rupanya sejak tadi ia menyembunyikan sepucuk pistol kecil di sana. Tanpa memperlihatkan lebih jauh lagi, Shelly menanggalkan kain jariknya dan menggunakannya untuk membungkus pistol. Polisi cantik itu kini telah telanjang seutuhnya dari dada ke bawah. Pakaian atasnya menggelung di bawah lehernya.
Shelly beringsut ke sampingku, menunggingkan tubuhnya bertumpu pada lutut dan berpegangan pada batang pohon. Menempelkan pipinya di batang pohon ia menatap mataku yang menunggu apa yang hendak ia ucapakan. Ia membelai pipiku dengan tatapan sayu.
“Ayo,” bisiknya. “Tapi jangan lama-lama ya.”
Aku tanggap dan beringsut ke belakang pantatnya yang merekah. Dengan tangan kiri memeluk pohon dan kepala tetap tersandar, tangan kanannya terjulur ke belakang, merekahkan bongkahan pantat kanannya, membuka akses yang begitu lebar dan basah di pangkal pahanya.
Kutempelkan ujung penisku di pintu liang senggama Shelly. Tangan kanan Shelly menggenggam penisku yang hendak menerobos masuk.
“Tetap awasi pengintip kita,” bisiknya.
“Aaaahhhhh!!!!”
Desah kami bersamaan ketika penisku langsung amblas begitu licin di dalam vaginanya. Tak seperti persetubuhan yang enggan, liang vagina Shelly menelan penisku dengan licin tanpa halangan dalam sekali dorong. Dan akhirnya persenggamaan ini terjadi begitu saja. Layaknya hubungan sex, pinggulku bergoyang depan belakang menggedor pantat Shelly dengan selangkanganku, menancap batang kerasku di lubang sempit dan licin itu.
Plok plok plok
Paha depanku beradu keras dengan paha belakang Shelly menimbulkan suara ketepok berisik di pagi yang dingin di tengah kebun teh, di antara ilalang *****, di bawah pohon yang menjadi saksi wajah Shelly yang meringis dan mengerang bebas pada tiap sodokanku. Wajah itu tampak kegelian dalam kenikmatan. Aku faham kerinduan pada ekspresi itu, aku faham akan kebutuhannya pada sebuah pelampiasan. Karena akupun mengalami hal yang sama. Kami adalah dua insan yang dilanda kesepian. Tak ada salahnya bagi kami melampiaskannya dengan alasan bodoh menyembunyikan penyamaran.
Shelly terpejam. Pantas saja ia memesan agar aku yang mengawasi pengintip kami. Sebagaimana semalam, ketika mengejar gairahnya, kewaspadaan Shelly memang turun drastis. Apalagi ketika sodokanku dari belakang tubuhnya kupercepat, aku tahu Shelly tak bisa melihat apapun di sekelilingnya dengan pandangan matanya yang hanya bisa sayu ditingkahi erangan kerasnya itu.
Sayang sekali kami sudah terlalu lama menahan pelampiasan. Hal itu menyebabkan persetubuhan ini tak bisa layak untuk dinikmati berlama-lama. Dalam sekejap kami sudah sampai pada fase untuk segera terhempas pada klimaks hubungan kelamin kami. Ketika merasakan liang senggama Shelly kian lama kian kuat mencengkram batang penisku di dalam, aku tahu aku tak perlu menahan gairahku lebih lama lagi.
“Shelly..., aku sedikit lagi keluar.... hah hah hah....,” dengusku tanpa menghentikan sodokan kencangku.
“Iyahhh.....”
Shelly hanya menanggapi lemah, namun makin memantapkan posisi pantatnya lebih tinggi menyongsong tiap sodokanku. Tangan kanannya menelusup di sela-sela pahanya menggosok clitorisnya sendiri dengan kencang, tampak ingin menambah kenikmatan dari sodokanku yang bertubi-tubi tanpa henti. Kepalanya yang tadi menyandar pohon terdongak menghayati denyut liang senggama yang menjelang orgasme.
Mengejar orgasmeku, mataku terpejam. Seperti Shelly menghayati denyut gelombang orgasme yang perlahan datang, akupun melalukan hal yang sama. Sodokan cepatku mendesak kencang ketika pertahanan ejakulasiku ambrol hingga aku melesakkaan penisku sedalam-dalamnya di liang vagina Shelly.
“Hah!!!”
Di puncak hilangnya kesadaranku saat orgasme, sempat kudengar pekikan keras dari mulut Shelly. Aku tetap terpejam menikmati ejakulasiku dan mengabaikan hilangnya daya cengkraman pada batang penisku. Spermaku menyembur saat penisku tak lagi berada di dalam vagina Shelly.
Awalnya aku mengira Shelly melakukannya karena tak ingin aku ejakulasi di dalam. Aku mengira ia melakukannya karena tidak menggunakan kontrasepsi dan mencegah resiko hamil benihku. Namun alasan sebenarnya semua itu terjawab ketika aku membuka mata. Di depanku, bersimpuh dengan wajah pias karena kaget, Shelly meringkuk tak berdaya di bawah tatapan Pak Jemi yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping pohon.
“Asyik banget kayaknya nih...” ucap laki-laki paruh baya itu enteng dan berkacak pinggang memandang tubuh telanjang kami dengan tatapan selidik. Tubuhnya tampak rapi seperti orang hendak pergi ke acara pesta, berkemeja batik kedodoran membungkus tubuh tuanya yang kurus dengan setelan celana formal. Tangan kanannya sigap mencengkram kemeja dan BH di leher Shelly hingga Shelly tak bisa menurunkan pakaian atasnya itu. Shelly tak berdaya sepenuhnya telanjang. Hanya mampu meringkuk menutup aurat utamanya dengan merapatkan paha, sementara kedua tangannya berusaha menutup buah dada kecilnya.
“Ppp... Pak Jemi... eeeh.... ini... eeeh....” Aku gelagapan tak menduga hal ini terjadi.
“Ampun, Paak. Kami ngaku salah. Kami nggak akan masuk-masuk ke sini lagi. Ampun, Paak. Jangan dilaporin ke mandor. Jangan dipecat kami. Tolong jangan bilang-bilang ke keluarga kami.”
Dalam ketelanjangannya di bawah ancaman Pak Jemi, Shelly merintih-rintih memohon. Sikapnya segera menyadarkanku hal yang paling penting saat ini. Tertangkap basah memasuki Sektor 6, hal terpenting yang bisa kami lakukan adalah mempertahankan penyamaran. Aku kagum dengan cepatnya Shelly tanggap dengan keadaan.
Mata Pak Jemi jelalatan melihat tubuh bawah Shelly yang masih telanjang sempurna. Pengalihan perhatian Shelly berhasil. Kain jarik Shelly yang teronggok tak jauh dari kaki Pak Jemi dan menyembunyikan sepucuk pistol tak sedikitpun menjadi perhatian Pak Jemi. Namun mudah diduga ke arah mana perhatian utama Pak Jemi. Tak lain pada kemolekan Shelly.
“Mau ngapain lo?” bentaknya ketika aku memungut kain jarik sekaligus pistol Shelly secara tersembunyi.
“Maafkan kami, Pak Jemi. Kami akan segera meninggalkan tempat ini,” alasanku mengulurkan kain jarik pada Shelly.
“Siapa bilang saya ijinin kalian pergi. Enak aja udah masuk area terlarang terus mau pergi begitu saja.”
Pak Jemi menarik leher Shelly hingga terpaksa bangkit. Shelly berdiri telanjang masih berusaha menutupi buah dada dengan tangan kiri dan selangkangan dengan tangan kanan. Tanganku menelusup ke dalam kain jarik menemukan pistol. Namun sayang, tak ada pengalamanku sedikitkpun menggunakan senjata api. Aku hanya memegang gagang pistol itu tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Shelly yang melihat gelagatku menggeleng-gelengkan kepala, mencegahku nekat menodong Pak Jemi dengan pistol.
“Pak Jemi, tolong jangan laporkan kami pada mandor karena masuk ke sini. Kami akan lakukan apapun. Tolonglah. Kami akan lakukan apapun asal tidak dilaporkan dan dibiarkan pergi.”
Aku kaget dengan sikap Shelly. Begitu kuatnya dia ingin mempertahankan samaran hingga membuat penawaran seperti itu. Padahal kamilah yang memiliki senjata saat itu.
“Nah, liat. Cewekmu lebih pintar dari kamu. Makanya, jadi laki jangan mau enak sendiri aja. Ceweknya lagi enak-enak udah ngecrot aja. Cewekmu tanggung tuh. Bukan begitu, Manis?”
Aku teringat kondisi di saat aku orgasme tadi. Aku tak menyadari kehadiran mendadak Pak Jemi. Jika Shelly menyadarinya saat itu, wajar saja ia urung mendapat puncak kepuasan karena kagetnya. Pantas saja tautan kelamin kami terputus begitu saja. Shelly menggigit bibir ketika Pak Jemi menghirup lehernya. Benarkah Shelly bersedia melayani laki-laki tua itu?
“Baik, Pak.... hhhh,” desis Shelly digerayangi Pak Jemi.
“Tapi tolong, jangan laporkan kami sama mandor ya. Biar Pak Jemi ndak dimarah, biar kami ndak dipecat, biar kita semua dapat enak....mmmmhhhh.”
“Cewek pintar... cewek pintar.... he he he...”
Pak Jemi terkekeh-kekeh melihat kepasrahan yang diperlihatkan Shelly. Segera saja ia mendorong tubuh Shelly hingga terdesak ke pohon. Kepalanya langsung merunduk mencaplok payudara telanjang di hadapannya. Shelly terpekik ketika menerima sedotan di puting susu kirinya. Dengan mata membelalak menerima perbuatan Pak Jemi, ia isyaratkan padaku agar mengenakan pakaianku. Kulepaskan jarik yang tengah kupegang, tetap menyembunyikan pistol. Ketika aku selesai memasang celanaku, Shelly yang masih terpejam-pejam menyusui Pak Jemi menunjuk ponsel di dekat keranjang teh.
Aku tanggap. Shelly berencana membuat video skandal Pak Jemi. Tak ada rugi baginya karena tak ada yang mengenalnya sebagai Shelly. Saat ini dia hanyalah seorang buruh pemetik teh bernama Yayat. Ia menggeleng dan menunjuk ke arah rerimbunan perdu ketika aku hendak merekam. Nurut aku menyelinap ke dalam pohon perdu itu untuk merekam.
“Jangan!!! Kyaaa!!!!”
Ketika aku sudah bersembunyi dan bersiap merekam, sikap Shelly yang tadinya pasrah tiba-tiba saja berubah. Dengan tubuh telanjang terdesak ke batang pohon, tiba-tiba saja ia meronta sekuat tenaga. Pak Jemi yang tak menduga hal itu sampai terdorong beberapa langkah ke belakang. Kesempatan itu digunakan Shelly untuk melepaskan diri dan berlari.
“Heh... mau ke mana loh. Dasar lonte!” kesal Pak Jemi mengejar.
Lagi-lagi Shelly memperihatkan kecerdasannya dalam situasi ini. Ia berlari ternyata bukan untuk menghindari Pak Jemi, ia menuju sudut yang sangat meminimkannya terlihat dalam rekaman. Pada sudut itu, aku yakin ia sengaja membuat dirinya terpelesat karena akar pohon. Pak Jemi yang melihat Shelly tersungkur segera menyergapnya. Layar rekaman ponsel yang kupegang segera menangkap adegan pemerkosaan itu. Meronta-ronta di bawah tindihan Pak Jemi, kesan Shelly sebagai korban diabadikan dengan baik.
“Tolooong! Jangaaaan!! Aaaahh!!!”
“Teriaklah sepuasmu, perempuan jalang! Nggak akan ada yang mendengarmu. Mmmhh...mmmhh....”
Merasa di atas angin, Pak Jemi dengan rakus kembali menyerang susu-susu kecil Shelly. Puting susu itu menjadi basah kuyup karena leleran liurnya. Lepas dari perhatian Pak Jemi, tak terlihat dalam rekaman ponsel, hanya aku yang bisa melihat ekspresi sesungguhnya di wajah Shelly. Menggeleng-geleng di bawah tindihan Pak Jemi. Gelengan itu adalah gelengan kenikmatan. Itu adalah ekspresi yang sama persis ia perlihatkan semalam atau beberapa saat lalu ketika aku menikmati susunya. Ekspresi yang jujur ia perlihatkan saat Pak Jemi tak memperhatikan, ekspresi yang ia tahu tak terekam oleh ponsel.
Sambil merekam, aku menggeleng-geleng dengan kepiawaian Shelly menghadapi kondisi ini. Tetap meronta-ronta sebagai korban pemerkosaan, hanya aku yang bisa mengerti maksud dari kaki-kaki Shelly ketika menendang-nendang kosong. Sekilas tampak seperti ingin melepaskan diri dari Pak Jemi, namun jika diperhatikan dengan baik, kaki-kakinya meronta-ronta itu justru dengan samar menyebabkan pinggulnya terdorong-dorong ke depan, menggesek-gesek pada perut Pak Jemi. Aku terbahak dalam hati menyadari bahwa Shelly pun tengah merangsang dirinya tanpa sepengetahuan Pak Jemi.
Puas menyusu, Pak Jemi bangkit dan menggunakan tangan kirinya mendorong leher Shelly ke tanah. Terdesak dengan ancaman tercekik jika melawan, tangan-tangan Shelly menggapai-gapai tak menentu arah memperlihatkan perlawanan. Memang tampak seperti tak sengaja, namun gerakan tangan Shelly itu justru menguak baju batik Pak Jemi hingga kancing-kancingnya terlepas, membelah dan memamerkan dada dan perut kurus laki-laki itu. Ketika tangan kanan Pak Jemi melepas kancing celananya, kaki-kaki Shelly yang sejak tadi meronta justru membuat celana itu lebih cepat merosot. Pak Jemi hanya perlu merogoh keluar batang penisnya dari celana dalamnya.
“Tidaaakkk!!! Tolooong!!! Jangaaan!!!!”
Shelly berteriak sangat keras ketika Pak Jemi mengarahkan ujung penisnya ke arah selangkangan Shelly. Namun bukannya merapatkan kaki dan menutup akses bagi penis keras itu, justru Shelly menjejak kaki dan mendorong pinggulnya ke atas. Sekilas nampak seperti orang yang menjejak untuk melepaskan diri dari himpitan. Namun alih-alih terlepas dari himpitan, penis Pak Jemi malah tertancap sempurna.
“Aaaaaakkkhh!!!!” teriak Shelly keras. Terekam sebagai suara histeris ngeri di layar ponsel, namun kenyataannya menyembunyikan ekspresi kenikmatan yang hanya dilihat oleh mata kepalaku.
“Ha ha ha ha!!!!” tawa Pak Jemi keras penuh kemenangan.
Kedua tangan Pak Jemi mencekal kedua pergelangan tangan Shelly kemudian mengaitkannya pada kedua paha Shelly yang tertekuk ke dada sehingga selangkangannya benar-benar terkuak dengan kedua kaki membentuk huruf M. Pak Jemi kemudian mengunci posisi itu hingga Shelly tak bisa bergerak.
Plok plok plok
“Kyaaaa...!!!”
Shelly makin berteriak histeris ketika Pak Jemi mulai menggenjotnya pada posisi itu. Posisinya yang terkunci membuatnya hanya bisa menggeleng ke kiri dan ke kanan menerima perlakuan Pak Jemi. Sebisanya meronta pada ruang gerak yang terbatas memperlihatkan sisa-sisa perlawanan seorang korban pemerkosaan. Sodokan-sodokan Pak Jemi sekilas terlihat tampak beringas. Namun sejatinya itu adalah buah dari licinnya liang senggama Shelly yang sedang ia gagahi. Aku pertahankan kesan brutal pemerkosaan dan focus merekam itu, menghindari raut wajah Shelly yang kini terpejam-pejam tiap menerima sodokan Pak Jemi, menggigit bibir bawahnya untuk meredam suara desahannya yang mengerang.
“Anjrit! Sempit bangat ni lonte!” umpat Pak Jemi tiba-tiba menarik penisnya dari liang vagina Shelly. Nyata ia tengah menarik nafas menetralisir ketegangannya.
Aku tersenyum mengejek kondisi Pak Jemi sekarang, mengingat ia sebelumnya mengejekku yang tak mampu memuaskan Shelly gara-gara kedatangannya yang tiba-tiba. Padahal kini pun ia harus bertahan sekuat tenaga mempertahankan performanya.
Pak Jemi memiringkan tubuh Shelly ke kanan, menyebabkan tangan kanan Shelly tertindih. Tetap menekuk lutut Shelly ke dadanya, kini ia rapatkan kedua lutut perempuan itu. Pak Jemi kemudian menggunakan tangan kiri Shelly sebagai pengikat kedua lututnya. Kini Shelly terkunci dengan posisi meringkuk ke kanan. Mengunci Shelly dengan posisi itu dengan tangan kirinya, jari-jari kanan Pak Jemi kemudian menggantikan penisnya mengorek belahan kelamin Shelly.
“Tidaaaakkkk!!!” kejang Shelly menerima perlakuan Pak Jemi. Meronta-ronta pada ruang gerak yang sangat terbatas itu sebisanya.
Pak Jemi tak peduli rontaan dan teriakan Shelly. Tangan kirinya makin kuat mengunci posisi Shelly sementara tangan kanannya mengubek-ubek vagina Shelly tanpa ampun.
“Sudaaaah.... sudah cukup... matikan,” teriak Shelly.
Aku masih setia mengabadikan momen pemerkosaan itu sebagai bahan skandal Pak Jemi ketika mendengar teriakan Shelly tersebut.
“Cukuuup... matikan...”
Aku mulai heran ketika ada yang janggal dengan ucapan Shelly. Kenapa ia mengatakan ‘cukup, matikan’, bukannya ‘cukup, hentikan’.
“Cukuuupppp.... matiiikaaaannnn.”
Lolongan Shelly menyadarkanku bahwa ucapan itu bukan ditujukan pada Pak Jemi, namun ditujukan padaku. Tanggap aku mematikan rekaman video dan menyembulkan kepala dari balik rerimbunan perdu.
“Sudah?” tanya Shelly tanpa suara menengik padaku yang kutanggapi anggukan.
Buk!
Aku terkejut dengan apa yang kulihat selanjutnya. Entah bagaimana caranya kini Shelly sudah terlepas dari kuncian Pak Jemi, malah sebuah tendangan membuat Pak Jemi terjengkang ke belakang. Ia jatuh dengan posisi duduk dan tak kalah terkejutnya dengan aku. Aku segera menyadari inilah kemampuan Shelly sebenarnya sebagai seorang polisi wanita, bukan perempuan pemetik teh yang lemah.
Terlepas dari cengkraman Pak Jemi, Shelly mengangkat kepalanya dengan bertumpu pada kedua sikunya di tanah. Dua kaki jenjang yang panjang segera menjepit kepala Pak Jemi kemudian menariknya hingga laki-laki tua itu tersungkur dengan hidung tepat ke selangkangan Shelly. Pak Jemi yang semula hendak bangkit dengan menjejak kedua telapak tangan segera menyadari maksud Shelly ketika wajahnya didesak ke belahan vagina Shelly.
“He he he,” kekehnya menatap mata Shelly.
“Hmmmhhh.... yes. Jilatin yang enak bandot tua. Kamu harus tanggung jawab atas perbuatanmu. Karena sudah berani-berani perkosa aku, sekarang kamu buktikan kalo kamu bisa puasin aku. Masa baru separuh permainan udah dikeluarin aja kontolnya. Sebel!!!”
Pak Jemi pasrah dalam kekuasaan Shelly. Ketika kepalanya digiring ke kiri dan ke kanan, ia tanggap menjilat bibir kiri dan kanan belahan vagina Shelly. Ketika kepalanya di dorong ke belakang, ia tanggap memberikan jilatan di clitoris Shelly. Ketika kepalanya ditarik dan dijejalkan ke selangkangan Shelly, ia tanggap meneroboskan lidahnya ke liang senggama perempuan itu dan menelusuri tiap rongganya dengan belitan lidahnya.
Melihat dominannya Shelly yang kini sudah tanpa tedeng aling-aling, gairahku bangkit. Aku melangkah mendekati pasangan itu.
“Diam di situ, Tatang,” tegas Shelly memanggilku dengan nama samaranku.
“Maafin Yayat ya, Sayang,” lanjutnya kemdian. “Yayat udah kepalang tanggung sama Pak Jemi. Kamu enggak keberatan kan aku mau selesai sama Pak Jemi aja. Kamu entar aja, aku mau dapet dulu sama Pak Jemi.”
Aku menggeleng-geleng kepala mendengar janji Shelly. Dalam kondisi ini masih saja ia mempertahankan penyamaran kami. Dengan kedua kakinya mengendalikan Pak Jemi, Shelly memutar kepala Pak Jemi hingga kini laki-laki tua itu terlentang dengan kepala dikangkangi Shelly. Pak Jemi hanya sekejap kehilangan mainannya karena Shelly segera bangkit dari posisi setengah terlentangnya. Tetap mengangkangi kepala Pak Jemi, kini ia jongkok di atas wajah laki-laki tua itu dengan kaki berjinjit.
“He he he,” kekeh Pak Jemi. “Dengerin tuh... cewek lo udah kepincut sama gue.... he he he.”
Shelly hanya mencibir mendengar kepongahan Pak Jemi. Tetap jongkok di atas wajah Pak Jemi, kedua telapak tangannya membelai dada keriput itu, mengusap hingga ke perut dan selangkangan Pak Jemi. Penis Pak Jemi yang mulai tenang istirahat agak lama kini sedikit kehilangan ketegangannya. Shelly meraihnya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya meremas kecil bola peler Pak Jemi.
“Naaahh... gitu dong, Neeng. Jangan ngelawan terus kayak tadi. Kalo kayak gini kan eenaaa....mmmhhh”
Ucapan Pak Jemi yang sesumbar segera terbungkam dijejali belahan memek di mulutnya. Laki-laki tua itu megap-megap disumpal selangkangan berbulu jarang panjang-panjang itu. Mau tidak mau ia melanjutkan kembali perannya menjaga rangsangan Shelly, pasrah dengan belaian Shelly yang bermain-main dengan penisnya.
Menggigit bibir entah karena menjaga keseimbangan pada posisi jongkoknya yang hanya bertumpu pada kaki yang berjinjit, atau karena nikmat dari permainan mulut Pak Jemi di kelaminnya, Shelly menggumam-gumam dalam desahan tetap mengocok penis Pak Jemi. Aku berdiri dengan setia hanya dua langkah dari mereka.
“Auuhh..., Pak!!!”
Pada satu moment, Shelly mendorong dada Pak Jemi dan mengangkat pantatnya menjauhi mulut Pak Jemi. Aku sempat melihat pahanya tersentak kejang sebentar sebelum ia menarik nafas dan terdongak.
“Tunggu sebentar...,” cegahnya ketika kedua tangan Pak Jemi hendak menarik pantatnya ke bawah.
Perlu waktu sejenak baginya sebelum kembali menurunkan pantatnya untuk dimainkan oleh Pak Jemi. Kembali tangannya mengocok batang penis Pak Jemi. Ia ludahi batang penis itu sebagai bahan pelumas hingga batang dan biji Pak Jemi tampak basah kuyup.
“Khrrrkhhh.... cuihhh!!!!”
Aku sempat terkaget dengan banyaknya liur yang diludahkan Shelly pada batang penis Pak Jemi. Detik selanjutnya aku dibuat geleng-geleng dengan kocokan cepat kedua tangan Shelly yang tak kalah kuyupnya. Penis itu tampak pasrah disiksa nikmat oleh Shelly. Namun ketika beralih ke wajah Shelly, ada ekspresi ketidaksabaran yang kutangkap. Aku terbahak-bahak dalam hati ketika menyadari ternyata penis Pak Jemi bukannya makin tegang dikocok Shelly, malah kulihat makin lunglai. Untung saja penis itu cukup panjang untuk bisa tetap dimainkan Shelly walaupun keadaanya mulai loyo.
“Anjrit...,” umpat Shelly dalam bisikan ketika ia kembali mendorong dada Pak Jemi dan mengangkat pantatnya. Kejang di paha Shelly kini lebih lama dari yang tadi. Ia butuh lebih lama untuk mengatur nafasnya sebelum kembali menurunkan pantatnya.
“Buka...”
Aku sebetulnya menunggu Shelly melanjutkan aksinya pada penis yang kian lama kian loyo itu. Namun bisikan tegas Shelly terdengar. Ketika aku menoleh ke wajahnya, ekspresi itu tampak memohon dan menunjuk celanaku. Gembung di selangkanganku jelas jauh berbeda dengan kondisi penis di genggaman perempuan itu.
Celanaku melorot dan hanya sekejap celana dalamku dilorotkan dengan tak sabaran oleh Shelly. Ia tarik tanganku hingga terduduk di samping kiri kaki kiri Pak Jemi. Shelly dengan kasar mendorong dada Pak Jemi dan mengangkat pantatnya. Telanjang bulat dengan tatapan beringas tepat ke arah mataku, ia merangkak ke arahku seperti harimau kelaparan. Mengangkangi kedua pahaku, kedua kakinya segera menjejak tanah. Kedua tangannya segera merengkuh tengkukku untuk mencari keseimbangan karena tubuhnya kini condong ke belakang. Ketika meraaskan desakan pinggul Shelly ke perutku, aku pun condong ke belakang dan menangkap lingkar pinggangnya untuk mencari keseimbangan. Posisi itu dengan tepat menautkan kelamin kami. Dan ketika pantat Shelly turun, penisku terbenam untuk kedua kalinya di kelamin polwan cantik itu.
“Ahhh....!!!”
Baik aku maupun Pak Jemi hanya melongo ketika tiba-tiba saja betina itu menjadi begitu liarnya di atas pahaku. Tanpa memerlukan waktu untuk mengadaptasikan penisku di liang senggamanya, Shelly langsung menggenjotku dengan kecepatan penuh.
Tetap menjaga keseimbanganku dengan memeluk pinggang Shelly, sebisanya kucoba menyusu pada puting payudara kecil yang bergerak turun naik dengan liar. Ketika aku berhasil mencaplok susu kiri, aku sekuat tenaga mempertahankan peganganku pada susu itu, hingga tak menyadari Pak Jemi sudah berdiri di samping kiriku. Ketika melepaskan susu Shelly untuk bernafas, tiba-tiba saja di atas kepalaku Shelly sudah mengulum penis Pak Jemi.
Shelly melepaskan pegangan padaku hingga tanpa dapat di tahan lagi tubuhku limbung ke belakang. Terpaksa akupun melepaskan pegangan pada pinggang Shelly untuk menggunakan tanganku menjaga tubuh yang merosot ke belakang agar tidak cedera. Terlentang di bawah kangkangan Shelly, kini aku bisa melihat rakusnya perempuan itu memberikan layanan oral pada Pak Jemi. Berpegangan pada paha Pak Jemi, ia relakan rambutnya dijambak Pak Jemi yang menyetubuhi wajahnya. Kuakui, sensasi itu sepertinya membangkitkan gairah Pak Jemi. Penis itu perlahan kembali menegang.
Shelly makin lama makin cepat menyetubuhi penisku. Gerakannya kian lama makin beringas. Nyata bahwa titik klimaksnya sudah dekat. Sebetulnya kasihan juga perempuan ini. Denganku ia urung mendapatkan kepuasan karena dikejutkan oleh kedatangan Pak Jemi yang tiba-tiba. Dengan Pak Jemi pun ia urung mendapat kepuasan karena tiba-tiba saja bandot tua itu loyo di tengah-tengah permainan. Dengan tenaga ronde keduaku, akupun membantu polwan ini meraih kepuasan seksualnya, aku turut menggenjot Shelly dari bawah.
“Aaakkh!!!” pekik Shelly menerima genjotanku dari bawah.
Paha Shelly mengejang hingga gerakannya terkunci. Dengan tangan kanan berpegangan pada paha Pak Jemi, tangan kirinya terpaksa ia gunakan untuk mendorong clitorisnya agar terpusat gesekan penisku. Hanya beberapa sodokan cepat setelahnya, batang penisku terkunci di dalam jepitan rongga vagina Shelly. Perempuan itu mengejang sesaat sebelum pinggulnya terkedut-kedut ke depan dalam ritme orgasme. Paha yang sekuat tenaga ia pertahankan mengangkang tak mampu lagi bertahan ketika kedutan pinggulnya tak kunjung terhenti hingga akhirnya Shelly tersungkur di dadaku.
Aku masih merasakan sisa dengus nafas orgasme Shelly di wajahku ketika merasakan pantat Shelly tergerak ke atas melepas cengkraman vaginanya dari penisku. Semula aku mengira Shelly ingin melepaskan tautan kelamin kami hendak beristirahat. Namun ketika merasakan tubuh Shelly terhentak-hentak, aku menyadari bahwa Pak Jemi telah menggunakan kesempatan itu untuk kembali menggagahi Shelly.
“Biarin aja...,” lemah Shelly mencegahku ketika hendak bangkit, mengeratkan pelukannya padaku di bawah hentakan Pak Jemi.
Plok plok plok
Dekatnya wajah Shelly dengan wajahku membuatku bisa melihat bagaimana siksa senggama yang dialami Shelly. Baru saja mengalami orgasme, yang telah tertahan begitu lama sejak semalam, bahkan dari gairah yang entak sejak kapan tertumpuk, kini ia harus menerima sodokan kencang bertubi-tubi di pusat syaraf seksualnya. Aku hanya bisa membelai wajah yang sedang tersiksa itu ketika makin lama sodokan Pak Jemi dari belakang Shelly terasa makin kencang.
“Hmmhhh...”
Shelly menciumku begitu dalam dengan tubuh kembali bergetar ketika sebuah sodokan kuat mendorong tubuhnya dalam sebuah hentakan. Ketika tak lagi terasa hentakan tubuh Shelly, aku tahu Pak Jemi sudah selesai dengan hajatnya.
“Jancuk!!! Enak banget memek buruh teh ini...” komentar Pak Jemi ketika bangkit dari belakang Shelly.
Lemah Shelly menegakkan tubuhnya dari posisi nungging tadi. Tampak lelah wajahnya ketika melihat penisku yang masih tegang belum menuntaskan ronde keduaku.
“Masih ada sperma Pak Jemi,” ucapnya memandang wajahku dengan lelah. Tangannya sudah menggenggam ujung penisku, menawarkan untuk melanjutkan dan menuntaskan.
Merasa kasihan dengan kelelahan Shelly, ditambah lagi pasti di dalam sana ada bekas sperma Pak Jemi, gairahku down. Apalagi ketika Pak Jemi yang sedang membenahi pakaiannya tampak sangat dekat dengan kain jarik Shelly yang menyembunyikan pistol. Aku menggeleng kemudian mendorong tubuh Shelly agar membebaskan tubuhku dari tindihannya. Beruntung Shelly telah pindah dari atas tubuhku ketika sperma Pak Jemi luruh dari sealngkangan Shelly. Wajah polwan itu memerah di bawah tatapanku yang memaksakan penis tegangku masuk celana. Entah apa perasaan perempuan itu menguras sisa sperma di liang vaginanya di bawah tatapanku.
Secepat yang aku bisa aku mengambil kain jarik dan celana dalam Shelly sekaligus dengan pakaian atasnya. Perempuan itu menyambarnya dan bersembunyi di balik pohon mengenakan pakaiannya.
“Ngapain ngumpet-ngumpet. Segala luar dalem udah kita liat dan udah kita rasain,” komentar Pak Jemi. Tak tahu alasan Shelly ke balik pohon agar pistolnya tak kelihatan.
“Iiih... ngapain sih bikin video-video kayak gini,” pekik Shelly tiba-tiba sudah keluar dari balik pohon dengan pakaian sudah rapi khas pemetik teh. Tangannya memegang ponsel yang tadi kugunakan merekam adegan pemerkosaan Pak Jemi padanya. Kedipan samarnya membuatku faham.
“Ya, buat kenang-kenangan lah, Yayat,” kataku.
“Kan Pak Jemi udah ngerasain tubuh kamu. Aku sebagai pacarmu tahu dirilah harus mengalah. Daripada dipecat. Makanya biar sama-sama enak, aku buat kenang-kenangan kita. Bukan begitu, Pak Jemi.”
Wajah tegang Pak Jemi ketika kuperlihatkan rekaman video di ponsel sudah cukup bahwa ia tak berkutik dengan skandal itu. Aku tahu ia tidak takut video itu disebar. Ia lebih takut tumbuhan ***** yang terekam di video itu yang tersebar.
“Sekali lagi maafkan kami, Pak Jemi. Kami nggak akan masuk lagi ke Sektor 6. Tapi biar kami mampu bayar hotel buat selingkuh, kami jangan dilaporin Mandor ya, biar nggak dipecat,” lanjutku memainkan peran.
Shelly menarik tanganku menjauhi laki-laki tua yang mematung itu. Matahari sudah cukup tinggi ketika kami meninggalkan Sektor 6. Kami bergegas ke tempat kerja samaran kami masing-masing. Aku ke gudang penimbangan teh, sedangkan Shelly bergabung dengan buru-buruh pemetik teh yang lain.
Tengah hari Natelie sudah sampai ke kostanku. Niatku yang hendak memadu kasih dengan istriku itu karena gairah tanggung yang diberikan Shelly di ronde keduaku tadi urung terlaksana karena ternyata Natalie bukan hanya datang dengan Bi Sum, namun bersama Riko pacar Herlin juga.
Ketika menjelang sore Riko dan Bi Sum jalan-jalan ke kebun teh, aku mengira itu adalah kesempatanku memadu kasih dengan Natalie. Apalagi saat itu Natalie sudah berbaring di kasur kostanku dengan hanya mengenakan salah satu kemeja kerjaku tanpa sehelai pun pakaian di baliknya. Pakaian yang ia gunakan saat perjalanan ke sini hanya tergantung di kapstok pintu. Tampaknya ia berniat menggunakannya kembali untuk perjalanan pulang nanti. Namun ketika aku berniat membersihkan diri sebelum bercinta dengannya, aku menemukan kejanggalan pakaian Natalie yang tergantung di kapstok. Pakaian itu terdiri dari kaos putih dan blazer abu yang menyelimuti sebuah BH dan celana denim ¾ yang tergantung di bawahnya. Mana celana dalamnya?
Melihat tas Natalie di dapur kost, aku tergoda membukanya. Dan ketika menemukan celana dalamnya basah kuyup dengan aroma sperma, aku tahu ada sesuatu yang terjadi dalam perjalanan ke sini. Pantas saja Natalie terlihat letih berbaring di kasur tadi.
Aku sebetulnya maklum jika Natalie melakukannya entah dengan siapa. Bisa jadi dengan Riko pacar Herlin itu. Hanya saja menjadi mengesalkan karena ketika giliran aku yang hendak menikmati tubuhnya, Natalie malah terlelap dengan wajah lelahnya, seperti wajah lelah Shelly setelah melayani Pak Jemi tadi pagi. Kutenangkan diriku meredakan birahi dan menelepon Herlin ke rumah.
“Hallo, Mas. Mbak Natalie udah nyampe? Dari tadi nggak ada kabarnya loh.” Suara Herlin terdengar di seberang.
“Udah. Tuh lagi istirahat. Kalian gimana di rumah?” tanyaku.
“Baik-baik aja. Ni aku baru abis mandi. Hans lagi mandi tuh abis aku selesai,” jelas Herlin.
“Kamu kok nggak nanyain pacarmu?” candaku.
“Kami udah putus kok,” aku Herlin mengagetkanku.
“Oh... yaudah kalo gitu. Baik-baik di rumah ya. Paling Mbakmu besok udah pulang. Kan Senin kudu ngantor. Aku telepon Tukiman dulu biar liat-liat rumah malam ini...”
“Nggak usah,” potong Herlin tiba-tiba.
“Kenapa?” tanyaku.
“Nggak usah deh... kan itu... eeeh... kan Riko dan Bi Sum... eh... eeee... kan Mbak Natalie tadi... eee... Tukiman... Nggak usah deh... eee.... itu... Kan Hans lebih gede... eh... maksud aku.. Hans kan udah gede buat jaga rumah.... udah dulu ya. Dadah, Mas Erwin.”
Aku makin heran dengan gelagapan Herlin yang menutup telepon tiba-tiba seperti itu. Tapi betul juga sih, Hans sudah cukup dewasa untuk menjaga rumah. Lebih gede..., ya mungkin maksud Herlin Hans sudah cukup bisa diandalkan untuk menjaganya. Kuputuskan menjerang air untuk membuat kopi membiarkan Natalie istirahat dalam tidur sorenya.
Makasih lanjutan updatenya @fantasisinta
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd