Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

<dodot/feri-series>Marshanda

liliaprince

Suka Semprot
Daftar
10 Jul 2011
Post
12
Like diterima
11
Bimabet
Gua copas dari http://risingstar-stories.********.com/2009/11/kisah-marshanda.html
G tau siapa penulisnya, sekuel yang judulnya ************** ternyata juga ada diblog atas..
Nyari sekuel yang pertama, kisah dodot ama bbb nelum nemu yang lengkap.

Anyway, enjoy this story..;)

===================================================================

Enam bulan berlalu. Apa aja yang udah gua lakukan? Banyak. Gua sibuk banget. Ketika bisnis mengembang begini pesat, ternyata loe akan semakin pusing menanggungnya. Kondisi beberapa unit sempat kacau sebelum gw akhirnya meng-hire orang untuk membereskan semuanya. Untung bisa beres. Dari situ gua belajar banyak. Orang-orang gua bilang gua kurang perhatiin kondisi internal, maunya maju terus nyerang sana-sini. Gua nyadar emang selama ini gua terlalu agresif menyamber tender tanpa ngelihat kesolidan bisnis gua mulai rubuh. Sekali lagi, untung bisa beres. Dan perlu gua tambahkan: dalam waktu singkat! Satu lagi pembenaran bahwa gua emang hebat.

Jadi, gua bisa pergi ke somewhere in Middle East. Kembali mengembangkan sayap. Yep, Dubai. Bisnis properti pesat di sana. Gua gerah banget kalau nggak bisa nguasain wilayah itu. That’s why gua akhirnya fokus di sana, ngerintis, ngelobi, sampai akhirnya lumayanlah, walau masih belum jalan bagus.

Gua nggak ngikutin berita Indonesia. Walaupun ada berita Indonesia, yang keluar palingan soal politik atau bencana alam gitu. Gua nggak tau nasib tiga cewek yang dulu. I just don’t know. Gua rasa mereka nggak ngomong apa-apa ke publik dan itu sesuai rencana gua, walaupun gue juga nggak tahu apakah ada faktor-faktor lain yang membuat “perbuatan” gua waktu itu tidak berbuah. Gue punya firasat pada suatu hari nanti gue menemukan penjelasannya. Intinya nggak ada berita santer terdengar di media maupun dari temen-temen gua, membuat gue berkesimpulan satu hal: Gw aman. Semua berjalan sesuai skenario.

***

Singkat cerita, setelah hampir satu semester terdampar di Teluk, akhirnya sekarang gua sedang dalam perjalanan balik ke Indonesia. Tepatnya ke Bali. Sedang ada konferensi perubahan iklim di sana. Iya, Indonesia sedang menjadi tuan rumah ICC yang mengundang perwakilan negara-negara di seluruh dunia.

Heh? Global Warming? Climate change my ass! Pikir gua. Gue sebenarnya nggak peduli sama isu lingkungan ini. Jadi kenapa gue harus capek-capek ke sana? Begini ceritanya.

Ini kasus lama. Tiga tahun yang lalu salah satu anak perusahaan gua tersandung kasus polusi udara. Kami dituntut ganti rugi yang cukup membuat gua bangkrut dan harus ngais-ngais makanan dari selokan. Akhirnya di tengah kepusingan gua itu, gue percayakan kasus ini sama tim ahli yang merumuskan solusi gitu. Solusi yang membuat kami nggak usah menuhin total nominal yang dituntut karena ada kompensasi pembenahan pabrik gitu deh. Kalau pembenahan ini gagal, kami harus menuhin tuntutan tanpa syarat. Beruntung bagi gue, solusi udah diuji coba tiga tahun ini dan berhasil, pabrik itu jadi pabrik terbersih se-Indonesia (mungkin, nggak pernah ngecek sih). Pabrik itu kini nggak lagi menyebabkan pencemaran udara.

Kasus itu jadi terkenal, dan sering digadang-gadangkan jadi contoh buat industri lain supaya ramah lingkungan.

Akhirnya di Bali, pas momen konferensi internasional itu, dibikin juga pertemuan-pertemuan lain yang sifatnya lebih sekunder. Salah satunya itu bertajuk “Menuju industri yang ramah lingkungan”. Dan sudah bisa ditebak, kami diundang.

Gue sebenarnya nggak pernah tampil di depan umum. Gua nggak terkenal. Gue suka di belakang layar aja dan menyuruh anak buah gua yang tampil. Tapi kali ini orang yang bener-bener ngerti persoalan, alias tim ahli tadi, entah kenapa tiba-tiba nyalinya menciut. Dan mereka memohon gue ada di sana bersama mereka. Kata mereka sih, mereka pada takut sama aktivis-aktivis lingkungan radikal yang benci sama korporat.

Phew...Yaaa udahlah, gue dateng, tapi gue bilang ke mereka kalau gua nggak akan mau diekspose. Biar mereka aja yang jadi sorotan. Kan enak juga, gua datang ke sana, sekalian liburan.

ZZZZzzzztttt....Cerita gue percepat. Gua sampai Bali siang menjelang sore. Ada yang ngejemput gue dari pihak panitia. Terus gue dianterin ke Hotel. Lokasinya cukup asyik karena deket pantai. Gua agak kaget juga waktu dikasi tahu kalau di hotel itu juga lah tempat pertemuan itu diadakan. Lhah, terkurung di sana terus dong?

“Nanti ada waktu kosong, Pak.” Panitianya menenangkan gua. Oooh. "Kapan?" Tanya gue. "Setelah ini juga kami persilakan kalau Bapak mau jalan-jalan." katanya...Ooohh.

Gw diantar ke kamar. Setelah gue dikasi kunci, gue said thanks ke dia. Si panitia itu bilang sekitar jam delapanan akan ngejemput gue untuk jamuan makan malam di bawah. Gue bilang 'oke'. Terus dia pamit meninggalkan gue sendirian di kamar. Kamarnya standar. Nggak norak-norak amat. Seperti biasa, corak Bali selalu dipaksain hadir di setiap hotel Bali yang gua datangin. Ini bukan pertama kalinya gue nginep di Bali jadi gue nggak begitu heran. Cuma satu hal yang bikin gua cengok adalah ada pemanas ruangan! Here, in Bali, yang 'anget', ada bisnismen tolol yang memasang pemanas ruangan di setiap kamar hotelnya! Gue ketawa.

Di kamar gua langsung mandi terus nonton TV. Gue pantengin berita tentang saham dunia di kabel. Terus ganti ke HBO. TErus ganti ke yang nayangin fashion. Tapi nggak lama kemudian akhirnya nyadar kalau itu perbuatan bodoh. Asyik aja gua udah di Bali, lusa udah harus pulang, dan gua ngendon di kamar?? Huh. Gua ganti baju, keluar kamar, dan bergegas ke pantai.

Di pantai....

Matahari hampir terbenam. Gua berdiri liat-liat sekitar. Gua nyadar kalau pantai ini bukan seperti pantai Kuta atau lainnya yang biasa dipakai wisata. Nggak banyak orang yang main ke sini, paling ya orang-orang yang nginep di Hotel tadi. Di mana-mana gua masih ngelihat nelayan dan perahunya. Mereka siap-siap mau melaut malam ini.

Di situlah gua ngelihat dia...... Kehadirannya mencolok banget di pantai ini. Berbaju pink ketat dan jeans dia berjalan menuju bibir pantai. Gua mengenali dia tapi lupa namanya. Gue tahu aja dia dulunya waktu kecil pernah nongol di TV. Dan sudah lama gua nggak tahu kabar-kabar tentang dia.


Ah, Marshanda ya? Gua inget. Wah, gue pangling karena seinget gue dia adalah artis cilik yang main sinetron sama Ayu Azhari di Bidadari. Wuih, cantik juga kalau udah gedhe. Usianya yang bertambah membuat lekukan cantik wajahnya terlihat semakin tegas. Pahatan tubuhnya juga meliuk-liuk mempermainkan mata gua. Ck, menggoda. Gue nelen ludah. Apa yang dia lakukan di sini ya?

Gua berjalan mendekat, tapi gue juga berusaha tidak terlihat. Gua baru nyadar kalau di belakangnya ada rombongan orang yang mengikuti. Mereka berjalan ke arah nelayan-nelayan yang gua perhatikan tadi. Beberapa dari mereka gua yakin adalah wartawan, melihat perlengkapan jurnalis mereka yang tertenteng. Satu-dua yang lain gua nggak tahu. Menurut gue mereka orang dinas entah apa. Berseragam nggak banget...

Gue makin mendekat. Mereka sudah berada bersama kelompok nelayan yang gue lihat bersiap-siap melaut tadi. Bercakap-cakap. Beberapa dari mereka terlihat menanyakan beberapa hal ke salah seorang nelayan yang mereka hampiri. Marshanda juga ikut bersama mereka. Gue berusaha nguping. Mereka sepertinya lagi ngomongin dampak perubahan iklim dengan aktivitas melaut nelayan tersebut. Para wartawan sibuk memotret dan mencatat.

Perbincangan itu nggak lama karena matahari udah terbenam. Nelayan itu berkata sesuatu yang intinya angin sedang bagus jadi mereka nggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini untuk melaut. Akhirnya nelayan itu memisahkan diri dengan rombongannya Marshanda. Mereka yang lain pun pergi , berjalan menjauhi pantai.

Marshanda mengikuti, tapi sebelumnya dia mengambil satu cangkang kerang, dan melemparnya ke arah ombak...Dia tertawa terkikik-kikik. Kemudian ia menyusul rombongan lain yang tadi menghentikan langkah mereka hanya untuk menunggu Marshanda.

Gue bengong. Oke, what it’s all about?

***

Gue balik ke kamar. Ada koneksi internet di sana. Sesampainya di kamar gue online. Cek email, banyak surat yang belum gue baca. Sekitar dua jam gue habiskan untuk merespon surat-surat elektronik itu. Setelah kelar gue teringat dengan peristiwa sore tadi. Penasaran gua ama Marshanda. Jadi gue search dia di Google. Ada banyak entri yang keluar. Gue baca satu persatu. Yang nggak penting gue lewatin, terutama soal gosip-gosip. Gue fokuskan pada yang memberi keterangan soal kejadian di pantai tadi. Sampai akhirnya gue nemu artikel-artikel yang mungkin ngasi gue jawaban. Gue juga nggak tau persis, hanya ini menarik bagi gue karena ada informasi yang gue baru tahu. Marshanda, artis yang kini beranjak remaja, itu kini juga mendapat predikat lain. Duta Lingkungan. Oke, maybe that explain kenapa dia ada di pantai tadi.

Tapi, apaan tuh Duta Lingkungan? Nggak ngerti gua.

***

Jam setengah delapan malem, WITA, gue didatangi panitia, diingetin, katanya setengah jam lagi ada malam jamuan gitu di bawah. Gue bilang belum siap-siap, jadi gue nyusul aja. Gue bersiap-siap dan pergi ke sana setengah jam berikutnya. Di sana gue bertemu ‘orang-orang gue’ (yang kerja sama gue). Gue udah sering datang ke malam jamuan gini, gue kasih tahu aja ke mereka supaya jangan memperlihatkan kalau gua adalah bos mereka yang sebenarnya. Mereka bingung, tapi gue yakinkan bahwa gua cuma nggak mau terkespose aja.

Jamuan itu diadakan di kebun, di lantai dasar hotel. Kursi disusun dalam lingkaran-lingkaran mengelilingi meja bundar bertaplak putih. Gue duduk deket orang-orang gue tadi. Agak males aja duduk deket orang asing dan ditanyain darimana. Gue lagi nggak minat menjalin relasi baru di sini.

Dan gue melihat dia lagi....Marshanda...Kali ini tidak seperti sore tadi, tubuhnya tertutup jaket cokelat yang risletingnya dibiarkan terbuka. Di dalamnya ia mengenakan baju terusan bercorak merah muda. Namun rok terusannya itu tersingkap kala ia menyilangkan kaki, memperlihatkan paha yang begitu terawat. Darah gue tersirap. Jari-jari gue bergerak-gerak otomatis. Shit!


"Selamat malam hadirin sekalian!"

Acara dimulai oleh MC, buyarlah lamunan jorok gue. Lalu dimulailah rentetan sambutan membosankan dari macam-macam orang. Pejabat ini lah, itu lah. Terakhir ada Menteri Lingkungan Hidup juga. Orang yang terakhir gue sebut ini menarik perhatian gue karena ia menyinggung soal Marshanda. Diselipi guyonan garingnya, dia bilang bangga dengannya sebagai Duta Lingkungan dan berharap Marshanda bisa mengajak generasi muda lainnya untuk lebih mencintai lingkungan.

Bangga? Gue keheranan. Memangnya apa yang dia lakukan, heh? Gue ngelirik Marshanda, dia tersipu-sipu malu.

Acara dilanjutkan dengan makan-makan dan hiburan. Ada satu dua band yang main. Marshanda juga naik ke panggung dan menyanyikan beberapa lagu. Di sela-sela lagu dia sempat menyinggung soal penyelamatan lingkungan...yang bagi gue terasa...nonsense. Ya udahlah ya.. gue tetep nikmatin penampilannya. Gue nggak peduli suaranya sih sebenarnya. Gue rasa dia pandai tebar pesona. CAntik juga. Dada gue berdegup.

Jam sebelas malam gue masuk kamar lagi. Melanjutkan googling gue. Gue masih penasaran sama dia. Memangnya apa yang sudah cewek ini lakukan hei Duta Lingkungan?

Lewat tengah malam akhirnya gua tidur.

***

Keesokan harinya gue mulai merasa nggak enak. Firasat yang mengatakan bahwa gue akan terkurung di sekitar hotel bener adanya. Gue harus ikut aja semua acara yang diadain panitia, entah sampai kapan. Pagi gue udah digiring dateng ke pameran teknologi ramah lingkungan yang diadakan di hotel itu juga sampai siang. Di ruang pameran gua cek jadwal, ini masih dilanjutkan sama seminar siangnya sampai sore, dan malamnya masih lanjut ada acara. Gue jadi kecewa. Besok gue pulang, di Bali jadi nggak ngapa-ngapain. Come on, at least mo maen ke bar seru di Legian aja masa nggak bisa?

Gue nggak protes sih. Kesannya gimana gitu kalau gua protes ‘kok nggak ada main-mainnya?’. Gue sempat kepikiran mau ngabur. Setelah gue pikir-pikir akhirnya gue memutuskan untuk kabur habis seminar aja. Soalnya di seminar itulah Company gue “jual diri”. Salah satu orang gue jadi pembicaranya.

Acara di pameran udah selesai, setelah istirahat sebentar akhirnya kita masuk ke seminar room. Meja dan kursi ditata layaknya jamuan di malam sebelumnya. Gue duduk di salah satu kursi, agak jauh di belakang tempat pembicara. Gue memperhatikan sekeliling. Tata meja ini mengingatkan gue akan Marshanda di malam itu.

Bener aja, dia memang hadir sekarang. Gue telat nyadar soalnya dia duduk di depan, dan gue kurang familiar dengan posturnya dari belakang. Gue baru tahu ketika sekilas ia menoleh ke belakang. Rambutnya terurai. Wajah manisnya masuk dalam pandangan gue. Ia memakai gaun merah muda. Gue menyesal nggak cari tempat duduk agak depanan dikit tadi.

Sudahlah. Seminar itu dimulai. Gue nggak banyak ngedengerin. Bahkan gue ketiduran cukup lama. Suara tepuk tangan yang membangunkan gue. Gue bangun mencoba cari tahu ada apa. Ternyata orang gue sedang ngomong, dan sepertinya ia sudah sampai pada bagian yang membuat orang-orang di sini terkesan. Mungkin something tentang industri kami yang berubah jadi lebih ‘hijau’. Nggak tau deh. Yang jelas gue jadi bangga juga.

Kemudian dibukalah sesi tanya jawab. Muncul beberapa pertanyaan standar. Gue nggak begitu merhatiin. Orang gue menjawabnya dengan fasih. Fokus gue muncul ketika pertanyaan berikutnya diajukan. Kali ini yang mengangkat tangan Marshanda. Bukan cuma gue yang bereaksi. Orang-orang lain juga kasak-kusuk.

Dia mau ngomong apa?

Suaranya halus mengalun merdu, “Terima kasih. Emm...Saya sebagai Duta Lingkungan mau tanya, dulu saya pernah berkunjung ke tempat masyarakat yang terkena polusi di pabrik milik perusahaan Bapak. Kondisi airnya masih tidak layak untuk dipakai rumah tangga. Saya melihatnya jadi kasihan. Apakah tidak ada kebijakan untuk membantu masyarakat itu?”

Anak buah gue menjawab,”Tentu kita membantu. Kita sudah memberi ganti rugi sesuai keputusan.”

Gue puas dengan jawaban anak buah gue itu, tapi Marshanda masih memegang mike-nya, “Tapi orang-orang di situ bilang katanya ganti rugi cuma bisa menutup pengobatan sakit yang mereka derita akibat polusi sebelumnya. Seharusnya mereka bisa dapat jauh lebih banyak lagi. Soalnya sisa-sisa dari polusi masih mereka rasakan. Saya waktu dateng ke sana itu prihatin sama mereka.”

Anak buah gue menjawab lagi, “Sesuai keputusan pengadilan, apabila kita menghadirkan solusi pemberhentian polusi maka kita hanya akan membayar ganti rugi 10% dari yang dituntut. Jadi masalah itu sudah selesai, Mbak.”

Marshanda berkata lagi, “Mmm...tapi...” Dia belum sempat menyelesaikan kalimatnya karena moderator menyela “Maaf, Mbak Marshanda. Waktu kita terbatas. Diskusi mungkin bisa dilanjutkan di luar saja.”

“Oh, gitu? Ya udah. Saya pikir perusahaan-perusahaan lain yang hadir di sini mungkin bisa berbuat lebih baik kalau ada masalah-masalah seperti ini. Terima kasih.”

What?!! Gue kayak tersengat. Dia ngomong apa sih?! Maksudnya apa?! Gue nggak ngerti. Nada bicaranya yang terakhir tadi seolah memberi sinyal bahwa kami sebenernya nggak pantes berada di depan sana memberikan ceramah bagaimana mengelola industri yang ramah lingkungan. Memangnya dia siapa? Dan kenapa dia pakai menyebutkan sebagai Duta Lingkungan segala, heh? Gue nggak ngerti.

Seminar terus dilanjutkan. Gue jadi males. Pertanyaan-pertanyaan tadi membayangi benak gue. Akhirnya gue memilih keluar ruangan. Menghirup udara bebas. Tepat di depan ruang seminar itu ada jalan yang menghubungkan lorong di dalam tempat gue berdiri dengan balkon. Balkonnya cukup gedhe. Gue berjalan ke sana. Sesampainya di balkon gue berdiri di tepiannya, lengan gue bersandar ke pegangan, dan gue menatap arah pantai. Gue mengeluarkan sebatang rokok, menyulut, dan menghisapnya. Aahh...this event sucks. Mending gue minta ajarin selancar aja sama itu orang-orang di sana. Gue bergumam saat melihat dari kejauhan ada sekumpulan orang-orang menenteng papan selancar mereka menuju bibir pantai.

Tiba-tiba aja ada suara langkah di belakang gue. Gue menoleh dan kaget setengah mati. Itu Marshanda. Dia juga keluar ruangan. Sekarang dia berjalan.........dan berhenti...berdiri di dekat gue.

Dia lihat gue. Gue bingung mo gimana, akhirnya gue buang muka, pandangin pantai lagi.

Dia bersuara, “Bete gue. Di dalem boring abis.”

“Gue juga keluar barusan.” Gue ngejawab. Agak canggung juga gue. Sepertinya dia melihat gue tampak nggak begitu tua jadi dia pakai bahasa lo-gue.

“Males banget. Apaan sih. Perusahaan paling ramah lingkungan apaan?! Mereka cuma gitu-gitu doang. Nggak ada ngaruh-ngaruhnya sama penyelamatan lingkungan. Ngapain mereka dijadikan contoh model di sini.”

Kuping gua panas. Tapi dia masih melanjutkan. “Gue juga tahu kok Bos mereka kayak apa. Hihihih..." Dia menahan ketawa sebentar..."Kayak punya kelainan jiwa gitu deh. Psikopat. Serakah banget. Sodara gua ada yang kerja di situ dan tahu banget kalo Bosnya bajingan. Makanya bosnya itu nggak pernah nongol.”

Muka gua udah merah padam. Tangan gue masih memegang rokok, menyentuhkannya ke bibir, menghisapnya sekali lagi, kali ini dalem-dalem. Tangan gue satunya terkepal.

"Namanya, siapa gitu...sodara gue itu pernah cerita...Ferdi...atau Feri...ya...misterius banget dia...mencurigakan. Gue nggak peduli sih sama kepedulian palsu mereka sama pencemaran lingkungan. Cuma gue suka lucu aja ngebayangin psikopat yang mimpin perusahaan segede itu. Kebayang nggak loe? Gue bayangin dia kayak anak autis yang nggak punya temen, apalagi istri, pacar aja nggak punya. Yakin gue. Makanya dia ambisius banget. Berharap bisa dapet cewek kalo punya duit banyak."

Kali ini rokok gue isep lebih dalam lagi....

Marshanda melihat rokok gue terus ngomong, “Ngerokok tu nggak ngehargain hak orang lain untuk hidup sehat, tau nggak?”

Habislah kesabaran gue. Kata-katanya sudah membuat wajah gue semerah darah sekarang. Gue pergi meninggalkan dia. Gue ke toilet. Cuci muka di wastafel.

***

I’m psycho? Bajingan?

Gue ngelap muka gue pakai sapu tangan. Keran wastafel gue matikan...Kata-kata Marshanda masih terngiang-ngiang di kepala gue. Baru kali ini gue denger ada yang ngatain gue seperti itu. Gue....gue merasa....terhina.

Saat itu gue denger suara-suara perempuan mendekat. Gue terhenyak menatap ke arah pintu keluar toilet. Gue yakin mereka ada di depan pintu toilet. Perasaan gue nggak enak. Spontan, Gue masuk ke dalam salah satu bilik toilet, bersembunyi. Dua orang perempuan itu masuk dalam toilet. Lho? Pikir gue..Kok ada perempuan masuk. Ini kan toilet cowok? Atau...gue yang salah masuk toilet.

Mendengar suara mereka gue menebak ada dua orang perempuan. Satu ibu-ibu, satu lagi sepertinya lebih muda. Gue nggak bisa mengidentifikasi suara yang ibu-ibu, tapi gue mengenali suara satunya yang muda.

Suara air mengucur deras dari keran.

“Kamu ngobrol sama siapa tadi, Cha?”

“Nggak kenal juga aku.”

“Eh, kok di sini malah main mata sama cowok yang nggak dikenal?”

“Ah, tante apa sih. Aku tadi kebetulan aja ketemu dia di balkon. Udah ah, orangnya aneh juga sih. Agak tulalit. Heran juga kenapa orang kayak dia ada sini. Anaknya pengusaha-pengusaha itu kali ya.”

“Wah, kan kaya tuh Cha.”

“Tante gimana sih, kan aku dah bilang orangnya kayak tulalit gitu. Kayaknya dia tipe anak yang bisanya ngabisin duit bokapnya buat balap-balap motor gitu deh. Malesin.

Tangan gue terkepal. Gigi gue bergemeretak. Mereka lagi ngomongin gue.

Beberapa saat kemudian suara keran berhenti. Gue mendengar derap langkah menggema di ruang toilet. Kemudian terdengar pintu terbuka dan menutup. Selanjutnya hening. Gue pelan-pelan keluar dari bilik toilet dan ngacir ke luar. Benar saja, waktu gue cek, ternyata gue salah masuk toilet cewek. Gue beruntung nggak ketangkep basah di dalem tadi.

Gue berjalan kembali ke arah balkon. Di situ gue melihat Marshanda dari belakang..

Marshanda...

Do you think I’m psycho?

Bajingan?

Do you really want to know the answer?

***

Gue di kamar sekarang. Rebahan di tempat tidur. Gue udah nggak nafsu ngikutin acara-acara berikutnya. Udah eneg banget. Lagipula perhatian gue sedang terfokus pada satu hal. That bitch yang udah ngata-ngatain gua seenaknya. Marshanda.

Gue berpikir dalam-dalam. Gue memejamkan mata.

Bayangan-bayangan itu terlintas. Gue tersentak sesaat, sama sekali nggak nyangka. Karena sudah berbulan-bulan ini bayangan-bayangan itu tidak pernah mengganggu benak gue. Sekelebat ingatan-ingatan di puncak menyeruak kembali. Sebuah pengalaman pertama yang berjalan sempurna. Gua terbayang betul, detilnya..Mulai dari membopong mereka bertiga. Air liur gua yang mengumpul tatkala melucuti pakaian mereka satu persatu, dan tentu saja, bagian terbaiknya.....Itu sudah lama sekali...Mungkinkah jika gue....

Gue terbangun, duduk di kasur. Kemudian gue mencari koper gue. Betul saja...gue membawa koper yang itu...

Mungkin gue nggak perlu pergi ke Legian untuk membuat malam terakhir gw di Bali ini berkesan selamanya...

***

Jam 10.46. Rangkaian acara sudah selesai. Gue tahu itu karena ketika gue nongkrong di loby gue melihat para peserta acara sudah kembali ke kamarnya masing-masing. Sebelumnya gue juga sudah berkeliling melakukan survei tempat. Gue sangat beruntung malam ini karena Marshanda sendirian, saudara yang menenemaninya (orang yang dipanggilnya Tante tadi siang di toilet) sudah terlebih dahulu balik ke Jakarta ini dengan penerbangan malam. Beruntung terus ya gua? Well, life loves the bastard.

Gue berdiri dari sofa lobby dan mengembalikan koran ke raknya. Gue masuk ke dalam lift. Tak lama kemudian sampailah gue pada lantai tempat kamar Marshanda berada. Begitu pintu lift membuka gue langsung melihat dia berdiri di depan pintu kamarnya. Arah pandangannya pas banget memergoki gua. Gue kaget langsung membelok di koridor, berhenti di balik tembok, mengamati.

MArshanda dengan gaun hitam, tanpa lengan, bagian dadanya tertutup, tapi bagian punggungnya sedikit terbuka. Sepertinya dia tidak menghiraukan gue. Dia sedang menelepon pakai HP. Gue mendengarkan. Gue menangkap dia sedang ngobrol sama Mamanya. Looks like her Mom is very worried. Putrinya sendirian di sini. Gue denger Marshanda berusaha menenangkan Mamanya bahwa semua akan baik-baik aja, dan akan pulang besok.

Gue tersenyum, membatin, ‘Are you sure, Marshanda?’

Kemudian gue denger ia sudah pengen menutup telepon dan masuk ke kamarnya, tapi Mamanya sepertinya masih ingin lebih lama mendengar suara putrinya itu.

“Udahlah, Ma..Chaca nggak papa kok sendirian. Udah ya..Chaca mau masuk kamar dulu nih. Ngantuk, dari tadi acaranya padet banget. Apa? Nggak mau ah...udah besok aja. Apa lagi?....”

"..."

Gua membatin lagi..’Sudahlah...nikmatilah obrolanmu itu. Because maybe it will be you last conversation with your Mom as a virgin’

If you are still...Well..sebentar lagi gue akan cari tahu sendiri. Gue ngikik pelan membayangkan apa yang akan gue lakukan.

Akhirnya Marshanda mengucapkan selamat tinggal pada Mamanya. Ini saatnya. Gue melihat Marshanda membelakangi gue, ia sibuk hendak memasukkan kunci. Gue kembali ke lorong mendekat. Lorong hotel sangat sunyi, seperti dugaan gue. Hotel ini terlalu eksklusif.

Marshanda nggak menyadari kehadiran gue yang makin dekat. Ia membuka pintu tepat saat gue menyergap dan membekapnya. Ia terkejut, dan memekik. Reaksi gue lebih cepat.

"Kyyaaaaaaaa!!"

Pintu kamar sudah terbuka. Gue menyeretnya melenggang masuk. Pintu pun tertutup. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam sana.
 
***

Pekerjaan gue pertama sekarang adalah seperti apa yang dikerjakan predator manapun di dunia ini. Melumpuhkan mangsa, supaya bisa menikmatinya dengan santai. Tadi gue datang bermodal tas pinggang dobel, cukup gede menggelembung. Gue &#8211;lagi-lagi- beruntung membawa koper yang sama dengan koper yang gua bawa waktu main ke Paris. Yah, waktu itu temen gue kasih hadiah yang 'aneh-aneh' ke gua. Kebanyakan gue nilai ini sebagai hadiah dari orang sakit jiwa maniak yang gue terima dengan senyuman daripada ntar dia tusuk-tusuk gue lantaran ngamuk pemberiannya gua tolak. Namun salah satunya ternyata berguna saat ini. Borgol, maksud gua empat borgol.

Asal lo tau aja, borgol adalah barang ternormal yang bisa gue ambil dari setas penuh hadiah dari temen gue itu. Males dah gua ngebahasnya. Gini-gini gue nggak suka yang aneh-aneh.

Gue ambil satu borgol standar. Marshanda menjerit. Gue dorong dia ke tengah ruangan. Walaupun biasanya hotel semacam ini dirancang untuk meredam kebisingan yang terjadi di dalam kamar (jaga-jaga buat yang honeymoon), gua rada khawatir juga suaranya bisa terdengar kalau kita ada di deket-deket pintu. Begitu gue lebih masuk ke tengah kamar gue pasangkan borgol tadi mengaitkan pergelangan tangan satu dengan yang lainnya. Gue ambil lagi satu borgol lain, gue pasang di tengah-tengah borgol pertama. Terus sembari mendorong tubuhnya ke kasur gue kaitkan borgol kedua itu ke ukiran di bagian kepala kasur. Dia terikat dengan kasur sekarang. Posisinya setengah berbaring, karena punggungnya masih sedikit naik. Tangannya terikat ke atas, belakang.

Kemudian kaki. Gue berpikir gimana enaknya. Akhirnya cukup dengan memborgol satu antara kedua kakinya. Gue masih pengen melihat dia bergerak bebas.

Dia meronta-ronta. Berusaha melepaskan diri dari borgol. Bergerak ke kanan-kiri. Membanting tubuhnya ke segala arah. Gue melihat ini sebagai tontonan yang mengasyikan. Mangsa yang terdesak. No hope, honey. Terimalah nasibmu...

"Nona..." gue mau ngomong tapi nggak jadi karena Marshanda nggak berhenti-berhentinya menjerit, berteriak minta tolong, dan berusaha melepaskan diri. Gue mengurungkan niat gue. Gue lepas tas pinggang gue yang lain, yang menggembung. Gue ambil isinya. Handycam. Gue coba sambungkan ke TV, dan menyala sempurna. Apa yang gua sorot langsung nongol di TV. Gue ambil chargernya dan mengisi batereinya. Gue takut batereinya habis ntar. Handycam gue lupain dulu.

Marshanda masih belum mau diam. Beberapa kali ia memekik panjang. Ck, butuh waktu agak lama tampaknya baginya untuk menyadari bahwa sudah tidak ada harapan baginya untuk lepas dari cengkeraman gue.

Gue masuk kamar mandi di kamar itu, menyalakan air panas pada bak. Gue biarkan dulu Marshanda dengan harapan-harapan kosongnya. Gue belum mandi sejak pagi. Setelah bak penuh gue berendam santai. Ah, enak...seger rasanya. Beginilah pemburu yang sudah sukses menjerat mangsanya. Tidak perlu terburu-buru. Seperti laba-laba yang sudah membungkus serangga lain dalam balutan benang. Santai...

Lumayan lama gue berendam. Hampir ketiduran. Gue terkantuk-kantuk di dalam bak.

Sepi sekali? Keran air sudah gua matiin, kok nggak kedengeran suara lagi ya?

Marshanda?

Apakah dia sudah menyerah?

Hmm...kalau begitu ini saatnya beraksi...

Gue mengeringkan badan pakai handuk dan keluar. Gue memutuskan untuk hanya memakai boxer gua dan meninggalkan yang lainnya di kamar mandi. Gue menghampiri kasur. Marshanda tergeletak, terikat. Ia menangis, tapi suara tangisannya putus-putus...Sepertinya teriakan-teriakan minta tolong tadi menghabiskan suaranya.

Gue duduk di sampingnya, bersandar, menyesuaikan posisi gue sama dia. Tangan gue lalu menyelip pinggangnya dari belakang, seperti memeluk, membuatnya lebih dekat sama gue. Dia sesenggukan, menatap gua, pandangan matanya penuh kebencian.

"Selamat malam, Nona &#8211;bolah saya panggil anda Caca? Tentu anda masih ingat saya. Kita bertemu di balkon tadi."

Dia menggeleng aneh, menggigit bibirnya.

"Kamu mau ngapain Caca?" tangisnya pelan.

Heh? Alis gue naik sedikit, agak heran. Gaya bicaranya berubah. Nggak lagi berlo-gue seperti tadi siang. Ah, nggak penting.

"Baik. Kalau begitu saya langsung saja ya. Pertama ingat nama saya, Dodot. Lalu...oh itu di mana ya...ah ini dia" Gue mengambil remote AC, dan menekan tombol off. Lalu gue membalikkan badan sebentar meraih tombol lain dan menekannya. Tombol pemanas. Pemanas ****** itu seharusnya sudah menyala dan menaikkan suhu sekarang.

"Nona..." gue kembali bersandar pada tubuhnya...memposisikan diri gue merangkulnya senyaman mungkin.

"Pernahkah anda bertanya-tanya ketika masuk kamar ini? Bagaimana bisa, di Bali, seorang pemilik hotel memasang pemanas ruangan di kamar-kamarnya?"

Gue menatap wajahnya, dia sangat ketakutan.

"Saya terus terang tadi kebingungan. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Tapi...Akhirnya saya menemukan jawabannya. Itu diperuntukkan bagi tamu yang kelaparan di malam hari, dan memutuskan untuk mencari dan memasak sendiri makanannya. Suhu yang panas untuk memasak. Cukup masuk akal, bukan?"

Dia kebingungan...

Gue meneruskan. "Ya. Saya yakin anda tidak tahu sampai saya memberitahunya barusan. Untuk itu saya ingin langsung memperlihatkannya ke anda. Betapa dahsyatnya fasilitas hotel ini. Kebetulan malam ini saya lapar, dan sudah malam. Saya akan memasak. Tapi sebelumnya saya harus mendapatkan dulu bahan makanannya. Tadi saya berpikir seperti itu ketika berjalan di lorong lantai ini. Saya harus menangkapnya..."

Gue merengkuh tubuhnya lebih erat.

"Sepertinya saya sudah berhasil menangkapnya sekarang." Gue menghirup nafas di lehernya. Dia bereaksi menolak. Pekikan kengerian muncul lagi dari mulutnya.

Gue terangsang..Tangan gue terangkat ke wajahnya memperlihatkan sesuatu yang gue persiapkan di kamar mandi tadi. Ia diam, tercekat, ketika gua memperlihatkan pisau lipat mungil itu. Mini tapi dari kejauhan pun kemengkilatannya sudah menyiratkan ketajamannya.

Gue mainkan mata pisau di lehernya, "Saya akan memulai pelajaran memasak ini sekarang. Perhatikan baik-baik, Nona, karena saya tidak berniat untuk mengulangi penjelasan ini. Mengerti! Oke pertama, rahasia dapur biasanya berawal dari cara mengupas." Pisau begerak ke samping memutuskan tali gaun di lengan sebelah kanan

'Ctas..'

Dan berlanjut ke yang sebelah kiri...

'Ctas..'

Dia semakin ketakutan, mata pisau kembali bermain di daerah dada atas, bergerak ke bahu, sebelum gue mengarahkannya di tengah dada, lurus ke bawah. Dia berteriak, "Jangan, tolong,"

Pisau meluncur merobek gaun hingga ke bawah. Bagian depan gaun itu terbelah dan tampaklah pemandangan yang semua lelaki rela memberikan apapun untuk bisa melihatnya. Tubuh Marshanda yang tertutupi bra tanpa cantolan bahu, dan celana dalam, dua-duanya merupakan satu pasang sehingga warnanya sama biru muda.

Gue menelen ludah untuk kesekian kalinya.

Gue tarik gaun yang sudah robek itu melintasi punggungnya dan gue lempar ke lantai. Marshanda sekarang hanya menggunakan pakaian dalam. Penis gue tegak di dalam boxer yang gue kenakan.

Kemudian gue inget handycam yang tadi gue charge. Gue ambil, nyalain, terus ngambil beberapa shoot-nya. Cam gue ini bisa sekaligus merekam dan mentransfer gambar ke TV sekaligus. Jadi gue bisa langsung melihat gambarnya di TV kamar itu. Setelah mengambil beberapa shoot, gue taro Cam gue itu di atas meja samping tempat tidur dengan posisi menyorot ke arah Marshanda. Gue kembali fokus ke mangsa gue.

Gue tindih dia pelan-pelan. Gue menghayati ketika permukaan kulit di bagian paha, perut, dan dadanya bergesekan dengan bagian yang sama dari tubuh gue. Rangsangannya langsung cepet gue terima, kayak ada yang nyengat di kulit gue, mengalirkan arus yang membangkitkan sesuatu di selangkangan gue.

"Tolooong...ehgh." Marshanda memalingkan mukanya. Gue paksa dia melihat muka gue.

"Sssssttt...Diam...." Gue mendekap tubuhnya. Merasakan tubuhnya yang mulai menghangat seiring naiknya suhu ruangan. Pelan-pelan gue buka kait beha di belakang dan gue lepas penutup dadanya itu. Setelah terlepas, gue lempar behanya ke lantai. Sekarang payudaranya tak tertutup sehelai benang pun. Bebas gue gerayangi dan remas-remas.

"Aaaaah....aaoooh.....ooooh... aahh ...aaaahh...aaahhhhh...." desah Marshanda mengeliat-liat.

Mmmmnnnyymm.....slrrppp.. Kenyal... Gue sedot dan untir-untir puting susunya. Marshanda bereaksi, apalagi ketika tangan gue meraba-raba bagian tubuh lainnya. Ia terangsang.

"shh...jangan...jangan gituin Ca..ca.."..

Gue makin semangat. Gue jilat susunya seperti sedang menikmati es krim. Kiri-kanan, balik lagi ke yang kiri. Sekali-kali gue sedot dan gigit-gigit dengan lunak. Marshanda mendesah..."aahh...jangan...be rhenti..caca nggak mau...". Gue mulai beringas, beranjak menciumi leher, dagu, pipi, dan gue akhirnya nggak kuasa untuk tidak mencicipi bibirnya.."uummmghh.."Aahh...r asanya manis, sepertinya dia pakai lipgloss rasa buah gitu..Gue lumat bibirnya. Ahh.Marshanda...Uuhh...yeah...

Hah..hah..hah..panas...panasny a kok beneran ya? Gue jujur betul-betul belum habis pikir dengan pemilik hotel tolol ini. Dalam sekejap saja ruangan kamar mulai panas..Gue kegerahan...Gue berhenti mencumbu Marshanda bangkit dari tempat tidur dan mencari kulkas di ruangan itu. Letaknya sama di setiap kamar, di dekat pintu. Gue buka kulkas, mendinginkan badan sebentar, kemudian melongok dan mendapati satu kaleng bir yang menarik perhatian gue. Gue ambil bir itu dan kembali ke Marshanda. Gue buka kaleng bir itu dan menenggaknya...Ahh, lumayan seger...

Gue kembali berada di dekat Marshanda. Gue sodorkan botol bir padanya.."Pernah mencoba alkohol?".

Marshanda menggeleng.

Terus Gue bilang, "Alkohol memperkuat aroma makanan yang dimasak, terutama bila komposisinya pas." Gue menindih pahanya, meminum seteguk bir, kemudian mencoba membuka paksa mulut Marshanda. Setelah berhasil gue paksa dia minum bir berteguk-teguk. 'gluk..gluk..gluk..gluk..' hehe, drunken chick. Gue melihat reaksinya dan ketawa ketika mukanya mulai merah padam. Nggak cukup sampai di situ, gue tuangkan sedikit bir dari botol itu ke atas dua payudaranya.. Untuk kemudian gue lumat...susu Marshanda yang berlumur bir itu...pastinya sangat memabukkan...

Gue juga menyedot pelan-pelan putingnya. Marshanda menggeliat-geliat, "sss...aaahh...hssshhh...aah". Gue berhenti ketika bir di susu yang kenyal itu habis, cairan yang tersisa hanya bekas air liur gue.

Ah..hah...gue taro bir itu di meja samping kasur...Kemudian tangan gue jejakkan ke setiap jengkal tubuh Marshanda yang sudah terbuka...Luar biasa, mulus sekali dirimu...Sangat terawat...Perutnya yang ramping mengesankan gue. Kemudian perhatian gue makin lama bergerak pasti ke bawah dan mendapati bagian paling pribadinya masih tertutup celana dalam. Gue mundur ke belakang menarik tepian celana dalamnya. Agak susah, karena kaki artis cantik ini masih bergerak bebas, jadi ia melawan menendang-nendang ketika gue bermaksud membuka satu-satunya pakaian yang melekat di tubuhnya itu.
Gue menghalau sepakan kakinya, terkena beberapa, satu dua menghantam pipi gue, cukup sakit. Tapi dengan gigih akhirnya gue berhasil memelorotkan celana dalam itu. Wuiiihhh....

Selangkangannya terbuka sekarang. Marshanda refleks langsung menutup rapat kedua kakinya. Gue karena sudah bernafsu langsung meraih kedua kakinya itu dan memaksanya terbuka lebar. Dia memberontak dengan mengangkat pinggangnya dan menjatuhkan kembali membuat gue nggak bisa nyaman. Gue berusaha menghentikan gerakan itu tapi susah juga.

Akhirnya gue tekan kaki-kaki itu ke bawah dan gue menyergap ke kasur, menindih seluruh tubuhnya. Saat itulah gue merasakan bahwa pemanas ruangan sudah mempengaruhi suhu ruangan ini dengan sempurna. Karena saat itu pertama gue bisa merasakan kain seprei basah terkena keringat kami berdua. Dan kedua, yang ,mengasyikkan...saat badan gue menindih tubuhnya, gue merasakan tubuh yang mulus itu licin terkena keringat, dan licinnya itu menjadi lengket saat bersentuhan dengan tubuh gue sendiri yang juga sudah banjir peluh.

Yang ketiga, keringat membuat aroma tubuhnya memuai...Wangi parfum...Saat menindih tubuhnya ini hidung gue langsung terlena dengan aroma itu...Aaahhh........

"Wangi sekali, Nona....ini pertanda masakannya sudah hampir matang."

"Eehh...pa...nass..." Dia menggeliat.

Harus diakui bukan cuma dia aja, gue juga kepanasan, akhirnya gue buka boxer gue di depan matanya. Tentu saja kontol gue sudah berdiri tegak menyapanya. Marshanda tercekat horor memandang penis gue...Mungkin baru pertama kali lihat kemaluan pria yang asli. Dia menjerit.

Gue dekatkan kontol gue di wajahnya, kemudian gue pukulkan ke pipinya kanan-kiri..Batang penis itu memukul pelan.."plukk...plukk...pluk.. ." Kemudian gue gesek-gesekkan anu gue itu ke lehernya sembari gue jambak rambutnya sehingga posisi kepalanya menengadah. Penis gue berkedut-kedut..

"Sekarang waktunya mengaduk, Nona..." Gue tempelkan kontol gue tadi ke bibirnya. Ia menutup bibirnya kuat-kuat. Gue tampar pipinya...PLAAKKKK.... Gue tempelkan lagi. Bibirnya masih belum membuka. Gue tampar lagi..PLAK..terus gue jambak kenceng-kenceng rambutnya ke satu arah dan gue banting ke arah sebaliknya. Setelah itu gue betulin lagi posisi kepalanya, untuk kemudian mencoba lagi. Gue tempelkan lagi kontol gue...

Kali ini pelan-pelan mulutnya membuka, membiarkan batang penis gue menerobos masuk ke dalam rongga mulut manis itu. Lidahnya menari-nari di dalam menyambut kedatangan kontol gue. Srrpp..Pinggul gue kemudian maju-mundur ssementara tangan gue memegangi bagian belakang kepalanya. Nggak lama kemudian, giliran tangan gue yang berkerja memaju-mundurkan kepalanya Marshanda sehingga kontol gue bisa menjelajah mulutnya berkali-kali...Isep nih...kontol gua! Makanya kalau ngomong pikir dulu, monyong, jangan asal nyablak!! kata gue dalam hati.

Lalu gue pegang penis gue, gue angkat ke atas, kali ini gue tempelkan buah zakar gue ke mulutnya. Gue paksa mulutnya membuka dengan memencet pipinya dengan telunjuk dan jempol gua. Marshanda akhirnya mengerti dan mulai menjulurkan lidahnya ke kulit kantung semen gue...Ia melakukannya lagi..lagi...dan lagi...Ooowgghh...Gue tambah kenikmatan itu dengan onani sama tangan gue satunya.

Puas dengan itu, gue lepas pegangan tangan gue di kepalanya. Tangan gue yang satu masih memegang kontol dan gue arahkan ke puting susunya. Gue taruh di antara dua payudara. Lalu gue remas susu-susu itu hingga menjepit penis gue...Errrghhkkk...Gue gerakkan adek gue naik turun menyusuri lembah di antara gunung kembar itu...Yesss...Yeees.....Oohhh. ...

Mmghhhhh.....

Tak lama kemudian gue kembali menyusuri bagian tubuhnya lebih ke bawah. Betul saja, Marshanda masih melakukan perlawanan ketika gue mulai meraba pahanya. Gue melakukan usaha keras sebelum akhirnya kaki gue berhasil menyangga agar selangkangannya terbuka lebar. Gue mendapati bahwa borgol yang gue pasang tadi di kakinya justru menyulitkan posisi gue. Tapi itu nanti saja gue pikirkan. Soalnya dia masih bertenaga.

Gue melihat vaginanya seperti garis vertikal yang samar karena tertutupi oleh bulu-bulu. Melihat bagian kewanitaannya orang pasti akan setuju bahwa ia telah dewasa. Gue mengelus-elus jembutnya itu. Iseng, gue jambak dikit. Dia menjengat...."hgaaaaaa.."

Hmmm...mari lakukan ritual biasa, ritual jari...Menit-menit berikutnya gue menyibukkan diri dengan jari gue menerobos liang kewanitaannya. Sulit masuk pada awalnya. Gue mendapati telunjuk dan jari tengah gue diremas oleh dinding memeknya saat pertama kali masuk.

"eeeuughhh.." dia melenguh. Gue melanjutkan...mempermainkan bagian yang belum dijelajahi siapapun itu..Marshanda mendesah hebat..."Auhhh...jangan...Caca ...ngg..ak...mau.."

Hmmm..gue menggumam pelan..kesenangan gue memang terhalang oleh borgol yang gue pasang sendiri tadi. Jadi gue memutuskan untuk mengambil kunci mungil untuk membukanya. Setelah terbuka, kedua kaki itu dapat terbuka bebas. Namun gue langsung merengkuh dan menekan keduanya ke dua arah berlawanan sebelum Marshanda sanggup bereaksi memberikan perlawanan.

Setelah itu gue menundukkan kepala, mendekatkan muka gue ke lubang keperawanannya. Gue mencium memeknya. Hmmm...selain keset, juga wangi...hampir sama seperti bibirnya yang gue lumat tadi.. Apakah rasanya manis juga? Gue mulai menjilatnya dengan penuh nafsu..Tak cukup dengan itu tentu... Lidah gue mulai bermain menerobos vagina yang sudah gue telusuri dengan jari-jari gue tadi. Jari gue sekarang beralih fungsi membantu melebarkan jalan dengan membentuk huruf V. Dengan itu lidah gue leluasa masuk ke dalam. Tentu saja sasaran gue adalah klitorisnya..Slrrpp...cpp...sp pp...

"Aaaaa...ja..ngann...udah...u. ..dahhh...Ca...ca... h.h..hhh..hhh."

Udah? Belum dong..Ssrllrrppp...cpp..cpp..a hhh...cpp...cpp...Ke mudian gantian jari gue yang menggosok dalam... bergantian telunjuk dan jari tengah..juga keduanya...Tubuh Marshanda menggelinjang di atas ranjang..

"hhyehh...hhehhh..ehh..."

Enak kan....Mendadak cairan membasahi dua jari gue itu...Jari-jari gue basah..Dia sudah mengeluarkan cairan yang mengundang kontol gue untuk masuk....Hmmm...nyam...nyam...

Gue menegakkan badan gue untuk kembali merubuhkannya tepat di atas Marshanda menindihnya...Badannya jauh lebih berkeringat. Mungkin dia akan dehidrasi setelah ini. Sama, mungkin gue juga. Yah, bersabarlah sedikit...manis..

Gue mencumbunya membabi buta...Teteknya gue embat lagi...bibirnya gue sosor...dan yang lainnya...jari-jemari gue tak kalah agresifnya bergerilya di pahanya yang mulus, perutnya, lengan rampingnya... Semuanya...
Hingga akhirnya gue puas dan merasa sudah saatnya adegan final...

"Ah, tampaknya anda sudah siap, Nona. Ahli gizi mengatakan...jangan memasak terlalu lama, karena itu akan menghilangkan vitaminnya."

Gue memegang batang penis gue membimbingnya menuju "sarung" barunya.
"Anda akan sangat menyukainya, Nona."

Kepala penis sudah menyentuh bibir vaginanya. MArshanda melolong..."Tidaaaakk!!" badannya bergelenjotan ke sana kemari. Gue kerahkan segala upaya untuk membendung perlawanannya. pfff...capek gue...

Gue harus segera nancepin kontol gue ini...pikir gue...sekarang...

Hekk.....gue mendorong kontol gue masuk....meleset...penis gue justru meluncur ke atas melintasi hutan jembut di atasnya...

Shit...

Harus..pelan..pelan...Memek Marshanda masih sangat keset. Ini ibarat memasukkan benang ke jarum. Harus perlahan-lahan sebelum mendesakknya dengan kekuataan penuh.

Gue lakukan percobaan kedua. Gue tempelkan lagi, kali ini mendarat sempurna. Gue dorong pelan-pelan sampai posisinya terkunci. Tepat. Sekarang waktunya Marshanda...Saat yang bersejarah buat lo! Buat gua sih nggak..Hehe..Tapi dengan tubuh mulus seperti ini tentu ini bukannya akan tidak berkesan buat gue...Justru sebaliknya malah, sayang...

Penis gue memblesek ke dalam..."Slopp.."

Uugghhh..." youre so tight... gue berkomentar dalam hati...Tentunya itu tercermin dalam ekspresi muka gue yang menahan nikmat..

"Aaahahhhhhhhhh....hehhh...heh h..hehhhhhhhh.." Marshanda berteriak...diselingi tangisnya yang kembali membahana.

Gue beristirahat sebentar. Dinding vaginanya terasa sangat kuat menekan kontol gue di dalam. Gue.....gue inget betul perasaan ini....Sensasi luar biasa yang juga gue rasain setengah tahun yang lalu di Puncak. Kenikmatan tak terbayangkan ...Oohhhhh.....yess.....aaaaaa hhhh...

Oh ya, gue teringat akan Cam gue yang sedari tadi sudah merekam aktivitas kami berdua. Kontol gue masih nancep ketika tangan gue meraihnya dari meja. Kemudian gue menyorotnya dengan satu tangan ke arah penis yang nancep di memeknya Marshanda.

Tangan gue yang satu lagi memegang pipi si Marshanda dengan kasar. Memaksanya menoleh ke arah televisi, tempat ditayangkannya apa yang sedang gue sorot.

"Lihat ini, Nona!"

Gue melanjutkan entotan gue...Semuanya terpampang di layar monitor.Dan gue paksa Marshanda menontonnya.. Menonton memeknya dientot sama kontol gue...

Tangisnya meledak lagi.. Harta yang paling dijaganya sudah koyak.

"Aaaaaagggg....aaaaoooohh....o oooohhh...oohh.. ."

"Oohhh...lezat.....Nona Marshanda...rasanya legit sekali....aahhhh"

"Oooohhh....jangan.....hentika n...aaahhhh...."

"Uuuuggghhhh......uuuuuhhhh... .uuuhhhh....aaau uuhh hhh...."

"Aaagh.....aaahh....ooooh....o oohh..."

Gue hanyut dalam setiap irama entotan yang gue lakukan...Gue mengamati wajah Marshanda di sela-sela gue menikmati kelezatan tubuhnya...Dia memejamkan mata...Sangat berat untuknya tentu kalau dia membuka matanya, pandangannya langsung tertuju pada layar yang memperlihatkan bagaimana liang keperawanan yang dijaganya selama ini dijebol oleh....apa namanya itu? Bajingan?

Gue melihat ke arah TV...gue berhenti dan mengeluarkan kontol gue. Cairan bening bercampur darah ikut menempel padanya.....Betapa beruntungnya gue bisa memerawani elo Chaca, sayang...

Gue sorot vaginanya yang sudah tidak lagi berbentuk garis vertikal namun menganga itu.. Darah mengalir dari dalamnya. Tentu ini karena selaput daranya robek. Gue sorotin terus. Sambil memastikan Marshanda melihat semuanya...

"Lihat itu, Nona! Hehehe..."

Dia menatap gue, "Kamu anjing! Biadab!" dia memaki gue.

Gue tampar dia PLAK. Ah well, cukup basa-basinya. Gue taruh Cam gue balik ke meja. Dan melanjutkan "makan malam" gue

"Uuuugggghhhh.... "

"Aaaahhh...aaaahh....ammm....p un....aahh...

aaahh...aaahh....sakit..ahhhhh ..aaaahhh...."jerit Marshanda.

"Uuuh...uuuh....uuaah..."

Gue melampiaskan segala pembalasan terhadap celaan yang dikatakannya tadi siang ke gue. Tubuhnya adalah pembayaran yang pas. Cukup untuk membayar semuanya. Gue mempercepat irama...Hhh...ahh...euuhhh.... ehh...yeah....ooohhh h.....Kemudian memperlambatnya...Gue nggak peduli dia ngerasa sakit seperti apa...Gue....mengejar kenikmatan seperti dulu...Ayo, datanglah...datanglah....
Beberapa menit gue ngentot dia, Marshanda sudah tak berdaya. Gue sempat berhenti beberapa saat untuk memastikan kondisinya masih sadar. Begitu dia beraksi menandakan masih siuman gue melanjutkan pengejaran kenikmatan gue.

"Aaagh.....aaahh....ooooh....o oohh..."

Ah sebentar, kalau benar ia sudah tidak berdaya, maka tampaknya sudah tidak masalah kalau gue melepas borgol di tangannya. Gue tanpa berpikir panjang lagi mengambil kunci borgol dan membukanya.

Tangannya bebas sekarang. Tangan mungil yang langsung menggantung lemas. Hahh...begini baru gue bisa mengeksplore semua aset yang loe punya cantik....

Gue mencumbunya...gue mungkin bisa mencumbunya sampai mati...Bagaimana mungkin gue bisa melewatkan gadis secantik dia telanjang di ranjang..terlentang pasrah. Tentu tidak akan gue lewatkan sebagian pun. Gue cumbu...Mencumbu Marshanda meyakinkan gue bahwa saat kenikmatan puncak itu memang sudah dekat..Gue sudah merasakannya seolah sudah beberapa meter dari gue. Luar biasa Marshanda...

Gue masukkan lagi kontol gue ke dalam vaginanya. Kemudian gue melanjutkan pompaan gue. Kali ini tanpa tedheng aling-aling...gue nggak mau kehilangan momen untuk menangkap kenikmatan itu. Ketika gue merasa rasa-rasa itu mulai memudar, gue kembali mencumbunya...Payudaranya yang sensual. Pahanya yang membuat mata gue hampir copot. Wajahnya yang cantik menggemaskan.. Aaahh....euuh......Marshanda.. ..

Terima ini...

"YEAH...uhhhh..."

"Aaaaaaahhhh.....aaaaaa....aaa aaahh.....aahhhh .... ..ooooohhh" Marshanda melolong menahan sakit.

"Jangan berteriak seperti itu, Nona. Baik, saya akan membantu anda supaya bisa tenang."

Gue lalu menutup mulutnya dengan bibir gue. Dia berusaha melawan tapi tentu tak kuasa melawan gue. Apalagi ia kembali kesakitan ketika gue menyodok memeknya lagi (kali ini sangat keras.)

Gue kembali memperkosanya, kali ini tak terdengar jeritan. Hanya ada suara tertahan "mmmppff...mppfff.." Mulut gue menyumpal sekaligus mengulum bibirnya...Cup-cup...hhhh. Ini berlangsung cukup lama. Bermenit-menit. Air mata membasahi matanya.

Akhirnya gue melepaskan ciuman dahsyat gue, dan fokus pada pekerjaan utama. Bukan kenapa-kenapa. Pertama waktu gue nggak banyak sebelum bisa membereskan urusan paska-pemerkosaan (you know what i mean?). Gue nggak merencanakan ini dengan matang. Gue butuh spare waktu yang panjang untuk jaga-jaga. Artinya...gue bisa aja perkosa dia sampai pagi. Tapi hei...ini hotel, bukan villa punya gue. Siapa yang bisa tahu apa yang akan terjadi??
Ah, tapi memang, dia terlalu menggiurkan untuk diselesaikan sampai di sini saja. Oke sebentar lagi..

"Ooooooooohhhhhh.......uuuuuuh hhhh.....uuuhhhh .... .uuhhh.....



"Aaaahhh.....aaaaoooohhh....oo ooohhhhhh...ooooohhh h....." Tubuh Marshanda berguncang-guncang...

Kemudian saat yang biasa terjadi itu pun tiba. Tubuh Marshanda mengejang sesaat. Tangannya yang kini tak lagi terborgol mencengkeram pinggul gue...Menyadari ini gue berhenti juga, memeluknya...hangat..Kami betul-betul berkeringat hebat. Mati-mati deh kekurangan air.. Tapi menurut gue ini sensual..Kami basah, berpelukan...wangi parfumnya yang gue suka.

Hangat....

Selanjutnya sambil mendekap tubuhnya, gue meneruskan goyangan pinggul gue... Pelan-pelan...kemudian secara pasti semakin cepat lagi. Sebentar lagi sayang...Loe beruntung gue nggak bisa lama-lama ngerjain loe...Uggh...

"Ooooooooohhhhhh.......uuuuuuh hhhh.....uuuhhhh .... .uuhhh..... "Marshanda mendesah ketika kontol gue kembali menjelajahi lorong vaginanya...
Pergumulan itu akan berakhir sebentar lagi...gue bisa merasakannya. Tapi mungkin bagi Marshanda itu seolah tidak akan pernah berakhir...

"Aaaahhh.....aaaaoooohhh....oo ooohhhhhh...oooo ohhh h....."

Ah. Marshanda...Dirimu...bagaimana gue mendeskripsikanmu ya? Lezat. Itu saja. Gue nggak bergurau ketika menganalogikan loe sebagai makanan tadi. Loe memang ibarat makanan mewah yang jarang gue dapatkan. Dan gue sudah enam bulan tidak mendapatkan hidangan seperti loe. Gue puasa. Dan gue sekarang berbuka menikmati loe...

Api seolah membara dalam tubuh gue. Membakar gairah. Gue seperti akan meledak. Ini persis seperti kejadian di puncak waktu itu. Kenikmatan itu memang akan datang. Kenikmatan memperkosa...

AAAAAAaaaahhhhhhhhh........... .............Sekelil ing gue seperti menyempit menghimpit gue. Seperti akan menghantam gue berkeping-keping. Gue merasa yang menghimpit gue itu adalah segala kenikmatan yang ada di dunia ini. Semuanya menghantam gue.....

***

Pagi hari pukul setengah sepuluh, gue berada di ruang tunggu pemberangkatan di bandara Ngurah Rai. Nggak lama lagi gue boarding ke pesawat yang akan membawa gua ke Jakarta. Yah, paling nggak gue masih bisa merasakan satu kota lagi di negara gue sebelum kembali cabut ke Dubai.

Di ruang tunggu itu gue kembali teringat dia yang sudah gue santap tadi malam. Marshanda, mungkin ia masih duduk termangu di kamarnya. Mungkin ia tidak beranjak dari kasur tempat gue menodainya semalem. Mungkin juga matanya tidak bisa lepas dari monitor TV tempat gue melayangkan telunjuk gue dan berujar padanya.

"Apa yang terekam di kamera dan apa yang Anda lihat di layar sana tadi sangat mungkin bisa tersebar, jika anda memang berniat menyebarkannya. Tapi rekaman itu tidak akan ke mana-mana seandainya anda tidak berniat menceritakannya pada siapapun..."

Marshanda hanya diam, pandangan matanya kosong. Tubuhnya masih telanjang.

Setelah itu gue berbenah diri dan kembali ke kamar gue sendiri dengan santai. Packing, kemudian check out.

Oh, by the way, penasaran sama gimana gue mengakhiri persetubuhan gue semalem sama Marshanda? Harus gue akui sebenarnya standar-standar aja, gue nggak punya banyak waktu, apalagi permainan semalem semua inisiatif dadakan. Tapi tentu tetap gue menutupnya dengan style. Gue bilang gini sama dia...

"Nona...(sambil terengah-engah) lihat wajah ini. Lihat! Apa yang anda lihat? Apa? Ah saya tahu istilah "lingkungannya" (gue menandai kata itu dengan intonasi yang mengejek), menurut anda saya ini "sampah", kan? Kotor. Menjijikkan. Harus dienyahkan. Dimusnahkan....

Tapi ah, anda kan Duta Lingkungan. Tentu anda akan memilih untuk mendaur ulang saja sampah ini....

Di dalam sini"

Gue megang perutnya.

Sedetik kemudian berjuta-juta sperma sudah menjalar di dalam kemaluannya.
 
salah satu yg legen nee dlu dodotxxx ma joeanchoexs, syang pnulisnya nda tw kmana :( :(

thx suhu for posting
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd