Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG DOSA-DOSA BERKARAT (TamaT)

Bimabet
DOSA-DOSA BERKARAT



Bagian ke II​



….

Anton masuk ke dalam rumahnya sekitar jam 9 malam dengan menenteng bungkusan martabak telor kesukaan ibunya, walaupun sesungguhnya dia berharap ibunya sudah berangkat tidur. Dia sungguh tak sanggup berada di rumah seharian dengan rahasia hatinya dibongkar Hery kemarin malam. Namun ternyata ibunya masih berada di ruang keluarga sedang menonton televisi. Kelihatan kaget dengan wajah ketakutan ketika mendengar ada yang masuk ke dalam rumah. Namun wajah ketakutan Bu Jubaedah berubah menjadi kelegaan ketika mengetahui Antonlah yang datang tersebut.

Anton jelas melihat wajah ketakutan itu, diam-diam dia memaki Hery habis-habisan di dalam hatinya.

“Kamu kemana saja seharian, Nak? Ibu khawatir sekali takut kamu mendatangi Herry dan berkelahi,” tanya Bu Jubaedah khawatir.

“Tenang saja, Bu. Herry tidak akan berani lagi macam-macam lagi sama ibu. Kalau masih juga begitu, lihat saja nanti,” kata Anton sambil duduk di Sofa.

“Jadi ... jadi kamu sudah bertemu dengan Herry?” tanya Bu Jubaedah kembali dengan cemas.

Anton menggeleng, “tidak, Anton main ke rumah Bang Ijul sekalian bisa mengawasi rumah kalau-kalau Herry datang. Anton hanya memberi peringatan lewat WA. Semoga saja dia sadar kelakuannya itu sangat tidak pantas.”

“Sukurlah,” Bu Jubaedah menghembuskan napas lega, “ibu tidak ingin anak-anak ibu berkelahi. Herry sebenarnya anak baik, mungkin dia bergaul dengan orang-orang tidak jelas hingga … hingga …” Bu Jubaedah tidak melanjutkan kata-katanya, wajahnya memerah. Menudian mengalihkan kata-katanya dengan menawari Anton makan malam.

“Tadi Anton sudah makan, Bu. Nanti saja kalau lapar lagi. Ini Anton martabak telor kesukaan ibu,” sahut Anton sambil menunjuk martabak telor di meja makan.

“Ya sudah, ibu juga masih kenyang, atau kita makan berdua saja?” kata Bu Jubaedah kembali.

“Nanti saja, Bu,” jawab Anton sambil mengambil HP-nya pura-pura sibuk dengan membaca chat-chat WA yang masuk.

“Bukannya kamu mau ibu pijitin malam ini? Tuh, balsemnya sudah ibu siapin!”

Anton kembali menggeleng, menoleh ke Bu Jubaedah sambil tersenyum, “tidak usah, Bu. Anton tidak pegal-pegal, ibu beristirahat saja ya. Tidak usah repot-repot begitu!” menatap sejenak, kemudian mengalihkan kembali perhatiannya ke handphone.

Bu Jubaedah menghela napas panjang. Keheningan melanda, kecuali teriakan Ruben yang sedang membawakan acara di televisi.

Tapi kemudian Bu Jubaedah kembali berkata-kata dengan perlahan, “benarkah yang dikatakan Herry kemarin malam, Nak?”

Anton tersentak kaget, wajahnya berubah pucat, “bohong, Bu. Jangan percaya ucapan anak durhaka itu! Mana mungkin ….”

Bu Jubaedah tersenyum lembut, “tidak apa-apa, Nak. Jangan terlalu merasa bersalah. Sejak … sejak kejadian Herry itu, ibu memahaminya. Hanya saja ibu tidak mengerti, di luar sana banyak anak-anak perawan yang salah satunya bisa kalian jadikan pacar.”

“I-itu … itu …,” Anton tergagap malu.

Bu Jubaedah menggeser duduknya mendekati Anton, lalu membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang.

“Ibu tidak marah?” tanya Anton dengan kikuk.

“Kenapa harus marah? Ibu mengerti keinginan hasratmu. Kalau … kalau kamu juga me-menginginkan ibu. Ibu rela ….” Jawab Bu Jubaedah sambil menyandarkan kepalanya ke dada Anton. Mendengarkan degup jantung pemuda itu yang berdetak kencang.

Walau pun dag-dig-dug dan serba gugup, Anton meletakan sebelah tangannya untuk memeluk tubuh montok yang empuk dan hangat itu. Mengelus-elus bahunya. Meraskan hembusan hangat napas ibunya di dada. Untuk sesaat, dia hanya berani mengelus-elus bahu dan pangkal lengan ibunya, hingga kemudian berpindah memeluk pinggang. Dia memiringkan tubunya dan mencium kening ibunya.

Bu Jubaedah mengerti. Anton tidak seperti Herry yang main tabrak. Ia menikmati belaian lembut anaknya itu yang belum berani merayap ke mana-mana. Jadi ia sendiri yang harus berinisiatif. Dengan perlahan-lahan ia melepaskan dua kancing teratas dasternya, menarik sedikit, memperlihatkan dua sembulan payudaranya yang membusung tidak memakai beha. Di dalam hatinya tersenyum, ketika merasakan tubuh anaknya menghangat dan sedikit gemetar. Pipinya yang menempel di dadanya merasakan basah keringat.

“Buuu …,’ desis Anton dengan napas mulai memburu, dari posisinya sekarang, dia melihat payudara ibunya yang membusung bahkan sedikit area putingnya tersembul. Begitu dekat, begitu menggairahkan. Biasanya dia hanya bisa melihat payudara ibunya di lubang intip kamar mandi.

Tangannya yang memeluk pinggang mulai merayap naik, menyentuh bagian bawah payudara ibunya di balik daster. Empuk dan hangat. Tangannya yang lain menyibakkan anak-anak rambut ibunya. Sesekali membelai pipinya.

Bu Jubaedah mendongak menatap wajah Anton dengan tatapan sayu, “ibu mohon kamu … kamu jangan sekasar Herry ya, Nak,’ desahnya ketika merasakan tangan yang memeluk pinggangnya tengan menggaruk-garuk bagian bawah payudaranya.

“Anton mana setega itu, Bu,” jawab Anton menatap sepasang bibir yang merah basah itu kini hanya berjarak sehembusan napas. Dari mencium kening, dia kemudian mencium pipi gemuk ibunya, lalu memberanikan diri mencium bibir basah yang kini terengah itu.

Keduanya berpagutan lembut. Saling menghisap lidahnya masing-masing ketika saling menjilat. Kedua tangan Anton dengan bersemangat kini sudah menggenggam sepenuhnya dua bongkah payudara Bu Jubaedah yang besar dan empuk. Meremas, menggelitik dan menggaruk.

Bu Jubaedah menggeliat dan mendesah. Ciuman Anton dibibirnya begitu bertubi-tubi tidak memberi kesempatan dirinya untuk mengambil napas.

“Kita pindah ke kamarmu ya,” kata Bu Jubaedah di sela ketika mendapat kesempatan untuk menarik napas.

“Mmmmh …,” jawab Anton kembali menyerbu bibir lunak dan hangat ibunya.

Bu Jubaedah segera menggeliat melepaskan diri dari pelukan anaknya. Berdiri sambil memegang kedua pipi Anton.

“Jangan cari bahaya ah, takut orang mengintip, augh!” tubuh montok itu terjatuh menindih Anton yang meraih pinggang dan menariknya.

“Jangan di sini, Sayang,” Bu Jubaedah menggelinjang merasakan geli ketika mulut Anton menciumi lehernya.

“Biarin saja,” dengus Anton dengan birahi yang sudah menggelegak. Mencoba meraih kembali dua bongkah payudara ibunya yang menggelantung di depan mukanya. Namun ibunya sudah mendorong tubuhnya dan bangkit berdiri dengan napas terengah-engah.

“Kunci dulu pintunya, ibu tunggu di dalam kamarmu,” kata Bu Jubaedah tersenyum, kemudian berjalan ke arah kamar Anton sambil melirik genit. Ia sengaja berjalan dengan menggoyangkan pinggulnya yang bulat padat.

“Humfffh!” Anton menghembuskan napasnya melihat goyangan pinggul tersebut. Dia segera meloncat berdiri, setengah berlari menuju ke depan untuk mengunci pintu. Televisi dibiarkannya menyala. Katika masuk ke dalam kamar, ibunya sedang duduk di tepi ranjang sedang mengikat rambut, sementara dasternya tadi tersibak lebar sekarang hanya terbuka sedikit.

Dengan langkah tidak sabar, Anton segera berlutut di hadapan ibunya. Menarik kepalanya dan memagut kembali bibirnya. Sementara tangannya sudah kembali bergerilya ke balik daster. Meremas dan memilin puting payudara empuk tersebut.

Beberapa saat kemudian, Anton membuka baju dan celananya. Penisnya sudah sepenuhnya menegang. Bu Jubaedah segera membuka semua kancing dasternya, kemudian menarik tubuhnya ke tengah kasur dan membaringkan tubuhnya senyaman mungkin. Ke dua pahanya dirapatkan, bagaimana pun ia masih malu untuk mempertontonkan mustikanya begitu saja terhadap anaknya sendiri.

Anton merangkak naik ke atas kasurnya dengan napas memburu. Dia menatap ibunya meminta ijin untuk merenggangkan kakinya yang tertekuk rapat. Sebelumnya dia sekilas sempat melihat sebuah daging dengan celah sempit, terjepit menggairahkan di sela ke dua pangkal paha yang gemuk itu.

Bu Jubaedah dengan sukarela merenggangkan kedua kakinya.

“Pelan-pelan ya, Nak. Itu ibu masih belum siap,” bisik Bu Jubaedah dengan mata sayu, menatap malu-malu sebatang penis kecoklatan milik anaknya. Penis yang kekar dan berotot. Samar-samar di helm penis itu ada tojolan daging, yang ia ingat ketika kecil dulu, sempat membuatnya cemas. Daging semacam kutil, yang ketika hendak dicongkelnya membuat Anton menjerit dan menangis. Dan kini, penis itu siap untuk menerobos rahimnya. Penis anaknya sendiri!

Bu Jubaedah merinding sendiri. Walau pun ia tahu itu sangat terlarang, karena ia sesungguhnya sangat taat beragama. Namun sensasi disetubuhi anaknya sendiri begitu sangat menggairahkan lebih dari sensasi bersetubuh dengan suaminya dulu atau pun dengan mang Ikin kemarin dulu.

Tubuh Anton kini sudah merayap naik, nafsu berahinya sudah menggelegak di ubun-ubunnya. Kalau menurut keinginannya, ingin sekali dia langsung menusuk amblas dan menggenjot vagina gemuk itu sepuas-puasnya. Tapi mendengar ibunya menyuruhnya pelan-pelan, dia harus menurut karena tentu ibunya akan kesakitan kalau dia memaksakannya. Dia tidak ingin menyakiti ibunya seperti Herry, dia ingin ibunya merasa nyaman dengan dirinya.

Oleh karena itu, Anton terpaksa harus menahan gelombang birahi yang membadai dengan meletakkan batang penisnya di belahan celah sempit vagina gemuk ibunya yang sedikit terkuak. Kemudian menggesekannya perlahan-lahan. Otot-otot bibir vagina gemuk itu seperti menelan dan memijit batang penisnya. Tidak bisa dibayangkannya kalau kemudian batang penisnya sudah tenggelam ke dalam lubang kenikmatan rahim yang sudah melahirkannya itu.

“Emmhsh!” Bu Jubaedah mengerang nikmat, merasakan gesekan-gesekan batang pejal itu di vaginanya. Bahkan helm berkutil penis itu menambah sensasi nikmat yang luar biasa ketika menyentuh dan menggaruk biji klitorisnya. Sebentar saja, vaginanya sudah merembes cairan birahi, sehingga setiap gesekan penis di belahan vagina itu mulai menimbulkan suara bunyi kecipak yang menggairahkan.

Punggung Anton melengkung agar mulutnya bisa menjangkau payudara ibunya yang sedang diremas-remas oleh kedua tangannya. Mulutnya dengan rakus menjilat dan menghisap setiap bagian dari gumpalan besar yang lunak dan empuk itu.

Bu Jubaedah merintih-rintih dibuai kenikmatan cumbuan birahi dari anaknya. Tubuhnya serasa melayang ke awang-awang. Kepalanya menggeleng-geleng dengan tanpa sadar tangannya meremas-remas seprai.

Puas menghisap-hisap puting yang sudah mengeras itu, lidah Anton menelusuri leher gemuk itu, menjilat dan menggigit hingga tiba di bibir basah yang sedang mendesah-desah itu. Dia menyerbu bibir lunak itu, menjilat dan menghisap-hisap kembali, disambut dengan pagutan liar dari ibunya. Ke dua tangan Bu Jubaedah menggelung, mengikat leher Anton.

“Bu, Anton sudah tidak tahan. Sekarang ya,” bisik Anton di saat keduanya tengah menarik napas.

“Pelan-pelan ya, Nak,” angguk Bu Jubaedah dengan mata yang sudah sangat sayu.

Anton segera bangkit berlutut, dibantu dengan jempol dan jari telunjuknya, dia merenggangkan bibir vagina gemuk ibunya. Lubang kenikmatan Bu Jubaedah sudah merembes lender yang sedikit berbusa menguarkan aroma tajam dari birahinya.

Dengan nafsu yang sudah di puncaknya, Anton meletakkan helm berkutilnya di lubang nikmat tersebut. Dibantu licinnya lender birahi vagina ibunya, Anton mendorong perlahan.

“Enggghsh!” erang Bu Jubaedah sambil menggigit bibirnya. Pinggangnya melengkung merasakan benda yang pejal menerobos masuk ke dalam rahimnya. Agak sedikit sakit namun nikmat. Apalagi ketika merasakan dinding-dinding rahimnya seperti digaruk sesuatu. Antara sakit, geli, dan nikmat bercampur aduk.

“Dorong terus yang dalam, Nak,” desah Bu Jubaedah dengan mata setengah terpejam.

Anton menggeram, dia merasakan batang penisnya seperti diurut dan dipilin. Nikmatnya tak terkatakan. Anton terus mendorong penisnya hingga tenggelam sepenuhnya hingga ke pangkalnya. Untuk sesaat dia mendiamkan sejenak, menikmati saat-saat penisnya seperti diremas-remas di dalam Rahim ibunya. Dia merasa hampir gila merasakan nikmat yang luar biasa yang diberikan oleh sebuah vagina.

Ini adalah pengalaman pertama Anton menyetubuhi seorang perempuan. Dia melepas perjakanya justru di rahim ibunya. Rahim yang dimimpikannya siang dan malam. Kini semuanya menjadi kenyataan, ibunya pasrah untuk disetubuhi dirinya. Dia ingin menikmati momen-momen kemenangannya ini selama mungkin.

Tubuh Bu Jubaedah sudah bergerak-gerak gelisah, pinggulnya bergoyang-goyang menanti genjotan maut dari anaknya.

Anton menghela napas dalam sebelum menarik secara perlahan penisnya, vagina gemuk itu tampak membusung. Anton merasakan cengkraman kuat dari dinding-dinding panas rahim ibunya. Begitu cincin helmnya sudah menyembul keluar dari bibir vagina tersebut, Anton kembali mendorongnya dengan sangat perlahan.

“Enghhsh … Nhakkksh,” Bu Jubaedah merengek ingin Anton mempercepat genjotannya. Pipi perempuan setengah baya yang montok itu sudah memerah terbakar birahi.

Dengan napas menderu-deru, perlahan tapi pasti Anton mulai menggenjot ibunya dengan kecepatan stabil. Kedua gumpal payudara Bu Jubaedah menggembung tergencet remasan ketat kedua tangan Anton.

Suara geraman dan rintihan nikmat saling bersahutan di ruangan kamar tersebut. Tubuh keduanya sudah mulai basah oleh keringat. Diiringi suara ‘plak-plok, plak-plok’ dari beradunya dua selangkangan mereka.

Ketika menggenjot, mulut Anton juga sibuk menikmati payudara yang dimimpikannya itu. Berganti-ganti, antara memagut bibir ibunya dan kembali mengenyot-ngenyot bongkah daging empuk itu.

Pinggul Bu Jubaedah sampai melambung-lambung mengimbangi genjotan Anton. Sensasi nikmat yang gila dirasakannya dari garukan kutil di kepala penis anaknya itu. Belum termasuk sentuhan-sentuhan yang geli-geli enak di daging klitorisnya setiap penis Anton tenggelam sedalam-dalamnya di dalam rahimnya.

“Duhsh … Nak, hssssh,” desis Bu Jubaedah tak bisa menahan erangannya.

Napas Anton mulai memburu, genjotannya mulai tidak teratur. Tubuhnya gemetar menahan desakan nikmat yang sudah mencapai puncaknya. Dia bertahan dengan menggigit bibirnya keras-keras, dia tidak ingin buru-buru menyemburkan air maninya. Namun rasa nikmat yang teramat sangat lezat dari pilinan dinding-dinding rahim ibunya sungguh membuat dirinya hampir-hampiran menyerah.

“Bhuuu,” Anton menggeram sambil memagut bibir ibunya dengan rakus, “Anton ga tahan … hrrrhhh,” raung Anton sambil menekan pantat sedalam-dalamnya. Dia memeluk tubuh montok itu erat-erat.

Untunglah Bu Jubaedah juga merasakan hal yang sama. Kelezatan penis Anton membuatnya tak bisa bertahan. Otot perutnya berkontraksi. Pinggulnya berkedut seiring kedutan dari dinding rahimnya.

Tubuh kedua ibu dan anak itu mengejang bersamaan.

Dua semburan lendir birahi yang nikmat dan panas menyembur. Air mani perjaka Anton saking banyaknya sampai merembes dari sela-sela bibir vagina Bu Jubaedah yang mencengkram kuat batang penis Anton. Lahar nikmat itu meleleh ke selangkangan dan menetes ke atas seprai.

Tubuh yang sudah banjir peluh itu berpelukan rapat seakan tidak bisa terpisahkan. Dua gumpal daging lunak payudara Bu Jubaedah menggembung bagai balon tergencet tubuh Anton. Napas keduanya memburu.

“Nikmat sekali, Bu. Terima kasih,” ujar Anton dengan hati bahagia. Mengecup kening lembut kening yang basah oleh keringat itu, pipi montoknya lalu bibir ibunya. Bu Jubaedah balas memagut walau pun sesungguhnya napas mereka berdua masih terengah-engah.

Bu Jubaedah balas tersenyum sambil membelai rambut Anton dengan penuh kasih sayang.

“Maafkan Anton tidak kuat lama, i-ini pertama kali Anton main begituan,” bisik Anton kembali dengan hati malu.

“Jadi kamu masih perjaka? Dan perjakamu diberikan ke ibumu?” tanya Bu Jubaedah tercengang.

Anton hanya mengangguk, menyembunyikan wajahnya di leher ibunya.

Bu Jubaedah mencium rambut anaknya itu sambil tersenyum, “namanya juga pertama kali, nanti pasti bisa kuat dan tahan lama. Mungkin ibu nanti tidak sanggup melayani kamu,” hibur Bu Jubaedah sambil mengelus-elus punggung Anton.

Setelah napasnya kembali normal, Bu Jubaedah melepaskan pelukannya ke tubuh Anton.

“Ibu mau memeriksa dulu infusan ayahmu, berat sekali tubuhmu,” kata Bu Jubaedah sambil mendorong lembut tubuh Anton.

Anton menggeser tubuhnya sambil nyengir, penisnya yang sudah layu terlepas dari vagina gemuk itu. Dan air mani yang bercampur dengan cairan orgasme itu membanjir keluar dari vagina yang sudah merekah itu.

“Aduhhh, pejumu banyak banget sih, Nak,” keluh Bu Jubaedah menatap lahar yang sudah mendingin itu menetes ke lantai. Ia duduk di pembaringan sambil meraih dasternya yang tergeletak di atas seprai. Ia kemudian berdiri, dengan menggunakan bagian bawah dasternya, ia mencoba mengelap lender yang meleleh di pahanya.

“Namanya juga peju perjaka, Bu,” Anton kembali nyengir, “terus kalau Anton mau lagi gimana nih?”

“Nanti kan ibu ke sini lagi,” Bu Jubaedah mengedip genit sambil tertawa, memijit hidung Anton.

“Aih!” jeritnya manja, ketika Anton menarik pinggangnya. Keduanya berpagutan sejenak.

“Tuh kan bangun lagi,” kata Anton sambil menunjuk penisnya yang dari layu kini mengembang kembali.

“Dasarrr,” Bu Jubaedah mencubit perut Anton dengan wajah kemerahan, “ibu mau cuci ini dulu biar ga lengket, sekalian memeriksa infusan!” katanya sambil buru-buru pergi.

Anton menghela napas dengan hati senang. Dia sungguh bahagia sekali, akhirnya dia bisa mendapatkan tubuh ibunya dengan sukarela. Impian yang menjadi kenyataan, katanya dalam hati dengan riang. Anton kembali membaringkan tubuhnya, menghirup sisa-sisa hawa aroma birahi di dalam kamarnya. Sambil memejamkan mata membayangkan adegan nikmat yang barusan terjadi. Tangannya mengelus-elus penisnya yang kembali menegang.

“Sabar, Boy. Sebentar lagi kita bakal dapat kenikmatan yang ke dua, ke tiga dan seterusnya-dan seterusnya, sepuas-puasnya,” katanya berbicara kepada penisnya sendiri yang dengan iseng helmnya ditekuk-tekuk mirip kepala berhelm yang mengangguk-angguk setuju.

Sambil menunggu, Anton mengingat-ingat adegan-adegan film porno yang ditontonnya. Kegiatan-kegiatan warming up sebelum persetubuhan berlangsung. Dan di film-film tersebut, kegiatan warming up tersebut mampu membuat pihak si perempuan kelojotan.

Hmmm, boleh dicoba juga, hati pemuda itu berkata-kata. Dia memang masih malu dengan cepatnya mengalami ejakulasi, entah berapa menit. Tapi yang jelas, sangat memalukan.

Membayangkan adegan-adegan tak senonoh dari film-film yang pernah ditontonnya, membuat penisnya mengeras seperti tonggak kayu. Reflek tangannya mengelus dan mengocok dengan mata meram melek, terasa geli dan enak.

“Ihhh,” tiba-tiba terdengar jeritan pelan.

Anton membuka matanya dengan terkejut. Ibunya ternyata sudah masuk kembali ke dalam kamar. Wajah keduanya berubah merah karena malu hati.

Anton meringis sambil menarik tubuhnya bersandar ke dinding, menutupi tongkat pusakanya dengan selimut. Mengawasi Bu Jubaedah yang berjongkok mengelap lendir birahi yang tadi menetes ke lantai. Setelahnya, perempuan setengah baya itu duduk malu-malu di tepi ranjang.

Keduanya seperti kebingungan memulai percakapan. Segala rencana yang tadi tersusun di otak Anton sepertinya lenyap entah kemana. Ketika akhirnya Anton sadar, bahwa pihak laki-laki lah harus berinisiatif terlebih dahulu.

Dia beringsut ke tepi pembaringan dan memeluk tubuh montok itu dari arah belakang dengan tubuh sedikit gemetar. Dia memaki dirinya sendiri, umur 19 tahun masih belum tahu cara mencumbu perempuan, sementara banyak remaja usia belasan tahun sudah paham dan mengerti soal seks. Tapi soal mencumbu ibu sendiri itu adalah hal yang lain, Sobat! Suara yang lain membelanya.

Kedua tangan Anton menggenggam punggung tangan ibunya. Jari-jari mereka saling bertaut kemudian melingkar memeluk pinggang montok itu. dagunya bertumpu di pundak ibunya. Tubuh Bu Jubaedah sedikit menggelinjang, geli oleh dagu yang ditumbuhi jenggot pendek dan kasar, belum tercukur.

“Bu …,” bisik Anton sambil mencium leher samping ibunya.

“Hmph,” sahut Bu Jubaedah menoleh ke samping dengan mata setengah terpejam, ketika Anton mencium lembut pipinya. Jari-jari tangan yang saling bertaut itu kini saling remas. Anton menurunkan ke dua kakinya berjuntai di samping kiri-kanan tubuh ibunya. Menariknya, merapat ke pangkuannya.

Bu Jubaedah berdebar hatinya merasakan sebatang tongkat kaku yang pejal mengganjal pantatnya.

Kedua tangan yang masih remas itu kini naik ke atas. Ke gundukan empuk dan lunak di balik kain daster. Bu Jubaedah melepas tangannya, membiarkannya terjuntai lemas di tepi pembaringan. Membiarkan kedua tangan anaknya itu meremas dan menggelang (apa itu menggelang?) payudaranya. Tubuhnya menggeliat perlahan merasakan geli-geli nikmat dari remasan demi remasan tangan anak nakal itu.

Bu Jubaedah yang sudah bersandar sepenuhnya di tubuh tegap Anton, kepalanya mendongak sambil mendesah di bahu anaknya itu, ketika mulut Anton sudah menggila menciumi lehernya.

“Jangan, Bu,” Anton meringis malu merapatkan pahanya, dengan kedua telapak tangannya menutupi penis. Persis remaja laki-laki yang ketahuan telanjang oleh lawan jenisnya.

“Memangnya kenapa?” tanya Bu Jubaedah tersenyum.

“Anu … Anton … Anton malu. Anu Anton kan beda ga kayak anu yang lain.”

“Ada kutilnya di anu kamu kan?”

“Kok ibu tahu?” Anton menatap bengong.

“Yang mandiin kamu dari bayi memang siapa kalau bukan ibu, Nak? Ibu sempat khawatir waktu itu. Tapi ternyata adanya kutil itu malah berkah buat pasangan kamu. Bikin … bikin anu … enak,” jawab Bu Jubaedah dengan suara hampir tidak terdengar. Wajahnya merona merah.

Pemuda itu sedikit tak percaya. Justru kutilnya itu yang membuat dirinya tidak percaya diri. Dia merasa pusakanya itu barang cacat, yang bisa membuat jijik perempuan. Tapi kata ibunya malah bikin enak? Benarkah? Apakah ibunya hanya sekedar menghiburnya? Yah, sudahlah. Toh ibunya sudah menjadi wanitanya, kata hatinya masa bodoh. Perlahan dia merenggangkan paha dan menarik tangannya yang menutupi pusaka mestikanya.

Di depan wajah Bu Jubaedah yang sedang berlutut di tepi pembaringan dengan anak bungsunya dalam posisi mengangkang, sudah mengacung batang penis kecoklatan. Tegak gagah perkasa. Berdebar hati perempuan setengah baya itu.

Bu Jubaedah sesungguhnya bukan perempuan binal atau pun genit. Dari dulu, semenjak menikah. Ketika disetubuhi suaminya, ia hanya tergeletak pasrah terima beres. Enak tidak enak, nikmat tidak nikmat, dirasakannya sendiri. Namun sejak seminggu lalu diperkosa oleh Herry dan dipaksa melakukan hal-hal yang dulu dianggapnya menjijikan, kini hatinya malah menginginkannya. Kalau kemarin-kemarin dipaksa, kini ia melakukannya dengan sukarela.

Hal-hal baru memang selalu lebih menggoda.

Batang penis kekar berotot itu digenggamnya. Terasa pejal dan panas, berkedut-kedut seperti ular hidup. Tongkat perkasa itu dikocoknya perlahan. Diam-diam ia melirik ke Anton yang saat itu memejamkan matanya dengan wajah sedikit mendongak. Kembali ia mengalihkan tatapannya ke helm besar yang tengah mengap-mengap kembang-kempis tercekik genggamannya. Berahinya yang tadi sempat reda setelah mengalami orgasme oleh cumbuan Anton kembali naik dengan cepat. Ia memang menginginkannya!

Dikecupnya helm besar berkutil itu dengan gemas. Kemudian, persis anak kecil yang sedang riang gembira. Helm penis anaknya itu ditelannya. Lidahnya berputar menjilati cincin helm penis tersebut.

“Akh!” Anton mengejang. Geli dan nikmat.

Bu Jubaedah menghisap-hisap. Ada cairan agak asin turut terhisap. Hidungnya mencium bau pengar. Namun ia sudah tidak perduli lagi. Batang itu dikocok-kocoknya dengan bersemangat. Dan tiba-tiba, sisi tangannya bagian bawah menyentuh sesuatu yang keras sedikit kenyal di pangkal penis tersebut. Dengan hati penasaran ia menengok. Ternyata ada kutil lain di pangkal atas penis tersebut. Tersembunyi di balik rimbunnya jembut. Pahamlah ia sekarang, kenapa tadi saat persetubuhan mereka pertama kali, ia dibuat kelojotan oleh dua garukan ajaib di dalam rahim juga di klitorisnya. Ternyata benda itulah adanya.

Berahi Bu Jubaedah semakin menggelegak. Ia sudah menyingkirkan jauh-jauh ingatan tentang siapa dirinya dan siapa Anton. Sekarang ia hanya ingin menuntaskan segala hasrat berahi sepuas-puasnya. Tanpa paksaan, tanpa hinaan, tanpa siksaan.

“Bhuuu … ahhhshhh,” Anton mendesis. Tubuhnya menjengking dan melenting. dia tersiksa oleh nikmat yang teramat sangat oleh cumbuan ibunya. tanpa sadar tangannya sudah meremas-remas rambut ibunya. membantu dengan mendorong maju-mundur. Garukan gigi dan jilatan lidah basah yang hangat dari ibunya seakan membuat otaknya meledak oleh kenikmatan hakiki.

Bu Jubaedah semakin menggila, kantong biji penis Anton tidak luput dari keganasan hisapan dan jilatan perempuan yang tengah dahaga haus oleh berahi. Ia sekarang mirip dengan ular phyton betina yang tengah mengunyah mangsanya.

Dengan kekuatan bak macan betina yang kelaparan. Bu Jubaedah melepas kunyahannya di penis Anton. Ia mendorong tubuh anaknya itu hingga telentang di atas kasur, kemudian menerkamnya. Ular betina itu merayap di atas tubuh mangsanya, perlahan penuh ancaman dengan desis berahi yang berbahaya.

Kedua tangannya meremas-remas dada bidang Anton sambil berdesis-desis, mulutnya melumat puting dada pemuda itu.

Anton mengerang. Dia tak berdaya terkunci belitan ular betina yang telah liar itu.

Beberapa saat kemudian. Macan jantan dan ular betina itu sudah saling kunyah. Saling pagut dengan ganas.

Pantat besar itu sudah menggesek-gesek erotis tongkat kekar Anton. Menekan dan menyentak.

Wajah Bu Jubaedah sudah merah dipanggang api berahi. Dirinya sudah tidak tahan untuk segera merasakan rahimnya menelan penis menggemaskan itu. ia segera menggenggam batang pejal itu yang sudah licin dibasahi lendir dari vaginanya. Sambil menggigit bibirnya menahan nikmat, tanpa perlu dilihat lagi, ia sudah paham dimana harus meletakan ujung tongkat yang lezat itu. Pantatnya diangkat sedikit untuk memberi ruang, ketika dirasanya sudah pas. Bu Jubaedah segera menjatuhkan pantatnya dengan mendadak dan menekannya dibantu gaya gravitasi sekuat-kuatnya.

“Blesshhh!”

Anton dan ibunya mengerang bersamaan. Tubuh montok yang sedang menunggangi si Macan Jantan, menjengking. Setelah menarik napas sejenak. Pinggulnya mulai menari. Mengayun. Memutar. Menyentak.

Anton kini merasanya dirinya sudah sinting oleh kelezatan goyangan ibunya. penisnya serasa dipilin dan diremas-remas. Tangannya meraih dua daging lunak yang menggantung, meremas-remasnya dengan hati masih tidak mempercayai keberuntungannya saat itu. Sambil meremas-remas, terkadang dengan posisi setengah bangun, mulutnya menyambar bergantian puting-puting kecoklatan yang sudah mengacung keras tersebut. Menghisapnya juga memberi gigitan lembut. Perbuatannya itu jelas membuat Bu Jubaedah merintih.

Tubuh montok Bu Jubaedah sedikit menjengking, dengan ke dua tangannya bertumpu di paha anaknya. Terus mengayun lembut dengan dijeda oleh sentakan-sentakan menghanyutkan. Membuat badan Anton yang sedang asik menggerumuti kedua payudaranya turut tertarik dengan posisi duduk. Ibunya berada di pangkuannya.

Bu Jubaedah mengalungkan tangannya di leher Anton, keduanya saling tersenyum dengan wajah merah terbakar berahi.

“Enak?” tanya Bu Jubaedah di sela engahannya, menatap wajah Anton dengan tatapan sangat sayu.

“He-emh,” Anton mengangguk, balas menatap dengan penuh cinta.

Keduanya berpagutan sejenak, sebelum kemudian Bu Jubaedah merubah posisinya menjadi mengangkang dalam posisi squash. Dengan tangan bertumpu di pundak anaknya, mengangkat pantat besarnya. Kemudian mengayun menghentak naik-turun. Dalam posisi tersebut, vaginanya memang sedikit melonggar, tapi jelas tidak mengurangi rasa nikmat persenggamaan panas yang sedang berlangsung itu.

“Ceplok! Ceplok! Ceplok!” terdengar suara khas ketika pantat besar itu menghentak, menghunjam turun. Membuat vagina gemuknya menelan bulat-bulat tongkat pejal anaknya sampai ke pangkalnya. Membuat kantong biji Anton turut bergetar, diikuti derit dari ranjang yang menjerit protes. Batang penis Anton terlihat sudah berkilat dilumuri lendir birahi ibunya. aroma khas berahi menguar tajam di kamar tersebut.

“Enak shekaliiii, Bhuuu,” erang Anton sambil membelai rambut ibunya. dia mencoba turut mengimbangi dengan setiap pantat ibunya menghentak turun, dia menyambut dengan menyentakkannya pantatnya ke atas.

“Ugh!” dengus Bu Jubaedah sambil mendongakan wajahnya dengan mata terpejam. Merasakan dasar rahimnya penuh sesak oleh ujung benda tumpul yang berdenyut-denyut. Sesak yang dirasakannya sampai ke ulu hatinya. Membuat berat tarikan napasnya.

Dengan keahlian ranjang Bu Jubaedah yang sudah sangat matang. Ia menginginkan dirinya yang menjadi pemimpin dalam pertempuran birahi tersebut. Ia ingin menuntaskan seluruh hasrat birahi setuntas-tuntasnya. Mumpung ada pasangan perkasa yang mampu dan rela memenuhi cita rasa keinginan berahinya itu.

Ular Betina setengah tua itu, kembali mengeluarkan jurus terbarunya. Pantat besarnya yang asalnya mengayun naik-turun, kini setiap turun disertai sentakan keras ke depan. Jurus baru yang membuat pertahanan Anton hampir bobol. Pangkal penisnya seperti dipilin oleh belitan daging padat yang panas.

Dia mencoba bertahan dengan menjaga penisnya tetap mengacung perkasa setiap diterkam dan dikunyah oleh mulut rahim ibunya yang tak bergigi namun rakus itu. dia hanya menggerak-gerakan penisnya mengikuti pilinan dari vagina ibunya.

Dan itu membuat sensasi tersendiri yang dirasakan oleh Bu Jubaedah. Gerakan penis anaknya seperti mengaduk-aduk rahimnya. Helm besar itu seperti hidup kembang-kempis. Ia merasa otaknya hampir gila oleh kenikmatan tiada tara.

“Owhhh, Nhaaaksss,” Bu Jubaedah menjatuhkan kepalanya bersandar di bahu kokoh anaknya. Tubuhnya gemetar dan basah oleh keringat.

“Bhuuu!” geram Anton sambil memeluk tubuh montok itu. menciumi tengkuk yang sudah basah oleh keringat.

Keduanya berpelukan dengan erat diiringin napas terengah-engah.

Namun pertarungan dua kelamin itu tetap berlangsung panas dan ganas. Liukan pinggul Bu Jubaedah makin liar. Kemudian dengan satu liukan tajam yang diakhiri dengan sentakan yang sangat dalam dari kedua pantat ibu dan anak itu.

“Ouh-ngngngshhh!” Bu Jubaedah mengerang panjang. Seluruh bulu-bulunya terasa meremang dengan tubuh bergetar sampai ke buku-buku jari kakinya yang dalam posisi terlipat terasa kebas. Merasakan debur gelora dahsyat dari puncak kenikmatan birahi yang berhasil diraihnya. Ia menghunjamkan gigi-giginya menggigit bahu anaknya.

“Shhhhh!” Anton juga berdesis. Pertahanannya jebol. Denyut daging kenyal yang mencengkram batang penisnya begitu nikmat, sangat lezat dan gurih. Menahan kenikmatan dari lepasnya banjir lahar yang menyembur dari penisnya. Dia menggigit leher ibunya sekeuat-kuatnya.

Pantat besar Bu Jubaedah masih berkedut-kedut, seakan ingin menguras habis seluruh lendir birahinya sampai kering. Anton sendiri merasakan batang penisnya seperti diperas melintir. Nikmatnya tak terkatakan.

Sambil mengeluarkan keluhan nikmat secara bersamaan. Keduanya berguling ke atas kasur dengan posisi masih berpelukan erat. Dengan mata terpejam dan napas terengah-engah, mereka tidak ingin saling melepaskan pelukannya walaupun tubuh masing-masing menjadi licin oleh basahnya keringat.

Kedua paha Bu Jubaedah bergelung di pinggul Anton. Dengan kedua selangkangan mereka merekat rapat oleh lendir birahi keduanya.

Keduanya membuka matanya bersamaan ketika merasakan hembusan hangat napas di wajahnya masing-masing.

Dengan kepalanya berbantalkan tangan Anton, ia membiarkan anaknya itu mencium lembut keningnya, pipinya, kemudian menjilat bibirnya. Ia segera menyambutnya. Kedua mulut itu saling lumat dengan lembut. Mereka sudah tidak perlu kata-kata. Setiap hembusan napas, kedipan mata, semua gerakan mereka sudah merupakan kata-kata yang dapat saling dimengerti.

Jari-jari Anton sudah kembali merayap di payudaranya. Menggaruk dan mencubit.

“Enggh, nakal,” lenguh Bu Jubaedah manja.

Namun tiba-tiba ia menjauhkan kepalanya sambil menatap anaknya dengan mata terbelalak.

“Sudah bangun lagi?” tanyanya dengan tercengang. Ketika merasakan tongkat perkasa anaknya yang masih terendam banjir lahar di dalam rahimnya itu seperti menggeliat-geliat kembali.

“Mmmm,” jawab Anton dengan suara tidak jelas sambil menyeringai.

“Humfh! Bener-bener deh. Ibu bisa kewalahan ini,” keluh Bu Jubaedah tapi bibirnya tersenyum bangga, “tapi biarkan ibu bernapas dulu ya, Nak. Capek banget, kamu bener-bener hebat,” bisiknya kemudian sambil membelai rambut Anton, lalu menyembunyikan wajahnya di bahu anaknya tersebut. Menikmati remasan-remasan jari-jari nakal Anton dan geliat batang penis yang menggeliat-geliat di dalam rahim basahnya yang masih terasa ngilu-ngilu nikmat.

Anton tidak menjawab, dia sedang sibuk menelusuri setiap senti payudaranya ibunya dengan menggunakan lidahnya. Dia memang tidak akan pernah bosan untuk mencumbu sepasang daging kenyal nan empuk yang sudah lama menjadi impiannya.

Sesaat, suasana hening. Kecuali suara kecipak ketika mereka berciuman atau pun rintihan pelan Bu Jubaedah dibuai cumbuan anaknya tersebut. Selain itu, hanya suara derum motor yang melintas di gang di luar sana. Itu pun hanya sesekali. Ketika Bu Jubaedah iseng melirik ke jam dinding, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 12 lewat. Artinya sudah lewat tengah malam. Entah berapa lama mereka bercumbu. Dan kini cumbuan mereka memasuki ronde ke tiga!

“Anunya, ibu cuci dulu ya, Nak,” kata Bu Jubaedah sambil menggeliat kegelian, ketika lidah Anton menjilati ketiaknya, “ihhh, kamu tidak jijik? Kan bau!”

“Mmmm, sedaaap. Ketek ibu bikin kontol Anton tambah tegang!” sahut Anton kurang ajar, sambil menggigit sisi ketiak Bu Jubaedah yang berbulu agak lebat, “jangan dicuci juga deh, kelamaan!”

“Mana enak ah, kan lengket,” kata Bu Jubaedah sedikit protes.

“Enak-enak saja kok. Emang ibu yang merasa tidak enak?” tanya Anton menghentikan cumbuannya.

“Emmm, ibu sih enak-enak saja,” bisik Bu Jubaedah lirih sambil tersipu-sipu.

“Ya sudah, tanggung juga kan mumpung belum lepas,” sahut Anton menyeringai. Mengecup bibir ibunya dan menghisap bibir bawahnya, “nungging ya, Sayang. Kontol Anton ingin merasakan jepitan memek ibu dari belakang,” lanjutnya semakin berani mengucapkan sebutan kelamin mereka.

Bu Jubaedah hanya mengangguk pasrah. Berahinya kembali membara oleh gelitikan denyut batang penis anaknya yang masih tertanam di vaginanya.

Anton menggeser tubuhnya, tapi sambil tetap menjaga agar penisnya tidak sampai terlepas dari vagina ibunya. sisa-sisa rembesan lendir berahi mereka masih meleleh dari bibir-bibir vagina Bu Jubaedah yang seperti tengah mengulum batang penisnya. Bibir vagina yang tebal, merekah merah basah dan berkilat. Indah sekali melihat pemandangan tersebut dalam cahaya lampu berkekuatan 15 watt.

Bu Jubaedah memutar tubuhnya sambil mendesah. Merasakan putaran penis Anton di vaginanya. Penis Anton seperti berubah menjadi batang bor. Mengkilik dan menggaruk dinding-dinding rahimnya. Ngilu, geli dan nikmat bercampur baur.

Tangan Bu Jubaedah meraih tepian atas kayu ranjang, dengan posisi menjengking. Ke dua lututnya direnggangkan. Vagina gemuknya menggayut mengulum batang penis Anton.

Pertempuran birahi ronde ke tiga dimulai.

Dengan mencengkram bokong bulat ibunya, Anton mulai memompa. Dikarenakan di dalam vagina ibunya masih penuh oleh air mani yang tadi ditumpahkannya di dalam. Dengan pompaanya, otomatis lendir tersebut seperti muncrat-muncrat setiap dia menarik penisnya. Berleleran membasahi bokong bulat yang bergetar setiap dia mendorong dalam-dalam. Lendir yang beraroma pengar itu meleleh ke paha mengkal Bu Jubaedah, sebagian menetes ke atas seprai yang sudah acak-acakan.

“Sssh! Sssh! Ssssh!” Anton mendesis-desis nikmat. Sementara Bu Jubaedah menggigit bibirnya keras-keras, menahan rasa ngilu dari vaginanya yang tidak diberi istirahat yang cukup untuk kembali menerima gesekan-kesekan batang pejal berulir milik anaknya tersebut.

“Aduh!” Bu Jubaedah menjerit kecil ketika keningnya terantuk papan kayu ranjang, akibat hentakan keras Anton.

“Owh, maaf, Bu,” kata Anton terkejut. Menghentikan sodokannya. Menarik bantal dan dipakai mengganjal kepala ibunya, “sakit, Sayang?” tanyanya sambil menyibakkan rambut ibunya agar terurai melalui pundaknya.

“Tidak apa-apa, lanjutkan, Nak. Enak sekali genjotanmu,” kata Bu Jubaedah menoleh sambil tersenyum.

Anton mengangguk sambil melanjutkan pompaannya yang sempat terhenti. Namun tidak berani keras-keras. Walau pun sudah terganjal bantal, tetap saja aka nada benturan lagi. Selain tidak ingin menyakiti ibunya, dia juga menjaga agar benturan itu tidak membuat tetangganya di seberang dinding penasaran.

Vagina ibunya sudah merekah melebar longgar. Anton sudah merasakan sensasi nikmatnya berkurang. Maka dia segera memberi tanda agar ibunya merapatkan kedua pahanya. Bu Jubaedah menurut, ia kini dalam posisi pasif.

Vagina wanita setengah baya itu kini terjepit paha gemuknya. Menyembul, membusung. Anton kembali memompa dengan penuh semangat. Jepitan dinding-dinding rahim ibunya itu kini terasa nikmat kembali. Kedua tangannya berpegangan ke bahu ibunya.

“Engghsh! Engghsh! Engghsh!” Bu Jubaedah mengerang dan mendesah. Tangannya yang bertumpu ke sisi papan kayu ranjang mulai gemetaran, begitu juga dengan lututnya. Rasa nikmat dari genjotan penis Anton yang bertubi-tubi membuatnya lemas. Dan tanpa tertahankan, tubuhnya menggelosoh ke atas kasur, bokong bulatnya terangkat tinggi, membuat Anton turut mengangkat tubuhnya juga demi menyeimbangkan posisi mereka. Dengan lutut setengah tertekuk dalam posisi squash, membuatnya leluasa menghunjamkan pusakanya seperti paku bumi, dari atas ke bawah.

“Duhhh, owhsh … duhhh, ahsshhh,” Bu Jubaedah mendesis-desis. Rahimnya seperti diaduk-aduk ulekan kayu kasar. Rasa ngilunya makin menjadi-jadi. Ia terus bertahan agar tanggul birahinya tidak jebol cepat-cepat. Ia ingin memuaskan Anton sebagaimana anak itu mampu memuaskan dahaganya akan kepuasan hasrat birahinya yang menggebu-gebu.

Keringat keduanya kembali bercucuran walau pun AC menghembuskan suhu cukup dingin di kamar tersebut. Namun hawa birahi yang panas tidak akan bisa dikalahkan dengan suhu AC.

Anton mulai merasakan pinggangnya panas dan pegal. Sesungguhnya, energinya telah terkuras habis. Namun pertempuran ronde ke tiga ini sangat alot. Ibunya dalam posisi pasif bisa bertahan, sementara dia yang dalam posisi menyerang mulai kehabisan tenaga.

“Bangun, Bu …,” kata Anton kemudian dengan terengah-engah. Menarik tubuh ibunya ke dalam pelukannya. Kedua tangannya membelit ketiak Bu Jubaedah dalam posisi mengunci, tubuh Bu Jubaedah mengetat agak menjengking. Anton kembali menghentak, menusuk vagina ibunya kini dengan gerakan hentak ke atas. Alhasil, tubuh Bu Jubaedah turut tersentak-sentak. Kedua bahunya dalam kuncian Anton menegang kea rah belakang, membuat kedua payudaranya turut tertarik meregang dan membusung.

Dalam rintihannya, kepala Bu Jubaedah menengadah dan menongok. Mengharapkan sesuatu. Dan yang diharapkannya segera menyambut. Mereka berciuman panas, saling menghisap lidah masing-masih dan bertukar liur.

Pinggang Anton makin terasa pegal. Dari posisi squash, akhirnya tubuhnya memberosot jatuh tak kuat menahan beban tubuh montok itu yang bersandar sepenuhnya ke tubuhnya. Kedua tubuh yang rapat itu jatuh ke atas kasur dengan kaki terlipat ke belakang.

Dengan posisi seperti itu, mau tidak mau, Bu Jubaedah mulai aktif mengimbangi ayunan vertikal pantat Anaknya. Tangan Anton sedang mencengkram kuat-kuat sebongkah daging lunak itu, menjepit putingnya di sela telunjuk dan jari tengahnya. Sementara tangan yang lain, dengan satu jarinya, menyelinap di antara ke dua paha ibunya yang sedikit renggang. Mengelus dan menggaruk klitoris ibunya.

Duhhhsssh,” Bu Jubaedah menggelinjang kelojotan, merasakan cumbuan jari nakal Anton di bagian paling sensitifnya. Dengan penasaran ia menunduk. Melihat sebatang tongkat yang berkilat licin seperti belut keluar masuk vaginanya.

“Duhhh … ssshhh. I-bhuuu ga tahan, Nhakssssh,” erang Bu Jubaedah sambil mencengkram rambut Anton. Tubuhnya menjengking, menahan kontraksi otot perutnya demi menahan guncangan nikmat dari rasa ngilu di dalam rahimnya.

“Anton juga, Bhuuu … nikmatttt! Hrrrrhhh!” geram Anton. Dengan satu gerakan gulat. Anton menarik tubuh ibunya ke arah belakang. Keduanya terbanting dengan tubuh montok Bu Jubaedah menimpa Anton.

Dalam satu gerakan tiba-tiba itu, “Plop!” terdengar bunyi pelan.

Penis Anton melenting terlepas sambil menyemburkan maninya seperti air mancur. Mengguyur perut dan sebagian payudara Bu Jubaedah yang mengerang sedikit kecewa. Karena maunya, penis itu menyiram kembali rahimnya dan tidak buru-buru terlepas.

Bu Jubaedah menggulingkan tubuhnya ke sebelah anaknya dengan napas terengah-engah.

Rasa capek dan lelah yang teramat sangat setelah pertempuran tiga ronde yang sangat memuaskan. Keduanya tanpa sadar telah terlelap sambil berpelukan telanjang. Tanpa berminat untuk membersihkan tubuh terlebih dahulu.

***

Menjelang pagi. Dalam rasa kantuk hebat yang masih menyerangnya. Samar-samar dia melihat sesosok tubuh berbalutkan mukena tengah asik berdo’a di atas sajadah di samping ranjangnya. Dia tengah meringkuk di dalam selimut mengawasi sosok tersebut dengan setengah tidur. Dia mendengarkan ada isak tertahan dari sosok yang tengah berdo’a khusyuk itu.

Ibunya sedang menangis? Hatinya bertanya-tanya. Namun rasa lelah dan kantuk kembali menyerangnya. Membuat dia kembali tertidur.

Anton terbangun dengan kesadaran penuh ketika jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul 8 pagi. Kerongkongannya terasa kering karena haus. Sambil telentang di balik selimut, dia mengingat-ingat kejadian semalam yang seperti mimpi. Dia menarik selimutnya, samar-samar dilihatnya bercak-bercak yang sudah mongering di selangkangannya. Dia tidak bermimpi, Anton tertawa bahagia. Kemudian meloncat bangun, mengambil celana pendeknya dan mengenakannya tanpa celana dalam.

Keluar kamar, dia celingak-celinguk. Ruangan tengah terlihat sepi. Ketika dia sedang mengisi gelas dari air dispenser, terdengar pintu terbuka dari kamar depan yang dihuni orangtuanya. Ibuya terlihat sudah berdandan rapi mengenakan gamis oleh-olehnya. Dengan kerudung senada.

Anton menatap terpesona ibunya yang begitu cantik dalam sapuan make up sederhana. Saking terpesonanya, sampai lupa air dispenser sudah tumpah dari gelasnya.

“Habis deh tuh air aqua!” Bu Jubaedah tertawa geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “kamu lihat apa sih, Nak?” tanyanya dengan suara lembut.

“Ibu cantik sekali!” sahut Anton dengan jujur tanpa menyembunyikan kekagumannya.

“Nenek-nenek kok di bilang cantik. Dasar genit!” gerutu Bu Jubaedah tersipu-sipu tapi tetap saja hatinya senang mendengar pujian anaknya itu, “e-eh, mau apa? Ibu mau ke pengajian mingguan. Jangan macam-macam ah!” kata Bu Jubaedah sambil melangkah mundur melihat Anton melangkah cepat menghampirinya.

“Batalkan saja, Bu. Anton masih kangen,” bisik Anton yang sudah meraih pinggang ibunya.

“Hush! Sembarangan! Ga bisa … hmmmfh!” bibir yang merengut marah itu tidak bisa melanjutkan kata-katanya ketika Anton dengan bersemangat menciumnya.

“Jangan, Nak! Nanti malam saja. Ibu juga masih capek!” Bu Jubaedah menarik kepalanya menjauh sambil mendorong lembut dada Anton.

“Tapi Anton pengen nih,” erang Anton kecewa sambil menunjuk gelembungan di balik celana pendeknya.

“Anu ibu yang perlu istirahat, Nak,” kata Bu Jubaedah setengah berbisik dengan wajah merona merah. Telapak tangannya ditempelkan di pipi Anton yang mulutnya sudah memonyong ingin menciumnya kembali.

“Sebentaaar saja ya, Bu. Anton tdak tahan inih,” rayu Anton sambil mempererat pelukannya di pinggang montok ibunya.

“Tidak-tidak!” BU Jubaedah menggeleng-gelengkan kepalanya, “sebentar buatmu, tapi ibu kan harus mandi junub lagi, dandan lagi. Telat dong ah! Mandi sana mendingan, bau kamu ih!”

“Aih!” Bu Jubaedah menjerit kecil, ketika Anton malah mengangkat tubuh ibunya. dalam pangkuan anaknya yang kurang ajar itu, Bu Jubaedah memukul-mukul bahu Anton yang tertawa-tawa kecil.

Anton menaruh tubuh ibunya ke atas meja makan.

“Jangan ya, Nak. A-anu ibu masih belum sanggup gituan lagi. Perlu istirahat, masih ngilu-ngilu,” kata Bu Jubaedah sambil menggeliat ingin melepaskan diri. Namun Anton yang sudah dikuasai birahi tidak memperdulikan rengekan ibunya.

Gamis lebar Bu Jubaedah telah tergulung ke atas pinggulnya. Tidak berdaya menahannya dikarenakan tubuh anaknya itu berada di sela ke dua lututnya.

Dengan nafsu yang sudah memuncak, Anton menarik stocking hitam yang dikenakan ibunya, berikut celana dalamnya sampai ke lutut.

Celah vagina yang membusung itu terbuka. Dengan sedikit berjinjit, Anton meletakan batang penisnya yang sudah kaku di celah tersebut. Bu Jubaedah menggigit bibirnya yang merah oleh lipstick dan sudah belepotan akibat dicium paksa Anton.

“Anton! Jangan, Nak. Itu ibu masih sakit. Anton mau menyakiti ibu?” rengek Bu Jubaedah menguatkan hatinya.

Anton terhenyak. Dia menghentikan gesekan penuh semangatnya di vagina ibunya. Dia menatap sepasang mata ibunya yang berkaca-kaca.

“Maafkan Anton, Bu. Anton memang perlu dipukul,” kata Anton dengan perasaan bersalah.

“Mana tega ibu memukul kamu. Tapi jangan sekarang ya, i-itu ibu masih capek,” kata Bu Jubaedah membelai pipi Anton dengan penuh kasih sayang. Mendadak,

“Assalamu’alaikum, Bu Juju!” terdengar ada yang memberi salam sambil mengetuk pintu.

“Tuh kaaan,” bisik Bu Jubaedah dengan panik. Mendorong tubuh Anton lalu meloncat turun dari meja makan. Menarik kalang-kabut celana dalam berikut stockingnya, “lap mulutmu tuh, belepotan lipstik,” lanjutnya sambil menekap mulut menahan tawa. Dan ia sendiri menyambar tisu untuk mengelap bibirnya yang juga belepotan lipstik.

Suara orang mengucapkan salam kembali terdengar.

“Wa’alaikumussalam, iya sebentar Bu Farid,” jawab Bu Jubaedah sambil melihat-lihat gamis dan kerudungnya. Takut terlihat mencurigakan, “ibu ke pengajian dulu ya, Nak. Assalamu’alaikum!” katanya kemudian sambil melangkah terburu-buru tanpa berani menoleh ke Anton yang sedang terduduk lesu di kursi makan.

Begitu pintu depan di buka, Anton melihat sesosok tubuh tinggi semampai. Bu Farida, teman pengajian ibunya berdiri sambil tersenyum, namun ada rona merah di pipi si tinggi semampai itu ketika secara tak sengaja melihat pemandangan aneh dari pemuda yang tengah duduk di kursi menghadap ke arahnya. Ia cepat-cepat melengos, tersenyum ke arah Bu Jubaedah yang tidak sadar, anak bungsunya dengan bertelanjang dada hanya mengenakan celana pendek mempertontonkan sembulan tak senonoh ke tamunya.

“Wah, gamis baru nih,” kata Bu Farida mengamati gamis yang dikenakan Bu Jubaedah.

“Iya, dibeliin Anton ketika tugas keluar kota,” sahut Bu Jubaedah balas tersenyum.

“Sungguh anak yang berbakti,” puji Bu Farida ingin melirik ke arah Anton, namun segera menahannya ketika teringat pemandangan tidak senonoh dari pemuda itu. tak urung hatinya berdebar-debar.

Akhirnya kedua perempuan setengah baya itu berjalan beriringan menuju ke tempat pengajian rutinnya. Meninggalkan Anton yang mukanya murung tanpa menyadari dia baru saja mempertontonkan sembulan penisnya dari balik celana pendek ke teman pengajian ibunya.

Dan pemandangan tak senonoh itu, sialnya malah terbayang-bayang di pikiran Bu Farida selama perjalanan mereka ke tempat pengajian. Berkali-kali ia mengucapkan istighfar secara tidak sadar yang membuat Bu Jubaedah sedikit kebingungan. Ketika di perjalanan sudah bertemu dengan ibu-ibu yang lainnya dan percakapan yang ramai khas ibu-ibu, bayangan yang mendebarkan hatinya tersebut mulai terlupakan.

***

‘Ckiiit!’

“Astaghfirullah!”

“Bocah sontoloyo!”

Motor mengepot oleng hampir tak terkendali di gang licin oleh air hujan tersebut. Bocah sembrono yang sedang asik hujan-hujanan di tengah gang dan hampir terserempet tersebut, terbirit-birit masuk ke dalam rumahnya.

Ke dua kaki Anton yang bersandal jepit sekuat tenaga membantu rem menahan laju motor yang hampir tercebur ke selokan gang yang airnya sedang berarus deras. Bu Farida yang barusan beristighfar, duduk di boncengan dengan posisi menyamping. Memeluk erat tubuh Anton sambil memejamkan mata. Ketakutan.

“Fhiuhhh!” Anton menghembuskan napas lega. Mengarahkan lagi stang motornya ke jalanan gang.

Bu Farida yang tubuhnya menempel erat dengan payudaranya menekan punggung pemuda itu, merasakan desir aneh. Kembali ia beristighfar sambil buru-buru menggeser agar merenggang.

Ketika tiba di rumah Bu Farida bertepatan dengan adzan maghrib, ke duanya sudah basah kuyup kehujanan.

“Terima kasih, Nak Anton. Mampir dulu?” tawar Bu Farida sambil tersenyum, turun dari motor Anton.

“Sama-sama Bu Hajjah. Saya langsung pamit pulang saja,” sahut Anton berpamitan sambil mengangguk sopan. Tak berani menatap langsung Bu Hajjah itu yang karena kehujanan, gamis lebar yang dikenakannya menjadi rapat mencetak tubuh semampainya.

“Aih!” Bu Farida menjerit kecil, ketika selopnya yang sedikit berhak agak tinggi terpeleset licinnya keramik teras rumah yang basah oleh air hujan.

Anton reflek menahan tubuh Bu Farida yang oleng ke arahnya. Malangnya, Anton yang saat itu masih berada di atas motor, ikut hilang keseimbangan.

“Bruk!”

Ke duanya terjatuh bertumpang tindih.

“Akhirnya jatuh juga,” gumam Anton sambil meringis. Sebelah kakinya tertindih badan motor dan tertimpa tubuh Bu Farida. Dan sialnya, atau mungkin rejeki? Ketika dia meraih tubuh Bu Farida yang oleng, Anton memang sembarangan menahan tubuh tinggi semampai itu. ketika mereka terjatuh bersamaan, sebelah tangannya mencengkram sebuah payudara Bu Farida. Cengkraman yang keras dan ketat. Membuat Bu Farida merasakan sensasi aneh yang membuat seluruh bulu di tubuhnya meremang.

Anton jelas menyadari di mana tangannya terletak.

“Mm-maaf!” Anton tergagap, dengan cepat melepaskan cengkramannya.

Bu Farida menggeliat dan berdiri dengan wajah jengah. Sesaat ia berdiri kebingungan mengawasi pemuda itu yang tengah susah payah menarik kakinya yang tergencet badan motor. Mesin motor masih menyala, tercium bau bensin yang mungkin sedikit tumpah.

Dengan terpincang-pincang, Anton menstandarkan motornya.

“Kamu masuk dulu ya, kayaknya kaki kamu terluka tertimpa motor,” kata Bu Farida dengan wajah khawatir, memandang celana bagian betis yang merembes warna merah.

Anton hanya mengangguk, dia melangkah terpincang-pincang dan duduk di kursi santai teras diikuti yang punya rumah. Menggulung celananya dan mendapati kulit betisnya sedikit sobek.

“Sebentar, ibu ke dalam dulu mengambil obat luka,” kata Bu Farida sambil buru-buru mengambil kunci rumah dari tas. Sebentar kemudian, ia sudah keluar lagi membawa kotak P3K. sementara Anton duduk di kursi, Bu Hajjah itu berjongkok membersihkan luka di betis pemuda itu dengan telaten.

“Sepertinya pergelangan kaki kamu juga terkilir, Nak Anton. Tuh, sudah mulai bengkak,” ujar Bu Farida mengamati pergelangan kaki yang disebutnya barusan. Jari-jarinya sedikit mengurut-urut. Anton mengerang merasakan sakit.

“Ibu punya minyak urut, masuk ke dalam deh ya. Pamali maghrib-maghrib di luar rumah,” lanjut Bu Farida kembali.

“Tidak usah, Bu. Saya langsung pulang saja, sudah terlanjur basah kuyup juga,” sahut Anton sambil mencoba berdiri sambil meringis merasakan sakit di pergelangan kakinya.

“Jangan memaksakan diri! Lagian Ibu tidak enak sama Bu Juju. Pulang-pulang anaknya malah cidera. Yuk ibu bantu, berdiri saja sudah susah kan,” Bu Farida meraih tangan Anton yang dilihatnya berpegangan ke dinding rumah.

“Tidak usah, Bu. Baju saya basah semua, luka begini mah enteng,” Anton mencoba menolak.

“Jangan sok-sokan. Persis Cahyo kamu tuh. Sok kuat,” ujar Bu Farida menyebutkan nama anaknya yang tadi habis ditengok mereka di rumah sakit karena kecelakaan.

Anton memang dipaksa Bu Jubaedah untuk mengantarkan Bu Farida ke rumah sakit. Ketika teman pengajiannya yang mampir ke rumahna sepulang pengajian tersebut, mendadak mendapat telepon dari pihak rumah sakit, mengabarkan Cahyo anaknya yang nomor 2, yang mengabarkan kecelakaan mobil yang dikendarainya menabrak separator beton jalan raya.

Anton sebenarnya hanya mengantarkan saja ke rumah sakit, tanpa berniat untuk menunggu. Hanya saja, ketika dia iseng ikut masuk untuk melihat keadaan anaknya Bu Farida itu yang lumayan parah luka-lukanya. Dia tidak tega meninggalkan Bu Farida yang terlihat panik dan kebingungan. Bahkan ketika menelepon pak Haji Anas, suaminya, Bu Farida sedikit menangis sambil marah-marah. Diam-diam dia baru tahu, bahwa ternyata si Pak Haji mempunyai 2 istri. Dan dari pembicaraan di telepon, sepertinya Bu Farida ini istri pertama.

Ketika pak Haji Anas datang sendirian, dia disambut dengan wajah dingin oleh Bu Farida dengan kata-kata penuh sindiran. Anton memang tidak terlalu kenal dengan pak Haji Anas, setelah basa-basi sejenak, dia bermaksud untuk berpamitan. Namun Bu Farida menahannya dengan permohonan untuk mengantarkan pulang ke rumahnya sambil menunggu Aisyah, anak pertama Bu Farida datang.

Mau tidak mau Anton terpaksa menunggu. Aisyah datang ketika waktu sudah lewat ashar. Setelah ada yang gantian menunggui Cahyo, Bu Farida dan Anton segera berlalu dari rumah sakit. Sore itu keadaan sudah sangat mendung sekali. Sebetulnya, jarak dari rumah sakit ke rumah Bu Farida tidaklah terlalu jauh, hanya dikarenakan jalanan macet parahlah yang membuat mereka sampai kehujanan di jalan.

Setelah kembali dipaksa, akhirnya Anton mengalah juga, dengan dibantu dipapah Bu Farida yang ternyata juga sedikit terpincang, mereka masuk ke dalam rumah.

“Ibu keseleo juga,” tanya Anton ketika menyadari Bu Farida juga jalannya sedikit terpincang-pincang.

“Sedikit, waktu terjatuh tadi kayaknya,” sahut Bu Farida mengarahkan langkah mereka ke kursi kayu di ruang keluarga, “tunggu sebentar di sini ya, nanti ibu bawakan pakaian ganti punya Cahyo.”

Anton hanya mengangguk, tapi kemudian katanya dengan ragu-ragu, “bu hajjah, maaf. Kalau boleh, saya mau pinjam HP-nya buat nelepon ibu, takutnya khawatir! HP saya ditinggal di rumah.”

“Tentu saja boleh,” sahut Bu Farida sambil mengambil HP dari tasnya yang untungnya walau pun kehujanan namun sampai tidak tembus ke dalam. Jelas bukan termasuk tas loakan. Perempuan setengah baya itu memberi isyarat bahwa ia akan membawakan baju ganti, ketika Anton sedang berbicara kepada Bu Jubaedah, mengabarkan dirinya masih menemani Bu Farida.

Bu Farida sudah datang lagi dengan membawa satu stel pakaian ganti, dan kembali memberi isyarat dengan jari untuk menunjukkan letak kamar mandi. Ketika Bu Farida berbalik hendak kembali ke kamarnya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Anton tak sengaja memandang dua bongkah pantat Bu Farida yang tercetak dalam gamis basah. Dia melongo. Walaupun tak sebesar pantat ibunya, dalam cetakan seperti itu jelas mengundang setan lewat. Pinggul yang bentuknya proporsional dan begitu matang dari seorang perempuan yang sudah seumuran Bu Farida. Anton tanpa sadar meneguk ludahnya.

“Anton kangen nih pengen ngewe ibu!” bisik Anton dengan suara pelan. Mengelus selangkangan yang penisnya sudah sedikit ereksi dibungkus jeans basah. Kata ‘ngewe’ yang diucapkan Anton barusan, belum pernah dikatakan sevulgar itu ke ibunya. tapi kata tersebut sengaja diucapkannya untuk menambah sensasi berahi yang timbul ketika melihat goyangan pantat Bu Farida. Sayangnya, kalimat yang diucapkan dengan berbisik itu sepertinya tidak terdengar oleh Bu Jubaedah di seberang sana. Ibunya itu malah terus berhalo-halo. Sampai Anton kemudian mengucapkan salam sambil menutup telepon.

Masih dengan hati penasaran dengan pemandangan indah yang baru saja disaksikannya. Dengan nekat Anton membuka galeri dari HP Bu Farida. Puluhan foto di periksanya, sambil sesekali melihat kea rah pintu kamar Bu Farida, takut yang punya HP tiba-tiba datang.

Foto-foto tersebut kebanyakan foto tertutup, hanya satu dua yang memperlihatkan Bu Farida sedang tidak mengenakan hijabnya. Rambutnya sedikit bergelombang sebahu. Tanpa hijab, kecantikan Bu Farida terlihat jelas, dengan mata indah khas perempuan Minang. (note : ini fakta, mata perempuan Minang/Padang benar-benar indah) Sebagian berswafoto dengan salah satu atau ke dua anaknya, tapi tidak satu pun di foto-foto tersebut ada pak Haji Anas!

Dapat dipahami juga, perempuan mana yang rela hati dimadu. Masih ingat juga dirinya dengan ucapan dingin dan ketus dari Bu Farida. Kemudian ingatannya kembali ke cengkraman tidak sengaja ke salah satu dari payudara perempuan itu. terasa keras kenyal, mungkin karena memang mengenakan BH. Tapi jelas mampu membangkitkan hasratnya. Lalu dia teringat juga akan kata-kata ibunya bahwa dua kutil di penis yang membuatnya bertahun-tahun malu itu untuk berhubungan dengan kaum perempuan justru malah idaman banyak perempuan untuk mencapai kepuasan seksnya. Entah itu omongan ibunya untuk menghiburnya atau memang kenyataan.

Mungkin juga Bu Farida bisa membantunya untuk membuktikan kata-kata ibunya itu bukan omong kosong, kata hati Anton sambil menyeringai ragu-ragu. Tapi bagaimana caranya? Dia bukan ahli dalam merayu perempuan. Apalagi perempuan baik-baik dan taat beragama seperti Bu Farida. Yang ada malah dia bakal diarak warga situ, pikir Anton sambil meringis.

Entah sudah berapa tahun Bu Farida dimadu pak Haji Anas, tentu jatahnya di ranjang banyak berkurang, mungkin itu kesempatannya untuk menikmati tubuh tinggi semampai tersebut. Ibunya sendiri yang selama bertahun-tahun tidak mendapatkan nafkah batin, begitu dapat, binalnya bukan main.

Setan berahi terus meniupkan siasatnya ke otak Anton.

Anton makin pusing oleh desakan berahinya sendiri, merasakan pegal oleh penisnya yang menggeliat di dalam celana jeans ketatnya. Setelah meletakan kembali HP Bu Farida ke meja. Anton bangkit dan mengambil pakaian ganti milik Cahyo, anak Bu Farida, yang dipinjamkan kepadanya untuk ganti. Kemudian dia pun melangkah menuju kamar mandi yang tadi ditunjukkan oleh yang punya rumah. Setelah sebelumnya mengambil kain pel untuk mengepel lantai yang basah oleh air hujan yang menetes dari pakaiannya dan Bu Farida ketika masuk ke dalam rumah.

Sementara itu di dalam kamar mandi, Bu Farida sengaja berlama-lama. Bergayung-gayung air dingin disiramkan ke kepalanya untuk mengusir bayangan jahat yang terus menggodanya. Bayangan dari sembulan yang menonjol dari celana pendek Anton tadi pagi, tekanan ketat payudaranya ketika motor Anton hampir tercebur got, terutama cengkraman keras anak muda itu di payudaranya, walau pun jelas tidak sengaja, tapi mampu membuat dirinya terpancing berahinya secara spontan. Gila, kutuknya dalam hati sambil menyiramkan segayung air dingin ke kepalanya untuk yang ke sekian kalinya.

Gara-gara si Haji Loyo itu, punya ‘anu’ loyo bisa-bisanya nikah lagi, sementara dirinya sendiri kadang tidak terpuaskan cuma bisa ngebatin. Dasar haji mesum! Begitu batin Bu Farida marah-marah sendiri.

Tanpa sadar ia meraba payudaranya yang tadi tercengkram jari-jari kuat Anton. Dan itulah kesalahannya. Setan berahi menari riang. Bu Farida mendesah sambil memejamkan mata, jari-jarinya menyentuh puting payudara tersebut, membuat garukan melingkar. Perempuan setengah baya itu menggigit bibirnya, kedua pahanya dirapatkan menahan denyut panas dari vaginanya. Ia mulai terengah-engah. Di saat tangan yang satu tengah menari-nari di payudaranya, yang satu lagi mencari-cari pegangan buat menahan tubuhnya yang bersandar ke bak mandi, namun karena dalam posisi meram, tangannya terpeleset dan tercebur ke bak.

“Astaghfirullah!” Bu Farida menjerit kecil kemudian tersadar. Dengan napas masih terengah-engah, ia nekat naik ke atas bak lalu turun menceburkan dirinya ke dalam bak mandi. Merendam kepalanya ke dalam air dingin sambil tak henti terus beristighfar. Dan si Setan berahi yang tadi menari, merengut di pojokan hasratnya yang sudah kembali beku.

Selesai mandi dan berganti pakaian dengan rapi, karena bermaksud untuk kembali ke rumah sakit. Setelah menunaikan sholat Maghrib, dengan hanya mengenakan mengenakan kerudung instan karena hujan masih turun dengan deras di luar sana, Bu Farida keluar kamar. Ia melihat lantai sudah bersih. Diam-diam ia memuji kerajinan anaknya Bu Jubaedah itu. kemudian mengambil HP-nya yang tergeletak di atas meja. Begitu membuka layar HP, Bu Farida sedikit tertegun. Anton sepertinya lupa mengembalikan foto-foto di galeri HP Bu farida yang diperiksanya. Di layar HP tersebut sedang menampilan wajahnya dalam keadaan di-zoom dan tidak berjilbab.

Ih, dasar anak kurang ajar! Ngapain dia nge-zoom wajahku? Kata Bu Farida dengan hati senewen. Matanya melirik ke arah kamar mandi mendengarkan debur air di dalamnya. Kemudian tiba-tiba menepuk keningnya. Tadi ia lupa memberikan handuk.

Bergegas ia mengambil handuk kering yang terlipat rapi di lemari, namun ketika sampai di depan pintu kamar mandi, ia berdiri tertegun dengan ragu-ragu. Bagaimana caranya ia memberikan handuk ke laki-laki yang bukan muhrim yang sedang mandi? Pikirnya dengan hati bingung. Setan berahi yang tadi merengut sedang bersiul-siul menggoda.

Ah, biarlah, Nak Anton kan seumuran Cahyo, anggap saja anak sendiri, katanya sambil menetapkan hati. Mengetuk pintu kamar mandi dengan tangan gemetar.

“Nak Anton! … Nak Anton, ini handuknya, ibu lupa tadi tidak sertakan di pakaian ganti,” kata Bu Farida dengan hati cemas oleh debaran aneh di hatinya. Kalau saja saat itu pikirannya sedang normal, tentu seharusnya ia menyingkirkan tubuhnya dari depan pintu. Bersembunyi di samping pintu untuk memberikan handuk. Namun saat itu, Setan Berahi sedang meniupkan racun dengan sangat bersemangat di pikirannya.

Dan memang harus seperti itulah jalan ceritanya. Bu Farida terlambat menyingkir ketika debur air di dalam kamar mandi berhenti dan terdengar suara slot pintu ditarik. Pintu kamar mandi menjeblak! Sesosok tubuh tegap dipenuhi busa sabun berdiri dengan wajah aneh dan mata merah.

Bu Farida ternganga takjub. Otaknya mendadak macet. Ketika setan bersabun itu menarik tangannya dengan cepat.

Tubuh semampai itu terhuyung ke pelukan tubuh bersabun, terpeleset sedikit lalu terbanting telentang di atas lantai kamar mandi yang basah dan licin. Yang kemudian diterkam dengan ganas oleh si Setan Bersabun.

“Nak Anton jangaaan, Nak! Ampuuun!” itu teriakan pertama dari Bu Farida setelah tubuhnya ditindih badan kokoh Anton.

“Maafkan saya, Bu. Saya sudah tidak tahan, ibu cantik sekali,” dengus Anton tanpa berani memandang wajah Bu Farida. Dengan kebuasan bak macan kelaparan. Dia segera mengunci tangan perempuan setengah baya yang cantik itu yang mencoba menggeliat memberontak, lalu,

‘Bret! Bret! Bret!’

Kancing gamis Bu Farida beterbangan ke segala arah. Dengan nafsu yang sudah menggelegak, Anton menarik turun BH hitam tersebut. Dua bongkah daging kenyal membusung menantang, begitu mulus dan indah. Walau pun tidak sebesar milik ibunya, namun jelas sangat menggairahkan. Mulutnya dengan ganas menyerbu gumpalan daging empuk dan kenyal tersebut dengan rakus. Dalam keadaan bernafsu seperti itu, sempat-sempatnya Anton berpikir dia butuh tiga atau empat mulut lagi agar bisa menjelajahi semua hal indah dari tubuh Bu Farida.

Geliat tubuh Bu Farida makin melemah, entah oleh rangsangan pemuda itu atau bisa juga oleh rasa takut.

“Jangan, Nak! Ampuuun, ibu mohon hentikan,” Bu Farida mulai menangis.

Mana mungkin Anton menghentikan kenekatannya yang sudah keterlanjuran itu, kecuali ada petir di luar sana iseng menyambar pantatnya yang tengah mendesak dan menekan tubuh bagian bawah Bu Farida.

Bu Farida benar-benar merasa tak berdaya. Ia merasa seperti kelinci yang tersudut di bawah ancaman moncong senapan kaliber 45 dengan peluru berhulu ledak nuklir. Ia juga menyadari hanya sebuah kesia-siaan untuk berteriak-teriak meminta pertolongan sampai pita suaranya putus di tengah ledakan guntur yang saling bersahutan di tengah hujan deras. Ia mencoba menjernihkan otaknya sambil merasakan denyut sakit di kepalanya akibat terbentur lantai kamar mandi. Mencoba mencari cara agar pemuda itu tersadar. Cara apa? Ia tidak tahu! Toh, diakui atau pun tidak, bukankah hal ini memang seperti mewujudkan keinginan anehnya ketika di kamar mandi tadi? Kenapa ia tidak sekalian saja pasrahI Pasrah? Tidak! Rasa gengsi untuk menyerah pasrah membuat dirinya kembali menggeliat.

“Hentikan, Nak! Aku laporkan nanti ke ibumu!” ancamnya di sela isaknya.

Bu Farida tahu, ancaman itu hanya ancaman basa-basi yang tidak berpengaruh apa-apa. Tapi setidaknya ia bisa berargumen untuk dirinya sendiri. HIngga pada akhirnya, ia hanya bisa mencoba untuk membuat tubuhnya serileks dan senyaman mungkin. Tapi bagaimana ia bisa nyaman, tergeletak di lantai keramik yang dingin dan basah seperti itu? kenapa tidak pilih tempat yang lebih baik sih? Anak muda memang selalu tidak sabaran, gerutunya di dalam hati. Ia tidak tahu seberapa besar ukuran penis pemuda itu, yang jelas tentu akan membuatnya kesakitan. memikirkan sebentar lagi vaginanya akan dimasuki penis lelaki lain selain penis suaminya. Ia merasakan seluruh bulu-bulunya meremang oleh sensasi aneh.

Cumbuan dan rangsangan Anton di payudara Bu Farida jelas membuat perempuan setengah baya itu mulai gelisah. Tapi demi gengsinya sendiri, Bu Farida memejamkan mata sambil menggigit bibirnya kuat-kuat, sampai lupa akan isak tangisnya.

Anton memang sudah gelap mata dikuasai nafsu berahinya. Kalau saja payudara itu seperti buah pepaya, mungkin buah pepaya matang itu sudah terkoyak-koyak oleh taring-taring macan muda yang sedang ganas-ganasnya.

Mengetahui perempuan yang ditindihnya itu sudah tidak melakukan perlawanan lagi. Dengan hati girang Anton melepaskan kunciannya pada tangan Bu Farida. Dengan gemas dia meremas-remas daging empuk yang lunak itu dengan gemas, hingga kemudian menggulung gamis ke sampai ke pinggul. Celana dalam berwarna hitam itu terlihat sedikit basah, entah oleh air lantai kamar mandi atau rembesan berahi dari vaginanya. Yang jelas, celana dalam itu sebentar saja sudah terlempar ke pojok kamar mandi.

“Benar-benar indah sekali mirip perawan,” gumam Anton sok tahu. Sampai saat ini, mana dia pernah tahu bentuk model vagina perawan dan bukan perawan.

Tapi memang vagina Bu Farida terlihat indah sekali, membusung dengan bulu-bulu halus di sekitar celah tipis yang membelah bukit kecil tersebut. Jelas bahwa perempuan itu bisa merawat miliknya yang paling berharga tersebut.

Jari-jarinya membelai lembut bukit membusung tersebut, merayap ke celah sempitnya mencari-cari sesuatu. Dia paham, ada tonjolan kecil di atas celah tersebut yang ketika disentuh dan dimainkan, bisa membuat empunya barang tersebut kelojotan.

Dibantu jari-jari tangannya yang lain, celah sempit tersebut direnggangkan. Benar saja, terlihat ada daging kecil yang sepertinya berdenyut, berkilat kemerahan. Anton menggeram senang seperti baru saja menemukan mutiara harta karun.

Ketika jari-jarinya sibuk mempermainkan benda kenyal berdenyut itu, Anton penasaran melihat wajah Bu Farida. Selain wajah kemerahan, ia tidak melihat hal lain yang diharapkannya. Tidak seperti ketika merangsang ibunya yang merintih dan mengerang. Kecuali pinggul perempuan setengah baya yang cantik itu sedikit bergerak-gerak seirama gerakan jari-jarinya.

Anton memang masih hijau dalam urusan berahi. Padahal saat itu Bu Farida hampir kehabisan napas demi menahan rangsangan nikmat yang geli dan ngilu di klitorisnya. Ia merasa merinding sendiri, sampai buku-buku jari kakinya terasa kebas.

Anton sudah tidak tahan dibakar berahinya. Dia mengambil segayung air untuk membersihkan selangkangannya dari air sabun. Jari-jarinya menguakkan bibir-bibir vagina itu hingga terlihat lubang kecil berlendir.

Dia mencelupkan jari telunjuknya ke lubang berlendir tersebut, dan lendir di jari itu dioleskannya ke helm berkutil miliknya. Tubuh Bu Farida sedikit menegang dengan celupan jari pemuda itu. disangkanya Anton sudah menusukan tongkat pusakanya. Ia masih gengsi, tidak berani membuka matanya. Hatinya keheranan, kenapa penis pemuda itu lebih kecil dari penis suaminya?

Tapi mendadak, tubuh Bu Farida mengejang dan mengkerut. Mulutnya terbuka dengan mata membeliak merasakan desakan keras dari sebuah benda tumpul yang masuk ke lubang rahimnya yang terasa sangat sakit seperti mau robek.

“Prrrt! Blesssh!”

“Shakiiittt!” Bu Farida mengejang hampir semaput, otot perut sampai ke ulu hatinya terasa kram, ketika batang penis Anton tanpa belas kasihan terus melesak mendesak masuk ke dalam rahimnya.

“Maafkan Anton, Bu! Hosh, hosh, hosh! Tahan sedikit, nanti juga enak, hosh-hosh-hosh!” dengus Anton sambil meram melek, merasakan dinding-dinding seret rahim Bu Farida yang menggencet batang penisnya. Pantatnya terus menekan sampai seluruh penisnya amblas ke pangkalnya. Kedua tangannya mencengkram kuat dua bongkah daging kenyal milik Bu Farida disertai remasan-remasan kecil. Pantatnya ditarik perlahan-lahan ke atas, pinggul perempuan yang sudah pasrah itu turut melambung. Kedua lututnya sudah menekuk, memberi ruang ke tubuh pemuda itu agar lebih leluasa dalam menyetubuhinya.

Sambil menggeram-geram, Anton mulai menggenjot secara perlahan-lahan. Vagina Bu Farida mulai menyesuaikan diri dengan besarnya barang yang tengah tenggelam di dalamnya. Kecuali dengusan lembut dari hidung mancung itu, Bu Farida masih menahan agar tidak merintih dengan kembali menggigit bibirnya kuat-kuat. Rasa sakit masih menyelimuti vaginanya walau pun sudah mulai muncul rasa geli-ngilu yang nikmat.

Ia merasakan nikmat lain dari yang lain. Walau pun sebelum itu hanya satu penis saja yang pernah keluar-masuk rahimnya. Namun kenikmatan yang dirasakannya saat ini, berpuluh-puluh kali lipat dari kenikmatan yang pernah diberikan penis suaminya. Bahkan dulu, kenikmatan-kenikmatan dari suaminya itu hanyalah kenikmatan semu yang palsu.

Kini, kenikmatan itu seperti kenikmatan sejati. Ia tidak mengerti, batang penis pemuda itu seperti bisa menggaruk dinding-dinding rahimnya. Geli dan ngilunya bukan main, itu belum termasuk rasa nikmat dari sentuhan ajaib di klitorisnya. Yang harusnya dilakukan oleh jari-jari terampil. Tapi ia tahu, kedua tangan pemuda itu sedang mencengkram payudaranya. Lalu jari siapa? Hampir saja Bu Farida membuka matanya saking penasarannya. Tapi rasa gengsinya kembali menahannya. Yang kini bisa dilakukannya adalah membuat tubuhnya serileks mungkin agar bisa mengurangi rasa sakit yang masih menderanya.

Perlahan tapi pasti, rasa sakit itu memudar, tergantikan nikmat yang teramat sangat. Dua bagian tubuhnya yang paling sensitif tengah di eksplor dengan ganas oleh Anton. Namun ketika mulut pemuda itu menyentuh bibirnya, harga dirinya menyuruhnya agar tidak bereaksi membalasnya. Alhasil, bibir Bu Farida tetap tertutup rapat.

Genjotan Anton kini makin liar tak terkendali. Bu Farida merasakan nikmat tiada tara yang hampir sampai ke puncak kenikmatan sejati. Ke dua kakinya tanpa dapat ditahan, kini bergelung mengunci dan mengikat pantat Anton, menahannya dengan kuat ketika dirinya sudah tidak sanggup menahan jebolnya tanggul kenikmatan yang diraihnya. Pinggangnya melengkung, tangannya mengepal kuat sampai kulitnya memucat.

Anton merasakan penisnya seperti terendam cairan hangat. Dinding-dinding rahim Bu Farida terasa meremas batang penisnya dengan kuat. Rasanya nikmat sekali.

Dengus yang terdengar dari hidung mancung itu seperti dengus kuda yang habis dipacu seribu mil.

Anton mendiamkan sejenak, memberikan waktu kepada Bu Farida untuk beristirahat menikmati orgasmenya. Dinding-dinding rahim perempuan cantik itu masih berdenyut-denyut memijat batang penisnya.

Beberapa saat kemudian, dia berbisik, “nungging ya, Bu!”

Bu Farida yang tengah meredakan napasnya yang terengah-engah, merinding mendengar kata-kata ‘nungging’. Sumpah mati, ia belum pernah merasakan posisi itu. Dulu, perut buncit suaminya menghalangi posisi seks seperti itu. pernah dicoba, hanya kepala penisnya saja yang menyentuh vaginanya.

Anton mencabut penisnya. Terdengar bunyi ‘plof!’ pelan. Dia tahu, Bu Farida tentu tidak akan menurut. Walau pun pergelangan kakinya masih berdenyut sakit, tapi hasrat berahinya mengalahkan rasa sakit itu. Tubuh Bu Farida yang tergolek lemas di atas lantai dengan gamis yang sudah setengah basah, dibalikkan. Pinggulnya ditarik ke atas dengan lutut direnggangkan. Vagina Bu Farida tampak menggantung dengan celah yang sudah merekah. Masih meneteskan lendir orgasmenya ke lantai kamar mandi.

Bu Farida menyilangkan telapak tangannya untuk menjadi bantalan keningnya. Menunggu dengan hati berdebar. Dirasakannya jari-jari pemuda itu menarik bibir-bibir vaginanya yang masih terasa sangat ngilu.

“Ugh!” kini tanpa dapat ditahannya, ia melenguh pendek ketika merasakan ujung benda tumpul yang kenyal itu menerobos rahimnya.

Sensasi nikmat yang dirasakannya dalam posisi baru tersebut terasa begitu lezat. Kepalanya terasa berdenyut-denyut pusing oleh kenikmatan yang memabukan.

Dengan mencengkram dua bongkah pantat seksi Bu Farida, Anton kembali menggenjot.

Di saat mereka sedang asik menikmati kelezatan sorga dunia tersebut, mendadak terdengar bunyi dering HP di ruang tengah.

Keduanya tersentak kaget. Bu Farida menggeliat sedikit meronta.

“Hentikan, Nak Anton! A-ada telepon,” desah Bu Farida.

“Tanggung, Bu. Sebentar lagi,” sahut Anton sambil kembali berusaha menggenjot.

“Duuuh! Ja-jangan, takut … takutnya telepon penting dari … dari rumah shakhitttsh!” rintih Bu Farida sambil mencoba merangkak bangun.

Anton berpikir sejenak, kemudian katanya, “ya sudah, kita pindah tempat. Tapi jangan sampai lepas ya, Bu. Kaki Anton masih sakit!”

“Ba-bagaimana caranya?” tanya Bu Farida kebingungan.

Tanpa berbicara, Anton mengangkat tubuh Bu Farida. Dengan penis masih tenggelam di vagina perempuan itu, dia memeluk tubuh sintal itu.

Kalau saja ada orang lain yang menyaksikan perbuatan aneh ke dua orang itu, tentu dia akan tercengang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Dengan tubuh Bu Farida sedikit melengkung, menjaga agar penis Anton tidak sampai terlepas. Mereka berdua berjalan rapat saling bantu. Persis yang gancetan. Manusia yang sedang mabuk berahi memang mirip kelakuan orang sinting.

Sesampainya di ruang tengah. Bu Farida meraih telepon dengan setengah badan tertelungkup di atas meja. Sementara Anton kembali sibuk menggenjot, Bu Farida melihat layar HP-nya yang menyala dengan nada panggilan. Dari Aisyah, anak pertamanya yang sedang menunggui Cahyo di rumah sakit. Ada rasa bersalah di hati Bu Farida saat itu. namun kenikmatan genjotan dalam gaya yang baru pertama kali dalam hidupnya tidak ingin dilepasnya. Sambil memusatkan konsentrasinya agar Aisyah tidak curiga. Ia membuka panggilan tersebut.

“Wa’alaikumsalam, ya, Ais?” Bu Farida menjawab salam dari ujung telepon sana. Hampir saja ia mendesah ketika Anton iseng menggigit tengkuknya. Ia menoleh menatap tajam wajah pemuda itu yang cengar-cengir tanpa dosa. Ia memberi isyarat dengan mengeleng-gelengkan kepala.

“Iya, bunda masih di rumah, masih hujan deras. Baju ganti Cahyo sudah rapih. … tidak. Tidak usah. Biar suamimu di situ saja tidak usah menjemput bunda. Nanti begitu hujan reda bunda bisa naik grab.” Bu Farida menekan keningnya ke meja, matanya terpejam menahan sengatan nikmat ketika Anton menggenjotnya dalam posisi wheelbarrow ( note -gaya ajul gedang- dalam Bahasa sunda).

“A-apa, Ais?” Bu Farida gelagapan, mengembalikan konsentrasinya yang sempat buyar, “i-iya… nanti bunda beli, dikabarin kalau bunda mau otw. Sudah dulu ya, jaga Cahyo. Assalamu’alaikum!” Bu Farida cepat menutup teleponnya sambil berdesah-desah nikmat. Ia sudah tidak perduli lagi apakah Aisyah curiga atau tidak. Ia hanya ingin berkonsentrasi menikmati cumbuan nikmat dari Anton.

Tubuh pemuda itu sudah menindih rapat punggungnya. Kedua telapak tangannya menyelinap ke payudaranya. Dengus panas napas Anton berhembus meniup tengkuknya. Kepala Bu Farida menggeleng-geleng gelisah. Sukar dipercaya ia sekarang hampir meraih puncak orgasmenya yang kedua.

“Bhuuu, Anton mau keluarrr, ahssshhh,” geram Anton dengan suara serak.

“Jj-jangan di dalam!” seru Bu Farida dengan cemas. Seruannya tersebut justru membuyarkan konsentrasinya dalam upayanya menahan orgasme. Tubuh sintal yang tengkurap di atas meja kayu itu, gemetar dan mengejang. Bersamaan dengan Anton menekan pantatnya sekuat-kuatnya sambil meraung, menyemburkan ari maninya di dalam rahim Bu Farida.

Ke dua tubuh itu tertelungkup di atas meja dengan napas masing-masing terengah-engah. Hingga kemudian tubuh Anton menggelosoh ke atas lantai, terduduk telanjang.

Bu Farida merasakan kedua lututnya sangat lemas tidak bertenaga. Ia kemudian merayap di sisi meja, menarik kursi dan menjatuhkan pantatnya di kursi tersebut. Menghela napas panjang untuk meredakan sisa-sisa birahinya. Kemudian mengelap keringat di keningnya menggunakan kerudung yang sudah tergulung di lehernya.

“Dasar anak mesum edan!” gerutunya di dalam hati ketika sekilas tidak sengaja melihat Anton yang masih menjelepok di lantai, pusakanya masih mengacung keras. Melihat kekarnya penis Anton, Bu Farida dalam lelahnya buru-buru bangkit. Tanpa kata-kata ia setengah menyeret kakinya yang sedikit sakit, melangkah menuju kamarnya dengan cepat. Takut pemuda itu kembali nekat, yang tentu bisa membuatnya mati kelelahan melayaninya.

*

Hujan menyisakan gerimis dan kemudian reda samasekali, ketika waktu menunjukkan pukul hampir 10 malam.

Dalam diam, Bu Farida dan Anton bersiap-siap untuk berangkat menuju ke rumah sakit. Sebelumnya, setelah mereka membersihkan diri di kamar mandi masing-masing. Anton berkali-kali memohon maaf atas perbuatannya, tanpa ada reaksi sedikit pun dari Bu Farida yang bahkan menghindari beradu tatapan dengan pemuda itu.

“Kamu pulang saja, Nak Anton. Tidak usah repot-repot mengantarkan ibu. Ibu bisa memesan grab untuk ke rumah sakit,” kata perempuan setengah baya itu tiba-tiba.

Anton menggelengkan kepalanya cepat-cepat, “tidak bisa, Bu. Ijinkan saya untuk mengantarkan ibu ke rumah sakit. Mana tega saya membiarkan ibu larut malam begini pergi sendirian!”

“Tidak usah. Tidak apa-apa!” sahut Bu Farida singkat.

“Saya memaksa, Bu!” kata Anton tegas, dengan cepat dia meraih tangan perempuan setengah baya itu.

“Lepas! Atau ibu teriak!” ancam Bu Farida dengan tatapan tajam.

“Tidak apa-apa! Teriak saja, Bu! Biar saja Anton dipukuli sampai mati oleh warga sini. Anton memohon maaf atas perbuatan tadi. Sungguh! Anton khilaf dan gelap mata, tapi Anton tidak akan pernah menyesal untuk yang tadi itu … itu akan menjadi kenangan terindah buat Anton, ibu … ibu cantik sekali!” kata pemuda itu sambil menundukkan wajahnya. Tapi anehnya, Bu Farida tidak menarik lepas genggaman pemuda itu.

Perempuan setengah baya itu menghela napas, “itu perbuatan salah, Nak Anton. Dosa besar. Jangan dilakukan lagi. Lupakan saja ya, carilah perempuan yang sebaya kamu, kenapa harus ke nenek-nenek seperti ibu!”

“Entahlah, Bu. Yang pasti Anton suka ibu!”

“Ngaco kamu ah!”

“Sungguh, Bu. Ibu cantik sekali. Boleh ibu tanya ke semua orang!”

“Idih, kayak tidak ada kerjaan lain saja,” kata Bu Farida sambil tersenyum. Perempuan mana yang tidak senang hatinya dipuji oleh pemuda gagah seperti Anton. Apalagi … Bu Farida segera menendang jauh-jauh pikiran sesat barusan.

“Baiklah, kamu boleh antar ibu. Tapi jangan macam-macam lagi ya!”

“Justru Anton malah ingin setiap hari khilaf, Bu!”

“Hush! Nah kan … tidak jadi deh ibu diantar!”

“Maaf, Bu. Habisnya Anton bahagia sekali. Kalau boleh, izinkan Anton untuk jadi pengganti Pak Haji!” kata Anton nekad. Dia meremas jari jemari bertelapak halus itu dengan lembut.

“Jangan gila kamu ah. Sudah, ayo cepat berangkat!” kata Bu Farida menarik lepas tangannya dari genggaman pemuda itu.

“Siap Bu Hajjah tersayang!” sahut Anton sambil berjalan terpincang-pincang.

“Hush! Anak gila!” bentak Bu Farida dengan hati geli. Ia melengos dengan wajah merah tersipu-sipu.

Hati Anton bernyanyi riang. Bu Hajjah cantik itu sepertinya sudah luluh dan meleleh. Tadi remasan tangannya mendapat remasan balasan. Ibunya berkata benar. Pusaka miliknya memang idaman kaum hawa. Tahu begitu, sudah dari dulu dia test drive ke banyak perempuan, pikirnya sedikit menyesal. Tiba-tiba ada seraut wajah cantik manis melintas di benaknya. Annisa. Perempuan muda yang pernah ditolongnya dan sekarang jadi bosnya, lebih tepat istri dari bosnya. Bisakah dia mendapatkan Annisa?

*

“Kamu tunggu di sini saja ya. Tidak enak kalau Aisyah melihat kamu memakai pakaian Cahyo!” kata Bu Farida sesampainya di rumah sakit, “atau kamu pulang saja. Ibu pasti menginap di sini!” lanjutnya.

“Saya tunggu saja, Bu. Siapa tahu nanti saya khilaf lagi.”

“Astaghfirullah! Gila kamu ah!” Bu Farida melotot sambil menoleh ke sekeliling tempat parkiran motor di rumah sakit. Andai saja kedua tangannya tidak penuh barang bawaan, sudah berkali-kali pemuda mesum itu dicubitnya. Ketika menoleh lagi, wajah pemuda itu sedang menatapnya dengan memasang wajah terpesona.

“Apa?” Bu Farida masih melotot.

“Melotot pun tetap cantik, ck-ck-ck!” kata Anton menghela napas.

“Hhhh!” Bu Farida kehabisan kata-kata, “sudah ah. Ibu mau ke dalam!” gerutunya dengan suara gemas.

Anton menatap pinggul perempuan setengah baya itu, membayangkan mengkalnya pantat di balik gamis lebar yang dikenakannya. Di persetubuhan tadi, pinggul itu masih pasif. Nanti mungkin pinggul itu bisa memaksimalkan kemampuannya untuk membuat dirinya mencapai kenikmatan berahinya.

Ah, aku jadi kangen ibu, apa aku pulang saja ya, aku masih belum puas nih, pikir Anton. Tapi gerimis mulai turun mengurungkan niatnya untuk pulang. Dia segera berlari-lari kecil menuju lobi rumah sakit. Bergabung dengan belasan para penunggu pasien rawat inap.

Hujan deras kembali turun dengan menggila. Ditemani rokok dan kopi di gelas plastik, Anton duduk melamun menatap derasnya air hujan. Entah sudah berapa lama dia menunggu di teras lobi rumah sakit, sedikit memisahkan diri dari orang-orang yang duduk di situ. Matanya menoleh ke jam dinding lobi. Pukul 11.00 malam. Mendadak melalui sudut matana, dia melihat dua orang yang keluar dari lobi, yang dikenalinya sebagai Aisyah dan suaminya. Dia tidak ingin menyapa, mengingat bahwa pakaian yang dikenakannya adalah milik Cahyo, adik Aisyah. Tidak ada sosok ketiga seperti yang diharapkannya. Hatinya mengeluh kecewa. Bu Farida tentu tidak akan keluar lagi mengingat tidak ada yang menemani Cahyo di kamar rumah sakit.

Ketika dia sedang asik mengawasi ke dua orang itu yang memakai payung menuju ke parkiran mobil, hingga mobil itu kemudian melaju meninggalkan rumah sakit. Tiba-tiba ada tepukan lembut di bahunya.

“Kirain sudah pulang,” terdengar suara halus di belakangnya.

Anton cepat menoleh ke sesosok tubuh tinggi semampai yang sedang tersenyum.

“Aku akan sabar menanti,” jawab Anton menirukan kata-kata di pantat truk sambil balas tersenyum.

“Hmmm! Dasar!” bibir tipis itu merengut dengan wajah memerah, “kamu pasti belum makan. Ke kantin yuk, kita makan nasi goreng,” lanjut si Tinggi Semampai itu mendahului berjalan menyusuri koridor rumah sakit.

Entah di mana letak kantin rumah sakit tersebut. Anton dibawa menyusuri koridor berliku-liku yang sebagian areanya kadang gelap tak berpenerangan. Rumah sakit itu ketika malam dan keadaan hujan deras seperti itu, terlihat menyeramkan.

Melewati sebuah bangunan gelap yang terpisah dari bangunan lainnya, dalam kilasan cahaya petir. Sepertinya bangunan tersebut merupakan gardu atau tempat generator rumah sakit. Tanpa diduga, Anton menarik tangan Bu Farida menyebrangi rumput berlari terpincang-pincang menuju ke bangunan tersebut.

Bu Farida mengeluarkan jeritan kecil. Karena diseret, mau tidak mau ia mengikuti pemuda itu.

“Anton jangan nekat!” kata Bu Farida panik.

Anton tidak menjawab, dia memutari bangunan tersebut menuju bagian belakangnya, dan dalam penerangan cahaya petir, entah dia sudah tahu atau hanya menduga saja terlihat ada bangku panjang. Ke situlah dia menuju. Mendahului duduk di sana dan menarik tubuh Bu farida yang kembali menjerit kecil untuk kemudian jatuh ke pangkuannya. Anton memeluk erat-erat tubuh empuk dan hangat tersebut.

“Jangan nekat ah!” Bu Farida mencoba meronta dan menggeliat, merasakan tangan nakal pemuda itu dengan kurang ajar meremas payudaranya.

“Anton kangen banget, Bu!” bisik pemuda itu sambil mencoba mencium bibir. Bu Farida melengos, yang kena kecupan hanya pipi halusnya.

Bu Farida menghentikan upayanya meronta, ia memutar tubuhnya menghadap pemuda itu, dalam keadaan gelap, wajah pemuda itu hanya berupa bayangan samar. Ke dua telapak tangannya ditempelkan di pipi Anton.

“Kalau kamu benar-benar suka ibu, bukan begini caranya, Nak,” bisiknya, “ibu kecewa kalau kamu seperti ini. Artinya kamu merendahkan ibu, ibu tidak menyukai paksaan seperti ini!”

Anton terdiam, perlahan-lahan dia melepaskan pelukan eratnya di tubuh sintal itu, “Anton mohon maaf lagi, Bu. Anton benar-benar suka sama ibu. Anton sungguh bodoh sekali dan layak dipukul!” ujarnya dengan suara menyesal yang tulus.

“Kamu tidak bodoh, tapi kamu ceroboh! Nekat!” Bu Farida mencubit pipi pemuda itu.

“Habisnya ibu memang bisa bikin orang nekat sih!”

“Nah kan, mulai deh gombal!” satu cubitan lagi mendarat di pipi Anton.

Lah, memang iya. Hanya patung batu yang bisa tahan godaan melihat ibu. Ya sudah, Anton tidak jadi nekat deh, tapi kalau untuk sekedar memeluk boleh kan?”

“Kamu itu benar-benar cari resiko ih,” keluh Bu Farida menghela napas dalam, tapi ia membiarkan saja tangan pemuda itu bergelung di pinggangnya. Bahkan ia menjatuhkan dirinya untuk bersandar di dada pemuda itu dengan hati berdegup kencang, antara takut ketahuan dan sensasi aneh yang membuat seluruh bulunya meremang. Perbuatan terlarang memang selalu mengundang adrenalin yang menantang. Mungkin sensasi seperti itulah yang membuat banyak orang nekat berselingkuh dari pasangannya masing-masing. Hanya dikarenakan ‘rumput tetangga lebih hijau dan menggiurkan’.

Dalam diam. Dalam kegelapan malam. Dalam tiupan angin basah dari hujan deras. Mereka berpelukan saling menghangatkan. Anton menahan keinginannya untuk berbuat kurang ajar. Dia hanya berani memeluk dan mengelus-elus lembut punggung perempuan setengah baya itu.

Dalam pelukan hangat Anton, Bu Farida merasakan rasa nyaman dan aman. Hatinya kebingungan sendiri. Begitu mudahnya ia jatuh ke pelukan pemuda itu, pasrah dan rela. Apa dikarenakan ia merasa kekurangan kasih sayang dengan posisi di duakan oleh suaminya? Atau ia sebenarnya ingin membalas dendam? Ia tidak bisa menjawabnya.

“Bu, kalau sekedar mencium boleh kan?” bisik Anton beberapa saat kemudian.

Tidak ada jawaban, Anton tidak bisa melihat wajah perempuan itu, keadaan memang gelap sekali. Dia hanya merasakan hembusan hangat dari napasnya. Untunglah ada cahaya dari kilat yang membantunya. Dia menunduk, mendapatkan wajah itu tengah menengadah dengan mata terpejam dan bibir tipisnya setengah terbuka.

Anton makin menunduk. Dia mencium kening, lalu pipi, lalu mengecup sangat lembut bibir tipis basah itu.

“Emh, bau rokok,” desah Bu Farida.

Anton nyengir. Tangannya meraih ke cucuran air hujan lalu berkumur.

“Idih jorok!” Bu Farida terkikik geli. Namun kikik gelinya terputus oleh pagutan lembut pemuda itu.

Bu Farida awalnya hanya diam menikmati ciuman dari pemuda itu. namun perlahan tapi pasti, ia mulai balas memagut. Lidah basah mereka saling bertaut, saling jilat, saling hisap. Tangan-tangan mereka mengelus-elus punggung masing-masing.

“Jangan!” rintih Bu Farida mendadak melepaskan ciumannya dengan napas terengah-engah ketika merasakan jari-jari nakal meremas payudaranya.

“Maaf, Bu. Tangan Anton memang kurang ajar. Nih, didudukin saja deh biar tidak kelayapan ke mana-mana!” ujar Anton sambil menyelipkan telapak tangannya ke bawah pantatnya.

Bu Farida tertawa lepas, namun cepat-cepat menekap mulutnya dengan khawatir ketika teringat mereka sedang berada di rumah sakit.

“Sudah ya… nanti ibu bisa-bisa ikutan tidak tahan,” katanya menetapkan hati walau pun hasratnya meronta-ronta menuntut penuntasan.

“Engggh!” Anton mengerang kecewa.

“Sudah ah, resikonya terlalu besar. Kamu harus lihat-lihat situasi, jangan nekat,” ujar Bu Farida sambil berdiri, “tuh, hujan sudah reda. Nanti sesudah kamu makan, pulang ya!”

“Lah terus kalau Anton kangen bagaimana?” tanya pemuda itu dengan nada sedih.

“Entahlah, ibu tidak tahu,” sahut Bu Farida bingung, “nanti saja, kan bisa melalui chat WA!”

“Iya deh. Anton bakal sering-sering main ke rumah ibu,” kata Anton sambil turut berdiri.

”Mmmm, tapi lihat situasinya juga ya. Jangan nekat. Ibu takut,” ujar Bu Farida sambil melangkah pergi diikuti Anton.
***
(Sori dikasih scene kentang, Gan)

:ampun:


:beer: :beer: :beer:


Bersambung ke Bagian III (TAMAT)
 
Harap bersabar adik adik, simpan ke kentangan mu untuk dua Minggu yang akan datang....😂😂🤣
 
Matur nuwun master updatenya 👍
Ashiaaap, Gan...
Selow sajah yah... :beer:
matur sembah nuwun apdetnya
Sami-sami, Hu
:banzai:
Nuhun kang
Sami-sami, Agan...
Wilujeng :baca:
:beer:
suwun barengan :Peace:
Ashiaaap, sami-sami, Juragan
:beer:
Mantap updateannya suhu langsung 2 badan
Biar cepet kelar, Gan... Ahaha
:beer:
Mntabs....
Hatur nuhun udah sempet mampir, Hu
:beer:
Mataps huu
Hatur nuhun pisan, Gan
:beer:
Wahh anton jdi peran utamanya ini mahh, semoga ktemu sma ustadzah ibunya yg stw ummahat, nuhun ki @Jaka_Balung
Waow... Kalo ditambahin mah, bisa sepanjang jalan kenangan atuh, Hu... Alakadarnya sajah lah yak...
:Peace:
Reserved hu
Dicopy, monitor, Gan
:banzai:
Akhirnya update suhu
Kan sesuai komitmen, dua Minggu sekali... Tetap monitor, Gan. Hatur nuhun pisan
:beer:
Ijin baca suhu kuh
Ashiap, Hu...
Terima kasih banyak sudah menyempatkan mampir...
:beer:
,,tung KENTANG kentung,deeerr,, terimakasih banyak untuk update an cerita nya, juragan,, LAN CROOOTT KEN,,
Jhiahaha... Sami-sami, Hu
Kalo ga dikasih yang bikin penasaran mah, takut sepi inih trit... He he
:beer:
Makasih apdetnya lanjoooooot
Siap, Suhu...
Hatur nuhun pisaaan...
:beer:
Harap bersabar adik adik, simpan ke kentangan mu untuk dua Minggu yang akan datang....😂😂🤣
Apah boleh Buntet, Gan...
Cuma 3 episode mah mesti diawet-awet kan... He he
:ampun:
Tumben cepat episode om....😱😱😱
Cuma 3 episode, Hu.
Khawatir progres cerita yang remark ga kelar-kelar...
:ampun:
gas suhu, mantab
Siap, Agan...
Tiap 2 Minggu ajah...
:beer:
Monitoring dan Observasie
Dicopy, monitor, Gan...
Hatur nuhun pisan supportnya...
:beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd