Lala, Gadis Masa Laluku
Album foto masa kecilku masih tersimpan rapi dikamarku. Didalam laci yang selalu terjaga dari kotornya debu karena memang juga sering aku buka dan aku bersihkan, disitulah album penuh kenangan itu kusimpan. Berpuluh lembaran foto masa kecilku ada disana.
Aku membukanya kembali, dan melihat lembar demi lembar foto itu, memutar kembali bayangan kisah masa lalu. Tanganku berhenti ketika lembaran tengah terbuka, dan sebuah foto yang sering ku tatap tanpa puas terpampang disana. Foto masa kecil bersama seorang teman perempuanku.
Ah. Aku tersenyum.
Lala... gumamku tanpa sadar.
Gadis masa laluku yang selalu menemaniku bermain. Lala...
Wajahnya kelihatan imut berdiri disampingku. Rambutnya dikuncir. Bando ungu menghiasi kepalanya. Entah kenapa dalam keadaan bagaimanapun model rambutnya, selalu saja bando itu dikenakannya. Tapi itu yang membuatnya aku segera mengenalinya meskipun dalam kerumunan banyak orang.
Sikapnya yang manja bahkan selalu membuatku senang. Aku merasa dibutuhkan, merasa kuat untuk melindungi dan merasa bahwa Lala selalu butuh aku.
Kangen ga sama dia? Suara mama tiba-tiba mengagetkanku. Buru-buru aku menutup album foto dan berharap mama tak melihatnya. Tapi terlambat. Buktinya mama tahu dan menanyakan kalau aku kangen pada orang yang ada di foto itu.
Kangen pada masa kecil, Ma...ucapku mengelak.
Mama tersenyum penuh arti. Dengan lembut dicubitnya pipiku.
Hmmm. Sudah sebesar ini, anak mama masih malu-malu mengakui ???
Ah, mama...
Aku bangkit duduk ditepi ranjang, disamping mama yang juga sedang duduk ditepi ranjang.
Gadis malang... ucap mama menerawang
Aku tersentak. Sejenak aku menatap mama penuh tanya. Wajah itu mengisayaratkan rasa sedih yang cukup dalam. Entah apa yang dipikirkan mama. Kembali aku membuka album foto dan mencoba memandang foto Lala yang sedang tersenyum manis. Aku mencoba menganalisa penggalan kalimat mama.
Gadis malang..?
Ah. Tak apa-apa, Dim. Mama kangen aja ma dia. Ga tau gimana kabarnya sekarang... Ucap mama seakan mengerti.
Om Tio sekeluarga ga pernah kasih kabar ya ke mama dan papa? Tanyaku
Terakhir kali tiga tahun yang lalu... Jawab mama kembali dengan pandangan menerawang.
Hmmm...
Ah, sudahlah. Mama lagi banyak kerjaan. Tolong kamu ke Mini market, beliin mama barang-barang keperluan. Catatannya sudah mama taruh diiatas meja. Kata mama sambil beranjak pergi.
Nampaknya mama menyembunyikan sesuatu. Tapi apa itu, aku tak tahu.
Segera aku menaruh kembali album foto dalam laci dan segera melaksanakan perintah mama.
~~~**fadilah**~~~
Hmmfffhh..., be-te abis. Antrian di mini market cukup panjang. Aku ada di posisi ke lima belas, bayangkan aja gimana be-te-nya. Tau gini aku ngantri aja di kasir paling ujung sana yang hanya ada lima pengantri. Udah kepalang tanggung. Mau mundur dan pindah antrian juga ga mungkin, ada sekitar enam orang lagi dibelakangku. Lagian siapa tahu kasir diujung sana yang kelihatan sedikit pengantrinya tapi belanjaan mereka segudang..., bisa lebih lama lagi dari antrian yang ini.
Heeeeeyyyy..., ga nyangka anak mama belanja sembako, wuahhhh..., cikikikik... Sebuah suara yang sangat kukenal terdengar. Aku menoleh ke arah kanan antrian. Fadilah!. Gadis itu tersenyum, entah senyum mengejek atau kagum, tapi aku lebih menganggap ini adalah ejekan, meskipun senyum itu kelihatan tulus.
Iya. Emang kenapa?! Jawabku garang. Eh, ini bukan sembako, Nek...!
Fadilah tersenyum. Aku justeru sebal dengan senyuman itu.
Pengen aku merampas tongkat penyangganya, lalu membuangnya jauh-jauh, biar tahu rasa dia ! Jalan tanpa tongkat pasti akan membuat dia kecapean...! Sayangnya itu tak mungkin terlaksana. Aku ada dibarisan antrian kasir 2 sedangkan dia ada dibarisan antrian kasir 3.
Akhirnya, setelah melalui masa penantian dalam deretan antrian panjang, aku sampai juga didepan kasir. Kuletakkan belanjaanku satu persatu ke atas meja kasir yang penuh dalam trolly. Beberapa barang pesanan mama yang semuanya dalam bentuk bahan keperluan dapur. Ugh..! aku merasa seperti tante-tante yang lagi belanja.
Setelah menghitung satu demi satu barang belanjaan yang kutaruh diatas meja kasir, sang kasir cantik nan manis memandangku dengan senyumnya yang bikin hatiku menggelepar-gelepar.
Tujuh ratus tujuh puluh dua ribu empat ratus rupiah... Ucap si Kasir sambil tersenyum menyadarkan aku yang sejak tadi hanya memandangnya.
Buru-buru aku merogoh saku celanaku mengambil uang pemberian mama tadi.
Upppsssss....! Wajahku pucat seketika.
Uang itu tak ada lagi dalam saku celanaku. Dengan panik kurogoh lagi kedua saku celanaku..., tak ada! Saku baju...., Tak ada!
Mati aku..! Bukan hanya akan kena damprat mama, tapi juga akan menderita rasa malu yang dahsyat kali ini!
Mana para pengantri udah mulai memperdengarkan ucapan-ucapan kesal karena leletnya aku membayar, tambah lagi sang kasir memandangku curiga.
Ada apa mas? Tanya si kasir pelan namun agak membuatku panik.
Uhmmmm..., mmaa..maaf..., sebentar mbak. Ini lagi nyari duitnya... Ucapku gugup
Lho?! Si Mas gimana sih? Masa nyari duitnya? terdengar nada kesal.
Iii..i..iya, mbak.., Uang saya hilang...
Si Kasir mulai memperlihatkan wajah tak senang dan curiga. Aku makin panik saja.
Terus gimana dong, mas...
Ng...ng..gimana ya mbak...?
Aku berdiri mematung. Tak tahu mesti bagaimana. Para pengantri makin kesal melihatku.
Pakai duitku dulu, Dim...
Serrrrrrr....
Suara itu seperti guyuran es ditengah panasnya padang sahara.
Fadilah. Si Cacat menyodorkan beberapa lembaran uang seratusan ke arahku dari seberang barisan antrian. Senyumnya terkembang. Tulus.
Aku mencoba menatap dan menganalisa arti bantuannya ini. Lagi lagi si cacat menyelamatkan aku???
Bersambung...