Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

H.o.m.e.

izy

Semprot Baru
Daftar
27 Nov 2014
Post
26
Like diterima
23
Bimabet
H.O.M.E.


-H-


Aku tidak tahu, apa ini yang namanya puber kedua atau hanya sekedar perasaan sesaat saja. Aku juga tidak tahu, mau apa aku sewa kamar hotel untuk berdua, padahal bisa saja aku bertandang ke apartemennya kalau itu cuma untuk menuruti nafsu saja. Rasanya, aku seperti ingin memberikan yang terbaik untuk gadis yang sedang aku tunggui mandinya ini. Dari semua wanita yang aku tiduri, cuma dengan dia saja, aku bisa merasa nyaman. Aku bisa cerita apa saja jika dengannya. Apapun, masalah keluarga, atau bahkan hal remeh macam warna dasi apa yang cocok untukku.

Ah ya, gadis itu akhirnya keluar dari kamar mandi. Lihatlah tubuhnya, tinggi dan sintal. Kulitnya yang cokelat eksotis, memukau tiap pasang mata yang memandangnya. Meski tertutup balutan handuk, namun aku yang sudah hafal sekali dengan tubuh polosnya, bagai melihat tembus pandang—langsung kepada ketelanjangannya. Namun dari semua yang kukagumi, adalah wajahnya. Dia adalah perpaduan ketegasan dan kepolosan, dua sisi berbeda yang dipadu dan dicetak di satu wajah yang begitu... berkarakter, memukau. Ah, gadisku. Kamu seharusnya menjadi model, atau pramugari atau pekerjaan lain yang lebih pantas dari ini.

“Maaf ya Om Hendra, aku mandi dulu. Habisnya mendadak sih, aku juga belum bersih-bersih pas tadi dijemput,” tukasnya. “Oh iya, kenapa di hotel? Tumben, padahal bisa di apartemen aku aja Om. Sayang uangnya, cuma beberapa jam tapi bayar full. Kan bisa dipakai untuk hal lain yang lebih—”

Aku memotong, seraya menarik lengannya hampiri tubuhku, “cari suasana baru, sayang. Om bosan, dengan pemandangan dari jendela kamar kamu. Sesekali cari yang meninggalkan kesan mendalam, biar bisa dikenang terus.”

“Tapi VVIP? Om, ini terlalu...”

Aku sudah tak sabar lagi. Maaf gadisku, tapi nafsu ini begitu membumbung tinggi. Bukan hanya nafsu, tapi juga rasa kasmaran yang baru kurasakan lagi semenjak dua puluhan tahun lalu. Kamu gadisku, yang bisa membuat saya kembali merasakan debar di dada. Ya, kamu. Gadis manis yang kini tengah kutindih dan kunikmati. Kamu, yang sedang kuberi tanda di payudaranya. Kamu, yang terengah-engah oleh permainan lidahku di putingmu.

“Om, hari ini semangat banget sih? Aah... sshhh... pelan-pelan aja, waktu kita masih banyak.”

Gadisku, melihatmu menggelinjang ketika aku cumbui bukit kembar nan elokmu membuatku terangsang sekaligus terpana kagum. Peluh yang bercucuran di sekujur tubuhmu, berbaur dengan bulir air sisa mandi tadi, merupakan terapi visual yang begitu menenangkanku, sekaligus mencambuk semangatku. Kamu adalah ironi, keindahan tiga dimensi milik individu yang polos bak berlian hitam, namun juga kotor dicemari kenyataan. Jika denganmu, aku seakan lupa diri. Lupa akan pekerjaanku, lupa akan masalah pribadi, lupa akan sandiwara yang sedang kujalani—sebagai sosok ayah dan suami sempurna. Jika denganmu, aku menemukan persamaan linear antara nafsu dengan cinta.

“Om... stop dulu... ahh,” dia mendongak, ketika aku menggelitik lubang surgawi yang kini basah ini, “harusnya kan... aaah Om Hendra, ini tugas aku buat muasin Om....”

Bukan, bukan tugasmu untuk memuaskanku. Terbalik, gadisku. Adalah tugasku, untuk mengisi dahaga batinmu akan kepuasan. Kamu sudah cukup bekerja keras untuk memuaskan tamu-tamumu yang lain, tak peduli apakah kamu mendapatkan kenikmatan setara atau tidak. Ini tugasku, untuk membahagiakan batinmu. Tapi gadisku, mengapa aku begitu emosi ketika sekelebatan bayangan tentang lelaki mana saja yang menikmati tubuhmu bermain di benakku? Mengapa aku merasa begitu egois, menginginkanmu untuk kumonopoli sendiri? Salahkah aku, gadisku? Jawab, gadisku! Tapi maaf jika jari-jari ini tak berhenti mengusik liang surgawimu.

“Om, Om... Om Hendra... aku, aku... aaahh, Om... aku mau....”

Ketika tubuhmu mengejang, dan pinggulmu terangkat naik, adalah kepuasan batin untukku. Sungguh, suatu kehormatan menghantarkanmu pada kepuasan. Dan mungkin, kini giliranku untuk mereguk nikmat dariku. Maaf gadisku, nafsu ini memaksaku untuk menzinahimu.

“Om masukin ga apa-apa?” tanyaku. Sungguh, pertanyaan retoris yang harusnya tak usah kuucap. Tapi aku menghormatinya, meminta izin untuk menikmati tubuhnya.

Gadisku hanya mengangguk, seraya melebarkan kaki dan memamerkan bibir kemaluannya yang merah merekah, kontras dengan kulitnya yang eksotis. Aku yang sedari tadi tegang, perlahan mulai menekan masuk kemaluanku setelah memposisikan dengan baik di bibir kemaluannya. Aku tak ingin ini menjadi menyakitkan baginya—meski telah kulakukan berkali-kali. Perlahan... masuk sedikit demi sedikit... dan...

“Aaahhh... Om, mentok banget...,” desahnya, merdu sekali.

Aku memainkan tempo. Perlahan kupompa, dan semakin kutingkatkan intensitasnya, sampai akhirnya nafsu membimbingku untuk mengayuh kenikmatan ini dengan tergesa-gesa, seliar mungkin. Gadisku pun kini mengerang, seraya memelukku erat. Ranjang empuk king size yang kami tiduri ini pun berderit akibat hentakan pinggulku pada tubuhnya. Terus, dan terus... rasa itu telah mengumpul di ujung kemaluanku. Menanti untuk pelepasan, dan entah mengapa aku malah menatap mata gadisku ini, seakan menanti suatu persetujuan.

“Ga... aah, apa... apa... Om. Kalau buat ahh yaa... nggghhh... kalau buat Om, di dalem ga apa... apa....”

Satu hentakan kuat kutujukan untuknya, mengantarkan klimaksku yang dahsyat. Aku melesakkan kemaluanku dalam-dalam, mengisi rahimnya dengan spermaku. Tubuh kami mengejang, dan bisa kurasakan kuku-kukunya menancap di punggungku, seiring dengan kakinya yang mengait kuat di pinggulku. Kami menyatu, dalam beberapa detik penuh euforia orgasme yang luar biasa namun sederhana.

Setelah badai itu mereda, aku menggulingkan tubuh ke samping. Masih dengan nafas memburu, aku menatap wajahnya yang terkesan lega. Pria tambun ini menggenggam tangannya, tersenyum untuknya. Aku bahagia, bukan hanya karena nafsu semata. Gadisku ini, bidadari yang sedang bersandiwara menjadi pelacur, adalah wanita yang bisa membuatku nyaman, melupakan dunia dan realita. Aku bahagia, berada di dekatnya.

“Om masih lama disini? Jangan pulang dulu ya? Temenin aku,” ujarnya.

“Iya, Dinda. Om janji akan temani kamu, selama yang kamu mau.”

Gadisku, merubah posisi menjadi berbaring menyamping, menatapku heran. “Terus, keluarga Om gimana? Ga apa-apa kalau ga pulang?” tanyanya, polos.

Aku menepuk kening. “Iya, sesekali tak apa, Dinda. Om temani kamu menginap, kalau begitu.”

Dinda memelukku erat, berdecak riang atas jawabanku. “Makasih Om. Aku sayang Om Hendra, dan mau Om Hendra nemenin aku, seterusnya. Kalau boleh jujur, aku merasa nyaman sama Om Hendra,” aku gadisku ini.

Aku tersenyum, membelai wajahnya. “Om juga sayang kamu, Dinda. Om juga....”

Dinda, gadisku yang pelacur ini, adalah serum untuk kebosananku akan realita. Akan keluarga. Akan isteriku Marlina, yang sibuk arisan dan bersosialita. Akan anakku Oki dan Erika, yang terlalu sibuk dengan urusan muda mereka. Akan kehidupan kantor yang penuh intrik dan pisau terhunus di balik punggung. Akan segalanya, yang membuatku muak menjalaninya.

Dinda, adalah warna pelangi di kehidupanku yang terdiri dari monokrom. Hitam, putih, dan abu-abu.

-O-


Gue ga abis pikir, barang yang gue pesen dari bulan kemaren, ludes gitu aja. Semua gara-gara cepu bangsat itu, yang ‘nyanyi’ ke para intel soal jaringan distribusi paketan *****. Hampir semua channel gue ludes, beberapa keciduk akibat ‘nyanyian’ si bangsat, sisanya tiarap dan wuuush! ngilang gitu aja. Gue yang udah nanem modal, kepaksa ngerugi dan bingung harus bayar duit modal pake apa. Bagusnya, gue ga ikutan kena, karena selalu pake samaran dan main cantik dalem bisnis ini.

Untuk usaha sabu dan *****, mainannya itu puluhan juta dalam satu paket kiloan. Gila, kalo gue ngerugi sampe hampir ratusan juta gini, mau nutup modal pake apa gue? Jual organ juga ga nutup! Parahnya, duit yang gue pake buat modal itu duit bayar kuliah yang dikasih Bokap. Mampus gue, mana bagian administrasi kampus udah nagih mulu. Duit ga muter, pelanggan lari, distributor ngilang. Lengkap apesnya.

Gue nendang tempat sampah sekeras-kerasnya. Isinya langsung berhamburan, ngotorin pekarangan basecamp. Gila, udah tahap pusing mampus ini sih! Gila, gila, gila! Ayo pikir otak, seenggaknya buat ganti duit kuliah aja deh!

“Oki, ngapain nendang sampah sih? Jadi kotor kan!”

Gue nengok ke asal suara. Ah, si pecun udah bangun ternyata. “Lagi kesel yang, emang ga keliatan?”

Cewek di depan gue ini, namanya Karen. Dia pacar gue, kenal pas dugem di club bilangan Gajah Mada yang sekarang udah tutup. Sumpah, ga ada alesan lain gue naksir dia selain bodinya yang sekel, apalagi goyangannya. Dan udah beberapa hari ini, Karen tinggal di basecamp gue bareng anak tongkrongan. Dia diusir dari kos, karena ketauan make sabu. Yah, pas banget: dia pemake, gue bandar. Dia butuh barang gue, dan gue butuh badan dia. Simbiosis mutualisme.

“Kesel sama siapa sih? Pagi-pagi udah kesel, ga baik tau,” omel dia. Anjing, cerewet banget jadi cewek. “Ki, aku butuh nih. Udah mulai ga enak badan aku. Bagi ya? Ya?”

“Ah elah, gue lagi pusing begini elo bukannya bantuin malah minta ubas! Tai banget sih, lo!”

Karen, tiba-tiba melotot tajem terus marah-marah sambil nunjuk-nunjuk gue. “Eh, gue ga peduli ya lo mau pusing gimana kek! Gue cuma minta jatah doang! Jangan cuma elo yang kepengen ngentotnya aja, ngerti lo?!”

Gue, yang makin pusing langsung ngehajar pintu garasi pake kaki. Karen agak kaget ngeliat gue ngamuk, tapi namanya juga orang kalo otaknya udah rusak sama barang haram, udah ga ada takut-takutnya.

“Elo tuh anjing, Ki! Ngomong aja bisanya! Gue butuh ubas sekarang juga!! Mana janji lo yang awal-awal mau nyetokin gue, hah?! Mana, njing! Bacot lo doang gede, tapi kenyataannya NOL!”

Gue hampir aja kelepasan mau nampol ini cewek. Terus dia ga inget sama ‘jatah’ yang gue kasih selama ini? Anjing ini cewek, ga tau diri banget.

“Woy, elo lupa kalo—”

Karen udah kabur ke kamar, lengkap pake banting pintu. Ninggalin gue, yang makin mumet karena keadaan bener-bener gabisa dikendaliin. Gue duduk, natap kosong ke pekarangan. Lama, sampe akhirnya salah satu temen tongkrongan gue dateng bawa vespa dia.

“Kenapa bro? Muka lau kusut banget kayak jemuran.”

Gue natap dia, lama. Anjing juga ini orang, gue lagi pusing gini malah dibecandain. “Si Karen, ngamuk lagi. Biasa, yunowlah.”

“Emang ga lau kasih? Stok kemana emang?”

Gue geleng kepala. Alhasil, gue ceritain semuanya, dan temen gue ini pertamanya kaget, terus ikutan marah karena pasokan sabu dan ganjanya juga pasti kesendat—karena disini penyedianya cuma gue. Dan kenapa gue cerita, karena meski dia keitung anak baru di tongkrongan gue, tapi dia trust-worthy banget. Awal-awal dia gabung, dibawa sama temen gue. Anak baru broken home, dan gue yang ngeliat kesempatan, nawarin dia produk gue. Dia ketagihan, dan pelan-pelan seiring dengan semakin ketagihannya dia sama sabu dan *****, penampilannya yang cupu juga berubah pelan-pelan. Oh iya, namanya Tomi, eniwei.

“Nih,” dia ngasih gue plastik kecil berisi serbuk putih yang diambil dari dalem sepatu kanan dia, “simpenan gue. Lau kasih Karen, biar supaya dia ga ngamuk lagi.”

“Lah, terus elo gimana? Ga apa-apa ini gue pake dulu?”

Tomi, ngangguk mantep. Gue sih ga ada basa-basi lagi, langsung diterima dan melenggang ke kamar, nemuin Karen. Sesampenya disana, gue langsung lempar plastik kecil itu ke Karen, dan dia jingkrak-jingkrak kegirangan sambil cium bibir gue. Harusnya, kalo udah gini, ngentotin dia ga ada masalah. Sambil dia ngubas pun bisa aja. Tapi gue masih kepikiran sama duit yang ga balik...

Dan itu ganggu gue banget!

“Udah ga marah yang?” tanya gue, mastiin.

Karen lagi nyiapin bong, sempetin senyum manis sambil geleng-geleng. Dia mancing-mancing gue dengan nungging, nawarin pantat sekelnya buat gue lahap. Tapi gue udah keburu males. Ngentot ga bisa balikin duit gue yang udah ilang.

Akhirnya, gue keluar lagi ke garasi. Harus ada minimal duit sepuluh juta buat bayar semester, atau engga gue bakal kena drop out. Otomatis, kalo gue sampe DO, bakal kena marah Bokap. Dan semua fasilitas yang gue pegang sekarang, bakal dicabut. Dan gue gamau itu.

“Gimana, udah ga ngamuk si Karen?” tanya Tomi.

“Udah, tapi gue masih pusing.”

“Soal barang?”

Gue ngangguk. “Itu juga, dan ada lagi yang lain. Emm, Tom...,” gue ngelirik dia, ngumpulin keberanian buat ngutarain ini, “boleh ga gue minjem duit? Sepuluh juta aja, buat bayar semester nih. Entar kalo bisnis udah jalan lagi, cepet-cepet gue ganti. Janji deh.”

Tomi, keliatan resah banget. Dia kayaknya lagi mikir-mikir, dan...

“Bisa aja sih, gue pinjemin. Tapi....”

“Tapi apa?”

“Lo marah ga?”

“Ya apaan dulu?”

“Gue... mau ‘nyobain’ Karen, Ki. Boleh ga?”

Dalam keadaan normal, pasti gue hajar ini orang. Gue tau, dia emang suka banget sama Karen. Tapi sampe lancang ngomong ke gue? Ini anak baru belom pernah dikasih pelajaran. Tapiiiiii, berhubung gue butuh duit, yaudah gue sanggupin aja. Lagi, udah puas make ini. Tinggal buang.

Dan setelah gue iya’in, dia keliatan seneng banget, sampe nyalamin tangan gue dan minta maaf berkali-kali. Dia juga nanya nomer rekening gue, buat transfer duit, saat itu juga. Dan setelah duit ditransfer dan gue cek udah masuk lewat m-banking, Tomi minta gue anterin dia ke kamar. Gue senyum kecut, tapi tetep nganter dia.

Di depan kita sekarang, Karen udah tepar dengan mata merem dan kaki ngangkang. Celananya udah tergeletak di lantai, mamerin selangkangannya yang berbulu. Mungkin dia mikir supaya gampang kalo sewaktu-waktu gue ‘make’ dia.

“Yang,” gue bisikin Karen. “Minta jatah ya?”

“Yaudah, eh ada... Tomi? Mau nonton Tom?”

Gue senyum lebar ke dia. “Bukan aku, tapi Tomi yang minta jatah.”

Karen, melongo mandangin gue lewat mata sayunya. Tapi gue mundur ke belakang, kasih ijin ke Tomi buat pake Karen sepuas dia. Tapi Karen, yang udah lemes, masih bisa teriak-teriak ke gue sementara Tomi makin deket nyamperin Karen.

“Oki! Lo gila ya?! Gue... gue... emang gue apaan? Hah?! Oki! Tom, lo... lo jangan coba-coba, atau... atau... gue, ahhh! Tomi!!”

Gue tutup pintu, ninggalin mereka berdua. Teriakan Karen nyaring kedengeran, tapi gue ga peduli. Duit ditangan, dan sekarang saatnya pulang. Jadi anak baik-baik lagi, pencitraan.

-M-


Aku tengah bercermin seraya merapihkan pakaianku. Kembali memasang perhiasan mahal, menjelma jadi emas berjalan. Aku menatap cermin, tepatnya kepada pemandangan yang dipantulkannya. Dibelakangku, seorang pemuda tengah digarap oleh tiga wanita seumuranku. Pemuda itu begitu gagah, sanggup melayani tiga perempuan haus kepuasan yang bertingkah binal bak wanita jalang. Ah, kalau saja tak diburu waktu, aku pun masih ada di ata ranjang itu, mengayuh nikmat bersama tiga rekan sosialitaku menikmati keperkasaan pria muda.

“Marlin, yakin mau... aahh ooohhh, pulang? Berondong kita... mmhhh yeesss, kali ini... perkasa banget lohhh....”

Hampir saja aku terpengaruh godaannya, jika saja aku tak ingat Erika dan Oki yang menunggu dirumah untuk makan malam. Pencitraan, itu yang harus kulakukan sebagai isteri dari pria terhormat. Menjaga sikap, meski hanya untuk makan malam tepat waktu. Tapi melihat wajah-wajah binal ketiga temanku yang sedang digarap, membuatku goyah. Mungkin satu ronde lagi. Ya, mungkin...

Hampir saja aku membuka kembali gaunku, jika saja tak ada panggilan masuk dari Erika. Aku terpaksa keluar kamar, sekaligus pamit pada ketiga teman arisanku meski, mereka kuyakin tak menyimak sama sekali.

“Ya, kenapa sayang?”

“Ma, aku udah masak buat makan malem. Mama dimana?”

“Mama baru selesai arisan, sayang. Yasudah, Mama jalan pulang ya.”

“Iya, hati-hati Ma. Love you!”

Aku berlalu dari rumah megah ini. Masuk ke fortuner milikku, kemudian bergegas tinggalkan garasi. Sudah jam enam, harus pulang sebelum adzan Isya.

-E-


Hari ini, rutinitas makan malam kami tak lengkap tanpa kehadiran Papa. Tadi kuhubungi, katanya sedang ada pekerjaan mendadak yang butuh konsentrasi tinggi. Alhasil, hanya ada Mama dan Kak Oki yang hadir di meja makan.

“Erika sayang, kamu sudah ibadah Isya?” tanya Mama padaku, ketika kami asyik makan.

Aku mengangguk pelan. Tentu saja, bohong. Bukan ibadah yang kujalani, tapi menyelundupkan pacarku di rumah yang selalu kosong tiap siang ini. Lagipula, Mama yang menganut agama berbeda denganku dan Papa, tak akan mengerti tentang ibadah yang seharusnya kulakukan. Hanya mengangguk cukup, sama halnya ketika kutanya Kak Oki apa sudah menghadiri kebaktian atau belum, dan dijawab dengan anggukan. Sesimpel itu.

“Papa kemana, Dek?” tanya Kak Oki, kini.

“Ada urusan kerjaan, katanya. Mesti nginep di kantor, buat kejar target.”

“Papa kalian itu pekerja keras, memang. Kalian harus bangga, karena punya Papa yang berdedikasi tinggi, untuk pekerjaan dan juga keluarganya,” kata Mama.

“Yah, Oki juga pengen jadi Papa; punya duit banyak, tapi baik dan sukses. Oh iya, masakan kamu agak asin Dek, mau kawin ya, kamu?” kini, giliran Kak Oki yang berceloteh.

“Memang harusnya anak-anak Mama sudah kasih cucu ini. Sudah besar-besar, kalian tumbuh jadi anak-anak yang baik pula. Mama juga bangga sama kalian. Tapi, kapan nih, Mama mau dikasih cucu? Oki? Erika?”

Aku hanya tersenyum kecil, berbeda dengan Kak Oki yang tertawa sembari menggaruk-garuk kepalanya. Ma, mungkin aku yang lebih dulu akan memberi Mama cucu. Tunggu aja enam bulan lagi ya, Ma. Itu pun kalau lahir normal. Tapi, aku masih belum tahu akan kuapakan janin ini. Usianya baru tiga bulan, dan baik aku atau pacarku belum siap menikah.

“Emangnya Mama kepengen banget gendong cucu?” tanyaku, dan dibalas dengan anggukan mantap oleh Mama.

Oh, baik kalau begitu. Aku akan mengurungkan niat untuk pergi ke dokter ********* kandungan. Lagipula, aku takut jika mendengar cerita-cerita temanku yang pernah kesana.

Terima kasih, Mama memang ibu yang paling pengertian sedunia.




FIN.
 
Keren nih ceritanya tapi, Tanggung amat om, gk di selesaikan akhir nya
 
mantab gan....pas eksenya kurang panjang....biar lama mksdnya....hehehhee
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Lancrooottkan suhu

Cerita Indah mengalir bebas,
membawa jiwa mengarung lepas.

Mantap
 
Bimabet
4sudut pandang berbeda dalam 1 cerita
:banzai: lancrutkan
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd