Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Hak Asasi Money 21+ [On Going]

Ditunggu update nya Suhu @barageni.

Ijin kalau bisa diceritakan juga Barageni pas menambah kemampuan beladiri nya, ntah dibuat hampir kalah, terus latihan dimana gitu.
Biar menarik juga, skill bertingkat terus…
 
Pemilihan kosa katanya bagus banget sih. Dah lama ga membaca novel dan cerita yang menggunakan kata "reka kejadiannya". Duhh love love
 
Welah, wes ping seket ngindhik.... Kok yo durung update.... Ckckckck
 
Saya sampaikan kepada semua pembaca disini. Saya hanya berharap tidak ada plagiat yang me-copy cerita saya lalu dikomersilkan. Mohon dengan sangat untuk tidak gegabah. Karena itulah, untuk menghindari plagiat, saya putuskan untuk me-publish cerita Hak Asasi Money hanya 70% saja. Lalu lanjut ke sekuelnya. Sisanya alias plot hole yang saya buat bisa dilanjutkan membaca di novel yang akan saya bukukan setelah sekuel kedua selesai.

Oh iya, karena banyak sekali yang DM saya untuk segera update, mungkin saya bakal update lagi kalau sedikit masalah kerjaan saya selesai.

Mohon bersabar dan salam gendeng!
 
***
23
Darah Biru

Beberapa jam setelah pembantaian para lelaki tajir di sektor selatan, ada sebuah pertemuan tertutup di dalam bunker Dominion Store sektor timur yang dihadiri oleh tiga orang. Dua lelaki, satu perempuan.

King, seorang lelaki berambut gimbal dan berbadan tinggi besar bak anak reggae memimpin rapat terbatas dengan pembahasan yang terarah pada satu topik: Rantai Hitam.

Kedua rekannya, Jack dan Queen, menyimak sambil sesekali menenggak teh hijau dan cemilan ringan yang telah disediakan di atas meja bundar.

Rokok disulut, teh hijau diseruput. King mengakhiri membaca ulang laporan yang diberikan dua rekannya. Sambil bertopang tangan, King membuka diskusi terbuka. “Kedatangan anak itu bikin situasi tambah runyam.”

“Siapa yang menyangka kalau rencana kita sedikit terkendala. Yang seharusnya insiden di pelabuhan lama kita bisa menghabisi Loki atau Rio, malah digantikan orang lain. Mana digagalkan juga sama si Queen,” tandas Jack.

“Jangan salahkan aku. Habisnya anak itu yang dengan pedenya mengambil alih misi. Lebih anjingnya, dia malah melibatkan perasaan sama si janda dan anaknya. Kesel.” Queen memberi klarifikasi.

“Semakin kacau ketika kita tahu siapa sebenarnya anak itu.” King tertawa. Hambar. Tawa menutupi ketakutan yang perlahan menyeruak dibumbui kengerian. Setelahnya, King menghisap rokok. Dibentuk bulat-bulat beberapa kali, sebelum kembali berujar, “Rantai Hitam jadi semakin kuat.”

“Ya bayangin aja, King. Rantai Hitam sudah mendapat pecahan puzzle mereka. Meskipun kita tahu latar belakang si batu terakhir, bukan berarti kita harus lengah. Aku yakin, pasti masih ada yang dia sembunyikan dari kita.”

“Kamu salah, Queen.” Jack menyela, “lebih tepatnya, dia menyembunyikan hal yang penting dari semua orang dengan menggiring opini. Menyembunyikan kebenaran dengan kebenaran lain. Termasuk ke teman-temannya sendiri. Apalagi ...” Jack menunjuk sebuah foto di atas meja. Foto seorang lelaki berwajah beringas dengan anting berbentuk salib di telinga kanan. “Bocah ini berada di pihak anak itu. Dia akan sangat merepotkan. Jauh lebih merepotkan.”

“Kenapa kamu bisa berkata begitu, Jack?” King bertanya-tanya.

“Berto bukanlah tipe orang yang mudah percaya orang. Tapi kalau itu Bara, aku merasakan ikatan persaudaraan yang kuat. Dia bakal melakukan segala cara untuk menjaga Bara yang sudah dia anggap adiknya. Itulah yang aku tangkap dari pembicaraanku bersama Bu Novia. Apalagi malam ini mereka baru saja mengacau di Rumah Bordil Darmo. Semakin sulit untuk mengusik Bara tanpa persiapan yang matang.” Queen yang memberi penjelasan. Panjang lebar. Wajah cantiknya tak pudar sedikit pun meski penuh keringat. Keringat hasil bercocok tanam bersama seorang lelaki untuk mendapatkan sebuah informasi. Berikutnya? Tentu saja nyawa lelaki itu sudah melayang terkena timah panas di jantungnya. Terbujur kaku di dalam kantung mayat di satu ruangan kecil yang ada di dalam bunker tersebut.

King manggut-manggut. “Bisa dibilang, situasi semakin memburuk, ya?”

“Ya. Buruk sekali.” Queen menghela nafas ringan, “kesempatan terakhir kita ya saat insiden di pelabuhan lama. Selanjutnya, aku nggak punya gambaran rencana jelas untuk ke depannya.”

Wajah King berubah kecut. Ia paling tidak suka melihat rekannya pesimis. Namun, yang King hadapi adalah Queen. Gadis polos yang tak sepolos orang kira.

Tak jauh berbeda dengan Jack yang paling junior di sini. Pikirannya melalang buana. Ada sepercik api penyesalan memilih menjadi anjing pemerintah. Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Jack tak punya banyak pilihan jika tak mau kedua orang tuanya mati konyol. Kembali Jack menelusuri sebuah ingatan kelam yang menimpa dirinya. Nasib seorang anak tunggal yang memiliki orang tua kelewat gila hingga berani membongkar aib sebuah instansi. Kecerobohan yang berimbas pada Jack.

“Sebentar. Aku punya ide bagus.” King menatap Jack dan Queen bergantian. Kemudian, tatapannya berakhir pada Queen. “Pakai cara biasa yang dilakukan wanita. Harusnya Queen bisa. Tugas Jack kali ini adalah culik, sekap, dan habisi satu wanita yang dekat sama anak itu. Sisanya biar aku urus seperti biasa.”

Queen menggeleng sambil tersenyum. “Nggak semudah itu, King. Yang sedang kita bicarakan ini seseorang yang memiliki ingon. Apa kamu sungguh ingin menjadikannya musuh setelah membaca laporan yang aku berikan?”

“Keadilanku adalah mutlak. Kota Anggur tidak membutuhkan bocah sok jago.”

“Nyatanya, bocah yang kamu bilang sok jago itu bukan bocah biasa. Apa kamu lupa darah siapa yang mengalir di dalamnya?!” Queen naik pitam. Emosi meledak-ledak ketika tahu ucapannya sama sekali tak dipertimbangkan oleh sekelas keponakan Komisaris Jenderal Kue Lumpur di dalam tubuh Badan Intelijen Negara Berflower.

“Darah biru keluarga Geni sudah binasa. Sabda Geni mati. Dua keturunannya ikut tewas. Hanya istrinya, Ratu Geni, yang selamat, atau sengaja diselamatkan, yang kini justru berbalik dan berniat menghabisi Bara, anaknya sendiri. Apa yang kamu khawatirkan, Queen? Bukankah ini menjadi momentum yang bagus untuk menyiram bensin ke dalam kobaran api?”

Queen mengepalkan kedua tangan di atas meja. “Bodoh. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Demi Tuhan! Lebih baik aku jadi budak preman pasar dibanding berurusan dengan Bara.”

“Kenapa gitu?”

“Cara dia bertarung dan menghabisi musuhnya di luar nalar. Dia nggak segan mengambil nyawa orang. Nggak ada keraguan di matanya. Benar-benar perpaduan buaya dan hiu. Ganas, buas, dan sadis.”

“Efek ingonnya aja kali. Parno amat kamu, Queen,” timpal Jack, santai.

“Diem kamu, Jack. Coba kamu ketemu langsung sama dia, udah ngompol kamu.”

“Serius. Ini lebay.” King nyeletuk.

“Hahaha. Queen emang gitu. Suka heboh sendiri dan melebih-lebihkan. Nyatanya, manusia tetaplah manusia. Punya kelemahan dan bisa mati.”

“Terserah kalian mau menanggapi ucapanku seperti apa. Tapi yang jelas Bara bukanlah tandingan orang-orang biasa. Kalau kalian penasaran, aku sarankan untuk mencarikan Bara lawan yang sepadan, lebih bagus lagi di atasnya.”

“Aku heran. Kenapa kamu kayak yang bangga gitu, seakan Bara itu orang terkuat di bumi?”

“Apa perlu aku pertegas kalau Bara itu orang gila yang kebal bacok? Pedang katana sekali pun nggak mempan. Kulitnya lecet pun enggak.”

“Kebal bacok? Ini bukan semacam lawakan era kolosial, kan?”

Queen tersenyum lebar. Gemas. “Seperti yang kamu dengar, Jack.”

“Tapi kena peluru juga dia berdarah gitu. Harusnya dia mati dengan kaliber 0.8 mm kalau ditembak pas di jantungnya.”

“Jangan ngawur dan asal memvonis Bara mati! Kita bertiga nggak tahu siapa orang yang berada di belakang Bara sampai dia tanpa rasa takut melenggang santai di kota ini. Membunuh, bercinta, mabuk, dan jajan es krim. Bara bukanlah lelaki bodoh. Dia tahu apa yang dia lakukan."

“Kamu ngomong gitu, aku jadi overthinking, Queen.”

“About?”

“Aku punya opini liar kalua Bara juga seorang intel sama seperti kita.”

“Sejauh ini, ini yang paling jauh.” Queen tepuk jidat. “Dengar, para lelaki bodoh. Aku akan memberi informasi tambahan mengapa aku bersikeras agar kalian tidak mengusik Bara. Pertama, Bara punya agenda sendiri. Dia nggak ada hubungan sama sekali dengan kegiatan underground Rantai Hitam. Jadi, lebih baik mulai sekarang kita harus menanamkan anggapan jikalau Bara hanya semacam popok bawang, lah. Cuma menurutku, dia lagi apes aja gabung sama kelompok ekstrim itu. Harusnya Bara gabung kelompok barat, sih. Kedua-”

Jack memotong, “Malah ngawur. Jangan bawa-bawa kelompok barat. Kelas mereka jauh di bawah Rantai Hitam.”

“Oh, ya?” Queen mengikat rambut. Otomatis ketiak putihnya terbuka. Dadanya kian membusung saat momen itu berlangsung beberapa detik. Setelahnya, Queen memberi tatapan tak terbaca kepada King dan Jack. Tatapan yang mengindikasikan jika Queen memiliki informasi tambahan yang akan memuluskan rencana para intel ini ke depannya. “Informasi kedua, Dewa Geni adalah kakeknya Bara. Kalian berdua, terutama kamu, Jack, pasti tahu kan siapa orang tua itu?”

“Pemimpin kelompok barat, Karmapala. Memang nggak sebesar Rantai Hitam, tapi kakek tua itu punya petarung-petarung kuat. Pengaruhnya yang diam-diam menaklukkan kota-kota lain dengan propaganda BTP. Bersih, Transparansi, Profesional. Benar adanya nggak bisa dipandang sebelah mata.” Jack menjawab, ragu. Sedetik, matanya melotot. Menyadari satu fakta kecil yang luput dari pantauan. “Bangsat! Aku baru sadar kalau nama pak tua itu belakangnya 'Geni'. Bukan kebetulan kalau Bara punya marga yang sama. Dan sudah pasti mereka punya hubungan darah.”

Queen menjentikkan jari keras. Mengatupkan sebelah kelopak mata, lalu berkata, “Cakep. Kamu pasti sudah menyadari satu hal, bukan?”

Mata Jack tetiba tajam. Dengusan bau amarah tersembur dari hidungnya yang mancung. “Lawan kita orang pusat.”

Prok! Prok! Prok!

“Luar biasa. Aku akui kalian memang pintar dan cerdas menggali informasi. Nggak salah Komandan memilihmu bertugas di sini, Queen.” King memuji. Tepuk tangan. Jack pun ikut bertepuk, sekadar memuji diri sendiri karena berhasil memecahkan satu misteri. Kemudian, King menegakkan badan. Mengacungng telunjuk ke depan sebelum berujar, “Satu pertanyaanku untuk kamu, Queen.”

Sebagai balasan, Queen menaikkan sebelah alis.

“Kenapa kamu lebih memfokuskan dirimu mencari tahu tentang Bara?”

“Kamu nggak perlu tahu, King. Intinya, kamu nggak menyentuhnya, kamu aman. Selebihnya terserah kamu.”

Bibir King membentuk lengkung sabit senyuman misterius. “Apa jangan-jangan kamu suka sama dia, Dayu?”

“Ayolah. Kita semua sudah sepakat untuk nggak memanggil nama asli.” Queen cemberut imut. Pipinya yang kemerahan karena panas, semakin menambah aura cantik menawan.

“Hahaha. Maaf, keceplosan.” King mengacungkan dua jari membentuk huruf V. “Terus, gimana rencanamu?”

“Kalau kalian berjanji nggak membuat masalah sama Bara, aku akan menjelaskan rencanaku. Rencana jangka panjang.”

“Iya, iya. Sok atuh.”

“Pertama-tama ... kita mulai dari Karmapala.”

Pada saat hendak membubarkan barisan, secara ajaib terjadi perubuhan suhu ruangan. Dari yang semula sejuk nan dingin terpapar AC di sudut ruangan, kini menjadi panas. Panas yang menyiksa hingga menimbulkan berdirinya bulu kuduk tiga anjing pemerintah pusat. Hawa yang lebih mistis ketimbang berada di Tengah-tengah pemakaman kuno. Harusnya percakapan sudah selesai. Namun, pemain baru justru ikut andil ikut masuk ke dalam panggung drama memuakkan. Pemain baru yang tak pernah terlihat di permukaan dalam waktu yang lama. Seseorang yang penuh kharisma, kuat, dan … berbahaya.

“Aku kira penciumanku yang salah. Ternyata ada sekumpulan musang sedang bermain dengan mengambil peran menjadi pahlawan palsu.” Orang itu. Tidak. Pria paruh baya yang memakai setelan jaket kulit dan rokok kretek yang tersemat di sudut bibirnya itu tengah duduk di tangga yang menghubungkan lantai atas dan bunker. Wajah tegas nan mematikan. Tanpa diucap, sorot matanya yang mengancam itu sanggup menjebol dada, mengambil jantung, lalu menginjak-injaknya dengan alas sepatu pantofel yang pria itu kenakan.

Ketegangan di wajah ketiga anjing pemerintah terlihat jelas. Tak ada satu pun yang tak mengenal satu sosok paling berpengaruh di Kota Anggur selama 20 tahun terakhir. Salah satu dari tujuh sosok yang menjadi pelopor terbentuknya Rantai Hitam. Juga penggagas utama wilayah tanpa hukum dan anti korupsi.

“Bagaimana bisa Anda di sini?” meski gentar, King mencoba untuk tetap tenang. Setidaknya untuk beberapa saat.

“Pertanyaan yang sama sekali tak perlu ditanyakan untuk sekaliber maling berseragam yang menjual ***** dari hasil menangkap para maling.”

“Fitnah yang tidak berdasar.” King mulai bisa menguasai keadaan. Ia tak boleh kalah intimidasi. Segera King mengeluarkan aura membunuh yang hanya tertuju kepada si pria paruh baya. “Saya katakan sekali lagi. Tolong tinggalkan tempat ini segera, sebelum saya kehabisan kesabaran.”

“Santai, anak muda. Padahal aku baru datang, lho. Masa harus diusir, sih?” sip ria paruh baya merengut. Sok imut untuk ukuran bapak-bapak anak dua. “Aku cuma mau main-main aja ke sini. Kebetulan aja ketemu kalian.”

“Omong kosong!”

Si pria paruh baya perlahan berdiri. Seraya menghisap rokok, langkah kakinya yang berat menapaki sisa undak-undakan tangga membuat semua orang siaga. King yang menyiapkan kepalan tangan. Jack yang sedang menggengam belati di balik maja. Sementara Queen sudah memegang pistol dan mengokangnya.

“Kalian ini tuli apa gimana?” tukas si pria paruh baya, sembari menyugar rambut klimisnya ke belakang. “Aku bilang … santai.”

“Bisakah Anda mengatakan itu saat rumah Anda kedatangan orang asing yang tiba-tiba minta minum?” pertanyaan sarkas dari mulut King berhasil terlontar.

Kontan saja si pria paruh baya memicingkan mata. “Bisa. Kenapa tidak?”

“Kalau saya jelas tidak bisa. Apalagi orang asing itu adalah penjahat sejati yang menulis cerita sesuai keinginannya sendiri.” King mulai melancarkan aksi provokasi. Berharap jika ia mendapat sedikit informasi penting meski ujung-ujungnya ia harus menghadapi kerasnya kepalan orang terkuat di Kota Anggur.

“Aku hanya datang untuk membuat perhitungan. Pesan singkat untuk kalian, dan untuk dua orang yang sedang bersembunyi di dalam kegelapan ..." baritone berat dibarengi senyum tipis si pria parah baya meruntuhkan keberanian setiap jiwa yang masih berharap untuk hidup. Maka dari itu, yang bisa mereka lakukan adalah mendengar apa yang akan diucapkan oleh si pria paruh baya. "Kalian sentuh Bara, aku pastikan anak cucumu akan makan tanah kuburan. Makam leluhurmu akan aku gali hanya untuk aku bunuh lagi.”

Mengerikan.

Tanpa basa-basi. Ucapan berlabel ancaman yang datang dari seseorang yang disegani seluruh begundal di Pulau Naga ini hampir membuat ketiga orang intel gemetar mendapat ultimatum pertama dan terakhir. Dua kaki mereka yang menopang badan pun sampai lemas. Lunglai. Mereka kalah telak dalam segala lini. Si pria paruh baya di hadapan mereka bukanlah orang yang bisa diajak negoisasi sekali pun yang ditawarkan aset penting sebuah negara.

“Sampaikan salamku kepada komandan kalian. Bara Geni datang ke kota ini untuk menuntaskan dendamnya. Jangan ikut campur apa pun yang terjadi. Karena yang kalian hadapi adalah keponakanku tersayang, orang terkuat kedua setelah aku.”

“Baik, Pak Walikota, Kala Geni.”
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd