Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Hak Asasi Money 21+ [On Going]

Bimabet
***
16
Rumah Bordil Darmo

Jikalau seluruh penjuru Kota Anggur mengenal Rantai Hitam sebagai iblis berhati malaikat, maka Radicai Raiders justru kebalikannya. Kelompok besar yang berbasis di sektor selatan ini hanya memfokuskan bisnis di dunia perlendiran. Julukan yang disematkan ialah malaikat berhati iblis. Itu karena kelompok yang akrab dipanggil RR ini, turut membantu mengentaskan kemiskinan dan mendongkrak ekonomi Kota Anggur dengan cara di luar nalar. Seperti memperjual-belikan wanita dari umur 17 tahun sampai 50 tahun. Hal yang biasa. Terlebih berbagai model wanita dari seluruh dunia dapat ditemui di tempat terkutuk ini. Sebagai pewarna, Rumah Bordil Darmo membuka jasa panti pijat plus-plus, karaoke, melayani pria hidung belang dengan segala fetishnya, sampai bisnis terselubung: jual-beli organ manusia.

"Karena aku pembela kebenaran, jadi aku akan berangkat." Tekad kuat Bara tak dapat dibendung. Ia mengatakan itu dengan wajah sedikit mesum.

"Bajingan. Aku sudah bisa nebak kalau misi yang paling kamu sukai selalu berhubungan sama wanita, dan ngincer memeknya aja."

"Woi. Suara hatimu keluar, lho, Mas Loki." Bara menegur. "Ehem. Aku itu orangnya paling nggak bisa melihat wanita dalam bahaya. Gitu aja nggak paham."

"Bahaya apanya? Orang cewek yang kamu maksud dikasih uang sama enak. Ada-ada aja."

"Kalau gitu ..." Bara melirik Loki sekilas, lantas menaikkan sebelah alis, lalu bertanya, "kenapa misi ini diajukan?"

Terdiam. Loki baru menyadari sesuatu. Ada yang tidak beres dengan misi ini. Apalagi Erwin melabeli level S. Selama satu tahun ini, ia merasa dibodohi oleh cara berpikirnya sendiri. Sudah jelas Bara memiliki sudut pandang yang lain. Dan itu ...

"Perbudakan." Bukan Bara atau pun Loki yang bersuara. Melainkan seorang Berto yang berdiri menjulang bersandarkan kusen pintu kamarnya. "Sebenarnya aku mau ngambil misi itu. Tapi kalian tau sendiri aku sudah punya Sarah."

"Apa hubungannya, Mas Bento?" sambar Bara, geram.

"Ya ada, lah, ho. Kamu ini geblek emang. Polosmu itu lho bikin bijiku bergetar." Berto berjalan menghampiri Bara dan Loki. Berdiri di tengah-tengah mereka, sambil memandangi kertas permintaan Miss Meylia. "Kalau aku nyoba nyelametin gadis ini, mau nggak mau aku harus nikahin dia. Tradisi turun temurun Rumah Bordil Darmo yang masih dipertahankan sampai sekarang."

"Dalilnya apa sampai harus dinikahin segala? Mana mau aku nikahin cewek yang memeknya udah dimasukkin kontol se-kabuparen."

Berto dan Loki kontan tertawa dengan ucapan Bara. Lawakan semi hinaannya sungguh tiada lawan. Apalagi ketika Bara mengatakannya dengan mata melotot. Konyol.

"Penebusan wanita yang ingin kamu keluarkan itu sama seperti mahar. Kamu beli, berarti itu sudah menjadi hak milikku." Loki memaparkan.

"Tanpa dinikahi, apa bisa?"

"Cok. Wes jelas iki niate mek digawe ngguwak peju tok karo jaran kepang iki." (Cok. Sudah jelas ini niatnya hanya dijadikan buang sperma saja sama jaran kepang ini.) Maki Berto.

"Info ngantemi Bara." (Info menghajar Bara.)

"Gas wes. Tak siapno gamanku sek, Mas." (Gas sudah. Aku siapkan senjataku dulu, Mas.)

Bara terkekeh. "Aku orangnya realistis, coy."

"Realistis ndogmu gede seseh, ho." (Realistis biji pelermu besar sebelah, ho.) Berto kehabisan kesabaran. Ia tempeleng pelan kepala Bara. Kebiasaan.

"Terserah kamu aja, lah, Bar." Loki menyerah. Tak ingin lagi mendebat apa pun yang terjadi nantinya. "Jadi, apa rencanamu?" tanyanya, setelah beberapa saat jeda kebekuan.

"Rencanaku?" Bara terkekeh, sebelum akhirnya menambahkan, "aku berencana untuk membawa kemenangan."

"Emangnya kamu mau tawuran, menang segala?"

"Kemenangan itu tidak melulu soal baku hantam, Mas Loki. Ada juga kemenangan memperjuangkan mem-maksudku, orang-orang lemah." Bara mengoreksi.

"Aku ikut." Berto angkat tangan. Mengajukan diri.

Bara mengangguk kecil. "Boleh. Kebetulan aku butuh badut."

"Bajingan."

"Cuk. Bentar dulu!" entah mengapa, Loki panik sendiri. Ia memegang kedua pundak Bara. Menatapnya serius. "Bar, aku titip Berto, ya. Jaga dia, jangan sampai dia tersesat."

"Mas!" Berto melotot sambil menarik Loki dan membungkam mulut embernya, yang membuat sang leader tertawa terbahak-bahak tidak jelas.

"Di kotamu sendiri, kamu tersesat, Mas? Apa gunanya google maps? Minimal tanya orang, lah, dasar bento!" ledek Bara.

"Cok. Aku iku mek bingung titik dalane. Wes, ayo budal, ho." (Cok. Aku ini cuma bingung sedikit jalannya. Sudah, ayo berangkat, ho.) Berto memberi alasan. Lalu, ia kembali ke dalam kamar dengan muka memerah menahan malu, seiring tawa keras Bara dan Loki sukses membuat Berto salah tingkah.

***

Waktu yang tepat untuk para bajingan beraktifitas adalah saat matahari terbenam.

Dengan motor matic Aerox warna biru milik Berto, Bara membonceng Berto yang duduk santai di belakang. Motor melaju kencang membelah jalan menuju ke selatan, tempat di mana Rumah Bordil berada. Perjalanan tanpa obrolan yang berarti hanya memakan waktu 45 menit. Sudah termasuk dua kali terjebak kemacetan di perempatan lampu merah.

Sesuai alamat yang diberikan Loki, Bara dan Berto telah tiba di lokasi. Area super luas mirip benteng Takeshi.

Sejauh mata memandang, terdapat satu bangunan mencolok. Paling besar. Paling bersinar dengan gemerlap lampu di beberapa sudut bangunan.

Jika dijelaskan, arsitektur bangunan Rumah Bordil Darmo menggunakan model Jepang. Hal itu dapat dikenali melalui ciri khasnya dalam penggunaan struktur kayu, pengangkatan massa bangunan menjadi bentuk bangunan yang memiliki panggung, dan penggunaan atap genteng tanah ataupun jerami sebagai penutup bagian atas bangunan. Biasanya, atapnya luas dan menjadi bagian yang dominan pada bangunan tersebut. Selain daripada itu, adanya penggunaan pintu geser yang dikenali dengan fusuma pada umumnya akan diterapkan pada bagian-bagian dindingnya. Penerapan ini menjadi respon dalam memberikan kebutuhan ruang bagian dalam untuk berbagai aktivitas dan kebutuhan yang berbeda.

Penggunaan material kayu dan bahan-bahan alami pada struktur bangunan yang memberikan kesan alami juga menjadi salah satu ciri khas dari gaya arsitektur rumah tradisional Jepang yang diterapkan pada Rumah Bordil. Dalam rancangannya, penggunaan material batu sering dihindari dan hanya digunakan pada tujuan tertentu, seperti halnya pada candi dan kuil.

Rumah Bordil Darmo dengan konsep jejepangan menerapkan budaya dalam hal duduk ataupun jongkok yang dilakukan di atas lantai atau pun beralaskan bantal, sehingga tidak banyak penggunaan furnitur meja dan kursi yang tinggi dalam kehidupan kesehariannya.

Terbentuknya arsitektur bangunan di Rumah Bordil Darmo tidak lepas dari pengaruh budaya Jepang. Berawalnya arsitektur ini dipengaruhi oleh teknik ataupun gaya arsitektur Jepang yang menjadi unsur dominan dalam perancangan arsitekturalnya. Selain faktor budaya tersebut, arsitektur Rumah Bordil juga terbentuk dari faktor penyesuaiannya terhadap berbagai iklim berbeda yang terjadi di sektor selatan. Faktor-faktor eksternal lainnya juga dapat memengaruhi proses terbentuknya arsitektur Rumah Bordil menjadi berbagai hasil rancangan dengan unsur yang heterogen yang disesuaikan dengan konteks masing-masing bangunan tersebut. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa konsep penting yang tetap diterapkan pada arsitektural Rumah Bordil.

Beberapa konsep ataupun elemen penting yang diterapkan pada arsitektur Rumah Bordil Darmo meliputi: Genkan, Mushiko Mado, shoji, tatami, tokonama, byobu, dan engawa.

Pertama ada Genkan. Adalah ruang transisi antara bagian luar dan bagian dalam ruangan. Genkan ini terletak setelah pintu utama. Pada umumnya, dasar lantai Genkan ini dibuat lebih rendah daripada dasar lantai bangunan. Oleh karena fungsinya sebagai area transisi, pada area tersebut sering ditempatkan rak sepatu dan pajangan alas kaki yang akan digunakan ketika memasuki ruangan dalam rumah.

Kedua ada Mushiko Mado, yaitu pintu geser yang biasanya digunakan sebagai pintu utama yang memiliki celah-celah kecil diantara struktur-struktur pintunya.

Berikutnya adalah Shoji. Berupa pintu geser yang memiliki celah besar dengan dilapisi kertas yang biasanya dimanfaatkan sebagai sumber pencahayaan dari luar.

Yang unik ada Tatami. Berupa lantai yang terbuat dari anyaman jerami dan biasanya digunakan pada rumah tradisional Jepang. Selain pada lantai, tatami juga sering digunakan sebagai alas duduk. Tatami ini digunakan untuk menjaga ruangan tetap terasa hangat ketika musim hujan dan menjaga ruangan terasa sejuk ketika musim kemarau.

Selanjutnya ada Tokonama, yang lebih dikenal sebagai area ruangan yang memiliki ketinggian lantai berbeda dengan lantai lainnya. Area ini biasanya menjadi tempat pemajangan koleksi artistik, seperti lukisan, piring, dan sebagainya.

Ada lagi Byobu. Yaitu berupa suatu partisi lipat untuk memisahkan ruangan yang biasanya dihiasi dengan lukisan artistik.

Terakhir, Engawa. Dikenal sebagai koridor luar yang pada umumnya akan terdapat pada rumah tradisional Jepang. Koridor ini terletak pada bagian luar sebelum memasuki ruangan dalam rumah.

Bangunan utama paling besar yang menjadi pusat aktifitas manajemen RR berbentuk persegi panjang dengan dua daun pintu. Material-material kayu yang digunakan pun hanya dilakukan coating dengan tujuan untuk memperpanjang daya tahan kayu dan tidak dilakukan finishing demi mempertahankan motif tampilan serat serta warna asli dari kayu tersebut sehingga dapat menjadi nilai estetika alami terhadap ciri khas Rumah Bordil bertemakan jejepangan.

"Aku berasa di dunia lain." Celetuk Bara, saat ia mulai berjalan merangkul pundak Berto. Mengapa harus dirangkul? Itu karena tadi saat di parkiran, Berto sempat salah memilih jalan. Harusnya lurus, si buta arah justru mengambil jalan ke kanan. Bajingan.

Berto manggut-manggut. "Kamu benar. Aku baru sekali ke sini. Itu pun karena misiku dulu membawa pulang Sarah."

Bara tercengang. Praktis langkahnya terhenti. "What?! Mbak Sarah mantan PSK di sini?!" tanyanya, heboh.

Tangan Berto menepis angin. "Bukan PSK, ho. Ah, sudahlah. Kapan-kapan aja aku ceritain. Sekarang kita fokus ke misimu."

"Apa luka panjang di tanganmu yang tersamarkan tato juga berasal dari sini?"

Berto memutar bola matanya malas. "Mungkin."

"Ternyata kamu misterius juga, Mas." Bara menyeringai.

"Aku tidak ingin dengar ucapan itu keluar dari mulut garangan."

Keduanya tertawa sumbang. Mengundang atensi beberapa orang yang berjalan melewati mereka.

Sampailah Bara dan Berto di bangunan utama. Ada dua penjaga berbadan gempal yang menjaga pintu gerbang berdaun ganda. Pakaian yang dikenakan mereka berupa yukata warna abu-abu, berikut pedang katana beserta sarungnya melekat di pinggang.

"Perihal?" seorang penjaga berkumis tebal bertanya.

"Aku ingin bertemu bos tempat ini," jawab Bara, santai.

Sring!

Dua katana dikeluarkan. Diarahkan tepat di masing-masing leher Bara dan Berto.

"Ada pepatah mengatakan, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Maka dari itu, saya tidak akan membiarkan dua kecoak seperti kalian melanjutkan penghinaan atasan kami." Tandas si penjaga dengan luka vertikal di mata kiri.

"Aku hanya ingin bertemu bos kalian. Bukan ingin menghina. Kalian bisa bahasa manusia, nggak?" tukas Bara. Tak ada ketakutan di wajahnya. Padahal, pedang katana bisa sewaktu-waktu memenggal kepalanya. Kelewat nekat.

"Mulutmu kotor. Tidak sopan!" sentak si penjaga berkumis tebal. Sesaat di mana penjaga tersebut hendak mengayunkan katana menebas leher Bara, sebuah jari menahan bilah tajam katana, seakan pedang itu sebuah pedang mainan.

"Turunkan pedangmu, bro." Seseorang datang dari arah berlawanan. Adalah lelaki muda berparas Jepang menegur dengan senyum tipis, berikut matanya ikut menutup saat ia tersenyum. Tubuhnya atletis dibalut pakaian formal: kemeja putih dibungkus jas hitam, celana kain hitam, serta bersepatu kulit jenis Keeve KBL 180.

"Tuan Kuro." Dua penjaga terpelatuk, lalu menurunkan ketana tanpa disuruh dua kali. Keduanya mundur beberapa langkah, kemudian membungkuk.

"Dari sini, serahkan kepada saya." Lelaki muda yang dipanggil Kuro berkata ringan. Yang kemudian si lelaki mata sipit menatap ke arah Bara dan Berto. "Mari, ikut saya. Sepertinya Anda berdua memiliki kepentingan lain selain bersenang-senang."

"Aku lega kamu peka. Sejujurnya, tanganku sudah gatal ingin menghabisi dua penjagamu saat ini juga." Bara provokasi. Namun, tanggapan Kuro masih tetap sama: senyum ramah tanpa emosi. Berbeda halnya dengan Berto yang sudah ketar-ketir akan sikap kurang ajar Bara di tempat ini. Ingin sekali Berto mengingatkan, tetapi ia tak punya kuasa untuk sekadar mengontrol tindak tanduk Bara.

Sampailah mereka di bangunan utama. Lalu lalang para bawahan Rumah Bordil terlihat cukup sibuk. Dan untuk beberapa saat, mereka menatap ke arah Kuro yang membawa serta dua pemuda asing. Praktis, saat Kuro mendekat, semua orang membungkuk, lalu berjalan menjauh dari sana. Hanya satu orang lelaki yang segera menggeser pintu Mushiko Mado ke samping.

Kuro menapaki undak-undakan kayu, masuk terlebih dahulu. Sedetik, ia menoleh ke belakang dengan gestur kepala. "Mari masuk."

Sesampainya di dalam, Bara dibuat takjub akan desain interior serta furnitur ruangan yang nampak klasik namun mewah.

"Nama saya Kuro." Sambil mengulurkan tangan ke arah Bara, Kuro memperkenalkan diri. "Saya manajer Rumah Bordil Darmo." Lanjutnya, setelah Bara membalas jabat tangan.

"Bara."

"Ngomong-ngomong, lelaki yang bersama Tuan Bara ke mana?" tanya Kuro.

Celingak-celinguk seperti monyet, berikut garuk-garuk kepala. Wajah Bara seketika berubah gamang. "Asu. Aku baru meleng dikit, udah ilang aja si anak setan."

***

Di tempat lain. Tepatnya sebuah bangunan paviliun yang masih bercorak Jepang dengan ornamen klasik. Berto menggeser pintu. Siluet bayangan hitam membentuk satu sosok utuh tengah berdiri membelakangi Berto.

Langkah Berto hanya dua langkah ke depan. Setelahnya, Berto berdeham. Caranya menegur orang tergolong kurang sopan. Alih-alih memperbaiki sikap, Berto justru mengeluarkan aura tak bersahabat.

Itu karena ...

"Aku kira siapa. Ternyata ada pemulung lonte yang datang." Sosok tinggi besar yang tengah membelakangi Berto menoleh ke belakang. Sejurus, balik badan. Berdiri menjulang laksana raksasa di hadapan seekor goblin. "Apa kabar, Berto?" sambutnya, sembari menampakkan seringai mengerikan.

"Senang rasanya mendengar suaramu setelah dua tahun tidak bertemu." Berto tak mau kalah. Ia balas menyeringai. Seringai seekor naga. Naga sungguhan. Meski atmosfir sekitar terasa berat, Berto paksakan kedua kakinya untuk melangkah. Memangkas jarak agar dapat melihat lebih jelas lelaki tinggi besar yang lebih tinggi darinya. Setelah mendongak, Berto kembali berkata, "Kabarku baik ..."





























HADES.
 
Terakhir diubah:
Selamat malam para suhu dan sepuh. Makasih atas respon positifnya. Bolehlah kita mengobrol sejenak sambil saya siapin dua part buat update lagi. Btw, masukan tambahan dari para suhu juga boleh. Siapa tau ide suhu bisa saya sisipkan sedikit di part selanjutnya.

Oh iya. Jangan khawatir soal karakter yang lumayan banyak ini. Inti dari semuanya hanya berfokus di Rantai Hitam. Semua akan masuk ke dalam story pada waktunya.

Satu lagi. Tokoh favorit saya adalah Berto. Mungkin Berto yang punya plot armor paling tebel di antara para penghuni Rantai Hitam, hehe.
 
***
17
Duel Dua Kstaria

Dulu kawan, sekarang lawan.

Dua petarung andalan Rantai Hitam yang kini berseberangan. Semakin bertambahnya usia serta perubahan circle, jalan untuk mencari jati diri keduanya kian terasa berbeda. Yang satu ingin meraih kejayaan melalui jalan berliku, sedangkan yang satu menginginkan jalan lurus tanpa hambatan.

Itulah Berto dan Hades. Dua sahabat yang dulunya akrab, di pertemuan malam ini mereka bagai langit dan bumi. Tak bisa bersatu.

"Jadi penyepong RR, kamu sekarang tambah subur, ya, Hades." Berto mulai menebar provokasi.

Mengambil langkah pertama, Berto meninju dada Hades. Sayang, Hades yang sekarang bukanlah lelaki yang berlindung di ketek Berto. Hades hari ini adalah Hades yang sudah bertransformasi menjadi sosok angkuh nan kuat. Sama sekali tak ada efek apa pun saat Berto mendorong tinju di dada si wajah gahar. Yang ada, justru Hades membusungkan dada. Diamnya lelaki itu dengan wajah mengejek sudah cukup menjadi alasan Berto untuk menarik kepalan tangan.

"Aku hanya berdiri di kelompok yang menang."

"Kamu kira Rantai Hitam kelompok pecinta musang?"

"Lho? Aku kira selama ini Rantai Hitam cuma sekumpulan penjahat kelamin penyuka sesama jenis."

"Bangsat. Kalau yang kamu maksud Mas Putra, dia sudah lama berubah."

"Berubah duburnya tambah longgar, gitu?"

"Walaupun kita berdua tau kalau aku membenci si tukang tidur itu, bukan berarti aku menerima orang lain menghinanya di depanku. Kita di sini bicara soal nyali, Hades."

Hades tepuk tangan. "Salut aku sama kamu, Ber. Entah kamu lagi beruntung atau sial ketemu aku di sini, satu yang pasti." Seraya mengeluarkan ponsel, Hades membuka locksreen. Tampilan pertama yang Berto lihat adalah sebuah rekaman CCTV di mana Bara tengah dikelilingi oleh para samurai di sebuah ruangan. Tak ada jaminan Bara bisa keluar dari sini tanpa luka. Sedetik, Hades memasukkan ponsel kembali ke kantung celana, lalu berucap, "Anak barumu lumayan menarik. Jadi ya, RR sedikit memberi sambutan selamat datang. Hahahaha."

Bukannya cemas, Berto justru menutup mulut dengan telapak tangan. Menahan tawa. "Nggak mempan. Dan, jangan mencoba mengancamku hanya karena kami ada di markasmu. Ingat, yang menjadi ancaman di sini bukan aku."

"Apa maksudmu?" kerutan di dahi Hades terbentuk. Ia mulai terpancing. Suaranya pun sampai naik satu oktaf.

Sebelah bibir Berto terangkat miring. "Anak baruku lebih kuat dariku. Lebih random dari Mas Putra. Lebih jahat dari Mas Rio. Juga lebih gila dari Mas Loki."

"Omong kosong!"

"Kalau kamu nggak percaya, kita lihat saja siapa yang keluar dari ruangan itu. Bara atau para kacung RR."

"BEDEBAH!" sentakan keras dari mulut Hades, disambung dengan mengambil kuda-kuda mantap, lalu mengepalkan tinju yang menarget dada Berto. "Mati kamu, bangsat!"

BUGH! BUGH! BUGH!

Dua pukulan disematkan ke daerah dada, dan satu pukulan terakhir Hades mengarah pada perut Berto yang hanya tertutupi kaos tanpa lengan.

Berto hanya merentangkan tangannya sambil tersenyum mengejek.

Tak berhenti di situ, bukannya makin terdorong akibat pukulan Hades, Berto justru melangkah maju, seakan pukulan bak anak TK yang didapatkannya itu bukan masalah besar. Geli pun tidak. Berto begitu kokoh. Petarung jalanan andalan Rantai Hitam memang tidak mengecewakan.

"Gitu doang, ho?" Berto menaikkan sebelah alisnya, menantang. "Sakit aja enggak, lho. Masih mending pukulan adikmu."

Hades terbelalak. Mundur. Menjaga jarak beberapa langkah. Yang kesakitan bukan Berto, namun tangan Hades memerah dan membengkak.

Mulai merasakan keganjilan, Hades menatap Berto lekat-lekat.

Di bawah cahaya bulan, pemuda tinggi besar yang memiliki wajah gahar dengan anting-anting berbentuk salib di telinga kiri itu mengalami ketakutan yang luar biasa.

Wajah itu ... suara itu ... badan itu ... terasa familiar.

Sekali lagi, Hades memperhatikan rambut hitam Berto yang berubah menjadi putih. Yang ditatap justru berkacak pinggang sambil menggemeretakkan kesepuluh jemari tangan.

"Bangsat! Pecundang! Berani-beraninya kamu bersekutu dengan iblis laknat dan membawanya ke sini?!" Hades berteriak keras, suaranya terdengar horror.

Belum sempat Berto membalas atau pun bereaksi, tiba-tiba saja aura kematian terasa pada tubuh Hades yang mulai bergetar di depannya.

Hades yang sedari awal gaya bertarung tangan kosong, kali ini terasa menakutkan. Sorot matanya yang hijau zamrud berpendar, seiring wajahnya yang menyeringai sadis. Dirobeknya sendiri baju kaosnya. Mempertontonkan full tato yang menghiasi dari dada sampai perut. Tato bergambar dewa kematian, lengkap dengan sabitnya yang melintang sampai ketiak.

Grim Reaper, atau malaikat pencabut. Simbol ketakutan umat manusia. Dan itu menjadi intimidasi tersendiri untuk Hades kepada setiap musuh yang ia hadapi. Tak terkecuali sahabatnya sendiri, Berto.

Srak!

BAM!

BAM!


Kaki Hades mengambil kuda-kuda berbeda. Yang kiri maju, yang kanan menekuk ke belakang, lalu menerjang ke depan, berikut kedua kepalan tangan menghantam kepala Berto bergantian.

Pijakan Berto sampai bergeser ke belakang ... sedikit. Darah langsung mengucur. Bukan di kepala Berto, melainkan di kepalan tangan Hades.

Tenang. Ini belum selesai. Di pukulan berikutnya, Hades mengambil ancang-ancang sedikit membungkuk, mengarahkan hook tepat di dagu Berto.

Hap!

Sebelum pukulan keras Hades menghantam dagu Berto, si kang nyasar menangkap tangan Hades dengan tangan kanan, tepat satu centi saat tangan besar itu hendak mengenai titik berbahaya.

"Dasar. Masih aja lemah." Berto mengejek, wajahnya begitu datar dan dingin.

Baru sekedipan mata, pergelengan tangan Hades dipelintir sampai tubuhnya ikut memutar 360 derajat. Di satu waktu yang sama, Berto membanting tubuh Hades ke tanah.

JEDUGH!

Kepala Hades yang terlebih dahulu menghantam tanah dengan posisi telungkup, dengan tangan Berto masih memegang pergelangan tangan Hades.

Sakit. Hades merasa nyeri di sekujur tubuh. Namun, darahnya yang semakin mendidih mengabaikan hal itu.

Beberapa pasang mata yang melihat pertarungan itu hanya membeku dan diam seribu bahasa. Tidak ada sepotong kata yang terlontar dari mulut-mulut bau sampah penggiat lendir.

Melepaskan cekalan, lantas tangan kanan Berto menjambak rambut gondrong Hades. Wajah si gahar yang bersimbah darah ikut terdongak, seiring sorot matanya yang meredup. Berubah menjadi rasa ketakutan akan kematian.

BUGH!

Dengan tangan kiri yang kekar, Berto menghantam tepat di kedua mata Hades.

"Pukulan ini untuk matamu yang sudah dibutakan oleh uang dan kekuasaan sampai menggadaikan adikmu sendiri, bangsat!"

"ARGH! BAJINGAN!" teriak Hades, kesakitan.

BUGH!

Tak berhenti di situ, dengan tangan yang sama, Berto menghantamkan tinju tepat di mulut Hades sampai gigi si gahar rontok satu persatu.

"Pukulan ini untuk mulutmu yang dengan kurang ajarnya mengatai adikmu sendiri lonte!"

"ARGHHHHH! AMPUNNN! AMPUN! UDAH, BAJINGAN!" Hades mengerang panjang, mengiba pilu.

Setelah mengaduh demikian, tak menyurutkan niat Berto untuk sedikit memberikan siksaan pada kakak kandung Sarah itu sebelum ... membunuhnya.

Melepaskan jambakan pada rambut Hades, tangan Berto berpindah pada kedua tangan Hades yang sudah hancur. Jemarinya nampak sudah tak berbentuk.

Berto berdiri, lalu meloncat ... CRACK! CRACK!

Tangan Berto dengan dibantu kedua kakinya, begitu terampil menarik paksa kedua tangan Hades untuk patah dan remuk gepeng. Tidak ada muncratan darah. Hanya suara tulang belulang yang sudah menjadi satu dengan daging.

"Ugh! Arghhhh!" Hades tak sanggup berkata-kata lagi, hanya tangisannya yang menyayat hati mulai terdengar. Rasa sakit mengalahkan gengsi untuk meneteskan air mata. Tidak sinkron akan badannya yang sebesar beruang madu.

Semua mata yang memandang jalannya pertarungan dibuat geram. Tangan kanan Kuro yang terkenal kuat itu tumbang di tangan seorang pemuda tak dikenal. Memalukan.

"Ampun?" Berto bertanya, sangat dingin, matanya menatap ke belasan orang di luar pavilun yang bersiap menerobos masuk ke dalam. "Aku habisi anak ini dulu, ya, rek. Giliran kalian pasti ada, kok. Giliran untuk para kroco-kroco yang sudah membuat wanita-wanita di sini tersiksa."

Kembali menatap Hades yang sedang mengatur nafasnya yang kembang kempis, Berto mengangkat kedua tangan Hades sampai tubuh si empunya yang sudah lemah itu hanya menuruti kemauan sang raja.

Raja? Tidak juga. Berto sendiri belum memiliki seorang ratu. Sarah? Ah, Berto tidak lebih sekadar memanfaatkan celah kecil untuk sekadar menikmati tubuh adik dari sahabatnya. Tak sebaik yang orang gaungkan, pun tak sejahat yang orang pikirkan.

Sifat Berto ini benar-benar membuat makhluk support systemnya girang. Sifat asli seorang ahli neraka.

Sejurus, tanpa aba-aba, Berto menerbangkan tubuh Hades ke udara. Dan setelah sampai di tanah yang menimbulkan bunyi tulang-tulang patah, di hadapannya, Berto membungkuk, meninju tepat di kening Hades hingga tengkoraknya retak.

Tumbang. Mati. Malam ini, Hades tinggal nama.

"ITU UNTUK KONTOLMU YANG KECIL KARENA BERANI MENUMPAHKAN SPERMA HARAM KE DALAM MEMEK PERAWAN ADIKMU SENDIRI! MANUSIA JAHANAM!!!" bentak, maki, dan geram Berto menjadi satu dalam satu tarikan nafas.

Kejang-kejang sebentar, mulut Hades berbusa, dan dalan hitungan sudah tak bernyawa.

Menegakkan badan, diedarkannya pandangan ke sekelilingnya. Tatapan Berto penuh kebencian serta rasa muak yang tiada bandingannya. Rahangnya mengeras. Giginya bergemelutuk. Tanda-tanda jika kesadaran Berto sebentar lagi akan diambil alih oleh perewangannya.

Tap, tap, tap.

Terdengar langkah kaki yang mendekat. Disusul aroma kemenyan bercampur dupa yang santer tercium.

"Sudah cukup, bocah." Tegur seorang lelaki yang datang dari arah belakang.

Berto menoleh. Terbelalak sebentar, lalu tersenyum samar. "Mada, kah?"

"Kalau kamu sudah tau namaku, berarti aku nggak perlu repot-repot memberitahumu soal bahaya membuat masalah di rumah orang." Ya, lelaki berusia 28 tahun yang dipanggil Mada oleh Berto itu menatap jengkel ke arah si gila. "Tinggalkan tempat ini sekarang juga. Sebelum aku sendiri yang membereskanmu."

"Oh? Ada nyali memang?" Berto terbahak. "Untuk ukuran preman kampus Trinetra abal-abal yang memegang tempat ini, kamu sombong juga, ya, Mada-"

Belum sempat Berto menyelesaikan ucapannya, todongan pistol silver dengan kaliber 0.5 mm diarahkan Mada ke dahi Berto. Jemarinya bersiap menekan pelatuk.

"Peringatan terakhir!" desis Mada.

Semua orang yang ada di tempat tak ada yang bergeming. Bahkan terlihat menunduk. Ada pula yang perlahan meninggalkan area paviliun.

Berto mengambil pistol yang tersembunyi di kantung celana levis bagian dalam, balas menodongkan pistol hitam dengan kaliber 0.4 mm sembari mengangkat dagu. "Aku juga memperingatkanmu, Mada. Aku datang ke sini untuk menyelesaikan urusanku sampai tuntas. Lagipula, masih ada beberapa orang lagi yang harus aku ... bunuh." Seraya menatap ke arah pasukan elit Rumah Bordil Darmo, yang mayoritas di isi oleh para pembelot Rantai Hitam.

Mada menyorot tajam dan gelap. "Semua itu ada sebab akibat. Tidak mungkin orang yang akan kamu bunuh dan sudah kamu bunuh itu melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan persepsimu. Camkan itu. Jadilah dewasa, jangan buat aku mengulangi perkataanku, bocah."

Sorot mata membunuh Mada yang dirasakan Berto lebih kelam dari Loki mode serius. Orang ini sepertinya bisa dijadikan kelinci percobaan, batinnya.

Berto menendang jasad berantakan Hades yang sudah tak bernyawa ke arah Mada. Setelahnya, Berto merogoh belakang kantung celananya. Diambilnya bungkusan rokok. Sedikit penyet, tapi masih utuh.

"Syukurlah." Desah Berto ketika selesai menyulut rokoknya. "Jadi, apa tawaranmu kalau aku nggak mau pergi dari sini?"

"Tidak ada yang ingin kuberikan. Aku hanya memintamu untuk pergi dari sini. Satu lagi, jangan pernah menginjakkan kakimu di Rumah Bordil Darmo kalau cuma mau ngerusuh, atau kakimu akan menginjak yang namanya liang lahat."

"Wah! Boleh juga kata-katamu. Hebat. Bijiku sampai meronta-ronta." Loki bukannya meredakan suasana, malah semakin mengompori.

"Hm." Mada menjatuhkan tangannya, dimasukkan kembali pistol hitam ke balik punggungnya. "Katakan. Berapa wanita yang ingin kamu bawa?"

"Bukan itu tawaran yang aku inginkan." Berto menjawab enteng.

"Lantas?"

"Berikan jabatanmu kepadaku. Bawa sekalian uang-uangmu. Yang hanya tinggal, tentu bangunan dan semua wanita-wanitanya. Karena nantinya yang mengurus para wanita adalah temanku."

Mada tertawa keras. "Hahahaha! Dasar bocah menyebalkan."

Berto maju, menyodorkan rokoknya kepada Mada. "Rokok dulu, Mas." Tawarnya, yang seketika panggilannya kepada sang owner Rumah Bordil Darmo berubah.

"Nggak doyan aku yang murahan." Mada merogoh kantung jaket wolnya berwarna coklat tua, lalu mengeluarkan cerutu, lengkap dengan penjepitnya. "Korek?"

"Nih."

Layaknya seorang mafia, Mada menyulut cerutunya begitu aestetik. Bahu berat sebelah, kepala miring sedikit, dibarengi mata yang terpejam. Sedetik, tercium aroma harum dari kepulan asap yang keluar dari mulut serta hidung Mada.

"Jadi, siapa yang sudah mengusik seorang bocah edan ini?" Mada merentangkan kedua tangannya, sudut bibirnya tersenyum sambil menggigit cerutu.

Berto langsung menyambut dengan rentangan tangan sama, kemudian maju memeluk Mada dengan senyuman lebar.

"Apa kabar, calon kakak ipar?" Berto mengeratkan pelukan, menepuk-nepuk punggung Mada keras.

"Halo, calon adik ipar suka nyampah. Kabar Masmu yang ganteng ini sehat dan sedikit sepet saja." Mada balas memeluk Berto, dipukul-pukulnya pucuk kepala si gila.

Sesaat, kedua orang yang ternyata memiliki hubungan dekat ini melepaskan pelukan masing-masing.

Di mata Berto, wajah Mada masih tidak berubah dari 5 tahun yang lalu ketika mereka kebetulan berpapasan ketika Berto baru pulang dari Arena Street Fighter. Mencari lawan, tentu saja.

Hanya saja rambut Mada yang hitam lebat, ditumbuhi beberapa helai uban putih. Berto maklum. Faktor umur. Dan banyak pikiran.

"Kapan sampeyan mau nikahin mbakku?" Berto membuka percakapan.

"Novia?"

"Siapa lagi, bangsat!"

"Kalem, cok. Aku masih ngumpulin niat."

"Cepetan, ho. Keburu mbakku diambil orang."

"Mbakmu yang kayak kanebo kering itu, emangnya ada yang naksir?"

"Ada satu pawangnya. Kayaknya, mbakku tertarik sih sama dia."

"Asu, lah. Ya udah, besok Minggu kalau nggak hujan, aku datang ke rumah."

"Teko tok, gak nggowo opo-opo? Gak sumbut lekmu rokokan cerutu, Mad." (Datang doang, tidak bawa apa-apa? Tidak sebanding dengan dirimu yang rokokan cerutu, Mad.)

Mada menempeleng kepala Berto pelan. "Ancene nggatheli kon iki. Njambal karo Mas'e dewe." (Memang menjengkelkan kamu ini. Tidak sopan sama Masnya sendiri.)

Berto justru cekakakan. "Sampeyan sek gurung dadi Masku lek gurung ngerabi mbakku." (Kamu masih belum jadi Masku kalau belum menikahi mbakku.)

"Hm."

"Terus piye, Mad?" (Terus bagaimana, Mad?)

"Opone seng piye? Tak ketak batukmu lho suwe-suwe." (Apanya yang bagaimana? Aku jitak jidatmu lho lama-lama.)

"Itu lho, obrolan kita satu minggu yang lalu di telepon."

"Oalah. Gampang itu. Sudah, nggak usah dipikir. Yang penting kita ngikutin arus aja dulu. Tapi ingat, jangan sampai hanyut juga."

"Paham, Mad, paham." Berto melirik ke arah jasad Hades, lalu menunjuknya dengan rokok. "Sorry ya, anak buahmu aku habisin. Personal soalnya."

"Gak masalah. Mata-mata Rantai Hitam memang harus dimusnahkan."

"Soal itu, kamu yang lebih tau."

Alis Mada naik sebelah. Ia berdecak dua kali, sebelum bertanya, "Bukannya kamu juga tau banyak?"

"Rahasia, dong. Nggak seru kalau dibongkar sekarang," jawan Berto, penuh misteri.

"Gak asyik Berto sekarang."

"Hahaha. Cabut, yok. Temenku udah nungguin kayaknya."

"Ya."

"Ngomong-ngomong, ada memek baru, nggak?" tanya Berto, tanpa dosa.

Mata Mada melotot kesal. Kembali tangannya tanpa ragu menempeleng kepala Berto, sebelum berteriak,


























ANAK ANJING!
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd