***
16
Rumah Bordil Darmo
16
Rumah Bordil Darmo
Jikalau seluruh penjuru Kota Anggur mengenal Rantai Hitam sebagai iblis berhati malaikat, maka Radicai Raiders justru kebalikannya. Kelompok besar yang berbasis di sektor selatan ini hanya memfokuskan bisnis di dunia perlendiran. Julukan yang disematkan ialah malaikat berhati iblis. Itu karena kelompok yang akrab dipanggil RR ini, turut membantu mengentaskan kemiskinan dan mendongkrak ekonomi Kota Anggur dengan cara di luar nalar. Seperti memperjual-belikan wanita dari umur 17 tahun sampai 50 tahun. Hal yang biasa. Terlebih berbagai model wanita dari seluruh dunia dapat ditemui di tempat terkutuk ini. Sebagai pewarna, Rumah Bordil Darmo membuka jasa panti pijat plus-plus, karaoke, melayani pria hidung belang dengan segala fetishnya, sampai bisnis terselubung: jual-beli organ manusia.
"Karena aku pembela kebenaran, jadi aku akan berangkat." Tekad kuat Bara tak dapat dibendung. Ia mengatakan itu dengan wajah sedikit mesum.
"Bajingan. Aku sudah bisa nebak kalau misi yang paling kamu sukai selalu berhubungan sama wanita, dan ngincer memeknya aja."
"Woi. Suara hatimu keluar, lho, Mas Loki." Bara menegur. "Ehem. Aku itu orangnya paling nggak bisa melihat wanita dalam bahaya. Gitu aja nggak paham."
"Bahaya apanya? Orang cewek yang kamu maksud dikasih uang sama enak. Ada-ada aja."
"Kalau gitu ..." Bara melirik Loki sekilas, lantas menaikkan sebelah alis, lalu bertanya, "kenapa misi ini diajukan?"
Terdiam. Loki baru menyadari sesuatu. Ada yang tidak beres dengan misi ini. Apalagi Erwin melabeli level S. Selama satu tahun ini, ia merasa dibodohi oleh cara berpikirnya sendiri. Sudah jelas Bara memiliki sudut pandang yang lain. Dan itu ...
"Perbudakan." Bukan Bara atau pun Loki yang bersuara. Melainkan seorang Berto yang berdiri menjulang bersandarkan kusen pintu kamarnya. "Sebenarnya aku mau ngambil misi itu. Tapi kalian tau sendiri aku sudah punya Sarah."
"Apa hubungannya, Mas Bento?" sambar Bara, geram.
"Ya ada, lah, ho. Kamu ini geblek emang. Polosmu itu lho bikin bijiku bergetar." Berto berjalan menghampiri Bara dan Loki. Berdiri di tengah-tengah mereka, sambil memandangi kertas permintaan Miss Meylia. "Kalau aku nyoba nyelametin gadis ini, mau nggak mau aku harus nikahin dia. Tradisi turun temurun Rumah Bordil Darmo yang masih dipertahankan sampai sekarang."
"Dalilnya apa sampai harus dinikahin segala? Mana mau aku nikahin cewek yang memeknya udah dimasukkin kontol se-kabuparen."
Berto dan Loki kontan tertawa dengan ucapan Bara. Lawakan semi hinaannya sungguh tiada lawan. Apalagi ketika Bara mengatakannya dengan mata melotot. Konyol.
"Penebusan wanita yang ingin kamu keluarkan itu sama seperti mahar. Kamu beli, berarti itu sudah menjadi hak milikku." Loki memaparkan.
"Tanpa dinikahi, apa bisa?"
"Cok. Wes jelas iki niate mek digawe ngguwak peju tok karo jaran kepang iki." (Cok. Sudah jelas ini niatnya hanya dijadikan buang sperma saja sama jaran kepang ini.) Maki Berto.
"Info ngantemi Bara." (Info menghajar Bara.)
"Gas wes. Tak siapno gamanku sek, Mas." (Gas sudah. Aku siapkan senjataku dulu, Mas.)
Bara terkekeh. "Aku orangnya realistis, coy."
"Realistis ndogmu gede seseh, ho." (Realistis biji pelermu besar sebelah, ho.) Berto kehabisan kesabaran. Ia tempeleng pelan kepala Bara. Kebiasaan.
"Terserah kamu aja, lah, Bar." Loki menyerah. Tak ingin lagi mendebat apa pun yang terjadi nantinya. "Jadi, apa rencanamu?" tanyanya, setelah beberapa saat jeda kebekuan.
"Rencanaku?" Bara terkekeh, sebelum akhirnya menambahkan, "aku berencana untuk membawa kemenangan."
"Emangnya kamu mau tawuran, menang segala?"
"Kemenangan itu tidak melulu soal baku hantam, Mas Loki. Ada juga kemenangan memperjuangkan mem-maksudku, orang-orang lemah." Bara mengoreksi.
"Aku ikut." Berto angkat tangan. Mengajukan diri.
Bara mengangguk kecil. "Boleh. Kebetulan aku butuh badut."
"Bajingan."
"Cuk. Bentar dulu!" entah mengapa, Loki panik sendiri. Ia memegang kedua pundak Bara. Menatapnya serius. "Bar, aku titip Berto, ya. Jaga dia, jangan sampai dia tersesat."
"Mas!" Berto melotot sambil menarik Loki dan membungkam mulut embernya, yang membuat sang leader tertawa terbahak-bahak tidak jelas.
"Di kotamu sendiri, kamu tersesat, Mas? Apa gunanya google maps? Minimal tanya orang, lah, dasar bento!" ledek Bara.
"Cok. Aku iku mek bingung titik dalane. Wes, ayo budal, ho." (Cok. Aku ini cuma bingung sedikit jalannya. Sudah, ayo berangkat, ho.) Berto memberi alasan. Lalu, ia kembali ke dalam kamar dengan muka memerah menahan malu, seiring tawa keras Bara dan Loki sukses membuat Berto salah tingkah.
***
Waktu yang tepat untuk para bajingan beraktifitas adalah saat matahari terbenam.
Dengan motor matic Aerox warna biru milik Berto, Bara membonceng Berto yang duduk santai di belakang. Motor melaju kencang membelah jalan menuju ke selatan, tempat di mana Rumah Bordil berada. Perjalanan tanpa obrolan yang berarti hanya memakan waktu 45 menit. Sudah termasuk dua kali terjebak kemacetan di perempatan lampu merah.
Sesuai alamat yang diberikan Loki, Bara dan Berto telah tiba di lokasi. Area super luas mirip benteng Takeshi.
Sejauh mata memandang, terdapat satu bangunan mencolok. Paling besar. Paling bersinar dengan gemerlap lampu di beberapa sudut bangunan.
Jika dijelaskan, arsitektur bangunan Rumah Bordil Darmo menggunakan model Jepang. Hal itu dapat dikenali melalui ciri khasnya dalam penggunaan struktur kayu, pengangkatan massa bangunan menjadi bentuk bangunan yang memiliki panggung, dan penggunaan atap genteng tanah ataupun jerami sebagai penutup bagian atas bangunan. Biasanya, atapnya luas dan menjadi bagian yang dominan pada bangunan tersebut. Selain daripada itu, adanya penggunaan pintu geser yang dikenali dengan fusuma pada umumnya akan diterapkan pada bagian-bagian dindingnya. Penerapan ini menjadi respon dalam memberikan kebutuhan ruang bagian dalam untuk berbagai aktivitas dan kebutuhan yang berbeda.
Penggunaan material kayu dan bahan-bahan alami pada struktur bangunan yang memberikan kesan alami juga menjadi salah satu ciri khas dari gaya arsitektur rumah tradisional Jepang yang diterapkan pada Rumah Bordil. Dalam rancangannya, penggunaan material batu sering dihindari dan hanya digunakan pada tujuan tertentu, seperti halnya pada candi dan kuil.
Rumah Bordil Darmo dengan konsep jejepangan menerapkan budaya dalam hal duduk ataupun jongkok yang dilakukan di atas lantai atau pun beralaskan bantal, sehingga tidak banyak penggunaan furnitur meja dan kursi yang tinggi dalam kehidupan kesehariannya.
Terbentuknya arsitektur bangunan di Rumah Bordil Darmo tidak lepas dari pengaruh budaya Jepang. Berawalnya arsitektur ini dipengaruhi oleh teknik ataupun gaya arsitektur Jepang yang menjadi unsur dominan dalam perancangan arsitekturalnya. Selain faktor budaya tersebut, arsitektur Rumah Bordil juga terbentuk dari faktor penyesuaiannya terhadap berbagai iklim berbeda yang terjadi di sektor selatan. Faktor-faktor eksternal lainnya juga dapat memengaruhi proses terbentuknya arsitektur Rumah Bordil menjadi berbagai hasil rancangan dengan unsur yang heterogen yang disesuaikan dengan konteks masing-masing bangunan tersebut. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa konsep penting yang tetap diterapkan pada arsitektural Rumah Bordil.
Beberapa konsep ataupun elemen penting yang diterapkan pada arsitektur Rumah Bordil Darmo meliputi: Genkan, Mushiko Mado, shoji, tatami, tokonama, byobu, dan engawa.
Pertama ada Genkan. Adalah ruang transisi antara bagian luar dan bagian dalam ruangan. Genkan ini terletak setelah pintu utama. Pada umumnya, dasar lantai Genkan ini dibuat lebih rendah daripada dasar lantai bangunan. Oleh karena fungsinya sebagai area transisi, pada area tersebut sering ditempatkan rak sepatu dan pajangan alas kaki yang akan digunakan ketika memasuki ruangan dalam rumah.
Kedua ada Mushiko Mado, yaitu pintu geser yang biasanya digunakan sebagai pintu utama yang memiliki celah-celah kecil diantara struktur-struktur pintunya.
Berikutnya adalah Shoji. Berupa pintu geser yang memiliki celah besar dengan dilapisi kertas yang biasanya dimanfaatkan sebagai sumber pencahayaan dari luar.
Yang unik ada Tatami. Berupa lantai yang terbuat dari anyaman jerami dan biasanya digunakan pada rumah tradisional Jepang. Selain pada lantai, tatami juga sering digunakan sebagai alas duduk. Tatami ini digunakan untuk menjaga ruangan tetap terasa hangat ketika musim hujan dan menjaga ruangan terasa sejuk ketika musim kemarau.
Selanjutnya ada Tokonama, yang lebih dikenal sebagai area ruangan yang memiliki ketinggian lantai berbeda dengan lantai lainnya. Area ini biasanya menjadi tempat pemajangan koleksi artistik, seperti lukisan, piring, dan sebagainya.
Ada lagi Byobu. Yaitu berupa suatu partisi lipat untuk memisahkan ruangan yang biasanya dihiasi dengan lukisan artistik.
Terakhir, Engawa. Dikenal sebagai koridor luar yang pada umumnya akan terdapat pada rumah tradisional Jepang. Koridor ini terletak pada bagian luar sebelum memasuki ruangan dalam rumah.
Bangunan utama paling besar yang menjadi pusat aktifitas manajemen RR berbentuk persegi panjang dengan dua daun pintu. Material-material kayu yang digunakan pun hanya dilakukan coating dengan tujuan untuk memperpanjang daya tahan kayu dan tidak dilakukan finishing demi mempertahankan motif tampilan serat serta warna asli dari kayu tersebut sehingga dapat menjadi nilai estetika alami terhadap ciri khas Rumah Bordil bertemakan jejepangan.
"Aku berasa di dunia lain." Celetuk Bara, saat ia mulai berjalan merangkul pundak Berto. Mengapa harus dirangkul? Itu karena tadi saat di parkiran, Berto sempat salah memilih jalan. Harusnya lurus, si buta arah justru mengambil jalan ke kanan. Bajingan.
Berto manggut-manggut. "Kamu benar. Aku baru sekali ke sini. Itu pun karena misiku dulu membawa pulang Sarah."
Bara tercengang. Praktis langkahnya terhenti. "What?! Mbak Sarah mantan PSK di sini?!" tanyanya, heboh.
Tangan Berto menepis angin. "Bukan PSK, ho. Ah, sudahlah. Kapan-kapan aja aku ceritain. Sekarang kita fokus ke misimu."
"Apa luka panjang di tanganmu yang tersamarkan tato juga berasal dari sini?"
Berto memutar bola matanya malas. "Mungkin."
"Ternyata kamu misterius juga, Mas." Bara menyeringai.
"Aku tidak ingin dengar ucapan itu keluar dari mulut garangan."
Keduanya tertawa sumbang. Mengundang atensi beberapa orang yang berjalan melewati mereka.
Sampailah Bara dan Berto di bangunan utama. Ada dua penjaga berbadan gempal yang menjaga pintu gerbang berdaun ganda. Pakaian yang dikenakan mereka berupa yukata warna abu-abu, berikut pedang katana beserta sarungnya melekat di pinggang.
"Perihal?" seorang penjaga berkumis tebal bertanya.
"Aku ingin bertemu bos tempat ini," jawab Bara, santai.
Sring!
Dua katana dikeluarkan. Diarahkan tepat di masing-masing leher Bara dan Berto.
"Ada pepatah mengatakan, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Maka dari itu, saya tidak akan membiarkan dua kecoak seperti kalian melanjutkan penghinaan atasan kami." Tandas si penjaga dengan luka vertikal di mata kiri.
"Aku hanya ingin bertemu bos kalian. Bukan ingin menghina. Kalian bisa bahasa manusia, nggak?" tukas Bara. Tak ada ketakutan di wajahnya. Padahal, pedang katana bisa sewaktu-waktu memenggal kepalanya. Kelewat nekat.
"Mulutmu kotor. Tidak sopan!" sentak si penjaga berkumis tebal. Sesaat di mana penjaga tersebut hendak mengayunkan katana menebas leher Bara, sebuah jari menahan bilah tajam katana, seakan pedang itu sebuah pedang mainan.
"Turunkan pedangmu, bro." Seseorang datang dari arah berlawanan. Adalah lelaki muda berparas Jepang menegur dengan senyum tipis, berikut matanya ikut menutup saat ia tersenyum. Tubuhnya atletis dibalut pakaian formal: kemeja putih dibungkus jas hitam, celana kain hitam, serta bersepatu kulit jenis Keeve KBL 180.
"Tuan Kuro." Dua penjaga terpelatuk, lalu menurunkan ketana tanpa disuruh dua kali. Keduanya mundur beberapa langkah, kemudian membungkuk.
"Dari sini, serahkan kepada saya." Lelaki muda yang dipanggil Kuro berkata ringan. Yang kemudian si lelaki mata sipit menatap ke arah Bara dan Berto. "Mari, ikut saya. Sepertinya Anda berdua memiliki kepentingan lain selain bersenang-senang."
"Aku lega kamu peka. Sejujurnya, tanganku sudah gatal ingin menghabisi dua penjagamu saat ini juga." Bara provokasi. Namun, tanggapan Kuro masih tetap sama: senyum ramah tanpa emosi. Berbeda halnya dengan Berto yang sudah ketar-ketir akan sikap kurang ajar Bara di tempat ini. Ingin sekali Berto mengingatkan, tetapi ia tak punya kuasa untuk sekadar mengontrol tindak tanduk Bara.
Sampailah mereka di bangunan utama. Lalu lalang para bawahan Rumah Bordil terlihat cukup sibuk. Dan untuk beberapa saat, mereka menatap ke arah Kuro yang membawa serta dua pemuda asing. Praktis, saat Kuro mendekat, semua orang membungkuk, lalu berjalan menjauh dari sana. Hanya satu orang lelaki yang segera menggeser pintu Mushiko Mado ke samping.
Kuro menapaki undak-undakan kayu, masuk terlebih dahulu. Sedetik, ia menoleh ke belakang dengan gestur kepala. "Mari masuk."
Sesampainya di dalam, Bara dibuat takjub akan desain interior serta furnitur ruangan yang nampak klasik namun mewah.
"Nama saya Kuro." Sambil mengulurkan tangan ke arah Bara, Kuro memperkenalkan diri. "Saya manajer Rumah Bordil Darmo." Lanjutnya, setelah Bara membalas jabat tangan.
"Bara."
"Ngomong-ngomong, lelaki yang bersama Tuan Bara ke mana?" tanya Kuro.
Celingak-celinguk seperti monyet, berikut garuk-garuk kepala. Wajah Bara seketika berubah gamang. "Asu. Aku baru meleng dikit, udah ilang aja si anak setan."
***
Di tempat lain. Tepatnya sebuah bangunan paviliun yang masih bercorak Jepang dengan ornamen klasik. Berto menggeser pintu. Siluet bayangan hitam membentuk satu sosok utuh tengah berdiri membelakangi Berto.
Langkah Berto hanya dua langkah ke depan. Setelahnya, Berto berdeham. Caranya menegur orang tergolong kurang sopan. Alih-alih memperbaiki sikap, Berto justru mengeluarkan aura tak bersahabat.
Itu karena ...
"Aku kira siapa. Ternyata ada pemulung lonte yang datang." Sosok tinggi besar yang tengah membelakangi Berto menoleh ke belakang. Sejurus, balik badan. Berdiri menjulang laksana raksasa di hadapan seekor goblin. "Apa kabar, Berto?" sambutnya, sembari menampakkan seringai mengerikan.
"Senang rasanya mendengar suaramu setelah dua tahun tidak bertemu." Berto tak mau kalah. Ia balas menyeringai. Seringai seekor naga. Naga sungguhan. Meski atmosfir sekitar terasa berat, Berto paksakan kedua kakinya untuk melangkah. Memangkas jarak agar dapat melihat lebih jelas lelaki tinggi besar yang lebih tinggi darinya. Setelah mendongak, Berto kembali berkata, "Kabarku baik ..."
HADES.
Terakhir diubah: