Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Hak Asasi Money 21+ [On Going]

***
19
Tawaran

Pemantik dinyalakan pada sebatang rokok yang terselip di bibir seorang pemuda berambut gondrong. Manakala kepulan asap rokok tersebut telah memenuhi sebagian ruangan yang cukup gelap. Bias cahaya samar bulan purnama kuning masuk melalui celah ventilasi yang syarat akan ruangan pengap, dingin, bau darah.

Tak menunggu waktu yang terus bergerak mendekat pukul dua belas, pemuda itu disadarkan oleh sesuatu yang sedikit terlupakan. Memegang rokok di tangan kanan, sedang tangan yang lain merogoh kantung jaket levis, pemuda itu mencari benda pipih andalan. Apalagi kalau bukan ponsel.

Ketemu. Lockscreen terbuka. Menampakkan wallpaper seorang lelaki dan perempuan berlatar belakang pantai di langit senja. Sedikit sayu tatapan si pemuda ketika manik hitam legam itu terpatri pada paras cantik gadis berlesung pipi yang tengah tersenyum lebar tanpa beban memamerkan gigi putihnya. Rasa sesak di dada seketika menurunkan mood si pemuda. Alih-alih meneruskan apa yang hendak ingin ia lakukan terhadap ponselnya, pemuda itu justru kembali mengantonginya, lalu menghisap rokok hingga asap kembali berkolaborasi dengan udara ruangan yang lembab menyasar kulit.

Bukan tanpa sebab. Yang jelas, ada dua hal yang sedang pemuda itu pikirkan. Pertama, sebelas jasad samurai tak bernyawa yang ditumpuk di hadapannya, jelas sudah dipastikan tak memiliki kekuatan apa-apa sekali pun itu bernafas. Kedua, hawa keberadaan entitas di belakangnya, cukup dekat, hingga aroma nafas berbau alkohol santer tercium memuakkan. Pastilah yang diminum itu laksana Paloma campuran jus duren.

"Bekerjalah untuk kami, Bara."

Bara bergidik. Si sableng menoleh tanpa balik badan. Sorot tajam elangnya bertemu dengan sorot pemilik manik abu-abu yang dingin, bengis, laksana dewa kematian seorang pria misterius.

Kiranya Bara sedang diambang nestapa, membuatnya sedikit menurunkan waspada demi memuaskan keterkejutannya mendapati sesosok pria misterius berjubah hitam yang berdiri santai menenteng pedang katana bergagang merah. Auranya kuat dan kental, syarat akan intimidasi yang menguar dari gestur tubuhnya yang menjulang dan air muka di wajah tampan blesteran itu kelewat bikin iri ... tampangnya.

"Aku nggak pernah mendengar kumpulan badut kekurangan anggota." Bara menjawab dingin. Setelah sekian lama bungkam, yang dilanjutkan menghisap rokoknya dalam dan panjang.

"Satu pekerjaan bersih, aku pastikan kamu tidak akan kekurangan uang dan wanita."

"Terdengar menarik. Sayang, aku sudah punya segalanya."

"Aku ganti tawaranku." Pria misterius itu mengulurkan kartu nama berwarna hitam kepada Bara. Kemudian, Bara menerimanya tanpa minat untuk membaca apapun yang ada di dalamnya. Setelahnya, pria misterius kembali berkata, "Hubungi nomor itu jika kamu berubah pikiran. Barangkali aku bisa memberimu petunjuk di mana Saumia berada."

Mata Bara seketika membola. Darahnya mendidih. Wajahnya tegang, meradang. Bara menatap setajam silet si pria misterius penuh amarah. "Jangan sebut nama itu, keparat!"

"Bara Geni. Seorang lelaki gila yang datang ke Kota Anggur dengan banyak agenda. Kalau boleh menebak, prioritas tertinggimu bukanlah mencari pembunuh papa angkatmu. Tapi mencari ...." si pria misterius menahan ucapannya. Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna. Senyum lebar sempurna.

Balik badan sepenuhnya. Tinggi Bara yang sejajar dengan si pria misterius, mematahkan anggapan bahwa tinggi rata-rata lelaki lokal tidak lebih dari 170 centi. Paras tampan menawan dipadukan tubuh kekar berdada lebar nan bidang. Perutnya rata, tanda cetakan enam kotak seksi terbentuk indah dan menggoda kaum hawa. Bukan tidak mungkin andai si pria misterius seorang model, pastilah Bara akan mendapat saingan berat.

"Jangan kamu teruskan." Bara memberikan peringatan terakhir. Menghisap rokok yang masih panjang, kemudian membuangnya ke lantai berdebu, lantas menginjaknya dengan sepatu Macbeth hitam bertakhtakan emas di logonya. "Enyahlah, gendeng. Sebelum aku mempreteli setiap bagian tubuhmu, lalu kupasang di tubuh mbahmu."

Tepuk tangan menggema dari si pria misterius di dalam ruangan tempat pembantaian. Sejurus, pria berpakaian serba hitam itu balik badan. Sebelum benar-benar pergi, ia berkata, "Ada gadis lain yang harus kamu selamatkan dari tempat ini. Namanya Veronica Wong. Keturunan Chinese. Wanita yang menjadi korban pernikahan politik dan berakhir menjadi budak owner Rumah Bordil."

"Konyol." Bara berdecak, "aku nggak akan membahayakan satu-satunya nyawaku untuk menyelamatkan jalangmu."

"Asal kamu tahu, wanita itu bisa menjadi kunci untuk melancarkan beberapa agendamu."

Bara tertawa sumbang. "Omong kosong darimana itu?"

"Kalau kamu nggak percaya ... baiklah. Hanya kebenaran yang nantinya akan terbuka cepat atau lambat. Pesanku tidak banyak, cukup berhati-hati dengan sekitarmu."

Senyap.

Si pria misterius pergi tanpa perlu menunggu jawaban Bara. Ia hanya perlu percaya dan yakin jika setidaknya Bara mempertimbangkan tawaran darinya. Tawaran yang tak sebanding dengan resiko kematian, yang jika bergerak bermodalkan nyali tanpa kalkulasi, jiwanya bisa terisolasi.

***

Di bawah terang sinar bulan purnama, bukan perkara mudah tuk dapat memecahkan misteri gelap gempita Kota Anggur bertajuk resapan darah bertahtakan dosa. Darah yang takkan pernah bisa mengering milik entitas yang mati karena butanya hati terdistraksi ambisi.

Sudah terhitung sebanyak lima kali Bara menghembuskan nafas panjang. Bosan. Rokok pun sama sekali tak membantu mengusir sepi. Apalagi tumpukan mayat berserakan di ruangan tempat ia dijamu oleh Kuro. Kuro? Lelaki berdarah Jepang yang juga ikut dihajar Bara itu masih hidup. Mungkin.

Jika tadi Bara diganggu oleh orang gila sok misterius, sekarang di depan Bara ada Berto dan seseorang yang mengenalkan diri bernama Mada. Dari wajahnya, Bara bisa menebak jika umur lelaki itu kurang lebih sama dengan Tiga Serangkai Rantai Hitam.

Setelah sebelumnya Bara secara singkat menjelaskan tujuannya datang ke mari kepada Mada, tak ada lagi obrolan basa-basi ketika Mada memerintahkan ajudannya melakukan sesuatu yang berhubungan dengan tujuan Bara.

Kebekuan belum cair sampai kedatangan pasukan bersih-bersih. Menggotong mayat para samurai. Membopong Kuro yang masih ada sisa nyawa. Sampai di mana beberapa pekerja bagian pembersih sisa pertempuran di dalam ruangan tersebut mengepel lantai sampai kinclong.

"Kamu beneran mau nebus gadis Jepang itu, Mas?" Mada membuka obrolan. Sembari menghisap cerutu dalam-dalam, ia menatap Bara tajam.

"Aku nggak suka mengulangi ucapanku, Mas. Bagiku, itu sama sekali nggak keren." Bara menyahut ketus.

"Kalau aku boleh ngasih saran, masih ada yang lebih baik dari dia, Mas. Satu miliar terlalu mahal untuk ukuran gadis blesteran yang banyak bertebaran di Kota Anggur. Kalau mau, aku bisa tawarkan blesteran yang anti-mainstream." Mada mulai mengutak-atik tablet miliknya. Menunjukkan urutan para PSK di Rumah Bordil dimulai dari halaman pertama yang memuat 10 PSK terbaik yang dimiliki tempat ini.

Bukannya senang, Bara justru tersinggung. Ia melirik tak minat tablet di tangan Mada, lalu mengambil rokok. Membakarnya. Sebelum akhirnya berkata mengancam, "Yang butuh itu aku, Mas. Bukan kamu. Kalau kamu masih memaksa, aku beli juga lama-lama top sepuluhmu." Seraya menghembuskan asap rokok, berikut helaan nafas panjang. "Jangan membahas di luar topik. Tujuanku si cewek Jepang itu. No debat!"

"Waduh. Iya, iya. Santai aja, Mas. Nggak usah ngegas. Aku cuma nawarin. Siapa tau kamu minat kan kita berdua saling diuntungkan."

"Diuntungkan jempolmu bosok. Nggak lihat apa, manajer sama anak buahmu baru aja bikin orang lemah sepertiku ketakutan di pojokan. Mana ditodong pedang lagi." Bara membeo, "untung aja aku berhasil menendang kepala mereka dengan mudah."

Mada dan Berto saling berpandangan. Sama-sama tersenyum kecut. Sekecut ketiak Bara yang dipadukan lidah buaya.

"Bukan begitu maksudku." Mada melirik Berto. Yang dilirik hanya mengendik. Tak ingin ikut campur. Berto sudah lelah. Tak mendapat dukungan, Mada mencoba mengalihkan obrolan. "Ah, sudahlah. Sambil nunggu gadis Jepang itu datang, apa kamu ada keperluan lagi?"

Untuk mempersingkat waktu, Bara mengangguk. Ia menuliskan sesuatu di atas kertas. Lalu, memberikannya kepada Mada.

Mada mengambil alih. Melihat sekilas, lalu memanggil pelayan. Membisikkan sesuatu, lantas mengangguk paham dengan apa yang diperintahkan sang owner.

Tak lama, pelayan berbeda datang membawakan satu kantung plastik putih berisikan dua barang: satu kotak keju dan Lemon Water. Serta merta diserahkan kepada Mada, lalu diletakkan di atas meja.

Bara tanpa banyak bicara langsung membukanya. Masih dengan tatapan sebalnya, ia memakan keju, dilanjutkan meneguk Lemon Water hingga setengah botol.

"Aku ingatkan ke kamu, ya. Setelah kamu mendapatkan apa yang kamu mau, aku ingin kamu bertanggung jawab penuh. Rumah Bordil tidak menerima keluhan apapun jika ada masalah di antara kalian nantinya. Paham?" baru saja reda sebuah ketegangan, Mada membangun ulang obrolan mengandung baku hantam. Dasar sinting!

"Ucapanmu seolah-olah aku membeli sebuah barang hanya untuk aku jadikan mainan, dasar biji karambol bajingan!" sergah Bara, emosi. "Tai!" sambil telunjuknya mengarah ke atas. "Lu ngeremehin gua!"

"Asu ancene Bara iki. Wayahe serius ngene mesti ndagel." (Anjing memang Bara ini. Waktunya serius begini mesti bergurau.) Kicau Berto, seraya menghisap rokok.

"Menengo kon, ndeng. Aku sumpek. Tak obong rambutmu suwe-suwe lek kakean cangkem." (Diam kamu, gila. Aku buntu. Aku bakar rambutmu lama-lama kalau banyak bicara.)

"Asu, asu. Kumat gendenge. Kon mari kelebon jenglot a, kok ngamukan ngene, ho?" (Anjing, anjing. Kumat gilanya. Kamu habis kemasukan jenglot kah, kok marahan gini, ho?) agak ngeri juga Berto melihat perubahan mood Bara. Salah Mada juga sih pakai segala mengintimidasi si sableng.

Wush!

Prang!


Sarung pedang, Bara lempar ke arah Berto. Tepat sasaran mengenai jidat si tukang baku hantam. Meringis kesakitan, Berto refleks balas melempar. Yang Berto lempar adalah pedang katana.

Wush!

Tak bisa dicegah. Katana sudah terlanjur meluncur. Berto sampai gelagapan. Ia benar-benar ceroboh!

Sedetik. Dua detik.

Dua pasang mata membola sempurna menyaksikan pemandangan di luar galaksi. Katana yang baru saja Berto lempar memang terarah pada Bara. Tapi yang membagongkan, Bara menepisnya ringan. Seolah benda tajam itu hanya mainan.

"Oi, Bento. Kon njalok tak santap temen ancene, yo." (Oi, Bento. Kamu minta aku pukul sungguhan memang, yo.)

"Guyon, ho. Sepurane. Ojok baper talah. Raimu lho koyok kucur lek mbok tekuk mengkeret ngunu." (Bercanda, ho. Maaf. Jangan baper, dong. Wajahmu lho seperti kucur kalau kamu tekuk mengkerut begitu.)

"Raimu mentolo tak cikrak terus tak lebokno sumur." (Wajahmu ingin rasanya aku cikrak terus aku masukkan sumur.)

"Mending kon seng tak jegurno sumur terus tak kek'i pupuk. Sopo eroh dadi eceng gondok." (Mending kamu yang aku tenggelamkan ke sumur terus aku kasih pupuk. Siapa tahu jadi eceng gondok.)

"Iyo. Mari ngunu sikilmu tak jiret, tak seret nang njero banyu. Simsalabim, kombo wong bento karo eceng gondok titisan Dewa Siwa dadi Sumurman." (Iya. Habis gitu kakimu aku ikat, aku tarik ke dalam air. Simsalabim, kombo orang bodoh sama eceng gondok titisan Dewa Siwa jadi Sumurman.)

"Nggatheli cok bajingan, hahahahaha!" Mada terbahak-bahak mendengarkan percakapan lawak Berto dan Bara. Pantas saja Rantai Hitam tanpa pikir panjang menjadikannya bagian dari mereka. Orang Bara-nya seasyik ini. Mada jadi ingin merekrut Bara. Seketika sebuah rencana spontan terpikir olehnya.

Saling jual beli lawakan terus berlanjut. Sampai tak lama, seorang lelaki yang ternyata ajudan Mada datang menghadap. Di belakangnya, mengekor seorang gadis cantik blesteran Jepang. Dibalut white crop top dengan bawahan denim jeans, aura modis si gadis Jepang terasa elegan. Kedatangannya di ruangan ini membuat Bara dan Berto sejenak terpaku.

"Tuan Mada. Saya datang bersama Nona Firly." Yami membuka suara.

Mada mengangguk kecil. "Kamu bisa pergi."

Balas mengangguk, lalu membungkuk. Yami berjalan mundur, kemudian menghilang dalam kegelapan. Menyisakan si gadis Jepang bernama Firly yang tengah membeku di tempat. Ketakutan hebat terpancar di wajah cantiknya menyaksikan hawa dingin menusuk tulang yang sengaja diciptakan oleh ketiga lelaki di sana.

Yang Firly kenal hanya Mada. Dua lainnya belum pernah ia lihat sebelumnya. Bisa jadi dua pemuda yang terlihat seperti penjahat itu berniat memakainya.

Tidak. Firly tak bisa membayangkan jikalau dirinya harus melayani klien yang seperti ini. Apalagi saat pandangan Firly bertemu dengan sorot tajam nan dingin pemuda yang memiliki aura darkness mengerikan. Rasa-rasanya Firly mau pingsan. Bukan karena hawa kematian mencekam yang terpancar, melainkan sorot mata hitam legam pemuda itu seolah magnet yang menghipnotis dirinya untuk taj mengalihkan pandangan barang sedetik pun.

Untuk beberapa lama, Firly masih mematung di tempat. Matanya yang indah, terhitung belum berkedip sejak ia masuk ke ruangan beraroma samar darah ini. Namun, manakala si pemuda berdecih, kontan saja Firly tersadar, salah tingkah.

"Duduklah, Firly." Mada menginterupsi.

Firly menghela nafas pendek. Tangan kanannya terkepa di depan dada. Ia menenangkan hatinya terlebih dahulu, lalu mengambil duduk bersimpuh di atas bantalan empuk zabuton. Menunduk. Tak berani menatap satu pun lelaki di sana.

"Biar aku perkenalkan tamuku terlebih dahulu." Mada melirik Firly sebentar, lalu menatap Berto dan Bara bergantian. "Yang itu Mas Berto, relasi bisnis lamaku. Kalau yang itu Mas Bara, orang yang punya urusan sama kamu." Seraya menunjuk ke arah Berto dan Bara bergantian.

"U-urusan dengan saya, Tuan?" Firly mendongak. Matanya mengerjap beberapa kali. Secara tak sengaja, Firly mendapati Bara yang sedari tadi memperhatikan payudaranya. Dasar. Semua lelaki sama saja. Bajingan.

"Nggak sopan! Perkenalkan dirimu, baru bertanya, jalang!" bentak Mada, kasar.

Tersentak. Badan Firly bergetar. Ia tahu dirinya jalang. Pelacur. Murahan. Tapi, tak perlu sampai diingatkan juga. Terlebih di depan dua orang asing yang belum Firly kenal. Menyebalkan.

"Sa-salam kenal, Kak Berto dan Kak Bara. Nama saya Firly. Firly Greta Anastasya. Saya di sini bekerja sebagai-"

"Aku nggak suka caramu memperkenalkan diri." Bara menyela, sebelum Firly sempat menyelesaikan ucapannya. Kemudian, Bara melemparkan kertas gulungan misi kepada Firly. "Baca dalam hati."

Dada Firly bergemuruh. Berimbas pada gemetar tangannya manaka membuka kertas yang diberikan oleh pemuda bernama Bara. Di bawah temaram sinar lampu di sudut ruangan, Firly menunduk untuk membaca kerta tersebut

Sampai ...

"Apa maksudnya ini, Kak?!" Firly berseru tertahan.

"Rules seorang pelacur adalah menuruti apa kata klien. Bukankah begitu, Prily, sang top global lonte?"

"Brengsek!" Firly menggebrak meja. "Sudah lama aku menahan diri untuk tidak berkata kasar. Kata-katamu adalah yang terburuk dari sekian banyak hinaan yang datang kepadaku!"

Firly mengeluarkan segala uneg-unegnya. Segala keluh kesahnya. Kejengkelan yang disebabkan oleh orang lain, dilampiaskan kepada lelaki yang baru Firly jumpai.

Bara. Wajahnya, suaranya, serta caranya menatap ... Bara memang berbakat menjadi penguji kesabaran.

Nafas Firly naik turun karena emosinya yang menggebu-gebu. Para lelaki sedikit tercenung, tapi tidak dengan Bara. Saat di mana kekurang-ajaran Firly yang sama sekali tak pantas ditujukan kepada klien, Mada mengambil ancang-ancang untuk menggamparnya. Namun, tangannya tertahan oleh deham keras Bara.

"Aku rasa, kita berdua perlu ngobrol." Bara berdiri. Mengulurkan tangan kanan ke arah Firly. "Tunjukkan ke aku di mana tempat kamu biasa ngangkang, Prily."

Urat hijau halus di pelipis Firly mulai berkedut. Emosinya sudah tak bisa di toleransi lagi. Ini salah Bara. Si sableng itu kurang peka jikalau Firly tengah dilanda kebingungan, kekesalan, dan kemarahan. Perasaan negatif bersemayam menjadi satu di dalam hati, yang kemudian dimanifestasikan menjadi kalimat ...




























NAMAKU FIRLY, DODOL!
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd