Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Hak Asasi Money 21+ [On Going]

***
26
Idu Geni

Cahaya hati tercederai tinta hitam sebuah manifestasi darah. Terengkuh dekap sunyi tersapu semilir angin beruntaikan dendam dan kebencian. Nestapa perih yang dimanipulasi dengan lingkar cincin sakit hati tercengkram belati menusuk dada menembus sanubari.

Trigger fakta demi fakta Bara dapatkan dari pengakuan yang terlontar dari mulut Saga dan Jenny -entah kebenaran atau kebohongan- yang kemudian membuat Bara tenggelam dalam lamunan panjang meresapi setitik informasi yang masuk. Setidaknya, kartu yang telah dibuka oleh Saga dan Jenny bisa Bara jadikan acuan untuk menggali lebih dalam untaian benang-benang kusut tuk menjadi satu kesatuan benang merah urutan kebenaran nasib buruk yang menderanya sejak terlahir di dunia.

"Seperti permintaanmu, Mas Saga. Aku akan gabung sama kelompokmu. Hanya saja, aku mengajukan satu syarat." Bara berkata tenang. Meski otaknya mulai melayang akibat alkohol, ia memaksakan diri untuk tetap sober.

"Selama nggak berlebihan, aku nggak akan keberatan."

"Mudah saja. Aku nggak ingin di perintah siapa pun, termasuk kamu."

"Tentu saja, Bar. Nggak ada yang bisa merintah kamu kecuali diri kamu sendiri. Tahu kenapa?" Saga tersenyum lebar. Memperlihatkan seringai memuakkan yang rasa-rasanya Bara ingin menghantamkan balok ke mulut si gigolo. Saat melihat Bara yang hanya menaikkan sebelah alis, Saga kembali berkata, "karena kamulah yang memimpin kami."

"Melawak. Kenapa nggak kamu aja?"

Sebelum menjawab, Saga kembali menuang minuman ke sloki. Memutarnya berurutan.

Setelahnya, Saga hendak menjawab, namun Jenny menginterupsi. Seraya membakar rokok putihan, si wanita bule berkata, "Di mana-mana, yang berdarah Geni selalu berada di puncak, Bara."

"Aku nggak peduli soal darah siapa yang mengalir di nadiku. Selagi warnanya masih merah, aku lebih senang jadi awak buah kapal dibanding nahkoda."

"Oh, gitu." Jenny hanya manggut-manggut saja.

Bara garuk-garuk kepala seperti monyet. "Bentar dulu. Ini kok ngobrolnya kayak lagi nongkrong. Woi, Saga gendeng. Kita kembali ke topik, lah."

"Jamput. Ya kamu itu yang out of topic. Kok malah nyalahin aku, sih." Saga menjawab kesal. "Wes, sekarang gimana?"

"Aku mau tanya. Banyak."

"Gak bahaya, ta?"

"Wes basi, ndeng. Sak iki usume kiw-kiw cukurukuk, tempek mambu." (Sudah basi, gila. Sekarang musimnya kiw-kiw cukurukuk, vagina bau.)

Saga melempar korek ke kepala Bara. "Empuk jeru, sat! Empuk jeru! Guduk tempek mambu. Guoblok, blok, blok, peng telu." (Empuk jeru, sat! Empuk jeru! Bukan vagina bau. Guoblok, blok, blok, tiga kali.)

"Ancene asu. Kenek batukku, ndeng." (Dasar anjing. Kena jidatku, gila.) Bara balas melempar bekas tutup botol alkohol.

"Kon ket wingi kok seneng seh ngganti-ngganti lirik. Hargai karya orang, cok." (Kamu dari kemarin kok senanf sih ganti-ganti lirik. Harga karya orang, cok.)

"Sakarepku, seh. Suwe-suwe peno kakean ngatur koyok tukang parkir ae." (Terserah aku, sih. Lama-lama kamu banyak ngatur seperti tukang parkir aja.)

"Cok. Papa Bara nggatheli janan." (Cok Papa Bara menjengkelkan sekali.)

"Asu kon. Ojok nyeluk aku ngunu, Ga. Poleh kangen bocil aku." (Anjing kamu. Jangan manggil aku begitu, Ga. Malah kangen bocil aku.)

"Iyo, iyo. Terus yak opo kelanjutane iki?" (Iya, iya. Terus gimana kelanjutannya ini?)

"Yo terusno infone peno seng sempet mandek mau, ndeng, gendeng. Tak jejeli bawok kapok peno." (Ya teruskan infomu yang sempat terhenti tadi, la, gila. Aku jejali vagina tahu rasa kamu.)

"Dadi ngene, lho, Bar." (Jadi begini, lho, Bar.)

"Ngene opo maneh, seh? Lak kesuwen peno iki." (Gini apa lagi, sih? Kan kelamaan kamu ini.)

"Menengo sek talah. Nyoh, gelas cilike sek. Cek tambah masok lek curhat. Nek gak ngunu utekku tambah mborodol kalang kabut mensiasati ngondol bojone uwong." (Diamlah sebentar dulu. Nih, gelas kecilnya dulu. Biar tambah mantap kalau curhat. Kalau tidak begitu otakku tambah tercecer tak karuan mensiasati mencuri istrinya orang.)

Biar dibuat jengkel bukan main oleh Saga, Bara tetap menerima sloki dari tangan Saga. Menenggaknya sampai tandas, lalu menaruh sloki di lantai. Kemudian, Bara mengusap mulut dengan punggung tangan sebelum berkata gamang, "Ealah. Iki kape berbagi info ta sesi curhat seh sakjane? Suwe-suwe tak kumpo lho dengkule peno lek gak ndang ngomong." (Ealah. Ini mau berbagi info apa sesi curhat sih sebenarnya? Lama-lama aku pompa lho lututmu kalau tidak cepat ngomong.)

Wajah Saga seketika serius. "Ngene, lho, sat. Rungokkan." (Begini, lho, sat. Dengarkan.)

"Poseng aku. Rungokkan iku boso endi maneh, ndeng?" (Pusing aku. Rungokkan itu bahasa mana lagi, ndeng?)

"Boso kene, lah." (Bahasa sini, lah.)

"Iku boso seng sejenis ambek seng seneng ngomong cok tapi k-ne diganti g. Jadi cog, cog, ngunu, lah. Asu ancene. Sok edgy mentolo tak celukno malaikat cek gak nyumpek-nyumpeki bumi." (Itu bahasa yang sejenis sama yang suka ngomong cok tapi k-nya diganti g. Jadi cog, cog, gitu, lah. Anjing memang. Sok edgy, geregetan aku panggilkan malaikat biar tidak menuh-menuhi bumi.)

Saga geleng kepala. "Ya sabar, Bar. Kan mereka-mereka itu kaum ngabers. Terdengar cringe dan sok asyik emang, tapi logatnya udah mendarah daging."

"Gimana bisa sabar. Ini semua gara-gara streamer-streamer gaming yang sok misuh pakai kata cok tapi pelafalannya bikin geli. Mana bocil-bocil yang nonton pada ngikutin," papar Bara dengan nada jengkel.

"Terus gimana maumu?"

"Hmm. Berhubung aku sekarang gabung di kelompokmu, gimana kalau misi pertama kita culik dan bunuh streamer-streamer kontol itu? Satu dulu buat pelajaran."

"Ide bagus. Buat pemanasan sih boleh tuh. Ada yang mau nikah tuh, Bar, btw. Calon istrinya cantik." Saga tersenyum mesum.

"Otakmu selangkangan. Ya udah, sikat aja. Tapi sek dulu. Kita balik ke topik."

"Setuju."

Dengan Jenny sebagai tukang nyimak obrolan dua pemuda mabuk, mulailah Saga membeberkan informasi demi informasi kepada Bara.

Ditemani putaran minuman sampai tetes terakhir, pun belasan puntung yang berserakan, ketiga anak manusia sedang larut dengan dunianya masing-masing.

Informasi yang tersembunyi dan baru Bara diketahui dari mulut jahanam Saga, bisa jadi beban tersendiri untuk Bara mengambil sikap. Pasalnya, dari sekian banyak wanita di dunia, hanya Jenny yang sudah bersuamikan Kala yang dipilih Saga untuk jadi istrinya di masa depan. Perbedaan usia mereka terpaut jauh. Saga yang 23 tahun, Jenny yang 38 tahun. Perbedaan umur 15 tahun terlalu mencolok. Tak mengherankan. Sebab, tak sedikit anak kost terpikat dan jatuh hati dengan ibu kost. Bajingan.

Belum lagi Saga yang berencana menghancurkan Rantai Hitam karena ia memiliki dendam tersendiri dengan salah satu penghuninya. Dendam lama yang baru hari ini Saga niatkan untuk merealisasikan bersama si anak baru.

"Hahahaha." Bara tertawa keras, "jadi ... siapa yang mau kamu habisi, Ga?" tanyanya, sesaat setelah tawanya reda.

Senyum tipis nan mengerikan terbit di bibir Saga. "Tentu saja orang yang telah membuatku terkurung di Rantai Hitam karena aku telah meniduri ibunya. Orang yang sama, yang membunuh papa angkatmu."

Bara memainkan kedua alisnya naik turun. "Spill dikit, dong."

"Manuknya?"

"Bukan. Kepala bapak kau. Yo jenenge, lah, ndeng. Cok'i." (Bukan. Kepala bapak kau. Ya namanya, lah, gila. Cok ini.) Sembur Bara dengan suara khas orang mabuk. Emosi mulai menguasai. Entah mengapa, menatap wajah Saga membuat Bara kesal sekali.

"Nah, lho. Wes mulai kentir kon. Omonganmu wes gak isok dijogo." (Nah, lho. Sudah mulai sinting kamu. Omonganmu sudah tidak bisa dijaga.)

Bara tertawa cekikikan. "Gak opo. Daripada gendaanmu seng tak jogo." (Tidak apa. Daripada pacarmu yang aku jaga.)

"Bangsat. Tambah ngalor-ngidul ngomonge arek iki. Wes hop sek ngombene. Ndrawasi lek mendem kon, Bar." (Bangsat. Tambah ke sana-ke mari ngomongnya anak ini. Sudah cukup dulu minumnya. Mengkhawatirkan kalau mabuk kamu, Bar.) Saga parno sendiri. Memang sih ia belum pernah melihat Bara mabuk. Kalau sudah sampai mabuk seperti ini, bisa jadi beban pikiran Bara sangatlah berat. Setidaknya Saga akan berusaha menjadi teman yang baik untuk tetap di samping sang calon pemimpinnya di masa depan.

"Hehehe. Lanjut ae. Sek kuat aku. Ndang puteran, timbangane gulumu seng tak puter nganti pedot tel terus tak pepeh, tak dadikno peyek." (Hehehe. Lanjut aja. Masih kuat aku. Buruan putar, daripada lehermu yang kuputar sampai putus terus aku jemur, aku jadikan peyek.)

"Cok! Ngeri temenan arek iki. Sumpah." (Cok! Ngeri sungguhan anak ini. Sumpah.)

Melihat Bara yang setengah ngereog, mengundang reaksi Jenny untuk mencoba menetralkan suasana. Ia membuka Lemon Water milik Bara, lalu memberikannya pada si sableng. Bukannya diterima, Bara justru menampiknya kasar hingga ekstrak air lemon tersebut tumpah ke lantai balkon.

"Bara. Sadar, Bar." Jenny menepuk-nepuk pipi Bara pelan. Menatap dalam ke arah manik hitam si sableng.

Bara semakin terkekeh seperti orang gila. Menunduk sambil menggeleng-gelengkan kepala, Bara menengadah ke atas. Lalu, bola matanya menatap ke bawah tepat ke arah Jenny yang wajahnya perlahan berubah menjadi seseorang. Seseorang yang Bara rindukan.

"Hei, Sau. Beritahu kepadaku ..." Bara bergumam. Dadanya bergemuruh. Masih dengan tatapan yang sama, Bara memiringkan kepala ke kanan seperti anak kecil, sebelum kembali berkata, "apa kamu masih mencintaiku? Apa ... apa ... apa aku selemah itu sampai kamu mengkhianatiku? Hei, Saumia. Jawab. Apa kesetiaanmu hanya setara dengan uang? Uang? Hahahaha! Brengsek!"

Hingga insiden kecil pun tak terhindarkan. Dalam pengaruh alkohol 55% dari Macallan 18 Y.O yang dibawa Saga, tanpa tedeng aling-aling Bara memajukan badan. Matanya sayu. Bibirnya setengah terbuka, lalu menerjang bibir tipis Jenny.

Cup!

Mata Jenny terbelalak. Tak berbeda jauh dengan Saga yang langsung melotot. Baik Jenny mau pun Saga tak bergeming. Seolah terhipnotis akan tindakan Bara yang secara tiba-tiba mengecup bibir Jenny. Tak hanya itu, saat sentuhan hangat antara kedua bibir bertemu, si sableng melumat dan menghisapnya kuat.

Meski Bara adalah keponakannya, Bara tetaplah seorang lelaki. Lelaki dewasa. Tak bisa Jenny mengelak jikalau ciuman ini tak berefek padanya. Tanpa sadar, mata Jenny berangsur redup, lalu menutup. Jenny pun membalas ciuman Bara. Lembut dan penuh rasa.

Keduanya berciuman dengan perasaan berbeda. Bara yang diliputi rasa kemarahan dan kebencian di dada dalam pengaruh alkohol, sementara Jenny membawa perasaan rasa bersalah telah mengabaikan selama bertahun-tahun, ia putuskan untuk menebus kesalahannya. Saat ini juga, meski harus bermain gila dengan keponakannya sendiri.

BAM!!!

"BAJINGAN!"

Sebuah pukulan menghantam rahang Bara. Kontan saja ciuman Bara dan Henny terlepas. Tapi tidak dengan Bara yang masih tetap bergeming di tempat. Melirik tajam ke arah kepalan tangan kurang ajar yang berani memukulnya.

"Mati. Mati. Mati." Ucapan Bara memang seperti analogi kemarahan. Tapi, siapa sangka jika itu bisa jadi kenyataan.

Saga. Si gigolo merasakan aneh pada tubuhnya. Darahnya seperti terkuras. Mendidih. Dan mengering. Saga terduduk lemah. Matanya mendidik dengan mulut menganga.

Di sisi lain, Jenny yang melihat itu hendak menolong Saga. Tetapi sayang, tangan Bara masih tertahan di pinggangnya. Insting Jenny mengatakan jika ia tidak boleh menatap Bara kalah tidak ingin hal buruk juga terjadi padanya. Entahlah. Bara terasa seperti sosok yang tak bisa dipahami.

Yang Jenny lakukan hanya menunggu. Berharap tindakan Saga tiba-tiba tersebut tidak berimbas pada pertikaian antar dua teman yang baru saja membentuk party hiburan. Sampai ...

Wush!

Sebuah angin menerpa arah balkon.

Satu entitas asteal yang tiada lain adalah iblis milik Saga sendiri muncul. Sang Iblis Bulan, Selena. Tanpa kata, ia segera merengkuh tubuh Saga. Menenggelamkan wajah Saga ke tengah-tengah payudaranya yang hanya tertutupi gaun tipis.

"Bocah. Jangan lihat mata anak itu. Jangan dengarkan suaranya juga. Kamu bisa mati. Tenang. Kamu tenanglah. Ikuti perkataanku kalau kamu tidak ingin mati. Pejamkan matamu. Atur nafasmu."

Saga linglung. Tapi ia masih bisa mendengar suara Selena yang tiba-tiba muncul di depannya, dan langsung memeluknya. Meski tidak tahu apa yang terjadi, tanpa disuruh dua kali, Saga menuruti ucapan sosok wanita cantik berbau melati itu.

"Huh ... huh ... huh ...." Nafas Saga perlahan teratur, seiring energi aneh yang merangsek masuk ke dalam tubuhnya. Menetralkan energi negatif yang sebelumnya menginvasi aliran darah di tubuh.

Satu sosok lain datang dari udara kosong. Bathory. Berdiri di atas pagar balkon sambil menyeringai memamerkan dua gigi taring tajamnya ke arah Saga dan Selena. Hanya sekali lihat, Bathory tahu jikalau jiwa tuannya sedang terguncang.

"Saranku, bawa bocahmu ke kamarnya. Yang di sini biar aku yang mengurus." Bathory buka suara. Tentu saja komunikasi secara batin bersama Selena.

Dengan masih memeluk dan mengusap-usap rambut Saga, Selena menoleh ke belakang. Manik mata violet-nya bertumbuk dengan pemilik manik scarlet yang sudah barang tentu tidak ada iblis mana pun yang tak mengetahui siapa iblis vampir di sana.

"Nona Bathory ...?!"

"Cepat. Aku tidak akan memaafkanmu kalau kamu mencoba membalas tuanku. Selena."

"Ba-baik."

Sebelum Selena benar-benar pergi dari sana, Bathory kembali berkata, "Idu Geni adalah kemampuan istimewa yang dimiliki Tuan Bara sejak lahir. Ludahnya ludah api. Harusnya kamu tahu kalau apa yang dia ucap dan kehendaki, segalanya bisa terjadi. Termasuk menghancurkan tubuhmu jadi abu."

Menoleh sejenak, Selena menatap datar ke arah sang Iblis Sarah. "Saya akan mengingatnya, Nona Bathory."

Sepeninggal Selena dan Saga yang telah lenyap dari pandangan, Bathory turun dari tempatnya bertengger. Duduk bersila di depan Bara yang matanya semerah darah. Pupil matanya ikut mengecil bak predator. Bersamaan dengan hawa panas yang menguar dari tubuh si sableng yang terjebak di dalam pikiran berlebihan, Bara menajamkan mata pada ingonnya.

Tetiba, tangan putih pucat Bathory terulur pada kening Bara. Dan hanya butuh beberapa detik bagi Bathory tuk dapat menenangkan tuannya.

Sejurus kemudian, atmosfir berat nan sesak menusuk tulang telah tergantikan netral ketenangan hawa sekitar.

Hal itu juga berimbas pada Jenny yang bisa bernafas lega seperti sedia kala. Namun, nafasnya kembali tertahan saat melihat makhluk lain yang duduk bersila di depannya. Makhluk yang sama persis seperti milik suaminya, Kala.

"Tuan Bara." Bathory mencoba berinteraksi. Sepelan mungkin ia memanggil tuannya untuk menghindari hal yang tak diinginkan andai tuannya itu kembali tantrum.

"Kamu menganggu, Bathory." Sinis sahutan Bara. Efek mabuknya sudah hilang. Pikirannya kembali normal. Ulah Bathory yang menyalurkan energi spiritual. Siapa lagi?

"Jangan begitu. Tuan Bara tidak ingin membunuh semua orang di sini, kan?"

"Hm."

"Kenapa Tuan Bara jadi emosian akhir-akhir ini? Tidak seperti biasa."

Bara diam tak menjawab.

"Apa Tuan Bara mau langsung ke intinya saja menuntaskan beban di hati untuk menghabisi pembunuh Tuan Lele?"

"Jangan menganggu. Dan jangan ikut campur." Bara berdiri. Sedikit sempoyongan. Ia menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. "Selagi aku masih bernafas, kedua tangan dan kakiku masih bisa digunakan, aku nggak akan pernah memilih jalan instan."

"Harusnya itu jalan yang Tuan Bara pilih. Sejak kapan Tuan Bara jadi ribet begini?"

Tak ada sahutan. Bara justru menatap Jenny yang masih menunduk. Barulah Bara sadar jika ia membuat kesalahan fatal. Mencium bibinya sendiri? Berapa berdosanya Bara. Terlebih bibir Jenny sampai berdarah.

"Eh, hm, Tante ... sorry." Bara merasa tidak enak. Meminta maaf sambil mengulurkan tangan ke arah Jenny.

Jenny mendongak. Matanya berkaca-kaca. Lalu, menyambut uluran tangan Bara. Yang kemudian, Jenny justru merapatkan badannya ke tubuh Bara. Hangat. Nyaman.

"It's okay, Bara." Seraya mengulum senyum, Jenny berkata lembut. "Kalau Bara mau nyium Tante lagi, boleh aja, kok."

"Jangan bercanda."

Bara ingin melepaskan pelukan Jenny, tapi si wanita bule justru semakin menguatkan pelukan. Seakan menuntut sesuatu untuk segera dituntaskan. Jelas saja tindakan Jenny mengundang kerutan di kening Bara.

"Kalau emang benar kamu Tanteku, aku nggak akan kurang ajar sama kamu. Sorry sebelumnya sudah membuat bibir Tante berdarah." Bara berucap cukup tenang. Mengalir saja. Jempolnya mengusap lembut bibir tipis Jenny. Menjadikan Jenny salah tingkat. Apalagi Bara bumbui dengan sambungan perkataan yang sukses meruntuhkan tembok besar pertahanan harga diri seorang wanita. "Habisnya bibir Tante manis. Aku kira, aku sedang menghisap madu."

Pipi Jenny bersemu merah mendengarnya. "Hm, Bara."

"Tante kenapa?" suara Bara ngebass membahana.

Runtuh. Tanpa banyak kata, Jenny melumat bibir Bara buas. Bak wanita murahan, Jenny menjatuhkan sejatuh-jatuhnya gelar seorang istri bangsawan Kota Anggur. Dengan Bara, lelaki ketiga dalam hidupnya yang mencium bibirnya, Jenny siap memberikan segalanya. Termasuk vaginanya yang telah basah sedari tadi.

Sejurus, Jenny menghentikan ciuman. Menatap sange ke arah keponakannya. Yang kemudian, mengalungkan kedua tangan di leher Bara, sebelum berkata serak, "Aku nggak kuat. Bawa aku ke ranjang, Bara."

Bara tak bisa bertahan lebih lama menghadapi godaan terkutuk pesona wanita bule, yang notabene bibinya sendiri. Sejenak, kehadiran Bathory di sana secara perlahan lenyap disapu angin, seiring hembusan udara membentuk gema suara, "Selamat bersenang-senang."
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd