Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Ipin & Upin XXX

Tadika Mesra. Sebuah Taman Kanak-kanakdi Kampung Durian Runtuh. Ros pagi ini berangkat dengan kedua adik kembarnya menuju ke sekolah itu. Berbekal uang dari melayani Tok Dalang kemarin, tak tampak mendung yang belakangan menggelayuti wajahnya. Ia diterima oleh Cik Gu Melati, guru termuda di TK itu.

“ Kenapa Cik Gu?” Ros tak tahan untuk tidak bertanya melihat guru TK di hadapannya menghela napas.

“Kak Ros! Kata kepala sekolah, kalau tahun ajaran baru pendaftaran tidak memenuhi kuota kelas, maka akan ada perampingan karyawan.” Guru TK itu sekali lagi mengehal napas. Berat.

Ros mengerti maksud guru muda itu. Sebagai karyawan terbaru dan paling muda, tentu Melati adalah kandidat paling kuat untuk dirumahkan.Mencari pekerjaan belakangan bukanlah hal yang menyenangkan, apalagi pekerjaan yang sesuai dengan latar pendidikan dan keinginan.

“Aku pun sama, Cik Gu. Punya dua adik dan satu nenek bukan hal yang mudah untukku.” Ros menggenggam jemari Melati, sekadar menyatakan simpati.

“Jangan bohong, Kak Ros. Buktinya ini, Kak Ros bisa membayarkan Upin dan Ipin,” sergah Melati.

“Kebetulan saja, ada proyek, Cik Gu. Lumayan bayarannya.” Ros hanya tertawa saja. Canggung.

“Ajak-ajak dong, Kak Ros! Atau Kak Ros ada ide supaya tahun ajaran baru banyak yang daftar?” Melati merengek kepada Ros. Ya ia pun sama seperti Ros. Anak sulung. Meski orang tuanya masih lengkap, namun keluarganya bukanlah kalangan berada. Adiknya tiga masih usia sekolah. Ayahnya sudah tidak bekerja, tidak pula punya tabungan pensiun. Maklum saja, buruh tani.

Ros menatap Melati. Rupanya tergolong cantik. Badannya tidak kalah dengan Ros, malah terkesan lebih berisi di bagian pantat. Kalau dada, seimbang dengan Ros.

“Cik Gu serius mau?” Ros menatap guru muda itu. Yang ditatap mengangguk mantap.


Ros membisikkan sesuatu pada Melati yang langsung saja disambut semburat merah pada pipi guru muda itu.

“Besok datang ke rumah ya,” kata Ros sambil berpamitan. Melati mengangguk.

Keluar sekolah, Ros buru-buru menghubungi Rifa’i. Diceritakannyalah masalah Melati.

“Seribu Ringgit, ya, Bang untuk pertama. Lima ratus untuk dia, lima ratus untuk aku sebagai penemunya. Berikutnya, Abang langsung saja urusan sama dia.”

Ros tersenyum-senyum sendiri membayangkan jumlah uang itu. Tak sadar ia telah menjadi mucikari kecil-kecilan. Tak sadar pula, roknya yang panjang tertiup angin, menampakkan belahan kemaluan tanpa rambut tepat di depan kedai Paman Muthu. Ros tak mengenakan celana dalam!

“Ros!” Lelaki setengah baya itu berteriak memanggil, membuat Ros mendekat. Bahkan setelah dekat, tak juga ia pusingkan kejadian itu berulang.

“Ada apa, Paman?” Ros tersenyum manis.

“Memekmu kelihatan,” bisik Muthu sambil tersenyum mesum.

Ros buru-buru melihat roknya yang tersibak, wajahnya memerah. Namun, tangannya ditahan Muthu.

“Biarkan saja,” kata Muthu sambil mengelus-ngelus kejantanannya yang tiba-tiba saja mengeras dari balik sarung.

Ros terpana. Namun, ia turuti juga permintaan Muthu, membiarkan mata lelaki itu menikmati kemaluannya. Bahkan ia tak menolak saat digelandang Muthu ke balik kedai. Tangannya dipaksa membelai kejantanan Muthu.

“Tangan akhwat ternyata lembut!” Muthu bergetar. Ia jambak jilbab dan rambut Ros sebelum meludahi wajah cantik Ros untuk kemudian menjilati setiap centi kulit wajah perempuan itu. Berulang-ulang ia lakukan, hingga membuat Ros mendesah. Berakhir dengan adu bibir kedua insan beda jenis itu.

“Paman! Uuuh!” Ros kembali mendesah saat Muthu menarik jambakannya, membuat Ros berlutut, dan seketika itu Muthu memasukkan kepala Ros ke dalam sarungnya. Dengan brutal, lelaki itu memajumundurkan pantatnya, membuat kemaluannya menabraki wajah Ros tanpa arah.

Ros yang merasa pengap akhirnya memutuskan untuk memasukkan kejantanan tak bersunat itu ke dalam mulutnya. Ia pegangi pantat Muthu sehingga tak dapat bergerak lagi. Dengan sigap ia oral kemaluan itu hingga ....

“Ros! Aaah!” Muthu menggereng, menekan kepala Ros dalam-dalam dan menembakkan sperma sebanyak yang ia bisa langsung ke tenggorokan Ros, membuat perempuan muda hampir pingsan tercekik saat kemaluan itu menyumpal tenggorokannya. Seperti belum puas, selesai semprotan terakhir, dengan brutal lagi, ia kembali menggerakkan pantatnya maju mundur menyetubuhi mulut mungil Ros sampai kemaluannya kembali mengecil. Stamina tak bisa berbohong.

“Ini!” Muthu mengambil dompet dan mengeluarkan tiga lembar uang nominal 100 Ringgit untuk kemudian ia lempar begitu saja. Ros memungut lembaran itu sambil tersenyum, membuat Muthu menyeringai puas.

Sesampai di rumah, Ros langsung membersihkan badan. Senandungnya riang. Mungkin teringat tiga lembar uang itu. Tak lagi terdengar keluhnya. Selesai mandi, ia langsung mengerjakan pesanan Rifa’i, komik dewasa.

*

“Panggil saja Rifa’i,” kata editor komik itu pada Melati. Mereka bertiga berkumpul di kamar Ros. Opah dan kedua adiknya sedang pergi, membuat ketiga orang itu seperti tak sungkan-sungkan.

Sementara Ros mengibaskan delapan lembar uangnya dengan suka cita, dihadapannya Melati malu-malu saat memasukkan bagiannya ke dalam tas. Ia menurut saat Rifa’i menepuk bagian kasur sebelahnya di mana ia duduk, memberi tanda untuk menghampiri lelaki itu.

Mata Melati menatap cemas pada bonggolan celana Rifa’i. Bertambah gelisah saat tangan lelaki itu mengusap-usap tonjolan itu, mengakibatkan bonggolan itu makin besar. Ia dudukkan pantat indahnya, menempelkan pahanya dengan milik lelaki itu karena sempit.

“Perawan ya?” tanya Rifai disambut anggukan Melati. Seringainya makin jadi melihat respon gadis itu.

“Ros juga masih perawan. Tapi ... lihat, betapa binalnya dia.” Rifa’i berusaha menenangkan Melati. Di hadapannya, Ros tersipu-sipu saat lelaki itu menyuruhnya mendekat dan duduk di pangkuan. Berhadap-hadapan, mereka langsung saja berciuman dengan panas.

“Abang jahat! Bikin Ros ketagihan!” Ros menggumam di sela-sela adu bibir yang panas itu. Aksi mereka berdua seperti hipnotis, membuat mata Melati melotot tak berkedip. Meski tak berjilbab, ia tetap saja asing dengan pertunjukan di hadapannya.

Tiba-tiba, tangan kiri Rifa’i menjambak rambut Ros, sedang yang kanan menjambak rambut Melati. Dengan kasar, didekatkannya kedua wajah perempuan muda itu.

“Cium dia Ros!” Seperti mengendalikan boneka, diadukannya kedua bibir gadis-gadis itu. Para pemiliknya pun, karena kaget, tak sempat banyak bereaksi. Berbeda dengan Melati yang pasif karena tampak ketakutan, Ros dengan cepat beradaptasi dengan kelembutan baru, bibirnya dengan rakus menghisap dan menjepit.

Sekian lama hanya menonton, akhirnya Rifa’i tak tahan juga menjulurkan lidahnya, menyeruak di antara dua bibir yang mulai saling membelit. Tak lama, ketiga lidah mereka saling mengusap. Liar.

Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja ketiganya sudah berbaring di ranjang. Kedua gadis muda itu mengapit Rifa’i.

Kedua tangan Rifai menyelusup ke belahan paha keduanya. Membuat rok-rok itu tersingkap hingga pinggang. Tentu saja, tujuannya bukit kemaluan gadis-gadis itu.

Sementara itu itu, mulut Rifa’i bergantian mengisap tetek. Sebentar milik Ros, sebentar milik Melati. Tak jarang pula, keduanya berbarengan diisap.

Saat sedang seru-serunya ....

“Ros! Ros! Dicari Datok nih!”

Suara Opah! Langkahnya pun makin dekat!

***

Maaf kentang ya Suhu sekalian!
Ditunggu lanjutannya hu
 
Tadika Mesra. Sebuah Taman Kanak-kanakdi Kampung Durian Runtuh. Ros pagi ini berangkat dengan kedua adik kembarnya menuju ke sekolah itu. Berbekal uang dari melayani Tok Dalang kemarin, tak tampak mendung yang belakangan menggelayuti wajahnya. Ia diterima oleh Cik Gu Melati, guru termuda di TK itu.

“ Kenapa Cik Gu?” Ros tak tahan untuk tidak bertanya melihat guru TK di hadapannya menghela napas.

“Kak Ros! Kata kepala sekolah, kalau tahun ajaran baru pendaftaran tidak memenuhi kuota kelas, maka akan ada perampingan karyawan.” Guru TK itu sekali lagi mengehal napas. Berat.

Ros mengerti maksud guru muda itu. Sebagai karyawan terbaru dan paling muda, tentu Melati adalah kandidat paling kuat untuk dirumahkan.Mencari pekerjaan belakangan bukanlah hal yang menyenangkan, apalagi pekerjaan yang sesuai dengan latar pendidikan dan keinginan.

“Aku pun sama, Cik Gu. Punya dua adik dan satu nenek bukan hal yang mudah untukku.” Ros menggenggam jemari Melati, sekadar menyatakan simpati.

“Jangan bohong, Kak Ros. Buktinya ini, Kak Ros bisa membayarkan Upin dan Ipin,” sergah Melati.

“Kebetulan saja, ada proyek, Cik Gu. Lumayan bayarannya.” Ros hanya tertawa saja. Canggung.

“Ajak-ajak dong, Kak Ros! Atau Kak Ros ada ide supaya tahun ajaran baru banyak yang daftar?” Melati merengek kepada Ros. Ya ia pun sama seperti Ros. Anak sulung. Meski orang tuanya masih lengkap, namun keluarganya bukanlah kalangan berada. Adiknya tiga masih usia sekolah. Ayahnya sudah tidak bekerja, tidak pula punya tabungan pensiun. Maklum saja, buruh tani.

Ros menatap Melati. Rupanya tergolong cantik. Badannya tidak kalah dengan Ros, malah terkesan lebih berisi di bagian pantat. Kalau dada, seimbang dengan Ros.

“Cik Gu serius mau?” Ros menatap guru muda itu. Yang ditatap mengangguk mantap.


Ros membisikkan sesuatu pada Melati yang langsung saja disambut semburat merah pada pipi guru muda itu.

“Besok datang ke rumah ya,” kata Ros sambil berpamitan. Melati mengangguk.

Keluar sekolah, Ros buru-buru menghubungi Rifa’i. Diceritakannyalah masalah Melati.

“Seribu Ringgit, ya, Bang untuk pertama. Lima ratus untuk dia, lima ratus untuk aku sebagai penemunya. Berikutnya, Abang langsung saja urusan sama dia.”

Ros tersenyum-senyum sendiri membayangkan jumlah uang itu. Tak sadar ia telah menjadi mucikari kecil-kecilan. Tak sadar pula, roknya yang panjang tertiup angin, menampakkan belahan kemaluan tanpa rambut tepat di depan kedai Paman Muthu. Ros tak mengenakan celana dalam!

“Ros!” Lelaki setengah baya itu berteriak memanggil, membuat Ros mendekat. Bahkan setelah dekat, tak juga ia pusingkan kejadian itu berulang.

“Ada apa, Paman?” Ros tersenyum manis.

“Memekmu kelihatan,” bisik Muthu sambil tersenyum mesum.

Ros buru-buru melihat roknya yang tersibak, wajahnya memerah. Namun, tangannya ditahan Muthu.

“Biarkan saja,” kata Muthu sambil mengelus-ngelus kejantanannya yang tiba-tiba saja mengeras dari balik sarung.

Ros terpana. Namun, ia turuti juga permintaan Muthu, membiarkan mata lelaki itu menikmati kemaluannya. Bahkan ia tak menolak saat digelandang Muthu ke balik kedai. Tangannya dipaksa membelai kejantanan Muthu.

“Tangan akhwat ternyata lembut!” Muthu bergetar. Ia jambak jilbab dan rambut Ros sebelum meludahi wajah cantik Ros untuk kemudian menjilati setiap centi kulit wajah perempuan itu. Berulang-ulang ia lakukan, hingga membuat Ros mendesah. Berakhir dengan adu bibir kedua insan beda jenis itu.

“Paman! Uuuh!” Ros kembali mendesah saat Muthu menarik jambakannya, membuat Ros berlutut, dan seketika itu Muthu memasukkan kepala Ros ke dalam sarungnya. Dengan brutal, lelaki itu memajumundurkan pantatnya, membuat kemaluannya menabraki wajah Ros tanpa arah.

Ros yang merasa pengap akhirnya memutuskan untuk memasukkan kejantanan tak bersunat itu ke dalam mulutnya. Ia pegangi pantat Muthu sehingga tak dapat bergerak lagi. Dengan sigap ia oral kemaluan itu hingga ....

“Ros! Aaah!” Muthu menggereng, menekan kepala Ros dalam-dalam dan menembakkan sperma sebanyak yang ia bisa langsung ke tenggorokan Ros, membuat perempuan muda hampir pingsan tercekik saat kemaluan itu menyumpal tenggorokannya. Seperti belum puas, selesai semprotan terakhir, dengan brutal lagi, ia kembali menggerakkan pantatnya maju mundur menyetubuhi mulut mungil Ros sampai kemaluannya kembali mengecil. Stamina tak bisa berbohong.

“Ini!” Muthu mengambil dompet dan mengeluarkan tiga lembar uang nominal 100 Ringgit untuk kemudian ia lempar begitu saja. Ros memungut lembaran itu sambil tersenyum, membuat Muthu menyeringai puas.

Sesampai di rumah, Ros langsung membersihkan badan. Senandungnya riang. Mungkin teringat tiga lembar uang itu. Tak lagi terdengar keluhnya. Selesai mandi, ia langsung mengerjakan pesanan Rifa’i, komik dewasa.

*

“Panggil saja Rifa’i,” kata editor komik itu pada Melati. Mereka bertiga berkumpul di kamar Ros. Opah dan kedua adiknya sedang pergi, membuat ketiga orang itu seperti tak sungkan-sungkan.

Sementara Ros mengibaskan delapan lembar uangnya dengan suka cita, dihadapannya Melati malu-malu saat memasukkan bagiannya ke dalam tas. Ia menurut saat Rifa’i menepuk bagian kasur sebelahnya di mana ia duduk, memberi tanda untuk menghampiri lelaki itu.

Mata Melati menatap cemas pada bonggolan celana Rifa’i. Bertambah gelisah saat tangan lelaki itu mengusap-usap tonjolan itu, mengakibatkan bonggolan itu makin besar. Ia dudukkan pantat indahnya, menempelkan pahanya dengan milik lelaki itu karena sempit.

“Perawan ya?” tanya Rifai disambut anggukan Melati. Seringainya makin jadi melihat respon gadis itu.

“Ros juga masih perawan. Tapi ... lihat, betapa binalnya dia.” Rifa’i berusaha menenangkan Melati. Di hadapannya, Ros tersipu-sipu saat lelaki itu menyuruhnya mendekat dan duduk di pangkuan. Berhadap-hadapan, mereka langsung saja berciuman dengan panas.

“Abang jahat! Bikin Ros ketagihan!” Ros menggumam di sela-sela adu bibir yang panas itu. Aksi mereka berdua seperti hipnotis, membuat mata Melati melotot tak berkedip. Meski tak berjilbab, ia tetap saja asing dengan pertunjukan di hadapannya.

Tiba-tiba, tangan kiri Rifa’i menjambak rambut Ros, sedang yang kanan menjambak rambut Melati. Dengan kasar, didekatkannya kedua wajah perempuan muda itu.

“Cium dia Ros!” Seperti mengendalikan boneka, diadukannya kedua bibir gadis-gadis itu. Para pemiliknya pun, karena kaget, tak sempat banyak bereaksi. Berbeda dengan Melati yang pasif karena tampak ketakutan, Ros dengan cepat beradaptasi dengan kelembutan baru, bibirnya dengan rakus menghisap dan menjepit.

Sekian lama hanya menonton, akhirnya Rifa’i tak tahan juga menjulurkan lidahnya, menyeruak di antara dua bibir yang mulai saling membelit. Tak lama, ketiga lidah mereka saling mengusap. Liar.

Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja ketiganya sudah berbaring di ranjang. Kedua gadis muda itu mengapit Rifa’i.

Kedua tangan Rifai menyelusup ke belahan paha keduanya. Membuat rok-rok itu tersingkap hingga pinggang. Tentu saja, tujuannya bukit kemaluan gadis-gadis itu.

Sementara itu itu, mulut Rifa’i bergantian mengisap tetek. Sebentar milik Ros, sebentar milik Melati. Tak jarang pula, keduanya berbarengan diisap.

Saat sedang seru-serunya ....

“Ros! Ros! Dicari Datok nih!”

Suara Opah! Langkahnya pun makin dekat!

***

Maaf kentang ya Suhu sekalian!
:tegang::tegang::mantap::tegang::tegang:
 
Ros dan Melati yang tak sempat memakai selembar pun pakaian, hanya bisa menutupi tubuh mereka dengan apa pun yang dapat mereka raih. Sementara, Rifa'i tenang saja bersandar di ranjang tanpa peduli dengan kontolnya yang mengacung.

"Udah, gak apa. Rifa'i udah cerita semua. Alang juga cerita. Muthu juga," kata Opah setelah masuk.

"Kok cerita sih, Bang?" protes Ros sambil memcubit kontol Rifa'i dengan gemas.

"Memangnya, kalau gak cerita gimana caranya aku bisa masuk kamarmu?" jawab Rifa'i.

"Yang penting uang, Ros. Opa terbantu sekali dengan pekerjaanmu sekarang," kata Opah menenangkan Ros. "Tolong kau tengok dulu Alang, Ros. Sepertinya sudah ketagihan dia dengan servismu."

Setelah Opah berlalu, Ros menatap Rifa'i meminta persetujuan. Rifa'i mengangguk.

"Tapi ingat, perawanmu punyaku," kata Rifa'i sambil menarik Melati dan menciumi bibirnya. Guru TK itu menurut saat disuruh mengangkangi kontol Rifa'i yang mengacung.

Ros memakai kembali kaos pink dan celana panjangnya tanpa dalaman. Selembar jilbab ia pakai agar sesuai kebiasannya. Setelahnya ia berlari kecil ke rumah Tok Alang dengan gembira, membayangkan lembaran ringgit yang akan ia terima.

"Masuk, Ros!" seru Tok Dalang sesaat setelah Ros mengucapkan salam. Ia temukan laki-laki tua itu tak sendiri, ada Saleh yang terlihat sedih.

"Atok? Kok?" Ros menatap Tok Dalang tak mengerti.

"Dengarkan, dulu, Ros!" tukas Tok Dalang. Ia menceritakan tentang Saleh yang dijodohkan. Masalahnya Saleh adalah seorang penyuka sesama, tetapi ia juga tak ingin mengecewakan orang tuanya.

"Bantulah Saleh, Ros. Buat dia jadi laki-laki lagi," kata Tok Dalang. Dari kantung celananya ia keluarkan lima lembar seratus ringgit yang membuat Ros tersenyum manis lalu melepasi semua pakaian kecuali jilbabnya.

Ia dekati Saleh, lalu berlutut di depan laki-laki kemayu itu. Dengan perlahan ia buka kancing celana Saleh lalu melepaskannya. Saleh menatap Ros kebingungan setelah celana dalamnya pun dilepas.

"Saleh diam saja, ya!" kata Ros sambil menjepit kontol Saleh yang kecil dengan jempol dan telunjuk kanannya. Dikocoknya kontol itu perlahan, tetapi tak ada reaksi.

"Ih! Kontol nakal!" seru Ros gemas setelah sepuluh menit usahanya tak membuahkan hasil. Keringat mulai membasahi tubuhnya, membuat teteknya seperti patung es yang mencair, memancing dahaga birahi Tok Dalang.

Tiba-tiba saja kepala Ros dijambak, lalu didorong menerpa kontol Saleh. Tok Dalang rupanya gemas melihat aksi Ros.

Ros dengan sigap memasukkan kontol Sales ke dalam mulutnya lalu menyedotnya dengan perlahan. Saleh berjengit, merasakan sebuah sensasi yang belum pernah ia rasakan. Perlahan kontolnya membesar.

Ros yang merasakan perubahan ukuran itu dengan gembira memajumundurkan kepalanya, tak mempedulikan tangan Tok Dalang yang tak lagi menjambaknya, melainkan memainkan sepasang teteknya dari belakang sambil menggesekkan kontol di belahan pantat Ros.

"Kak Ros! Enak! Mau pipis!" seru Saleh lima menit kemudian. Ros membiarkan saja ketika kepalanya dipegangi oleh Saleh, lalu berganti, Salehlah yang mulai aktif, memggerakkan kontolnya keluar masuk, mengntoti mulut Ros.

Tak lama, Ros menahan semprotan peju Saleh di rongga mulutnya, tak langsung menelannya. Setelah Saleh mencabut kontolnya, Ros memamerkan kumpulan peju kental yang tak banyak di mulutnya dengan pose menggoda. Ia kumur-kumur sebelum menelan peju Saleh.

Saleh mengelus kepala berjilbab Ros saat perempuan itu membersihkan sisa-sisa peju di kontolnya.

"Ros! Liat sini!" geram Tok Dalang sambi berdiri dan menjambak rambut di balik jilbab Ros untuk menghadap kontolnya. Ia entoti bibir mungil Ros dengan beringas.

Ros begitu menikmati perlakuan kasar Tok Dalang. Kerlingan manjanya makin membuat laki-laki tua itu beringas. Tiba-tiba saja tangan Saleh terjulur mengusapi itil Ros, yang membuat pemiliknya bergelinjang keenakan.

Tak lama kemudian, wajah Ros penuh dengan peju Tok Dalang. Lalu permainan jari Saleh juga berhasil mengantarkan Ros pada squirt tak lama setelah semprotan terakhir kontol Tok Dalang di wajahnya.

Ketiganya lalu bersandar.

"Ini buatmu, Ros," kata Tok Dalang menyerahkan lembaran uang tadi. Ros menerimanya dengan riang, sambil mengelap peju di wajahnya dengan celana dalam Saleh.

Setelah memakai pakaiannya lagi, ia keluar rumah Tok Dalang. Namun, baru saja ia keluar dari rumah, matanya menangkap sosok Ah Tong yang sedang menaikkan koran dan barang bekas lainnya ke keranjang samping motornya.

"Paman Ah Tong!" seru Ros sambil melambaikan tangan.

Jarak yang tak sampai beberapa belas meter membuat Ah Tong mengenali yang memanggilnya. Berikutnya ia tercekat saat Ros mengangkat kaos dan roknya lalu menggoyangkan teteknya.

Bersambung ....
Mantap suhu . Di lanjut lagi karyanya
 
duh...
mantap hu...

Lancrotkan!!!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd