Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Is This the Love We Created? (PART 22/S1 End)

Status
Please reply by conversation.
PART 14: Fat Bottomed Girls

EHzs8-b-U0-AAi-H3-G.jpg
EMXc-HIg-Uw-AAz-Mz5.jpg
EUqj-Avo-UYAIma-Mx.jpg


“Hoooeeek…”

“Hoeeek…”

“Hoooeeeeek…”

Mira berlutut di depan toilet duduk kamar hotel ini, mengeluarkan isi perutnya sementara aku memegangi rambut Mira dan sesekali mengelus punggungnya. Kaosnya masih tersingkap sejak tadi, elusanku benar-benar langsung menyentuh kulitnya dan sesekali mengenai tali bra warna putih yang ia kenakan ini. Mira berdiri setelah yakin sudah tak akan memuntahkan apa pun lagi, aku menuntunnya berjalan kembali dan duduk di pinggiran kasur, wajah Mira pucat, aku yakin ia sedikit lebih sadar sekarang.

“Tau gini gak mau minum-minum lagi…” Mira cemberut, matanya menatap kosong dinding kamar.

“Makanya jangan nyoba-nyoba.” Aku duduk di samping Mira, masih sesekali mengelus-elus dan memijat punggungnya yang masih belum ditutupi, tubuh tegangnya melemas sedikit, namun Mira masih saja bengong. Aku mengambilkan segelas air untuk Mira, ia meneguknya hingga habis, kutaruh kembali gelas itu di meja dan duduk di sebelahnya lagi.

“Kak…”

“Iya Mir?”

“Aku… kok gak sadar ya? Kok bisa ada di sini?” Mira memutar badannya menghadapku, payudara Mira yang hanya terhalang bra nampak jelas di depan mataku.

“Eh… itu…” Pikiranku buyar sesaat setelah melihat sepasang gundukan putih mulus di depanku ini, mataku tak bisa berpaling, kurasakan penisku berdenyut menegang.

“Kak? Kok diem?” Mira melambai-lambaikan tangannya di depan mukaku.

“Iya… ee… itu… kita… di lift.” Otakku dipenuhi bayangan betapa empuknya payudara Mira di genggaman tanganku.

“Ketemu di lift? Terus?”

“Terus-…” Kata-kataku terpotong, aku terhanyut memikirkan apa yang ada di balik bra yang dikenakan Mira.

“Liatin apa sih?” Mira memerhatikan arah pandanganku, lalu ia menunduk melihat payudaranya sendiri. “Ih kakak!” Mira merapikan kaosnya yang terangkat, menutup tubuhnya yang bisa leluasa kulihat sejak tadi.

“Eee-… maaf-maaf.” Aku menggaruk-garuk kepalaku menahan malu.

“Malu tau…” Mira kembali menunduk, kali ini karena tak berani menatapku. Aku terkejut, bukannya marah atau kesal padaku, Mira malah malu. Ini anak udah sadar apa masih mabok sih?

“Gimana sekarang? Masih mual? Pusing?” Aku dengan cepat berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Masih pusing sih kak, kepala berasa muter jadinya bikin mual.” Mira menjawab kesal.

“Masih pengen minum-minum gak?”

“Gak deh kak, minumnya gak enak, ngebakar, mana maboknya kaya gini lagi.”

“Salah sendiri sih nyoba-nyoba hahaha.” Aku tertawa, dilihat dari sisa yang ada di dalam botol memang Mira minum cukup banyak untuk ukuran whiskey.

“Kan penasaran gitu kak, mumpung lagi jauh dari ortu juga kan.”

“Yaudah kalo penasaran lagi ntar hubungin gue aja biar gue pandu.” Entah apa yang membuatku mengeluarkan kata-kata ini, tak semestinya aku menjerumuskan diriku mengenal mereka lebih dalam, masalahku sudah banyak sekarang.

“Serius? Emang kakak biasa minum ya?” Mira langsung menoleh ke arahku, penasaran.

“Ya ngga sih, tapi ngerti lah.”

Mira mengangguk lalu kembali terdiam, aku pun sudah bingung ingin mengatakan apa kepada gadis ini. Suasana kembali hening, hanya terdengar dengung AC di kamar hotel pada dini hari ini. Aku mengecek jam tanganku cepat, 2:47. Aku teringat salah satu serial komedi favoritku dan sebuah lelucon di dalamnya, nothing good happens after 2AM, tak ada hal baik yang terjadi setelah jam dua dini hari, apa pun yang kau lakukan, kalau jam menunjukkan pukul 2 pulang lah dan tidur, semua keputusan yang kau buat setelah jam 2 tak akan ada yang baik dan benar. Hal yang aku tertawakan bertahun-tahun lalu itu sekarang malah memenuhi pikiranku, apa memang benar? Tapi tak mungkin aku tak meladeni Mira yang ada di kamarku ini, lagipula tempat tidur juga dipakainya.

“Kak…” Mira memecah kesunyian, suaranya yang agak bergetar seakan menandakan rasa ragu. “Kita… udah sampe mana tadi?”

“Sampe mana apanya?” Aku terheran, otakku yang larut dalam pikiranku tadi dikejutkan oleh Mira yang langsung melontarkan pertanyaan.

“Yaaa… aku kan taunya baju aku udah keangkat doang… tapi kakak udah apain aku?” Ekspresi Mira seperti menahan tangis, napasnya semakin tak beraturan, bisa kurasakan betapa berat baginya untuk berani menanyakan ini.

“Hah?! Gak diapa-apain, keangkat itu tadi soalnya eee… itu kamu pas tidur…” Aku kembali terkejut, otakku belum siap.

“Kan…” Mira mengacungkan telunjuknya ke arahku. “Katanya sih kalo orang mau jawab tapi ragu-ragu itu tandanya bohong.” Mira mencondongkan tubuhnya mendekat ke arahku, wajahku dan wajahnya hampir tak berjarak, tatapannya sinis. “Kalo kakak jujur udah apain aku bakal aku izinin kok, udah terlanjur juga kan.”

“Eee-…” Mataku terbuka lebar, tubuh Mira yang sedekat ini membuatku bisa menghirup aromanya, parfum bercampur keringat dingin dan alkohol yang entah mengapa membuatku terangsang, ditambah kata-katanya itu. Aku terdiam sambil mencoba untuk memproses ini, aku menelan ludahku.

“Kok malah bengong kak?”

“A-anu… itu… apa namanya…” Ucapku terbata-bata. Siapa gadis ini? Kenapa ia bisa membuatku segugup ini?

Aku kembali memikirkan kata-kata Mira, akal sehatku berkata untuk tidak bodoh, jujur saja dan jelaskan padanya, namun otakku semakin jelas membayangkan mengulum bibir Mira dan memainkan payudaranya yang tetap menonjol walau sudah tertutupi kaos itu. Haruskah aku melewatkan kesempatan ini?

Entah secara sadar atau tidak, aku menyambar bibir Mira dengan bibirku, ia terpaku dan tak membalas lumatanku pada bibirnya, namun tak ada perlawanan juga dari Mira untuk mencegahku. Bibir Mira manis terasa walaupun permainanku dibalasnya dengan diam dan kaku. Aku menuntaskan ciumanku setelah puas mencicipi bibirnya.

“Mmh… kenapa Mir?” Aku menatapnya, Mira tampak heran dan terkejut.

“Ga-… aku baru pertama kali kak.” Wajah Mira berubah merah, kulitnya yang putih semakin tak bisa menutupinya.

“Itu pertama kali?”

“Iya…” Mira mengangguk. “Emang pas aku gak sadar tadi kita belum ciuman?”

Mira masih mengira aku sudah menjamah tubuhnya pada saat ia mabuk tadi. Separuh hatiku tak enak padanya, tapi napsu birahi sudah menguasaiku.

“Jadi gimana? Enak gak?” Tanyaku sambil mengelus pundak dan bahunya agar sedikit lebih rileks.

“Jangan cepet-cepet, ajarin aku.” Mira menutup matanya.

Aku menarik leher Mira dan mendekatkan wajah kami berdua, kucumbu lagi bibirnya, kukecup lalu kemudian kukulum perlahan.

“Mmph…” Aku merasakan tubuh Mira kembali tegang, namun dengan cepat kuelus lagi bahu dan punggungnya kemudian kuarahkan tangan Mira bertumpu di pundakku. Perlahan Mira mulai membalas ciumanku, masih agak kaku tapi ia belajar dengan cepat, tiap gerak lumatan bibirku ditiru dan perlahan Mira mampu menyamaiku.

“Mmh… ahhh… hah… hahh…” Mira melepas ciumanku dan membuka matanya, kami saling menatap, sama-sama mencoba mengambil napas setelah berciuman lama.

“Hahh… gimana?”

“Deg-degan…” Mira menaruh tangan di dadanya untuk merasakan detak jantungnya yang meningkat itu, napasnya masih memburu seperti tadi.

“Mana deg-degan?” Tanganku bergerak mengarah ke dada Mira, namun aku sama sekali tak berniat merasakan detak jantung Mira tetapi payudaranya yang sedari tadi menggodaku.

“Ahh…” Mira mendesah pelan, tubuhnya gemetar saat merasakan sentuhan tanganku di payudara kirinya. Ia kembali terdiam menatapku. Aku meremas-remas payudara Mira, kali ini tangan kiriku ikut meraba payudara kanannya.

“Sssh… kak… geli…” Mira meringis, wajahnya terlihat tak nyaman diperlakukan seperti ini.

“Sst jangan dilawan, nikmatin aja.” Aku berbisik di telinga Mira lalu mendorongnya untuk berbaring di kasur, aku merangkak ke atas tubuhnya, kembali kumainkan payudaranya, kini sambil menciumi leher dan telinga Mira.

“Mmmh… kak…” Mira memeluk tubuhku, lengannya melingkar di punggungku kaku. Bahasa tubuhnya menandakan Mira tak terbiasa dengan kegiatan seksual, tapi apakah Mira sepolos ini? Gertakannya tadi berhasil menipuku.

“Lepas aja, angkat tangannya.” Aku menarik kaos Mira dan membuangnya ke samping tempat tidur ini, bra Mira pun kutarik ke atas menampakkan payudaranya yang padat, halus, dan kencang itu.

Napsuku semakin liar memikirkan seorang gadis polos yang akhirnya akan ternoda olehku saat ini. Kuremas kedua payudara Mira bersamaan dan kupilin pelan puting coklat mudanya itu yang diikuti oleh desahan Mira yang semakin membuatku bergairah.

“Ngghh… ahhh… mmmhh…” Mira masih mencoba menahan desahan-desahan yang ia buat, matanya tertutup, kepalanya mendongak ke atas.

Aku dan Mira kembali berciuman sambil tanganku tetap menggerayangi payudaranya, napas Mira kini semakin tak beraturan, tubuhnya seakan lupa bagaimana cara mengatur napas yang benar karena sentuhan nakalku ini.

Ciumanku turun ke payudara Mira yang sangat pandai ia sembunyikan bentuk dan ukurannya ini dengan pakaian yang ia kenakan, aku terkejut melihat payudaranya yang ternyata cukul besar untuk ukuran tubuhnya ini. Kulahap putingnya yang menggiurkan itu, kuisap dan kujilat-jilat memutar di dalam mulutku.

“Ehh-… ngggh… ahhh!” Mira sepertinya terkejut, ia membuka matanya dan melihat ke arahku dengan mulut terbuka sambil mendesah, aku menatapnya balik, Mira memerhatikanku, menunggu gerakanku selanjutnya, ia sudah terbuai kenikmatan terlarang ini walaupun aku dan dia belum sampai ke hidangan utama.

“Hehh… udahh… kak…” Mira mendorong kepalaku menjauh, kuturuti maunya dan melepas putingnya yang sudah mengacung keras.

“Kenapa?” Aku berbaring di sebelah Mira, kutolehkan kepalaku, kami kembali saling berbagi pandang.

“Geli banget tau…”

“Geli-geli enak kan? Haha.” Aku tertawa kecil.

“Ih apaan.” Mira menahan senyumnya sambil memukul-mukul bahuku.

“Eh tapi serius ini kamu pertama kali?”

Mira menjawab dengan anggukan, tak heran sedari tadi tubuhnya kaku.

“Berarti masih V?” Aku melirik tubuh bawah Mira yang masih mengenakan skinny jeans navy, kuraba perlahan paha dan bokongnya yang tercetak jelas dari balik celananya itu.

“Ya iyalah kakak… pake nanya…”

“Udah ah ngomong mulu, lanjut ya, jangan ditahan-tahan kalo enak, desah aja.” Kupeluk Mira dan mencumbu bibirnya, lalu kubuka kaitan bra Mira yang kemudian langsung dilepasnya, ciumannya semakin lihai, Mira belajar dengan cepat.

“Ini juga ya Mir.” Aku menyudahi ciumanku dengan Mira lalu merangkak untuk menarik celananya, Mira meluruskan kakinya agar memudahkanku melepas celana jeansnya ini.

Kubuang celana itu ke lantai di samping tempat tidur, aku terpaku, terpana melihat pemandangan di depanku, seorang gadis dengan kulit putih mulus tanpa cela, hanya tersisa celana dalam putih saja yang menghalangiku melihatnya benar-benar telanjang bulat terbaring di kasur kamar hotelku, tatapannya sendu mengarah padaku, pasrah terhadap apa yang akan kuperbuat padanya. Penisku kini sudah benar-benar tegang, yang semula aku ingin merangsang Mira lebih lagi tapi kuputuskan untuk langsung saja, napsuku sudah tak terbendung lagi.

“Ngeliatinnya gitu banget kak… malu…” Mira menutupi payudara dan menekuk kakinya, namun malah memperlihatkan cetakan bibir vagina di celana dalam yang ia kenakan.

“Cantik kok, ngapain malu?” Aku melepas celanaku, membebaskan penis tegangku yang sesak terhalang celana, Mira memandangi penisku penuh rasa penasaran.

“Pernah liat kontol gak?” Tanyaku, pikiranku sudah kosong, yang ada hanya hasrat liarku untuk bisa dipuaskan.

“P-pernah sih punya kakak aku… tapi gak segede itu-… eh ngapain nanya kaya gitu ih!” Mira menjawab sambil tetap memandangi penisku, matanya tak berpaling meski wajahnya mulai sangat memerah malu.

“Kali aja penasaran gitu hahaha.” Aku berlutut memposisikan diriku di depan Mira yang berbaring, celana dalamnya kutarik lepas. Mira kini benar-benar sudah telanjang bulat, vaginanya yang terhalang celana dalam kini nampak jelas, mengundang penisku untuk memasukinya.

Kugesek-gesekkan penisku di bibir vaginanya yang sudah agak basah karena rangsanganku di payudara Mira tadi sementara jari-jariku membuka vaginanya lebih lebar dan memainkan klitorisnya.

“Angghh… kak…” Mira terkejut dan langsung mencengkeram lenganku, aku tak memedulikannya dan mempercepat rangsanganku.

“Kak… ngggh… ahhh… ahhhh… oooohh…” Tubuh Mira menegang, lenganku diremasnya keras, Mira orgasme hanya dengan foreplay yang kulakukan. Mira memelukku erat, tubuhnya bergetar, aku membalas pelukannya menunggu orgasmenya reda.

“Gimana?” Bisikku di telinganya. Napas Mira masih ngos-ngosan tapi tubuhnya perlahan melemas, aku membaringkan Mira ke kasur lagi, penisku kugesekkan lagi di bibir vaginanya.

“Enak… hahh… hah…”

“Masukin ya, tahan Mir.” Kudorong penisku perlahan ke dalam vagina Mira, mencoba untuk tidak terlalu kasar dan mencari selaput daranya agar aku bisa mengira-ngira gerakanku, tapi penisku telah masuk semuanya, vagina Mira sangat sempit tapi tak ada selaput dara, penisku sudah benar-benar masuk.

“Mmmhh…” Sempitnya vagina Mira menjepit penisku sangat kencang, aku masih terkejut saat tak menemukan selaput dara milik Mira.

“Nggghh… kak… pelan… sssh…” Mira meringis sambil memegangi tanganku yang menumpu di kasur.

“Mir… masih perawan? Kok gak ada itunya?”

“Oooh… itu waktu latihan fisik kakhh…” Mira setengah mendesah karena aku mencoba untuk menggerakkan penisku lebih dalam.

“Sempit banget sih tapi, emang bener perawan deh.” Aku mulai bergerak keluar masuk vagina Mira dengan sangat pelan agar membuatnya terbiasa dan tidak melukai vaginanya.

“Kak… mmmhh… kok beneran diapa-apain sih akunya?”

“Kan tadi udah diizinin sayang.” Kugerakkan pinggulku maju mundur dengan hati-hati agar tak terlalu cepat, perlahan tapi pasti aku mulai mempercepat tempoku.

“Kak… sssshh… perih!” Mira mencengkeram bahuku sangat kencang, kukunya hampir mencakar kulitku.

“Mmhh sempit banget sih… ahhh…” Aku terbuai kenikmatan jepitan dinding vagina Mira, penisku tak pernah merasakan yang sesempit ini.

“Kak… nggghh…”

Plak plak plak plak!

Aku tak memedulikan protes dari Mira, kugerakkan pinggulku sedikit lebih cepat, penisku kuhujamkan dalam-dalam, kutabrakkan pahaku dengan bokong Mira sehingga menghasilkan suara tepukan bersamaan dengan goyangan kami.

“Ahh… ahh… ahh… ahhh…” Setelah sekian lama menahan kini desahan Mira sudah tak bisa dikendalikan, suara desahnya yang seirama dengan tusukan penisku membuatku semakin bergairah.

“Mir… mmhh… hahh… terbaik dah lu…”

“Ahhh… ahh… kak… iyahh… enak…” Desahan Mira semakin keras dan cepat mengikuti gerakanku yang kupercepat, getaran payudara Mira membuatku menunduk dan mengisapi putingnya sambil kuremas-remas.

“Ooooh… hehhh… aaahhhh…” Jambakan Mira pada rambutku dan tubuhnya yang menegang tanda orgasmenya yang kedua.

Kuhentikan sejenak permainanku sementara, penisku masih tertanam dalam vagina Mira, tersiram cairan kenikmatan yang ia rasakan sekarang. Mira menggigit bibir menikmati orgasmenya, lengannya terlingkar erat di leherku menarikku untuk memeluknya.

“Ahhh… kak… ayo lagi…”

“Lah keenakan lu ya hahaha…” Aku tertawa, Mira hanya bisa tersenyum sambil menjepit pahaku dengan kakinya agar aku melanjutkan goyanganku.

Tak usah menunggu lama-lama, Mira yang memohon-mohon seperti itu sudah cukup untuk membuatku bersemangat mencabulinya lagi.

“Nungging coba Mir.” Kukeluarkan penisku lalu kupandu Mira untuk menungging, bokongnya yang montok dan halus kini kuremas-remas sementara tanganku yang satunya memandu penisku memasuki vagina Mira.

“Nggghh… ahhh… kak lebih berasa kaya gini…” Mira menengok ke belakang, tatapannya penuh napsu sambil menggigit bibir bawahnya.

“Goyang ya.” Aku mulai menggerakkan pinggulku, penisku kembali keluar masuk, maju mundur, tiap jengkal penisku menggesek vagina Mira yang terasa lebih sempit di posisi ini.

“Ahhh… Miraaaahh…” Kupercepat gerakanku sambil memegangi pinggang Mira.

“Ahhh… iyahh… ahh… kak… ooohh… uhhh…” Mira membenamkan wajahnya di bantal, namun suara desahannya masih tidak bisa dibendung, 5 menit aku menggempurnya dan Mira tak henti-hentinya mendesah, sesekali ia menoleh ke belakang menatapku pasrah akan kenikmatan yang kami berdua rasakan.

“Mir… ahhh… ayo keluar lagi…” Kugoyang vagina Mira sedalam-dalamnya, menabrakkan kepala penisku pada mulut rahim Mira.

“Ngghh… ahhh… kak… sshhh… uhhh… ahhhhh!” Mira orgasme kembali, kaki dan tangan yang ia gunakan untuk menumpu tunggingannya itu bergetar sehingga membuat ia ambruk tengkurap di kasur.

Penisku terlepas dari vagina Mira saat ia ambruk, aku pun sudah di ujung. Kudekatkan penisku di bokongnya dan hanya dengan beberapa kali kocokan saja penisku langsung menyemburkan sperma tepat ke gundukan bokong montok Mira.

Crot crot crot crot crot!

Aku keluar lebih banyak dari biasanya, selain karena sudah menahan selama seminggu, aku yakin gadis ini paket lengkapnya untuk merobohkanku, cantik, manis, putih, mulus, wajahnya yang sensual, dan tentu saja jepitan vaginanya yang membuatku tergila-gila.

Kami sama-sama mencoba mengatur napas, aku merebahkan diriku di sebelah Mira yang masih tengkurap, kepalanya terangkat sedikit melihatku sambil tersenyum.

“Hahh… hah… hah… gimana?”

“Hahh… enak kak… enak banget… hahh…”

“Sini.” Aku membuka lenganku, Mira menaiki badanku dan tengkurap di atasnya sementara aku memakaikan selimut untuk kami berdua. Tak perlu waktu lama sebelum kami sama-sama tertidur.

.

.

.

.

“Hah?! Kak jam berapa nih?” Mira terbangun di atasku, selimut yang kami pakai tersingkap karena Mira sudah duduk di atas perutku.

“Heh? Ya mana tau Mir, baru bangun juga ini.” Aku langsung sadar sepenuhnya, bukan karena teriakan Mira, tapi karena pemandangan tubuhnya.

Mira meraih hapenya, dinyalakan layar hape itu dan ekspresi muka Mira menjadi lebih kaget.

“Kak, jam setengah tujuh ini aduh gimana? Aku belum ngapa-ngapain!” Mira berdiri dan langsung berlari meloncat ke kamar mandi sementara aku membereskan kamar, kurapikan tempat tidur sebisaku lalu segera memakai baju.

Terdengar guyuran air dari dalam kamar mandi sementara aku sudah terduduk di ujung tempat tidur, mengingat-ingat apa yang terjadi semalam dan seberapa beruntungnya atau sialnya aku, tergantung dari sudut pandang mana aku melihat. Dalam hatiku memohon untuk jangan menjadikan ini masalah baru yaitu jangan sampai Mira jadi terbawa napsu mencariku terus, atau lebih parahnya malah terbawa perasaan, otakku berkata jangan, tapi tubuh dan hasratku berkata ‘Mira seenak itu masa lu lepas woi! Jangan bego!’

Mira akhirnya keluar dari kamar mandi, wajah dan sebagian rambutnya masih basah namun tak ada semerbak wangi sabun atau shampoo.

“Gak mandi Mir?”

“Mana sempat kak, duh aku keringin dikit terus langsung balik kamar ya.”

“Kamar lu yang di depan kan?”

“Bukan, itu kamar si Badr-… Vivi.”

“Yaudah deh.”

Aku menunggu Mira mengeringkan wajah dan rambutnya dan juga memakai kembali pakaiannya, kemudian kuantar ia sampai ke depan pintu kamarku.

“Makasih ya kak, maaf aku buru-buru banget ya.” Mira tergesa-gesa berjalan keluar, tapi ia menyempatkan untuk menoleh ke arahku, melambaikan tangannya lengkap dengan wink dan kiss bye.

“Iya hati-hati ke kamar.” Aku membalas lambaian tangan Mira.

Aku menoleh ke arah lain lorong lantai hotel ini sebelum sempat menutup pintu, dan di sana sudah berdiri Jinan yang menatap sinis padaku.

“Bener-bener ya, ngobrol doang ya kak? Sampe di kamar pagi-pagi? Apa nginep?” Jinan melipat lengannya di dada, lalu dengan cepatnya menerobos masuk ke kamarku, melewati aku yang masih terkejut.

“Nan!” Aku setengah berlari mengikuti Jinan masuk ke kamar.

“Hmmmm…” Jinan berdiri di tengah kamar menoleh kesana kemari.

“Ngapain?!”

“Sampe kapan mau main-main terus kak?”

“Apaan maksudnya?”

“Udah kubilang, jadi cowo tuh peka. Aku bisa aja kan ngelaporin semua kelakuan kakak, tapi aku masih mau kasih kakak kesempatan. Malah kaya gini.”

“Tunggu dulu, salah paham aja ini, sini biar dijelasin dulu.” Aku menarik lengan Jinan untuk duduk di kasur bersamaku.

“Jelasin apaan? Kurang jelas apa dia sekamar sama kakak?”

“Iya itu ada alasannya!”

“Udah ah lama-lama eneg.” Jinan berjalan keluar kamar.

“Tunggu!” Sebelum bisa keluar aku lari menutup pintu dan dengan cepat menarik Jinan, tubuhnya kudorong ke dinding.

“Kak…”

PART 18: I’m Going Slightly Mad

“Nggghh…” Kak Jerry dengan liar menghujamkan penisnya memenuhi vaginaku, putingku digigitinya, membuatku semakin terangsang.

“Kak… ahhh… ahh… ahh…” Gerakan kak Jerry semakin cepat, vaginaku yang becek digesek-gesek penisnya yang keras dan tegang.

“Kakk… teruss… sshh…” Kubuka pahaku lebar-lebar, kak Jerry fokus bergerak maju mundur, kedua tangannya memegangi pinggangku.

“Mmmhh… ahhh…” Tanganku reflek meremas-remas payudaraku sementara mata kami saling memandang.

“Hahh… hahhh… enak gak?” Kak Jerry dengan tenang mencoba mengatur napas di tiap dorongan penisnya sementara aku hanya bisa pasrah, ekspresi wajahku sudah tak karuan, aku tidak bisa menahan kenikmatan ini. Aku hanya menjawab kak Jerry dengan anggukanku yang lemah sambil menggigit bibirku seakan meminta kak Jerry untuk melanjutkan.

“Mmmh… mmhh…” Kak Jerry menyambar bibirku, ciumannya terasa lembut, berbeda dengan irama permainannya di bawah sana yang kasar dan cepat. Desahanku tertahan lumatan bibirnya, kubalas ciuman kak Jerry sambil menutup mata menikmati semua rangsangan yang ia berikan.

“Ahhh… ahhh… ahhhhh…”
Plak plak plak plak plak!

Suara hentakan paha kami berdua saling bersahutan dengan suara desahanku, ciuman kak Jerry berpindah ke telinga lalu turun ke leherku yang diisapnya lama hingga menyisakan bekas merah.

“Ahh… kakhhh… udah… udahhh…” Kugenggam erat-erat kedua pundak kak Jerry yang tak menghiraukanku, alih-alih melambat, kak Jerry mempercepat gerakannya. Kulingkarkan kaki di pinggang kak Jerry, tubuhku mulai menegang, kak Jerry menghentikan gerakannya, penisnya berhenti tepat menyentuh mulut rahimku.

“Nggghh… ahhhh… ahhhhhh… kak… kaaaakk…” Aku kehilangan kendali atas tubuhku sendiri, mulutku menganga lebar, kurasakan cairan keluar dari vaginaku dan membasahi penis kak Jerry yang kujepit rapat-rapat, penisnya seakan-akan diisap lebih dalam oleh vaginaku.

Plop!

“Ahhh… kak… udahhh…” Vaginaku mengeluarkan suara sesaat setelah kak Jerry mencabut penisnya, tubuhku kembali merinding, kuremas pergelangan tangan kak Jerry yang masih memegangi pinggangku.

“Iyaaa… udahh… ahhhh…” Pinggangku digenggam erat oleh kak Jerry, sekarang lebih seperti mencengkeram. Kak Jerry kembali bergerak maju mundur, kali ini menggesek penisnya di klitorisku.

Crot crot crot crot!

Empat, lima, enam, tujuh kali penis kak Jerry menyemburkan sperma. Perut, payudara, bahkan leher dan wajahku terkena cipratan spermanya yang kental dan hangat, beberapa tetes mendarat di lidahku yang terjulur saat menikmati orgasmeku tadi, sperma kak Jerry terasa manis dan asin, aku reflek mengecap dan menelannya. Kami sama-sama menghela napas dan kembali saling bertukar pandang, rasa senang memenuhi diriku, senang karena bisa memuaskan pria yang telanjang di antara kedua pahaku ini.

Dug!

Aku terjatuh dari tempat tidur, napasku tersengal-sengal, detak jantungku mengencang, kurasa tubuhku lembab dan pakaianku basah oleh keringat dingin. Aku langsung mendorong diriku bangun dan duduk di tepian kasur, sekilas aku melirik ke Eli yang masih tertidur pulas dan tak terganggu oleh berisiknya suara jatuhku. Aku bermimpi. Mimpi basah tentang aku dan kak Jerry yang saling bercinta. Kubasuh keringat di kening, wajah, dan leherku sambil duduk termenung. Setelah kurasakan lagi, selangkanganku juga lembab, namun bukan karena keringat, selama mimpi itu aku sepertinya memang benar-benar orgasme.

“Udah bangun?” Pintu kamar mandi terbuka, pancaran cahaya lampu dari dalam kamar mandi menyilaukan bagiku yang memandang dari dalam kamar tidur Aya yang gelap ini.

“Lo udah bangun juga?” Aku balik bertanya, kusipitkan mataku menahan silau sambil mencoba menatap Aya.

“Udah subuh ini.” Aku mengangguk, kucek hapeku, 31 Desember 2019 04:23. Aya berjalan ke pojokan kamar di mana sudah ada sejadah yang tergelar, ia kemudian mengenakan mukenah yang memang biasa ia letakkan di situ.

“Pinjem kamar mandi ya Ay.” Aku berdiri dan langsung berjalan ke dalam kamar mandi, pintunya kututup rapat dan kukunci.

Kulepas pakaianku satu per satu. Tubuhku sudah terasa lengket karena keringat dan cairan orgasmeku sendiri. Kunyalakan shower, air hangat mengalir keluar dan membasahiku, aku menutup mata, otakku masih tak yakin apakah yang barusan itu mimpi atau bukan, aku memandang ke cermin di kamar mandi sambil mengusap-usap tubuh, tak ada bekas merah di leherku. Usapanku turun ke payudara, perut, lalu paha dan selangkanganku. Kuraba vaginaku sendiri, selaput daraku masih utuh. Aku masih perawan, dan semua itu benar hanya mimpi. Aku tak tahu harus lega atau tidak, mengapa aku bisa bermimpi seperti itu? Aku memang memendam rasa pada kak Jerry, tapi kenapa harus memimpikan hal itu?

Kusabuni diriku dan melanjutkan proses mandi sambil tetap berpikir, rasa yang sudah lama kupendam ini bisa membuatku gila, rencana gilaku untuk merebut kak Jerry dari semua gadis-gadis itu, lalu mimpi ini, langkah apa lagi selanjutnya? Aku tersenyum dan sedikit tertawa, tak kusangka seorang pria bisa membuatku seperti ini, untungnya aku masih cukup kuat untuk tidak mengutarakan perasaanku padanya ataupun bercerita ke orang lain.

Ya benar, seorang Jinan Safa Safira, diriku sendiri, bisa tergila-gila pada seorang laki-laki. Jinan yang semua orang kenal sebagai sosok yang cuek dan kadangkala dingin ini tumbang oleh kakak temannya sendiri. Aku merasa konyol, rasa yang awalnya hanya kagum itu bisa berkembang menjadi seperti ini.

“Dikit lagi Nan, dikit lagi.” Aku bergumam pada diriku sendiri, kalau kak Jerry benar-benar mengikuti rencana yang kubuat, sebentar lagi Eli dan Mira akan menjauh, begitu pula Aya akan menjaga jarak dari kakaknya sendiri, lalu di situlah saatnya aku masuk dan merebut kak Jerry dari mereka. Aku yang memergoki kak Jerry di dalam kamar mandi bersama Eli dan kejadian di hotel pagi itu adalah sebuah keberuntungan bagiku, dengan keadaan seperti ini aku bisa mengancam kak Jerry sehingga ia sendirilah yang akan menyingkirkan gadis-gadis sainganku itu.

Kuusap tubuhku dengan handuk untuk mengeringkan diri. Aku keluar kamar mandi dengan berbalut handuk, Aya sudah kembali tertidur dan Eli masih belum bergerak sejak tadi saat aku meninggalkannya. Aku berbaring di sebelah Aya setelah memakai kaos dan celana pendek karena tak mungkin aku kembali memakai baju tidurku yang basah. Hari ini akan sangat panjang dan kami akan begadang, kuputuskan untuk kembali tidur agar tidak mengantuk nanti malam.

Jerry’s POV

December 31st 2019
16:09


Aku dengan cepat mengecek waktu di hape yang kuletakkan di atas amplifier gitar. Sudah dua jam aku dan teman-temanku berlatih di studio milik Galang untuk perform nanti malam di pesta malam tahun baru di rock bar tempat kami reguleran.

“Oke, aman kan buat ntar malem?” Galang mematikan amplifier miliknya.

“Aman bos, santai.” Mario menaruh bass yang ia pakai tadi ke stand.

“Jam delapan udah standby ya. Inget, udah standby, bukan baru otw ke tempatnya.” Galang membuka pintu studio dan keluar, disusul oleh Indra sementara aku dan Mario masih sibuk sendiri-sendiri memainkan hape.

Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak kukenal, nomor sama yang mengirimkanku pesan beberapa minggu yang lalu, foto dan display name-nya pun tak membantuku untuk mengenali siapa ini. Rasa penasaran membuatku membalas pesan.

+6281xxxxxxxxx
kak jerry?
Jerry
siapa?
+6281xxxxxxxxx
ini mira kak, save nomer aku ya
Jerry
dapet dr siapa?
+6281xxxxxxxxx
ada deh, save aja dulu


Alisku terangkat saat membaca pesan, heran dan terkejut, darimana Mira mendapat nomorku? Aku menengok ke arah Mario, ia sedang cekikikan melihat layar hapenya sendiri.

“Napa lu?!” Tanyaku setengah berteriak, berusaha mengagetkan Mario yang berakhir gagal, ia dengan biasa saja melihat ke arahku sambil masih cekikikan.

“Gue lagi chat ama Beby.” Jawab Mario, ia mengunci dan memasukkan hapenya ke dalam kantong.

“Seneng lu ya?” Aku menyindir Mario, kurapikan barang-barangku di studio dan berjalan keluar.

“Siapa sih yang gak seneng Jer.” Mario mengikutiku ke teras, Indra dan Galang sudah duduk-duduk sambil merokok.

“Siapa yang lagi seneng?” Asap rokok keluar dari mulut Galang seraya ia bertanya.

“Ini nih abang tukang bass.” Aku menjawab Galang sambil menyalakan rokok.

“Oiya? Bukannya lagi sedih lu?” Indra ikut menimpali percakapan kami.

“Kasitau Yo.” Aku menyenggol siku Mario yang sudah duduk di sebelahku saat ini.

“Apaan sih, gaada apa-apa.” Mario mencoba menutup-nutupi raut wajah bahagianya itu.

“Dih gini ya lu Yo, main rahasia-rahasiaan.” Indra menahan kedua lengan Mario.

“Kasitau gak?!” Galang menodong ujung rokoknya yang membara ke wajah Mario.

“Woi anjing! Woi! Jer bantu!” Mario mencoba berontak, kakinya menendang-nendang, Galang dengan mudah menghalau kaki Mario. Indra masih memegangi lengan Mario, kami tertawa sebelum akhirnya aku terdiam saat melihat ke arah gerbang.

“Stop woi, ada yang dateng.” Sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang, kulihat seseorang keluar dari pintu belakang dan mobil itu berlalu pergi. Aku berdiri dari sofa teras dan menghampirinya.

“Jinan? Ngapain?” Aku menoleh ke belakang ke arah teras, teman-temanku sudah kompak memandangi kami.

“Eee… itu kak… tadi aku shopping baju buat nanti malem, terus pas balik ke rumah Aya taunya kosong, aku hubungin Aya katanya masih ada urusan di kampus.” Jinan memasang senyum gugupnya itu sambil mengayunkan tas plastik belanjaannya.

“Terus ngapain ke sini?” Aku kembali bertanya.

“Aku gak tau harus kemana lagi, kakak kan tau rumah aku jauh, masa harus bolak-balik lagi udah jam segini.”

“Yaudah deh… eh nanti malem mau kemana emang?” Aku berbalik arah dan berjalan ke teras.

“Kita mau ikutan malam tahun baruan juga lah.” Jinan mengikutiku dari belakang, sesekali aku meliriknya, makin dekat kami ke teras semakin gugup langkah dan raut wajahnya.

“Kita?” Aku berhenti dan menoleh ke arah Jinan.

“Eh… aku, Aya, Eli.” Jinan ikut berhenti walau terlambat beberapa langkah dan hampir menabrakku.

“Sejak kapan ada undangan buat kalian berdua juga? Yang diajak cuma Aya dah.” Aku mengerutkan dahi.

“Sejak Aya ngajakin aku sama Eli hehehe.” Jinan tertawa-tawa kecil, sepertinya ini salah satu momen di mana aku harus mengalah lagi pada mereka.

“Huh, yaudah… terus ini mau nunggu di sini?” Aku berjalan lalu duduk di sofa, teman-temanku sudah duduk manis berusaha terlihat sibuk sendiri-sendiri, rokok mereka sudah dimatikan, asbak pun sudah dibawa masuk ke dalam. Dasar wota pikirku, ketemu member pasti pencitraan nomor satu hahahaha.

“Tadinya mau minta anterin kak, tapi aku tunggu aja deh kalo masih ada urusan.” Jinan berdiri di ujung sofa, ia menoleh ke teman-temanku dan mengangguk perlahan ke arah mereka.

“Udah gaada kok, tapi tunggu dulu deh ya, istirahat bentar. Duduk aja dulu.” Aku membuka sebuah botol air mineral tanggung dan langsung meminum beberapa tegukan.

“Oh iya, kenalin Nan, ini Indra, Mario, Galang.” Aku menunjuk teman-temanku satu per satu.

“Iya, salam kenal kak.” Jinan kembali menoleh pada mereka dan tersenyum. Teman-temanku hanya mengangguk pada Jinan.

Jinan duduk di sebelahku, teman-temanku yang berisik jadi diam, mereka sesekali melirik ke arah Jinan seolah ingin memulai percakapan. Jinan juga sepertinya malu pada teman-temanku, ia hanya memainkan hapenya.

“Gimana Nan udah resmi pindah ke K3?” Indra tiba-tiba bertanya.

“Eh… gimana apanya kak?” Jinan menengok ke atas, berpaling dari layar hape yang dipandanginya sedari tadi.

“Yaaa… perasaan lo gitu.” Indra menelan ludah.

“Pastinya jadi semangat lagi kak, harus kerja keras lagi belajar tentang K3, lagu-lagunya, koreo, blokingan.” Jinan menjawab sediplomatis mungkin, kalau kata orang sih jawaban template.

“Oooh…” Indra mengangguk yang dibalas anggukan juga oleh Jinan dan suasana kembali hening.

Beberapa menit berlalu, percakapan terjadi kurang lebih sama seperti percakapan Indra dan Jinan tadi, aku berkali-kali menahan tawa melihat tingkah teman-temanku ini. Kasihan juga sebenarnya pada mereka dan pada Jinan.

“Yaudah, yuk gue anterin.” Aku berdiri dan berjalan masuk ke dalam untuk mengambil jaket dan mengenakannya. Jinan sudah berdiri di depan teras ketika aku keluar. Jinan menaiki mobilku sesaat setelah aku naik dan berpamitan pada teman-temanku. Mobilku melaju meninggalkan studio dan keluar dari perumahan ini.

“Oiya ini mau dianterin kemana?” Aku berhenti di depan gerbang perumahan.

“Ke apartemen baru aku kak.” Jinan mengecek isi tas belanjaannya.

“Apartemen baru?” Tanyaku yang hanya dibalas anggukan oleh Jinan.

“Iya biar aku bisa deket ke teater sama rumah latihan, lagian malu kalo nginep tempat Aya mulu.”

“Di mana?”

“Oh iya kakak belum pernah kesana ya.” Jinan membuka peta di hapenya.

“Mana?” Aku ingin melihat sendiri lokasi di peta yang dimaksud Jinan karena bagiku akan lebih mudah.

“Aku aja yang pandu kak, nanti tinggal dengerin aku aja. Ini ke kanan dulu, terus perempatan pertama di depan belok kiri.”

Aku langsung mengikuti instruksi dari Jinan, beberapa kali ia salah memberitahuku dan kami harus berputar arah. Semakin kami mendekati gedung apartemennya, bagiku semakin familiar pula jalan dan gedung-gedung yang kami lewati.

“Nah ini udah nyampe kak, masuk parkirnya lewat situ.” Jinan menunjuk ke gedung di sebelah kanan jalan, aku melihat dan terkejut, ini gedung apartemen yang pernah kumasuki sebelumnya, apartemen Viny ada di sini.

“Di… di sini?” Aku memarkirkan mobil dan melihat ke lantai-lantai atas gedung apartemen yang ada di depanku ini.

“Iya, aku baru dua kali sih ke sini, ngecek kamar sama mindahin baju doang. Kenapa emangnya?” Jinan mengantongi hapenya dan sudah bersiap-siap keluar.

“Ini… apartemen Viny juga di sini Nan.” Mataku masih tertuju pada lantai atas gedung ini, entah apa yang aku lihat.

“Hah? Serius? Kok gak bilang?” Jinan melihatku melihat ke atas dan ia mengikuti, mencoba mencari apa yang kulihat.

“Barusan kan bilang.”

“Bukan, maksudnya kemarin-kemarin sebelum milih di sini.”

“Mana tau kalo mau nyewa apartemen.”

“Yah terus gimana nih?”

“Emang kenapa Nan? Ada masalah juga sama Viny?”

“Gak ada, tapi nanti kakak susah mau ke sini lagi.”

“Kok gue?” Aku tiba-tiba menoleh ke arah Jinan.

“Eh… itu… kan bakal nganter jemput aku.” Jinan melihatku, lamunannya sambil menatap gedung buyar.

“Kata siapa? Geer banget.”

“Paling juga nanti disuruh-suruh Aya wlee.” Jinan menjulurkan lidahnya, tak salah memang.

“Ya… bener sih.” Aku mendengus mengaku kalah.

“Oke, kakak ikut masuk dulu ayo.” Jinan membuka pintu.

“Ngapain?”

“Masa mau nungguin aku di mobil?”

“Eh kalo ketemu Viny gimana?”

“Ih gapapa udah ayo.” Nada Jinan berubah kesal, aku tak punya pilihan lain selain menurutinya lagi.

Kami berdua memasuki lobi dan langsung menuju lift, aku mengikuti Jinan di belakang sambil bermain hape dan membalas chat teman-temanku. Aku melihat ruang-ruang chat yang ada di aplikasi ini, lalu ke dalam ruang chatku bersama Mira tadi. Tak ada salahnya aku menyimpan nomornya, pikirku. Aku mengantongi hape setelah menyimpan nomor Mira namun lift belum juga terbuka, dari ketiga lift yang disediakan pun hanya lift yang di depan kami saja yang sedang mengarah ke bawah.

Ting!

Terdengar bunyi bel lift yang sampai di lantai ini, diikuti terbukanya pintu lift itu. Baru saja aku hendak masuk namun langkahku tertahan, seluruh tubuhku reflek diam. Baru saja aku menyebutnya tadi, kini di hadapanku ada Viny yang baru keluar dari lift. Kami sama-sama saling menatap, Viny berkedip beberapa kali, aku pun juga. Jinan menoleh ke arahku dan Viny bergantian. Dari melihat saja aku bisa merasakan napas Viny mulai berat, matanya berkaca-kaca, setetes air mata lalu mengalir di pipinya dan jatuh setelah bergantung beberapa detik di dagunya. Aku membuka mulutku seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi Viny saat itu juga sudah berjalan melewatiku sambil menutup mulut, sama sekali tak menoleh ke arah Jinan. Jinan menarik tanganku masuk ke dalam lift dan menekan tombol.

“Putusnya gak baik-baik ya kak?” Jinan memecah kesunyian yang canggung, lift sudah setengah jalan menuju lantai apartemennya.

“Huuuft… menurut lo?” Aku menghela napas panjang, lamunanku sejak tadi berjalan masuk lift pecah begitu saja karena pertanyaan Jinan. Bukankah aku sudah yakin pada perasaanku? Lalu kenapa hatiku tersayat-sayat melihat Viny? Apa maksud tangisnya barusan? Apakah ia marah padaku?

Jinan tak menjawabku, aku hanya dipandanginya dengan kesal. Kami tetap diam sampai aku masuk ke dalam unit apartemen milik Jinan. Layoutnya tidak jauh beda dengan milik Viny, ruang tengah dan dapur bersebelahan, dua kamar tidur yang saling berhadapan, dan kamar mandi di ujung lorong. Yang kontras adalah perabotan dan furniturenya yang terlihat masih bawaan dari pengelola apartemen ini.

“Duduk dulu aja kak.” Jinan masuk ke kamar sementara aku duduk di sofa ruang tengah.

“Lo mau ngapain sih?”

“Mandi! Bentar aja kok!” Teriak Jinan dari dalam kamar.

Aku kembali mengecek hapeku, ada beberapa pesan dari Aya yang baru saja masuk.

Aya
kak dimana?
otw ke venue jamber nich?
aku baru bgt balik
Jerry
lg nganter jinan di apartemennya nih
otw jam setengah 8 aja
siap siap dulu aja sekarang
Aya
oke, aku ngajak jinan sm eli gpp ya hehehehehehehehehehehe
oke?
oke dong
love u kak
Jerry
udah tau 🙂
love u too


Suara pintu terbuka membuatku menoleh, Jinan berjalan keluar kamar melewatiku menuju kamar mandi, aku memandanginya tak berkedip, malah mataku sepertinya melotot terbuka lebar menikmati pemandangan ini. Jinan menenteng handuk, ia hanya memakai tanktop putih tipis, payudara dan putingnya tercetak jelas, bahkan warna kulit eksotisnya itu samar-samar menerawang, ia juga mengenakan celana pendek, sangat pendek, bahkan terlalu pendek sehingga bongkahan bokong kencangnya mengintip keluar. Jinan langsung masuk ke kamar mandi, tak menghiraukanku yang bengong dan tak dapat berkata-kata melihat indah lekuk tubuhnya. Tak perlu waktu lama bagi penisku untuk bereaksi dan menegang. Otakku terus menerus mengulang apa yang baru saja kulihat, kuperbaiki posisi dudukku, celanaku sudah terasa sesak. Semakin aku berusaha memikirkan hal lainnya, semakin otakku membayangkan hal yang tidak-tidak dengan Jinan, terlebih lagi karena sudah seminggu lebih aku tidak memuaskan diri dan membuang muatan spermaku yang sepertinya sudah penuh.

Kuputuskan untuk duduk di balkon sambil merokok untuk meredakan semua pikiran kotorku, tiga batang rokok habis sebelum Jinan akhirnya selesai mandi dan berganti baju. Ia kini memakai gaun selutut tanpa lengan berwarna putih yang jika dilihat sekilas mirip dengan apa yang ia pakai ketika menyanyikan lagu Rapsodi. Kami langsung meninggalkan apartemen ini dan menuju bar tempat aku dan teman-temanku akan perform selama beberapa jam nanti.

Sesampai di bar Jinan langsung duduk di salah satu meja, aku meninggalkan dia untuk bertemu dengan manager bar dan mengkonfirmasi tentang detail penampilanku dan teman-temanku malam ini. Dari jauh aku melihat Aya dan Eli sudah datang dan melambaikan padaku lalu langsung menuju meja tempat Jinan duduk, beberapa batang rokok kemudian percakapanku dengan abang-abang manager ini selesai dan aku langsung menghampiri mereka.

“Inget gak terakhir kali kita kesini kak Jinan dipangku om-om?” Celetuk Eli menyindir yang langsung diikuti tawa ketiga gadis yang berbagi meja denganku ini. Syukurlah, pengalaman buruk waktu itu tidak dibawa berlarut-larut dan menjadi trauma bagi mereka.

“Oiya malem ini kita ditraktir kak Jerry gaes.”

“Serius kak? Wiiih.” Eli berubah antusias dan langsung membuka-buka menu.

“Hah? Apa-apaan?” Aku terheran, tak pernah sekalipun aku berjanji akan mentraktir Aya ataupun gadis-gadis ini.

“Nilai aku semester ini udah keluar kak, dapet A semua loh.” Aya tersenyum lebar, aku dan dia sama-sama tahu bahwa awal semester ini, tepatnya bulan September lalu aku menjanjikan untuk mengabulkan permintaan Aya kalau nilainya bisa bagus.

“Mana liat dulu nilainya.” Aku tak begitu saja percaya pada Aya, tapi kemudian ia menyodorkan layar hapenya tepat ke mukaku, terpampang jelas nilai-nilai Aya dengan masing-masing mata kuliahnya dan benar saja, semuanya A, IP Aya semester ini 4, sempurna.

“Terus kamu minta ditraktir Ya?”

“Hehehe.” Aya hanya tertawa sambil mengangguk.

“Gak mau dipikirin lagi permintaannya?”

“Udah ini aja, daripada nanti aku mintanya yang berat-berat hayo.”

“Bener juga sih, yaudah deh.”

“Ih kok gitu sih gak mau berjuang buat adek sendiri?” Aya cemberut, aku hanya bisa mengerutkan dahi melihatnya. Sepertinya aku tak akan bisa mengerti isi pikiran wanita.

“Berarti ini jadi kan traktirannya?” Jinan bertanya memastikan, ia kini sedang melihat-lihat menu bersama Eli.

“Jadi!” Aya menjawab mewakiliku.

“Iya iya, nanti kakak bilangin managernya biar pesenan kalian masuk tagihan kakak malem ini.”

Kami lanjut berbincang-bincang lagi untuk beberapa saat lalu kemudian rombongan bandku datang, Galang membawa gitarnya, Mario membawa bassnya, dan Indra membawakan gitar yang akan kupakai nanti. Kami memasuki backstage dan bersiap-siap.

Tamu-tamu sudah mulai ramai berdatangan, aku dan teman-temanku menaiki stage. Penampilan kami malam ini dibuka dengan lagu Won’t Get Fooled Again dan My Generation dari The Who, kemudian dilanjut dengan The Show Must Go On dan I Want It All dari Queen, lalu Always dan Livin’ On A Prayer dari Bon Jovi, terakhir Blitzkrieg Bop dari Ramones dan Surrender dari Cheap Trick sebelum kami menerima request dari penonton. Di tiap sela-sela lagu aku selalu menyapa tamu-tamu yang datang agar aku tak kehabisan napas bernyanyi tanpa henti. Seperti sebelumnya, staff-staff di sini berkali-kali menyuguhkanku bir di gelas plastik, aku terbawa suasana panggung dan sudah tak peduli lagi, bodoamat lah pikirku, malam ini harus meriah. Hanya satu yang tidak membuatku tampil lepas malam ini, Jinan. Tubuhnya masih terbayang di kepalaku, penisku tak henti-hentinya ereksi sedari tadi, napsu birahiku meningkat, apalagi ditambah alkohol yang mengalir di dalam darahku. Beberapa jam berlalu, kini saatnya aku turun panggung karena Galang akan bernyanyi dan bermain gitar sendiri membawakan beberapa lagu akustik. Indra dan Mario memilih untuk duduk di pojokan panggung.

“Bagus banget kak performnya barusan.” Pundakku ditepuk dari belakang saat aku sedang duduk beristirahat di backstage. Aku menoleh ke arah suara itu yang ternyata adalah milik Mira.

“Mir? Lo ngapain di sini?” Aku harus mendongak ke atas untuk bisa melihat wajah Mira, ia berdiri sangat dekat, payudaranya tepat berada di depan wajahku.

“Tahun baruan lah kak, yang punya bar ini kan om aku.” Aku mengangguk mendengar penjelasan Mira, otak kotorku mulai bekerja mencari cara agar aku bisa memuaskan hasratku malam ini.

“Eh Mir, sini gue bisikin.” Mira mendekatkan telinganya untuk kubisiki, semerbak wangi parfum dan tubuhnya memenuhi hidungku, merangsangku menjadi lebih bernapsu.

“Mau enak lagi kaya kemarin gak?” Bisikku pada Mira.

“Ih kakak! Nakal!” Mira menepuk pundakku lagi sambil tersenyum, ia kemudian menoleh kanan-kiri sambil mengangguk pelan. Mira langsung menarik tanganku masuk ke dalam sebuah gudang di pojok belakang bar ini. Persetan dengan masalahku dan rencana Jinan, aku harus lega dan menuntaskan napsuku yang tak tertahankan terlebih dahulu.

“Mmhh… clp…” Kami langsung berciuman, Mira menutup pintu dengan satu tangan, langsung saja kutarik celana jeans dan celana dalamnya sampai ke lutut, Mira kusuruh menungging dan kudorong ke dinding.

“Langsung ya, gue gak punya banyak waktu.” Kulumasi penisku dan vagina Mira dengan liurku, dan setelah beberapa kali menggesekkan penisku di bibir vaginanya, aku langsung menusuk masuk.

“Angghh… kak… iya… bikin enak lagi.” Mira menoleh ke belakang menatapku nanar, kugerakkan pinggulku maju mundur, kedua tanganku memegangi bokong Mira yang montok, meremas-remasnya. Aku tahu aku tak punya banyak waktu sebelum Galang selesai dan aku harus mulai bernyanyi lagi.

“Ahhh… mmmhhh… mmmhhh… mmmhh…” Mira kelepasan mendesah, yang membuatnya panik dan langsung menggigiti kerah bajunya sendiri untuk menahan desahannya itu. Aku semakin memacu kecepatanku, kuhujamkan penisku dalam-dalam.

“Mmmhhh… nggghh… ngghhhhh…” Mira jatuh dan berlutut tak kuat menahan kakinya yang bergetar, tubuhku langsung mengikuti, tak ingin melepaskan penisku dari cengkeraman vagina Mira yang masih sama sempitnya saat aku mengambil perawannya.

“Hahhh… hahh…” Mira sudah tak bisa mengatur napasnya.

“Hahh… memek lo bikin gue gila…” Aku meracau tak jelas, kembali kupercepat tempo permainanku, Mira kini mengisap-isap jari tengahnya sendiri.

“Mmmhh… mmmhh… mmmh… mmhhh…” Mira menoleh ke belakang, jari tengahnya kuganti dengan jari tengahku yang diisapnya, gerakanku tak bisa kuhentikan, pinggulku bergerak dengan sendirinya oleh rangsangan vagina Mira.

“Mmmhh… pahhh… ahhh… ahhhh… aaaahhh…” Jariku keluar dari mulutnya, Mira tak bisa lagi menahan desahannya sendiri, orgasmenya datang, penisku dibanjiri cairan kenikmatan Mira yang hangat, dinding vaginanya bertambah rapat dan menyedot penisku kuat.

“Aaarghh… kak… ahhh… ampun… aahhh…” Aku tak berhenti bergerak walau Mira sedang orgasme, kurasakan semburan demi semburan cairan kembali membasahi penisku, Mira orgasme berkali-kali dalam waktu kurang dari semenit.

“Kak… tolong… ahhhmpun…” Aku tak menghiraukan Mira, dirinya yang memohon-mohon seperti itu justru membuatku semakin berada di ujung, kucabut penisku dan langsung kukocok.

“Hahhh… hahhh… jangan… ngotorin gudangnya…” Mira berbalik badan dan duduk bersandar di dinding, ia kini sudah kehabisan napas. Aku mengangguk pada Mira dan kuarahkan penisku ke dalam mulutnya yang masih kesusahan mengambil napas. Mira menyambar penisku dengan tatapan yang sayu, penisku langsung disedotnya keras-keras dan akupun ejakulasi.

“Ahhh… Mir… ahh… ahhh… Miraaargh…” Kupegang kepala Mira dan kutarik, penisku kudorong masuk lebih dalam bersamaan dengan ejakulasiku.

Aku menarik penisku keluar, Mira membuka mulutnya, semua spermaku ditelannya bersih.

“Makasih ya Mir.”

“Makasih juga kak… hahh… hahh…” Mira masih lemas, tubuhnya pun masih bergetar karena berkali-kali kubuat orgasme. Namun tak ada waktu, kami langsung merapikan pakaian dan mengusap keringat sebisa kami dan berjalan keluar.

Aku kembali ke atas panggung dan melanjutkan penampilanku yang berakhir sukses di jam setengah 12, penonton bertepuk tangan; aku, Mario, Galang, dan Indra tersenyum bahagia karena respon penonton. Aku lalu kembali ke meja Aya dan menghabiskan sisa malam ini bersama mereka, benar-benar malam yang menyenangkan bagiku, 2020 dan semua kesempatan bagiku untuk memulai kembali kini terbuka lebar. Kejadian tadi memang membuatku lega dan menyalurkan napsuku, tapi juga menyisakan bekas di lubuk hatiku, aku merasa jijik dan marah, janjiku sendiri untuk berubah telah kulanggar. Otakku mulai tak waras. Manusia mana yang bisa se-munafik aku dan dengan mudahnya mengkhianati tekadku sendiri?
update part 20
spesial buat yang ulang tahun ke 20
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd