Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Istri Solehah

PART 7 A

"Mba Mira kenapa ya? Ya Allah, semoga mba Mira hanya tertidur saja jadi tidak menjawab panggilanku." Gumam Nia mulai khawatir.
Nia masih ragu untuk pergi, tapi ia juga tidak bisa memaksa masuk ke dalam kamar Mira. Tidak akan sopan jika ia berbuat seperti itu, tapi rasanya Nia benar-benar khawatir dengan keadaan Mira saat ini. Karna memang, sejak Rafi berangkat kerja tadi, wajah Mira langsung berubah sendu dan kulitnya pucat. Nia takut jika Mira sedang sakit, tapi dia tidak mengatakannya pada siapapun.

Nia pun kembali ke ruang makan, dan menutup semua menu makan siang dengan tudung saji. Lalu ia melangkah mengambil sapu dan kain pel, Nia lebih memilih mengerjakan pekerjaan yang lainnya agar cepat selesai. Cukup lama waktu yang di butuhkan untuk Nia menyelesaikan pekerjaannya, karna lantai di rumah itu cukup luas. Tapi Nia mengerjakannya dengan senyum dan ikhlas, sehingga pekerjaannya itu tidak terasa melelahkan sedikitpun.

"Alhamdulillah, pekerjaan siang ini sudah selesai. Hanya tersisa beberapa pekerjaan lagi, tapi setidaknya aku bisa beristirahat sekarang." Gumam Nia dengan tenang. Tapi Nia sadari seseorang sejak tadi sudah berdiri berjarak 1 meter darinya, orang itu menatap Nia dengan senyumnya. Apalagi saat Nia memeras kain pel itu dan senyumnya mengembang, ia merasa Nia begitu menikmati pekerjaannya itu.

"Assalamualaikum" ucap orang itu pada Nia.
Nia menoleh dan menjawab salam itu, lalu ia segera mencuci tangannya dan menghampiri tamu yang baru saja datang.

"Waalaikum sallam, Ummi Latifah. Apa kabar?" Jawab Nia dengan senyumnya.
Latifah tersenyum lebar, ia merasa senang jika berbicara dengan gadis itu. lalu ia pun menjawab pertanyaannya, dan kembali bertanya.

"Alhamdulillah baik, sepertinya kamu senang sekali mengerjakan pekerjaan rumah seperti itu. Padahal biasanya anak muda itu sangat malas untuk membereskan rumah sendiri, kenapa kamu malah senang membereskan rumah orang lain?" Balas Latifah merasa heran.
Nia tertawa kecil, tawa yang halus dan tanpa suara. Benar-benar seorang gadis yang tau betul akan sunah, Latifah benar-benar merasa kagum pada Nia.

"Aku memang suka membersihkan rumah Ummi, lagipula kebersihan itu sebagian dari pada iman." Jawab Nia apa adanya.
Latifah semakin takjub saja dengan kealiman anak gadis itu, ia berharap jika Nia yang akan menjadi istri kedua Rafi nanti. Karna Latifah bisa memastikan jika keturunannya akan baik jika Nia yang mengandung, tapi ia hanya bisa berharap karna keputusan sepenuhnya ada di tangan Mira.

"Ummi sangat bangga padamu nak, kau masih muda, cantik, sholehah, tapi kau tidak malu untuk bekerja seperti ini." Ungkap Latifah sambil membelai pipi Nia. Nia tersenyum malu mendengar pujian dari Ummi Latifah, baginya pujian itu terlalu berlebihan.

"Alhamdulillah, karna aku memang suka dengan pekerjaan ini Ummi." Jelas Nia dengan senyumnya.
Latifah benar-benar kagum kali ini, Nia yang merupakan anak muda jaman sekarang masih bisa meyakini kisah-kisah islami jaman rasul itu. Bahkan sepertinya Nia begitu menjungjung tinggi agamanya, benar-benar gadis yang sulit dan langka untuk di temukan.

"Ummi benar-benar tidak menyangka, kau begitu mengerti tentang agamamu nak." Puji Ummi Latifah dengan wajah harunya.

"Masya Allah, tidak juga Ummi. Saya masih belajar, belum sehebat itu untuk mendapat pujian." Jawab Nia dengan malu.
Ummi Latifah ikut tersenyum, entah kenapa ia merasa nyaman berada di dekat gadis itu. Auranya yang positif dan kata-katanya yang manis membuat Latifah begitu senang di dekatnya, sangat jarang sekali Latifah bisa merasakan ketenangan yang senang seperti ini.

"Ah ya Nia, apa Mira ada di rumah?" Tanya Latifah kembali ke tujuan awalnya.
Nia menatap Ummi Latifah sesaat, lalu ia kembali menunduk dan menyesal. Ia lupa jika Ummi Latifah ke sana pasti ingin bertemu Mira, tapi ia malah mengajaknya berbicara terus.

"Astagfirullah, maaf Ummi. Ada, mba Mira ada di kamarnya. Ayo, Ummi masuk dulu." Jawab Nia merasa bersalah.
Latifah yang tau Nia merasa bersalah pun menepuk pundak Nia, dan menenangkannya.

"Tidak apa, kan Ummi yang mengajak Nia bicara. Sekarang tolong panggilkan Mira ya, Ummi mau bicara dengannya." Jelas Latifah pada Nia.
Nia mengangguk paham, lalu ia mengantar Ummi Latifah dulu ke ruang keluarga. Setelahnya Nia melangkah ke kamar Mira, dan mengetuk pintu.

Tok.. tok.. tok..

"Assalamualaikum mba, ada Ummi di depan." Ucap Nia dengan suara halusnya.
Beberapa saat menunggu akhirnya ada jawaban dari dalam, lalu pintu itu pun terbuka.

"Waalaikum sallam, ya sudah kita ke sana." Jawab Mira dengan wajah pucatnya.
Nia sempat terdiam sesaat, melihat wajah Mira yang berbeda dari biasanya. Ia tidak tau ada masalah apa di antara Mira dan Ummi Latifah, tapi sepertinya masalah itu cukup berat untuk mereka. cukup Nia, jangan ikut campur masalah mereka. Kau hanya orang asing, jadi sadarilah posisimu.' batin Kisha mengingatkan. Nia mengangguk pelan, lalu ia memilih untuk ke dapur dan membuatkan minum untum kedua orang itu. Setelah selesai, Nia langsung membawa minum itu dan memberikannya pada Ummi Latifah dan Mira.

"Nia, makan siangnya tolong di hangatkan ya? Kita akan makan siang bersama dengan Ummi." Pinta Mira dengan senyum tipisnya.
Nia mengangguk lalu ia kembali menunduk dan melangkah menuju dapur, ia menghangatkan kembali masakannya yang sudah mulai dingin. Lalu menyusunnya kembali di atas meja, tidak lupa Nia menyiapkan alat makan untuk mereka. Setelah semuanya selesai, Nia merapikan dan membersihkan dulu alat dapur yang tadi di pakainya. Lalu setelah itu ia memberitahu Mira, jika makan siangnya sudah siap.

"Akhirnya Ummi datang juga, Ummi sudah makan siang?" Tanya Mira sambil mencium tangan Latifah.

"Iya, jalan cukup padat hari ini Ummi jadi terlambat datang. Belum sih, Ummi belum sempat makan siang tadi." Jawab Ummi Latifah.
Mira mengangguk paham, lalu ia pun mengajak Latifah untuk makan siang bersama. Tepat sekali Nia baru selesai menghangatkan makanannya, mereka pun makan siang bersama lebih dulu sebelum berbicara serius nanti.

"Masya Allah, makanannya nikmat sekali." Puji Latifah pada masakan Nia.

"Tentu saja Ummi, ini buatan Nia." Jawab Mira dengan senyum tipisnya.

"Benarkah? Wah, Nia kamu memang hebat." Balas Ummi Latifah memuji Nia.
Mira hanya tersenyum tipis mendengar pujian Latifah pada masakan Nia, sedangkan Nia hanya menunduk malu mendengar pujian terus berdatangan padanya.

"Alhamdulillah kalau Ummi Latifah suka, Nia ikut senang." Balas Nia seadanya.
Ummi Latifah tersenyum puas dengan hasil masakan Nia, rasanya begitu pas di lidahnya. Latifah makan dengan lahapnya, sampai beberapa kali menambah porsi makannya.

"Wah mah, sepertinya makanannya sangat nikmat sampai mamah nambah sebanyak itu?" Tanya Mira cukup terkejut melihat porsi makan Ummi mertuanya yang tidak biasa.

"Iya nih nak, Ummi juga tidak tau tapi rasanya mau nambah terus." Jawab Ummi Latifah heran.
Mira hanya tersenyum saja, begitu juga Nia yang merasa lucu melihat Ummi Latifah makan cukup banyak sekali. Mereka pun melanjutkan makan siangnya dengan tenang dan nyaman, hanya suara alat makan saja yang berdenting di atas meja. Sampai akhirnya makanan di piring mereka masing-masing sudah habis, lalu Nia langsung merapikan piring-piring yang kotor itu dan membawanya ke wastafel.

"Nia, aku dan Ummi ke ruang keluarga dulu ya? Nanti kamu ke sana saja, sambil membawa minuman dan kudapan ya?" Ucap Mira memberitahu.

"Iya mba, nanti aku bawakan." Jawab Nia mengangguk paham.
Lalu Mira dan Ummi Latifah pun melangkah ke ruang keluarga, mereka akan berbicara di sana saja. Karna tempatnya lebih nyaman, dan mereka juga masih menunggu Nia untuk ikut bergabung bersama mereka. Kini Latifah dan Mira sudah duduk berhadapan di ruang tengah, lalu Nia datang dan membawakan minuman untuk mereka semua.

"Nia, tolong duduk di sini!" Pinta Mira pada Nia.
Nia yang tidak tau apa-apa, hanya mengangguk dan duduk di samping Mira sesuai permintaan wanita itu. Sedangkan di hadapan mereka, ada Ummi Latifah yang menatap Mira dengan wajah sendunya.

"Jadi, apa yang mau kamu sampaikan pada Ummi nak?" Tanya Ummi Latifah pada Mira.
Mira menatap Nia dengan senyum tipisnya, sedangkan Nia merasa bingung karna tidak tau kenapa ia malah di minta untuk berada di sana juga. Mira lalu menatap Ibu mertuanya, dan menjelaskan maksud pertemuan ini.

"Ini tentang permintaan Ummi sebelumnya, aku dan mas Rafi sudah berdiskusi dari hati ke hati. Perdebatan panjang pun terjadi di antara kami, dan akhirnya kami memutuskan untuk..." Ungkap Mira sambil menahan sesak di dadanya. Ummi Latifah begitu serius mendengarkan perkataan Mira, ia tidak sabar mendengar keputusan dari kedua anak dan menantunya itu. Sedangkan Nia malah merasa tidak nyaman, masalah keluarga seperti ini tidak ada hubungan sama sekali dengannya. Tapi kenapa Mira malah memintanya untuk tetap tinggal, dan duduk bersama mereka?

"Mas Rafi akan berpoligami, untuk melanjutkan garis keturunannya dan menyempurnakan pernikahan kami yang belum sempurna ini." Sambung Mira dengan senyum tipisnya. Seketika suasana di ruangan itu sangat hening, karna tidak ada seorangpun yang membuka suaranya setelah pernyataan Mira itu. Ummi Latifah tersenyum tipis mendengar jawaban itu, memang di satu sisi ia merasa senang tapi di sisi yang lain ia juga merasa sedih karna keputusan ini akan menyakiti hati Mira sendiri.

"Kau yakin dengan pilihan itu nak? Poligami bukan hal yang mudah, kau harus ikhlas membagi suamimu untuk wanita lain juga." Tanya Ummi Latifah memastikan keputusan Mira. Mira menatap Ibu mertuanya sendu, ia memang belum sepenuhnya yakin dengan keputusan itu. Tapi ia tidak memiliki pilihan lain, dari pada suaminya tidak memiliki garis keturunan yang sah.

"Aku yakin Ummi, mas Rafi juga butuh peneruskan? Lagipula tujuan pernikahan itu salah satunya adalah memperbanyak keturunan, jadi Insya Allah aku yakin dengan keputusanku ini." Jawab Mira pasrah.

Latifah tersenyum lebar, ia benar-benar merasa bersalah karna sudah memaksa Mira mengambil pilihan ini. Tapi mau bagaimana lagi, Rafi tidak mungkin hidup bersama dengan Mira tanpa adanya seorang anak. Siapa yang akan mengurusnya nanti di saat mereka tua? Siapa yang akan meneruskan hak waris keluarganya?

Dengan berbagai macam pertimbangan, akhirnya Latifah terpaksa memilih jalan itu. Bukan ia tidak percaya pada Mira, hanya saja waktu semakin maju dan mereka semakin tua. Sudah waktunya melihat seorang anak tumbuh dewasa, Latifah tidak memiliki pilihan lain selain mendesak mereka untuk melakukan itu.

"Maafkan Ummi, Mira, kamu pasti sangat terluka dengan keegoisan Ummi ini." Ungkap Latifah dengan sedih.
Mira menatap Ummi mertuanya itu dengan senyum tipis, ia tau jika Ibu mertuanya itu juga terpaksa melakukannya. Ummi mana yang tega melihat anaknya menikah cukup lama, tapi belum juga memiliki keturunan satupun.

"Tidak apa Ummi, aku mengerti." Jawab Mira dengan tenang.
Nia yang mendengar pembicaraan Mira dan Ummi Latifah merasa tidak pantas berada di sana, ia hanya orang asing di sana tapi sudah di perdengarkan masalah keluarga seinti ini.

"Maaf mba, Ummi, sepertinya saya kembali ke belakang saja ya?" Izin Nia pada Mira dan Latifah karna tidak nyaman mendengar semua masalah keluarga itu. Mira dan Ummi Latifah menatap Nia yang menunduk gelisah, lalu Mira melarang Nia untuk kembali ke dapur karna ada hal yang ingin ia katakan juga pada Nia.

"Tidak Nia, kau harus tetap di sini karna ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu." Jawab Mira melarang.
Nia kembali menunduk, ia semakin bingung dengan semua itu. Kenapa ia tidak boleh pergi dari sana? Memang apa hubungannya masalah keluarga itu dengan dirinya?

"Tapi mba, rasanya tidak pantas orang luar sepertiku ini mendengarkan masalah keluarga kalian sedalam ini." Ungkap Nia pada Mira.
Mira tersenyum mendengar perkataan Nia, lalu ia pun menatap Ummi Latifah dan sepertinya Ummi Latifah juga sudah paham dengan maksud Mira itu.

"Jadi, apa kau sudah menentukan calon istri kedua untuk Rafi? Kira-kira siapa dia?" Tanya Latifah memastikan.
Mira mengangguk pasti, lalu ia pun tersenyum sambil menatap Nia yang masih saja menunduk. Sepertinya Nia memang tidak tertarik untuk mendengarkan masalah itu, ia masih menjaga dirinya untuk tidak ikut campur dalam masalah pribadi orang lain.

"Sudah Ummi, dan sepertinya Ummi juga menyukainya." Jawab Mira dengan senyum tipisnya.
Ummi Latifah sudah menduga siapa yang Mira maksud itu, dan ia pun ikut tersenyum jika memang dugaan itu benar adanya.

"Ummi percaya pada pilihanmu nak, Ummi yakin kamu bisa menentukan yang terbaik." Ungkap Ummi Latifah dengan senyumnya.
Mira mengangguk paham, lalu ia melirik Nia yang hanya diam saja sejak tadi. Dan tiba-tiba terdengar adzan Ashar berkumandang, baik Nia, Mira, atau Ummi Latifah mereka sama-sama mengucapkan syukur.

"Alhamdulillah, sudah adzan Ashar" ucap Nia, Mira, dan Ummi Latifah.
Lalu mereka sama-sama terdiam, sambil menunggu adzan selesai di kumandangkan. Setelah suara adzan benar-benar reda, baru mereka membuka suaranya lagi.

"Bagaimana jika kita solat berjamaah saja?" Usul bu Latifah pada Mira dan Nia.
Mira mengangguk setuju, begitu juga Nia. Lagipula solat berjamaah kan pahalanya lebih besar, tentu saja mereka setuju untuk melakukannya.

"Ya sudah kalau begitu, kita wudhu dulu. Setelah itu berkumpul di kamar tamu ya, kita solat di sana." Jelas Mira.
Nia dan Ummi Latifah sama-sama mengangguk paham, lalu mereka pun mulai berpencar ke tempatnya masing-masing. Mira ke kamarnya untuk berwudhu dan mengambil alat solatnya, begitu juga dengan Ummi Latifah yang memang memiliki kamar khusus di rumah itu. Sedangkan Nia ia sudah terbiasa solat di kamar tamu, jadi ia lebih dulu berwudhu lalu melaksanakan solat sunah sebelum Mira dan Ummi Latifah datang. Setelah selesai Ummi Latifah dan Mira pun datang, lalu mereka bersiap untuk solat Asharnya.

Setelah mereka menyelesaikan solatnya. Mereka sama-sama merapikan alat solat, dan menaruhnya di sana. Lalu ketiga wanita itu sama-sama keluar dari kamar tamu, dan berpisah arah. Nia melangkah ke dapur, karna harus menyiapkan makan malam sebelum ia pulang nanti. Sedangkan Mira dan Ummi Latifah kembali ke ruang keluarga, mereka akan melanjutkan obrolan yang belum selesai tadi. Tapi tanpa di duga, mereka kedatangan satu anggota lagi yang merupakan pemeran utama dari pembahasan mereka kali ini.

"Assalamualaikum mah" ucap Rafi pada Latifah sambil mencium tangan sang Ummi.

"Waalaikum sallam nak, kapan kamu pulang? Ummi tidak tau." Jawab Latifah heran.
Rafi duduk di samping Mira, lalu Mira mencium tangannya.

"Saat kalian solat tadi, jadi aku langsung ke kamar." Jawab Rafi seadanya.

"Pantas kamu sudah segar seperti ini mas" balas Mira sambil merapikan rambut Rafi yang sedikit berantakan.
Latifah tersenyum melihat perhatian Mira pada Rafi, ia jadi kembali merasa bersalah karna mendesak pasangan itu untuk melakukan hal yang paling menyakitkan untuk keduanya.

"Sekali lagi maafkan Ummi ya, Ummi benar-benar merasa begitu buruk karna meminta kalian melakukan hal ini." Ucap Latifah dengan sedih.
Mira dan Rafi mengalihkan perhatian mereka pada sang Ummi yang tertunduk bersalah, mereka juga jadi ikut merasa sedih karna mengingat kembali masalah hidup mereka yang terasa sulit itu.

"Sudah Ummi tidak apa, ini juga demi kebaikan kita semua. Aku ikut saja apa kata istriku, karna aku percaya dia tau yang terbaik untuk keluarga kami." Balas Rafi menenangkan Latifah.

"Iya Ummi, sudah jangan menyalahkan diri sendiri lagi. Kami sudah memutuskannya, ini juga demi masa depan kami. Kami tau Ummi melakukannya untuk kebaikan kami juga, jadi jangan berkata seperti itu lagi." Sambung Mira meyakinkan.

"Terima kasih karna kalian sudah mengerti Ummi, Ummi bersyukur memiliki kalian." Ungkap Latifah sambil menghampiri Rafi dan Mira lalu memeluk mereka. Ummi Latifah kembali duduk di sofa, lalu melanjutkan pembahasan yang belum tuntas itu. Walau sebenarnya Rafi tidak ingin membahasnya, tapi mau bagaimana lagi.

"Rafi, apa kamu sudah setuju dengan calon yang Mira siapkan?" Tanya Latifah pada Rafi.
Rafi terdiam, lalu ia pun menghela nafas panjang dan menjawab pertanyaan sang Ummi.

"Iya Ummi aku yakin dengan pilihan Mira." Jawab Rafi dengan tegas.
Latifah tersenyum mendengar jawaban Rafi, begitu juga dengan Mira yang memang menunggu jawaban Rafi yang tulus.

"Terima kasih mas, aku senang jika kau setuju dengan pilihanku." Ungkap Mira dengan senyumnya.
Rafi ikut tersenyum tipis melihat senyum Mira, padahal ia tau jika dalam hatinya Mira pasti sangat sedih dengan pembicaraan ini. Siapa yang tidak sedih jika suami tercintanya akan menikahi perempuan lain?

"Jadi, apakah calon istri kedua untuk Rafi itu adalah Nia?" Tanya Latifah langsung pada Mira.
Mira dan Rafi menatap Latifah dengan tatapan yang berbeda, Mira menatap Latifah dengan senyumnya. Sedangkan Rafi, dia menatap sang Ummi dengan bingung.

"Nia? Gadis itu?" Gumam Rafi mempertanyakan.
Latifah tersenyum tipis, lalu ia melirik Mira dan meminta Mira untuk menjelaskan semuanya pada Rafi. Mira tersenyum tipis lalu menunduk sesaat, ia pun memantapkan hatinya untuk memilih. Dan setelah ia benar-benar yakin, Mira langsung mengangkat wajahnya dan menjelaskan tentang pilihannya itu pada Rafi.

"Benar sekali mas, aku sudah memutuskan jika Nia yang akan menjadi istri kedua kamu. Ya itu pun jika ia setuju, aku tidak akan memaksanya." Jawab Mira dengan yakin.

"Kenapa dia? Kamu bahkan baru mengenalnya beberapa saat lalu." Tanya Rafi menuntut penjelasan.

"Mas, walaupun aku baru mengenalnya tapi aku yakin jika dia gadis yang baik. Aku yakin kamu sendiri juga merasakannya, Nia bukan seperti kebanyakan gadis yang bertingkah sembarangan. Insya Allah dia bisa jadi istri yang baik untukmu mas, dia bisa menjadi sosok yang sempurna untuk mendampingi kamu. Aku ikhlas jika istri kedua kamu adalah Nia, aku bahkan sangat mengharapkannya." Jelas Mira dengan senyum lebarnya. Rafi menatap Mira dengan sendu, lagi-lagi ia merasa sakit dengan perkataan Mira yang seolah pasrah dengan semua keadaan yang ada.

"Kamu yakin dengan pilihan kamu ini?" Tanya Rafi lagi memastikan.

"Aku sangat yakin mas, bahkan Ummi juga merasakan hal yang sama denganku." Jawab Mira langsung.
Rafi menatap Latifah meminta jawaban, lalu Latifah tersenyum dan mengangguk setuju.

"Ummi merasa Nia gadis yang baik, dia begitu menjungjung tinggi nilai agama dalam hidupnya. Ummi yakin, dia perempuan yang tepat untukmu Rafi." Jawab Latifah dengan tatapan penuh harapnya.

"Baiklah, jika memang itu yang kalian inginkan. Maka aku akan menikahinya, aku akan menikahi Nia." Putus Rafi membuat pernyataan.
Latifah tersenyum lega mendengar pernyataan itu, akhirnya kesempatan untuknya memiliki seorang cucu bukan sebuah mimpi lagi. Latifah sangat berharap pada Rafi, karna dia tidak memiliki anak lain lagi selain Rafi. Berbeda dari Latifah yang merasa lega, Mira justru merasa sesak dalam hatinya. Pernyataan Rafi membuat rasa sesak yang sejak tadi di tahannya kini semakin terasa, jika saja ia sedang sendiri saat ini sudah pasti Mira akan menangis dan menumpahkan semua rasa sesak yang mengisi hatinya itu.

"Syukurlah, akhirnya Ummi bisa bernafas lega sekarang." Ungkap Latifah senang.
Rafi dan Mira hanya tersenyum tipis mendengarnya, sedangkan mereka sama-sama merasakan sesak dan sakit dalam diri mereka. Seakan terikat oleh satu tubuh yang sama, Rafi dan Mira bisa merasakan perasaan satu sama lain yang seakan menyatu. Tapi mereka tidak bisa mengatakannya karna sang Ummi masih berada di hadapan mereka, tapi Rafi tidak hentinya membelai punggung Mira untuk memberi ketenangan dan kekuatan untuk yakin pada keputusan ini.

"Ya sudah, kalau begitu Ummi pulang dulu. Jika nanti Rafi siap untuk melamarnya, maka Ummi akan menemani kalian ke sana." Pamit Latifah dengan senyumnya. Rafi dan Mira sama-sama mengangguk, lalu mereka bangkit dan mengantar Ummi Latifah sampai ke depan rumah.

"Ummi pulang dulu ya, kalian jangan lupa kabarin Ummi kalau ada apa-apa ya?" Pamit Latifah lagi pada Rafi dan Mira.

"Iya Ummi, kami akan selalu menghubungi Ummi " jawab Rafi seadanya, sedangkan Mira hanya tersenyum tipis menanggapinya.

"Ya sudah kalau begitu, assalamualaikum" ucap Latifah lalu melangkah menuju taksi yang sudah di pesan sebelumnya.

"Waalaikum sallam" jawab Rafi dan Mira bersamaan, lalu mereka melambai pada taksi yang mulai melaju itu.
Setelah di rasa taksi itu sudah tidak terlihat lagi, Mira pun tidak sanggup lagi menahan emosi kesedihannya itu. Ia memeluk Rafi dengan erat, lalu menangis di pelukan suami tercintanya itu. Rafi yang mengerti perasaan Mira pun ikut menitikkan air matanya, ia mendekap Mira begitu erat. Tidak lupa Rafi membisikkan kata maaf pada Mira, karna ia tau rasa sakit yang Mira rasakan itu karna pernyataannya. Rafi dengan setia mendekap Mira dalam pelukannya, ia membiarkan Mira menangis sampai puas. Agar emosi yang terpendam dalam dirinya bisa keluar bersama dengan air mata, dan setelah itu Mira akan kembali tenang seperti sebelumnya.

Setelah Mira merasa benar-benar tenang, baru mereka masuk ke dalam rumah dan kembali duduk di ruang tengah. Hanya tersisa satu masalah lagi yang harus mereka selesaikan, yaitu memberitahu Nia tentang keinginan Mira itu. Tapi untuk tugas yang satu ini Rafi tidak akan ikut campur, biar Mira saja yang menjelaskan semuanya. Lagipula kalau ada Rafi di sana, Nia tidak akan mengeluarkan pendapatnya dengan bebas.

"Kamu sudah merasa lebih baik?" Tanya Rafi dengan tenang.
Mira mengangguk, lalu ia tersenyum pada Rafi untuk meyakinkan suaminya itu jika ia sudah baik-baik saja.

"Ya, terima kasih sudah menenangkan emosiku." Jawab Mira dengan senyumnya.
Rafi ikut tersenyum melihat sang istri kembali menampilkan senyumnya, ini berarti Mira sudah lebih tenang dari sebelumnya.

"Sudah tugas aku untuk memelukmu di saat kamu menangis, dan tetap bersamamu di saat kesedihan itu datang menyapa." Balas Rafi dengan lembut.

"wah, ternyata mas Rafi bisa berkata-kata puitis juga." Ungkap Mira bercanda.
Rafi tersenyum tipis mendengar hal itu, memang benar jika ia tidak bisa berkata-kata manis seperti kebanyakan pria. Hanya saja Rafi selalu mengatakan apa yang hatinya rasakan, dan hal itu terkadang membuatnya seperti seorang yang

"Ya sudah, aku ke kamar dulu." Pamit Rafi pada Mira.
Mira mengangguk paham, lalu Rafi melangkah meninggalkan Mira dan kembali ke kamarnya. Sedangkan Mira langsung bersandar sesaat, sambil menunggu Nia selesai memasak. Di sisi lain, Nia baru saja menyelesaikan masakannya. Ia juga sudah membersihkan alat masak yang di pakainya tadi, kini semua pekerjaannya sudah selesai. Nia melangkah menghampiri Mira yang berada di ruang tengah untuk pamit, ia akan pulang lebih awal hari ini karna semua pekerjaannya sudah selesai.

"Assalamualaikum mba, semua pekerjaan saya sudah selesai. Apa ada yang mba butuhkan lagi?" Tanya Nia memastikan.
Mira yang tadi sedang terpejam pun langsung membuka matanya, ia melirik ke samping tepatnya kepada Nia yang berdiri di sana menunggu jawabannya.

"Waalaikum sallam, tidak ada. Tapi aku ingin membicarakan sesuatu denganmu, bisakah kamu duduk dulu?" Jawab Mira dengan senyum tipisnya. Nia mengangguk pelan, lalu ia duduk di samping Mira sesuai arahannya.

"Ada apa mba? Apa ada masalah?" Tanya Nia merasa cemas.
Mira tersenyum tipis pada Nia, lalu ia pun duduk sedikit menyamping menghadap ke Nia. Rasanya Mira ragu jika Nia akan menerima permintaannya, tapi hanya dia yang Mira percaya untuk berbagi suami dengannya.

"Nia, kau sudah mendengar masalah rumah tanggaku bukan?" Tanya Mira serius.
Nia mengernyit tidak mengerti, memang ia sudah mendengarnya tapi itu juga karna perintah Mira yang memintanya untuk ikut mendengarkan masalah itu bersama.

"Ya, aku tau sedikit" jawab Nia seadanya.
Mira pun menghela nafasnya sedikit kasar, terlihat sekali jika ia sedang gusar akan sesuatu.

"Nia, aku dan mas Rafi sudah menikah selama 7 tahun. Tapi sepertinya kamu belum di beri kepercayaan untuk memiliki keturunan, sehingga Ummi mertuaku mulai khawatir dengan garis keturunannya yang belum terlihat. Aku sudah berkali-kali mencoba program kehamilan, namun semuanya tidak membuahkan hasil. Sampai akhirnya aku merasa mungkin memang ini takdir ku dan mas Rafi, tapi Ummi tidak mau seperti itu. Ummi ingin mas Rafi memiliki keturunan, karna memang salah satu tujuan pernikahan itu adalah keturunan. Hingga akhirnya Ummi menyarankan untuk mas Rafi berpoligami, tentu saja kami menolak keras permintaan itu. Tapi jika di pikirkan kembali, Ummi ada benarnya juga. Aku dan mas Rafi semakin lama akan semakin bertambah umur, jika kami tidak memiliki keturunan sampai tua maka hidup kami tidak akan bahagia. Masa tua kami akan kesepian, karna tidak ada yang bisa mengurus dan menghibur kami. Karna itulah, akhirnya aku juga meminta mas Rafi untuk berpoligami." Jelas Mira menceritakan masalah rumah tangganya pada Nia.

Nia hanya mendengarkan apa yang Mira ceritakan, rasanya memang menyakitkan jika membayangkan berada di posisi Mira. Tapi Nia hanya mendengar saja, ia pikir Mira sedang mencurahkan isi hatinya pada Nia. Mungkin karna Nia adalah temannya, jadi Nia juga mendengarkan dengan baik curahan hati Mira itu.

"Awalnya mas Rafi menolak keras permintaanku karna tidak ingin menyakiti dan mengkhianati perasaanku, tapi aku mencoba untuk memberinya pengertian jika pilihan itu yang terbaik untuk aku dan dirinya sendiri. Terutama untuk Ummi, yang sangat menginginkan kehadiran seorang cucu dalam kehidupannya. Aku tidak bisa egois, karna itu aku mendesak mas Rafi untuk menyetujui hal ini. Dan akhirnya, mas Rafi pun setuju untuk menikah lagi." Lanjut Mira menyambung ceritanya. Nia menatap Mira terkejut, ia tidak percaya dengan pilihan beresiko yang Mira lakukan. Tapi mengingat sisi lain yang memang mendorongnya ke arah pilihan itu, rasanya tidak ada jalan lain yang bisa mereka lewati. Mira menatap Nia dengan senyum, sedangkan Nia menatap Mira dengan wajah prihatinnya.

"Jadi Nia, maukah kamu menjadi istri kedua mas Rafi dan menjadi adikku seutuhnya?" Tanya Mira dengan serius sambil menggenggam tangan Nia dengan erat.
Mira menatap Nia penuh harap, walaupun sebenarnya hatinya terasa sangat sakit mengatakan hal itu pada orang lain. Tapi Mira harus bisa, ini juga demi rumah tangganya dengan Rafi yang mulai hampa. Sedangkan Nia yang mendengar hal itu langsung melebarkan matanya, rasanya terlalu sulit untuk di jelaskan dengan kata-kata. Ia pun terpaku, waktu seakan berhenti seketika untuk Nia. Pikirannya kosong, dan jantungnya seakan terlepas dari tempatnya.

"Apa yang mba katakan? Apa mba bercanda?" Tanya Nia tidak percaya.
Mira tersenyum tipis, walaupun matanya berair menunjukkan jika ia juga merasa tersakiti dengan hal ini.

"Hanya kamu Nia, aku hanya ingin kamu yang mendampingi mas Rafi bersama aku." Jawab Mira memperjelas permintaannya.

"Jadi mba ingin aku menjadi istri kedua mas Rafi hanya untuk mendapatkan keturunan? Mba, pernikahan bukan hal yang bisa di permainkan. Pernikahan itu sakral dan suci, mana bisa di buat menjadi perjanjian seperti ini?" Tukas Nia kecewa. Air mata Mira kembali jatuh ke pipinya, ia tidak tau harus berkata apa agar Nia mengerti dengan perasaannya.

"Nia tolong, mengertilah posisiku! Aku juga merasa sakit dan terluka karna keputusan ini, tapi mau bagaimana lagi? Daripada mas Rafi menikah dengan wanita lain yang tidak tau bagaimana akhlak dan sifatnya, lebih baik kamu yang menjadi istrinya. Aku tau kamu baik, pengertian, dan pintar Nia. Tolong bantu rumah tangga aku, aku mohon!" Pinta Mira pada Nia.

Nia terdiam, ia tidak tau harus menjawab apa di posisi yang sulit seperti itu. Karna nyatanya, ia sama sekali tidak terpikirkan jika Mira akan meminta hal yang tidak terduga itu darinya. Tidak mudah untuk menjalankan pernikahan, karna pernikahan bukan sesuatu yang bisa di permainkan oleh siapapun. Karna pernikahan itu menyangkut dua keluarga yang asing menjadi dekat, dan menyatukan dua hati untuk saling terikat.

"Saya tidak tau mba, saya tidak bisa menjawabnya saat ini. Saya sendiri masih tidak percaya mba Mira akan mengatakan hal ini, sangat sulit untuk saya menerima semua ini. Saya jaga tidak bisa memutuskan sendiri, saya harus berbicara dulu dengan ayah saya. Dan mencari jalan terbaik, tapi maaf saya tidak bisa berjanji untuk menerimanya." Jawab Nia tidak yakin.
Mira memejamkan matanya, menahan air mata yang sudah menumpuk di pipinya. Tapi nyatanya semua itu sia-sia, karna air mata itu tetap mengalir deras di pipinya.

"Nia, tolong di pikirkan lagi. Aku mohon, ini demi kebaikan kita semua." Tekan Mira dengan sangat.
Nia memejamkan matanya sesaat, ia mencoba untuk menguatkan hatinya di saat yang sulit seperti ini. Lalu ia kembali membuka matanya, dan memilih untuk berpamitan pada Mira. Ia butuh waktu, untuk memikirkan semua masalah itu.

"Akan aku pikirkan, sekarang aku pulang dulu mba. Ayah pasti sudah menunggu, assalamualaikum." Ucap Nia lalu meninggalkan Mira begitu saja.

Ini pertama kalinya Nia bertingkah tidak baik kepada orang lain, tapi itu bukan karna ia sengaja atau kebiasaan. Tapi karna Nia tidak tahan lagi berada di sana, Nia tidak bisa menahan emosinya untuk tetap tenang di saat air mata Mira mengalir bagai duri yang terus menusuk hatinya.
Nia sudah meyakinkan dirinya jika Mira adalah sosok kakak untuknya, bagaimana bisa ia melihatnya menangis begitu pilu dan menyakitkan. Nia tidak bisa, tapi ia juga tidak mungkin mengambil keputusan dengan gegabah. Nia harus memutuskan semuanya dengan kepala dingin, tanpa paksaan dari pihak manapun juga.

Tepat saat Nia keluar dari gerbang rumah, di sana ada taksi kosong yang melintas. Nia langsung menghentikan taksi itu, dan naik ke dalamnya. Lalu taksi itu melaju, membelah jalanan kota yang ramai dan padat. Tanpa di sadari, seseorang menatap kepergian Nia dengan wajah sendu dari balkon kamar di lantai dua. Ia melihat jelas, wajah gadis itu saat ia keluar dari rumahnya. Ada kesedihan, dan air mata di sana. 'maaf, kalau keputusan kami membuatmu ikut terluka. Tapi kami membutuhkan bantuanmu, demi rumah tangga kami dan garis keturunanku yang harus segera hadir.' batin orang itu dengan tatapan sendunya.

Di sisi lain, Nia menangis dalam diam di taksi itu. Ia tidak tau harus berbuat apa, perasaannya sakit saat Mira memintanya untuk menikah dengan Rafi. Nia merasa jika dirinya hanya sebuah boneka yang bisa di permainkan oleh siapapun, padahal nyatanya ia juga manusia sama seperti mereka. Tapi kenapa mereka sedikitpun tidak memperdulikan perasaannya, dan malah menekannya dalam pilihan yang sulit untuk di tolak olehnya.

Nia menghapus air matanya, ia harus kuat dan meyakinkan hatinya pada sang ilahi. Jika memang takdirnya harus menikah dengan Rafi, Nia tidak bisa menolak ya. Tapi sebelum menentukan pilihannya, Nia harus berbicara dulu pada sang ayah. 30 menit kemudian Nia tiba di depan rumahnya, ia pun keluar dari taksi setelah membayar biaya antarnya. Lalu Nia langsung masuk ke dalam rumah, tidak lupa ia mengucap salam terlebih dahulu.

"Assalamualaikum" ucap Nia dengan santai.
Nia duduk di sofa, lalu keluarlah Umar dari kamarnya. Nia langsung bangkit, dan mencium tangan sang ayah.

"Waalaikum sallam, kamu sudah pulang nak?" Jawab Umar sambil melangkah keluar dari kamar.

"Iya yah, pekerjaanku sudah selesai semua." Balas Nia seadanya.
Umar menatap wajah Nia yang terlihat berbeda dari biasanya, ia pun menyadari jika ada masalah yang sedang di hadapi oleh putri tercintanya itu.

"Ada apa nak? Ceritalah pada ayah, ayah akan mendengarkanmu." Tanya Umar dengan lembut.
Nia menatap sang ayah dengan wajah sendu, lalu ia langsung memeluk Umar dan menangis dengan pilu. Umar membelai kepala Nia, dan membiarkan Nia meluapkan emosinya saat ini.

"Tidak apa nak, menangislah jika itu bisa membuatmu tenang. Ayah akan selalu bersamamu, kau tidak sendirian." Bisik Umar pada Nia.
Mendengar hal itu air mata Nia semakin mengalir dengan deras, seperti sebuah sungai yang tidak ada ujungnya. Dengan setia Umar memberi kekuatan dan kehangatan, dalam pelukannya. Ia tau jika Nia memiliki masalah yang cukup berat kali ini, dan ia akan berperan penting dalam penyelesaian masalah yang di alami putrinya itu. Setelah beberapa saat menumpahkan emosinya di pelukan Umar, Nia pun melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya yang tersisa di pipinya itu. Kini wajah Nia tampak sembab, dengan hidung dan pipi yang memerah karna habis menangis.

"Anak ayah tumben sekali menangis, ada apa hm?" Tanya Umar akhirnya mempertanyakan alasan tangis Nia pecah.
Nia duduk dengan gelisah di pangkuan sang ayah, ia menunduk karna malu harus bercerita tentang masalahnya pada Umar.

"Ayah, mba Mira ingin Nia menjadi istri keduanya mas Rafi. Menurut ayah bagaimana?" Ungkap Nia sambil menunduk dalam.
Umar menatap Nia sedikit terkejut, ia tidak menyangka jika masalah yang di hadapi oleh putrinya cukup sulit.

"Apa ada alasan yang kuat untuk melakukan hal itu?" Tanya Umar serius.
Nia memainkan jarinya ragu, ia sendiri tidak tau apa alasan itu kuat atau tidak untuk melakukan semua itu. Tapi Nia tidak ingin berbohong pada ayahnya, ia akan menceritakan semuanya pada sang ayah.

"Pernikahan mereka tidak sempurna karna belum memiliki keturunan, orang tua mas Rafi mendesaknya untuk segera memberikan penerus untuk menjadi pewaris mas Rafi. Tapi mba Mira belum bisa melakukannya, berbagai program sudah di lakukan olehnya tapi semua itu tidak berhasil. Hingga akhirnya mereka memilih jalan lain, yaitu dengan berpoligami. Aku tidak tau ayah ini benar atau tidak, tapi rasanya aku merasa sedih dengan keadaan mereka." Jelas Nia dengan sendu. Umar tersenyum mendengar penjelasan Nia, tidak di ragukan lagi jika memang perasaan Nia itu tulus dan bersih. Tapi berpoligami bukanlah hal yang mudah, Umar takut putrinya tidak sanggup menahan hatinya untuk tidak terluka.

"Ini sulit Nia, ayah sendiri ragu untuk menjawabnya. Karna pernikahan bukanlah hal yang bisa di permainkan, lagipula ayah takut kamu tidak bisa menahan hatimu untuk tidak terluka. Berpoligami tidaklah baik, apalagi jika rasa cemburu mulai menghampiri. Nia, ayah tidak bisa menjawab dengan pasti masalahmu ini. Tapi ada satu cara yang bisa ayah lakukan untuk menenangkan pikiranmu untuk mendapat jawaban jelasnya, membuat vaginamu klimaks nak." Jawab Umar dengan tegas.

Nia mengangguk paham, ia juga mengerti apa yang ayahnya itu katakan.

Nia masih terdiam ketika tanpa diduganya tangan ayahnya yang memeluknya tiba-tiba meremas kedua buah dadanya membuat Nia terkejut luar biasa..

“ Nia sudah mulai terangsang yah….buah dada Nia mulai kenceng gini”

“Eh..ayah…iya ayah!”jawab Nia sambil menikmati remasan di payudaranya.

“Nikmatin saja nak…mala mini lupakan semuanya dan nimati saja semua yang ayah lakukan….ayah jamin pikiranmu bakal tenang nak…”
Nia tak bisa diam dan dirinya merasa terangsang dengan tingkah ayahnya yang tidak diduganya ini. Nia merasa merinding ketika tangan ayahnya yang memeluknya kembali meremas-remas buah dadanya dan Nia mulai merasakan nafas ayahnya tersengal memburu mengenai jilbabnya seperti tengah dilanda birahi.

“Nia pasti birahi khan….ayolah nikmati saja” desis Umar dengan suara gemetar sementara kedua tangannya terus meremas-remas buah dada montok di dada Nia yang masih tertutup jilbab putih yang lebar.

“ayah…..eemmmmhhhh…..!”desis Nia dengan tegang ketika tangan Umar kini menyusup ke balik jilbab putih lebar yang dipakainya.

“Sudahlah Nia…lupakan sejenak masalah poligami itu…mari kita bersenang-senang dulu”.desis Umar dalam.
Nia yang sudah dikuasai birahi, akhirnya pasrah ketika tangan ayahnya membuka kancing jubahnya di balik jilbab lebar yang dipakainya. Beberapa saat kemudian tangan ayahnya segera menyusup meremas buah dada milik Nia yang montok dan kencang tersebut membuat Nia merasa sebuah sensasi yang aneh dan membuatnya bingung.

“Mmm..montok dan kenyal…aku sudah lama merindukan bisa beginian dengan kamu Nia. kamu cantik, sintal selama ini selalu membuat ayah bergairah”
Bibir Nia tersenyum lebar mendengar ucapan ayahnya, Nia tidak menyangka bahwa ayahnya begitu mendambakannya selama ini. Belum hilang keterkejutannya Nia merasakan tangan Umar kemudian tidak hanya sekedar meremas-remas buah dada miliknya namun juga memilin puting susu yang tegang tersebut membuat tubuh Nia yang cantik ini menggeliat dan desahnya tak mampu ditahannya meloncat dari mulutnya.

“Ahhhh..ayaahhh..eennaaakkk!”desah Nia spontan.
Ini kedua kalinya puting susunya dipilin sedemikian rupa yang sangat membangkitkan nafsu birahinya. Namun di satu sisi dia merasa merinding karena yang memilin puting susunya dengan lihainya adalah ayahnya.

“Kita ke kamar aja nak..”bisik Umar begitu mesra kepada Nia.
Nia terlihat tersenyum dan pasrah ketika Ayahnya menariknya ke dalam kamar yang terletak di sebelah ruang tengah. Kamar tersebut adalah kamar Nia. Dalam kamar tersebut, Umar tidak serta merta merebahkan Nia di pembaringan namun putrinya yang cantik itu disandarkan di dinding kamar. Tubuh Umar memang lebih tinggi dan lebih besar di bandingkan tubuh Nia sehingga Umar terpaksa menundukkan wajahnya memandang wajah cantik yang berbalut jilbab putih yang lebar yanag kini tengah dipeluknya.

“Putri cantik ku….ayah udah lama nungguin yang kayak gini…kamu begitu cantik, tubuh mu sintal..”ungkap Umar sembari membelai wajah Nia sementara putrinya yang cantik ini hanya membelalakkan kedua matanya menatap Umar dnegan tatapan yang sendu. Deru nafas Umar yang memburu terasa hangat menampar-nampar wajahnya.

Umar kian mendekatkan wajahnya ke wajah Nia hingga bibirnya menyentuh bibir putrinya yang cantik ini membuat tubuh Nia kejang. Nia sempat melengos ketika bibir Umar hendak melumat bibirnya, namun dengan cepat Umar memburunya sehingga sesaat kemudian bibir Nia yang ranum tersebut dapat dilumatnya dengan penuh nafsu. Tubuh Nia semakin kejang dan sesaat kemudian putrinya ini menggelinjang ketika lidah Umar menyapu dan membelit lidahnya dengan lihainya. Seumur hidupnya barukali bibirnya dilumat dengan bernafsu oleh orang lain dan yang membuatnya terlihat bingung karena yang melumat bibirnya adalah ayahnya sendiri.

Umar tidak memperdulikan kebingungan Nia karena dia mengetahui kalau akhwat putrinya yang cantik ini masih dalam keadaan birahi, ketika tangannya yang kembali menyusup ke balik jilbab menemukan buah dada montok Nia masih mengeras kencang. Bahkan ketika tangannya menyentuh putting susu putrinya yang cantik ini, Umar masih merasakan puting susu tersebut terasa masih kencang sehingga membuat Umar dengan gemas memilinnya. Tubuh Nia menggelinjang ketika kembali puting susunya dipilin-pilin Umar sementara bibirnya terus melumat bibir putrinya yang berwajah cantik ini dengan penuh birahi.

Tanpa melepaskan pagutannya serta dengan tangan masih bermain-main di dada Nia, Umar mendorong putrinya yang cantik ini ke arah pembaringan dan merebahkannya di atas pembaringan tersebut. Nia terengah-engah antara rasa nikmat dan kebingungan yang mencekamnya, sementara tatapan matanya nanar menatap ayahnya yang berdiri di sisi pembaringan.

“Ayo sayang..kita bermain-main. Aku dah lama pengen ginian sama kamu nak”ujar Umar sambil duduk di pembaringan.
Kedua tangan Umar terulur ke tubuh Nia lantas menyusup masuk ke balik jubah panjang yang dipakai putrinya yang berparas cantik ini. Nia menggeliat dan secara refleks tangannya mencengkram bantal menahan irahinya. Tatapan dan senyuman umar itu membuat Nia memahami bahwa ayahnya sangat tau bagaiman merangsang dirinya. Akhirnya Nia merasakan kenikmatan tangan Umar menggerayangi tubuhnya di balik jubah panjang yang dipakainya.

“Tenang sayang…..Nia tidak akan ternodai…keperawanan Nia tetap akan utuh”bisik Umar ketika tangan ayahnya telah sampai di selangkangan Nia.

“ayaahh….”desis Nia tegang ketika dia merasakan jemari Umar menyusup ke balik celana dalam yang dipakainya. Lantas jemari Umar menyusuri belahan bibir kemaluan Nia ke atas dan ketika telah menyentuh kelentit Nia, jemari Umar seketika memilin bagian tubuh Nia yang paling sensitif tersebut.

“Ahhhh….”desah Nia menggelinjang ketika jemari Ayahnya memilin dan merangsang kelentitnya dengan luar biasa. Umar tersenyum melihat reaksi Nia dan reaksi tersebut membuatnya semakin bernafsu merangsang putrinya yang cantik ini.

umar melepaskan kaus kaki krem yang membungkus kedua kaki Nia dan diletakkannya di bawah pembaringan. Satu tangan Umar masih mempermainkan kelentit Nia sementara tangan lainnya mengelus-elus kaki putrinya yang putih mulus itu. Bahkan kemudian Umar membungkuk dan menciumi kaki Nia dari jemarinya yang halus kemerahan terus merayap ke atas sembari menyingkap jubah panjang yang dipakai Nia. Nia menggelinjang dan mendesah di tengah keterombang-ambingannya antara rasa nikmat oleh rangsangan ayahnya dan nafsu birahinya ingin disetubuhi. Nia membiarkan Ayahnya menyingkap jubah panjang yang dipakainya hingga ke pinggangnya.

Putrinya yang berwajah cantik ini juga hanya pasrah ketika setelah itu Umar kemudian menciumi dan menjilati sekujur kakinya dari jemari kakinya lantas kedua betisnya hingga sepasang paha Nia yang padat dan kencang membuat sekujur tubuh Nia dari ujung kaki hingga pangkal pahanya basah kuyup oleh jilatan dan ciuman Umar. Nia pasrah terhadap segala yang Umar lakukan terhadap dirinya. Umar tersenyum melihat Nia yang kini dalam keadaan setengah telanjang didepannya. Mata Umar membulat menatap kemaluan Nia yang terlihat membukit terbungkus ketat oleh celana dalam warna krem..

“Ayaahhh…eeehhhmmmmm!”desis Nia tertahan ketika tangan Umar menarik turun celana dalam krem yang dipakai putrinya.
Umar tidak lagi menanggapi Nia, ketika matanya telah melihat gundukan kemaluan Nia telanjang di depannya.

Tubuh Nia tersentak ketika dengan buas Umar membenamkan wajahnya diantara kedua pahanya dan dalam hitungan detik, Nia merasakan kemaluanya dikunyah oleh ayahnya sendiri. Berbagai perasaan berkecamuk dalam diri Nia namun akhirnya nafsu birahilah yang kemudian menguasai akhwat cantik ini. Nia menggelinjang jalang dengan mulut yang mendesah dan merintih merasakan kelihaian jilatan dan sedotan ayahnya pada bagian tubuhnya yang paling rahasia tersebut. Begitu mahirnya jilatan dan sedotan di kemaluan Nia hingga membuat pantat Nia yang cantik ini sekali-kali terangkat ke atas.

Dengan mulut masih mencumbu kemaluan Nia, tangan Umar menggerayangi bagian dada putrinya yang cantik ini. Tangan Umar kembali menyusup ke balik jubah panjang yang dipakainya melalui bagian atas jubahnya yang telah terbuka kancingnya lantas menelusup ke balik BH yang dipakai Nia. Beberapa saat kemudian tangan Umar pun telah meremas-remas kedua payudara montok di dada Nia yang telah mengeras dan memilin-milin puting susu payuadara tersebut dengan gemas.

“Ahhh…ahhhhh..”rintih Nia dirangsang sedemikian rupa oleh Umar. Tubuhnya menggelinjang jalang dan kedua tangannya meremas-remas kepala Umar di selangkangannya.

Puas mengunyah daging kemaluan Nia, Umar beralih ke dada putrinya yang cantik ini. Jilbab lebar yang dipakai Nia disingkapnya hingga ke pundak lalu dikeluarkannya sepasang bukit montok di dada Nia dari BH yang membungkusnya hingga terpampang di depan matanya. Umar terpesona melihat sepasang payudara Nia yang telanjang di depan matanya. Padahal Sebelumnya dia sudah pernah beberpa kali melihat payudara Nia tapi masih saja membuatnya terkejut. Sekarang kedua payudara akhwat cantik ini terpampang di depannya dalam keadaan terangsang, sungguh sebuah pemandangan yang sangat menggiurkan.

Umar segera menerkam menciumi dan menjilati kedua payudara Nia secara bergantian. Dikunyah-kunyahnya payudara yang putih mulus itu hingga berbekas bilur-bilur kemerahan lantas disedotnya dan dipelintir puting susu yang tegak kemerahan tersebut dengan gemas membuat Nia semakin jalang merintih oleh birahi yang melandanya. Tubuhnya menggelinjang liar dan mulutnya mendesah dan merintih menahan kenikmatan yang dirasakannya. Nia tidak lagi terpikir bahwa yang merangsangnya adalah ayahnya sendiri, yang ada dalam benaknya hanya kenikmatan yang ingin dirasakannya.

“Buka semua bajunya ya Nak…”desis Umar puas menikmati payudara Nia. Umar lantas turun dari pembaringan tersebut dan tanpa menunggu jawaban Nia, tangan Umar segera melepas jilbab putih lebar yang dipakai Nia kemudian jubah panjangnya dan bh warna krem yang dikenakannya hingga akhirnya Nia telanjang bulat. Umar benar-benar terpesona melihat Nia yang kini tergolek di pembaringan tanpa sehelai benangpun di tubuhnya. Tubuh bugil Nia begitu indah sehingga beberapa saat Umar terpesona memandang sekujur tubuh bugil Nia dari ujung rambut hingga ke ujung kakinya.

Nia membiarkan ayahnya memandangi sekujur tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Putrinya yang cantik ini balas memandang Umar ketika dia melihat Umar kemudian juga mulai membuka pakaiannya. Tanpa memperdulikan pandangan Nia, Umar melepas CD yang membungkus penis besarnya yang sudah tegak berdiri. Nia ternganga melihat tubuh ayahnya bugil di depannya saat ini karena baru pertama kali ini dia melihat ayahnya dalam keadaan bugil tanpa selembar benangpun di tubuhnya. Tubuh ayahnya ini memang terlihat perkasa. Satu hal yang tak diduga Nia sebelumnya, ternyata ayahnya mempunyai penis yang begitu besar, ini pertama kalinya dia melihatnya sedekat dan sejelas ini.

Nia tak sempat memikirkan penis ayahnya tersebut lebih lama, karena Umar segera naik ke pembaringan dan segera menindihnya. Sesaat Nia sempat tersadar kalau yang mencumbunya adalah ayahnya sendiri, namun inilah yang dia inginkan selama ini. ayahnya segera merangsangnya kembali membuat Nia kembali tenggelam dalam birahi. Dengan liar Umar mencumbu Nia, melumat bibir sensual Nia, mengesekkan dada bidangnya dengan payudara Nia, menempelkan penisnya dengan bibir kemaluan Nia lantas menggesek-gesekkannya. Deru nafas, desahan dan rintihan kenikmatan kedua ayah dan anak yang tenggelam birahi itu seakan tak putus terdengar disela-sela suara beradunya dua tubuh yang saling membelit. Nia yang semula wanita alim dan jauh dari perbuatan-perbuatan mesum larut dalam kenikmatan dan sensasi birahi yang dibawa ayahnya sendiri.

Persetubuhan kedua ayah dan anak ini berakhir lewat dini hari. Nia dan Umar terkapar lemas di pembaringan. Tubuh bugil kedua orang ini penuh dengan bilur-bilur warna merah bekas gigitan mereka masing-masing terutama tubuh Nia yang berkulit putih mulus. Namun taka da penetrasi dalam persetubuhan kali ini. Umar masih tetap menjaga perawan Nia.

Beberapa saat kemudian…

“jadi apa kamu sudah memutuskan Nia?” tanya Umar dengan nafas yang masih memburu satu-satu.

“Terserah ayah aja, Nia nurut ayah saja” jawab Nia.


“Ya udah..besok pagi aja…kita tidur aja nak..capek… sini peluk ayah..” ujar Umar sambil memeluk tubuh Nia yang masih bugil dengan mesra, kemudian dengan kakinya Umar menarik selimut yang ada diujung pembaringan untuk menutupi mereka berdua.​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd