Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Istriku Widya dan Para Preman Yang Menjadikannya Budak Seks

Bimabet
Part 05

Beberapa minggu sudah lewat dari kejadian minggu siang itu. Kusni tidak lagi datang, atau setidaknya itu yang aku tahu. Begitu juga dengan teman-teman preman lain. Widya sendiri menuruti perjanjian kami dengan Kusni. Ia tidak mengenakan pakaian lengkap selama berada di rumah. Ia hanya pakai bra dan celana dalam saja, serta kerudung. Kadang, bahkan ia kadang tak mengenakan bra.

Rasanya aku panas dingin selama di rumah. Dan juga ketika berada di luar rumah.

Terkadang, ketika menerima kurir paket atau belanja sayur. Widya hanya mengenakan pakain seadanya. Ketika keluar rumah, Widya memang dibolehkan Kusni untuk mengenakan pakain lengkap. Namun, entah mengapa ia lebih suka memakai gamis tipis dan menerawang.

Bahkan pernah aku menemui Widya mengambil paket di gerbang depan rumah ketika ia hanya mengenakan celana dalam, bra dan kerudung saja. Tanpa mengenakan pakaian yang lain. Memang gerbang depan rumah itu dilapisi oleh fiber yang gelap. Tapi tentu saja siluet tubuh Widya masih bisa terlihat.

Memang pada waktu itu ia sedang masak, jadi mungkin cukup ribet untuk harus berpakaian lengkap. Tapi apakah benar seperti itu? Atau karena alasan yang lain?

Selama dua minggu ini, aku tak bisa konsentrasi ketika bekerja di kantor. Aku terus membayangkan apa yang akan terjadi kepada istriku di rumah. Apakah ia selama ini diam-diam kembali diperkosa oleh Parjo, Kusni dan teman-temannya. Atau bahkan oleh orang lain yang tidak aku ketahui. Aku sebenarnya ingin memasang cctv di rumah. Tapi aku takut jika itu ketahuan, maka Kusni dan kawan-kawan akan melarangnya atau bahkan marah karena itu.

Jumat itu, Widya minta aku untuk ijin pulang cepat dari kantor. Katanya, ia ingin periksa ke dokter. Awalnya aku khawatir, selama ini istriku jarang sekali sakit. Yang lebih aku khawatirkan lagi, ia ternyata ingin periksa ke dokter kandungan.

Sejak haid terakhirnya, aku tidak pernah lagi mengeluarkan spermaku di vagina Widya. Terakhir, berhubungan badan dengan Widya, aku diminta untuk melakukan anal seks. Kusni bahkan merekam adegan itu dengan handphone miliknya. Anal seks yang akhirnya gagal karena aku ejakulasi dini ketika penisku baru masuk sedikit ke dubur Widya.

Lalu apakah Widya pernah berhubungan badan dengan orang lain? Dan hubungan itu membuat ia menjadi hamil?

Aku benar-benar tidak habis pikir dan panik. Aku tidak bisa konsentrasi ketika menyetir mobil untuk pulang.

Di rumah, Widya rupanya sudah berpakaian rapi. Ia menggunakan Jilbab motif bunga-bunga serta jaket coat panjang hingga ke mata kaki. Penampilannya sangat cantik. Waktu itu, ia sudah menunggu di teras. Karena ia tidak boleh mengenakan pakain luar seperti itu ketika berada di dalam rumah.

“Ayo pah, kita ke Rumah Sakit XX, aku sudah buat janji dengan dr. Handi.” Kata istriku.

Aku tidak berkata-kata apa-apa, aku takut kalau kekhawatiranku benar-benar terwujud. Selama beberapa waktu, Widya-pun tidak berkata apa-apa. Tapi ia akhirnya mengatakan sesuatu kepadaku.

“Mereka menyuruhku untuk pasang spiral.” Kata istriku.

Aku sempat kaget mendengar kata-kata istriku itu. Aku melihat ke arah wajahnya, apa ia serius? Selama ini kita ingin mendapatkan anak, karena itu aku tidak pernah pakai pengaman ketika bercinta. Tapi sekarang, Widya mau memasang spiral di rahimnya.

“Kamu yakin?” Kataku dengan singkat.

Widya menanggukan kepala, tanpa berkata-kata lebih lanjut.

Akupun diam, aku paham jika aku tak bisa berbuat apa-apa.

Rumah sakit di sore itu tidak terlalu penuh. Kami hanya perlu antri satu pasien untuk menemui dokter. Dokter Handi itu orangnya sudah tua. Rambutnya sudah beruban semua. Dia sempat bertanya, kenapa pasang spiral, padahal kami masih muda dan belum punya anak. Widya menjawab jika ia akan studi dan memutuskan untuk tidak punya anak untuk sementara waktu.

Aku sekali lagi kaget, Widya tidak pernah bisa berbohong seperti itu selama ini. Namun sekarang ia dengan mudahnya mengucapkan kata-kata bohong seolah itu bukan sesuatu yang besar.

Dokter itu nampak paham.

“Kalau begitu, silahkan untuk berbaring. Oh ya jangan lupa jaketnya dilepas dulu.” Kata Dokter Handi.

Widya perlahan melepas jaketnya, tapi tiba-tiba dokter itu kaget sampai menjatuhkan senter periksanya. Aku awalnya tidak paham, tapi ketika melihat ke arah Widya, aku juga ikut terkaget.

Di balik jaket coat panjang itu, Widya sama sekali tidak mengenakan apapun. Ia benar-benar telanjang kecuali sepatu dan kerudung yang ia pakai. Tubuhnya juga nampak bersih, dengan bulu-bulu kemaluan dicukur habis.

Dokter Handi dengan wajah cukup gugup mempersilahkan Widya untuk berbaring di kursi periksa. Aku yakin, ia sudah biasa melihat kemaluan wanita sebelumnya, tapi ia tentu kaget ketika melihat seorang wanita yang nampak alim seperti Widya ini dengan sengaja telanjang di ruang periksa.

Tok tok, “Bapak Arman, tolong ke ruang administrasi sebentar untuk menyelesaikan berkas.” Kata seorang perawat dari luar ruang periksa.

‘Mengapa harus di saat seperti ini!’ Batinku.

Widya sendiri sekarang sudah berada dalam posisi duduk mengangkang di kursi periksa. Kulit tubuhnya yang halus itu nampak mengkilap di bawah lampu sorot. Normalnya, dokter akan memberikan kain penutup, tapi kali ini tidak. Entah mengapa ia tidak melakukan itu.

“Papa ke ruang administrasi saja, biar cepat.” Kata istriku.

Sebagai seorang suami yang baik, seharusnya aku menemani istriku di ruang praktek dokter ini. Tapi entah mengapa, aku justru ingin meninggalkan istriku bersama dokter tua ini. Entah apa yang akan terjadi dengan Widya.

Sebelum meninggalkan ruang praktek itu, aku sempat melihat keadaan Widya. Dokter Handi memasukan sebuah alat dari logam untuk membuka kemaluan istriku lebar-lebar. Alat seperti cocor bebek itu masuk begitu dalam ke memek Widya. Widya sempat bergidik, mungkin karena cocor bebek itu terasa sangat dingin.

Dengan semacam tuas, cocor bebek itu membuka lebar. Sehingga sekarang membuka pulalah kemaluan istriku. Aku bisa melihat sekilas, bagian dalam kemaluan Widya yang berwarna pink. Meskipun aku hanya bisa melihat dengan samar-samar.

Setelah itu, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan Widya. Aku pergi ke ruang administrasi untuk melakukan pembayaran. Kebetulan, kantor tempat aku bekerja mempunyai kerjasama dengan sebuah asuransi. Jadi semua hal yang berhubungan dengan rumah sakit selalu dibiayai oleh kantor. Tapi terkadang administrasinya agak susah. Sehingga aku harus melengkapi beberapa persyaratan.

Pengisian administrasi sebenarnya berjalan dengan cepat. Tidak sampai 5 menit lamanya. Tapi setelah itu, aku putuskan untuk mampir ke toilet sebentar karena aku ingin buang air kecil. Apesnya, setelah buang air kecil, pintu toilet tidak bisa terbuka.

Aku langsung panik, toilet ini berada di ujung rumah sakit. Aku perhatikan tadi jarang ada orang yang lewat di sini.

Aku teriak dan gedor-gedor pintu. Tapi pintu besi ini sangat kuat, pintu ini seperti dibuat di jaman penjajahan. Sekuat apapun aku gedor, ia tidak bergeming.

“Tolong, tolong, kuncinya macet!” Teriaku. Tapi tak ada orang yang membalas teriakanku.

Bagaimana bisa, aku terperangkap di dalam toilet ini. Sementara itu, istriku sekarang sedang telanjang bulat bersama seorang dokter di ruang prakteknya. Entah apa yang terjadi sekarang ini?

Setelah sekian lama berteriak, akhirnya ada orang yang menyahut. “Tunggu sebentar ya pak, saya panggilkan teknisi!” Kata orang itu.

Terpaksa, aku menunggu lagi. Waktu terasa begitu cepat berjalan, sekarang saja sudah lebih dari lima belas menit aku pergi meninggalkan Widya. Berdua, telanjang bulat di ruang periksa itu. Semoga dokter itu tidak berbuat aneh-aneh terhadap istriku.

Sepuluh menit kemudian, aku baru bisa keluar dari toilet. Teknisi bilang, memang pintu ini sering macet, karena bangunan ini memang banggunan asli jaman Belanda dulu.

Aku tidak peduli, aku hanya ingin cepat-cepat bertemu dengan Widya.

Ketika masuk ke ruang periksa, Widya baru saja selesai mengenakan kembali jaket coat panjangnya. Dokter Handi yang sedang menuliskan sesuatu di atas kertas nampak senyum-senyum. Ia bahkan awalnya tidak sadar kehadiranku.

“Maaf, aku tadi terkunci di toilet.” Kataku.

“Oh tidak apa-apa pak.” Kata Dokter Handi. “Pemasangan IUD sudah selesai, kalau ada apa-apa, nanti hubungi saya saja ya bu.” Kata Dokter Handi.

“Baik dok.” Kata Widya.

Aku lihat, wajah Widya sedikit merah padam. Ada juga berkas keringat di wajahnya. Pikiranku semakin melayang kemana-mana. Apa yang mereka lakukan tadi ketika aku meninggalkan mereka berdua?

Sebelum ke parkiran rumah sakit, kami mampir ke koperasi. Widya ingin beli minuman katanya. Ia nampak agak haus dan kelelahan. Ketika hendak membayar di kasir, aku melihat ada cairan yang menetes tepat di bawah kaki Widya. Cairan itu nampak cukup kental. Apakah itu sperma?

Kepalaku langsung pusing bukan main membayangkan apa yang terjadi di ruang periksa tadi. Apakah Widya dan dokter Handi berbuat yang tidak-tidak di dalam ruang periksa tadi?

Tapi, hari itu ternyata masih panjang. Terutama bagi Widya. Istriku memintaku untuk mengantarnya ke sebuah tempat di luar kota. Widya sendiri nampaknya tidak tahu tempat seperti apa itu. Ia menggunakan handphone untuk mengetahui posisi lokasi itu.

Rupanya, petunjuk arah itu membawa kita ke sebuah tempat yang menurutku agak kumuh. Letaknya dekat sebuah pelabuhan lama yang sekarang tidak banyak digunakan kapal-kapal besar. Tapi kapal-kapal ukuran kecil masih menggunakannya.

“Berhenti di sana pah.” Kata Widya.

Aku memberhentikan mobilku di sebuah persimpangan jalan. Di sana nampak ada beberapa orang laki-laki yang nongkrong di jalan. Aku tidak tahu apakah mereka memang tinggal di sini, atau sekedar nongkrong. Wajah mereka nampak seperti preman.

Widya meninggalkan handphone, tas kecil, dan perhiasan yang ia gunakan, termasuk cincin di jari manisnya. Ia tinggalkan itu semua di jok mobil.

“Papa nanti pulang ya, tidak usah menunggu di sini. Aku ada perlu dulu.” Kata Widya.

Aku melihat ke arah wajahnya sejenak. Perasaanku campur aduk bukan main. Mau apa istriku datang ke tempat seperti ini? Lagipula, mengapa ia melepas seluruh benda berharga di tubuhnya. Apalagi handphone? Bagaimana jika nanti ada sesuatu dan Widya butuh menghubungiku? Ditambah lagi, Widya belum pernah melepas cincin nikahnya. Baru kali ini, ia melepasnya.

“Ingat ya pah, jangan ditunggu.” Kata istriku.

Widya kemudian keluar mobil dan melangkah menjauh. Perlahan, ia menghilang di antara bangunan kumuh itu. Menunggupun, aku tidak bisa tahu di mana Widya berada. Aku semakin khawatir, karena di balik jaket coat yang ia kenakan, Widya tidak pakai apa-apa lagi.

Dengan berat hati, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Perasaanku bercampur aduk, apakah Widya akan Parjo, Kusni, dan teman-temannya? Jika iya, apa yang akan mereka perbuat dengan istriku?

Yang jelas, aku kembali menunjukan kalau aku adalah lelaki yang lemah. Aku bukan saja membiarkan istriku pergi sendiri di daerah berbahaya itu. Tapi juga barangkali secara tidak langsung membiarkannya untuk dimangsa oleh preman atau lelaki lain di sana.

Ketika pulang, aku melewati sebuah jalan yang penuh dengan wanita penjaja malam. Wanita itu rata-rata masih berusia muda. Mungkin baru awal dua puluhan. Dulu aku merasa jijik melihat wanita seperti itu. Tapi sekarang, Widya sendiri barangkali sudah berubah menjadi seperti mereka ini. Dan orang yang paling bertanggung jawab, tidak lain dan tidak bukan adalah aku sendiri.

Ketika lampu merah, tiba-tiba ada satu wanita yang mendekati mobilku. Parasnya lumayan cantik, rambutnya dipotong sebahu, dan ia mengenakan rok pendek serta tank top. Wanita itu awalnya mengetuk-ketuk kaca mobilku. Tapi aku tidak membukakan kacanya. Aku menggelengkan kepala dan berkata “tidak” dari dalam mobil.

Wanita itu hanya tersenyum, ia kemudian meletakan sebuah kartu di wiper mobilku. Dari luar kaca, si wanita itu memberi simbol telpon dengan tangannya sambil berkata “call me”. Aku hanya geleng kepala sambil meneruskan menyetir ketika lampu sudah berubah menjadi hijau.

Malam itu, aku tidak bisa tidur, aku terus membayangkan bagaimana keadaan Widya di tempat kumuh itu. Apa yang ia lakukan di sana?

Di dalam hatiku, aku menyesal sudah meninggalkan Widya di sana. Tapi entah kenapa aku tak bisa berbuat apapun. Aku benar-benar laki-laki yang lemah. Suami yang tak berguna. Seharusnya aku melindungi Widya, dari jamahan tangan-tangan kotor para preman itu. Tapi entah kenapa, aku tak bisa melakukan itu.

Aku sampai ke rumah dalam keadaan lunglai. Hatiku merasa kacau tidak karuan. Aku rebahkan tubuhku di sofa depan televisi. Aku menyalakan televisi, tapi film laga yang ada di tv itu sama sekali tidak menarik buat aku tonton.

Aku tidak tahu harus berbuat apa, aku hanya bisa berharap, Widya baik-baik saja di sana. Tapi apakah Widya bisa baik-baik saja di sana?
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd