Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Istriku Widya dan Para Preman Yang Menjadikannya Budak Seks

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Part 14

Video selanjutnya dimulai tak lama setelah kejadian di sungai. Setelah mandi, rombongan itu melanjutkan pendakian gunung. Parjo dan Somad sudah mengenakan pakaian lagi sementara Widya mengenakan bikini yang lain. Tubuhnya nyaris tak tertutupi dengan bikini two pieces yang mini itu. Aku tak tahu apakah knob besi karatan itu masih tertancap erat di dalam dubur Widya. Tak lupa, sebuah hijab motif bunga menghiasi kepalanya. Widya nampak cantik menggenakan jilbab itu.

Jalan setepak di pegunungan nampak lebih curam sekarang ini. Nafas Widya terdengar berat sekali. Apalagi ia masih harus membawa tas dengan ukuran sangat besar. Keringat sudah membasahi kulit tubuh Widya dan ia harus mendaki dengan bantuan tongkat kayu untuk mempermudahnya melewati jalan tebing yang curam.

“Ayo, sebentar lagi kita sudah sampai.” Kata Parjo.

Sampai detik ini, aku masih tidak tahu secara pasti tempat apa yang dituju oleh Parjo dan kawann-kawannya. Yang jelas, katanya di ujung gunung itu terdapat sebuah tempat ritual. Entah ritual seperti apa yang ada di sana.

Benar saja, tak jauh dari jalan setepak itu, samar-samar terlihat sebuah gapura. Terbuat dari batu bata merah dan nampak sudah sangat tua. Di balik gapura itu ada air terjun kecil dan pemukiman. Entah berapa orang yang tinggal di pemukiman itu karena rumah-rumahnya terbuat dari kayu dan nampak sudah sangat tua.

Aku bisa melihat sedikit keragu-raguan muncul di wajah Widya. Mungkin ia ragu untuk melangkah lebih jauh lagi. Daerah itu sekilas memang terlihat sangat angker.

“Kenapa non? Ndak usah takut, ayo ikut.” Kata Parjo.

Aku mengira, Widya juga tidak tahu betul rencana Parjo. Ia hanya mengikuti perintah Parjo dari hari ke hari.

Di sekitar gapura, aku bisa melihat dari video jika banyak sekali menyan dan sesajen ditaruh di sana. Tanda jika memang daerah ini sering digunakan sebagai tempat ritual. Selain air terjun, aku bisa melihat ada sebuah kubangan lumpur. Bentuknya mirip dengan kubangan lumpur lapindo. Dan dari kubangan lumpur itu muncul sesekali gelembung udara dari bawah.

Aku melihat, di lumpur itu setidaknya ada 3 orang yang telanjang. Mereka berendam lumpur dan membasuh seluruh tubuhnya dengan lumpur itu. Termasuk juga dengan wajah mereka.

Parjo kemudian memasuki sebuah gubuk, di dalam gubuk itu ada seorang wanita tua yang mirip dengan dukun. “Ada perlu apa kamu datang kemari.” Tanya wanita tua itu.

Parjo mendekat dan kemudian membisikan sesuatu kepada wanita tua itu. Aku tak bisa mendengar apa yang ia ucapkan. Setelah selesai membisiki itu, si wanita tua itu menatap kepada Widya sambil tersenyum.

“Sini anakku, ayo kemari.” Kata Wanita Tua itu. “Namaku Parmi, siapa nama kamu cantik.” Tambah wanita tua itu.

“Aku, aku Widya.” Kata Widya dengan nada sedikit ragu-ragu.

“Sebut saja aku Parmi, atau orang sini sering sebut aku sebagai Mbah. Silahkan saja, suka-suka kamu anakku.” Tambah Mbah Parmi.

Mbah Parmi membimbing Widya untuk masuk lebih dalam ke ruangan itu. Aku bisa melihat dengan jelas ada ketakutan dan keraguan di wajah Widya. Aku semakin yakin jika ia memang tidak tahu maksud dan tujuan Parjo kesitu.

“Sekarang, kamu tiduran di sini ya nduk cantik.” Kata Mbah Parmi sambil mempersilahkan Widya untuk tiduran pada sebuah dipan bambu. Widya masih nampak ragu tapi Parjo menyuruhnya untuk mengikuti saja perkataan Mbah Parmi.

Setelah Widya tidur diatas dipan bambu itu, Mbah Parmi meraba tubuh Widya dari pundak turun hingga perut. Aku melihat, Widya nampak bergetar ketika tangan Mbah Parmi meraba tubuhnya. Aku lihat juga Mbah Parmi menekan-nekan bagian perut Widya tepat di sekitar rahim-nya.

“Tato kamu bagus nduk.” Kata Mbah Parmi sambil membelai tato di bagian bawah perut Widya. Tato itu sedikit tertutupi oleh bikini yang Widya kenakan. ” Capek ya ndaki gunungnya? Tapi kamu hebat lho nduk, daki gunung cuma pakai baju mini seperti ini.” Ujar Mbah Parmi. “Aku suka tato kamu nduk. Kamu punya tato lain?”

Widya menggelengkan kepala. “Aku ndak punya mbah.”

“Kalau tindik, kamu punya tindik?” Tanya Mbah Parmi.

Widya mengangguk. “Aku punya.” tambahnya.

“Dimana tindik kamu nduk? Kok aku ndak bisa liat? Di lidah ya nduk?” Tanya Mbah Parmi.

Widya menggelengkan kepala. “Bukan mbah, ada di sini, sama di sini.” Kata Widya sambil menunjukan puting susu dan kemaluannya.

“Wah, ternyata, kamu nakal juga ya nduk.” Kata Mbah Parmi. “Tapi aku suka nduk, cewek hijaban kayak kamu tapi nakal.” Tambahnya. “Boleh aku liat nduk, tindik kamu kayak apa?” Tanya Mbah Parmi.

Widya agak ragu untuk mengangguk. Ia sempat menatap Parjo seolah menanyakan apa maksud semua ini.

Akupun tak habis pikir, apa keinginan para preman itu terhadap Widya. Mereka jauh-jauh menyuruh Widya mendaki gunung dengan mengenakan bikini. Dan sekarang mereka berada pada kediaman seorang dukun yang entah mau apa.

Mendapat persetujuan Widya, Mbah Parmi mengintip puting susu dan kemaluan Widya tanpa melepas bikini yang ia kenakan. “Hmm bagus sekali. Kamu punya badan bagus sekali nduk.” Kata Mbah Parmi. “Lumo pasti suka.” Kata Mbah Parmi.

‘Lumo?’ Kataku dalam hati ‘Siapa itu Lumo?’

“Baiklah, wanita ini sempurna.” Kata Mbah Parmi. “Bagaimana, kalian mau mulai sekarang?” Tanya Mbah Parmi kepada para preman itu. Parjo mengangguk tanda setuju.

Widya dibimbing keluar dari gubuk. Mbah Parmi mengajak Widya untuk berjalan mendekati kubangan lumpur yang ada tidak jauh dari gubuk tempat ia tinggal. Kubangan lumpur itu aku lihat sudah kosong, tak ada orang yang ada di dalam sana seperti tadi.

“Sekarang nduk, aku mau kamu masuk ke lumpur ini. Lapisi seluruh tubuhmu dengan lumpur ini sampai rata.” Kata Mbah Parmi.

Widya sempat menatap bingung kepada Mbah Parmi. Ia juga menatap bingung ke arah tiga preman tadi. Tapi Mbah Parmi meyakinkan Widya jika ia harus melaksanakan ritual ini untuk mengabulkan permintaan Parjo. Aku sendiri tak tahu apa permintaan Parjo. Dan aku tak yakin juga dengan menjalani ritual apapun seperti ini, bisa mengabulkan sebuah permintaan.

“Turuti saja non semua permintaan Mbah Parmi.” Kata Parjo. “Anggap saja perintah Mbah Parjo adalah perintahku.” tambahnya.

Kata-kata Parjo tadi sedikit banyak mengingatkan Widya jika ia harus menuruti semua permintaan Parjo. Seaneh dan sesulit apapun permintaan itu. Jika tidak, maka Parjo mungkin seenak jidat akan menyebarkan video mesum Widya.

Satu yang aku khawatirkan, jika sampai orang-orang di sini yang merekam Widya dan menyebarkannya ke internet. Tapi aku tak tahu di tempat terpencil seperti ini, orang-orangnya mempunyai peralatan elektronik seperti HP. Dua orang bapak-bapak bercawat yang kemarin sempat betemu dengan Widya ketika naik gunung juga tidak nampak batang hidungnya. Mungkin mereka sudah selesai melakukan ritual di sini.

“Buka semua bajumu ya nduk, biar lumpurnya meresep ke kulitmu.” Kata Mbah Parmi.

“Tapi Mbah, tapi.” Widya nampak sedikit keberatan.

“Tenang aja nduk, di sini yang tinggal cuma orang sini. Tadi malam ada ritual besar, sekarang mereka sudah pulang semua nduk. Jadi ndak usah khawatir.” Kata Mbah Parmi.

Sebenarnya, toh Widya juga tidak punya pilihan. Ia harus menuruti apa kata-kata Mbah Parmi, seolah itu adalah perintah dari Parjo langsung. Lagipula, ia juga sudah mengenakan pakaian minim sedari tadi. Di sini, mengenakan pakaian minim dan telanjang hampir dipandang sama oleh masyarakat. Sama-sama dicap sebagai pelacur.

Perlahan, Widya melepaskan bikini yang ia kenakan. Sekali lagi, tubuhnya terpampang dengan jelas tanpa penghalang apapun.

“Jilbabnya juga ya nduk.” Kata Mbah Parmi.

Kali ini Widya menggelengkan kepala. Ia tetap bersikeras tidak mau melepaskan jilbab meskipun tubuhnya telanjang dan bisa menjadi tontonan banyak orang. Mbah Parmi sempat menoleh ke arah Parjo, seolah bertanya. Tapi Parjo hanya mengangguk-angguk saja.

“Ya sudah, jilbabnya tidak perlu kamu lepas nduk. Tapi, kamu basuh muka kamu pakai lumpur ini sampai rata ya.” Kata Mbah Parmi.

Widya nampak mengerti, perlahan ia memasuki kubangan lumpur itu. Aku yang melihat dari video tak tahu apakah lumpur itu bau atau panas. Yang jelas, kubangan itu mengeluarkan beberapa gelembung.

Lumpur itu tidak terlalu pekat, namun juga tidak terlalu encer. Tubuh Widya dengan mudah masuk ke dalam lumpur itu. Widya disuruh berjalan hingga ke tengah kubangan. Semakin ke tengah, kubangan itu semakin dalam, namun tak sampai membuat Widya kesulitan untuk bergerak.

“Ya terus nduk maju lagi.” Kata Mbah Parmi.

Ada sedikit keragu-raguan ketika Widya melangkah lebih jauh lagi. Lumpur sekarang sudah sampai setengah paha-nya. Jika masuk lebih dalam lagi, lumpur itu barangkali akan menutupi tubuhnya hingga kemaluan dan pinggang-nya.

“Tenang aja nduk, kamu aman. Kamu tidak akan tenggelam. Terus maju saja sampai aku bilang stop.” Kata Mbah Parmi.

Wajah Widya masih ragu-ragu, tapi ia terus maju. Lumpur berwarna abu-abu pekat itu mulai menelan paha mulus istriku. Pelan tapi pasti, kemaluan Widya juga ikut tenggelam di dalam lumpur. Entah ada apa saja di dalam lumpur itu. Cacing, larva, atau hewan menjijikan lainnya? Bagaimana kalau sampai ada yang masuk ke dalam lubang vagina Widya? Apalagi sekarang Widya sama sekali tidak mengenakan pakaian.

“Bagaimana nduk rasanya?” Tanya Mbah Parmi.

“Hangat, tapi juga sekaligus dingin mbah.” Ujar Widya.

“Benar sekali.” Kata Mbah Parmi. “Terus, maju sedikit lagi.” Katanya menyuruh Widya. “Nah sudah, berhenti di situ.” Kata Mbah Parmi.

Widya sekarang berada hampir di tengah kubangan lumpur. Perutnya nyaris tertutupi lumpur itu hingga hampir di atas pusar.

“Sekarang, kamu ratakan lumpur itu ke seluruh tubuh kamu ya nduk.” Ucap Mbah Parmi. “Caranya, kamu jongkok di lumpur itu ya nduk, terus ratain semua lumpurnya ke badan kamu.”

Aku pernah melihat video orang terapi mandi lumpur untuk kecantikan. Tapi itu biasanya dilakukan di klinik dan dengan olesan lumpur bercampur olahan herbal yang higienis. Tapi, entah apa lumpur yang merendam tubuh Widya sekarang ini. Apakah lumpur ini bersih? Apakah lumpur ini tidak bercampur dengan kotoran-kotoran lainnya?

Widya berjongkok menuruti perintah Mbah Parmi. Tubuh bagian atas perutnya perlahan masuk juga ke dalam lumpur. Tidak terkecuali dengan payudara istriku itu. Widya terus menenggelamkan tubuhnya hingga nyaris lehernya tertutupi. Sedikit jilbab bagian bawahnya juga terkena lumpur.

Ada satu kesan seksual ketika Widya mencelupkan tubuhnya di dalam lumpur. Tubuh Widya walaupun sekarang ini hanya bisa aku lihat dari pundak ke atas, tapi dengan lumpur menutupi tubuhnya, Widya nampak begitu menggairahkan. Aku konak sekali melihat itu. Sampai-sampai kemaluanku sekarang begitu ereksi maksimal.

Dengan perlahan tapi pasti, Widya meratakan lumpur itu ke seluruh tubuhnya. Ia seperti melakukan luluran, bedanya lulur yang ia gunakan saat ini adalah lumpur yang warnanya gelap dan sangat pekat. Lumpur yang berwarna gelap dan pekat itu WIdya ratakan ke seluruh tangannya. Tak lupa ia juga melapisi ketiaknya dengan lumpur itu hingga rata. Terakhir, Widya melapisi seluruh mukanya dengan lumpur hingga nyaris tak bisa lagi dikenali.

Awalnya Widya seperti merasa cukup ketika seluruh wajahnya sudah tertutup lumpur. Namun karena sebagian jilbab yang ia kenakan sudah tertutup lumpur, maka Widya sepertinya sekalian meratakan lumpur itu di setiap jengkal jilbabnya. Ia bahkan melapisi sedikit bagian dalam rambutnya yang tertutup jilbab agar juga terlapisi oleh lumpur itu.

Tubuh Widya sekarang sudah rata dengan lumpur. Mbah Parmi memintanya untuk bangkit dari kubangan itu dan berjalan keluar dari kubangan. Perlahan, tubuh Widyapun berdiri dari yang tadinya jongkok di atas lumpur. Aku benar-benar takjub melihat tubuhnya sekarang. Dari kepala hingga perut, semuanya tertutupi oleh lumpur. Bahkan payudaranya juga tertutup oleh lumpur pekat. Aku nyaris tak bisa melihat di mana puting Widya sekarang karena semuanya tertutup oleh lumpur.

Begitu Widya berjalan keluar dari kubangan, aku sedikit demi sedikit bisa melihat seluruh tubuhnya yang tadi terendam oleh lumpur. Paha, pantat, dan terutama kemaluannya. Semua bagian tubuhnya itu tertutup oleh lumpur. Widya sekarang seperti manekin hidup. Tubuhnya nampak mengkilap ditutupi oleh lumpur yang pekat.

Aku benar-benar ereksi maksimal melihat kondisi Widya sekarang. Teknisnya, Widya sekarang justru sama sekali tidak telanjang. Seluruh tubuhnya tertutupi oleh lumpur warna abu-abu yang pekat. Tapi seluruh tubuhnya yang tertutup lumpur itu sangat menggairahkan. Seluruh lekuk-lekuk tubuhnya bisa terlihat dengan jelas, malah lumpur itu memperjelas lekuk-lekuk tubuh Widya yang begitu seksi.

Somad datang dengan dua buah blok kayu di tangan. Blok kayu itu bentuknya seperti pancung dengan tiga lubang, satu di tengah dan dua di samping kanan serta kiri. Aku lihat, mbah Parmi memang sempat menyuruh Somad untuk mengambilkan sesuatu di gubuknya tadi.

“Nah, sekarang pasangkan pasung itu ke Nduk WIdya ya Mad.” Perintah Mbah Parmi kepada Somad.

Sesuai perintah Mbah Parmi, Somad memasangkan pasung itu ke Widya. Satu lubang besar di antara kedua bilah kayu itu rupanya untuk kepala Widya. Sedangkan kedua lubang kecil di kanan dan kiri untuk tangan Widya. Dengan pasung itu, kedua tangan Widya tidak bisa digerakan. Widya sama sekali tidak bisa menutupi ketelanjangan tubuhnya bahkan ketiaknya terbuka dengan sangat lebar.

Kondisi Widya sekarang seperti budak-budak romawi yang terpasung di kayu. Bedanya, orang Romawi masih memberikan pakain kepada para budak mereka, sedangkan Widya sama sekali tidak mengenakan pakain. Ah aku salah, Widya masih pakai pakaian. Ia mengenakan pakaian lumpur di seluruh tubuhnya. Bahkan tak ada se centi-pun kulit tubuhnya yang nampak dari luar.

“Aku kasih ini ya nduk.” Kata Mbah Parmi sambil memasangkan sesuatu di tindik cincin itil Widya.

Benda yang mbah Parmi pasangkan itu ternyata adalah sebuah lonceng. Lonceng itu ukurannya sebesar jambu air dan terbuat seluruhnya dari logam. Aku tidak tahu seberapa berat lonceng itu. Tapi aku bisa melihat ekspresi kesakitan dari Widya ketika Mbah Parmi selesai memasang lonceng itu di tindik itil Widya.

Krincing, krincing, bunyi lonceng itu terdengar begitu kencang ketika tubuh Widya bahkan hanya sedikit bergerak. Bunyinya cukup nyaring, bahkan dalam rekaman audio hp yang sebenarnya tidak terlalu baik. Bunyi lonceng kecil itu pasti terdengar lebih kencang aslinya.

Mbah Parmi kemudian memasang sebuah rantai besi ke pasung Widya. Rantai itu digunakan untuk menarik Widya dan mengarahkannya untuk jalan. Dengan rantai itu, Mbah Parmi mulai menarik Widya untuk mengikutinya berjalan.

“Ayo, ikut Mbah Nduk.” Ucap Mbah Parmi.

Widya ditarik Mbah Parmi untuk masuk ke dalam perkampungan. Dalam keadaan telanjang dan hanya berbalut lumpur, Widya mau tidak mau mengikuti langkah Mbah Parmi. Dengan tangan terpasung di kayu, Widya tidak bisa menutupi ketelanjangannya. Buah dadanya yang ranum itu nampak bergoyang dengan indah mengikuti langkah kakinya. Pantatnya yang kencang dan kemaluannya yang tanpa bulu itu diumbar begitu saja. Siapapun dapat melihatnya dengan jelas meskipun terlapisi dengan lumpur.

Krincing, krincing, krincing, bunyi lonceng di itil Widya begitu membahana. Bunyi itu seolah menjadi penanda dimulainya ritual. Dan aku lihat, sedikit demi sedikit warga perkampungan keluar dari rumah-rumah kayu mereka.

Perempuan dan laki-laki di perkampungan itu semuanya mengenakan pakaian yang sama. Mereka berbalut kain putih. Jika laki-laki mengenakan kain putih dari perut hingga ke mata kaki. Sedangkan perempuan membalutkan kain dari dada mereka ke lutut. Namun baik laki-laki maupun perempuan, semuanya mengenakan kain penutup mulut di wajah. Sehingga kita tidak bisa mengenali siapa mereka.

Laki-laki dan perempuan yang keluar dari rumah kayu itu mendengungkan semacam mantra. Aku tidak tahu mantra apa itu. Ucapannya seperti bahasa kuno namun tak bisa sama sekali aku pahami. Sambil mendengungkan mantra, para laki-laki dan perempuan itu melemparkan bunga-bungaan ke arah Widya. Aku lihat beberapa juga mengeluarkan dupa yang dibakar dengan asap begitu tebal.

Mbah Parmi menarik rantai kekang Widya secara perlahan. Ia seperti memang tak tergesa-gesa melewati perkampungan itu. Widya menunduk, mungkin ia malu. Lagipula, belum pernah seumur hidupnya, tubuh telanjangnya dilihat begitu banyak orang seperti ini.

Aku sendiri konak bukan main melihat video itu. Di satu sisi aku benar-benar tak rela tubuh istriku diumbar secara bebas seperti itu. Tapi di sisi lain aku begitu menikmati tubuh Widya dipermalukan dan dipertontonkan secara umum seperti ini.

“Hom sona hom, sonu, hom.” Denggungan mantra terdengar begitu sakral.

Lucunya, sampai sekarang aku masih belum tahu ritual apa yang akan Widya jalani. Dan aku juga tidak tahu permintaan Parjo kepada Mbah Parmi. Apakah ritual ini ditujukan untuk Widya? Atau Widya hanyalah sebagai tumbal untuk ritual ini?

Yang jelas, Widya terus saja digiring melewati jalan perkampungan yang cukup sempit itu. Para penghuni perkampungan menaburi Widya dengan bunga dan berbagai macam pernik lainnya. Aku tak tahu apa saja, karena tidak terlalu tertangkap kamera dengan jelas.

Beberapa penduduk kampung ada yg ikut mengarak Widya dari belakang. Dan aku lihat keseluruhannya adalah laki-laki. Aku tak tahu jumlahnya, yang jelas cukup banyak laki-laki yang ikut dalam arak-arakan itu.

Krincing, krincing, krincing, suara lonceng di itil Widya makin nyaring. Makin banyak Widya bergerak, maka makin nyaring bunyi lonceng itu. Dan makin nyaring bunyi lonceng itu, makin banyak warga kampung yang keluar dari rumahnya.

Perkampungan itu tidak besar, tapi juga tidak kecil. Jalan kampung itu memanjang mengikuti arah jalan setapak menuju ke atas tebing. Di ujung tebing, aku melihat ada sebuah goa dan di sekitar goa itu terdapat juga lumpur mirip dengan yang ada di ujung desa satunya. Faktanya, kubangan lumpur seperti itu ada juga di beberapa titik di desa itu. Mungkin memang di bawah desa ini terdapat sumber magma aktif.

Perlahan, Widya akhirnya melewati perkampungan dan sekarang ia mendekati goa yang di pintunya ditumbuhi beberapa tumbuhan menjalar. Mbah Parmi dan para penduduk di yang mengikuti arak-arakan Widya kini berhenti. Mereka berlutut di depan pintu goa sambil mengucapkan nama yang tadi sempat Mbah Parmi sebutkan.

“Lumo, keluarlah, Lumo keluarlah.” Kata Mbah Parmi dan para penduduk desa.

Lumo, siapa itu lumo? Apakah dia penunggu daerah sini?

Samar-samar aku bisa melihat ada sosok dari dalam gua yang keluar. Sampai sini aku masih belum bisa membedakan apakah sosok itu hewan atau manusia. Dari siluetnya, aku bisa menebak kalau sosok itu ukurannya cukup besar. Mungkin tingginya nyaris 2m. Jalannya bongkok dan badannya nampak tidak proporsional.

Semakin sosok itu keluar dari goa, aku semakin bisa melihatnya dengan jelas. Ya, sosok itu adalah manusia namun dengan tubuh yang sangat aneh. Sosok itu badannya sangat besar, ada beberapa tonjolan seperti di bahu kirinya yang seperti cacat bawaan. Perutnya buncit dengan bulut-bulu yang lumayan banyak. Namun yang paling mengerikan adalah wajahnya. Wajahnya hancur bukan main. Banyak tonjolan mirip dengan daging tumbuh. Salah satunya bahkan menutupi mata kirinya.

Itulah sosok Lumo, sosok yang sedari tadi dipanggil oleh para penduduk perkampungan ini. Tubuhnya besar dan mengerikan seperti monster. Mungkin mirip dengan sosok orc dalam film Lord of the Rings. Pertanyaannya, mengapa sosok itu dipanggil oleh para penduduk perkampungan ini? Dan apa hubungannya Lumo dengan Widya yang sekarang terpasung dan tak bisa melarikan diri?
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd