Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v2

Menurut anda, siapa cewek yang kelak paling cocok untuk bersanding dengan si Nanto si Bengal?

  • Kinan. The one and only. Apalagi dia kan sedang... begitu tuh. Harus lah jadi sama Kinan.

    Votes: 153 39,5%
  • Ara. Cinta pertama si Jalak. Jadinya cilandak - cinta lama datang kembali. Yang lain mah lewat.

    Votes: 8 2,1%
  • Hanna. Tunggu apalagi? Cakep, kaya, baik, penyayang, hormat orang tua, dan guru. Single.

    Votes: 43 11,1%
  • Nada. Putri penguasa wilayah selatan. Cakep, kaya, sudah dilepas segelnya. Cus lah gaskeun.

    Votes: 189 48,8%
  • Asty. The MILF. Mantan guru sendiri, sang kekasih rahasia, cakepnya ga kaleng-kaleng.

    Votes: 60 15,5%
  • Rania. Nikung Roy, terlalu lama ditinggal sangat memudahkan modus penikungan. Wadidaw. Sok lah.

    Votes: 0 0,0%
  • Nuke. Nikung Rao, bikin jealous Joko Gunar. Siap-siap dikeroyok DoP dan PSG.

    Votes: 2 0,5%
  • Dinda. Nikung Amar Barok sekaligus Deka. Mantap jiwa. Mau cinta segi berapa?

    Votes: 2 0,5%
  • Eva. Cewek genit tapi cakep. Dicolek dikit pasti kebuka. Sudah pasti bakal NTR route.

    Votes: 2 0,5%
  • Hasna. Baru keluar dikit tapi kayaknya potensial nih. Kalo yang lain puyeng.

    Votes: 4 1,0%
  • Shinta. Anggota tim khusus kepolisian. Pasti galak di ranjang. Ihihihihi.

    Votes: 20 5,2%
  • Yang lain aja wes. Biar tambah puyeng. Aseeek.

    Votes: 23 5,9%

  • Total voters
    387
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
JALAK – KISAH SISIPAN 2
BILA KAU TAK DI SAMPINGKU






Rahasia untuk berubah adalah dengan memusatkan seluruh kekuatan.
Bukan dengan melawan yang lama, tapi untuk membangun yang baru.
- Socrates






“Yang benar saja.”

Seorang pria berkacamata hitam, memakai peci, dan mengenakan batik lusuh duduk di ruang tamu rumahnya sembari bersungut-sungut. Ia terus menerus protes pada Pasat Bayuputra. Kala itu kota masih diguyur hujan deras yang seakan tanpa akhir. Derasnya hujan terdengar hingga ke dalam rumah, rintikannya berisik berderap menggempur tanah. Teriakan petir berderu mengguntur di atas langit memekakkan telinga setelah menyalakan angkasa yang gelap dengan cahaya sekejap.

Suasana hujan seharusnya lebih cocok untuk rebahan. Tapi bukannya bisa tiduran dengan santai, pria yang mengenakan baju batik itu malah harus dihadapkan dengan situasi yang menghujaninya dengan tanda tanya.

Kepalanya jadi munyer-munyer tidak karuan. Padahal ia baru saja minum bodr3x.

“Yang benar saja. Aku ini tukang pijat tunanetra. Pijatnya pun pijat urut kesehatan. Nambani-ne wong loro kecetit. Bisanya benerin urat yang kenceng. Kenapa pula kamu suruh membenahi orang yang punya luka parah seperti ini? Ya jelas aku tidak sanggup lah. Bocah edan pancene kowe iki. Aku tidak mau! Wedi aku nek kenopo-kenopo! Aku takut kalau sampai kejadian yang tidak-tidak.”

Pria berkacamata hitam yang memiliki jenggot panjang dengan warna belang putih dan hitam itu geleng-geleng kepala saat melihat kejadian yang berlangsung di depan matanya. Saat itu ia tengah memegang tubuh seorang pemuda yang mengerang kesakitan di depannya. Ada luka menganga berwarna hitam di bagian dada yang bercampur dengan darah.

Orang ini sekarat.

Dia benar-benar tidak habis pikir dengan Pasat.

Iki piye jal? Bocah mbilung tenan. Harus aku apain orang ini? Bukannya dibawa ke rumah sakit kok malah dibawa ke sini. Kalau kenapa-kenapa bagaimana? Dia ini sudah antara hidup dan mati.”

Baik Pasat maupun sang pria berbatik tengah duduk di kursi ruang tamu sang pria berkacamata hitam sementara sang pesakitan direbahkan di sofa panjang.

Pak Mustofa adalah seorang pria tua yang sesungguhnya sehari-hari berjualan krupuk rambak - namun sering diminta tolong oleh tetangga sekitar untuk memijat urut karena konon tangannya bertuah. Dia lumayan populer di kalangan RW 06 sebagai tabib dan kadang-kadang dianggap sebagai orang pinter, padahal sekolahnya cuma sampai SMP. Meskipun populer, Pak Mus selalu menolak dimasukkan ke dalam golongan dua stereotype tersebut. Dia tidak ingin dianggap sebagai tabib dan dia tidak ingin dianggap sebagai orang pinter. Dia lebih suka dihubungi kalau ada yang mau pesan krupuk rambak dengan jumlah banyak, bukan untuk menyembuhkan orang pesakitan begini.

Pasat yang jadi tertuduh hanya cengengesan. “Ayolah Pak Mus. Dicoba dulu. Pak Mus itu kan cekelane mantep, maknyus, nylekamin, ada sedikit gurih, secuil rasa manis, tapi juga ada kenyamanan yang bikin adem. Sekali pegang orang, langsung sembuh.”

Rupamu! Ha kok disamakan sama lawuh – pijat kok disamain lauk pauk itu gimana to. Jinguk tenan.”

“Saya tahu Pak Mus punya sesuatu yang linuwih. Kemampuan njenengan kan tidak hanya sebatas chief executive marketing krupuk rambak ataupun pijat urut pakai uncekan kayu. Saya sudah mendapatkan bocoran mengenai kemampuan sebenarnya seorang Pak Mus dari Ki Kadar,” Pasat membimbing tangan Pak Mus ke arah tubuh yang terus kedinginan di depan mereka, “rasakan ini, Pak. Apa ya Pak Mus tidak kasihan? Diraba-raba dulu to, orang ini benar-benar butuh pertolongan, Pak Mus. Kalau pertolongan pertama sudah kami lakukan.”

Haish!” Pak Mus mendengus kesal. “Jian aku paling sengit kalau ada yang memaksa begini. Ya wes. Terpaksa iki. Demi kamu yang ngeyel-nya tidak ketulungan dan demi Ki Kadar yang sudah jadi langganan harian krupuk rambak. Yang jelas aku ndak berani tanggung kalau kejadian apa-apa, lho ya. Kalian yang nekat. Orang sakit begini kok mbalah dibawa ke sini itu lho... kenapa bukan langsung ke rumah sakit.”

“Nah begitu dong.” Pasat sedikit tersenyum meski situasi lumayan genting. Ia tersenyum karena sepertinya ia berhasil memancing minat sang tetua. “Oh iya, pertama... aku tahu kalau Pak Mus kan sebenarnya tidak rabun apalagi buta. Pakai kacamata itu hanya buat gegayaan saja biar mbois. Iya kan? Hayolah mengaku saja.”

Bocah gemblung.”

“Kalau buta beneran kok mijetnya milih-milih? Pagi kemarin Pak RT mau pijet, Pak Mus nolak mentah-mentah. Katanya tidak sempat memijat sampai siang karena harus mengantar pesenan krupuk ke Kutoageng. Giliran agak siang dikit Mbak Yati yang janda itu mau pijet lah langsung gage-gage nyiapin tempat karena katanya pesenan krupuknya bisa diundur. Emang dasar kok sampeyan itu.”

Haish!” Pak Mus tersenyum kecut, “Ancene munyuk kowe ki.”

Pasat tertawa.

Pria itu menengok ke kanan, melongokkan kepala ke sisi jendela, lalu ke kiri, lalu melepas kacamata hitamnya dan meletakkannya di atas meja. Dia lalu memiringkan kepala untuk melepas soft-lens yang dia kenakan. Usai ritual itu, sang pemijat ‘tunanetra’ menatap Pasat dengan tatapan mata tajam.

“Puas?”

“Hehehe. Mohon segera ditolong dia ini, Pak Mus.”

Pak Mus mendengus sembari mencibir. Pria sepuh itu lantas memegang pergelangan tangan pria yang berbaring di sofa – untuk memeriksa nadinya. Lalu menyentuh dahi, perut, dan akhirnya membuka bagian dada yang terluka cukup parah. Ada tumpukan herbal di bagian dadanya. Kemungkinan besar Pasat yang melakukannya untuk menyelamatkan nyawa sang pemuda yang saat ini sedang kembang kempis napasnya.

Dia sudah melakukannya dengan benar. Bagus. Lukanya juga sudah dijahit dengan rapi. Sepertinya pekerjaan klinik kecil yang darurat.

Pak Mus memejamkan mata, aliran Ki menyebar hingga terasa hangat di sekeliling ruangan. Bahkan Pasat pun bisa merasakan hangatnya ruas-ruas aliran yang ditebarkan oleh sang pemijat yang ternyata tidak tunanetra itu.

Beberapa saat kemudian Pak Mus menyelesaikan pemeriksaannya. Keringat sebesar biji jagung membasahi wajahnya. Ia menggelengkan kepala.

“Lukanya sebenarnya tidak seberapa, tapi ada racun berbahaya yang menyebar dengan ganas, itu yang berbahaya. Pantesan kamu bawa ke sini.” Pak Mus merengut. “Sepenglihatanku yang sekilas, racun itu hasil dari ilmu kanuragan yang terlarang – Jurus Cakar Tangan Hitam. Kemampuan jurus ini didapat dari perjanjian dengan pihak jahat. Seharusnya sudah lenyap puluhan tahun yang lalu. Bocah ini hendak dijadikan tumbal untuk wewujud penghuni cakar si penyerang. Semakin banyak tumbal jatuh – semakin mengerikan dan kuat ia jadinya. Cakarnya makin lama akan semakin tak terkalahkan seiring bertambahnya korban.”

“Apa maksud Pak Mus? Yang beginian ada urusan supranatural-kah?” Pasat tidak memahami kalimat yang terlalu mistis itu, “masa iya di jaman ini masih ada tumbal-tumbalan segala macam?”

Nek ngeyel wae tak tumpakke andong neng segoro. Dibilangin kok malah sembrono.” Pak Mus yang masih penasaran memeriksa kembali tubuh pemuda di hadapannya, meski kali ini tidak melibatkan Ki.

Pasat mulai penasaran, “bagaimana Pak Mus? Apakah dia bisa selamat?”

“Aku tidak ingin PHP. Jadi aku harap diagnosa seadanya dari seorang penjual krupuk rambak bisa memuaskanmu...”

“Err... Pemberi Harapan Palsu maksudnya?”

PHP Hypertext Preprocessor.”

“Ha!?”

“Ya iyalah maksudku Pemberi Harapan Palsu. Xixixi.” Kembali Pak Mus geleng kepala setelah melontarkan jokes bapack-bapack garing yang tidak pada saat dan waktu yang tepat, “Aku tidak ingin memberi harapan palsu. Racun yang masuk ke dalam tubuhnya menyebar dengan kecepatan luar biasa, kemungkinan karena saat menghentakkan cakar juga disertai dengan dorongan Ki – kombinasi Ki dan racun yang masuk ke dalam tubuh membuat penyebaran menjadi tak terkendali. Hal itu menyebabkan kondisi bocah ini bak orang mati, dia bertahan karena fisik dan Ki-nya cukup tangguh. Itu sebabnya kita harus berpacu dengan waktu dan berharap pada kekuatan fisik yang masih tersisa dari si bocah ini. Dudukkan dia pegangi dari depan.”

Pasat berpindah posisi, ia duduk di depan tubuh si pesakitan yang tentu saja adalah Roy dari Lima Jari yang tidak hidup tapi tidak juga mati setelah terkena hentakan pukulan sekaligus cakar beracun dari Reynaldi sang Durjana.

Pasat mendudukkan tubuh Roy dan memeganginya dari depan.

Pak Mus beringsut ke belakang Roy. Ia memejamkan mata sembari bersila. Tangannya berputar-putar di depan dada, kembali hawa hangat terasa memenuhi ruangan saat Pak Mus menyalakan lagi tenaga Ki-nya.

Tangan yang berputar-putar menempel di punggung Roy dengan pelan. Merasakan, menyalurkan, membenahi, menyembuhkan. Satu menit, dua menit, lima, sepuluh, dua puluh menit berlalu. Tak ada kata terucap, tak ada mata terkejap. Hanya detak jantung yang menjadi pernyataan alam, bahwa ketiganya masih terus menggerus hari yang beranjak malam.

Keringat membasahi wajah Pak Mus. Tenaga Ki yang ia masukkan ke dalam tubuh sang pengendara angin menekan semua racun yang menyebar di dalam tubuh dan mengumpulkannya ke satu titik. Terus ditekan hingga naik, naik, naik, dan naik.

Tiba-tiba saja ada cairan berwarna gelap muncul di batas kiri bibir Roy. Mulutnya terbuka lebih lebar, darah gelap pun termuntahkan.

Buru-buru Pasat mengambil tissue untuk menadah darah kotor.

Roy terbatuk-batuk.

Pak Mus manggut-manggut, ia menyeka keringat dan berdiri dengan tenang. Ia menepuk pundak Roy dan memberikan kode supaya Pasat membaringkannya. “Baringkan saja dulu, biar dia beristirahat.”

Pasat pun membantu membaringkan Roy kembali di sofa panjang. Tubuhnya yang tadi sudah dingin kini perlahan-lahan berubah menjadi lebih hangat. Pertanda baik ataukah buruk? Wajah Pasat yang bertanya-tanya sudah diperkirakan oleh Pak Mus. Pria tua itu duduk di kursinya, memejamkan mata, lalu mengatur peredaran aliran Ki dalam tubuhnya sendiri.

Jawaban apapun yang ditunggu oleh Pasat, harus menunggu sampai Pak Mus juga lebih rileks dan tenang. Rileks dan tenang itu ternyata sekitar lima menit kemudian.

“Racun paling gawat sudah dikeluarkan dari tubuhnya, tapi yang lain masih belum bisa aku urai. Butuh waktu. Aku butuh waktu untuk mengatur tenaga demi membantunya sembuh dan bocah ini butuh waktu untuk mengeluarkan racun berbahaya yang sudah terlanjur menyebar di dalam tubuhnya. Aku tidak ingin berandai-andai, aku tidak ingin memberikan kabar buruk. Tapi ada kemungkinan kalau racun ini tak akan bisa sempurna meninggalkan tubuhnya jika sudah menjalar terlalu luas. Butuh waktu untuk bisa setidaknya mencapai titik paling sehat dalam kondisinya yang sekarang, dan itu pun perkiraan paling cepat berminggu-minggu. Perkiraan paling lambat? Bisa berbulan, bahkan menahun untuk dapat mencuci bersih tubuhnya dari racun.“

“Berminggu-minggu? Wah...”

“Ya. Paling cepat. Itupun kalau dia punya fisik yang kuat dan bisa bertahan dengan racun yang masih menjalar di dalam tubuh. Syaratnya dia harus benar-benar beristirahat dan meminum beberapa obat herbal yang manjur untuk menangkal racun – aku yang akan meramu obatnya.”

“Terima kasih, Pak Mus.”

Pak Mus mengangkat telapak tangannya. “Tapi masalahnya bukan itu saja. Ada kemungkinan dia tidak akan bisa sehat seperti sediakala. Ada kemungkinan dia akan terus membawa racun ini sampai akhir hayatnya. Kita hanya bisa mengusahakan yang terbaik dan berdoa semoga dia bisa bertahan karena ini tergantung dari ketahanan fisik yang ia miliki. Bocah itu harus menetralkan kondisi, tidak boleh terlalu lelah, tidak boleh banyak pikiran, dan harus beristirahat total selama beberapa hari ke depan. Ini kalau ingin sembuh paling tidak sampai titik paling tinggi. Hal yang sama juga berlaku untuk menyembuhkan luka fisiknya.”

“Apa yang harus kita lakukan, Pak Mus?”

“Kita? Kamu aja keles.”

“Pak Mus... plis deh.”

“Xixixi... baiklah. Seperti yang aku bilang tadi. Aku akan membantumu memberikan obat-obatan herbal dan memberikan bantuan tenaga dari hari ke hari. Usahakan kalian berdua tinggal di tempat yang tak jauh dari sini. Aku capek kalau harus perjalanan jauh.”

“Semua akomodasi kami tanggung, Pak Mus. Nanti juga ada bonus-bonus tambahan.”

Lha yo mesti to. Kudu to yo. Sudah semestinya. Apa ya kamu tega ga ngasih aku uang saku? Asem ik.”

Pasat tertawa.





.::..::..::..::.





Pasat melemparkan kunci ke atas meja. Ia menekuk kepalanya ke kanan dan kiri. Badannya benar-benar terasa pegal hari ini. Sudah terlalu banyak yang ia lewati. Peristiwa demi peristiwa yang membuatnya bekerja keras seharian penuh.

Pemuda itu berjalan melalui ruang tamu yang gelap dan melangkah perlahan menuju dapur. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Dia tidak ingin mengganggu siapapun yang sedang tertidur, tapi dia lapar sekali. Mudah-mudahan masih ada sisa roti sobek di belakang.

Pasat mengendap-endap supaya suara langkah kakinya dapat diredam.

“Bagaimana? Apakah Pak Mus mau merawatnya?” suara datang dari sosok yang duduk di kursi yang berada di sudut gelap.

Suara Ki Kadar. Pasat sangat mengenalinya. “Sepertinya begitu, Guru.”

Ki Kadar mengangguk-angguk. Pria tua itu tersenyum, “Kalau begitu kita tinggalkan dulu dia bersama Pak Mus sampai kondisinya membaik. Kita jemput dia kembali setelah lebih mendingan. Dia tinggal di kos di samping rumah Pak Mus?”

“Iya, Guru. Saya akan membantunya setiap hari.”

“Baiklah.”

Ki Kadar menyeruput kopi pahit yang ada di meja di sebelahnya. Dia memperhatikan Pasat yang berjalan dengan gontai menuju ke dapur. Punggungnya membungkuk, kepalanya tunduk, langkah kakinya seperti diseret.

“Apa ada masalah?”

“Guru?” Pasat melirik ke arah gurunya yang masih berada di kegelapan.

“Apa ada masalah? Kenapa kamu sepertinya sedang kecewa karena sesuatu hal? Tadi kamu sangat bersemangat saat mengantarkan bocah itu ke Pak Mus.” Ki Kadar sudah hapal betul dengan perangai dan sifat Pasat, sehingga dia tahu kalau ada yang tidak beres. “Apa kabar baik dan apa kabar buruknya?”

“Iya, Guru. Kabar baiknya pemuda itu sudah dipastikan tidak menderita luka yang terlalu fatal karena sudah diobati secara herbal. Dia kemungkinan besar bisa sembuh meskipun kondisi badannya menurun untuk beberapa hari ke depan dan saat ini dia demam hebat. Untuk lukanya yang parah, dia menderita luka yang cukup dalam di bagian dada.”

“Oke, lalu apa kabar buruknya?”

“Racunnya, Guru. Racun Cakar Hitam yang masuk masih bersemayam di dalam tubuhnya dan entah apakah bisa disembuhkan atau tidak – karena menurut Pak Mus itu butuh ketelatenan, hanya pengguna Cakar Hitam sendiri-lah yang bisa menghilangkan racun itu dengan sangat cepat – kita jelas tidak mungkin meminta bantuan Mas Rey. Jadi untuk sementara kita hanya bisa berharap dari obat-obatan herbal yang diberikan oleh Pak Mus. Kalaupun pemuda itu bisa sembuh pasti akan butuh waktu lama, kalaupun tidak racun itu kemungkinan besar akan mengganggu beberapa aktivitas sekaligus mungkin mengurangi umurnya.”

“Oke... sejauh ini berita baik dan buruk hanyalah tentang pemuda itu. Lalu kenapa kamu yang lemas?”

“Guru... tadinya saya berharap dia akan menjadi jawaban untuk masalah Mas Reynaldi. Kalau tangan kita terikat karena bekerja untuk QZK, maka orang ini lah yang bisa membantu kita membersihkan sang durjana. Tapi saat ini dia sedang kesakitan dan rasa-rasanya harapan saya mulai punah. Reynaldi akan terus menjadi masalah dan semakin banyak wanita tak bersalah menjadi korbannya.”

“Itu yang kamu khawatirkan?”

“Iya, Guru.”

Ki Kadar mengangguk-angguk. “Beberapa hari lagi jemput dia kalau kondisinya sudah delapan puluh persen. Pak Mus pasti setuju-setuju saja karena kita sudah tahu apa masalahnya yang sebenarnya. Pak Mus masih akan tetap datang kemari untuk merawat dan menyembuhkan pemuda itu. Aku akan pastikan ke Pak Mus.”

“Te-terima kasih, Guru.”

“Satu lagi.”

“Apa itu, Guru?”

“Setelah ia datang nanti, kita tidak bisa membiarkan dia pergi kemana-mana dulu. Racunnya mungkin harus dicek secara berkala sampai dia benar-benar aman untuk keluar. Setelah kondisinya membaik barulah kita bantu dia. Kamu terutama juga akan membantu dia.” Ki Kadar mengucapkan kalimat demi kalimat dengan nada bergetar, ia sepertinya tahu apa yang dirasakan oleh Pasat. Entah peristiwa apa di masa lalu sang tetua yang membuatnya mendukung Pasat.

“Saya pasti akan membantu, Guru.”

“Kamu akan membantu dia dengan membantunya mempelajari Malam Sedih Berkabut Air Mata Darah.”

Pasat tersenyum, “siap, Guru. Dengan senang hati. Apakah itu artinya dia akan menjadi murid Guru?”

Ki Kadar membalas senyum Pasat dalam kegelapan. Mungkin ia melihatnya, mungkin juga tidak. “Kalau dia menghendaki dia bisa memanggilku Guru. Kalaupun tidak juga tidak masalah. Aku hanya ingin mempersiapkan dia untuk masalah yang besar di depan nanti.”

“Masalah di depan?”

“Pertempuran antar kelompok sudah akan berkumandang. Hawanya sudah terasa. Aku sih berharap tidak terjadi apa-apa yang mengerikan seperti beberapa tahun lalu saat JXG bertarung habis-habisan melawan QZK.” Ki Kadar menghela napas. “Entah berapa banyak korban saat itu. Baik Pak Zein ataupun Bos Janu sama-sama kehilangan banyak. Mudah-mudahan keempat kelompok besar yang ada saat ini sanggup menahan diri demi kebaikan bersama.”

“Pertempuran semacam itu hanya akan melahirkan rasa sakit dan dendam saja, Guru. Dendam itu bertumpuk dan seakan-akan tidak ada akhirnya. Lingkaran setan yang menjebak.”

“Tepat sekali. Hal itu mirip seperti yang terjadi pada Syam dan Jagal. Keduanya dulu adalah rekan sepangkat di QZK, tapi kini jadi musuh bebuyutan. Apalagi bisa dibilang termasuk gara-gara Syam-lah, Jagal yang sebenarnya adalah murid langsung Bos Janu berpindah haluan untuk mendukung JXG. Syam pula yang secara tidak langsung mengirimkan Jagal masuk ke penjara.“ Ki Kadar menggelengkan kepala. “Kalau sudah dendam, orang akan melakukan apa saja.”

“Iya, Guru.”

Ki Kadar tersenyum, ia tahu pasti kalau dalam hati Pasat sebenarnya juga menyimpan satu dendam kesumat. “Dalam hidup kita ini, tentu saja kita tidak hanya akan dihadapkan pada peristiwa bahagia dan menyenangkan semata. Kalau hanya mengalami kedua hal itu, kita tidak akan pernah belajar dari kesalahan-kesalahan yang wajar kita lakukan sebagai manusia. Dalam hidup, ada kalanya kita akan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan seperti rasa sakit, rasa dikhianati, dan rasa benci. Gara-gara hal yang tidak menyenangkan itu kita akan geram, marah, dan dendam atas perbuatan orang lain yang kita anggap menyakitkan. Padahal menyimpan dendam itu bukanlah hal yang baik, apalagi jika disimpan terlalu lama. Hal itu kemungkinan besar akan merugikan diri kita sendiri dan orang lain yang sebenarnya tidak bersalah.”

Pasat menunduk, “menurut Guru, apa yang sebaiknya dilakukan?”

“Pertama adalah mencoba merasakan dan mengingat kembali saat-saat yang paling bahagia dalam hidup. Biarkan diri kita terbiasa mengingat yang baik dan membuang yang buruk. Dendam itu melelahkan dan membuat kita mudah capek, jauh dari kebahagiaan. Kalau ada orang yang berbuat jahat, ingat pula kalau ada orang yang berbuat baik. Arahkan kegiatan yang tadinya dipenuhi hasrat nafsu membalas ke kegiatan yang lebih positif. Daripada lelah memikirkan dendam, lebih baik tenang memikirkan bahagia.

“Kita juga harus ingat kalau orang yang menyakiti kita sesungguhnya juga manusia biasa, tempatnya salah. Ada kalanya dia benar, ada kalanya dia salah. Sama halnya seperti kita. Kita juga memiliki kelemahan yang sama. Kadang kita benar, kadang kita salah.

“Itu sebabnya kalau kita sedang disakiti, cobalah untuk memaafkan orang yang menyakiti itu sebisa mungkin. Memaafkan orang lain adalah hal yang paling berat yang akan kita rasakan. Bayangkan saja, bagaimana mungkin kita dapat memaafkan orang yang telah jahat kepada kita? Memang susah tapi harus dilakukan. Tapi kita tidak melakukan itu untuk orang yang berbuat salah. Kita melakukan itu untuk berdamai dengan diri kita sendiri. Supaya kita bahagia, supaya kita senang, supaya kita tenang, supaya kita sanggup melanjutkan hidup tanpa terpenjara belenggu dendam.”

Pasat masih menunduk mendengarkan petuah singkat dari sang Guru.

“Baik. Akan saya usahakan. Terima kasih, Guru.”

“Istirahatlah, Pasat. Kita butuh badan yang segar untuk esok hari.”

“Iya, Guru. Saya ijin undur diri.”

“Hmm...”

Pasat membalikkan badan dan berjalan pelan menuju ke dapur kembali.

Ki Kadar terdiam dan menatap kegelapan.





.::..::..::..::.





Duduk santai berempat di tepian sungai ditemani api unggun adalah sebuah kenikmatan yang tak terbayangkan sebelumnya oleh Roy yang terbiasa hidup di kota. Kini bersama sahabat-sahabat barunya yang tengah menikmati hari libur, Roy bisa menjalani sesuatu yang luar biasa ini.

Setelah seharian mengikuti sepak terjang Rey sang durjana, Ki Kadar, Hamdani, dan Pasat akhirnya bisa beristirahat dengan santai di tepian sungai di kaki Gunung Menjulang. Sekedar menikmati aliran sungai yang masih bening dan hutan yang masih asri.

Ki Kadar yang duduk sembari membakar sosis di api unggun mencoba memancing pembicaraan. “Kalau sedang di depan api unggun begini, asyiknya kita santai, minum kopi, makan-makan sambil ditemani cerita-cerita. Bagaimana?”

“Wah setuju, Guru.” Pasat mengangguk dan menyiapkan empat gelas kopi untuk mereka berempat. Satu untuk Roy, satu untuk Ki Kadar, satu untuk Handoko Hamdani, dan satu lagi untuk dirinya sendiri. Setelah semua kopi siap, barulah Pasat duduk kembali di posisinya semula. “Biasanya cerita Guru itu seru, bikin betah yang dengerin.”

Roy pun mencari posisi pewe di samping Pasat dan bersiap mendengarkan cerita dari Ki Kadar. Sesekali ia mengernyitkan wajah dan memegang dada yang terasa nyeri. Ia memang masih belum benar-benar sembuh dari lukanya.

“Sebenarnya lebih asyik lagi kalau kita tidur. Kita kan baru saja sampai di sini, jadi aku usul kalau kita istirahat saja dulu. Seharian kita sudah ngikutin Rey dari malam sampai pagi – apa ya sesampainya di tempat ini kita justru tidak beristirahat?” usul Hamdani yang wajahnya sudah mengantuk berat.

“Hahaha, tidurlah kalau mau duluan.” Ki Kadar tertawa renyah menanggapi murid pertamanya. Ia lantas menatap Pasat dan Roy yang bersemangat mendengarkan cerita. “Bagaimana kalau kalian? Kalian mau mendengarkan cerita apa?”

“Akhir-akhir ini saya sering mendengar cerita tentang cagak bebandan, Guru. Apa itu sebenarnya?” Pasat memberikan usulan bahasan.

“Ah... legenda tentang cagak bebandan ya.”

“Itu legenda, mitos, atau benar-benar kejadian ya, Guru?”

“Hahaha, baiklah. Aku akan mencoba menceritakan legendanya. Kalian sendiri yang akan memutuskan apakah ini kejadian nyata atau bukan nanti di akhir cerita.” Ki Kadar mengunyah sosis yang baru saja ia bakar sebelum memulai kawruh-nya. “Berbicara mengenai cagak bebandan berarti bicara mengenai Ki. Kekuatan Ki memang menakutkan dan sudah sejak ratusan tahun menjadi bahan perdebatan. Apakah ilmu kanuragan berbasis Ki itu nyata, apakah ilusi, akankah berguna, ataukah justru jadi penghancur. Banyak perbincangan yang dilakukan bahkan hingga ke tingkat politik tinggi di jamannya. Tak lain dan tak bukan karena ulah para pengguna Ki makin lama makin menjadi dan terkadang meresahkan masyarakat.

“Sebenarnya ada dua cara untuk menanggulangi penggunaan Ki dengan skala kecil. Yang pertama adalah dengan Ki sendiri, yaitu dengan jurus penahan Ki – yang jumlahnya ada beragam. Jadi secara simpel bisa dikatakan, menggunakan Ki untuk menahan Ki. Dengan jurus ini, lawan tidak akan dapat menggunakan Ki-nya secara utuh atau bahkan tidak bisa sama sekali. Tapi jurus ini penggunanya cukup langka karena sangat menyerap tenaga. Hanya orang yang benar-benar bagaikan baterai hidup yang sanggup menggunakan jurus penahan Ki. Cara kedua adalah dengan menggunakan cagak bebandan.”

Cagak bebandan.” Roy mengerutkan kening.

“Betul, cagak bebandan. Sepanjang sejarah kita sudah mengenal banyak keris pusaka yang sakti. Ada yang memang bertuah, ada yang dilengkapi khodam, ada yang ternyata cuma hiasan kaleng. Macam-macamlah. Beberapa diantaranya pasti sudah pernah kalian dengar legendanya. Ada Keris Baru Klinting yang konon merupakan potongan lidah naga, Keris Mpu Gandring yang mengutuk penggunanya sampai beberapa keturunan, Keris Kyai Pleret, Keris Kanjeng Kyai Ageng, dan masih banyak lagi.” Ki Kadar terbatuk sedikit, ia minum kopi pahitnya dan melanjutkan. “Nah... untuk melawan para pengguna Ki di jaman pertempuran antar kerajaan di masa yang telah lampau, terutama berdasarkan Kakawin Kredakaton, konon di jaman Kanjeng Gusti Pangeran Pitutur atau Raden Pitutur – tercipta apa yang disebut cagak bebandan.

“Awalnya Raden Pitutur memerintahkan kepada tiga belas orang empu sakti pencipta keris untuk membuat senjata yang sanggup melawan kekuatan Ki agar para prajurit yang tidak mampu menggunakan Ki dapat melawan para pengguna Ki. Lama kelamaan berkembang ide untuk menciptakan senjata yang akan menahan kekuatan Ki sehingga penggunanya akan kehilangan kekuatan mereka karena dibatasi oleh cagak bebandan. Dengan cara ini maka pertarungan di medan laga menjadi lebih seimbang, karena pengguna Ki hanya akan menjadi orang biasa.”

“Wah, iya juga ya. Kalau Ki dipakai di jaman perang tentunya tidak akan menjadi pertarungan yang imbang. Kalau di sisi kita sih tidak apa-apa, tapi kalau pengguna Ki-nya ada di sisi lawan pasti bisa bikin kita kewalahan.” Pasat menyambung.

“Aku pernah mendengar cerita ini.” Handoko Hamdani menggosok hidungnya. “Jadi boleh tidur ya sekarang? Aku lelah sekali seharian mengikuti si durjana brengsek itu gabut ga jelas.”

Ki Kadar tersenyum dan mengangguk, ya tidak apa-apalah kalau memang butuh istirahat. Ulah Reynaldi memang selalu membuat mereka semua kelimpungan. Apalagi dia seringkali bertindak jahat secara random.

“Mohon dilanjut, Ki.” Roy penasaran.

“Baiklah. Jadi Raden Pitutur di masa itu merasa kalau pertarungan yang tidak imbang tentu akan merugikan mereka, karena jika Ki digunakan di peperangan maka penggunanya pasti akan merenggut banyak korban dengan mudahnya. Itu sebabnya ia memerintahkan pada ketigabelas empu sakti untuk masing-masing membuat pembatas Ki entah bagaimana caranya karena negara sedang dilanda perang.”

“Nah ini mulai bagian serunya,” timpal Hamdani.

“Katanya mau tidur.” Pasat tertawa.

“Ya ini sambil merem.”

Ki Kadar melanjutkan. “Setelah dicoba dan mencoba, dua belas empu ternyata mengalami kegagalan, barulah empu terakhir atau empu yang ketigabelas – yaitu Mpu Rantas, yang berhasil menemukan cara dengan sedikit bantuan supranatural. Dia menciptakan tiga belas keris sakti yang kemudian dikenal dengan istilah cagak bebandan atau tiang penahan.

“Penggunaannya simpel. Keris-keris itu ditancapkan ke tanah secara memutar atau membentuk lingkaran besar sembari mengucapkan rapalan dan hasilnya masing-masing keris itu akan membentuk satu jejaring penahan Ki imajiner. Siapapun yang melintas atau berada di tengah area keris yang biasanya dipasang membentuk lingkaran itu akan kehilangan kemampuan Ki mereka sampai mereka sanggup melintas meninggalkan lingkaran cagak bebandan. Tentu saja jarak lingkaran jejaring itu kurang lebih hanya beberapa ratus meter saja, makin sedikit keris yang digunakan, makin pendek lingkaran jaring penahan yang bisa tercipta.”

“Wow.” Pasat manggut-manggut kagum.

“Edan juga ya jaman segitu sudah kepikiran bikin penahan.” Roy menyambung. “Aku juga sudah pernah mendengar cerita tentang ini tapi tidak begitu paham seperti apa penahannya.”

“Aku tidak tahan ingin tidur.” Hamdani merem tapi masih ngoceh.

“Tapi penasaran sebenarnya bagaimana cara Mpu Rantas menciptakan keris-keris ampuh penahan Ki itu?” tanya Pasat.

Ki Kadar tersenyum, “Nah ini uniknya legenda ini. Demi menciptakan tiga belas keris penahan Ki, Mpu Rantas justru mengelabui kawan-kawannya yaitu para empu yang tadi gagal menciptakan keris sakti dan menjadikan mereka tumbal bagi khodam di masing-masing keris yang ia ciptakan. Dengan licik dan banyak tipu muslihat, Mpu Rantas membunuh mereka satu persatu untuk menciptakan ketigabelas keris sakti penahan Ki. Cerita tentang Mpu Rantas dan keduabelas pembunuhan yang ia lakukan ini ada di Kakawin Kredakaton. Suatu saat kelak akan aku ceritakan.

“Sebentar-sebentar, Guru... bukankah kerisnya ada tiga belas? Sedangkan para empu yang dijadiin tumbal kan jumlahnya hanya dua belas?” Pasat bertanya-tanya.

“Benar sekali. Nah, keris yang paripurna adalah kunci yang paling sakti dan disebut Keris Mpu Rantas. Kamu tahu kan apa itu artinya?” tanya Ki Kadar sambil tersenyum. “Artinya Mpu Rantas lantas mengorbankan dirinya sendiri menjadi tumbal untuk keris yang terakhir. Ia melakukannya tepat di hadapan Raden Pitutur demi menyempurnakan kesaktian ketiga belas keris. Dia menggorok lehernya sendiri, meneteskan darah di atas batang keris, dan tewas seketika.”

Roy manggut-manggut.

Ki Kadar melanjutkan, “Raden Pitutur kemudian memenangkan perang berkat bantuan ketigabelas keris itu dan setelahnya memisahkan semua keris untuk menjaganya dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Apalagi Raden Pitutur sendiri sebenarnya diam-diam juga seorang pengguna Ki sejati.”

“Apa yang kemudian terjadi pada keris-keris itu, Guru?” tanya Pasat. “Apakah masih ada di jaman modern? Ataukah hanya sekedar fiksi dan legenda semata?”

“Masih ada kok, meski kesaktian dan keotentikannya di jaman modern harus dipertanyakan. Beberapa keris sudah hancur, lalu banyak juga yang hilang ditelan jaman, sehingga saat ini konon hanya tersisa sembilan saja. Empat keris dimiliki oleh Keraton dan ditempatkan masing-masing di pojok beteng. Tentu saja posisi dan lokasi keempat keris itu terlalu jauh untuk bisa berfungsi sebagai cagak bebandan. Keris-keris itu memang ditempatkan di empat penjuru keraton sebenarnya hanya untuk menjadi penanda saja tanpa maksud apapun.”

“Bagaimana dengan lima yang tersisa?” tanya Roy.

“Yang tiga sempat muncul dan menghebohkan dunia lelang karena setelah ditelusuri ternyata selama ini keris-keris itu dibawa sampai ke negeri Belanda. Pemenang lelang ketiga keris itu orang Indonesia, tapi sampai saat ini siapa pemilik terakhirnya tidak diketahui siapa. Yang jelas ada di negeri kita.”

“Lalu yang dua lagi?” Pasat juga penasaran.

“Nah ini. Satu-satunya orang yang diketahui memegang Keris Kyai Mpu Rantas dan satu keris lagi adalah orang yang konon katanya merupakan keturunan dari Mpu Rantas.” Ki Kadar tertawa seakan-akan ada yang lucu. “Kalau kalian kenal orangnya pasti akan tertawa. Karena meski keturunan dari Mpu Rantas, tapi ternyata dia justru sama sekali tidak paham cara penggunaan kedua keris sakti itu. Sangat disayangkan, bukan? Ilmu ajaib dengan media akhirnya cagak bebandan lenyap dan punah.”

Pasat dan Roy saling berpandangan. Hampir bersamaan mereka bertanya, “Siapa orang itu?”

Handoko Hamdani menguap, dia melirik ke arah Pasat dan Roy sambil geleng-geleng kepala. Dengan suara malas dia menjawab pertanyaan kedua yuniornya sembari mengubah posisi tidur supaya dapat membelakangi mereka berdua, “Lek Suman.”

“Le-Lek Suman?” Roy dan Pasat kembali berpandangan.

Ki Kadar tertawa. “Betul. Dialah keturunan jauh dari Mpu Rantas dan pewaris dua keris sakti cagak bebandan. Kalau ada perang antar pengguna Ki di jagad ini, maka kunci kemenangan seharusnya ada di tangan Lek Suman. Meski dia sendiri tidak tahu cara penggunaan kerisnya.”

Hamdani yang mengaku tertidur ternyata membuka matanya dengan nyalang. Baik Ki Kadar, Pasat, maupun Roy tidak menyadari kalau pria itu tengah berpikir keras. Pikirannya menuju ke sosok Lek Suman, sementara bibirnya berbisik mengucapkan kalimat yang konon merupakan rapalan untuk mengaktifkan cagak bebandan berdasarkan dari buku kuno Kakawin Kredakaton.

Ora lokak soyo kebak, ora wutah samsoyo wutuh, ora roboh lan soyo bakoh.”





.::..::..::..::.





Ki Kadar sedang berlatih ilmu kanuragan dengan Handoko Hamdani di sebuah tanah lapang sementara Roy dan Pasat duduk-duduk di gubuk yang tepat berada di tengah pematang sawah. Suasana asri dan hijau ditemani oleh angin semilir sejuk dengan hawa dingin kaki Gunung Menjulang membuat jiwa-jiwa yang hangat menjadi lebih tenang dan senang.

Roy tersenyum saat melihat rekaman video di ponsel Pasat. Dia menatap layar tanpa berkedip. Di sana, Pasat merekam semua kegiatan yang dilakukan oleh Rania. Itulah kenapa Pasat diam-diam mengunjungi Rania saat dia hendak pulang kerja – demi memberikannya kepada Roy.

“Terima kasih sudah membantuku menjalan hidup baru ini, Pasat,” ujar Roy yang berkaca-kaca saat melihat kecantikan Rania dari jarak jauh. “Entah kapan aku bisa bertemu kembali dengannya. Tapi rasanya rindu sekali. Demi dia aku pasti akan sembuh dari semua luka dan racun yang masih mengungkung tubuhku ini.”

Pasat mengangguk, dan menepuk pundak Roy. “Aku tahu rasanya berada di posisimu. Aku pernah mengalami kehilangan yang hebat – tapi Guru dan Kang Hamdani membantuku bangkit kembali. Kalau aku bisa, kamu juga bisa. Kita pasti menemukan cara untuk menyembuhkan racun yang masih bersemayam di dalam tubuhmu.”

“Entah bagaimana aku bisa berterima kasih. Kalau kamu tidak membawaku setelah dipukul oleh Reynaldi, aku pasti sudah mati.”

Pasat mengangkat pundaknya, “Aku hanya merasa kamu tidak pantas mati begitu saja setelah melindungi orang yang kamu sayangi. Sayang sekali kalau berkurang orang baik di dunia ini hanya gara-gara Rey. Si durjana itu seharusnya dihukum berat, tidak malah dibiarkan hidup senyaman sekarang – tapi tanganku terkekang, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku bekerja di kelompok yang sama dengan Rey. Sedangkan kamu... kamu bisa melakukannya. Pastikan untuk membawa Rey ke bui, penjarakan dia seumur hidup.”

“Bilang aja kamu malas ngikutin dia melulu setiap harinya.”

“Hahaha, memang bener juga sih. Eneg banget rasanya. Itu orang pikirannya ga jauh-jauh dari selangkangan. Seperti tidak ada yang lain di dunia ini selain cewek dan cewek.”

Roy menunduk, “Aku harus jadi lebih kuat lagi untuk bisa melindungi Rania dan teman-temanku. Mereka butuh bantuan karena semua masalah yang akan kita hadapi kedepannya nanti sesuai ramalan Ki Kadar.”

Pasat kembali menepuk pundak sang pengendara angin, wajahnya menunjukkan penyesalan. “Maaf untuk sementara waktu kamu masih belum bisa menikahi kekasihmu itu. Setidaknya sampai racun di tubuhmu benar-benar sudah hilang.”

“Aku tahu.” Roy meneguk ludah, “rasanya pahit sekali tidak bisa menikah dengannya, tapi racun ini benar-benar menghalangiku. Lebih baik aku mati daripada menularkan penyakit ini pada orang yang paling aku cintai.”

Pasat mengangguk. Dia juga berharap Roy dapat sembuh sesegera mungkin karena bisa jadi Roy adalah harapannya untuk dapat mengatasi masalah Reynaldi yang kian lama kian menjadi. Durjana busuk itu harus diberi pelajaran supaya tidak sewenang-wenang terhadap kaum perempuan. Pasat selalu teringat nasib yang menimpa kakaknya yang malang jika melihat korban-korban Reynaldi. Saat itu tidak ada yang membantunya, bahkan kakak iparnya pun malah menghilang.

Ketidakadilan membuatnya geram terhadap ulah Rey.

Sialnya Pasat tak bisa berbuat banyak, karena dia justru bekerja untuk Reynaldi saat ini – jadi tidak bisa membalasnya secara langsung. Dia hanya berharap Roy sanggup membuat sang durjana kapok sekapok-kapoknya. Masuk bui kalau bisa. Ditusbol di bui lebih mantap lagi. Biar tau rasa.

Ponsel sang pengendara angin nyaring menyala. Kebetulan posisi ponsel itu tepat berada di samping Pasat. Sang pemuda berambut coklat itu pun melirik ke ponsel milik Roy.

“Apa pesannya?” tanya Roy.

Dia sudah sangat percaya pada Pasat, jadi tidak masalah kalau pemuda itu membuka layar ponselnya. Toh itu juga sudah pernah dilakukannya dulu. Pesan singkat WA akan muncul di halaman notifikasi Roy sehingga ia tidak perlu membuka WA-nya.

“Ada pesan singkat. Kode Bravo. Rao diserang PSG di GOR Klabangan,” kata Pasat membaca pesan yang muncul di lockscreen ponsel. Wajahnya berubah menjadi serius. “Bagaimana?”

“Itu artinya mereka sedang menyusul Rao yang diserang PSG di GOR Klabangan,” ujar Roy yang meski vakum di grup WA Lima Jari tapi tetap mengikuti perkembangan keempat kawannya. Dia sengaja tidak masuk ke grup supaya bisa membantu di saat-saat yang tepat. “Aliansi sedang ditekan kanan kiri, kalau tidak salah dengar percakapanmu di telepon tadi – saat ini DoP juga sedang diserang RKZ kan?”

“Betul.”

“Mereka sedang terpojok. Ending-nya pasti tidak bagus.”

“Lokasinya lumayan. Tidak jauh tidak dekat. Ada bau busuk sih, PSG sepertinya sudah menyiapkan siasat,” ujar Pasat yang baru saja membaca pesan singkat yang muncul di penampang layar ponsel milik Roy. “Bagaimana? Apakah sekarang waktunya? Kamu sudah siap? Bagaimana kondisi badanmu? Racunnya? Lukanya?”

Roy berdiri.

Dia tidak buru-buru menjawab.

Ia menggoyangkan kaki, merenggangkannya, mengangkatnya tinggi-tinggi, menempelkannya ke tiang pancang gubuk, dan mulai melakukan pemanasan. Setelah beberapa kali terdiam, akhirnya ia menatap ke arah Pasat.

Racunnya belum sepenuhnya hilang, luka belum sepenuhnya sembuh. Tapi kedua hal itu tak akan menghentikannya menemui sahabat-sahabatnya di saat mereka membutuhkan. Terlebih lagi dia ingin mencoba ilmu kanuragan baru yang ia kuasai.

Roy mengangguk dan tersenyum, “Sekarang saatnya.”





JALAK – KISAH SISIPAN 2
BILA KAU TAK DI SAMPINGKU
SELESAI.
Makasih updet e om
 
Bimabet
BAGIAN 21
TANYAKU






Hidup dan mati itu seutas.
Berada pada satu garis yang sama, tapi dilihat dari sisi berbeda.
- Lao Tzu






Lagi-lagi hujan.

Hujan di malam hari membuat suasana gelap menjadi semakin sendu. Rintiknya ibarat isyarat bahwa manusia sebaiknya beristirahat saja di balik selimut sembari meminum teh hangat dan pisang goreng – daripada berada di luar begini dan harus menadah air menahan dingin.

Hujan di malam hari dengan geledek yang silih berganti seakan juga menjadi isyarat akan datangnya sesuatu yang tak disangka-sangka di malam ini.

Pak Pos melangkah perlahan ke depan masih dengan langkah yang berhati-hati, berusaha memastikan bahwa dirinya masih terlindung di balik pepohonan lebat, sebelum benar-benar memasuki halaman sebuah bangunan sembari memperketat dekapan jas hujan yang ia kenakan.

Pria tua itu mengendap-endap di depan sebuah gudang yang teramat besar di kawasan utara kota. Ia sudah mendengar dari anak buahnya kalau tempat ini adalah gudang rahasia milik RKZ meski tidak ada satu orang pun yang mengakuinya. Ada indikasi kalau di tempat inilah Non Nada sedang disekap dan Jagal mengetahuinya.

Si Jagal busuk itu memang bajingan sejati. Ia tidak pernah mengucap sepatah kata pun, tapi ada telik sandi yang bilang kalau dia dan pimpinan Aliansi masuk ke tempat ini dengan tujuan untuk menegosiasikan keselamatan Nada.

Ia memang sudah sejak lama mencurigai keterlibatan bedebah itu dengan Bambang Jenggo dan RKZ-nya, meski ia masih tidak menaruh curiga bahwa penculikan Non Nada berhubungan dengan Jagal secara langsung.

Pak Pos berjalan perlahan, teramat perlahan. Ia melihat dua orang berjaga di depan pintu masuk gudang yang sedikit terbuka. Satu-satunya jalan untuk masuk ke dalam adalah dengan melalui pintu raksasa itu sepertinya. Tak mungkin memasukinya diam-diam tanpa diketahui oleh kedua penjaga di depan. Tapi dengan sedikit memanfaatkan kemampuan ringan tubuh, Pak Pos melalui pintu besar di bagian depan dengan melalui celah pintu bagian atas, bukan bawah.

Hasilnya ia bisa masuk dengan mudah.

Saat menyelinap ke dalam gudang, Pak Pos sengaja mematikan ponselnya supaya tidak mengganggu kiprahnya di dalam, sebagaimana ia juga menekan Ki-nya seminimal mungkin.

Pak Pos mulai menyelidik.

Hmm, gudang ini mirip seperti gudang milik para pimpinan geng lain. Di luar seperti apa, di dalam banyak apa. Berbagai macam barang menumpuk di sana sini bahkan seakan-akan sampai membuat tower. Ada tower ban bekas, menara tinggi yang isinya tumpukan bekas pintu mobil, gunungan besi, mesin cuci, tumpukan rice cooker, velg, belum lagi pancang besi dan patok untuk berkemah yang bertebaran di mana-mana.

Seperti tempat penadahan besi, alat rumah tangga rusak, dan ban bekas.

Omong-omong soal ban bekas, tiba-tiba saja Ia jadi teringat kejadian siang tadi.

Siang tadi Pak Pos makan siomay dengan Jagal, Amar Barok, dan Syam. Ketiga orang itu sebenarnya sama-sama menyeramkan dan saling mengintimidasi satu sama lain. Satu-satunya yang bisa dianggap normal dari mereka bertiga adalah Amar Barok. Tapi diapun sepertinya punya rahasia. Kalau tidak kenapa dia melepaskan jabatan dari penasehat Dinasti Baru dengan mudahnya? Ada alasan apakah dia mundur?

Lalu apa hubungannya dengan ban bekas? Tidak ada sih.

Ah, kenapa melantur?

Saat ini Pak Pos sedang berada di dalam gudang milik RKZ, bukan Dinasti Baru, bukan QZK, dan bukan PSG. Dia harus berhati-hati karena kelompok RKZ bukanlah kelompok yang diakui resmi oleh empat besar. Itu menjadikan mereka berbahaya.

Tiba-tiba saja terdengar bunyi raungan sirene.

Pak Pos terkesiap dan bersembunyi di balik tumpukan ban bekas raksasa. Sirene apa itu?

“Jadi apakah sudah bisa berbahasa dengan baik dan benar?”

Terdengar satu percakapan dari dua orang yang melangkah dari pintu menuju sebuah bangunan di belakang gudang. Yang satu tinggi, besar, kekar, dan berkulit legam – yang satu lagi orang pribumi yang biasa-biasa saja.

“Sedikit saja. Not really interested in it.”

“Baguslah kalau begitu. Kan kita bisa jadi nyambung kalau ngobrol. Aku juga pernah belajar Bahasa Inggris dari seorang lonte.”

Interesting.”

“Dua kalimat saja sih. Oh yes dan oh no.”

Kedua pria itu tertawa padahal menurut Pak Pos joke-nya tidak lucu, bapack-bapack juga pasti tidak tertawa. Ah sudahlah, yang penting keduanya sudah melewati posisi Pak Pos tanpa curiga.

Saat itulah Pak Pos baru tersadar kalau sedari tadi orang-orang yang berjaga dan bekerja di dalam gudang ini satu persatu masuk ke bangunan di belakang setelah terdengar bunyi sirene sehingga bagian depan gudang benar-benar sepi. Apa yang terjadi? Shift kerja? Atau apa?

Kalau begini kan jadi enak? Karena hal itu justru mempermudah pergerakan Pak Pos yang...

Tunggu sebentar.

Pak Pos terdiam. Ia jongkok dan memejamkan mata.

Ia merasakan Ki yang sangat hebat di sebuah posisi yang entah di bagian mana dari gudang ini. Tenaga yang sangat tertata rapi dan mengintimidasi. Kekuatan yang sangat menakutkan. Gila ini sih, terlalu besar.

Ki dari siapa ini?

Jangan-jangan...

“Ah ya benar, kunci motorku jatuh.” Terdengar suara pemuda yang tadi.

Kuncinya jatuh di dekat posisi Pak Pos.

Keep the keys in your pocket.” Ujar sang legam mengingatkan. “Tidak hilang lagi.”

Iyes iyes.” Sang teman tertawa menyanggupi sembari memasukkan kunci ke dalam saku celana. Mereka berdua pun berjalan balik ke arah bangunan di bagian belakang gudang. “Omong-omong, cewek yang kamu taksir itu bukan cewek sembarangan kan? Dia putri pimpinan geng terkenal lho. Apa tidak takut diserbu sama sahan-nya? Sama bapaknya?”

“Kenapa takut. TKO tidak pernah takut. Si ketua alliance pun TKO hajar.”

“Ya ya... untung saja cewek itu aman di sini.”

Pak Pos terkesiap.

Jangan-jangan mereka membicarakan Non Nada? Wah, pelacakannya menemukan titik temu! Jadi mereka benar-benar ada di sini! Itu artinya Jagal sebenarnya juga sudah mengetahui keberadaan Non Nada di tempat ini, tapi kenapa dia tidak menyampaikannya ke Pak Zein?

Wah tidak beres ini. Pasti ada hal yang disembunyikan oleh Jagal.

Dia harus menanyakannya ke Sulaiman Seno dan orang itu harus bertanggung jawab. Bisa-bisanya bungkam seribu bahasa padahal seluruh kota sedang diacak-acak oleh JXG untuk mencari keberadaan Non Nada.

Kalau berita ini sampai didengar oleh Pak Zein, Jagal pasti mendapatkan hukuman berat. Biar saja. Siapa suruh diem-dieman bae. Giliran prestasi diembat sendiri, kalau malapetaka dibagi-bagi. Apa maunya sih orang itu? Heh... ngeselin. Benar-benar tidak setia kawan.

Pak Pos mengendap-endap untuk bisa semakin dekat ke arah bangunan di belakang. Satu-satunya yang membuatnya risih adalah adanya kekuatan Ki teramat besar yang ia rasakan ini. Ki ini hebat sekali. Sangat kuat. Punya siapa ya? Kenapa dipancarkan sehebat ini?

Pak Pos mendengus. Kalau memang situasinya berbahaya, sepertinya dia harus mundur dan sesegera mungkin mencari pasukan untuk menyerang tempat ini. Dengan begini Non Nada bisa diselamatkan dan mereka semua di JXG bisa tidur dengan tenang.

Hrmph. Semua kecuali Jagal. Awas saja dia kalau sampai...

“Selamat malam. Apakah ada surat yang perlu diantar?”

Pak Pos terkejut dan melirik ke belakang. Sial! Dia lengah! Orang-orang ini bahkan tidak memancarkan Ki sehingga dia tidak dapat merasakan keberadaan mereka!

Di depan Pak Pos berdiri Bambang Jenggo, Alang Kumitir, dan Tunggul Seto.

Pak Pos tersenyum ramah. “Permisi. Paket.”





.::..::..::..::.





Panas.

Panas karena terbakar.

Panas karena terbakar amarah.

Joko Gunar menatap gudangnya yang sudah luluh lantak dimakan api dengan hati yang geram. Memang gudang ini bukan satu-satunya tempat penyimpanan barang dagangan yang ia punya, tentu saja dia tidak akan segegabah itu menyimpan semuanya di satu tempat. Tapi gudang ini adalah salah satu gudang penyimpanan yang terbesar dan paling menguntungkan, apalagi lokasinya juga cukup dekat dengan pusat kota.

Tidak hanya obat-obatan dan miras, dia juga menyimpan banyak dokumen-dokumen berharga seperti surat tanah yang ia beli paksa dengan murah dari orang-orang bego yang tidak tahu harga tanah yang sebenarnya diinginkan dan diincar oleh pemerintah untuk pembebasan lahan.

Semua yang berharga ia tempatkan di sini. Semua yang berharga dan kini telah hilang.

“Habis?” tanya Gunar pada salah satu anak buahnya.

“Ma-maaf. Betul, Bos. Semua habis-bis tak tersisa.” Pemuda PSG itu takut bukan kepalang melihat wajah Joko Gunar yang bagaikan iblis kehilangan tanduk. Kemarahannya sudah tak lagi bisa dituntaskan dengan kata-kata. Sang anak buah meneguk ludah sembari melanjutkan laporannya. “Bahkan tubuh Lek Suman juga sudah tak bisa dikenali kecuali sebagian dari bajunya, sudah gosong...”

“Hrrhhh! Aku harus melihat mayatnya. Aku tidak akan pernah percaya si tua busuk itu mati kecuali dia benar-benar dipenggal di depan mataku sendiri. Aku mau periksa mayatnya. Apakah dia sudah dibawa ke rumah sakit?”

“Sudah Bos, tadi diambil oleh polisi yang melihat ke TKP. Yang meninggal karena kejadian ini ada empat orang. Tiga anggota kita yang tidak sempat menyelamatkan diri dan Lek Suman.”

Ora beres iki – kalau hanya dibakar malam ini saja, tidak akan sampai hancur seperti ini. Apinya harus benar-benar serius. Wasu tenan. Kok iso kecolongan.” Joko Gunar melirik ke arah Beng, “CCTV bagaimana?”

“Ada di pos satpam, Bang. Bisa dilihat saat Lek Suman masuk bersama dua orang temannya dengan mengendarai mobil.”

Joko Gunar segera berjalan menuju ke pos satpam dengan terburu-buru. Dia ingin melihat semua bukti, semua rekaman, semua alat yang bisa digunakan untuk mengetahui dengan pasti apa yang terjadi dan siapa yang bertanggungjawab. Karena dia ingin segera menuntaskan semua permasalahan dan membuat orang-orang yang bertanggungjawab di balik kebakaran yang melanda gudangnya itu mengganti kerugiannya sebelum ia bunuh pelan-pelan.

“Bagaimana dengan gadis yang...” Beng mencoba mengingatkan sang Bos kalau mereka berdua masih meninggalkan Nuke sendirian saja di dalam mobil, di lapangan parkir. “...dia masih terborgol dan...”

“Beng. Kowe ki yo mikir nek arep ngejak ngomong. Aku sedang tidak mood untuk membicarakan tentang lonte itu saat ini – iki aku lagi ndeleng kerugian ratusan juta ini lho. Cobalah inovasi, awasi saja mobilnya, jangan sampai ada yang masuk atau keluar dari mobil itu.”

“Siap, Bang.”

Joko Gunar mengendus-endus saat berjalan melalui reruntuhan bekas gudangnya menuju ke pos satpam. Ia mencium bau bensin. Jadi orang-orang yang menyusup itu menyiramkan bensin kemana-mana tanpa diketahui oleh pasukannya. Pantas saja bisa sampai terbakar total begini. Tapi bagaimana mungkin orang-orang PSG bisa dikelabui sedemikian rupa?

“Tim-nya siapa yang malam ini berjaga? Kenapa bisa sampai kecolongan seperti ini?” tanya Gunar pada salah satu anggotanya. Saat itu selain bersama Beng, Gunar juga berjalan bersama dua orang lain yang punya posisi tinggi di PSG yang bertugas untuk menjaga gudang.

“Ampun, Bang. Malam ini kondisi penjagaan memang kurang bagus. Pasukan kita sedang terbagi karena sebagian dikirim ke Lapangan Klabangan dan yang lain non-aktif karena JXG sedang bergerilya besar-besaran di kota wilayah selatan. Mengikuti perintah Bang Gunar siang tadi – kami tidak ingin ada bentrok sehingga meminimalkan pasukan. Hanya ada beberapa saja yang tinggal untuk menjaga gudang.”

Joko Gunar berhenti berjalan. “Apa maksudmu aku memerintahkan kalian untuk meminimalisir pasukan? Aku tidak pernah meminta apa-apa tentang penjagaan gudang, aku juga tidak pernah bilang semua pasukan dikirim ke Klabangan. Pasukan yang dikirim ke Klabangan hari ini tidak sebanyak itu.”

“Tapi kami dapat info ini langsung dari Bang Gunar. Kan Bang Gunar yang telepon ke kami siang tadi. Bang Gunar sendiri yang bilang kalau kami sebaiknya melonggarkan penjagaan karena ditengarai ada pasukan JXG yang akan bergerilya. Untuk menghindari bentrokan, sebaiknya kami mengurangi penjagaan. Gitu kan tadi siang? Jadinya ya kami hanya berjaga beberapa orang saja di depan gerbang. Sementara di dalam hanya ada satu dua di belakang.”

“Nomernya pakai nomerku?”

“Bukan. 08...”

Bajingan!! Wedhus! Aku tidak pernah menelpon siapapun!!” Joko Gunar menatap dengan geram satu demi satu anggotanya. “Kalau menerima telpon, pastikan nomernya dari nomerku – bukan nomer yang asing!”

Beng benar-benar kebingungan. “Sebenarnya apa yang terjadi, Bang?”

Gunar menggemeretakkan giginya. “Kejadian ini bukan kecolongan biasa tapi memang sudah ada yang dengan sengaja melakukan perencanaan jauh-jauh hari. Ada orang yang menirukan suaraku dan membuat penjagaan di gudang lengah. Saat itu terjadi, mobil yang membawa Lek Suman datang, menyebar bensin, dan membakar seluruh bangunan. Sebelumnya mereka sempat melumpuhkan tiga sampai empat penjaga gudang yang ada di dalam. Bajingan! Siapa yang telah melakukan ini semua? Ini serangan langsung ke PSG!”

Beng terbelalak mendengar prediksi dari Joko Gunar.

Gunar yang terus berjalan menuju pos keamanan akhirnya disambut oleh seorang penjaga. “CCTV-nya sudah siap, Bang.”

“Coba aku mau lihat.” Kata Gunar sembari berjalan ke dalam. Ia duduk di depan satu monitor kecil berwarna hitam putih. Beng dan dua kawan yang lain berdiri di belakang Joko Gunar sekaligus ikut mengamati.

Setelah mobil yang dicurigai masuk, keluar tiga sosok misterius. Yang satu memiliki postur dan perawakan dengan Lek Suman. Ketika dikonfirmasi dengan penjaga gerbang, ia yakin sekali bahwa mereka bertiga adalah Lek Suman dan kedua kawannya. Dari posisi CCTV, memang sepertinya orang itu adalah Lek Suman – caranya bergerak dan berjalan dengan tongkat khas sekali.

Setelah ketiga orang itu disambut oleh penjaga pintu PSG, mereka masuk ke dalam.

“CCTV di dalam gudang?”

“Entah kenapa mati, Bang. Semuanya.”

Sompret. Benar-benar sudah direncanakan. Satu-satunya yang bisa kucurigai karena mengetahui tempat ini ya tetap saja Lek Suman.”

CCTV di bagian kedatangan lantas menampilkan asap yang mulai membumbung di sebagian gedung yang terlihat. Kedua orang yang tadinya berjalan bersama Lek Suman memasuki gudang utama kini berlari berdua saja menuju mobil dan langsung meninggalkan tempat itu dengan terburu-buru. Tak lama kemudian api menyala dan akhirnya siaran itu terhenti.

Joko Gunar menggemeretakkan gigi, “fix sudah.”

“Apanya yang fix, Bang?” tanya Beng yang masih belum paham maksud sang pimpinan. “Kita hanya melihat adegan orang lari.”

“Mereka ini...” Gunar menunjuk ke arah monitor CCTV yang kembali memutar adegan pembakaran gudang milik PSG. “...mereka ini sudah tahu di mana mereka harus menyerang, kapan menyerang, dengan apa, dan bagaimana. Hanya ada satu hal saja yang membuat semua ini masuk akal.”

“Apa itu, Bang?”

“Ada pengkhianat di dalam tubuh PSG dan itu bukan Lek Suman.”

Orang-orang PSG langsung saling bertatapan. Ada pengkhianat di PSG? Siapa yang telah membocorkan lokasi gudang PSG pada pihak lain? Kenapa pula lantas gudang itu dibakar? Satu-satunya urgensi membakar gudang milik Joko Gunar adalah untuk memicu kemarahannya.

Beng meneguk ludah melihat wajah sang bos mulai makin memerah.

Malam ini pasti akan ada yang mati.





.::..::..::..::.





Nuke tegang, sangat tegang.

Ia baru saja mengalami pelecehan paling buruk sepanjang hidupnya. Lebih parahnya lagi, dia mengalaminya di tangan Joko Gunar yang sangat ia benci. Nuke tahu preman gempal cabul itu sudah mengincarnya sejak lama, bahkan sejak ia masih sekolah dulu. Tapi sebelumnya dia punya ayah yang selalu melindunginya, dia punya kekasih yang selalu mendukungnya, dan untuk sesaat dia punya Mas Rao yang menjadi malaikat pelindungnya.

Sekarang dia sendiri.

Sekarang dia tidak tahu lagi harus bagaimana.

Air mata meleleh di pipi Nuke.

Seandainya saja ayahnya masih ada. Joko Gunar pasti tidak akan berani berbuat seperti ini. Dia pasti akan menghukum si kodok besar dan melemparkannya ke rawa-rawa tempat seharusnya bajingan semacam dia tinggal.

Nuke menahan sedu sedan tangis yang tak bisa ia tahan.

Dia biasanya kuat menghadapi segala macam cobaan. Tapi sejak masalah demi masalah menghantam karena ulah dan ancaman Joko Gunar, kepercayaan diri Nuke ambyar ditelan malam. Dia bahkan sudah siap memasrahkan diri dan tubuhnya malam ini jika memang itu yang dikehendaki sang kodok besar.

Mungkin memang sudah takdirnya.

Pandangan mata Nuke melirik ke samping, ke jendela mobil yang masih tertutup rapat. Dari dalam ia dapat melihat kekisruhan yang terjadi di luar sana.

Mobil Gunar berhenti di depan gudangnya yang hari ini terbakar. Sisa-sisa api dan reruntuhan masih terlihat. Gudang itu tak lagi nampak seperti gudang, tapi lebih nampak seperti tusuk sate dan arang yang mencuat dari atas tanah. Hujan yang mulai turun sepertinya turut membantu pemadaman api yang menyala menggila malam ini.

Kebakaran yang aneh. Terlalu hebat untuk waktu yang terlalu cepat.

Nuke tak bisa melihat di mana posisi Gunar, tapi ia juga tak mungkin bisa lari karena ia tak dapat melepaskan diri borgol yang mengikat. Garis air mata mengalir di pipi sang dara jelita. Bagaimana caranya ia bisa lepas? Bagaimana? Semua jalan sepertinya sudah tertutup, tidak ada cara yang tersisa untuknya.

Mungkin dia akan menjadi budak se...

Pintu di samping Nuke tiba-tiba terbuka.

Gadis itu pun memekik karena kaget.

Sesosok wajah menyeringai menatap Nuke dengan pandangan yang main-main. “Hehehe. Sepertinya gadis yang cantik ini kesepian. Apakah butuh seorang kawan?”

Celaka.

Nuke menggelengkan kepala dengan ketakutan. Alih-alih Joko Gunar, dia justru akan disakiti oleh anak buahnya yang nekat! “Ja-jangan mendekat! Aku akan berteriak! Kalau aku berteriak, Bang Gunar akan...”

Pria itu mendekat tanpa menghapus seringai di wajahnya.

Nuke gemetar ketakutan, dia bersiap untuk menjerit!

Tapi dengan sigap tangan sang pria langsung membekap mulut Nuke dengan sekuat tenaga. Nuke terbalalak, ia mencoba meronta, menggigit, dan melawan. Air matanya deras mengalir. Habis sudah. Apa sih yang bisa dilakukan seorang gadis dengan satu tangan terborgol?

Satu tangan yang...

Tangan Nuke terlepas dari borgolnya.

Nuke terbelalak. Apa yang...

Pria itu mendekatkan bibirnya ke sisi kepala Nuke, berusaha berucap dengan kalimat yang sejelas mungkin dalam lirihnya bisikan di telinga sang dara.

“Aku ingin kamu mendengarkan aku baik-baik. Karena ada kemungkinan kita tidak akan mendapatkan kesempatan seperti ini lagi.” Bisik pemuda yang ternyata sang pemakan bengkuang pada Nuke. Sang pemakan bengkuang tentunya adalah mantan kapten DoP yang pernah juga bergabung dengan KSN dan kini masuk ke PSG – Don Bravo. “Aku ada di sini karena harus menyusup diam-diam menjadi antek PSG di bawah perintah ketua Aliansi dan di bawah komando Rao. Aku tahu kamu teman baik Rao, karena aku mendengar percakapan orang-orang ini saat hendak menculikmu di lapangan Klabangan. Anggukkan kepalamu jika paham. Aku tidak ingin kamu berteriak usai bekapanku kulepas.”

Nuke mengangguk sembari terus menatap Don Bravo.

Don Bravo melepas tangannya.

“Oke. Dengar baik-baik. Aku anggap kamu mengerti posisi apa yang saat ini aku jalani, jadi aku seharusnya tidak boleh gegabah – tapi posisimu benar-benar dalam bahaya dan aku punya janji setia dengan Rao, jadi aku harus menyelamatkanmu apapun taruhannya.”

Kembali Nuke mengangguk. Ia melirik ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada orang yang melihat percakapan mereka berdua di dalam mobil. Keduanya merunduk supaya tidak terlihat dari luar.

Don Bravo melanjutkan penjelasannya. “Apapun yang terjadi nanti, aku tidak boleh ketahuan, jadi aku tidak bisa mengantarkanmu pergi atau melindungimu setelah ini, kamu harus melakukan semuanya sendiri. Yang bisa aku lakukan hanya membebaskanmu dari borgol, kunci borgol ini aku dapatkan dengan mencurinya diam-diam dari Beng. Setelah ini, kamu harus lari – kamu harus lari sendiri sekencang-kencangnya tanpa menimbulkan kisruh yang baru, menyelinaplah di kawanan orang kampung dan masyarakat yang ramai menonton kebakaran, lakukan dengan diam-diam. Kalau lelah berlari, cari suaka aman sementara. Masuk ke rumah warga jika perlu, cari perlindungan, dan sembunyi sebisa mungkin. Jangan masuk ke rumah atau bangunan kosong karena orang-orangnya Joko Gunar pasti akan leluasa menggeledah. Pergilah ke utara jika memungkinkan. Rao pasti sedang menunggumu dengan gelisah. Sampaikan salamku padanya dan katakan... Don Bravo sudah masuk di posisi terdalam.”

Nuke paham sekarang. Orang ini adalah supir baru PSG yang tadi menyetir mobil saat Joko Gunar hendak membawanya kabur ke pantai selatan. Berkah buat Nuke, ternyata sang supir adalah mata-mata dari Aliansi – dan yang lebih penting lagi, orang ini juga kenal dengan Rao!

“Te-terima kasih.” Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Nuke.

Don Bravo tersenyum lebar. Ia mundur dan keluar dari pintu tempat tadi ia masuk. Nuke mengikutinya keluar. Keduanya menengok sekali lagi ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada yang melihat. Keringat Nuke mengalir deras – antara tegang dan khawatir, panas sekali hari ini rasanya, padahal langit mulai menurunkan hujan.

“Satu, dua, tiga. Go.” Desis Don Bravo setelah melihat suasana aman.

Nuke melesat pergi, menghindari kawanan orang-orang warga sekitar yang tiba-tiba saja ingin menonton puing-puing setelah turun hujan.





.::..::..::..::.





Si Bengal terbangun dari tidurnya.

Dia terkejap karena kaget, matanya buram karena ruangan tempatnya berada agak gelap. Tangannya masih kencang terikat borgol besi. Pantas saja tubuhnya berasa linu karena tidur dengan posisi duduk yang sama sekali tidak nyaman.

Sebuah gelas melayang di depan wajahnya.

Hah? Gelas melayang?

Nanto mengejapkan mata, mencoba melihat dengan lebih jelas lagi. Ternyata tidak. Gelas itu tidak melayang. Gelas itu dibawa oleh Nada dan didekatkan ke wajah si Bengal. “Minumlah.”

Suara merdu sang dara membuat hari yang terasa makin lama makin bubrah menjadi sedikit cerah. Wajah Nada yang khawatir membuat hati Nanto yang panas jadi sedikit mereda. Dia pun meminum air dalam gelas dengan bantuan sang dara jelita. Setengahnya habis.

“Terima kasih.” Suara si Bengal terdengar parau karena tadi ia terus menerus berteriak.

Nada mengangguk.

Gadis itu meletakkan gelas di samping Nanto, lantas berdiri, dan berlari kecil ke dekat meja. Ia membuka tudung saji, mengambil nasi, beberapa sendok lauk, dan buru-buru kembali ke dekat si Bengal.

“Kita hari ini dapat nasi sarden. Mudah-mudahan Mas doyan.”

Nanto mendengus dan tersenyum saat melihat nasi dan beberapa potong sarden digoreng seadanya. Tentu saja ia sedang tidak berselera makan, tapi rasanya tidak sampai hati ia menolak apa yang sudah dilakukan oleh Nada untuknya. Nanto pun mengangguk setuju.

Nada menyendok nasi dan memotong sedikit sarden, lalu menyuapi sedikit demi sedikit pada si Bengal. Nanto pun makan dengan lahap.

“Terima kasih. Sebenarnya kamu tidak perlu...”

Nada menggeleng. “Aku juga mau berterima kasih.”

“Untuk...?”

“Untuk yang tadi. Tadi Mas sudah mati-matian mau membantu aku bahkan mengorbankan ilmu yang Mas kuasai demi aku. Maaf kalau aku sudah merepotkan Mas...”

“Ngomong apa sih, Nada? Nyawa dan kehormatanmu jauh lebih penting daripada semua ilmu yang aku miliki. Aku sudah berjanji akan melindungimu, jadi itu yang harus aku lakukan.”

Nada tersenyum kecut, “kehormatan? Aku kan sudah bukan gadis yang suci lagi, Mas.”

“Eh... maksudku...” Nanto salah tingkah.

“Sudahlah.” Nada kembali menyendok nasi dan sarden dan menyuapkannya ke si Bengal. “Kita belajar melupakan bersama peristiwa itu ya. Maaf kalau aku masih susah untuk tidak mengungkapkannya. Karena itu peristiwa yang benar-benar membuat aku shock.”

“Aku juga shock.”

Beberapa saat kemudian keduanya terdiam sementara Nada dengan telaten dan lembut menyuapkan sedikit demi sedikit nasi sarden di piring. Hening yang hadir membuat keduanya mencoba meredakan emosi dan trauma masing-masing, mencoba menyadari bahwa orang yang berada di depan mereka saat ini juga sama kaget dan sedihnya. Mereka berada di sisi yang sama.

“Berapa lama aku tertidur?” tanya Nanto.

“Aku tidak tahu, tapi cukup lama. Hampir seharian.”

Huff. Lumayan juga ya. Mungkin aku terlalu capek.”

“Sepertinya begitu.” Nada tersenyum, ia senang karena akhirnya si Bengal menghabiskan makananannya sampai tuntas. “Lalu apa rencana Mas selanjutnya? Kira-kira apakah sudah terpikir cara agar kita bisa keluar dari sini?”

Hmmh, belum. Aku belum bisa memikirkan apa-apa. Tempat ini benar-benar dipersiapkan untuk menyekap tahanan, jadi mereka pasti sudah mengantisipasi kalau ada yang mau kabur dari sini. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah mencari cara yang paling tidak mereka sangka-sangka.” Nanto menggelengkan kepala. “Yang sayangnya aku masih belum tahu apa rencana itu.”

Nada mengangkat gelas dan membantu si Bengal untuk minum sekali lagi.

“Mengenai rekaman yang diberikan pada Ki Juru Martani... Mas tidak sungguh-sungguh memberikan ilmu kanuragan yang Mas kuasai kan?” tanya Nada.

“Tidak. Terima kasih karena kamu telah memberikan kode padaku. Aku mengubah-ubahnya secara acak terutama di bagian Selubung Kidung, karena belum pernah ada seorang pun yang mengetahuinya. Kalau Kidung Sandhyakala mungkin sudah populer dan diketahui banyak orang, jadi aku tidak berani mengutak-atiknya.”

“Benar-benar diacak ya langkah-langkah penguasaannya?”

“Iya, dibolak-balik secara logis meskipun keliru. Aku tidak ingin memancing kecurigaan Ki Juru Martani. Dia sepertinya seorang pemerhati ilmu kanuragan. Pasti tahu jika ada yang salah pada jurus-jurus yang aku bagikan melalui rekaman.”

Nada manggut-manggut. “Kita harus melakukan hal yang seperti itu karena ilmu kanuragan Mas Nanto-lah tiket kita untuk selamat. Jika dia sudah menguasainya secara penuh, maka nyawa kita sudah tidak ada lagi artinya.”

“Aku juga beranggapan begitu. Itu sebabnya aku bolak-balik supaya...”

“Nah kalau akrab begini kan enak lihatnya. Hahaha.”

Baik si Bengal maupun Nada sama-sama terkejut dan mundur dari posisi mereka sekarang. Keduanya melirik ke arah televisi yang tiba-tiba menyala. Ada sosok Ki Juru Martani tampil di sana, tentu saja hanya terlihat sekilas dan kabur saja dengan suara robotik yang khas. Tidak ada wajah terlihat, tidak ada sosok tubuh yang bisa dikenali. Dia masih menyembunyikan identitas dirinya.

Nanto geram menatap layar. Apalagi maunya si bajingan ini? Apakah dia tahu kalau si Bengal sudah mengutak-atik cara berlatih Kidung Sandhyakala termasuk Selubung Kidung yang diminta olehnya?

“Apa maumu, bedebah pengecut? Kalau berani masuk ke sini dan kita berhadapan satu lawan satu sekarang juga! Kamu berlindung terus di balik layar. Memang dasar pengecut!” maki Nanto mencoba memprovokasi.

Tapi Ki Juru Martani hanya tertawa dan terkekeh. “Hehehe. Belum saatnya. Pasti akan ada suatu hari nanti kita akan bertemu. Entah itu untuk bertarung satu lawan satu, ataukah hanya pertemuan singkat karena aku sudah siap mengayunkan pedang yang dihunus di lehermu.”

“Apa yang anda inginkan sekarang?” tanya Nada dengan berani meski ia berlindung di balik tubuh Nanto. “Anda sudah mendapatkan semua yang anda inginkan. Bebaskan kami sekarang!”

“Hahahahaha. Siapa yang bilang aku akan membebaskan kalian saat ini juga? Ya belum lah. Enak saja. Tidak mudah lho menyatukan kalian berdua itu. Yang satu pemuda harapan bangsa pemimpin kelompok Aliansi yang berkuasa di kawasan utara kota, yang satu lagi gadis cantik jelita putri pimpinan tertinggi kelompok legendaris dari kawasan selatan. Inilah yang namanya perkawinan politik yang di-idam-idamkan oleh banyak orang. Hahahaha.”

Wajah Nada memerah. Antara malu juga jengah.

Ki Juru Martani melanjutkan, “Aku akan...”

“Bedebah busuk! Kamu bilang akan melepaskan Nada! Karena kelicikanmu, Nada harus...” Nanto menyela kalimat sang pria yang tampil di televisi.

“Diam dulu!” tiba-tiba saja Ki Juru Martani membentak. “Aku yang akan bicara! Aku tidak akan mengingkari janjiku. Oh ya, kalian berdua pasti akan bebas dalam waktu dekat. Tapi tidak semudah itu aku akan melepaskan kalian. Masih ada beberapa syarat lagi yang harus kalian penuhi. Hahaaha.”

“Orang ini memang benar-benar....” Nanto geram sekali. “Syarat apalagi yang harus kami penuhi? Apa tidak cukup kamu menyiksa kami dan...”

Ki Juru Martani mengangkat jari telunjuknya, menandakan kalau ia membutuhkan perhatian serius. “Sebentar lagi aku akan mengutus dua orang anggota RKZ masuk ke dalam ruangan kalian. Karena melihat kalian yang sudah begitu akrab seperti orang pacaran, aku justru ingin menguji seberapa besar kekuatan hubungan kalian berdua.”

Nanto meneguk ludah. Jemari lentik Nada menyentuh pundak Nanto dengan lebih erat.

Tak lama kemudian, pintu pun terbuka. Seorang pemuda masuk, dan ternyata orang ini bukanlah orang yang sama sekali asing. Si Bengal sudah pernah bertemu dengannya dulu saat penyerbuan ke bengkel Amar Barok. Seorang pemuda gundul dengan ikat kepala putih – kalau tidak salah tipenya boxer. Ia yang tempo hari bertarung melawan Bian.

“Orang ini...” Ki Juru Martani memperkenalkan, “...namanya Agun. Salah satu kapten RKZ.”

Tak lama kemudian masuk satu orang lagi. Yang masuk kali ini tidak perlu banyak perkenalan. Karena bisa dibilang dialah yang sejak awal menjadi orang paling dibenci oleh Nanto dan Nada.

Hell yeeeeeeah! We meet again!

TKO Johnson kembali masuk ke dalam ruangan. Nada semakin meringkuk di belakang Nanto. dia benci sekali dengan si kulit legam yang kemarin mencoba merudapaksanya.

“Sialan. Kenapa dia lagi yang masuk, sih.” gerutu Nanto yang kesulitan berdiri dengan dua tangan diborgol. Dia memposisikan diri untuk melindungi Nada dari kedua orang yang baru masuk.

TKO Johnson menjilat bibirnya saat melihat Nada. Ia juga mencengkeram selangkangannya untuk menggoda sang dara jelita. “Kabar baik, sweetiepie?”

Gadis itupun bergidik ketakutan.

“Jangan mendekat!” Nanto mengancam si legam. “Kalau berani maju satu langkah saja...”

“Jangan khawatir, mereka tidak akan berani menyakiti kalian kecuali aku yang memperintahkan. Oleh karena itu aku akan memberikan kalian penawaran, salah satu syaratnya adalah satu di antara kalian harus berkorban. Hahaha.” Ki Juru Martani memberikan instruksi pada Nanto dan Nada. “Siap mendengar persyaratan permainan kita kali ini?”

Nanto geram sekali. Apalagi yang diinginkan oleh si pengecut yang terus bersembunyi itu? Sembari mencoba membentangkan tangan untuk melindungi Nada, Nanto bertanya, “Apa maumu kali ini?”

“Oke. Begini cara mainnya. Sebelumnya Mas Nanto telah memberikan rekaman langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menguasai Kidung Sandhyakala dan Selubung Kidung secara lengkap. Luar biasa sekali ilmu yang telah dibagikan. Untuk itu aku harus berterima kasih. Hahaha. Tapi...”

Nanto meneguk ludah, jangan-jangan... dia tahu?

Ki Juru Martani melanjutkan, “Tapi... tapi... anggap saja aku bodoh dan tolol. Saat aku mendengarkannya aku sama sekali bingung dengan langkah-langkah penguasaannya secara tepat. Maka aku ingin kali ini Mas Nanto menunjukkannya secara langsung dengan mengajari langkah-langkah yang sudah direkam pada Agun.”

Nada terbelalak. Celaka.

Nanto menggemeretakkan gigi. Orang ini benar-benar...

“Aku ingin Agun yang boxer berbakat ini selanjutnya bisa menguasai Kidung Sandhyakala. Bukankah ilmu yang baik itu adalah ilmu yang dapat dibagikan demi kemajuan semua orang? Jadi rasanya tidak salah kalau Mas Nanto mengajarkannya pada Agun. Betul bukan? Hahahaha.” Ki Juru Martani tergelak karena ia tahu Nanto pasti tidak menyangka akan ada persyaratan susulan seperti ini.

“Lalu?” Nanto tahu pasti bukan itu saja yang diinginkan oleh si bedebah bangsat. Ia menunjuk ke arah si legam. “Lalu kenapa ada dia di sini. Keluarkan dia dari sini!”

“Hahaha, sabar-sabar... TKO ini aset berharga lho. Tugas TKO sendiri ada dua. Yang pertama adalah merekam video Mas Nanto mengajarkan ilmu sakti ini pada Agun. Yang kedua... hehehe... kalau ada satu saja langkah yang kemarin mas Nanto rekam itu salah, maka TKO akan melucuti satu pakaian Non Nada. Jadi pastikan tidak ada satu pun langkah yang salah ya, karena kalau banyak yang salah, maka TKO akan menelanjangi Non Nada sampai bugil. Apalagi kalau ternyata keseluruhan ilmu kanuragan yang direkam Mas Nanto sebelumnya ternyata bukan Kidung Sandhyakala dan Mas Nanto berupaya untuk mengelabui kecerdasanku, maka sebagai peringatan supaya tidak main-main, aku akan meminta TKO memperkosa Nada di depan mata Mas Nanto. Dia baru akan berhenti memperkosa Non Nada setelah Mas Nanto memberikan rekaman cara penguasaan yang sesungguhnya. Paham?”

“Maaas...” Nada berbisik sembari menggelengkan kepala dan satu tangan mencengkeram pundak si Bengal.

“Jangan takut, aku akan melindungimu.”

Baik Nada maupun Nanto sama-sama berkeringat dingin, keduanya bergenggaman tangan dengan erat – sama-sama tidak ingin melepaskan genggaman satu sama lain. Mereka melirik ke arah TKO yang mengangguk-angguk bahagia. Tentu saja si legam itu berharap kalau Nanto justru memberikan ilmu kanuragan yang salah supaya dia dapat bersenang-senang dengan Nada.

Agun dan TKO mengangkat meja di tengah ruangan ke samping supaya mereka memiliki space yang lebih lapang. Setelah itu Agun berdiri di tengah sementara TKO berjaga di dekat Nada yang terus menerus meminta perlindungan si Bengal.

Agun mendengus dan memberi hormat. Ia melakukan pemanasan dengan ilmu kanuragan yang tidak dikenal oleh si Bengal.

“Bagaimana ini mas...?” bisik Nada lagi.

“Ssst.” Nanto berkonsentrasi, ia lirih menjawab. “Akan kucoba memikirkan sesuatu.”

“Mas ingat apa yang direkam sebelumnya?”

“Tidak.”

Nada meneguk ludah, ia menatap TKO dengan penuh kebencian.

Nanto benar-benar bingung.

Apa yang harus ia lakukan?





.::..::..::..::.





Seorang gadis manis duduk dengan tenang di atas sebuah kursi hidrolik, ia menyilangkan kakinya yang jenjang dengan sopan. Sesekali ia melihat ke kanan dan ke kiri, mengamati ruangan tempatnya sekarang berada. Rambutnya yang dipotong pendek model bob bergoyang-goyang saat ia memutar kursi sekaligus badannya.

Senandung sebuah lagu pop keluar lirih dari bibir mungilnya. Sekedar mengisi waktu supaya tidak terkesan nglangut karena terlalu lama sendirian di tempat ini. Sembari bersenandung Ia kembali melayarkan pandangan, mendeduksi tempat sekitarnya.

Ruangan ini gelap dengan lampu seadanya, suasana temaram tanpa banyak aksesoris, hanya ada sebuah lemari berisi berkas yang disusun tak rapi, siapapun yang memakai ruangan ini pasti tidak terlalu sering menggunakannya. Beberapa bagian banyak debu dan kurang terawat.

Ada meja dan kursi seadanya di tengah ruangan. Meja dengan komputer dan printer menempel ke tembok di samping. Minimalis ala ala. Kalau dibilang minimal memang minimal, kalau dibilang rapi ga banget. Kabel bersliweran kemana-mana, jadi sama sekali tidak tidy. Ruangan ini juga apa adanya dan sederhana. Jelas bukan ruangan untuk seorang dosen atau profesor yang butuh teknologi yang lebih advance. Udaranya pengap karena jarang ada sinar matahari masuk – hanya ada jendela kecil yang nampaknya jarang dibuka.

Entah kenapa tempat ini dipilih sebagai ruangan kerja, sangat tidak sehat.

Meski tidak ada cahaya yang secara nyata menyebar di ruangan, tapi itu tak sedikitpun mengganggu sang gadis yang mencoba duduk dengan tenang dan santai. Dia memang sudah biasa berada di ruangan seperti ini. Jelas bukan pertama kali baginya.

Perempuan berparas jelita itu memang spesial.

Dia bukan wanita biasa saja.

Seorang laki-laki membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan. Ia tak melirik sedikitpun ke arah sang dara jelita, pandangan matanya sibuk menelusuri beberapa lembar kertas yang ia baca. Usia pria yang baru masuk mungkin sekitar 40, badannya gempal tapi tidak terlampau gemuk. Tanda-tanda lemak melebar di sekitar perut, meski tak terlampau kentara. Jaket ketat warna hijau yang ia kenakan membuatnya nampak seperti lemper. Rambutnya kllimis disisir ke belakang, mungkin pakai pomade supaya rapi dan mbois. Alisnya yang super tebal membuat keningnya seperti di-temploki dua ulat bulu raksasa.

Menyadari kehadiran sosok pria tersebut di dalam ruangan, sang wanita jelita yang tadinya duduk di kursi segera berdiri dan memberikan hormat kepada pria yang baru saja datang. Sang pria membalas hormatnya dan segera mengayunkan tangan sebagai gestur mempersilahkannya untuk kembali duduk. “Tidak usah formal-formal di sini. No formalin needed.”

Formalin? Gadis itu pun mengerutkan kening, mungkin maksudnya formality ya?

Sewaktu masuk, pria itu membiarkan pintunya terbuka begitu saja, tak repot-repot menutupnya. Di luar ruangan, ada beberapa orang pemuda tengah berbincang. Mau tak mau sang perempuan cantik itu bisa mendengar percakapan yang terjadi. Ada dua pemuda yang sedang memperbincangkan sesuatu.

“Bagaimana sih caramu bisa menirukan suara orang selihai itu? Satu-satunya suara yang bisa aku tiru cuma suara ayam. Itupun cuma kokokpetok.”

“Belajar yang banyak. Butuh latihan memang. Untung saja bisa dipakai saat dibutuhkan. Aku banyak mempelajari rekaman suaranya. Agak susah karena si preman itu bukan artis jadi rekaman suaranya terbatas.”

“Rama. Get over here!” Sang pria yang baru masuk berkata dengan cukup lantang sembari tetap membaca kertas yang ia pegang - ia memanggil nama salah seorang pemuda yang ada di depan pintu. Pemuda yang dipanggil pun tergopoh-gopoh masuk ke dalam. “Sepertinya kita harus bergerak lebih cepat, aku ingin semua laporan tentang kegiatan terakhir kelompok empat besar diletakkan di atas mejaku sekarang juga. Siang tadi ada pergerakan di wilayah tengah, utara, dan selatan dengan lonjakan kekerasan yang cukup signifikan. Aku ingin tahu kenapa, ada apa, bagaimana, dan siapa yang bertanggungjawab. Berikan laporannya padaku sekarang juga.”

“Siap, Kapten.” Pemuda yang dipanggil dengan nama Rama segera memberi hormat dan buru-buru pergi hendak mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan oleh sang pria yang disebut dengan jabatan Kapten.

“Kamu siapa?” tanya sang kapten pada si wanita jelita yang berdiri di depan mejanya. Sang kapten lantas meletakkan kertasnya dan mulai berbincang dengan sang wanita jelita. “Tidak usah terlalu kaku, kita semua di sini informal saja. Yang santai saja.”

“Saya Bripda Shinta Asmi Hutari, Kapten. Sesuai arahan yang saya terima siang tadi - mulai malam ini saya akan ditempatkan di unit Kapten Ridwan.”

“Oh ya ya... kamu yang pindah dari unitnya Iptu Robin ya. Beberapa minggu yang lalu memang aku minta supaya ada masukan darah baru di unit S7.” Kapten Ri menyelidik wajah Shinta. “Tapi kok wajah kamu berbeda, ya? Bukan seperti yang aku lihat tempo hari. Pantas saja aku tidak langsung mengenali kamu. Pangling aku. Kamu terlihat lebih gelap, eksotis gitu. Terakhir kali aku lihat wajah kamu jauh lebih cerah.”

“Maaf Kapten Ridwan. Mungkin waktu itu saya sedang di lapangan, Kapten? Jadi sinar mataharinya cukup berperan. Kalau di sini kan memang lampunya gelap.”

“Memang betul lampu di sini biasanya kurang terang, tapi kamu benar-benar terlihat lebih gelap.”

“Siap Kapten Ridwan. Barangkali melepas kacamata hitam yang sedang Kapten Ridwan kenakan saat ini bisa sedikit membantu supaya saya dan ruangan ini tidak terlihat lebih gelap dari seharusnya.” ucap Shinta sembari berdehem.

“Oh iya ya?” Sang Kapten pun melepas kacamata hitam yang rupanya sejak tadi masih ia kenakan. Tapi bukannya malu, Kapten Ridwan justru memasang wajah tanpa ekspresi apapun. Wajahnya masih tetap lempeng dan terus saja menyelidik wajah Shinta sehingga membuat gadis itu jengah. “Rasanya agak kepanjangan berulang kali memanggilku dengan sebutan Kapten Ridwan. Panggil saja aku Kapten Ri. Supaya lebih akrab kitanya. Hahaha. Kapten Ri - kayak yang drakor Crash Landing on You itu lho. Hahahaha.”

Wadidaw.

“Baik, Kapten.” Shinta kembali berdehem.

Kapten Ri berubah serius. “Shinta namamu ya. Oke Shinta. Aku tahu meskipun kamu orang baru di sini tapi pastinya kamu sudah mendapatkan briefing mengenai apa tugas dan layanan yang kita lakukan untuk masyarakat dan apa latar belakang unit yang aku pimpin ini. Jadi kalau aku menjelaskan sekarang itu pasti akan terdengar redundant. Tapi tidak apa-apa... aku akan menyampaikan sedikit review mengenai siapa kita karena ini hari pertamamu masuk ke unit S7. Semacam perkenalan begitu sekalian biar aku kelihatan kerja.”

“Err... betul Kapten, saya sudah mendapatkan...”

Kapten Ri tidak peduli dan terus melanjutkan. Jangan diganggu lah, kan lagi kelihatan wibawa ini. “Jadi mulai saat ini kamu akan membantu kami mengatasi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan di jalanan terutama di jam rawan dan akan menangani kasus-kasus yang melibatkan kaum perempuan bersama dengan teman-teman wanita yang lain. Itu artinya sebagian besar kasus yang akan kamu tangani sedikit banyak terkait dengan prostitusi atau kekerasan seksual di samping tentunya kasus umum lain. Sudah siap?”

“Siap, Kapten.”

“Kapten.” Ada suara di belakang Shinta.

“Ya, Rama?”

Sang pemuda yang disebut dengan nama Rama kembali masuk ke dalam ruangan dan meletakkan berkas-berkas yang tadi diminta oleh Kapten Ri. Dia berdiri di samping Shinta. Baru sekaranglah Shinta bisa melihat jelas wajah seniornya di S7 itu. Rama berwajah tampan, bersih, dengan rambut sedikit ikal dipotong amat pendek, ia juga bertubuh gagah, tinggi, dan sigap. Sungguh menantu idola semua makmak.

Kapten Ri tersenyum saat menyadari kalau kedua orang yang berada di hadapannya punya nama yang cucok. “Waini. Yang satu namanya Shinta, yang ini namanya Rama. Weladalah, klop sekali. Kita tinggal mencari Lesmana, Anoman, dan Son Goku.”

Lho kok Son Goku? Rama dan Shinta saling berpandangan. Wajah Shinta bertanya-tanya pada Rama apakah sang Kapten ini agak kurang sehat atau gimana. Tapi Rama menggelengkan kepala – memberikan tanda pada sang dara jelita untuk manut dan menurut saja.

“Oke aku lanjutkan yang tadi ya. Resminya, crisis response team kita ini adalah unit khusus anti-bandit. Keunggulan unit kita dibandingkan unit kota lain adalah kita dapat bergerak di lima resor sekaligus termasuk resor kota tanpa kenal batas. Anggota kita diangkat dari unit sabhara, reserse, intel, narkoba, dan laka lantas dari lima wilayah. Sampai saat ini sebenarnya kita tidak memiliki nama resmi dan hanya dijuluki unit S7 atau Sektor 7 karena hampir semua anggotanya penggemar Cristiano Ronaldo. Tapi karena namanya kurang keren dan aku lebih suka Lionel Messi, maka aku sudah mengusulkan kalau unit khusus kita ini berganti nama. Kita lihat ada unit Prabu, Jaguar, Tiger dan sebagainya di kota lain. Nah di kota ini S7 selanjutnya akan disebut nama tim Garangan – singkatan dari : Gabungan Resor Anti Bandit, Geng, dan Preman.” Kapten Ri bangga dengan usulan nama kelompoknya yang sebenarnya agak-agak maksa dan gimana gitu.

“Mmmh, iya... Kapten. Garangan ya? Namanya kok agak gimana gitu ya.” Shinta mengernyitkan dahi. Garangan? Serius nih?

“Iya kan? Agak gimana kan? Bagus dan keren kan?” Sang Kapten tetap tidak nyadar.

Shinta menengok ke arah Rama, mencoba mencari bantuan untuk menjelaskan ke Kapten Ri. Tapi lagi-lagi Rama menggeleng.

Pemuda gagah itu hanya berbisik tanpa suara, “bilang saja iya daripada berlarut-larut.”

“Mmmh, iya... Kapten. Bagus kok, sangat menginspirasi dan out of the box. Sangat tidak ordinary. Mengagetkan. Luar biasa. Alasan nomer tiga akan membuat kamu terkejut.”

Rama berusaha untuk tidak tertawa. Cewek ini boleh juga, dateng-dateng langsung kocak. Untungnya Kapten Ri tidak paham apa maksud kalimat Shinta barusan.



Pintu diketuk dan terdengar salam dari pintu. Seorang pemuda menjulurkan kepalanya ke dalam. “Kapten, orang yang kapten cari sudah kita dapatkan. Dia siap kita interogasi. Apakah akan ditempatkan di ruang khusus?”

“Ha! Operasi Dadar Gulung sukses rupanya! Bagus sekali! Mantap jiwa. Tidak perlu ruang khusus! Dia sudah tua ini... memangnya bisa apa? Sudah bawa ke sini saja! Kita interogasi langsung di ruangan ini.”

“Siap Kapten.”

“Rama, Shinta, kalian sudah dengar sendiri kita akan segera menginterogasi orang yang punya banyak informasi. Ini bagus untuk orientasi hari pertama terutama buat Shinta. Kalian berdua berdiri di belakangku dan bersiaplah untuk mengorek keterangan sebanyak-banyaknya. Kita butuh orang ini untuk mencari tahu mengenai kematian beberapa orang terkait insiden KSN tempo hari.”

Kedua orang di hadapan Kapten Ri memberi hormat dan berdiri sejajar. Satu orang di sisi kiri dan satu orang lagi di sisi kanan.

Kapten Ri kini menunjukkan wajah serius – berbeda sekali dengan yang sebelumnya. Ia melirik ke kanan dan ke kiri, melihat kedua anggotanya sudah siap untuk melihat tokoh yang akan segera mereka interogasi. Shinta cukup surprise. Wajah Kapten Ri benar-benar berubah. Tidak nampak lagi sosok yang tadi ngobrol kocak dengan sang polwan, yang kini hadir adalah sosok tegas pemimpin Tim Garangan... err... Tim S7.

“Boleh dibawa masuk sekarang, Kapten?”

“Ya ya... bawa masuk saja.” Seru Kapten Ri.

Tidak menunggu lama, tiga orang masuk.

Sesosok laki-laki dengan mata ditutup dibawa oleh dua orang reserse muda dan didudukkan di depan Kapten Ri – di kursi yang tadi diduduki oleh Shinta. Tangan kurus kering sang laki-laki itu terikat di belakang, tubuhnya gemetar ketakutan. Sang Kapten menganggukkan kepala dan sesaat kemudian penutup mata sang tamu dibuka.

Akhirnya pria tua itu bisa melihat dengan jelas suasana sekitarnya. Tempat apa ini? Siapa mereka? Kenapa dia bisa berada di sini?

Kenapa dia tidak bisa ingat apa-apa?

Apa yang telah terjadi?

“Di-di mana ini? Siapa kalian?”

Orang tua itu terkejut saat melihat ada seorang perwira berpakaian polisi di hadapannya. Apa-apaan ini? Pria tua itu lantas menengok ke samping kanan dan kiri, ke dua orang yang baru saja membawanya masuk ke dalam ruangan ini. Di samping kiri terdapat pemuda bertubuh tinggi dan besar, sedangkan di sebelah kanannya tampil sesosok wajah yang sudah sangat ia kenal. Seorang pemuda berambut panjang terurai yang gerakannya gemulai dan gemar memakai sarung tangan. Ia terlihat sopan tapi memiliki senyum yang mengerikan.

Bukannya dia bilang dia masuk ke JXG ya?

“Apa kabar, Lek Suman? Kaget karena bertemu dengan kami kembali?” Kori menyeringai, “Selamat datang di S7. Aku yakin kita punya banyak hal untuk diperbincangkan.”

Lek Suman terbelalak.

Bo-Bocah ini ternyata...?




.::..::..::..::.





Gebrakan serangan dari tiga arah sekaligus membuat Pak Pos tak dapat berbuat banyak. Dia hanya bisa menghindar dan bertahan. Bajingan. Masa iya dia harus segera mencari jalan keluar untuk pergi dari sini? Malu-maluin saja. Dia sama sekali tidak mengira lawan-lawannya cukup ganas!

Bambang Jenggo ibarat mesin penggerak yang tahu kemana arah kedua bawahannya bertindak, sehingga dia bisa menyusul dan menambahkan serangan yang mematikan sesaat setelah Alang dan Tunggul mengeluarkan serangan mereka. Alang Kumitir memiliki kecepatan dan Tunggul Seto punya kekuatan, berhadapan dengan mereka berdua ibarat melawan Gatotkaca dan Antareja dalam satu set sekaligus. Keduanya brutal, tak kenal ampun, tak banyak cakap, tapi mematikan.

Kalau saja ini hanya satu lawan tiga – pasti seimbang. Pak Pos masih sanggup menanggulangi serangan ketiganya. Tapi entah kenapa perasaannya tidak enak, dia merasa kalau masih ada sepasang mata yang saat ini mengawasinya juga. Dia juga mendeteksi Ki yang cukup besar yang sepertinya bukan dari Jenggo, Alang, maupun Tunggul.

Justru itu yang gawat dan harus ia hindari sebisa mungkin.

Yang harus dia waspadai memang bukan ketiga orang ini. Yang harus ia waspadai adalah sosok yang belum menampakkan batang hidungnya sama sekali. Yang jelas ada satu hal yang pasti, dia harus segera pergi dari sini sebelum orang itu memutuskan untuk ikut turun ke arena.

Pak Pos tahu kalau dia harus segera mengabarkan pada Pak Zein mengenai keberadaan tempat ini. Tempat yang rupanya benar-benar milik RKZ dan ada sesuatu yang aneh dan misterius di sini. Kemungkinan besar memang Non Nada disekap di sini sehingga para bajingan RKZ ini menyerangnya bersama-sama karena mereka tidak ingin ketahuan. Kalau tidak karena alasan itu, kenapa lagi mereka mau membungkamnya?

Pak Pos memainkan gerakan tangannya, dia kembali merapal Inti Angin Sakti. Beberapa batuan di tanah bergetar hebat dan terangkat ke udara bagaikan sihir! Sekitar sepuluh batu sekepalan tangan tiba-tiba saja melayang di udara. Inilah bukti kekuatan sang Tukang Pos yang tidak main-main. Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi.

Pria tua itu mengayunkan tangan.

Bebatuan yang tadinya terbang langsung meluncur deras ke arah ketiga lawan. Tiga batu berhasil dihindari Alang yang melompat-lompat dengan lincah, tiga batu dihancurkan Tunggul dengan pukulan tangannya, dan empat batu lain mengenai tubuh Jenggo yang sama sekali tidak menghindar. Alih-alih jatuh dan cidera, si gempal itu malah tertawa-tawa.

Pak Pos sama sekali tidak ingin mengetahui bagaimana bisa si Jenggo menahan bebatuan itu ataupun penasaran mengenai hasil akhir pertarungannya dengan trio maut RKZ ini. Dia harus pergi! Pak Pos melompat kesana kemari, menclok sana menclok sini. Berusaha mencari celah untuk kabur tanpa melalui pintu depan gudang yang dijaga Tunggul dan Alang. Masa iya tempat segede ini tidak punya jendela?

Nah ada celah di bagian atas. Lewat sana saja.

“Pak Pos! Mau kemana melompat terus? Ayo turunlah ke bawah,” Jenggo menggoda Pak Pos yang meloncat di area yang tak mungkin ia raih. “Kami sudah hidangkan makanan yang pasti kamu suka. Ayo turunlah dan duduk bersama kami.”

Gerakan ringan tubuh hebat dipertontonkan oleh sang pria tua yang melesat ke atas dengan mudahnya. Mana mungkin dia bersedia menerima tantangan keroyokan dari si Jenggo? Pak Pos justru terbang terbawa angin ibarat pesawat kertas yang ringan melayang ke atas dengan gerakan zigzag. Bahkan Alang pun geram melihat kemampuan Pak Pos yang jelas ada di atasnya dalam hal ringan tubuh.

Pak Pos tertawa-tawa di sembari terus melompat-lompat di udara, sembari sesekali menjejak pijakan di kanan dan kiri. “Wah, tidak usah repot-repot. Aku tidak bisa berlama-lama di sini, jadi mohon maaf tidak bisa menikmati hidangan yang disajikan. Begitu menemukan jalan pulang, aku mau pamit dulu ya. Kalau kangen kita bisa VC-an saja nanti.”

“Hahaha, ayolah. Kenapa harus cepat-cepat begitu? Jangan buru-buru. Kita ngobrol dulu.” Jenggo berkacak pinggang. Dia melihat satu kelebatan di batas mata memandang. Ada satu bayangan yang terbang ke atas untuk menyusul Pak Pos. Bibir Jenggo pun tersungging.

Ketika Pak Pos ke kanan, bayangan itu ikut ke kanan. Saat Pak Pos melompat ke kiri, bayangan itu menyusul ke kiri. Membayangi dengan santai kemanapun anak panah JXG itu terbang. Tidak saja dia bisa mengikutinya, bayangan itu bahkan lebih cepat gerakannya dari sang anak panah yang sudah tua. Pak Pos jelas mulai menyadari keberadaan sosok lawan keempatnya.

“Hahaha, sejak tadi bersembunyi. Kenapa? Malu? Tunjukkan wajahmu dan aku akan...”

Bledaaaaakgh! Bledaaaaakgh! Bledaaaaakgh! Bledaaaaakgh! Bledaaaaakgh!

Tendangan berputar bertubi mengenai wajah Pak Pos yang tidak siap saat berdiri di atas tumpukan ban bekas yang disusun empat meter ke atas tingginya. Wajah pria tua itu langsung moncrot terkena tendangan bertubi. Pelipisnya bocor, giginya rompal. Tendangan bertubi itu bukan tendangan biasa. Sangat kencang, tanpa ampun, sangat menyakitkan.

Tubuh tua Pak Pos terjerembab ke bawah, sempat terantuk berulang di antara tumpukan beberapa tower keranjang krat minuman yang langsung bergoyang hebat. Terlempar ke kiri, terdesak ke kanan, terlempar ke bawah. Saat Pak Pos jatuh, tumpukan krat itu ambruk menimpanya.

Tapi bukan Pak Pos kalau menyerah begitu saja. dua krat melayang ke arah sang bayangan. Tapi sebagaimana bayangan, orang itu sudah tak lagi berada di tempat semula.

Pak Pos tersengal-sengal dan mencoba berdiri. Ia melemparkan tiga krat yang menghimpit badannya ke samping. Bangsat. Lumayan juga rasanya jatuh dari atas. Tulang-tulangnya berasa remuk. Apalagi setelah jatuh masih tertimpa krat.

Setelah berdiri pria tua itu pun memasang kuda-kuda. Ia memainkan tangannya untuk membentuk lingkaran sembari mengucap rapalan demi rapalan. Alang dan Tunggul datang menyergap dari sisi kiri dan kanan. Pak Pos sudah siap. Ia menghentakkan kaki ke tanah dan terbang ke atas dengan ringan. Alang menyusul mengejar sang lawan dengan satu lontaran pukulan.

Pak Pos mendengus. Tangannya yang sudah berbalut Ki dihentakkan ke bawah.

Pertemuan antara kepalan Pak Pos dan pukulan Alang tak bisa dihindarkan.

Bledaaaaam!

Dua tubuh terlempar. Satu terhentak ke bawah, satu terlontar ke atas. Tubuh Alang yang tadinya terlontar ke bawah dan hendak jatuh ke parit berisi paku langsung ditendang oleh Tunggul sehingga terlontar dan berdebam di tanah yang lapang. Tunggul telah menyelamatkan sang kawan karib.

Bagaimana dengan Pak Pos?

Pria tua itu dengan lembut melakukan salto di udara dan kembali menghunjam ke bawah dengan satu pukulan yang ditopang oleh kecepatan tinggi – menghasilkan daya pukul yang berlipat ganda. Dalam kitab Inti Angin Sakti, jurus ini dikenal dengan nama Pukulan Gada Angin.

Di bawah, Tunggul sudah siap menerima serangan. Ia mendongak, memutar badan supaya bisa memanfaatkan gaya pegas, dan mulai merapal jurus pukulannya.

Sang bayangan masuk ke sisi luar Pak Pos yang lengah.

Jboooooookghhhh!!

Wajah Pak Pos terpapar satu kepalan kencang yang membuat dua gigi terlepas dari gusinya dengan paksa, membuat mulutnya berdarah hebat. Tulang di sisi wajahnya terasa retak terkena pukulan yang teramat dahsyat itu. Tubuh sang pria tua yang sejatinya hendak menghentak ke bawah, kini terlempar ke samping dan menghantam tumpukan pintu mobil yang tentu saja teramat keras.

Suara kerasnya tumpukan pintu mobil terjatuh ke tanah sangat nyaring terdengar di bawah derasnya hujan di luar gudang.

Pak Pos berteriak kesakitan dengan kencang saat punggungnya tertancap benda keras dan tajam yang entah apa itu. Untung saja masuknya tidak dalam! Pria tua itu buru-buru maju ke depan untuk melepaskan diri dari tusukan yang mengenai pinggang bawahnya.

Pak Pos turun ke bawah dengan sempoyongan.

Bdkgh! Bdkgh! Bdkgh! Bdkgh! Bdkgh!

Lagi-lagi lengah.

Lima pukulan beruntun masuk ke wajahnya yang sudah berlumuran darah. Lima pukulan kencang dan keras dari Tunggul. Tapi Pak Pos sudah banyak makan asam garam. Ia merunduk ke bawah, memutar tangan dan menghentak dada Tunggul dengan Ki yang cukup besar.

Bdddkkkgh!

Tunggul terlempar ke belakang hingga lima meter jauhnya hingga jatuh berguling dan berdebam.

Tapi satu diatasi, satu lagi datang.

Alang meloncat dan melontarkan satu tendangan samping memutar ke arah wajah Pak Pos yang sudah tidak karuan. Satu dua, putarannya makin menjadi. Pak Pos merapal jurus dan mengayunkan telapak tangannya ke atas. Tiba-tiba saja ada semacam pusaran angin kecil yang menahan dan melontarkan Alang ke belakang!

Lawan Pak Pos itu pun terjerembab ke belakang.

“Aloha. Aku mau sungkem dulu.”

Pak Pos terkejut karena tiba-tiba saja Bambang Jenggo sudah ada di depan wajahnya. Jendral lapangan RKZ itu mengayunkan kepalanya dan Pak Pos kini tahu bagaimana rasanya menabrak tiang listrik. Keras, kencang, sakit, pusing.

Jdddoooooogkkkh!!

Kepala Jenggo diantukkan ke kening Pak Pos yang langsung berjalan ke belakang dengan sempoyongan dan pusing luar biasa. Sekali lagi Pak Pos menggerakkan jemarinya dan angin berputar kencang juga muncul dari bawah Bambang Jenggo, membuat si gempal kehilangan keseimbangan dan terlontar ke belakang.

Pak Pos buru-buru menjejakkan kaki ke tanah untuk kembali melompat menuju pintu keluar yang kini sudah tak lagi dijaga oleh Alang dan Tunggul. Kecepatan ringan tubuh Pak Pos memang luar biasa, dengan sekali jejak dia sudah berhasil melewati pintu sekaligus mencapai halaman depan gudang yang tengah ditempa hujan deras.

Berhasil!

Dia sudah sampai di luar!

Dia harus segera...

“Aaaaaaaaaaaaaaaarrrrgh!”

Satu batang patok besi pancang yang tajam menancap di kaki sang pria tua setelah dilempar oleh sang bayangan entah dari mana posisinya. Pria tua itu pun jatuh terguling dengan kaki yang tertancap besi. Dia menjerit-jerit kesakitan dan terguling.

Penderitaannya tak sampai di situ saja.

Jduuuaaaaaaaaakkkkgggghhh!

Satu tendangan keras mengenai wajah Pak Pos dan membuatnya terjerembab ke belakang. Kali ini bagian belakang kepalanya terhentak ke tanah yang basah dan wajah bagian depannya ambyar bermandikan darah.

Pak Pos tidak menyerah! Demi apa dia menyerah! Dengan susah payah orang tua itu bangkit dan memainkan tangannya sekali lagi. Inti Angin Sakti harus bisa menyelamatkannya meski harus menahan rasa sakit dan nyeri yang...

Krrrrrkghhhhh!!

“Haaaaaaaaaaaaaaaaaarghhhhhh!”

Tangan kiri Pak Pos yang hendak melontarkan jurus diputar ke belakang oleh sosok bayangan yang tiba-tiba saja sudah berada di samping sang pria tua. Tangan itu sudah tak lagi mengarah ke posisi yang benar. Entah apa yang terjadi pada tulang-tulangnya, Pak Pos sudah tak lagi peduli. Sakitnya sungguh tak terperi.

Pria tua itu akhirnya terjatuh saat sang bayangan melepaskan tangannya.

“Kesalahanmu adalah... kamu tidak tahu kapan saatnya harus pensiun, teman lama.”

Su-suara itu?

Pak Pos mengejapkan mata. Sosok asli sang bayangan hadir di depan wajahnya dengan senyuman yang khas dan tongkat yang diputar-putar.

Dia!? DIAAA!!???

Pak Pos terkesiap. Dia tidak menduga dan sama sekali tak menyangka akan berjumpa dengan sosok misterius yang selama ini hanya menjadi desas-desus di kalangan warga bawah tanah di kota. Baru kali inilah dia menemukan rahasia sesungguhnya siapa Ki Juru Martani.

Rahasia yang harus dibayar mahal.

Selama ini memang sudah ada desas-desus yang beredar di kalangan orang-orang underground. Mereka bilang kalau RKZ itu sebenarnya tidak dipimpin oleh Bambang Jenggo. Mereka bilang kalau RKZ itu sebenarnya dipimpin oleh orang lain yang jauh lebih powerful. Mereka bilang kalau apa yang terlihat di depan mata tak selalu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka juga bilang kalau dunia ini panggung sandiwara.

Mereka benar.

Pak Pos bersiap. Ia menggerakkan badannya yang sudah sangat kepayahan untuk berdiri dan ia pun memasang kuda-kuda dengan tangan yang tersisa. Inti Angin Sakti ia rapal, tangannya mengepal menyisakan jari telunjuk dan jari tengah sejajar. Wajah tuanya memaparkan paras tegang, keningnya berkerut, tangannya mulai bergerak anggun mengikuti arah angin basah yang dibawa hujan. Keringatnya telah bercampur dengan darah dan siraman air dari angkasa.

“Aku terkejut.” Pak Pos berucap dengan parau.

“Hehehe. Salam, Pak Pos. Sepertinya kita ditakdirkan berjumpa hari ini dalam keadaan yang seperti ini. Hari yang sungguh buruk untukmu. Hujan deres, becek, ga ada ojek. Hahahaha.” Ki Juru Martani tertawa terbahak-bahak.

“Jadi ini semua ulah sampeyan?”

Ki Juru Martani tertawa lagi. “Kalau iya memangnya kenapa? Ini rencana yang sudah aku susun selama bertahun-tahun. Sudah saatnya memanen apa yang aku tanam.”

“Aku sama sekali tidak pernah menduganya. Luar biasa.” Pak Pos mendengus dengan keras. “Sungguh mengejutkan.”

Sekitar satu setengah meter darinya tiba-tiba saja tercipta satu lingkaran yang tak terkena air hujan. Inilah tenaga pelindung Inti Angin Sakti. Pak Pos siap untuk habis-habisan. Darahnya sudah mengucur dari mana saja, dan pancang besi belum ia lepas dari kakinya yang kian lama kian tak bisa digerakkan. Air, tanah bercampur darah.

Ki Juru Martani –lias sang bayangan terkekeh. Di belakangnya, Jenggo, Alang, dan Tunggul berdiri untuk mendukung sang pimpinan.

“Kenapa keroyokan?” tanya Pak Pos, “rasa-rasanya sampeyan bukan pengecut.”

“Sebenarnya sendiri pun aku bisa, Pak Pos. Tapi aku hanya ingin memberikan penghormatan bahwa Pak Pos yang perkasa itu bisa melawan hingga titik darah penghabisan. Tidak begitu saja kalah dengan cara yang mudah.” Ki Juru Martani menjelaskan sembari memainkan tongkatnya di tanah yang becek. “Seperti sekarang misalnya. Tubuh sudah tidak karuan tapi masih bisa merapal perlindungan Inti Angin Sakti. Bukankah ini luar biasa? Magnificent.”

“Bedebah sampeyan... sekali bajingan memang bajingan.”

Ki Juru Martani menyeringai. “Sayangnya perlindungan sampeyan sudah terlalu lemah, Pak Pos. Aku bisa menembusnya dengan mudah.”

Sang bayangan mengangkat telapak tangannya ke atas dan satu garpu taman kecil yang terbuat dari besi terangkat dari pot yang ada di samping Pak Pos.

“A-Apa? Itu kan...?” Pak Pos terbelalak. Itu Angin Sakti!! “Ba-bagaimana mungkin sampeyan juga menguasai...”

Ki Juru Martani tersenyum, ia mengayunkan tangan.

Jblb!!!

Garpu pendek itu meluncur dengan kencang dan menancap di tangan Pak Pos yang mencoba menangkisnya.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaarrrghh...!!!!”

Pak Pos berteriak kesakitan dan terjatuh, tapi sekali lagi mencoba berdiri. Ia mendengus-dengus mencoba menggapai udara yang kian lama kian menipis untuknya. Mulutnya sudah hancur, pandangannya kabur, darahnya mengucur, dan otaknya sudah sangat lemah ibarat telah menjadi bubur. Ia berjalan tertatih untuk mundur.

Pak Pos sadar betul, dia tidak akan bisa memenangkan pertarungan ini. Tapi dia juga tidak ingin mati begitu saja. Tidak seperti ini.

Jboooooogkh!

Pukulan deras dari Tunggul menghantam sisi kiri wajah sang pria tua yang sudah tertatih itu. Satu lagi giginya lepas dan terlempar jauh, wajahnya sudah hancur tanpa ia bisa mengaduh. Tulang pipinya entah retak entah remuk.

Pak Pos ambruk dengan wajah terhambar tanah yang sudah tercampur air hujan.

Semua basah, semua luruh.

Ki Juru Martani terkekeh. Ia berjalan dengan tenang sembari memainkan tongkatnya. Pria itu jongkok di dekat Pak Pos yang sudah tak berdaya dan menggigil.

Tapi alih-alih takut, sang tetua anak panah JXG itu memuntahkan darah kental, menatap Ki Juru Martani dengan mata lelah, dan terkekeh senang. “Aku sudah tidak lagi berdaya...”

“Hehehe. Sepertinya begitu, sobat tua.” Ki Juru Martani tersenyum lebar. Ia menepuk-nepuk pundak Pak Pos. “Beristirahatlah dulu. Kita sudah sama-sama tua ini. Sudah sama-sama capek. Sudah seharusnya kita berdua tak lagi turun tangan seperti ini. Banyak anak muda yang lebih berbakat dan lebih pantas menggantikan posisi kita. Kita bisa apa? Tidak banyak lagi yang bisa kita lakukan kecuali duduk bersantai sembari minum kopi, makan pisang goreng, dan menikmati malam.”

“Aku sama sekali tidak menduga kalau sampeyan-lah yang ternyata akan...”

Kregkh.

Kepala Pak Pos berputar hingga ke belakang tanpa sempat meronta. Begitu saja usai dengan cepatnya. Ki Juru Martani melepas cengkeraman di kepala sang pria tua.

Tubuh pengantar surat itu pun ambruk.

Ki Juru Martani berdiri sambil menepuk-nepuk celananya yang basah terkena cipratan air saat tubuh Pak Pos terhempas ke bawah. Pria misterius itu tersenyum pada beberapa pengikutnya.

“Sembunyikan dulu, jangan sampai ada orang yang tahu.”

Bambang Jenggo mengangguk. Saat Ia mengayunkan tangan, Tunggul dan Alang segera membawa masuk tubuh Pak Pos yang tak lagi bergerak ke dalam gudang.

Ki Juru Martani mengendus-endus udara dengan senyum lebarnya. “Ada yang mencium bau anyir di udara? Mungkin itu pertanda. Pertanda bahwa perang akan segera tiba.”

“Apakah benar-benar akan segera dimulai yang sudah kita rencanakan sejak lama, Bos?” tanya Jenggo.

Ki Juru Martani menggelengkan kepala. “Masih ada satu peluru meriam yang harus ditembakkan.”

Jenggo tersenyum. “Di acara itu?”

“Ya. Di acara itu.”

Ki Juru Martani menatap langit gelap yang masih terus menurunkan hujan deras. Wajahnya merasakan rintik air. Pikirannya melayang. Ia bisa merasakannya. Ia bisa merasakan bahwa kota ini akan segera menjadi tempat yang damai usai ia membersihkan jiwa-jiwa yang kotor dengan satu perang saudara yang akan ia kibarkan.

Kota ini nantinya akan menjadi tempat yang jauh lebih nyaman untuk ditinggali oleh semua orang tanpa takut, tanpa khawatir, tanpa campur tangan dan peran para preman yang akan menghancurkan keasrian kota.

Tapi tidak ada kedamaian tanpa pengorbanan.

Harus ada banjir darah yang mengalir.

Kota ini akan jadi kota yang bersih dan dia-lah yang akan mengawali masa pembersihan itu. Dialah yang akan memimpin revolusi.

“...so let the war begin.”





BAGIAN 21 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 22


NB: See you in May!
Suwon om updet e
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd