Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

JALAK v4

User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
BAGIAN 4
YA YA YA




“Kau pikir aku santai? Kau pikir aku sabar?
Langsung saja. Coba katakan ya
.”
- Gigi



.:: BEBERAPA TAHUN YANG LALU



Hidup itu bagaikan roller-coaster, kadang di atas, kadang di bawah. Bedanya adalah, jika pada roller-coaster sudah ada pattern yang diikuti, dalam kehidupan nyata tidak ada yang tahu kemana arah dan tujuan sang penumpang. Tidak ada yang tahu di mana belokannya, kapan naiknya, dan kapan keretanya akan turun. Kapan jantung berdebar-debar dan kapan lega itu datang. Karena tidak ada yang bisa menebak dengan tepat jalan hidup masing-masing.

Yang bisa dilakukan seorang manusia adalah, menikmati proses. Karena proses itulah yang akan membentuk karakter seseorang dan menjadi penilaian di garis finish.

Kecuali jika garis finish itu sudah ada di depan mata, akhir dari perjalanan itu sudah hadir. Maka tidak akan ada lagi yang bisa dilakukan.

Priska tahu ia punya hidup yang menyenangkan dengan Dika sang suami. Kehidupan yang meskipun sederhana tapi bisa cukup untuk mereka berdua, cukup untuk membantu orang tua di desa, dan cukup untuk sang adik – Pasat.

Tapi saat ini, di depan matanya, kehidupan itu sedang berada di titik balik. Dika terjatuh ke dalam jurang perjudian dan keduanya terpaksa bekerja untuk orang yang tidak tepat. Sang raja penghancur, Bos Janu.



.::..::..::..::..::.



Dika mengejapkan mata.

Cahaya sekecil apapun membuat matanya pedih dan nyeri. Itulah sebabnya dia harus melakukannya perlahan-lahan. Saat membuka matanya Dika baru menyadari kalau ia berada di sebuah ruangan yang sangat gelap dan di depannya ada satu monitor yang menyala. Ada tayangan CCTV pada layar itu. Dika tidak mengenali tempat apa itu.

Ia mencoba berdiri, tapi tidak ada yang terjadi. Ketika bergerak ia tidak beranjak. Apa yang terjadi? Saat otaknya mulai berjalan normal barulah ia sadar apa yang terjadi. Ternyata dia tengah diikat erat pada sebuah kursi.

Dika meronta tanpa daya.

Ada beberapa sosok yang tak terlihat mengelilinginya. Ada satu orang yang mendekati Dika. Suara sepatunya terdengar di kegelapan. Ia muncul di depan monitor, memantulkan cahaya ke wajah, membuat wajahnya bisa terlihat dengan jelas di hadapan Dika.

Pria yang mendekati DIka ternyata orang yang ia kenal – Jagal alias Sulaiman Seno.

“A-apa yang akan kalian lakukan? Dimana istriku?” Dika gemetar ketakutan, bibirnya bergetar, “Kenapa aku diikat seperti ini? Aku sudah melakukan semua yang diminta oleh Bos…”

“Bos menugaskan istrimu untuk melayani klien yang sangat penting. Apapun alasannya tidak boleh diganggu.”

“Hah!? A-apa maksudmu melayani klien? I-ini tidak sesuai dengan perjanjian! Kumohon! Mas Seno! Jangan libatkan istriku… dia tidak salah apa-apa. Dia tidak pernah melakukan kesalahan apa-apa… akulah… akulah yang bersalah!” Dika yang terikat di sebuah kursi tidak bisa berbuat banyak. Dia berusaha meronta, “Jangan apa-apakan dia, Maaas!”

“Bisa-bisanya ngomong begitu. Semuanya ada dalam perjanjian. Kamu saja yang dibutakan oleh fasilitas dan materi sampai-sampai tidak melihat syarat perjanjian yang akan memberatkan ketika kamu tidak bisa memenuhi kontrak. Istrimu sudah menjadi milik kelompok utara. Jiwa dan tubuhnya sudah kamu jual saat menandatangani surat perjanjian itu,” ucap Jagal tanpa ekspresi, “Sudah suka judi, pemabuk, lemah pula. Pantas saja istrimu meninggalkanmu.

“Ta-tapi aku tidak… tulisan itu kecil sekali! Ti-tidak bisa kubaca dan… dan… Ma-Mas Seno! Jagal! Tolonglah! Di mana istriku? Kasihan dia… dia tidak tahu apa-apa… dia…”

“Dia sudah bekerja selama dua minggu untuk kami. Dia sudah tahu banyak. Kecantikannya membuat banyak klien yang suka. Memangnya kamu tidak diberitahu oleh istrimu? Kasihan sekali kamu ini.”

“Tidak! Jangaaaan! Jangaaaan!” Dika bergetar, pria yang terikat itu melelehkan air mata mengingat nasib sang istri.

“Kamu memang bodoh, manusia setan. Begitu kejamnya dirimu sampai-sampai menjual istri sendiri. Biadab. Tapi sudah begitupun masih tidak nyadar juga,” Jagal mendekatkan kepalanya ke arah Dika, “Jadi ada satu pertanyaan besar yang ingin aku tanyakan yang kuharap ada jawabannya. Kalau jawabannya benar, aku akan melepaskanmu. Kalau salah… maka tidak hanya kamu yang kena masalah. Istrimu juga akan menerima akibatnya.”

“Tidaaaaak! Jagal! Jangan! Jangan sakiti dia! Dia tidak bersalaaah! Jagaaal!”

“Aku membenci orang-orang sepertimu yang melibatkan bahkan menjual keluarga sendiri. Jadikan pelajaran! Jangan libatkan keluarga ke dalam masalah kelompok. Otakmu sudah dipenuhi racun perjudian, bodoh!” Jagal menunduk sekali lagi, ia berdehem, “Sekarang jelaskan padaku, di mana kitab itu kamu sembunyikan? Kamu telah mencuri kitab penting dari Bos dan menyembunyikannya saat melarikan diri kembali ke kota ini. Itu adalah sesuatu yang termaafkan. Di mana kitab itu?”

“A-aku tidak…! Jagal! Aku sudah menyerahkan kitab itu ke Syam! Dia yang membawanya! Dia yang menerimanya! Percayalah padaku!”

“Bagaimana mungkin! Syam tidak pernah diperintahkan oleh Bos untuk mengambil kitab itu. Bagaimana bisa kamu bertemu dengan Syam!?”

“Aku juga tidak tahu apa-apa!! Sepulang dari mengambil kitab itu, aku dijemput dan diantarkan oleh Pak Mangku untuk menemui Bos. Tapi di rumah beliau hanya ada Syam yang kemudian meminta kitabnya! Jagal! Percayalah padaku, ini semua benar-benar terjadi! Aku tidak pernah berkhianat apalagi menyembunyikan kitab! Aku tidak berani mengkhianati perjanjian! Tolong Jagal! Bebaskan istrikuuuu!!”

Seorang pria mendatangi Seno dan berbisik perlahan di telinganya. Wajah pria itu tak terlihat. Jagal terdiam dan mengerutkan kening. Ia seakan tak percaya saat mendengar berita itu. Jagal berdehem dan menghela napas panjang.

Ia berdiri tegap dan menepuk pundak Dika.

Dika kebingungan? Apa yang terjadi? Kenapa Jagal berubah sikap?

“Maafkan aku,” Jagal menatap Dika dengan iba, “Tapi inilah resikonya berhadapan dengan Bos Janu, Nyuk. Ketika kamu tidak menjalankan kontrak, dampak dan konsekuensinya sangat besar. Istrimu ternyata sudah…”



.::..::..::..::..::.



“Heheh. Kalian berdua sungguh luar biasa.” Pria bertubuh gemuk dan berkeringat terkekeh sembari menghisap rokoknya dengan sangat puas.

Bagaimana tidak puas, ia baru saja dilayani oleh dua orang wanita cantik yang sama-sama seksi dan sama-sama mempesona. Kecantikan keduanya tidak kalah dengan peraih gelar Miss World atau Miss Universe versi lokal sekalipun, apalagi tubuh mereka yang ranum dan menggairahkan membuat sang pria merasa kembali muda.

Pria gemuk itu menarik wajah seorang wanita yang masih terengah-engah di samping kirinya. Ia mencium bibir mungil wanita jelita itu.

“Mmmmmuuuaaahhhh.”

Perempuan cantik itu sempat gelagapan kehabisan napas ketika dicium. Untungnya Sang pria gemuk tidak lama. Sang wanita jelita dilepaskan dari tangkupan bibir tebal sang pria gemuk beberapa saat kemudian dan langsung terbatuk-batuk karena tak terbiasa menerima bibir dan tenggorokan penuh asap rokok.

Wanita di samping kanan sang Bos tertawa kecil, ia turun ke bawah tanpa diminta dan mulai memegang kemaluan sang pria gemuk yang masih sedikit belepotan, “Dia masih baru, Bos. Tidak terbiasa dengan asap rokok. Masih murni dia.”

“Oh ya?” Sang Bos menyeringai, “perek kok ora merokok. Ngisin-ngisini.”

Wanita cantik itu mengeluarkan lidahnya dan mulai menelusuri batang kejantanan sang Bos, “Lupakan dia, Bos. Saya ijin membersihkan keris punya Bos ya. Masih kenceng banget ini, Bos. Sayang-sayang.”

“Hehehe. Lambemu jan asyuu, manis banget! Hhaahahha. Ya gek wes. Ya sudah cepetan disepong,” Sang Bos menampar pantat wanita yang baru saja terbatuk-batuk, “Kamu kok masih diam saja? Kenapa? Tidak suka tadi kugenjot? Habis kamu seksi banget. Aku naksir sama kamu, sayang. Sayang banget kalau hanya sekedar jadi lonte. Kenapa tidak menjadi istriku saja? Hehehe. Aku butuh pasangan buat ngentot setiap hari. Kamu mau tidak? Susumu juga gede begini, nafsuin banget.”

Sementara penisnya di-oral oleh wanita jelita di sebelah kanan, ia memegang dan meremas-remas payudara wanita cantik dan seksi di sebelah kirinya. Perempuan itu diam saja ketika sang pria gemuk terus saja meracau.

“Apa ceritamu, sayang? Kamu putus cinta dengan pacarmu dan jual diri setelah ******? Kamu janda yang butuh uang untuk anakmu? Atau kamu dijual suamimu yang terjebak judi? Heheheh.”

Wanita di sebelah kiri Sang Bos tidak menjawab, ia hanya diam sembari melenguh saat buah dadanya diremas-remas.

“Heheheh. Tidak menjawab pun tidak apa-apa. Yang jelas, memekmu tadi sempit sekali, enak banget digenjot berulang-ulang kali. Hahahaha. Sori banget crot di dalam. Maaf kalau jadi. Besok kita ****** saja ya, masa iya Mama-nya secantik kamu, Bapak-nya burik kayak aku? Hahahah.”

Wanita yang tengah mengulum penis sang Bos merengut dan melepaskan batang kejantanannya. Ia merengut. “Ih, dari tadi perhatian Bos kok cuma ke dia sih? Padahal dari tadi aku yang repot nih! Emang tadi punya dia aja yang enak, Bos? Punyaku nggak? Ih si Bos pilih kasih nih.”

“Hahahahah! Ya ya… siapa suruh kamu tiba-tiba aja nyepong.”

Pria gemuk itu melepaskan payudara wanita di sebelah kiri dan beringsut melewati wanita di sebelah kanan. Ia meraih handle laci meja di samping kanan tempat ia berbaring, lalu menariknya dan mendapatkan beberapa tumpuk uang yang diikat dalam bendel.

“Ini buat kalian,” Ia memberikan kedua wanita itu masing-masing satu bendel uang seratus ribuan. Setiap bendel sudah pasti berisi seratus lembar, “Aku tahu Bos kalian pelit jadi aku kasih bonus.”

“Be-berapa ini, Om?” tanya Siska pada sang Bos.

“Heheh. Hitung saja. Do the math. Kalian tidak bodoh kan?”

Kedua wanita itu pun saling berpandangan. Sebagai kawan sejawat, keduanya sama-sama tahu tarif masing-masing, dan mereka punya tarif yang tidak mencapai angka yang diberikan oleh sang Bos. Baru kali ini mereka dapat bonus yang lebih besar dari tarif mereka sendiri. Mereka memang hanya amatiran, jangankan artis, selebgram pun bukan. Jadi bayaran yang diberikan oleh sang Bos jelas sangat besar dan berarti.

Mereka terkejut dan senang bukan kepalang. Termasuk wanita yang tadi di sebelah kiri dan lama terdiam. Wanita itu bernama Priska - Istri dari Dika dan kakak kandung dari Pasat.

“Te-terima kasih, Bos,” ujar Priska dengan surprise.

Istri Dika itu tak mengira kencan beberapa jam saja akan memberinya angka tiga kali lipat dari biasanya. Ada sedikit rasa pedih karena dia harus menjual diri demi mendapat uang, tapi uang yang didapatkan memang sungguh sangat menggiurkan.

Ini akan bisa membayar sebagian hutang Dika dan membiayai persalinan kelak. Priska mengelus perutnya perlahan. Bahkan Dika pun belum tahu kalau ia sudah isi. Kehidupan mereka tidak mudah, naik turun secara tragis dengan menyedihkan. Mudah-mudahan jika kelak mereka punya keturunan, keduanya bisa lepas dari jalan hidup seperti ini dan hidup dengan tenang jauh dari semua kelompok yang mengerikan. Priska ingin mengajak Dika menghilang dari kota dan pindah ke desa terpencil yang jauh – amat jauh dari hiruk pikuk kota.

Priska memang kotor dan telah menjadi seorang pelacur, tapi dia hanya pernah mencintai Dika dan ingin memberikannya seorang keturunan agar keluarga mereka bisa berlanjut. Mereka masih berhak untuk itu kan?

“Kok jadi diam? Masih kurang?” Sang Bos bertanya pada Priska. Ia menunjuk ke arah wanita cantik itu, “Kamu mau lagi?”

“Ti-tidak, Bos. Ini sudah sangat cukup. Saya berterima kasih sekali. Bos benar-benar baik.”

Istri Dika yang cantik itu pun terkejut saat ditunjuk dan pura-pura tersenyum lebar, ia menggeleng kepala meski sang Bos tahu pasti kalau Priska sedang memikirkan sesuatu. Wanita jelita itu sudah pasti tidak sedang memikirkan dirinya.

Melihat sang Bos menjadi suntuk, Priska merasa bersalah. Ia pun mendekati pria itu dan memainkan jemarinya di rahang pria gemuk itu dan mencium bibirnya sekali lagi. Keduanya bertukar ludah dan bermain lidah. Saling menyilang, saling mengecup, saling menjilat, dan saling menangkup bibir.

“Mmmhhh…”

Beberapa saat kemudian, Priska melepaskan ciuman itu dan di antara bibir keduanya terdapat jembatan liur yang membentang sesaat sebelum akhirnya luruh. Calon ibu muda itu mengedipkan mata sembari mengenakan kembali lingerie-nya yang berserakan di lantai.

“Itu terima kasihnya, Bos.”

“Hmm, enak banget bibirmu,” Sang Bos tersenyum puas, “kamu bisa mencium dengan baik. Suamimu pasti bangga.”

“Oh? Memangnya darimana Bos bisa tahu kalau aku sudah menikah? Jangan asal menuduh lho, Bos. Memangnya ada yang mau menikah sama aku?”

“Kamu cantik dan seksi. Siapa yang tidak mau?”

“Banyak. Aku kan lonte.”

Sang Bos mendengus, “lha terus kenapa kalau kamu lonte? Masalah po? Memangnya ada laki-laki sok suci yang merendahkanmu? Hahahah. Kalau ada yang macem-macem sama kamu, kalau ada yang merendahkanmu, kalau mereka berani mengata-ngatai kamu dengan tuduhan lonte, atau bahkan kalau mereka menghina kamu dan keluargamu… maka bilang saja sama aku. Aku yang akan menolong kalian.”

“Terima kasih banyak, Bos.” Priska tersenyum manis.

Jantung pria gemuk itu makin berdebar, memang perempuan yang satu ini berbeda. Dia sungguh sangat mempesona. Tidak pantas dihargai murah. Apakah bisa ditebus?

“Siapa namamu, Cah Ayu? Aku ingin mengenalmu dengan lebih dekat. Aku ingin kita makan malam besok. Gimana? Tapi aku ingin bertemunya di luar jam kerja kamu. Apakah nama kalian benar-benar Priska dan Siska? Apa nama panjangnya? Di mana kalian tinggal selama ini?”

“Duh, gimana ya, Bos… saya…”

“Panggilnya Om saja.”

“Hihihi, duh… mohon maaf sebesar-besarnya, Om. Kami berdua tidak boleh kenal dengan klien. Tapi terima kasih atas penawarannya,” ujar Priska sambil melangkah dan memberikan kode pada kawannya yaitu Siska untuk segera meninggalkan pria gemuk itu.

Keduanya melambaikan tangan pada sang Bos. Priska dan Siska berucap berbarengan. “Udah ya, Om. Sampai jumpa la…”

Pria gemuk itu terdiam, lalu menyeringai. Ia bertepuk tangan dengan kencang. Seketika itu juga, dua orang pria membuka pintu, masuk ke dalam, lalu menutup pintu dan menguncinya.

Priska dan Siska saling berpandangan, mereka ketakutan dan kebingungan.

Priska bertanya, “A-apa maksudnya ini, Om?”

“Namaku Bintoro Muji Wiguno tapi kalian boleh memanggilku BMW. Kalian tidak perlu takut mengenai aturan mengenal klien,” Pria gemuk itu menghela napas panjang, wajahnya terlihat sangat menyeramkan, “Aku tidak suka diremehkan begitu saja oleh seorang lonte yang bahkan dengan sukarela aku bantu secara gratis.”

Priska kembali berpandangan dengan Siska, Siska menggeleng kepalanya ke arah BMW supaya Priska memperbaiki kalimat sebelumnya, Priska mengangguk.

“Ma-maaf, Om. Bukan maksud saya untuk menghina atau apa. Kami memang tidak diijinkan untuk mengenal klien lebih dekat supaya sama-sama nyaman ke depannya.” Priska berusaha menjelaskan, “ini peraturan dari Bos kami.”

“Aku tidak butuh penjelasanmu,” BMW mendengus, Ia melempar tas olahraga jinjing bermerk Neki ke depan. Tas itu jatuh berdebam tepat di antara Priska dan Siska. Kedua wanita cantik itu pun menatap BMW dengan kebingungan yang makin menjadi. Apalagi maksudnya ini?

“I-ini apa, Om?” tanya Siska.

“Itu untuk kalian. Sebagai tanda terima kasih karena sudah berhasil membuat aku puas tadi. Hehehe.”

Siska membuka tas itu dan terkesiap! Tas itu ternyata penuh dengan banyak sekali bendel seratus ribuan. Itu artinya dalam tas itu pasti ada uang ratusan juta rupiah!

“I-ini untuk kami? Apa yang… maksudku… Pris! Lihat ini! Lihat ini!” Siska memberikan segepok uang pada Priska.

“Bos… apa yang Bos maksud dengan memberikan uang ini untuk kami?” tanya Priska dengan keheranan menatap tas itu.

Apa yang diinginkan laki-laki gemuk ini? Kenapa dia membuang uang sebegini banyak untuk mereka berdua yang hanyalah orang biasa saja? Mereka bukan termasuk kelompok manapun, bukan artis, bukan selebgram, dan bukan orang penting. Masa dibagi gratis begini saja? Tidak mungkin semudah ini. Pasti ada sesuatu. Priska menatap BMW dengan curiga.

“Tidak ada alasan apa-apa. Hanya tanda terima kasih karena kalian sudah membuatku merasa puas. Meskipun…”

“…meskipun apa?” Priska merasa tidak enak. Ada sesuatu yang disembunyikan laki-laki gemuk ini pada mereka. Sesuatu yang sepertinya punya nature berbahaya untuk mereka berdua. Omongan dan sikapnya makin alarming. Priska mengembalikan uang segepok pada Siska yang sedang menghitung uang di dalam tas. “Sis. Balikin uangnya. Masukin lagi ke dalam. Perasaanku tidak enak…”

“Haaaah!? Kenapa dimasukin lagi? Bodo ah Priska! Aku mau ambil! Aku butuh! Ya udah kalau kamu nggak mau! Aku mau ambil semua! Aku mau beli rumah!”

“Siska! Ini berbahaya! Balikin!”

“Nggak mau! Aku lebih senior dari kamu! Aku lebih tahu! Sudah kamu diam saja!”

“Tapi Sis, ini…”

“DIAAAAAAAAM!”

Teriakan BMW membuat Priska dan Siska sama-sama terkejut. Pra bertubuh gemuk itu menyeringai dan berjalan menuju kursi yang ada di dekat mereka berdua. BMW lantas tersenyum pada Siska.

“Aku memberikan ini untuk kalian berdua. Itu artinya kalian berdua harus membaginya. Kecuali salah satu dari kalian… pergi untuk selama-lamanya. Barulah salah satu dari kalian boleh mendapatkan semua isi tas itu.”

Priska dan Siska kembali berpandangan.

BMW terkekeh, “Aku akan menjadikan ini menarik bagi kalian. Kamu benar, kalian harus bekerja dan berusaha untuk dapat memperoleh uang dalam tas itu. Tidak perlu dihitung. Jumlahnya 500 juta.”

“Lalu? Kami harus bagaimana, Om?” tanya Siska yang sangat berminat.

BMW melempar sesuatu ke ranjang. Siska dan Priska sama-sama melihat benda apa itu. Sebilah belati. Priska dan Siska sama-sama terkejut. Apa-apaan ini? kenapa ada belati besar dilempar ke ranjang?

“Aku akan memberikan tas itu dan akan memberikan tambahan bernilai sama bulan depan yang akan kubayar tunai di tanggal satu. Sehingga total ada satu milyar yang menjadi taruhan kita kali ini. Heheheh. Menarik bukan? Jelas menarik dong.” BMW terkekeh-kekeh “Tapi tidak semudah itu kalian mendapatkannya. Ada syarat yang harus dipenuhi tentunya. Di dunia ini, mana ada sih hal yang gratis?”

Priska mulai mencium bahaya, “Kami sudah lelah. Mohon ijin untuk pulang terlebih dahulu ya, Om. Mungkin tentang ini bisa dibicarakan lain kali karena kami akan…”

“Tas itu hanya akan kuberikan pada satu orang saja di antara kalian dan tawaran itu hanya akan berlaku sekarang.”

Siska dan Priska saling berpandangan, mereka benar-benar tidak paham apa yang diinginkan Bos BMW. Priska mengerutkan kening, “A-artinya apa, Bos? Maaf kami tidak paham.”

“Apa artinya? Artinya adalah… untuk mendapatkan tas ini, kalian harus mengeliminasi nyawa teman yang saat ini ada di samping kalian. Kalau ingin mendapatkan tas ini, maka salah satu dari kalian harus mati.” Bos BMW menyeringai keji. “Simpel kan? Simpel dong. Heheheh.”

Siska dan Priska sama-sama terbelalak. BMW mau mereka berdua saling bunuh!?

Bos BMW kembali tersenyum lebar saat mengucapkan kata-kata berikutnya, “Pintu ruangan ini terkunci dan kalian tak akan bisa kabur dari sini. Kalau kalian berdua menolak maka kalian bebas pergi dan pintu akan terbuka - tapi kalian tidak akan pernah lagi boleh berjualan di tempat VIP. Kalian harus menjajakan tubuh di hotel kelas rendah karena kalian tak pantas lagi ada di level ini.”

Priska menggeleng, “Ta-tapi ini terlalu gila, Om! Saya tidak akan pernah melakukan hal seperti itu! Saya ini memang lonte yang kotor. Tapi saya tidak akan pernah melakukan hal mengerikan seperti yang Om inginkan! Saya tidak akan pernah mau membunuh! Siska! Tinggalkan uang itu! Kita pergi dari sini!”

Priska berbalik dan berjalan menjauh. Setelah empat langkah Ia baru sadar kalau Siska tidak mengikutinya.

“Sis?” Priska menengok ke belakang dan menatap sang kawan dengan tatapan ngeri.

Siska memiringkan kepalanya, menatap tajam ke arah Priska. “Aku sudah lelah, Pris. Aku sudah capek jadi mainan orang, jadi budak seks orang. Uang itu bisa menyelamatkan keluargaku. Aku bisa hidup dengan tenang dan nyaman di desa. Anakku yang tanpa Bapak bisa sekolah tanpa perlu malu karena aku akan memberikan dia segalanya. Ibuku bisa tenang di desa tanpa harus bekerja sebagai buruh untuk juragan beras yang kejam. Aku butuh uang itu, Pris. Aku sangat butuh uang itu.”

“Sis! Kamu pikir Om BMW, Bos kita, dan laki-laki lain di dunia gelap ini akan membiarkanmu bebas semudah itu? Jangan mimpi, Sis! Kamu akan tetap dijebak dan harus bekerja untuk mereka! Mereka tidak peduli status dan penderitaanmu, mereka hanya peduli bisa atau tidak memek kamu dijadikan komoditi! Sis! Dengerin aku… dengerin! Tinggalkan uang itu dan mari kita bersama-sama keluar dari sini. Itu jebakan mengerikan! Kita pergi dari sini, Sis! Ayuk!”

Siska menggeleng, ia menyeringai mengerikan di balik sisi tembok yang gelap sehingga hanya terpantul seringai dan tatapan nanar dari bulat matanya yang kini menyipit. Priska baru menyadari masalah yang saat ini ia hadapi.

Siska benar-benar sudah tergiur pada tas berisi uang itu dan ia akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya.

“Sis… kamu tidak…” jantung Priska mulai berdetak dengan kencang. “SISKA!”

Siska melirik ke kiri, kepalanya masih miring. Ia masih menyeringai menyeramkan. Priska sudah tidak tahu apakah kesadaran Siska masih normal ataukah sudah terbius oleh tipu daya Bos BMW.

Apa yang dilihat Siska? Sebilah belati di atas ranjang. Siska berlari kencang ke arah belati itu, “Maafkan aku, Priskaaaaa!”

“SISKAAAA!”

Priska terkejut bukan main melihat kawannya tiba-tiba saja melejit menuju ke ranjang demi mendapakan belati yang dilemparkan oleh Bos BMW. Priska kebingungan, apa yang bisa digunakannya sebagai senjata? Kepala istri Dika itu menengok ke kanan dari kiri, mencari-cari sesuatu.

Tidak ada yang tajam dan tidak ada yang keras. Ia hanya melihat ada handuk hotel terhampar di lantai.

“Priskaaaaaaaaaaaaaa!”

Priska menengok ke samping dengan panik, ia melihat Siska berlari kencang ke arahnya dengan membawa sebilah belati yang sudah ia dapatkan dari ranjang. Kalau tidak segera melakukan sesuatu, Priska tahu dia bisa mati hari ini!

Tidak hanya dia tapi juga jabang bayi yang sedang ia kandung! Perempuan jelita itu mulai menangis dan panik, air matanya leleh meski ia tidak mengucap sepatah kata pun. Dia tahu Siska sudah kehilangan akal sehatnya dan dia dihadapkan ke situasi paling primal yang pernah ia hadapi.

Dibunuh atau membunuh.

Siska hanya berjarak dua meter saja darinya, Priska bisa melihat mata temannya itu mengambang merah karena menangis, tapi dari senyumannya yang sadis ia seakan menjelma menjadi sesosok setan yang tak ia kenal. Semua kebaikan dan semua rasa kemanusiaan dari Siska seakan sudah lenyap.

“Siskaa! Jangan, Siska! Sadarlaaaaah!”

“MATI KAMUUUU, PRISKAAAAAAAAAA! MATI KAMUUUUUU!!”

Siska mengayunkan-ayunkan belatinya dengan mengerikan. Pandangannya nanar ke depan, wanita cantik dan bersahabat yang selama ini ramah pada Priska itu kini sudah lenyap digantikan oleh seorang wanita haus harta yang buas. Ia bagaikan seekor cheetah yang memburu mangsa.

Bos BMW hanya terkekeh melihat perubahan wanita yang sudah terbutakan oleh materi itu. Keadaan semakin menegangkan,

Tapi Priska sudah bersiap. Si cantik itu memang selalu dituding sebagai lonte, tapi itu bukan berarti dia wanita bodoh tanpa otak. Dia sudah bersiap andaikata terjadi sesuatu yang tidak ia kehendaki, meskipun hal itu sangat tergantung pada satu kondisi.

Priska turun ke bawah tepat di saat sang teman mengayunkan belati yang jika terlambat sedikit saja, sudah akan membabat kepalanya. Begitu turun, Priska menarik handuk yang ternyata sudah ia siapkan di depan kakinya persis.

“Hkkkkhgg!”

Sekuat tenaga Priska menariknya.

“Apa yang…!? Aaaaaaaaaaaaaaah!”

Siska yang tidak aware dengan kondisi sekitar karena terlalu bernafsu menyakiti Priska, langsung terjerembab ke belakang karena handuk yang ia injak ditarik oleh Priska. Siska pun jatuh berdebam, belatinya terlepas. Siska terjatuh dengan kepala terhempas ke lantai. Ia langsung berteriak kesakitan dan berguling-guling.

Priska menendang belati yang terlepas dari tangan Siska menjauh, ia lantas menelikung sang sahabat dan mencoba mengunci tangan Siska.

Tapi Siska meronta, kekuatannya berlipat ganda. Priska tak lagi sanggup bertahan, ia gagal mengunci tubuh Siska dan terbanting ke kiri. Siska melontarkan pukulan dengan bagian bawah telapak tangan ke arah dagu Priska.

Btaaaaaaakgh!

Priska terpelanting ke belakang. Dia memang sebelumnya punya strategi, tapi dia tidak memiliki tenaga kuat untuk bertarung, terlebih dia tadi bermain cinta habis-habisan dengan Bos BMW sebagai klien dan itu sudah membuatnya sangat kecapekan..

“Aaaaaaaaaaaah!” Priska menjerit kesakitan saat ia terbanting. “Sa-sakit!”

“Hraaaaaaaaaaarghhh!” Siska sudah kesetanan! Ia bangkit dan mencekik leher Priska, mengangkat kepalanya, lalu membantingnya ke lantai! Sekali! Dua kali! Tiga kali! Empat kali! Priska mencoba melindungi bagian belakang kepalanya yang tengah dibenturkan ke ubin lantai dengan menggunakan telapak tangan.

“Aaaaaaaaaaaaaaah! Tidaaak! Jangaaaan! Siskaaaa! Siskaaaaa!”

“Mati kamuuuu! Matii! Mati! Mati! Mati! Uang itu punyakuuuuu!!”

Jbkghh! Jbkghh! Jbkghh! Jbkghh! Jbkghh!

Siska seakan sudah tidak peduli kawannya kini berubah menjadi buruan, sementara Priska enggan melawan. Berulang kali kepala Priska dibenturkan ke ubin, Siska makin beringas. Ia mencari kesana kemari, dan pada akhirnya Ia melirik ke arah Bos BMW.

Bos BMW tersenyum sambil menunjuk ke arah yang tidak jauh darinya. Siska menyeringai dan melompat dari atas tubuh Priska untuk mengambil belati.

Priska yang kesakitan terengah dan merintih. Tapi ia sadar kalau diam saja di tempat, dia akan mati langkah. Priska berguling ke samping dan menyabetkan tangannya ke pergelangan kaki Siska.

Siska terjatuh dengan dagu terhantam lantai. Ia menjerit kesakitan dengan gusi yang berdarah. Dengan mendengus kesal ia mencoba bangkit.

“Tiduuuuur saja, Siskaaaaaaaaa!”

Siska melotot.

Ia mendongak. Telapak kaki Priska ternyata sudah ada di atas kepalanya!!

Jbkkkkkkkkkkkkkkghhhhh!

Dengan menggunakan kaki, Priska mendorong kepala Siska ke bawah, menumbuk lantai. Sekali lagi dagu Siska terhampar ubin lantai. Gusinya semakin parah berdarah. Hidungnya seperti bengkok dan juga mengeluarkan darah.

Bos BMW tergelak, “Tidak hanya cantik. Kamu juga cerdas. Hahahah! Semakin aku menginginkanmu! Tapi aku ingin pertarungan ini lebih seru lagi.”

Bos BMW kembali melemparkan sesuatu di dekat mereka. Priska dan Siska sama-sama melihatnya. Dua bilah pisau lipat kecil yang posisinya saling berseberangan. Satu di dekat Siska, satu lagi dalam jangkauan Priska.

Mata kedua perempuan itu berkilat.

Priska meloncat ke arah salah satu pisau, demikian juga Siska. Mereka berbalik dan saling berhadapan, masing-masing kini memegang satu pisau lipat kecil di tangan mereka… atau sepertinya begitu. Tanpa sepengetahuan Priska, Siska sudah mengambil juga belati yang tadi dilempar BMW dan kini diselipkan di bagian belakang celananya.

“Siska! Ayo kita pergi saja! Ini tidak sepadan!”

“BACOT MELULUUU! DIAAAM!” Siska mengamuk, “Priska! Aku mau uang itu. Kalau untuk mendapatkan uang itu harus membunuhmu, maka jadilah. Ada banyak sekali yang harus kuperjuangkan… dan uang itu akan sangat membantu. Sepadan? Sudah pasti.”

“Lah, kamu pikir aku tidak punya kebutuhan!? Banyak juga, Sis! Ayolah! Kita harus…”

“SUDAH KUBILANG JANGAN BANYAK BACOOOT!” Siska yang wajahnya sudah berdarah makin terlihat mengerikan, “Aku akan membunuhmu, mengorek si jabang bayi dalam perutmu itu, dan akan kuberikan ke Dika dalam toples. Heheh. Puas kamu?”

Priska menatap Siska geram. Darimana dia tahu kalau…

“Lain kali jangan buang testpack sembarangan, Priska. Heheh. Sebagai bukti sayangku padamu, kalau hari ini kamu mati, akan kurayu dan kupastikan Dika tidur denganku. Heheheh,” Siska udah bisa menduga pertanyaan dari Priska.

“Sis… kamu sudah kelewatan! Kamu…”

“Ohooooo! Kamu sedang hamil? Menarik!” Bos BMW tertawa, “Akan kubesarkan anak itu sebagai anakku kalau kamu mau menikah denganku! Dia akan bergelimang harta! Kamu tak akan pernah kekurangan! Akan kusekolahkan sampai kuliah di luar negeri! Berani tidak?”

Priska mendesis, ia semakin membenci BMW karena telah menjebak mereka berdua, “Aku tidak sudi menikah denganmu! Aku sudah menikah dengan orang yang kucintai!!”

“Heheheh. Lonte tidak tahu diuntung,” BMW melirik ke arah Siska, “bagaimana menurutmu, Siska? Namamu benar-benar Siska bukan?”

“Bukan,” Siska mengedipkan mata, “tapi aku akan membantu Om. Akan kubuat Priska bertekuk lutut selamanya pada Om, akan kupotong dua kakinya. Kalau dia kebanyakan protes, akan kuputus lidahnya. Bagaimana?”

“Bagaimana dengan calon bayinya, Siska?”

“Akan kubelah perutnya dan kuambil janinnya.”

“Heheh. Cantik tapi psikopat,” BMW terkekeh, “Aku suka idemu. Lakukanlah.”

Siska menyeringai sembari menatap Priska dengan buas. Ia memainkan pisau lipat di tangannya. “Bersiaplah, Priska. Akan kuhancurkan duniamu untuk selamanya. Aku yang akan mendapatkan semua uang itu.”

Priska meneguk ludah.



.::..::..::..::..::.



.:: SEKARANG



Aryani terengah-engah dan terbatuk. Dia terjebak di sebuah ruangan yang meskipun aman, tapi mulai dimasuki oleh asap.

Ibu muda jelita itu berusaha berdiri, tapi tiap kali melakukannya, selalu saja gagal. Kakinya lemah, tubuhnya lemah, semangatnya lemah. Satu-satunya hal yang membuat ia tetap berusaha adalah pikiran tentang kedua anak tirinya, “Da-Dahlia… Tara… ma-maafkan Bunda… Maafkan Bunda…”

Air mata Aryani deras mengalir. Dia benar-benar sudah dihancurkan. Suaminya seorang pembunuh berdarah dingin yang telah melakukan pembunuhan massal, usahanya dibekukan karena penyelidikan keuangan sang suami oleh tim Garangan dari pihak kepolisian, rumahnya kini hancur lebur karena terbakar, dan kedua anaknya… kedua anaknya terancam nyawanya.

Entah di mana Tara dan Dahlia sekarang berada.

“Uhuuuuuk!” Napas Aryani mulai sesak. Asap masuk ke ruangan ini. Ibu muda cantik itu berjalan dengan menyusuri dinding. “Tolong… kumohon… toloooong… uhuuuuuuk!”

Aryani merasakan sesuatu.

Ada getaran di belakangnya. Apakah karena temboknya bakal runtuh? Sebaiknya dia cepat… sebaiknya dia lebih cepat…

Tubuh Aryani makin melemah. Dia akhirnya ambruk. Tidak. Tidak boleh. Tidak bisa. Dia tidak boleh lemah seperti ini. Tidak boleh lemah. Tara dan Dahlia membutuhkannya.

“Da-Dahlia… Tara… Bunda akan menjemput kalian… akan… uhuuuuk…”

Getaran itu makin hebat. Ruangan aman ini tidak akan aman lagi. Aryani beringsut dengan sangat perlahan menuju pintu. Tubuhnya amat lemah, dia tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi.

Dia mungkin akan mati hari ini. Dia harus menitipkan Dahlia dan Tara pada orang-orang kuat yang membantu mereka. Jangan sampai kedua anak itu jatuh ke tangan yang salah. Mereka punya sesuatu yang…

“Aku harus… harus menyelamatkan… mereka…”

Ibu muda itu tahu, keselamatan dirinya sendiri tidaklah berarti dibandingkan keselamatan kedua anak tirinya yang amat ia sayangi. Dia bahkan tak peduli jika dia terpanggang hidup-hidup asalkan Dahlia dan Tara selamat.

Brruaaaaaaaaaaaaaakggghhhh!

Tembok di belakangnya mulai retak dan rubuh. Aryani harus segera meninggalkan ruangan ini secepat mungkin. Dia harus terus merangkak menyusuri ubin demi ubin untuk keluar dan menyelamatkan anak-anaknya. Dia harus segera keluar dari sini! Dia harus…

Satu tangan muncul di hadapan Aryani.

Ibu muda itu mengejapkan mata, dia sudah tidak kuat lagi. Tangannya meraih tangan yang terulur kepadanya. Siapa orang ini? Aryani tak bisa mengenalinya. Dia mengenakan masker asap. Tapi Aryani percaya kepadanya.

Matanya berat sekali. Ia tak kuat, sungguh tak kuat. Dia ingin menyerah, tapi dia tahu dia tak bisa melakukannya. Dia tak bisa. Dia tak ingin.

Tangan Aryani terjatuh sebelum bisa bersentuhan dengan sang masker penolong.

Aryani tenggelam dalam gelap.

Gelap yang dalam.



.::..::..::..::..::.



“Aaaaaaaah!”

Aryani terbangun.

Dia sudah tidak lagi berada di tengah ruangan yang terbakar. Dia berada di bawah langit malam, terbaring di atas rerumputan dan di bawah pohon yang rindang. Suara benda-benda terbakar, bagian gedung yang roboh masih terdengar jelas. Tubuhnya masih lemah, dia tidak bisa mengangkat badannya, dia mencoba menengok ke samping.

Dari kejauhan ia bisa melihat rumah yang selama ini ia tinggali hancur perlahan-lahan menjadi debu.

Masih terdengar keributan di sana, mungkin ada orang bertarung. Di kejauhan terdengar suara mobil pemadam kebakaran yang masuk ke dalam halaman depan.

Aryani tertegun. Kenapa dia malah diam saja di sini? Kenapa dia malah asyik tidur-tiduran di bawah langit berbintang? Dahlia! Tara! Dia harus menyelamatkan mereka! Dia harus…

Ehgk! Aryani sama sekali tidak bisa bergerak, tubuhnya terasa kaku dan linu. Semua tulang terasa sakit.

“Uhuuuuukgh.”

Dia juga masih merasakan sakit di tenggorokannya, mungkin karena terlalu banyak menghirup bara api. Mungkin karena terlalu banyak bermandikan hempasan asap.

Aryani mencoba sekali lagi untuk bangkit dan untuk kesekian kalinya dia gagal. Badannya benar-benar tidak bisa digerakkan. Ia bahkan tak bisa merasakan tubuhnya sendiri. Yang terasa hanyalah angin bersemilir dingin yang mengenai dadanya, mengeraskan puting payudaranya, dan mengelus perutnya.

Semua terasa begitu…

Aryani terkejap. Ia baru sadar akan sesuatu. Dia memang tidak bisa menggerakkan tubuhnya, tapi dia yakin sekali kalau saat ini… saat ini… dia… dia telanjang!!

Wajah Aryani memerah. Kenapa dia telanjang!? Di bawah langit, beralaskan rumput, di luar rumah, yang dapat ditemukan oleh siapa saja!? Apa-apaan ini!? Aryani tahu ada sesuatu yang tidak beres. Dia berusaha meronta dan mengangkat tubuhnya, tapi dia tetap tidak bisa melakukannya.

Aryani terbelalak.

Dia baru menyadari sesuatu. Dia tidak bisa bergerak karena…

Karena dia ditotok! Ini bukan karena dia tadi berada di dalam rumahnya yang terbakar! Ini karena dia tadi ditotok! Si-siapa yang melakukannya? Apakah si masker asap tadi? Siapa yang telah menolong namun menotok dan menelanjanginya!? Angin dingin mulai menerpa tubuh telanjang Aryani dan dia kedinginan.

Hanya kepalanya saja yang bisa bergerak, ia mencoba menengok ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah. Tidak ada siapa-siapa di sana.

“Jangan khawatir.”

Terdengar suara seorang pria. Dia ternyata mengamati Aryani dari atas pohon yang rindang. Pria itu masih si masker asap tadi, dia benar-benar masih menggunakan maskernya sekaligus pelaku yang telah menotok dan menelanjangi Aryani.

Dengan anggun pria itu mendarat di samping Aryani.

“Kamu aman di sini, tidak akan mati terpanggang di rumah terkutuk itu.”

Aryani tahu dia juga masih bisa berbicara meskipun ditotok. “Te-terima kasih. Tapi kenapa menotok dan… dan… maksud saya, saya agak kedinginan dan tidak bisa bergerak.”

Pria bermasker itu terkekeh, “Maaf aku harus melakukannya.”

“Kenapa? Siapa anda sebenarnya?” Aryani menyadari kalau ada sesuatu yang lebih penting yang harus dia minta pada penolongnya ini, “Sebelumnya… bisakah melepaskan saya dari totokan yang…”

“Tidak bisa.”

Aryani tertegun, orang ini sepertinya agak aneh. Siapa dia sebenarnya? “Kenapa tidak bisa? Saya benar-benar kedinginan dan merasa tidak nyaman. Saya juga harus mencari anak-anak saya. Saya tidak tahu bagaimana nasib mereka.”

“Mereka terpisah. Keduanya dibawa dua orang yang berbeda. Heheh.”

Orang itu sekali lagi terkekeh. Ia jongkok di samping Aryani, ia melepaskan sarung tangan yang ia kenakan. Aryani tdak bisa melihat apa yang ia lakukan sampai… ia merasakan telunjuk pria bermasker itu menelusuri pahanya. Mungkin paha Aryani kotor dan legam oleh hitamnya arang, tapi tetap saja hal itu tidak bisa menghilangkan indahnya paha sang ibu muda jelita yang mempesona itu.

“Kamu seksi, Aryani… heheh. Sayang tubuhmu hanya diberikan pada seorang laki-laki tua yang tidak saja biadab tapi juga bejat. Heheheh.”

“A-apa yang kamu lakukan? Siapa kamu!? Ja-jangan macam-macam! Kamu tahu siapa suamiku?! Dia pasti akan…”

“Hahahaha, akan apa? Dia itu penjahat paling dicari saat ini. Most wanted man. Nyawanya sudah sebatas tali senar yang hampir putus. Kamu tidak bisa lagi mengandalkannya, Nyonya Janu. Heheh.”

Orang itu sengaja memberikan tekanan pada panggilan Nyonya untuk semakin merendahkan Aryani.

“Hnnnghhhhhh!”

Telunjuk sang masker asap naik dari paha, mengitari selangkangan. Aryani terhenyak karena kaget. Beruntung telunjuk itu naik ke perut, dan naik lagi ke payudara sang ibu muda. Payudara terawat itu amat mempesona bagi siapapun yang melihatnya. Ukurannya besar dengan pentil berwarna coklat muda yang apik dan menjulang ke atas karena cuaca yang dingin.

Telunjuk sang pria bermasker mengitari pentil kanan Aryani.

“Aku suka susu kamu, Aryani. Tetek kamu besar, kenyal, menggairahkan. Tubuh kamu ini benar-benar seksi. Sayang kalau tidak dinikmati. Aku sudah menunggu saat-saat bisa berduaan denganmu seperti ini sejak lama,” sang pria bermasker membuka topeng maskernya. Tapi karena dia berada di bawah, Aryani tak bisa melihatnya. “Orang lain datang kemari karena ingin menghancurkan QZK, atau setidaknya ingin menghancurkan rumah sang pimpinan QZK. Tapi aku berbeda. Aku tidak menginginkan itu. Aku datang karena ingin menikmati tubuhmu. Sejak awal, itulah tujuanku kemari. Aku tidak ingin hal lain – aku hanya menginginkanmu.”

Slrp.

“Haaaannnnnghhhhh! Apa yang kamuuuu….!? Jangaaaaaaan! Jangaaaan! Jangaaan!” air mata mengalir di pipi mulus ibu tiri Dahlia dan Tara itu.

Aryani panik. Ia merasakan ada lidah yang menelusuri bibir liang cintanya. Ia memejamkan matanya dan meronta tanpa daya. Jangan. Jangan. Jangan. Jangan. Jangan. Tapi seberapa kalipun ia memohon, nasibnya memang sedang di ujung tanduk.

Slrp. Slrp. Slrp. Slrp. Slrp.

“Ahaaaaaaaaaaaaakghhhh!!!” tubuh Aryani menggelinjang. Lidah orang ini… lidah orang ini makin merajalela dan membuat liang cinta sang ibu muda itu basah.

“Nah begitu lho, keluar pelumasnya. Heheh. Bagaimana menurutmu, Aryani sayang? Enak kan? Pasti kamu sudah lama tidak dientotin suamimu, kan? Jangan khawatir, aku akan menggantikannya. Setelah ini aku akan membawamu pulang dan menyekapmu di kamar sampai kamu menurut padaku. Aku akan menjadikanmu sebagai permaisuriku. Tahu sendiri selama ini aku tidak punya pasangan. Pasti asyik sekali menjadikanmu sebagai istriku, lonteku, dan mainan seksku. Aku bisa membayangkan judul gosipnya: bekas istri Bos Janu yang termahsyur… menjadi lonte murahan di Pasar Bunga samping stasiun, menjajakan memeknya dengan murah yang penting laku. Heheh.”

“Ku-kurang ajaaaar! Kurang ajaaaar! Aku tidak akan pernah… tidak akan… akan kucari dan kubunuh kau! Akan kubunuh kau! Akan… aaaaaaaaaaaaaaaaah!!”

Slb! Slb!

Sang pria bermasker menusukkan dua jarinya ke dalam liang cinta Aryani, ibu muda jelita itu langsung terhenyak ke atas bagai busur lengkung. Matanya terbelalak. Dua jari itu ditarik keluar, lalu dimasukkan lagi, lalu ditarik keluar, lalu dimasukkan lagi.

Aryani menangis tersedu-sedu, “Jangaaaan… jangaaaan… kumohooon… jangan…”

Dua jari itu terus keluar masuk ke liang cinta Aryani, membuat tubuhnya bergoyang naik turun dengan erotis.

“Mana ada ibu tiri seindah kamu, sayang. Sejak dahulu Janu sialan itu selalu saja beruntung. Ketika kalian menikah, aku sangat iri dan amat berharap pernikahan itu batal. Akulah yang seharusnya mendapatkanmu. Akulah yang seharusnya menikmati tubuh indahmu di ranjang pengantin. Akulah yang seharusnya memasukkan kontolku ke memek kamu…”

“Hhhhh… hhh… cukup… cukup… cukuuuup… aku tidak mau lagi. Aku tidak mauuu…” Aryani terisak-isak tanpa bisa menggerakkan tubuhnya sementara dua jemari sang penolong sekaligus penyerang itu terus saja menganiaya liang cintanya. Air mata ibu muda jelita itu mengalir deras.

Pria itu tertawa geli, “Begini saja. Kalau kamu tidak mau, maka… aku akan mencari Tara dan melakukan ini kepadanya. Bagaimana? Atau bahkan kepada Dahlia? Dia cabe rawit! Sudah punya…”

“Tidaaaaaaaaak! Jangan sakiti mereka! Aku mohon jangan sakiti mereka! Aku saja! Aku saja! Aku bersedia melayanimu tapi jangan sakiti mereka!” Aryani mulai panik, “Aku akan melakukan apa saja untukmu! Apa sajaaa! Tapi jangan sakiti mereka!”

“Heheh. Apa saja?”

Aryani terisak, kata-katanya semakin tidak jelas karena isaknya sangat kencang, ia benar-benar menangis karena tak berdaya, “Iyaaaaa! Aku akan jadi lontemu! Aku akan jadi budak seks kamuuuu! Aku akan menjadi istrimuuu!”

“Heheheh. Nah begitu dong. Baiklah. Janjimu kupegang. Aku butuh pembuktian darimu, sayang. Aku ingin kamu melayaniku, di sini, malam ini, di dekat kebakaran besar yang membakar rumahmu yang indah. Kamu sudah tak punya apa-apa lagi.”

Aryani mengangguk.

“Mengangguk kenapa?”

“A-aku akan melayanimu.”

“Hahahahaha… hahahahah! Istri macam apa kamu ini! Bisa-bisanya kamu mau melayani musuh suamimu sendiri! Hahahahah! Ngentotin musuh suaminya! Hahahahah!”

“Ka-kamu yang meminta! Aku tidak…”

“Hmmm?”

“A-aku… tidak… baiklah… baiklah! Aku akan melayanimu.”

“Heheheh. Baiklah kalau kamu bersikeras. Kontolku sedang menuju ke memekmu. Heheh. On the way.” Orang itu mulai melucuti celananya, mengeluarkan satu batang kejantanan yang tidak nyaman dipandang. Kaki Aryani mulai dibentangkan. Masing-masing dipegang ke arah luar. Aryani masih menangis tanpa henti.



Batang kejantanan itu tepat berada di bibir liang cinta Aryani. Pria itu menggesek-gesekkan penisnya di bibir vagina sang perempuan jelita.

“Bersiaplah, sayang…”

Aryani mengigit bibirnya dan memejamkan mata. “Nnnngghhhhh… aaaahhhhh…”

Kepala gundul kemaluan pria itu perlahan-lahan mendesak masuk. “Edaaaan, masa iya sesempit ini memek kamu, sayang? Segede apa punya si Janu?”

“Ahhaaaaaaaakghhhh!” Aryani tak menjawab, ia menangis. Ujung gundul kemaluan sang penyerang sudah mulai masuk ke dalam. Seperti jamur yang ditelan mentah-mentah. “Aaaaaaaahhhaaaarrrghh!”

“Sakitkah?”

“Sakit!! Sakit!!”

“Ini masih belum apa-apa. Aku dorong ya, Aryani sayang…”

“Tidaaaaaak! Tidaaaaaaak! Tidaaaaaaaaakk!!”

Swwssssshhhh!

Sang pria yang menyerang Aryani tertegun. Ada sesuatu yang terbang dengan kecepatan tinggi ke arahnya! Dengan satu gerakan menghindar yang cekatan ia berhasil lolos dari maut. Dengan terpaksa ia melepas kemaluannya dari memek Aryani.

Brrrraaaaakaghhhh!

Pria itu menengok ke samping. Ia melihat satu pohon kokoh telah roboh separuh oleh karena terkena barang yang baru saja dilempar. Tunggu dulu! Barang itu kan…!? I-itu kan… tutup tempat sampah plastik!? Siapa yang dengan hebatnya bisa menjadikan tutup tempat sampah Bintang Singa untuk dijadikan frisbee!?

Pria itu tak mempedulikan Aryani yang tengah menangis. Dia harus tahu siapa penyerangnya! Pria itu mendongak ke atas. Di sana! Itu dia!

Seorang pria jongkok di dahan pohon yang kokoh. Ia cengengesan sembari mencari kotoran hidung dengan kelingkingnya. “Kekekekeke, kamu bodoh sekali! Kamu bodoh sekali! Awahahahaha… orang bodoh tingkahnya! Orang bodoh semua! Hahahaah!”

Hantu telah datang.

“Ckck. Ganggu saja. Apa maumu, orang aneh? Sudah sana mati saja masuk ke bak sampah! Apa maumu!?”

Hantu menutup matanya sembari tertawa cekikikan, “Kikikikik… si BMW punya kontol. Kontol BMW ngaceng dan ngacung. Kontolnya kontal-kantil. Kikikikikik!”

“Bajingan! Hahahahaha! Bisa aja kamu, wong edyaaaaan!”

Aryani tertegun! BMW! Orang yang hendak memperkosanya barusan adalah bos Dinasti Baru!? Orang yang selama ini sering datang ke rumah? Musuh baru suaminya! Pantas saja dia seperti pernah mendengar suara sang pemerkosa!

Lalu… yang baru saja menyelamatkannya… apakah itu Hantu?

Om BMW mengenakan kembali celananya. “Turun, Hantu. Sudah saatnya kita bertemu!”

Hantu bertepuk tangan dan menggeleng kepala, “Kikikiki, kontal kantil! Kontal kantil!”

Om BMW mengerutkan kening, apa lagi maksudnya si wong edan ini? Kenapa dia bertepuk tangan? Apa dia menghinanya? “Woy! Hantu! Mau sampai kapan kamu di atas sana? Jawab atau aku yang akan menyusul ke atas!”

Hantu tertawa-tawa tak mengindahkan ancaman om BMW. Dia malah menirukan gerakan seekor monyet yang meloncat ke sana kemari tanpa peduli. Hal itu jelas membuat om BMW kian geram.

“Heheheh. Baiklah kalau kamu maunya begitu. Hahahah! Aku yang ke atas!” Om BMW bersiap meloncat ketika beberapa saat kemudian ada kain yang melayang di udara dan mendarat tepat untuk menutup tubuh telanjang Aryani.

Hantu berteriak, “SGPC! Hahahahah! SGPC! Wes wancine metu! Hahahahaa!”

Om BMW bersiaga, ia mendeteksi adanya Ki.

Benar saja, seorang pemuda dengan wajah lonjong vertikal dan berhidung sangat mancung muncul dari balik pepohonan gelap. Ia bertubuh tinggi dan semampai dengan mengenakan kaos putih dengan huruf P besar di-sablon di bagian depan. Wajahnya full senyum meski terlihat celananya tambal sulam warna-warni seperti hasil karya bocah SD. Sosoknya terlihat seperti orang keturunan asing.

Om BMW tak mengenalnya, “Siapa lagi kamu? Kenapa ikut campur urusanku?”

Pria itu tidak menjawab, BMW pun hanya mendengus. ia mendatangi Aryani dan hendak mencoba membuka kembali kain yang membungkus tubuh sang perempuan jelita. Saat tangannya meraih kain itu, orang yang baru datang mulai mengatur kuda-kuda.

Penasaran, Om BMW melepaskan pegangannya di kain penutup Aryani. Dia tidak tahu siapa orang ini dan bagaimana kemampuannya. Bisa saja berbahaya. Si gemblung Hantu seperti mengenalnya. Siapa dia?

Dia menunjuk ke arah pria asing gitu, “Woy lah, coek! Kita belum saling kenal, tapi kamu sudah mau macam-macam denganku? Hahahaha. Ganda ya nyawamu, bocah!? Hahaha! Kamu tidak kenal siapa aku!? Wikipedia-mu rusak atau gimana? Hahaha. Siapa sih kamu!? Sumpah dah! Penasaran!”

Tak peduli pada om BMW, Pria yang sepertinya keturunan asing itu mengangkat tangan dan membuka telapak tangannya ke atas, seperti menadah hujan. Tak lama kemudian, ada angin kencang memutari tubuhnya. Ia berbisik merapal jurus.

“Aku menawarkan kontrak, untuk menurunkan binatang gaib yang menari di langit.”

Om BMW mengerutkan kening, jurus apalagi ini?



.::..::..::..::..::.



.:: SEMENTARA ITU




Mox mempersiapkan kedua tangannya. Ia menyeringai, “Harooo. Sepertinya ini tidak adil bukan? Raja diraja mahasuhu yang dipertoan agong Rahu Kala saja sudah repot dihadapi, sekarang ada beruang kutub gundul yang semua badannya bengkak ini juga… apa yang harus aku lakukan? Huhuhu, what am I supposed to do?”

Rahu Kala bersidekap sementara di sebelahnya, Hageng mendengus. Pemuda itu melirik ke arah Rahu yang sepertinya tidak berminat bertarung melawan Mox.

“Apa lagi? Kenapa diam zaja?”

Rahu mengangkat bahu tanda cuek, “Yang kali ini tidak menarik, tidak ada perlunya bertarung melawan dia. Yang kita perjuangkan di sini apa? Bukan kepentinganku. Bukan pula sesuatu yang menarik bagiku. Bahkan sang Raja Naga pun pergi meninggalkan kita.”

“Cih, piye zih? Zeperti yang Nanto bilang, kita ke zini demi menyelamatkan ziza keluarga Trah Watulanang. Anak dari om Janu termazuk ke dalam Trah Watulanang. Nanto bilang dia tidak ingin keluarganya menjadi korban lagi – zekalipun itu dari pihak muzuh. Zudah jelaz zeperti itu perintahnya bukan? Apalagi yang mau ditanyakan? Katanya berzumpah zetia pada Raja Naga dan menjalankan perintah. Kok zonk?”

“Lain kali kalau bicara itu dipikir,” Rahu Kala mencibir dan masih cuek, Ki-nya sama sekali tidak dinyalakan, “Tidak harus kita bertiga yang turun untuk menghadapi orang-orang seperti mereka, ini sih urusan remeh. Sang Raja Naga sudah menjadi Raja Naga, dia bebas menyuruh siapa saja yang jauh lebih rendah darinya untuk menyelamatkan siapapun. Tidak selayaknya Raja Naga dengan ilmu kanuragan setinggi itu melakukan penyelamatan remeh temeh semacam ini. Kenapa harus turun tangan sendiri? Seharusnya dia membentuk pasukan khusus seperti Empat Belati, Empat Perisai, Empat Anak Panah, atau yang kelas dua tak seperti Tiga Gentho dari Bondomanan. Tidak perlu menurunkan pendekar kelas A.”

Mox terkekeh mendengar percakapan dua lawannya, “Pertikaian antar kekasih sepertinya. Trouble in paradise? Baru mau tarung udah ribut duluan. Benar-benar seperti citizen dunia Wakanda kalian ini. Sangat khas negeri enam dua. Wuahahahahaha.”

“DIAM!” Rahu Kala dan Hageng sama-sama membentak Mox.

Bule Gila itu tertawa sembari mengangkat tangan, “Woah. Kalo sudah kompak ternyata kompak beneran. Duet dua menara kembar. Omong-omong, apakah kalian berdua sudah pernah ke Malaysia? Ada kembaran kalian namanya Petronas.”

Hageng mencibir. Lelucon yang tidak lucu.

Meskipun cuek, tapi sang Dewa Iblis masih mencoba mengamati lawan. Biar bagaimanapun dia tidak mau gegabah. Rahu mengernyitkan dahi, ia menatap ke arah Mox dengan pandangan curiga.

“Orang ini sangat percayadiri. Sepertinya dia memiliki ilmu kanuragan yang unik dan menarik, ilmu yang bukan berasal dari budaya lokal. Dia tidak serta merta menjadi pendekar Kelas A dengan cara curang. Bangsat satu ini memiliki sesuatu yang menyeramkan. Pantas saja dia berani menentang Janu secara blak-blakan.”

“Apa yang kamu dapatkan, Pak Tua?” tanya Hageng setengah berbisik, “Zepertinya kamu mengamati dia lumayan dalam. Apakah ada yang perlu diawazi?”

“Hrmph. Dasar bodoh, makanya manfaatkan aura Ki-mu dengan baik. Mampu membaca kekuatan dan gerakan lawan termasuk salah satu cara memenangkan pertarungan. Sudah diajarin masih aja tanya melulu,” Rahu Kala meski enggan, tapi sedikit banyak telah mengajarkan Hageng bagaimana cara mengelola Ki dan energi-nya.

“GRAAAAAAAAAAAAAAAWWLLGGHHH!”

Lantai berderak dan berdenyut dalam suasana panas yang melanda dari berbagai penjuru. Rumah yang terbakar kian dahsyat mengurung ketiga petarung dalam arena yang semakin menciut dengan cepat karena batas mereka dengan api kian mengecil tanpa ada kawanan jago api nan menyurut.

Bagai gempa kecil melanda, tanah beriak seperti ombak.

Hageng dan Rahu Kala terkejut, mereka menengok ke arah lawan. Mox yang tentu saja berkulit putih kini tiba-tiba saja kini berubah menjadi hitam, bukan kulit hitam seperti african american, tapi hitam yang menyelimutinya bagaikan siraman cairan pekat. Efek itu membuat tubuh Mox laksana tersiram oli bekas nan lengket yang berpendar hitam.

Si Bule Gila membuka matanya yang memerah pendar, mulutnya menyeringai dan memamerkan lidah yang menjulur panjang.

“Apa-apaan ini? Pak Tuaaaa!? Cegat kekuatanyaaaa!” Hageng menyalakan Ki-nya dengan lebih besar, ini sudah bukan saatnya bermain-main, ia terkejut melihat penampilan Mox bisa berubah menjadi hitam, “Kok dia jadi kadal begituuuuu!?”

“Ilmu kanuragan yang dahsyat! Begini baru seru!” Rahu Kala menyeringai, “buat apa dicegat? Biarkan saja dia memamerkan ilmu kanuragannya. Dengan begitu, kita bisa menghadapinya saat dia mencapai puncak!”

Rahu meloncat dengan anggun dan berdiri berkacak pinggang di hadapan Mox tanpa rasa takut sedikit pun, “Ilmu apa ini? kamu dapat dari mana? Menarik sekali.”

Hageng melotot, “Njir! Zi tua bangzat ituuu! Malah zuka dooong!”

Mox tersenyum sambil memiringkan kepalanya ke kanan dan kiri, “Kuperkenalkan kalian berdua pada sebuah konsep estetika ala Jepang. Konsep yang menggambarkan keanggunan dan kesederhanaan yang dicapai secara alamiah. Sebuah konsep yang ditandai dengan fokus pada hal-hal esensial dan menolak keterlibatan terhadap hal-hal yang berlebihan ataupun flamboyan. Prinsip yang muncul dalam seni, karya desain, ataupun dalam kehidupan…”

Aura Ki Mox menyala. Ada pendar kuning menyala di sekeliling tubuhnya. Lantai tempatnya berpijak bergemeretak dan pecah menjadi kepingan kecil. Matanya yang merah masih terus menatap ke arah Rahu Kala dan Hageng secara bergantian.

Suara Mox berubah, seperti seekor monster yang bersuara serak, seperti iblis dalam film Exorcist, seperti hewan buas yang mengincar mangsa, “Konsep ini disebut… Shibumi, dan ini adalah teknik Pagoda Hitam dari ilmu Pengubah Otot.”

“Dari yang aku dengar aku pikir seorang Joe Moxon tidak pernah memakai ilmu kanuragan? Kenapa tiba-tiba memakai jurus seperti ini?” Hageng mengerutkan kening.

“Kau pikir berhadapan dengan Rahu Kala bisa mudah saja dengan tangan kosong? Jangan pikir aku bodoh, stupid a-hole,” Mox nyengir lebar memamerkan gigi runcing berjajar. Ia lantas tak berhenti, terus menerus membuka mulutnya lebar-lebar dan terdengar raungan kencang keluar dari mulutnya. “HROAAAAAAARRGHHH!”

Kekuatan hebat membahana, terjangan kekuatan membuat terkejut Hageng dan Rahu Kala. Keduanya tak menduga dari raungan itu bisa muncul serangan. Ini mengingatkan pada Raungan Singa Emas milik almarhum Amar Barok. Tapi ini bukan sembarang angin, angin itu membentuk puting beliung memusat.

Hageng mundur beberapa langkah ke belakang. Sekuat apapun ia bertahan, terjangan kekuatan menghembusnya. Ia bahkan harus menekan ke bawah dengan sangat kuat, mengeluarkan Ki dan meningkatkannya hingga 90 persen. Tangan Hageng mencengkeram satu pinggiran tiang besi untuk bisa bertahan.

“Grrr… zi-ziaaaaaaal! Dazar manuzia abab! Bau jigongmu itu bangzaaaat!!” bagaikan tersambar angin ribut, Hageng harus bertahan dengan mencengkeram pancang besi yang untungnya kokoh. Kencang sekali angin yang dikeluarkan manusia bule laknat itu. Debu-debu berterbangan, barang-barang kecil terlontar, dan mengudara. Ada tornado kecil di dalam rumah yang terbakar, membuat badai itu menjadi lebih berbahaya karena sesekali si jago api akan turut dalam api yang melingkar.

“Hrrrrrrrrghhh!”

Brkghh!

Dengan sekuat tenaga, Hageng menjejakkan kakinya ke lantai. Ubin pun retak dan pecah karena kuatnya tenaga yang ia keluarkan. Pertama satu kaki, setelah cukup dalam ia menapak, giliran kaki kedua.

“Hrrrghhhhhhhhhhhhh!!”

Brkghh!

Kedua kaki Hageng sudah menapak dalam, menembus ubin, menembus dasar. Ia mencengkeram pancang besi dengan sangat kuat. Edan. Seperti inikah kekuatan dari seorang Mox? Pantas saja dulu pernah masuk ke dalam Empat Perisai QZK.

Kalau dia kerepotan bagaimana Rahu Kala?

Sulit melihat ke depan walaupun jarak mereka tak begitu jauh. Debu yang memutar dan berbagai perangkat yang berterbangan di udara membuat jarak pandang hanya bisa beberapa sentimeter ke depan saja. Amat tebal. Belum lagi asap dan api yang kadang menyertai masuk ke dalam tornado kecil di dalam rumah. Semua membuat Hageng terengah-engah, paru-parunya terpaksa menghirup debu dan asap, sesak rasanya.

“Hffh… hffh… hffhh… uhuuukkghhh! Bangzaaaaaaaaat!”

Bledaaaaaaaaaaaaaaaamnn!

Terdengar suara tepukan kencang terjadi. Tepukan yang teramat kencang dan dahsyat sehingga tornado yang tadinya mengamuk langsung buyar seketika. Sisi-sisi rumah yang sudah rapuh roboh dan ambruk tak lagi mampu bertahan. Debu menghilang, langit-langit tak lagi ada, cahaya mulai terang, barang yang berterbangan kini berjatuhan, atap sudah terbuka dan menunjukkan bintang gemintang di atas awan.

“Hffh… hffh… hffhh…” Hageng masih terengah-engah dan mencoba menormalkan pernapasannya. Ia melirik ke depan dan melihat Rahu Kala menyeringai ke arahnya. Sudah pasti Rahu Kala-lah yang menghentikan tornado mini buatan Mox tadi, “Hffh… hffh… hffhh…! Heh! Kambing Tua! Kenapa tepok tangannya tidak zedari tadi? Zezak ini napaz!”

“Diam saja kamu. Menyingkirlah. Jangan jadi beban.” Rahu Kala tertawa. Ia lantas menunjuk ke arah Mox yang masih berbentuk bayangan hitam pekat dan licin, “Tidak buruk tapi juga tidak terlalu hebat. Hahahaha. Menyenangkan sekali bermain-main angin, Iblis Hitam Shibumi! Pasti kamu jago sekali kalau bermain layang-layang.”

“Pfft.” Mox mencibir dan tersenyum, hanya bibir memerah dan lidah panjang yang mengerikan yang terlihat. Rahu Kala benar, dalam mode Pagoda Hitam begini, Mox terlihat seperti iblis yang berwarna hitam. Terlebih lagi rambut Mox kini menjuntai ke atas mirip seperti dua tanduk di kanan dan kiri dahinya.

“Zatu-zatunya Pagoda yang aku tahu, itu paztillez. Permen pelega tenggorokan.” Hageng berkelakar sembari kembali berdiri sejajar dengan Rahu Kala. Keduanya menghadap langsung ke Mox dengan jarak sekitar tiga meter. Di sekeliling mereka, apa yang dulunya rumah kini membentuk lingkaran yang belum terbakar, api di pinggir lingkaran itu padam, tapi jika diurut membesar dari lingkaran itu, rumah sudah luluh lantak dan terbakar hebat. Ketiganya benar-benar berada di tengah-tengah ring of fire. Kalau tidak digdaya, mereka akan mati gosong terbakar hidup-hidup.

Tiba-tiba Rahu Kala mengerutkan kening, hidungnya bergerak-gerak seperti mengendus sesuatu di tengah kebakaran yang memberikan berbagai macam bau bercampur. “Ada sesuatu yang…”

Kboooooooooooom!

Terdengar ledakan dari belakang, dapur rumah besar itu roboh dan hancur. Goncangannya begitu besar sampai ke posisi ketiga orang itu berada. Bisa dipastikan ada sesuatu yang meledak. Langit-langit runtuh, tembok roboh, dan yang bisa terbakar pun terbakar. Teriakan-teriakan terdengar dari luar rumah – termasuk sirene, mobil kebakaran akhirnya masuk setelah massa yang khawatir kebakaran akan menyebar mulai panik.

“Uhukkkghh! Hkkgh!”

Hageng terbatuk dan maju selangkah, wajahnya juga mulai hitam dan kotor, “Zudah cukup. Zaatnya kita zelezaikan dengan cara purba. Beradu ilmu kanuragan.”

“Kalau tidak mau mati sesak napas, aku sarankan kita sudahi saja pertarungan ini,” Mox tersenyum lagi, “win-win solution bukan? Apalagi kamu sekarang berhadapan langsung denganku. Pertarungan ini bakalan berat sebelah karena hanya satu lawan satu.”

“Cih. Win-win zolution apanya… kalau zampai kamu lepaz, itu artinya…”

Seperti ada yang aneh. Tapi apa ya?

“Itu artinya…”

Hageng melirik ke samping.

Lho!?

Wedhus mangan kimchi!

Sang Dewa Iblis sudah tak lagi berada di samping Hageng!

Sang T-Rex mengejapkan mata karena terkejut. Kemana lagi si kambing tua itu sekarang? Masa kabur begitu saja!? Hageng celingukan ke kanan dan kiri. Wedhus! Jangan-jangan ia meninggalkannya sendirian saja menghadapi si iblis jeliteng yang habis kecemplung tungku gorengan ini? Mencari dengan kebingungan, Hageng tak kunjung menemukan sang rekan sesama Hulubalang Raja Naga.

Hageng menghentakkan kaki ke lantai dengan kesal, ia berulangkali mengumpat, “Ngizing neng kebooon! Pak Bendooot! Neng ndi koweeeeee!?”

“Hahahahaha. Kamu ditinggal ya?” Mox kembali tertawa lepas, “lucu sekali persahabatan kalian. Diajak berantem malah kabur. Hahahaha. Seriously, Bro. This is hillarious.”

“DIAM KAMU!” Tak ada lagi kawan, Hageng terpaksa bersiap-siap dan memasang kuda-kuda, “Ya wez lah. Pancene wedhuz. Dia pergi pun tidak mazalah. Aku zendiri zudah cukup!”

“Yakin?” Mox nyengir, memperlihatkan barisan gigi runcing yang tak sedap dilihat. Seolah-olah ia benar-benar berubah menjadi sosok iblis hitam yang menyeramkan. Hageng kesal tapi tidak takut.

“Oh yakin zekali.” Hageng melompat kecil ke depan dua langkah, menyusutkan jarak antara keduanya. Kepalan tangannya ditarik ke belakang hingga ke setengah dada, setelah jarak terpangkas, kepalan itu dilontarkan bak peluru meriam yang diledakkan dari geladak kapal perang.

Shraakkaaatooom!!

Bruaaaaaaaaaaakghhh!


Tembok di belakang Mox hancur berantakan diterpa terjangan pukulan Hageng yang menggunakan Pukulan Geledek-nya. Dengan mudahnya si Bule Gila menghindar, ia beringsut ke kiri. Tubuhnya yang gelap bagaikan berpendar blur di mata Hageng, sudut matanya menangkap bayangan Mox seolah terbuat dari liquid, sangat cair, pergeserannya sama sekali inhuman – tidak seperti manusia, malah mirip seperti gerakan air yang turun dari tempat tinggi ke tempat rendah.

Pagoda Hitam ternyata adalah jurus yang memanfaatkan empat unsur alam.

Di antara anggota kelompok Lima Jari, Hageng tidak secerdas si Gondes ataupun Nanto, tapi dia tahu apa yang dihadapinya bukan apa yang pernah ia hadapi sebelumnya. Kemampuan Mox terus berubah-ubah seenak jidat.

Tadi Mox menggunakan kekuatan angin, sekarang dia bergerak seperti air, kalau memang benar dugaan Hageng, maka masih ada dua unsur lain yang dia kuasai dan sama sekali belum dia keluarkan: tanah dan api.

Tapi itu nanti dulu.

Sekarang saja Hageng kesulitan menebak kemana pria itu bergerak. Gerakan sang lawan sangat fluid sekali, sialan memang. Kadang-kadang Hageng berpikir, kenapa sih dunia tidak adil? Kenapa orang-orang seperti Mox susah sekali mati? Kenapa orang-orang sebangsat Mox justru punya banyak jurus aneh? Pagoda Hitam. Apalagi sih!? Dia ini hidup di jaman apa sih?

“Jangan melamun saat bertarung, ya big slow cow. Kemampuanmu ecek-ecek. Aku beri satu petunjuk kalau pengen naik kasta. When nothing is done, nothing is left undone. True mastery can be gained by letting things go their own way,” Mox meledek Hageng.

Beruntung sekali, Hageng tidak mendapat nilai bagus dalam TOEFL sehingga dia tidak paham apa yang diucapkan si Bule Gila karena aksennya yang sangat native speaker. Hageng sampai saat ini tidak bisa melihat Mox yang terus bergerak berkeliling.

Hageng memutar ke kanan dan ke kiri. Tiap kali ia ke kiri, Mox bergerak ke kanan, tiap kali ia ke kanan, Mox ke kiri.

Sbruaaaaaaaagkkkhhh!

“Hkkkghhh!”

Tubuh Hageng melayang saat satu kepalan menghantam rahang kanannya. Matanya terkatup merasakan hentakan yang menyakitkan. Sebelum ambruk ke bawah, Hageng membuka matanya yang menyala galak.

“Ziaaaaaaalaaaan!”

Tubuh sang T-Rex berputar dan ia mendarat dengan aman dengan dua kaki menapak ke lantai. Meski denyut rasa nyeri di rahang membuatnya geram bukan kepalang, Hageng tak akan menyerah di pukulan perdana.

Pemuda bertubuh bongsor itu kembali berputar. Mana si Mox? Kepala Hageng memutar, mencoba menemukan si kulit putih yang bermandikan oli tadi, tapi ia masih tidak bisa menemukan sang lawan.

Mana dia? Mana si Bule Gila itu? Bangsat! Tidak akan dua kali ia bisa menghantam Hageng lagi! Tidak akan dua kali dia…

Sbruaaaaaaaagkkkhhh!

Bgkkh! Bkkkgh! Bkkgh!


Memang tidak dua kali. Tapi justru tiga kali pukulan menghantam rahang Hageng! Kepalanya terlempar ke kanan dan kiri beberapa kali. Setelahnya tubuh Hageng terputar beberapa kali dan jatuh berdebam di lantai.

Bmmmmmhhh!

Semuanya terjadi tanpa sekalipun Hageng bisa melihat serangan dan di mana Mox berada. Cepat sekali. Terlalu cepat. Sial. Hageng yang jatuh terlentang bangkit dengan rahang yang semakin sakit. Ia menggerakkan rahangnya yang terasa sebah.

Hageng kembali bersiap. Sebenarnya ada untungnya serangan dari Mox itu cepat, karena hantamannya ternyata tidak terlampau kencang – walaupun masih membuat kepalanya pening bukan kepalang. Karena terlalu cepat, dampaknya tidak terlalu besar.

“Kalau hanya zebegitu zaja, aku tidak akan jatuh, Bule Gila. Pukulanmu kurang…”

Hageng menengok ke samping, ada pancaran Ki menyala. Satu kepalan yang berpendar dengan aura hitam berselimut cahaya kuning meluncur bagaikan komet ke arahnya. Cepat, bertenaga, dan makin lama makin mengerucut.

Hageng hanya bisa mencoba mengangkat tangannya untuk bertahan. Kalau kecepatannya seperti ini, dia tidak akan bisa menyerang balik!

Shrakaaaaboooooooom!

Hageng terlontar ke belakang dengan kecepatan tinggi. Ia menghantam sebuah tembok yang langsung ikut luruh ke belakang. Pemuda berbadan bongsor itu mengerang kesakitan sembari terlentang, tulang-tulang di punggungnya terasa remuk sementara wajahnya bagaikan dihantam oleh truk.

“Kkkgh. Zial.” Sang T-Rex mencoba berdiri, tapi dia bahkan tidak bisa membuka mata. Rasanya berat sekali, wajahnya terasa sakit. “Hgkkghh.”

Hageng yang tak bisa membuka mata mendengar langkah kaki.

Suara dari Mox terdengar, “This is it? Sudah begini saja? This is embarassing. Masa hanya segini saja kemampuanmu? Hanya segini saja kemampuan wakil Aliansi? Aku belum mengerahkan semuanya dan kamu sudah terkapar. Kamu membuat malu Raja Naga. Sungguh tidak merata kemampuan kalian. Betapa buruknya kualitas Aliansi. Kalian tidak akan pernah bisa menggantikan QZK di utara kalau begini caranya. Heheh.”

Hageng terengah-engah. Kegeraman, emosi, dan rasa sakit menyatu. Pemuda bongsor itu mencoba berdiri. Satu hal yang selalu ia ingat saat sedang terjatuh begini: ucapan Hasna. Gadis itu tidak pernah mengeluh dengan sikapnya yang kini lebih ketus atau lebih labil, dan justru selalu mendukungnya.

“Kamu harus selalu berdiri tegak, Mas. Apapun yang menjatuhkanmu itu pertanda bahwa jalanmu tengah dibentangkan. Terserah bagaimana kamu menyikapi. Akankah kamu langsung bangkit, mundur sementara, atau menyerah dan mundur untuk selamanya. Apapun keputusanmu, aku akan menunggumu di sini. Kemanapun kamu pergi, pastikan kamu pulang kepadaku. Aku di sini, Mas. Aku memang lemah dan tak berdaya dengan kaki yang tak bisa digerakkan ini, tapi kalau kamu butuh seseorang untuk menjadi rumah untukmu pulang, aku di sini. Aku selalu di sini.”

Hageng mengerang dan bangkit di hadapan Mox yang masih menggunakan form Pagoda Hitam-nya. Ia bagaikan sosok iblis bermata merah. Perwujudannya sama sekali bukan manusia. Entah perjanjian dengan iblis macam apa yang sudah ia lakukan sampai-sampai Mox tidak lagi nampak seperti manusia.

Mox mencemooh, “Dasar bodoh. Mau apa lagi sekarang? Pilih mati cepat atau sengsara. Mau aku tebas kepalamu sekarang atau pilih mati perlahan? Aku bisa saja membiarkanmu terbakar hidup-hidup.”

Hageng menyeringai, “Maza bodoh dengan kematian. Kita zemua akan mati. Tapi aku yakin sekali, sengsara juga sedang mendekatimu.”

“Body of a cow and brain of a donkey. Baiklah kalau beg…” kata-kata Mox terputus.

Hpp.

Mata sang Bule Gila terbelalak seperti hendak meloncat keluar dari lubangnya. Tubuh besarnya bergetar. Mox berteriak, “Haaaaaaaaaaaaaaaarghhhh!”

Bule Gila itu terkejut karena tiba-tiba saja dari belakang, ada tangan yang mencengkeram kepalanya dari atas! Tangan itu begitu kencang dan keras sehingga dirasakan sanggup meremuk tulang tengkoraknya dengan mudah.

“Graaaarrrrrrrkkkkkkkkkkghhhh!”

Kedua tangan Mox langsung mencoba melepaskan tangan yang saat ini mencengkeram kepalanya. Tapi bagaimanapun ia mencoba, ia tidak bisa melakukannya. Wajahnya yang hitam kian gelap. Matanya yang putih dikelilingi oleh garis merah melebar, sebagaimana mulut dan bibirnya yang kian mengerikan dengan gigi-gigi tajam.

Mox sampai berlutut karena tangan itu terus mendorongnya ke bawah.

“Begini saja kemampuanmu?” desis orang di atas Mox. Pria itu menyeringai dengan menyeramkan. Saat itulah Mox tahu dia berhadapan dengan orang yang punya kemampuan tanpa bisa diduga.

“Rahu Kala! Kamu lagi rupanya!” Mox geram.

“Aku mengawasi, aku datang, aku menang. Begitulah.” Rahu Kala nampak bagaikan raksasa, dengan tangan yang tak bisa digerakkan.

Sesaat kemudian wajah Mox berubah menjadi rileks meskipun kepalanya masih berada dalam cengkraman Rahu Kala. Ia tersenyum menatap pria yang saat ini mencengkeramnya sampai-sampai ia jatuh terduduk, Bule Gila yang berlapis selaput hitam itu menyeringai, “baru dua dari empat.”

Rahu Kala mengerutkan kening, “Apa maksudmu?”

Hageng tahu apa yang dia maksud, “Awaaaaaaaaaazzz! Dia belum mengeluarkan zemua kemampuannya!”

Rahu Kala menatap Hageng, lalu menurunkan kepala, menatap ke arah Mox yang kini justru memegang erat lengan Rahu Kala yang masih mencengkeram kepala si bule. Mereka saling mencengkeram. Rahu Kala tertegun, ia mencoba menggoyangkan tangannya.

Tidak terjadi apa-apa. Mox benar-benar membuatnya terjebak bersamanya.

Mox terkekeh, “Tidak bisa hidup bersama, kita mati bersama.”

Brakkkaakabooooooooom!!

Ledakan dahsyat terjadi.

Mox meledakkan kekuatannya dengan tuntas. Cahaya bersinar keluar dari tubuhnya. Cahaya itu lantas menyebar bagaikan menaiki gelombang yang melesat keluar dari tubuhnya. Membentuk lingkaran menyebar keluar seperti cincin Saturnus.

Lingkaran pelindung yang tadinya sempat mengitari dan melindungi ketiga orang itu dari kebakaran yang terjadi kini lenyap. Kebakaran berkobar. Teriakan terdengar.

Rumah di sisi mereka ambruk ke bawah.

Hancur.




BAGIAN 4 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 5

Next :

Apa yang terjadi pada pertemuan KInan dan Asty?
Apa yang terjadi pada Shinta?
Di mana Nanto?
 
maturtengkyu apdetane om @killertomato
makasi apdetnya suhu, semoga lancar RL dan sehat selalu
Mantap

Thanks update nya om
Makasih apdetannya bro @killertomato
Mangztappp suhu.... gazzzzkeunnlahhhh....🔥🔥🔥
Makasih updatenya om @killertomato :beer:

suwun barengan :Peace:
 

Similar threads

Balasan
9.293
Dilihat
2.016.866
Balasan
9.805
Dilihat
1.787.828
  • Locked
  • Poll
CERBUNG - TAMAT JALAK
Balasan
6.446
Dilihat
2.616.154
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd