Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

JALAK v4

BAGIAN 5
DAMAINYA CINTA




“Damainya cinta untukmu.
Yang takkan mungkin hilang semua.
Lembutnya cinta untukku.
'Kan kupeluk selamanya.”
- Gigi




.:: PADA SUATU KETIKA, DI SUATU TEMPAT
.:: DI WAKTU YANG TELAH BERLALU






“Terima kasih.”

Asty tersenyum dan menghapus keringat di dahi sang wanita berhijab yang tengah terbaring di sofa ruang tamunya. Ibu muda itu pun menggelengkan kepala, “Tidak perlu berterima kasih. Memang seharusnya kita saling tolong menolong. Kamu sedang hamil besar begini, kenapa sepertinya ketakutan? Apa yang terjadi? Apa ada yang mengejarmu? Bagaimana kamu bisa menemukan tempat ini? Apakah kamu sudah bertemu Nanto?”

Asty baru tersadar kalau ia memborbardir sang wanita berkerudung itu dengan rentetan pertanyaan tanpa jawaban. Tentu saja hal itu membebani sang wanita muda. Wajah Asty memerah.

“Maaf, aku banyak bertanya.” Asty lantas menyodorkan gelas berisikan teh hangat yang sudah dilengkapi dengan sedotan untuk memudahkan minum sang wanita yang tengah berbaring di sofanya.

Wanita berkerudung itu tentu saja adalah Kinan – kekasih resmi dari kekasih Asty.

“Tidak apa-apa. Justru aku yang seharusnya mohon maaf. Maafkan aku merepotkan ya, Bu Asty.” Kinan mencoba duduk, tapi masih kesusahan sekali.

“Eh eh… jangan duduk dulu. Tidak apa-apa, boleh kok istirahat di sini. Aku tidak bisa mengangkatmu ke tempat tidur di dalam tadi, jadi aku hanya bisa membaringkanmu di sini, Kinan.”

“Te-terima kasih. Ini pun sudah cukup.”

“Perhatikan kesehatanmu dan kesehatan bayimu.”

Kinan mengangguk, ia memegang tangan Asty. “Ibu, ada yang harus aku ceritakan kepada Ibu. Tapi hanya Ibu yang akan paham.”

Asty mengerutkan kening, “Hanya aku yang akan paham? Kenapa aku?”

“Karena aku tahu Mas Nanto juga sayang pada Ibu.”

Wajah Asty memerah. Ia salah tingkah. Pertama karena ia memang saling sayang dengan Nanto, tapi karena alasan yang kedua – Nanto adalah kekasih Kinan. Kinan adalah wanita yang lebih berhak memiliki hati si Bengal, bukan seorang wanita yang lebih tua dan pernah menjadi gurunya. Selain tabu juga aneh jika kisah cinta mereka diketahui publik.

“Aku rasa kita tidak perlu membicarakan itu sekarang, Kinan. Kesehatanmu jauh lebih penting dan…”

“Tidak. Ini penting sekali. Sangat penting.”

Jemari Kinan meremas tangan Asty. Menandakan ia benar-benar serius dalam menyampaikan hal yang ingin ia sampaikan. Asty semakin bingung dan keheranan. Apa yang dimaksud oleh Kinan?

Asty menggeleng, “Maaf. Tapi aku benar-benar tidak paham.”

“Pertama… anak dalam kandunganku ini… anak ini… dia tidak boleh dilahirkan. Aku tidak bisa melahirkannya. Aku ingin sekali melahirkannya, tapi aku tidak boleh melakukannya. Dia akan… dia akan…”

Asty terkejut, jangan-jangan Kinan mau ******?

“Hah!? Kenapa tidak boleh melahirkannya? Bukankah anak itu adalah bukti kasih sayangmu dengan Nanto? Salah apa yang telah diperbuat anak itu sampai-sampai kamu tidak menginginkannya? Dia bahkan belum dilahirkan, jangan melakukan hal yang terkutuk itu, Kinan. Kamu tidak boleh membunuh bayi tak bersalah yang bahkan belum dilahirkan. Apalagi kandunganmu sudah sebesar ini. Anak itu sudah hidup di dalam tubuhmu.”

Kinan bisa menebak arah pikiran Asty, “Bu, aku tidak akan melakukan ****** jika itu yang Ibu sangka. Tidak. Sama sekali tidak. Aku tidak pernah sekalipun memikirkannya. Tapi… jika anak ini dilahirkan… dia akan…”

Kinan terbatuk-batuk. Pertama ringan, lalu tak terhenti, dan makin keras. Tangannya mencoba menggapai kotak tissue yang ada di meja.

“Kinan!? Kinan!!” Asty panik. Ia mengambilkan tissue.

Kinan menutup mulutnya dengan tissue yang tidak hanya selembar dua lembar. Batuk itu pun mereda.

“Kamu kenapa Kinan? Tolong ceritakan padaku. Jika kamu butuh bantuan Nanto, aku akan memanggilnya ke sini sekarang juga! Tapi tolong bantu aku membantumu!”

Kinan kembali memegang tangan Asty dengan erat, “Jangan. Jangan panggil dia. Jangan sekalipun menceritakan kepadanya kedatanganku kemari, Bu. Jangan pernah ceritakan.”

“Hah!? Kenapa?”

Lebih banyak misteri dibandingkan penjelasan yang diterima Asty. Dia benar-benar kebingungan. Kedatangan Kinan ke sini pun sudah misterius, kini ditambah lagi berbagai misteri mengenai bayi dan kenapa perempuan ini tidak mau melahirkannya.

“Berjanjilah dulu, Ibu tidak akan menceritakannya pada Mas Nanto. Berjanji, Bu. Aku akan menceritakan semuanya pada Ibu asal Ibu tidak menceritakan kedatanganku kemari pada Mas Nanto!”

Asty semakin bingung, “Ayolah Kinan. Aku benar-benar tidak paham kenapa kamu tidak ingin diketahui keberadaannya oleh si Kaleng Sard… maksudku Nanto. Dia benar-benar sudah hampir putus asa mencarimu kemana-mana. Kalian benar-benar pasangan yang sangat cocok satu sama lain. Kenapa kamu malah tidak ingin bertemu dengannya?”

“Aku tahu… aku sangat sangat sangat merindukannya. Ta-tapi aku masih belum bisa menemuinya. Suatu saat nanti kami akan bertemu kembali, tapi tidak sekarang. Belum saatnya,” Kinan berkaca-kaca, “berjanjilah.”

“Hhh… aku berjanji.”

“Terima kasih.”

Kinan perlahan-lahan bisa duduk. Ia jauh lebih tenang dan nyaman. Kinan meletakkan tissue yang ia pegang sedari tadi ke tas plastik hitam yang ia bawa-bawa. Asty terkejut ketika mendapati warna merah di tissue yang dibuang oleh Kinan itu.

“Da-darah!?” Asty terbelalak, “Kamu sepertinya harus ke dokter. Tidak boleh diam saja. Ayo aku antar!”

“I-ibu. Aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa.”

“Tapi itu darah!”

Kinan mengangguk, “A-aku benar-benar tidak apa-apa.”

Asty menggeleng kepala, “Ini semua tidak masuk akal, Kinan. Semuanya.”

“Pertama… ya, itu darah. Tapi itu bukan karena penyakit atau berhubungan dengan kehamilanku. Itu karena aku terkena pukulan dari seorang pendekar saat melarikan diri. Jurusnya bernama Tapak Bayangan Es - kalau tidak salah. Ilmu yang… ilmu yang sangat tinggi. Ada kemungkinan aku tidak akan selamat dalam beberapa bulan ke depan jika lukaku tidak disembuhkan.”

“HAHHH!? Begitu itu tidak apa-apa? Serius deh, kamu ini…lalu bagaimana bayinya…? Apakah dia juga akan…?”

“Tapak Bayangan Es tidak akan memberikan efek ke bayiku, bahkan jika kelak dia lahir. Pendekar yang memukulku memastikan hal itu,” Kinan menatap tajam ke arah Asty, “nama pendekar itu adalah Raden Sanjaya. Dia salah satu dari pendekar besar di negeri ini. Powerful dan sangat berkuasa. Kemampuannya bahkan melebihi sang ayah – Ki Juru Martani. Hanya dia yang sanggup menyembuhkanku karena pengaruh racun Tapak Bayangan Es hanya dapat disedot oleh Tapak Bayangan Es itu sendiri.”

“HAHHH!?”

“Sejauh ini aku tidak apa-apa. Tapi semakin lama aku pasti akan semakin lemah. Mungkin aku tidak akan bisa bertahan saat melahirkan anakku ini.”

“Kinan…”

“Meski racunnya mengancam hidupku, Mas Sanjaya tidak pernah berbohong. Aku yakin anakku tidak apa-apa.”

“Kenapa kamu bisa seyakin ini? Jika tubuhmu menyimpan racun, racun itu juga akan ditularkan ke anakmu. Aku tidak…”

“Mas Sanjaya tidak akan bohong. Dia memang menyekapku sebagai tahanannya dengan racun di tubuhku ini sehingga aku tidak bisa lari darinya, tapi dia tidak akan bohong. Apalagi aku juga selalu dicekokin obat yang membuatku linglung dari waktu ke waktu. Beruntung ada yang setiap hari merawatku sehingga selalu bisa sadar.”

“Kenapa kamu percaya kepada psikopat itu?”

“Karena dia menganggapku sebagai istrinya yang telah tiada, seorang wanita yang dijuluki Dewi Rembulan. Masalahnya adalah… dari informasi yang aku dapatkan, Dewi Rembulan sebenarnya masih hidup dan wajahnya benar-benar mirip denganku. Dia mungkin juga melarikan diri dari Raden Sanjaya yang sangat obsesif sekaligus manipulatif.”

“Edan ruwetnya masalah ini,” Asty menghela napas panjang, “Apakah ada orang lain yang sanggup menyembuhkanmu? Supaya kamu tidak perlu kembali lagi pada si edan ini.”

“Mungkin ada… tapi aku butuh waktu untuk mencarinya. Kalaupun tidak ada, aku tidak menyesal dengan semua yang telah aku lakukan selama ini. Aku sebenarnya hanya ingin bertemu dengan Mas Nanto dan orangtuaku untuk terakhir kalinya. Tapi rasa-rasanya itu tidak mungkin terjadi.”

“Lho kenapa? Masalah racun seperti ini kan kamu bisa minta tolong pada Nanto? Apalagi ini terkait dengan bayinya. Dia pasti bisa mencari orang yang bisa menyembuhkanmu. Kenapa malah…”

Kinan menggeleng. Asty paham. Situasinya terlampau rumit untuk dipahami.

“Nah karena sudah mulai membahas anak dalam kandunganku ini, sekarang kita masuk ke masalah yang kedua,” Kinan kembali terbatuk-batuk, tapi tidak lama kali ini, “Selama disekap oleh Mas Sanjaya, aku bertemu dengan seorang ibu - tukang bersih-bersih yang secara rahasia ternyata adalah seorang peramal ulung. Dia sanggup meramal berita yang sebelumnya belum pernah muncul di televisi saat kami disekap, dia bisa meramal siapa yang menang pertandingan bulutangkis, dia sanggup meramal siapa yang datang ke ruang penyekapan kami, kapan, dan apa yang akan dilakukan. Apapun yang terjadi saat itu, dia sudah menceritakannya padaku sebelumnya. Dia sangat baik dan merawatku saat itu. Bahkan mencoba mencarikan aku jalan keluar untuk lepas dari sekapan.”

“Hmm… kamu yakin peramal ulung ini benar-benar peramal ulung? Bukan penipu yang melakukan trik untuk menipumu? Ini bukan tipuan maha besar untuk membuat kamu percaya?”

Kinan menggeleng lagi, “Dia bahkan sanggup meramalkan kematiannya sendiri di tangan Mas Sanjaya. Aku melihat dengan mata kepalaku ketika leher ibu itu dipelintir hingga tewas karena amukan Mas Sanjaya yang memergokinya.”

“Gila. Ini apaan sih? Kenapa sampai ada cerita seperti ini? Kalau tahu dia akan tewas kenapa dia tetap melakukannya? Tidak masuk akal ah, Kinan.”

“Karena meskipun sudah berusaha keras, dia tidak bisa melihat nasibnya sendiri setelah usaha membebaskan aku gagal. Beberapa menit berjalan saat kami mencoba melarikan diri, dia mendapatkan penglihatan dan mengatakan aku tetap bisa bebas. Dia melihat aku akan bebas beberapa hari setelah dia tewas. Dia yang memintaku untuk datang ke sini setelah aku bebas dan harus pergi ke suatu tempat tanpa diketahui oleh Mas Nanto.”

“Untuk apa dia tewas? Sia-sia saja bukan? Kasihan sekali…” Asty merenung sesaat, “tapi aku masih tidak paham kenapa dia menyia-nyiakan hidupnya untuk kamu – yang notabene orang yang baru dia kenal. Janggal sekali rasanya. Dengan semua tipu-daya orang bernama Sanjaya ini, rasa-rasanya banyak hal-hal janggal yang tidak aku pahami.”

“Dia mengatakan ilmu penglihatannya tidak akan punah. Ilmu Peramal Ulung ini akan berpindah ke anaknya tepat saat dia tewas. Ilmu ini konon diwariskan secara turun temurun, dan aku akan mencari anak ibu itu sebagai balas budi sebelum aku juga mati.”

“Kenapa mencarinya? Kamu seharusnya dirawat, bukan malah cari orang ga jelas.”

“Karena aku butuh penjelasan darinya tentang nasib bayi ini.” Kinan mengelus perutnya.

“Kenapa bayimu?”

“Mendiang Ibu Peramal Ulung bilang… anak ini sudah dikutuk sejak masih dalam kandungan. Ketika dia lahir kelak, dia akan lebih banyak memberikan kesedihan pada keluarganya, dibandingkan kebahagiaan.”

“Tuh kan! Aku beneran nggak percaya deh dengan ramalan yang seperti itu. Kinan, masa depan bukanlah hak kita untuk tahu. Masih terbentang luas kemungkinan yang bisa terjadi. Dalam sekapan kamu tidak melihat semua potensi masa depan itu karena pandanganmu tertutup oleh orang-orang yang berusaha mempengaruhimu. Percayalah, bayi ini akan lahir dengan sehat dan baik-baik saja. Kita sebagai orang tua-lah yang harus mengajarinya apa yang baik dan apa yang buruk. Percayalah pada anakmu.”

“Tapi… kelak… kelak dia akan menjadi orang yang menyebabkan kematian mas Nanto.”

“Kinan…”

“Itu sebabnya… itu sebabnya… ibu tidak boleh menceritakan hal ini kepada mas Nanto atau menceritakan kedatanganku kemari. Aku akan menghilang. Aku akan lenyap dari muka bumi ini dan tidak akan bertemu dengan siapa-siapa lagi. Aku akan pergi jauh dari sini. Aku berpesan… jangan biarkan mas Nanto mencariku lagi. Biarkan dia hidup bahagia. Dia berhak bahagia… meskipun itu dengan orang lain.” Kinan sesunggukan, air matanya kini tak terbendung lagi.

Asty menunduk. Dia dan Nanto memang sama-sama saling mengasihi, tapi bukan berarti dia ingin merebut Nanto dari kekasih sejatinya, “Kinan. Aku rasa aku tidak…”

“Orang yang berhak memberikan kebahagiaan untuk mas Nanto itu… tidak boleh Ibu,” bisik Kinan dengan tegas, ia menghapus air matanya yang terus turun di pipi, “inilah alasan berikutnya kenapa aku datang kemari. Aku hendak memberikan peringatan.”

Asty terkejut, “Hah!? Apa maksudmu?”

“Karena jika Ibu kelak menikahi mas Nanto… Ibu juga akan menyebabkan kematiannya dan orang-orang lain di sekitar kalian.”

“Ramalan lagikah ini? Kinan… sudah kubilang dari tadi… aku tidak akan percaya dengan…”

“Karena Ibu juga telah terkena kutukan sejak melakukan hubungan intim dengan mas Nanto. Ibu dan anak-anak Ibu tidak akan pernah bisa hidup tenang jika ini semua dilanjutkan. Berapa kali Ibu hendak diperkosa orang? Berapa kali Ibu hendak terbunuh? Kenapa suami Ibu sampai terbunuh? Itu semua merupakan garis besar dari kutukan ini.”

Asty tertegun. “Ba-bagaimana kamu tah…”

Jemari Kinan erat meremas tangan Asty.

“Kutukan itu tidak bisa terhindarkan. Karena sesungguhnya untuk kejayaan mas Nanto… dibutuhkan tumbal.”



.::..::..::..::..::.



.:: SEKARANG
.:: DI SUATU TEMPAT






Bian terus menerus mempermainkan Shinta yang berteriak-teriak. Pemuda itu lantas melepaskan Shinta, dan melucuti pakaiannya sendiri sementara sang dara meringkuk ketakutan.

Bian memeluk Shinta dari samping, mencium pipinya, dan mencium telinganya.

Shinta terengah-engah, keringatnya deras mengalir. Matanya terbelalak karena ketakutan. Kemudian ia berteriak sangat kencang.

Seperti ada sesuatu yang masuk menembus liang cintanya dalam-dalam, tapi… ternyata itu hanya perasaannya saja. Penis pria itu menggantung tepat di pintu liang surgawinya, namun tidak dimasukkan. Jemarinya juga tidak ada di sana.

Untuk sesaat Shinta merasa aman, tapi dia tahu ancaman itu masih tetap ada.

“Bersiaplah.”

Shinta terbelalak. Apakah XD Tujuh baru saja berbicara kepadanya? Robot angkuh dan diam ini mengajaknya bicara? Shinta merasakan ujung gundul kemaluan sang pemuda mengelus bibir vaginanya. Gadis itu memejamkan mata.

Maafkan aku, Mas Deka. Aku tidak bisa mempertahankan

Lalu lampu mati mendadak.

Shinta terkejap dan langsung membuka mata. Apa yang terjadi? Suasana ruangan yang sudah gelap menjadi semakin gelap karena semua cahaya tiba-tiba saja padam, termasuk speaker dan CCTV di atas mereka. Tentu saja CCTV itu masih punya cadangan baterai.

Tubuh pria yang tadi ada di atasnya tiba-tiba bergerak dan menangkup tubuh telanjang sang dara. Shinta hendak berteriak, tapi mulutnya dibekap oleh sang pria. Dia… dia akan segera diperkosa di dalam kegelapan yang mengerikan ini! Celaka! Anggota Lima Jari ini, Bian… dia akan memperkosa Shinta!

Ah tidak… dia bukan Bian, dia kini dikenal dengan nama XD Tujuh sang Pembunuh Naga.

Pria itu mendekatkan wajahnya ke pipi Shinta. Gadis itu pun meronta. Ia berontak sejadi-jadinya. Tapi dekapan Bian membuatnya tak bisa bergerak. Sampai kemudian sesuatu terjadi. Shinta yang tertegun tak bisa bergerak karena kagetnya.

Bian berbisik di telinga Shinta.

“Kita hanya punya waktu sekejap sebelum listrik kembali nyala. Jangan berteriak, jangan banyak bergerak kecuali jika aku desak, teruslah mengikuti gerakanku naik turun, yaa… begitu. Dengarkan semua yang aku ucapkan karena ini penting untuk keselamatanmu.”

Shinta mengerutkan kening. Hah!? A-apa ini? Mulutnya dibekap. Kata-katanya tak keluar, dia hanya bisa berucap dalam hati.

Apa yang…!?

“Sshh… sebelumnya aku minta maaf atas apa yang telah aku lakukan tadi. Aku tidak punya banyak waktu untuk memperingkatkanmu jadi aku langsung melakukannya karena ingin memberikan kesan kita sedang melakukan-nya. Paham?”

“Mmmhh!” karena mulutnya dibekap, Shinta tidak bisa mengucapkan apa-apa.

“Jika aku melepaskan mulutmu, janji kamu tidak akan berteriak dan melawan? Sekali lagi ini penting untuk kita berdua.”

Shinta mengangguk.

Bian melepaskan tangannya dari mulut Shinta.

“Kenapa… apa… maksudku… apa yang…!?”

“Sshhh.”

Shinta terdiam.

“Aku tahu kamu bingung, dan itu wajar saja. Yang penting kamu tahu kalau aku tidak akan menyakitimu. Jika sebelumnya aku melakukan hal-hal yang buruk padamu, atau kenapa kita harus melakukan adegan telanjang ini, itu karena kamera CCTV-nya mengarah tepat ke kita. Aku harus seakan-akan memperkosamu untuk meyakinkan orang-orang jahanam di sana bahwa aku sudah mereka cuci otak – padahal tidak seperti itu keadaannya. Saat ini, kita sama-sama tahu aku bukanlah orang seperti yang kamu pikirkan. Aku akan mengeluarkanmu dari sini… tapi itu tidak bisa aku lakukan sekarang.”

“Bagaimana aku bisa percaya?”

“Tidak ada waktu untuk memberikan banyak bukti. Aku hanya minta kamu percaya padaku. Aku tahu kamu kekasih Deka. Aku harap kamu tidak menceritakan rahasia kita ini saat nanti kita keluar dari sini.”

“A-aku sudah telanjang, kamu sudah telanjang. Apa yang setelah ini kita lakukan?”

“Aku tidak akan memperkosamu, tapi aku akan melakukan gerakan seakan-akan sedang memperkosamu, aku minta kamu juga kooperatif demi keselamatan kita bersama. Sebentar lagi listrik nyala dan kita harus berakting melakukannya. Teruslah berteriak dan menjerit-jerit agar efeknya terdengar beneran buat mereka. Mereka hanya bisa mendengar percakapan kita melalui speaker yang ada di ujung sana, sana, dan sana.” Bian menunjuk ke beberapa arah, “aku sudah mengetahui semuanya tentang ruangan ini. Setelah listrik nyala, aku akan kembali berubah menjadi XD Tujuh sang Pembunuh Naga yang seakan-akan sedang menyetubuhimu.”

“Apakah… mati listrik ini juga ulahmu?”

“Betul. Aku bekerja sama dengan seseorang di luar sana. Aku butuh jeda waktu untuk menceritakan ini kepadamu jadi kami mengambil resiko ini.”

Deru napas kedua insan itu sama-sama saling terdengar, bukan karena napsu, tapi lebih karena suasana tegang yang mereka hadapi. Shinta terengah-engah, dia mencoba menatap wajah Bian dalam kegelapan, tapi ia tidak bisa melihat apapun.

“Baiklah aku akan berakting. Aku percaya kepadamu. Mudah-mudahan kamu mengatakan yang sebenarnya.”

“Aku minta maaf karena harus menyentuh tubuhmu.”

“Ti-tidak apa-apa. Asal jangan keterusan saja,” wajah Shinta memerah, untung saja suasana gelap sekali sehingga Bian tidak dapat melihatnya, “bagaimana kamu bisa lolos dari jebakan cuci otak mereka dan mengapa kamu tetap di sini dengan menyamar sebagai robot? Bukankah kamu bisa pergi dengan bebas?”

“Kenapa tidak bisa di-hipnotis? Mungkin karena aku punya sesuatu yang disebut Hikayat Pemuja Langit. Hal itu melindungiku dari serangan eksternal secara default. Aku tetap bertahan dan menyamar sebagai robot karena aku ingin menginfiltrasi kelompok mereka lebih jauh. Aku ingin tahu siapa saja yang ada di kelompok ini, apa kekuatan mereka, dan bagaimana menghadapi mereka. Hal itu hanya bisa kulakukan kalau mereka percaya padaku. Penangkapanmu menambah satu alasan lagi kenapa aku harus bertahan, karena aku harus membebaskanmu.”

Lampu ruangan berkedap-kedip.

“Sepertinya sebentar lagi akan nyala, bagaimana kamu akan mengeluarkanku dari sini?” bisik Shinta.

“Aku belum tahu. Tapi aku akan mencari cara dan kesempatan. Teruslah berdoa. Kita sama-sama berharap tidak ada hal buruk yang terjadi selama kita mencari cara.”

“Baiklah.”

“Bersiaplah.”

Lampu kembali nyala terang benderang.

Bian kembali kaku, ia bergerak di atas tubuh Shinta seakan-akan penisnya dimasukkan ke dalam vagina sang dara, padahal diselipkan ke bawah liang cintanya, di antara belahan pantatnya.

“Aaaaaah… ahhh… ahhhhhhaaaaakkkkghh!” Shinta merem melek karena desakan penis Bian itu, tubuhnya tersengal-sengal naik turun, keringatnya deras mengalir karena meski cuma pura-pura belaka, tapi tetap saja ia merasakan penis Bian menyelip di antara belahan pantatnya, dan itu membuatnya sangat-sangat horny. “Le-lepaskan aku! Lepaskaaaan! Lepaskan aku bajingaaaaaaaaaann!!”

Shinta mencoba mendorong Bian, tapi tubuh kokoh sang pemuda tetap bertahan. Bian tetap menggosokkan kemaluannya di belahan pantat sang dara. Ia juga meremas-remas dada Shinta agar semakin terlihat otentik.

“Hhhhh… hhh… hhhh,” suara desahan Bian terdengar teratur namun mengintimidasi.

Shinta berontak tanpa hasil. Tentunya karena itu memang rencana mereka berdua.

Hahahahahah! Luar biasa! Ternyata kalian tetap melakukannya meskipun listrik mati! Hahahaha! Memang bangsat si Bian! Cewek sahabatnya sendiri diembat juga! Waahahahha! Mampus kalian Lima Jari! Kita lihat saja bagaimana setelah ini persahabatan kalian! Mampuuuuuuuusss!

“Ramaaaaaaaaaa!! Bedebah kamuuuuu!! Bebaskan aku! Keluarkan aku dari sini! Ramaaa! Aku akan mencarimuuuuu dan memotong penismuuuuuuuu!!” Shinta berteriak-teriak histeris. Untung saja Bian tidak perlu memandang ke arah CCTV karena ia juga terhenyak dengan akting sang dara.

“Hhhhh… hhh… hhhh.”

Bian terus menggenjot. Lama-kelamaan dia sebenarnya napsu juga, tubuh Shinta sangat indah dan dia memang cantik. Dia bertahan mati-matian untuk tidak terpengaruh dengan kemolekan Shinta, tapi mau bagaimana lagi, meski berpura-pura dia tetap manusia biasa. Kemaluannya pun membesar tanpa bisa dikendalikan.

Aduuuh sompreeeeet! Hahingaaaaan! Kok malah dadi soyo gedheeee!? Kalo semakin besar begini kan repot urusannyaaaa!

Bian melirik ke arah Shinta yang melotot ke arahnya! Sudah jelas dara itu juga merasakan kalau kemaluan Bian semakin besar dan besar dan besar.

Napas Shinta makin tak karuan, berontaknya kian berkurang, ia pun juga merem melek berusaha menahan napsu demi akting kelas rendah. Dia tidak bisa bertahan. Dia tidak bisa. Dia ingin dipuaskan. Dia ingin dimasuki. Tubuhnya menghendaki. Rahimnya menghendaki. Dia ingin disodok, dia ingin disetubuhi, dia ingin dihamili. Dia…

Ahh siaaaaaaaaaal! Apa yang baru saja aku pikirkan!?

Shinta berteriak kencang sekali – membuat ekspresi yang tak pura-pura lagi. Dia memang tak tahan dengan semua ini.

“Aaaaaah… ahhh… ahhhhhhaaaaakkkkghh!” Dara jelita itu mencengkeram pundak Bian dan mencakarnya dengan kukunya yang tajam. Menggoreskan luka tipis yang menggaris di pundak sang pemuda.

Bian mendengus keras dan mengencangkan sodokannya. Dia menatap wajah cantik di bawahnya. Untuk sesaat dia tertegun, lalu kembali memaju-mundurkan pinggul.

Sial. Kenapa ayu banget si Shinta ini yah? Kalau begini terus, lama-lama aku tidak tahan untuk melakukannya! Siaaaal!

Napas Shinta menderu, keringatnya mengalir deras, gadis itu pun membenamkan kepalanya di leher Bian agar tak terlihat CCTV, tangannya memeluk sang pemuda sementara Bian terus menggoyang pinggangnya dan menyodok-nyodok Shinta. Gadis itu pun berbisik pada sang pemuda.

“Masukkan… masukkan saja… tidak apa-apa… masukkan sajaaaa… aku tidak tahan lagi. Aku tidak tahan… aku tidak bisa…”

“Tidak… bertahanlah… tetap bertahan… demi Deka… bertahanlah. Kita pasti bisa… jangan berbisik lagi… berbahaya… berbahayaaaa…”

“AHAAAAAAAAAAAAAKKKGHH! AAAAH!! AHHHH! AHHHHHH!”

Shinta berteriak-teriak kencang sebagai lampiasan emosi, amarah, dan napsu tertahan yang menggelora. Dia harus bertahan. Dia harus bisa bertahan.

Tiba-tiba terdengar mic kembali berbunyi di speaker. Awalnya dengung, lalu suara Rama yang berbicara.

Wahahahaha. Sepertinya seru sekali! Kalian benar-benar hot di sana! Wah kalau begini aku jadi tidak tahan! Aku harus turun ke bawah dan menonton kalian secara langsung! Hahahahah! Setelah si bodoh itu selesai memperkosamu, maka giliranku memberikan malam terindah dengan membobol anusmu, Shinta! Hahahaha! Bersiaplah! Aku turun ke sana!

Baik Bian dan Shinta sama-sama saling menatap. Keduanya terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Rama. Ini jelas di luar rencana mereka. Bian menggemeretakkan giginya.

Sial!

Semuanya bisa menjadi berantakan dalam sekejap!



.::..::..::..::..::.



.:: DI TEMPAT API BERKOBAR



Gadis itu tersedu-sedu. Dia sendirian dan tidak tahu bagaimana nasib saudara dan ibu tirinya. Dia ketakutan dan kesepian. Tidak ada yang menolong dan membantunya.

“Tenanglah.”

Dahlia mendongak.

Ada seorang pemuda yang tersenyum ada di hadapannya. Pemuda itu cukup tampan dan ucapannya menenangkan. Apakah dia orang jahat?

Sepertinya tidak.

Aura yang keluar dari pemuda itu lembut dan hangat, warna auranya lembut. Dahlia tahu kalau dia bukan orang jahat. Ya. Gadis kecil itu entah bagaimana mampu membaca aura. Sesuatu yang tidak ada seorang pun yang tahu karena itu adalah rahasia kecilnya.

Sang pemuda berjongkok, mensejajarkan posisinya dengan sang gadis muda, “Kamu kuat sekali ya. Orangtuamu pasti sangat bangga padamu. Siapa namamu?”

Di tengah sesunggukannya, Lia berusaha mengucapkan kata, seluruh badannya terasa sakit. Ia tak paham, tapi ada beberapa tulang yang retak, patah, dan geser. Tubuhnya mulai bengkak, lebam, dan membiru.

“L-Lia…”

Pemuda itu tersenyum, “Lia.”

Gadis kecil itu mengangguk. Sang pemuda mengulurkan tangan, “Namaku Nanto.”

“Kak Nanto…?” gadis itu menerima uluran tangan si Bengal. Tapi sulit sekali mengangkat tangannya.

Tangannya sangat lemah, tenaganya mungkin sudah habis, ia juga terluka di sana sini. Badannya penuh lebam, ada luka terbuka, bahkan ada yang bengkak. Pertanda ada tulang yang retak atau lepas.

Ketika tahu Lia kesulitan menggerakkan tangan, Nanto menggeleng dan menepuk pelan punggung tangan sang gadis kecil.

“Betul, namaku Nanto. Tidak perlu salaman, kamu sudah berani sekali. Keren banget.”

Si Bengal menengok ke kanan dan kiri.

Pemuda itu berusaha mencoba membaca peta kekuatan yang terpecah pada arena yang terjadi di tengah kebakaran hebat yang melanda rumah dan sekitarnya. Di halaman depan, pintu gerbang sepertinya sudah mulai dibuka karena terdengar suara nyaring sirene mobil pemadam masuk ke halaman.

Di dalam rumah si Bengal masih bisa membaca Ki besar milik Rahu Kala, Hageng, Pasat, dan Rao. Mereka masih terlibat pertarungan di lokasi lain di rumah yang teramat luas dan halamannya berhektar-hektar ini.

Edan memang kekayaan om Janu, bisa-bisanya memiliki rumah bagaikan istana yang luasnya mungkin bahkan melebihi Kraton sang Sinuhun. Pundi-pundi uang om Janu sejatinya mungkin tak akan habis dimakan tujuh turunan. Sayang dia tenggelam dalam kerakusan.

Tapi tetap saja tempat ini tidak aman, Nanto berbicara kepada Lia, “Nah, sekarang kita harus melakukan satu hal lagi. Kita pindah dulu yuk. Di sini masih terlalu dekat dengan rumah yang terbakar. Tidak aman untuk kita berdua.”

Lia mengangguk dan menurut.

Nanto menggandengnya ke salah satu sudut taman. Dengan sengaja tapi tanpa sepengetahuan Lia, Nanto menyalurkan tenaganya saat mereka bergandengan tangan berdua. Setidaknya bisa menenangkan dan memberikan painkiller sesaat sebelum pengobatan dan penanganan sesungguhnya diberikan.

Nanto memilih lokasi yang tersembunyi, ada rerimbunan pepohonan lebat di samping taman. Dia sadar kebakaran sudah terlalu hebat untuk ditangani, rumah om Janu luluh lantak dimakan si jago api.

Di sana sudah ada Erina yang masih hidup namun tak sadarkan diri.

SI Bengal dan gadis kecil yang ia bawa duduk di atas bagian taman yang membukit dan tinggi, sehingga bisa menyaksikan rumah yang masih terbakar. Gadis kecil itu mengenali sekretaris ayahnya.

“Ta-Tante Erina? Apa dia sudah…?”

“Tidak. Dia baik-baik saja, hanya sedang tidur supaya kalau bangun nanti bisa lebih segar.” Nanto tersenyum. Dia memang sudah memastikan Erina baik-baik saja dan sehat seperti keinginan Erika.

“Be-beneran? Aku takut…”

“Jangan takut, kamu aman bersama Kakak di sini,” ucap si Bengal sambil menyaksikan ke bawah, ke reruntuhan rumah om Janu. Dahlia mendesak ke badan Nanto dan mendekapnya dari samping. Entah ketakutan, entah ingin merasa aman, atau memang terasa nyaman.

Di bawah sana, rumah yang megah itu hancur. Mungkin beginilah ketika membangun sesuatu di atas penderitaan banyak orang, hasilnya nol besar. Semua sia-sia belaka. Semua yang telah dibangun dengan uang haram dan memakan banyak korban, kini luluh lantak ditelan api yang membara. Mobil pemadam gagal mencapai posisi seharusnya dan pada waktunya.

Tak lama kemudian, terdengar dengkuran.

“Lia?”

Nanto menengok ke samping dan mendapati sang gadis kecil tertidur di sampingnya karena kelelahan, karena luka, karena histeria, dan karena trauma. Gadis itu rebah di dada si Bengal.

Nanto tersenyum dan membenahi rambut Dahlia. Entah kenapa dia merasa berkewajiban untuk menjaganya sampai semuanya benar-benar aman. Sayangnya jika ia harus menjaga gadis ini, dia tidak bisa menolong Rahu Kala dan Hageng menghadapi Mox. Mudah-mudahan mereka tidak apa-apa.

Lalu juga ada sosok Hantu yang terbaca sedang berhadapan dengan sosok lain di seberang sana. Negeri di Awan benar-benar menginginkan kehancuran om Janu. Nanto geram. Om Janu memang pantas mendapatkan nasib itu, tapi tidak istri dan anak-anaknya yang tak bersalah. Apalagi mereka termasuk Trah Watulanang.

Nanto sebenarnya tidak tahu, yang mana dari kedua putri om Janu yang merupakan Trah Watulanang karena salah satu dari mereka memiliki aura yang berbeda. Tapi tidak tahu pun tidak masalah, dia harus menyelamatkan mereka semua. Mereka berdua tak bersalah dan tak ada sangkut pautnya dengan masalah yang ditimbulkan om Janu. Semua kesalahan ada pada om Janu dan ambisinya yang membabi-buta, bukan kesalahan anak-anak dan istrinya.

Blgdaaaammmmhhhghhh!

Terdengar ledakan keras di salah satu bagian rumah. Ada cincin energi besar yang membelah secara horizontal yang kemudian diikuti runtuhnya bangunan itu. Nanto tertegun. Itu… kekuatan dari Joe Moxon. Mudah-mudahan Hageng dan Rahu Kala bisa menghadapinya. Nanto mencoba meraba aura dari kejauhan… apakah sang Raja Naga sudah harus turun tangan?

“Kakak… aku takut…” bisik gadis kecil di samping Nanto yang ternyata terbangun karena suara ledakan.

“Ssh… tidak perlu takut,” Nanto tersenyum dan menyeka dahi gadis itu, “semua akan baik-baik saja. Kan ada Kakak di sini.”

“Kakak Tara… Bunda… di mana?”

Nanto tersenyum sembari menggeleng sebelum gadis itu menyelesaikan kalimatnya, “Maaf, tapi untuk saat ini Kakak tidak tahu di mana mereka. Sepertinya mereka tersebar di halaman rumah yang luas ini. Kamu harus tetap berdoa untuk keselamatan mereka ya. Sementara ini, tetaplah berada di samping Kakak. Di sini aman.”

Gadis kecil itu mengangguk, “Aku ikut Kakak saja ya.”

Untuk saat ini Nanto hanya tersenyum dan mengelus rambut Dahlia. Dia tidak ingin gadis itu stress dengan menolaknya. Tapi dia juga tidak mungkin menjaga gadis itu terus menerus. Hal seperti itu sebaiknya dipikirkan belakangan. Yang penting…

Nanto mendengus.

Ada kekuatan besar mendekat ke arahnya.

“Sebentar, Lia.” Nanto berdiri dengan penuh perhitungan, ia menengok ke kanan dan kiri. Lalu ke belakang. Dari mana tenaga besar ini? Dia belum pernah tahu kekuatan seperti ini. Ya. Ini di belakang mereka. Ada yang baru datang dari belakang.

Ada sesuatu yang…

Ada sesuatu yang membuatnya…

Nanto mengerutkan kening, tapi sesaat kemudian ia mendongak, ia menyadari sesuatu yang ia tunggu itu kini datang dari atas. Sesuatu yang datang ditemani suara alunan musik yang terdengar pelan tapi menghantui.

Benar sekali. Ada sesuatu di atas mereka. Lia berpegangan erat ke celana si Bengal, ia ketakutan. Nanto melindungi si gadis kecil.

Selain suara yang ia dengar, terdengar juga alunan unik merdu seperti siulan seruling yang menggema tak tahu darimana asalnya. Iramanya merdu mengalunkan lagu yang tak pernah terdengar sebelumnya, seperti lantunan lagu dari masa lalu. Lagu yang menggema ketika kita tertidur dan tak lagi ingat akan waktu. Seperti dentuman lembut yang memenuhi rongga relung hati yang terdalam. Suara dentuman yang kadang terdengar saat kita tak sengaja terbangun di pagi hari.

“Kami tahu kalau kamu akan kerepotan dengan semua urusan ke depannya. Banyak yang harus kamu hadapi. Jangan khawatir, kami yang akan menjaga gadis itu, Jalak Harnanto sang Raja Naga.”

Nanto mencoba memicingkan mata di tengah malam gelap dan cahaya dari kebakaran hebat di rumah om Janu yang mulai pudar untuk melihat siapa sebenarnya sedang berbicara dengannya. Sang dara muda memeluk kaki Nanto dengan erat, ia takut. Gadis itu ikut menatap ke atas.

Nanto tertegun.

Dari langit, ia melihat tiga wanita cantik jelita turun dari angkasa, mereka bagaikan bidadari, mengenakan pakaian lembut dan halus berwarna kuning yang sudah tidak pernah dikenakan oleh wanita di jaman modern. Ketiganya memiliki kulit yang teramat putih sehingga cenderung pucat, bagaikan mayat hidup yang tak pernah bertemu dengan mentari, rambut hitam mereka digelung ke atas.

Ketiganya mengayunkan selendang dengan lembutnya, seirama dalam satu simfoni yang laju memuja keindahan. Salah satu dari mereka meniup seruling berwarna kuning. Dari dialah melody indah yang didengarkan Nanto berasal.

Mereka bertiga… entah kenapa dan entah bagaimana Nanto tahu mereka berasal dari Perguruan Kuburan Kuno. Sesuatu yang tidak mungkin ia ketahui secara sadar dan secara nalar, mungkin ia tahu berdasarkan bisikan astral yang ia dengar dari Gerbang Kewaspadaan yang selalu menyala.

“Jalak Harnanto. Akhirnya aku bertemu denganmu.”

Nanto mengerutkan kening. Lagu yang dinyanyikan seruling itu berubah, menjadi lebih lembut dan tenang. Melody yang didendangkan meneduhkan sekaligus magical. Sedikit membuat bulu kuduk berdiri bagi mereka yang tak memiliki Ki.

Nanto menatap ke depan.

Di balik ketiga orang yang datang, ia melihat seseorang menyusul turun dari langit dan mendarat di belakang ketiganya. Seorang wanita yang memakai pakaian berwarna kuning yang lebih anggun dari ketiga wanita cantik yang mendahuluinya. Seorang perempuan muda yang teramat cantik dengan rambut panjang dibiarkan tergerai.

Wajah itu!? Bukankah itu…!?

“Ka… kamu…” Nanto tertegun saat melihat wajah perempuan muda itu. Halus mulus kulitnya, ayu wajahnya, tatapan matanya, adalah sesuatu yang tak pernah dilupakan oleh si Bengal.

Dulu maupun sekarang.

“Maafkan aku, tapi aku bukan wanita yang kamu kira,” bisik perempuan itu dengan senyuman lembut, suaranya lirih bagaikan bisikan. Ada kesedihan terlihat di tatap matanya, satu senyum tulus mengembang di wajahnya nan ayu.

Ia mendekat ke arah si Bengal, langkahnya anggun bagaikan tak menapak tanah. Tangannya dihunjukkan ke depan, telapak tangannya mengelus dagu si Bengal. Nanto benar-benar terpesona, wajah ini, sikap ini, sosok ini. Dia mirip sekail dengan sosok seseorang yang sangat ia rindukan.

Nanto menunduk, ia mencium telapak tangan sang wanita anggun itu. Nanto terbata-bata, “Aku sudah mencarimu kemana-mana… aku sudah mencarimu kemana-mana… aku ”

Wanita anggun berbaju kuning itu tersenyum lembut dan menggeleng, “Sekali lagi maafkan aku, aku bukan orang itu, Raja Naga. Aku bukan orang yang kamu cari dan rindukan. Tapi ya. Aku di sini sekarang di hadapanmu. Aku nyata… dan namaku adalah Wulansari. Oleh kawan-kawanku ini, aku dijuluki Dewi Rembulan.”

Nanto terpesona. Ia melirik ke samping, Lia juga ikut kagum dengan kelembutan, keanggunan, dan kecantikan sang Dewi Rembulan. Wanita anggun berpakaian serba kuning itu menatap ke arah sang gadis cilik.

“Halo cantik. Siapa namamu?” sapa Wulansari.

“A-aku Dahlia.”

“Kamu sedang sangat kesakitan ya?”

Dahlia mengangguk. Wulan tersenyum, “Tenanglah. Kamu akan baik-baik saja.”

“Siapa kalian dan apa yang kalian lakukan di sini? Tempat ini berbahaya,” ucap Nanto berusaha mencari maksud kedatangan sang Dewi Rembulan dan murid-murid Perguruan Kuburan Kuno.

“Kedatangan kami adalah untuk menjemput Dahlia,” ucap Wulan.

Dahlia tercengang. Nanto terheran.

“Kenapa? Apa yang akan kalian inginkan dengan…”

“Gadis cilik itu menderita dan tak pantas diperlakukan seperti ini oleh pria-pria di bawah sana. Aku akan memastikan dia sembuh, sehat, dan mampu membalaskan semua kejahatan yang terjadi pada dirinya, ayahnya, dan ibunya – pada orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab.”

“Maksud njenengan? Sumpah saya masih bingung. Tapi saya tidak akan semudah itu menyerahkan Dahlia pada orang-orang yang baru pertama kali ini saya lihat. Maaf, saya tidak akan percaya semudah itu.”

Dewi Rembulan tersenyum, “Sampaikan saja pada si Hantu. Kami akan merawat Dahlia. Kelak mereka akan bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik.”

“Hantu!? Kenapa Hantu?”

“Gadis yang kamu cari, Raja Naga… adalah Tara. Si Sulung. Kami sudah menyelamatkannya dengan bantuan empat orang yang dalam waktu dekat akan bergabung dengan Aliansi sebagai jawaban dari Empat Perisai, Empat Belati, dan Empat Anak Panah.”

“Dengan segala hormat, Dewi… aku tidak… maksudku ya aku akan mencari Tara, akan tetapi Dahlia juga…”

“Jangan khawatir. Mungkin memang membingungkan. Tapi semua akan terang benderang pada waktunya. Saat ini, aku lebih ingin kamu bertemu dengan seseorang.”

Nanto mengerutkan kening. “Siapa? Keempat orang yang njenengan maksud tadi…? Jujur untuk saat ini saya tidak membutuhkan bantuan dari…”

“Majulah ke depan, sang Raja Naga ingin menemuimu,” ucap Dewi Rembulan sambil mengayunkan tangan. Kembali barisan gadis-gadis berbaju kuning itu mengangguk dan membuka jalan. Dari belakang mereka, muncul satu sosok lagi. Seorang wanita. Berbaju kuning… dan berkerudung.

Si Bengal terkejut sampai jantungnya hampir copot! Dia mundur beberapa langkah ke belakang saking kagetnya.

“Ti-tidak mungkin. Ka-kamu…”

Nanto menatap Dewi Rembulan dan orang yang baru datang. Wajah mereka mirip sekali, sosok mereka, tinggi mereka, perawakan mereka yang langsing, begitu mirip bagaikan kembar. Hanya saja yang satu berkerudung dan yang satu lagi tidak.

Nanto bergetar hebat.

“A-aku sudah mencarimu kemana-mana… aku sudah… aku tak pernah berhenti mencari. Tak pernah sekalipun. Aku selalu berharap…”

Nanto bersimpuh di hadapan sosok yang baru datang. Ia menundukkan kepala dengan penuh rasa rindu yang luar biasa menyakitkan. Perempuan itu membungkuk dan memeluk tubuh Nanto dengan rasa sakit yang sama.

“Aku juga rindu, Mas. Rindu serindu-rindunya rindu yang merindu.”

“Aku…”

Nanto tak perlu mengucapkan apa-apa. Ia hanya memeluk dan tak ingin melepaskan.

Tak akan dia lepaskan.





BAGIAN 5 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 6
 

Similar threads

Balasan
9.293
Dilihat
2.016.866
Balasan
9.805
Dilihat
1.787.828
  • Locked
  • Poll
CERBUNG - TAMAT JALAK
Balasan
6.446
Dilihat
2.616.154
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd