Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK

Sekedar iseng nanya. Siapa cewek yang kira-kira paling tepat buat Nanto menurut suhu?

  • Asty. Pokoknya Asty. Ga ada yang laen. Asty, aku padamu.

    Votes: 104 32,1%
  • Hanna. Ni cewek kayaknya potensial. Bisa lah.

    Votes: 76 23,5%
  • Kinan. Udah paling bener sih. Single, adem, available kapan aja.

    Votes: 166 51,2%
  • Nuke. Ada bibit-bibit nih, siapa tau, ye kan.

    Votes: 15 4,6%
  • Ara. Karena CLBK, Cerita Lama Bikin Konak.

    Votes: 10 3,1%
  • Eva. Bad girl are the best. Yang nakal begini kadang gemesin.

    Votes: 8 2,5%
  • Rania. Biar sekalian ancur ceritanya. Huahahahaha.

    Votes: 6 1,9%
  • Dinda. Siap-siap diamuk Amar dan Deka.

    Votes: 4 1,2%
  • Nggak semua. Ada pilihan lain nggak? Cari yang baru lah.

    Votes: 29 9,0%

  • Total voters
    324
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Bimabet
BAGIAN 23
DAN HILANG




Masalahnya bukan bagaimana kamu menang atau kalah.
Masalahnya adalah bagaimana kamu memainkan permainannya.
- Grantland Rice




Nanto terbatuk.

Piye, Le? Wes tangi? Sudah bangun?”

Pemuda itu mengejapkan mata saat mendengarkan suara yang tak asing. Susah sekali melihat di bawah siraman cahaya yang teramat terang.

“Omong-omong soal tidur, mau ndengerin lelucon? Konon kesuksesan itu diraih dengan usaha keras. Usaha keras sendiri diawali oleh kemauan yang kuat. Kemauan yang kuat didorong oleh hasrat dan cita-cita yang tinggi. Cita-cita tinggi berawal dari mimpi. Tapi kita hanya bisa bermimpi ketika kita tertidur. Jadi kalau mau sukses, memang sebaiknya tidur saja. Hahahahhaaha!! Harghh!! Hueeekk!! Hahahaha!!”

Tawa khas itu. Nanto sangat hapal dengan tawa serak diakhiri batuk beriak yang tak enak didengar itu.

Perlahan-lahan ia mulai terbiasa dengan cahaya terang di sekelilingnya. Si bengal menatap, mendengarkan, dan menikmati suasana di sekitarnya. Suara gemerisik dedaunan diterpa angin, warna hijau di setiap sudut memandang, pepohonan tinggi menjulang, rumput yang bagaikan karpet hijau terbentang, jalanan yang hanya disusun oleh tanah dan bebatuan, suara burung berkeciap, dan salak anjing kesayangan di kejauhan.

Suasana ini... bukankah ini... ini kan... di hutan?

Nanto sedang berada di hutan! Ah iya bener! Di depan si bengal, sang Kakek dan Sagu sedang duduk santai di tepi batu. Melihat Nanto akhirnya benar-benar sudah terbangun, Kakeknya geleng kepala.

“Kamu itu payah, Le.”

“Bangun-bangun kok dikatain payah, to.” Nanto memegang kepalanya yang pusing. “Pusing-pusing begini masih aja diajak jalan ke hutan. Sekali-sekali istirahat lah di rumah.”

“Beuuuuh! Alasan ra mutu! Kamu itu kurang latihan.”

“Masih pusing ini lho! Butuh istirahat!”

Salahmu dewe! Salah kamu sendiri! Kamu itu pusing karena lengah! Karena kamu gegabah! Merasa sudah di atas angin, kesadaranmu lenyap digantikan arogansi! Berapa kali sudah Kakek bilang!? Latih inderamu! Latih titik rentanmu! Buka wawasan! Jangan hanya karena kamu sudah mengalahkan tiga orang tangguh sekaligus, kamu terus merasa di atas angin dan merasa bisa mengalahkan siapa saja! Gegabah! Lengah! Malu-maluin! Njijiki! Lakon kok kalahe gampang! Musuh yang lain habis dihajar bisa bangkit lagi, lha giliran kamu sekali gebuk kok tumbang! Wuu! Payah!”

“Mengalahkan tiga orang sekaligus? Tiga orang yang mana?” Nanto menggaruk kepala. Kepalanya benar-benar terasa pusing.

“Kamu malas berlatih, Le. Otakmu itu perlu disetel lagi, bukan hanya fisik, tapi juga batin. Kehilangan apa yang sudah pernah dikuasai itu memang berat, tapi bukan berarti kamu tidak mampu menguasainya lagi. Kamu kan hanya butuh membuka satu demi satu titik yang ditutup, gerbang pertama saja sudah bisa dibuka, tinggal enam. Buka wawasan, tingkatkan pengendalian diri, kembali kuasai warisan sejatimu seperti semula.”

“Halaaaahhh!! Hadoooohhh!! Ngomong apa lagi sih Kakek ini? Aku pusing ini lho!” Nanto berdiri, menggeliatkan badan dan sudah siap berbalik untuk kembali ke rumah. “Sagu! Ayo kita pulang saja! Aku lapar ini! Pengen makan ndog ceplok!

Kakek Nanto melemparkan kerikil ke kepala si bengal. Tidak sakit, tapi lumayan mengagetkan. “Bocah mbilung! Ra sopan!! Kalau ada orang tua ngomong itu didengarkan! Ora kakehan ndresulo! Sithik-sithik kok sambat! Jangan kebanyakan ngeluh, tidak ada pencapaian apapun di dunia ini yang bisa diraih secara instan! Kalau mau hebat, ya berlatih! Terserah nanti kamu mau makan ndog ceplok opo ndog dadar! Sekarang dengerin Kakek ngasih cerita dulu, mumpung lagi mood ini.”

Nanto merengut tapi ia akhirnya duduk bersila di rerumputan. Buset, udah tua tau aja istilah mood.

“Omong-omong soal instan. Jadi inget mie instan Kakek yang rasa soto ayam itu pasti sedep banget dimakan pas udara dingin begini. Apalagi ditambah telur, kupasan cabe rawit, sama sayur dikit... wah.. pasti...”

“Kek.”

“Ya... ya...”

Nanto memejamkan mata.

Pemuda itu lantas menarik napas panjang, lalu menghembuskannya, tarik napas lagi, hembuskan lagi. Tangan diletakkan di atas lutut, posisi punggung tegap tapi rileks. Si bengal membiarkan napasnya teratur dan membiasakan tubuhnya menyatu dengan alam sekitar, membiarkan hening dan ketenangan merasuk juga ke jiwanya.

Hmm...

Semua yang dilakukannya ini selalu dilakukannya setiap hari saat tinggal bersama Kakek dan Sagu. Tapi rasa-rasanya ada yang aneh, meski dia tidak tahu apa yang aneh itu. Ada perasaan kosong sekaligus isi pada saat yang bersamaan.

Coba ingat-ingat lagi, Nyuk. Apa yang hari ini sudah kamu lakukan? Kakek bilang tadi mengalahkan tiga orang? Tiga orang siapa? Ingat-ingat lagi.

Ah iya, kalau tidak salah dia tadi hampir mengalahkan tiga orang sekaligus sebelum akhirnya dibokong dan dihajar kepala dan tengkuknya sampai mendadak pingsan. Bangsat. Tengkuk memang titik kelemahannya.

Tapi... itu kan di kota! Bukan di tengah hutan dan yang jelas... lho iya, bukankah Kakek itu sebenarnya sudah...

“Aku kok merasa aneh ya.” si bengal berucap meski tetap dengan mata terpejam. “Ada yang tidak pas di sini. Dengan semua ini.”

Wes rasah digagas. Tidak usah dipedulikan. Sekarang Kakek mau memastikan dulu... kamu tadi sebenarnya sudah tinggal selangkah lagi untuk memenangkan pertarungan kan?”

“Iya, tapi dibokong dari belakang. Bangsat! Kalau saja...”

“Fokusmu hilang karena kamu terburu-buru mau menyelesaikan pertarungan itu. Buru-buru pengen pulang supaya bisa istirahat dan WhatsApp-an lagi dengan cewekmu kan?”

“Iya.” Nanto mendengus kesal sambil mengelus bagian belakang kepalanya yang terasa benjol, apa yang disampaikan Sang Kakek ada benarnya. “Sialan! Kalau saja dia tidak menyerang tengkuk, pasti sudah bisa aku balas! Perasaan pukulannya juga tidak kuat-kuat amat.”

Mbelgedes! Kamu seharusnya sudah paham, kuat atau lemahnya serangan, yang menentukan fatal atau tidaknya adalah titik targetnya.” Ucap sang kakek sembari memberi makan Sagu. “Manusia secara lahiriah memiliki titik-titik kelemahan, titik-titik rentan inilah yang seharusnya kamu lindungi dari serangan lawan! Titik-titik ini juga yang harus kamu incar jika ingin secara cepat menuntaskan pertarungan. Tapi yo tetep harus diingat, meski menyerang titik kelemahan lawan, jangan sekalipun kau niat melakukannya untuk mengakhiri hidup lawanmu. Apa yang kita pelajari dinamakan bela-diri, bukan hajar-mati.”

Huff... yang aku tahu titik kelemahan itu ada pada leher, pada jakun.”

“Bener, Le.” Kakek Nanto mengangguk-angguk. “Manalagi selain dua itu?”

“Tengkuk.” Sekali lagi Nanto mengelus bagian kepalanya dengan geram.

“Bener lagi. Seperti tadi! Payah kamu! Kena tengkuk beberapa kali saja langsung tumbang! Padahal musuh-musuhmu masih bisa bangkit lagi setelah kamu hajar, wes jan kamu itu malu-maluin Kakekmu ini. Mana lagi titik kelemahan?”

“Hrmph.” Nanto menggerutu, tapi lanjut menjawab, “Kemaluan, dada?”

“Ya ya... yo wes. Sekarang mari kita bahas bagian leher.” Kakek Nanto terkekeh melihat Sagu berlari mengejar seekor kupu-kupu yang baru saja hinggap di makanannya. Anjing berwarna putih itu menyalak ribut. “Leher manusia itu dari depan sampai belakang adalah bagian yang harus selalu dilindungi karena memiliki banyak titik rentan. Dari jakun, bagian sisi, sampai tengkuk dan bagian belakang kepala, semuanya rentan. Semuanya harus diproteksi dan harus diberikan perhatian berlebih saat pertarungan berlangsung. Kalau kamu punya kelemahan di situ, ya pastikan serangan lawan tidak mengenai titik rentan itu.

“Titik rentan yang pertama adalah bagian tengkuk belakang leher sampai bagian belakang kepala. Kalau bagian itu dipukul dengan keras, ya pasti akan pingsan – bahkan bisa modyar. Ada syaraf yang berhubungan dengan otak terutama yang berkaitan dengan kesadaran kita di sana. Tadi kamu dihajar di bagian situ kan? Wajar kalau kamu sampai semaput, sudah untung tidak modyar. Tapi ya seharusnya tidak semudah itu semaput-nya to, Le. Jagoan macam apa kamu ini!? Lakon digebuk pisan kok teler. Jan payaaaah!!”

Wessss, dilanjuuuut waeeeee! Tidak usah komentar yang aneh-aneh! Tiwas didengerin pakai serius lho ini!” Lagi-lagi Nanto mengumpat.

“Yo wes, selain tengkuk dan bagian belakang kepala, titik lemah lain di leher ada di jakun dan tepi leher. Jadi leher itu sebenarnya kayak selang, Le. Banyak pembuluh darah yang fungsinya macam-macam yang menghubungkan badan bagian bawah dan otak yang menjadi komandannya, kalau hubungan komandan dan anak buahnya terputus, ya bubar. Lindungi bagian leher dan latihlah kemampuanmu terus sampai titik-titik rentan itu tidak lagi menjadi kelemahan.”

“Lah, tapi bagaimana kita bisa memperkuat titik-titik lemah itu kalau semuanya susah dilatih? Bagaimana coba caranya kita melatih tengkuk supaya kuat bertahan? Kita ngomongin tengkuk lho ini, tengkuk. Piye jal ngelatihe?

“Weeeeh, manusia itu orang yang cerdas, Le. Makanya mikir!”

Lha yo ini lagi mikir to.”

“Kita ini makhluk yang cerdas, kita tahu mana yang bisa kita latih dengan cepat dan mana yang tidak. Tubuh kita ini terus berevolusi, beradaptasi, dan menyesuaikan diri.”

Lha yo wes, gimana caranya melatih titik kelemahan tadi itu?”

“Pertama-tama kita harus menyadari bahwa kita punya kelemahan. Itu satu. Kalau memang bisa dilatih, ya dilatih. Tapi kalau tidak bisa dilatih atau susah, ya kita cari cara buat melindunginya. Di situlah letak cipta, rasa, dan karsa manusia dibuktikan. Kemampuan berpikir dan mewujudkan bagaimana caranya melindungi kelemahan diri sendiri dengan upaya membela diri.”

“Halaaaah? Piye sih? Malah munyer maneh! Muter-muter!

“Kakekmu ini sedang memberikan kawruh, Le. Dengerin dulu, jangan mbalelo.” Sagu menyalak kencang seiring habisnya makanan yang diberikan Kakek. “Ketika kita menyadari kita memiliki kelemahan maka yang bisa kita lakukan adalah melatihnya agar tidak lagi menjadi kelemahan. Tapi itu butuh waktu yang panjang dan lama. Ora mung makbedunduk terus jadi ampuh. Butuh waktu. Kalau bisa cepet teneh gampang.

“Bagaimana cara melatihnya? Sama dengan bagian tubuh lain, kita melatih titik-titik kelemahan dengan cara membiasakan diri untuk terus menerus didera kondisi yang menguatkan – kita juga harus meningkatkan kesadaran kita akan tubuh kita sendiri. Jika sudah tahu titik-titik terlemah belum terbiasa menerima serangan apalagi yang fatal, maka kita harus melindunginya.

“Jadi kamu itu harus memahami bagaimana kita mesti bertahan, bagaimana cara kita melindungi diri, dan bagaimana caranya meningkatkan kewaspadaan akan bahaya yang mengincar titik-titik kelemahan itu. Intinya, Le... kamu itu kurang waspada. Tingkatkan kewaspadaan! Jangan jumawa dan jangan sok jago pada saat kita di atas angin, karena itu akan membuat kewaspadaan kita turun. Selalu anggap semua lawan berbahaya, karena itu benar adanya. Kita tidak lebih jago dari orang lain, kita tidak lebih baik, kita semua sejajar. Kita menguasai sesuatu, mereka juga punya sesuatu.

“Jangan pula menganggap lawan yang di depan mata adalah satu-satunya lawan. Dalam pertarungan terbuka dan saat kita dikepung oleh banyak musuh, semua orang bisa menyerang dari semua penjuru mata angin. Semua orang berkesempatan melukai kita. Tingkatkan kewaspadaan tidak hanya terhadap apa yang di depan, tapi juga yang di kiri, kanan, dan belakang. Buka gerbangmu satu persatu, latih inderamu. Melihat tidak hanya dengan mata, Le.”

Sagu menyalak riang, anjing itu mendekati Nanto dengan lidah terjulur dan ekor berputar-putar. Bahagia sekali kelihatannya. Nanto tersenyum dan mengelus kepala anjing kesayangannya.

Datang dari gua bayangan, tak pedulikan siang dan malam.”

Terdengar suara sang Kakek yang menyenandungkan syair dengan suara tegas. Suaranya terdengar jauh dan bergema, seperti di dalam gua.

Si bengal yang sempat duduk bertongkat lutut kemudian kembali memejamkan mata, kembali mengambil posisi duduk bersila yang seimbang. Ia menarik dan menghembuskan napas dengan tenang dan pasrah. Tubuhnya terhubung ke tanah, merasakan hamparan bumi berada di bawah diri.

“Sekarang kamu sudah membuka satu gerbang, buka enam gerbang yang lain. Jangan terburu-buru, buka satu persatu. Semuanya ada dalam dirimu sendiri, tidak pernah hilang, tidak pernah terhapus, hanya harus dibangkitkan. Tujuh gerbang membuka delapan belas. Gunakan dengan bijaksana. Hasil tak akan mengkhianati usaha.”

Buka titik pertama. Kewaspadaan.

Terdengar salak Sagu di kejauhan.

Nanto membuka mata.

Si bengal melompat kaget dan terkejut!!

Tiba-tiba saja Nanto dan sang Kakek sudah berada di tempat sangat luas tak terbatas ruang yang serba putih, mereka berdiri berhadapan dengan pakaian yang juga serba putih. Sagu menyalak-nyalak bahagia dengan buntut yang kopat-kapit di samping sang Kakek.

Ini jelas bukan di hutan lagi.

Di mana ini? Lelucon tidak lucu apalagi yang dimainkan kakeknya?

Kenapa tiba-tiba saja mereka bertiga bisa ada di sini?

“Di... di mana ini?” Nanto memutar kepala dengan kebingungan, sejauh mata memandang ia hanya bisa melihat pemandangan serba putih dan serba bersih. Weladalah! Jangan-jangan dia sudah...

“Ini bukan di mana-mana, tapi sekaligus ada di mana-mana. Ajaib ya? Ini semua hanyalah permainan pikiran di alam bawah sadarmu. Kamu sendiri yang menciptakan ini semua. Aku tidak ada di sini, sebagaimana Sagu juga tidak ada di sini. Tapi pada saat yang bersamaan, aku juga selalu berada di dalam dirimu, bahkan ketika kita sudah terpisah jarak dan dunia.”

Alamakjang. Jangan-jangan aku sudah...”

“Weeeeeeh, lha ya belum lah, Le. Batok kepalamu keras kayak cagak anim, makanya kerap mbalelo. Dibilangin disuruh sinau yang bener, malah ngajak duel kiwo tengen! Dibilangin suruh hidup yang bener, malah ngelonin istri orang! Mbok ya mikiiiir! Bagaimana hidupmu bakal lurus, kalau kamu sendiri belok ga tentu arah? Hahahahhaaha!! Harghh!! Hueeekk!! Hahahaha!!” Kakek Nanto meledek sembari tertawa dan mengelus-elus kepala Sagu.

Nanto menunduk malu.

“Kembali ke kota bukan berarti kembali ke kehidupan yang lama, Le. Bukan berarti juga kamu harus menjadi diri kamu yang lama, menjadi sosok sok jagoan yang harus mengalahkan semuanya. Kamu pernah merasakan menjadi sosok hebat yang tiba-tiba kehilangan semua kemampuan. Jangan malah sekarang ketakutan dan menyembunyikan diri sendiri dari kemampuan yang sebenarnya kamu warisi. Kalau memang harus mengeluarkan kemampuan, pastikan hal itu digunakan karena memang dibutuhkan. Pastikan digunakan untuk melindungi orang-orang tersayang atau membenahi yang harus diluruskan.

“Sumber dari segala macam rasa yang kita punya – malu, senang, sedih, marah, dan duka – adalah akibat dari munculnya kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. Kenangan masa lalu bisa mengakibatkan duka, marah, dan malu. Bayangan masa depan membuat kita khawatir dan takut. Padahal yo nggak ada gunanya memikirkan keduanya. Hidup itu demi apa yang kita hadapi saat ini, demi masa sekarang. Hadapi apa yang hadir saat ini dengan kewaspadaan, dengan mawas diri, dengan pasrah sama Yang Maha Esa.

“Suka duka timbul karena olahan pikiran sendiri, kakehan mikir malah marai suloyo. Temui saja permasalahan yang ada dengan ketabahan, tidak perlu kabur, hadapi, dan kalau bisa diatasi. Itu yang namanya hidup. Manusia itu dilahirkan untuk menghadapi cobaan dan mencoba mengatasinya. Tapi tidak perlu dikaitkan juga dengan ego. Tidak perlu juga dikaitkan dengan untung rugi ataupun senang tidak senang. Ego itu hanya wujud dari nafsu, kalau kita menghamba nafsu, maka kita akan kembali diombang-ambingkan pada suka dan duka yang mengekang. Jadilah legowo. Jadilah ikhlas.

“Sombong dan arogan itu candu, hindari. Kemenangan dan kekalahan itu sementara, biasakan. Hindari terlalu lama mengagungkan kemenangan atau menangisi kekalahan. Otakmu ga akan nyampe, karena penentu garis hidup itu yang di atas, Yang Maha Adil. Manusia hanya berjalan di roda kehidupan yang akan selalu berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang menang kadang kalah. Semua itu permainan saja, tinggal bagaimana kita memainkannya dan legowo terhadap hasilnya.”

“Sebentar-sebentar... Aku sepertinya pernah mendengar Kakek mengucapkan semua kata-kata yang sedari awal kakek ucapkan, berulang-ulang. Berarti ini bukan mimpi kan? Ini asli kan?”

“Asli bagaimana? Yo enggaklah. Yang seperti ini hanya permainan pikiranmu saja. Ajaib ya? Kandani ogh. Hahahahhaaha!! Harghh!! Hueeekk!! Hahahaha!! Ingat semua yang pernah Kakek ajarkan. Jangan malas menjalankan apa yang pernah disampaikan dan jangan melupakan semuanya hanya karena mengkhawatirkan masa lalu dan masa depan! Kamu punya warisan kemampuan, buka gerbangnya.”

Weladalah. Sebentar-sebentar... aku masih bingung tenan ini. Lha terus ini di mana?”

Cah bodo, bukankah Kakek sudah bilang? Ini ada di alam bwhhsddrmh...”

Suara Kakek tidak lagi terdengar jelas saat sebuah cahaya terang tiba-tiba datang. Landskap putih di mana mereka berada berpendar, dan Nanto tiba-tiba saja berada di sebuah ruangan yang amat ia kenali. Ruang tamu rumahnya yang lama – hanya saja semuanya bercat putih, termasuk meja dan taplaknya, bunga, kursi, bantal, semua putih.

Kakek dan Sagu tak lagi nampak di manapun. “Kek? Kakek? Sagu? Jangan bercanda lho, ini...”

Seluruh cahaya terang yang awalnya bersinar mengerucut ke satu wujud berpendar lembut yang duduk di kursi tamu, lama-lama memudar, menampilkan satu sosok bercahaya. Sosok bercahaya itu memiliki wajah yang amat dikenali si bengal, wajah yang amat ia rindukan. Wajah milik sosok bersahaja yang duduk di kursi sembari menjahit baju sekolahnya yang robek karena terlalu sering berkelahi. Kacamata tuanya yang sudah tak lagi jernih dikenakan karena mata yang tak lagi mampu melihat dengan jelas, entah sudah berapa kali si bengal berjanji akan mengganti kacamata tua itu, namun tak pernah terwujud.

“I-ibu?”

Tak terasa air mata membayang di pelupuk mata Nanto. Tak pernah ia duga akan menjumpai ibunya kembali – meski ia tahu ini tidaklah nyata, meski ini mimpi sekalipun. Tapi sungguh ia bersyukur bisa berjumpa kembali sang bunda. Sungguh besar rasa rindu dalam hatinya, rasa rindu yang teramat membuncah, rasa rindu yang dipendam tapi tetap ada dan membuatnya sesak.

Si bengal segera menghampiri dan bersimpuh, merunduk dan mencium kaki sang bunda. Ada air mata yang tak ingin ia keluarkan tapi tetap keluar, ada penyesalan yang tak ingin ia ucapkan tapi harus ia sampaikan.

Kali ini dia tak ingin terlambat menyampaikan rasa bersalahnya pada sang Bunda. Tidak lagi.

“Maaf... maafkan aku, Bu...”

Sang bunda mengelus rambut Nanto, tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia hanya tersenyum saat mengangkat wajah sang putra tercinta, menatap mata sang buah hati dengan pandangan paling lembut yang selalu diperlihatkan, kesederhanaan hangat yang selalu dirindukan, wajah ikhlas yang tak pernah menuntut apapun dari sang anak kecuali balasan cinta dan doa.

Wajah cantik sang bunda nampak jauh lebih muda dan cerah dari yang biasanya sering ia jumpai. Wajah yang jauh lebih lembut dan tenang dari yang biasa ia temui. Berbeda sekali.

Sang bunda mengecup dahi anak semata wayangnya dengan penuh rasa sayang.

“Ibu... maafkan aku...”

Tapi bunda Nanto tak menjawab, ia hanya tersenyum. Senyum terindah di muka bumi yang pernah dilihat oleh si bengal, tak ada kekasih ataupun bintang yang mampu menyamai senyum itu. Senyum sederhana namun bercahaya dan selalu dirindukan.

Terdengar suara salak Sagu di kejauhan yang sepertinya mengucapkan selamat tinggal.

Nanto membalik badan, mencoba mencari Sagu. Tidak terlihat. Ketika ia berbalik kembali, sang bunda sudah tak nampak. Tidak juga sang kakek. Kemana mereka? Ruang tamu yang berwarna putih lama-lama berubah menjadi hitam, lama-lama semua menjadi gelap.

“Ibu? Kakek?”

“Nanto...”

Terdengar suara memanggil. Suara yang tersembunyi di balik gema. Suara siapa itu? Nanto menengok ke kanan dan kiri dalam kegelapan, tapi tak menemukan apa-apa selain kabut tak terlihat yang makin lama makin tebal dan membuat napasnya sesak.

“Msssss... Nanto...”

Suara itu lagi! Siapa yang memanggilnya? Dia pernah mendengarnya, dekat tapi terasa jauh. Siapa?

Nanto mencoba bertanya, tapi entah kenapa ia tak mampu membuka mulut. Suaranya tercekat terjebak di tenggorokan tak bisa keluar.

“Ms... Nanto...”

Kabut yang menghimpit dalam kegelapan makin lama makin terasa tebal, Nanto terbatuk. Kabut ini... semakin membuat dadanya sesak. Makin lama makin sesak, makin sesak, makin tidak karuan, makin membuatnya dadanya... makin membuatnya...





.::..::..::..::.





“Gaaaaahhhh!!!”

Nanto terkesiap dan mengejapkan mata. Napasnya satu dua, mulutnya terbuka lebar, dan ia terengah-engah dengan keringat bercucuran. Si bengal kembali mengejapkan mata. Ia berada di sebuah tempat yang serba putih, serba bersih, dan serba... asing?

Tapi ini bukan lagi di tempat ajaib tadi.

Di mana ia berada sekarang? Jangan-jangan dia benar-benar sudah mati dan ini wujud surga yang sesungguhnya? Eh... berani-beraninya dia merasa dia bakal masuk ke surga. Oke, kalaupun bukan surga, yang jelas ruangan ini serba putih dan ada cahaya di atas terasa begitu terang, ia juga mencium bau-bau asing yang seperti... bau obat?

Akhirnya Nanto menyadari kalau dia hanya sedang berada di sebuah ruangan biasa bercat putih dengan lampu yang bersinar terang di langit-langit.

“Mas Nanto? Ah... syukurlah, Mas sudah sadar.”

Mata Nanto masih tak terbiasa melihat dalam terang yang baru ini, ia mencoba memicingkan mata. Siapa yang ada di sebelahnya? Siapa yang barusan memanggilnya? Si bengal mengejapkan mata sekali lagi... mencoba membiasakan diri melihat dalam terang... dan ia melihat... satu wajah cantik. Bidadari? Bukan...! Meski cantik tapi ini bukan bidadari... ini kan...

“Kinan?”

“Ah! Iyaaa!” Kinan Larasati tersenyum lebar saat melihat si bengal siuman, gadis berhijab yang jelita itu menarik napas legas. “Akhirnyaaa bangun juga. Aduh, aku sudah khawatir banget.”

“Iya ya? Maaf... aku...” Nanto masih bingung mau mengatakan apa. Dia masih belum sepenuhnya sadar dari pengalaman mimpi yang aneh tadi. Ada juga rasa nyut-nyut di bagian belakang kepalanya. Si bengal mengelusnya, ah benjol. Bangsat. Siapa tadi yang sudah membuatnya pingsan? Munyuk. Awas saja lain kali kalau ketemu.

“Gimana? Masih pusing, Mas?” wajah Kinan nampak khawatir.

“Lumayan. Gara-gara digebuk orang tadi.”

“Iya, tahu kok.”

“Kok bisa tahu?”

“Mau tahu aja atau mau tahu banget?”

“Mau tahu bulet aja, asal digoreng dadakan.”

“Hihihi.”

“Kok bisa ada di sini sih?” Nanto melirik ke kanan kiri. “Eh, di sini itu omong-omong di mana ya. Aku di mana ini?”

“Ini ICH, Mas. International Center Hospital, yang ada di pinggir ringroad.”

“Ah iya.”

Waduh. Rumah sakit mehong, siapa nih yang bakal bayar tagihan? Huhuhu... maafkan aku Om, Tante. Sekali lagi ponakan kurang ajarmu ini akan merepotkan. Geram Nanto teringat orang-orang yang bertanggung jawab membuatnya masuk ke rumah sakit. Akan selalu diingatnya nama-nama mereka. Oppa, Amon, Nobita, dan Don Bravo... tunggu saja suatu saat nanti kalau ketemu lagi. Tidak akan ada kejadian yang sama terulang!

“Jadi mau dengerin cerita ga?”

“Jadi dong.”

“Tapi udah ga pusing kan? Takutnya malah jadi kepikiran. Barusan aja kayak ngelamun gitu.”

“Nggak kok, pusing dikit aja bawaan benjol. Mungkin perawat sudah ngasih obat anti nyeri.”

“Oke deh, jadi begini ceritanya...”

Nanto menatap Kinan dengan serius, membuat gadis itu agak-agak gugup ditatap sedemikian rupa sehingga oleh si bengal. Duduknya jadi tidak nyaman. Gadis itu menjadi serba salah dan kikuk.

Eh, aku ada yang salah apa ya? kenapa Mas Nanto liatinnya begitu amat? Pakaianku sopan kan? Hijab rapi? Make up tipis. Ga ada yang salahkan ? Duh, kenapa jadi grogi begini sih? Eh, atau jangan-jangan ada sayur nyelip di gigi? A-atau malah ada upil di hidung? Hiyaaaa!! Pastiin dulu gih!

Kinan melirik ke arah ponselnya sendiri dan membuka mode kamera. Ia menggunakannya sebagai pengganti kaca, ah – semua aman kok. Gigi? Aman. Hidung? Aman. Si cantik itu menarik napas lega. Ga tau kenapa rasanya ia ingin terlihat sempurna di depan Nanto. Bukan terlihat cantik, tapi lebih ingin tampil yang tidak ada salahnya. Duh gimana ya ngomongnya... pokoknya dia ingin kelihatan...

“Jadi cerita kan?” Nanto bertanya-tanya.

“Eh iya, Mas.”

“Hihihi, kok jadi gantian Kinan yang ngelamun.”

“Iyaaaaa... maaf, hihihi.” Kinan memperbaiki duduknya supaya lebih nyaman bercerita. Kedua sikunya ia letakkan di pembaringan untuk menopang dagu, tepat di samping Nanto. “Oke, jadi Mas Nanto kan berantem tuh di pekarangan dekat komplek perumahan di belakang kampus? Nah, Pak RT komplek itu sama salah satu warga ada yang lihat tuh, Mas. Tadinya mereka berniat melerai atau mengusir kalian dengan mengajak warga yang lain. Tapi mereka datang terlambat dan pertarungan sudah selesai. Pak RT cuma ketemu sama Mas Nanto yang sudah ditinggalkan sama yang lain. Mas Nanto pingsan waktu itu. Pak RT juga tahu kok kalau Mas Nanto dikeroyok.

“Nah, karena tidak mau kenapa-kenapa, Pak RT dan warga itu lalu memeriksa keadaan Mas Nanto dan memutuskan untuk membawa Mas ke ICH. Mereka membuka dompet untuk memeriksa KTP Mas, sama membuka ponsel dengan fingerprint Mas untuk menghubungi orang yang bisa dihubungi. Kebetulan namaku ada tuh di posisi atas-atas di WhatsApp Mas Nanto, jadi mereka menghubungi aku dan memberitahu kalau Mas Nanto dibawa ke rumah sakit ini untuk dirawat. Mereka menghubungi secara acak katanya, karena tidak enak membuka ponsel terlalu lama.”

“Oh begituuuu. Jadi setelah itu kamu ke sini ya. Aduh, aku jadi ga enak ngerepotin kamu.”

“Idih. Ngrepotin apaan coba. Kita kan memang harus tolong menolong, Mas. Lagian kan aku juga tidak tahu harus menghubungi keluarga Mas Nanto yang mana, aku takut salah. Makanya aku saja yang nungguin Mas Nanto malam ini, aku ikhlas kok.”

“Makasih ya, Kinan.” Si bengal menatap lembut gadis berhijab yang jelita itu.

Pipi Kinan yang putih berubah menjadi pink bagaikan strawberry saat ditatap oleh Nanto seperti itu. “Eh... ehm... sama-sama, Mas.”

Gadis itu teringat sesuatu, ia membuka laci meja yang ada di samping pembaringan Nanto. “Ini dompet sama ponsel Mas ada di sini, ya. Uangnya juga tidak ada yang kurang sama sekali karena dijaga Pak RT. Beliau yang mengantarkan Mas kemari dan menunggu sampai aku datang tadi. Baik banget ya orangnya?”

“Iya. Wah, aku bersyukur banget ternyata masih bisa ketemu orang-orang baik di kota ini. Kamu sama Pak RT yang mudah-mudahan sehat selalu dan rejekinya lancar itu.”

“Memangnya pernah ketemu yang ga baik?”

“Banyak, Kinan. Banyak yang ga baik.”

“Yang diajak berantem orang ga baik?”

Nanto mengangguk, “Iya.”

“Terus-terusin aja berantemnya kalo gitu.” Kinan cemberut. “Kalau sudah masuk rumah sakit begini, mestinya Mas sadar kalau berkelahi itu tidak ada gunanya. Berantem melulu dapetnya apa sih? Yang ada masuk rumah sakit, terus dirawat. Sudah badannya bengep, keluar biaya pula. Ga ada untungnya, kan? Lagian sudah gede kok masih aja berantem, rebutan apa sih? Layangan ya? Kayak anak kecil aja. Jangan diulangi lagi ah!”

Nanto menggaruk kepalanya sambil tertawa. “Iya Kinan, iya. Layangan iya.”

Kinan tertawa.

Nanto menarik napas lega. Ah, paling tidak malam ini ia bisa beristirahat. Hari yang panjang dan sungguh melelahkan.

“Mau pepaya?”

“Eh?” tiba-tiba saja arah pembicaraan berubah. “Ma-mau...”

Kinan tersenyum. Ia membuka bungkusan pepaya kemasan yang dibawanya dari rumah. Karena tidak tahu kondisi Nanto dan bingung harus bawa apa, Kinan menjuput acak beberapa buah-buahan kemasan dan minuman yang ada di kulkasnya, apalagi dia tadi sangat terburu-buru.

“Tapi ga tau enak apa ga nih. Soalnya sudah ga begitu dingin.”

“Lembek nggak?”

“Nggak kok, bukan pepaya yang lembek.”

“Pasti enak kalau kamu yang ngasih.”

“Idih.”

“Iyalah. Yang ngasih aja bidadari, buah pepaya pasti berasa duren.”

“Hahahaha! Gombal ah!”

Kinan membuka kemasan plastik penutup potongan pepaya, mengambil garpu dari dalam tas, dan memberikannya pada si bengal.

“Boleh disuapin?”

“Idih. Kok disuapin?”

“Seluruh badan terasa kaku ini. Mau pegang garpu berat banget rasanya.”

“Ish, apaan. Kan tidak ada kondisi yang berbahaya. Kata perawat saja kalau sudah siuman, besok sudah boleh pulang kok.“

“Oh, boleh ya?”

“Iya, boleh.”

“Berarti boleh dong disuapin?”

“Ish. Usahaaa terus ya? Ya sudah.” Wajah Kinan memerah. “Tapi ada syaratnya.”

“Syarat apaan?”

“Kalau Mas Nanto maunya disuapin, Kinan suapin. Asal seminggu ke depan harus nemenin aku mengajar anak-anak jalanan.”

“Boleh aja. Jangankan seminggu, sebulan juga ayo.”

Sekali lagi Kinan tertawa, duh kenapa tiba-tiba suasana jadi terasa lebih panas ya? Ada yang bikin dia jadi lebih semangat rasanya. Gadis itu pun menusuk satu pepaya, mengangkatnya dengan garpu, lalu mengarahkannya ke Nanto sembari tangan yang satu lagi memegang tissue untuk menadahi tetesan.

“Mimpi apa aku semalam disuapin pepaya sama bidadari.”

“Udah ga usah gombal. Ini dimakan, buru!”

Nanto tertawa. Tentu saja mereka berdua cuma bercanda, tidak serius.

Iya kan? Cuma main-main aja kan?

Beneran bercanda kan?

Wajah Kinan yang terus saja memerah dan tatapannya yang gelisah tak berani menatap langsung bulat mata Nanto sebenarnya sudah bisa menjawab pertanyaan itu. Dasar Nanto-nya aja yang kurang ajar dan kurang peka.

Tepat pada saat Kinan hendak menyuapkan buah potong ke mulut Nanto, tiba-tiba saja pintu terbuka.

Bregh.

Nanto dan Kinan sama-sama terbelalak dengan posisi terpaku bagaikan ada yang sedang menekan tombol pause. Garpu yang menusuk pepaya hanya berjarak sekitar 20 sentimeter dari mulut si bengal.

Keduanya terheran-heran melihat sosok yang baru datang.

Seorang gadis cantik berambut panjang yang mengenakan kaus putih ketat, jaket denim biru tua, dan rok mini kotak-kotak tartan skirt warna merah yang gagal menyembunyikan kakinya yang mulus dan jenjang. Mata gadis itu menunjukkan kekhawatiran yang luar biasa tapi tak cukup memupus kecantikannya.

Ketika Hanna Dwi Bestari masuk ke ruangan, dia juga tak kalah terkejutnya. Kekhawatiran yang sejak dari rumah sudah ia bawa berubah menjadi kekagetan. Lho. Nanto sudah sadar? Bukannya tadi perawat bilang dia belum sadarkan diri? Terus... ini siapa nih cewek kok main suap segala? Bukannya si bengal masih jomblo ya?

“Ha-Hanna?” Nanto juga tidak kalah terkejutnya.

“Mas... buahnya.” Setelah menatap Hanna sekejap, Kinan cuek dan melanjutkan niatnya.

Haep.

Nanto juga terpaksa memakan pepaya dan menelannya.

“Ha... Hai.” Hanna melambaikan tangan dengan kikuk pada si bengal. Awkward moment beud, Gaes. “A-aku tadi di-WhatsApp entah oleh siapa, diminta datang segera ke Rumah Sakit ICH untuk merawat Mas Nanto yang sedang tak sadarkan diri. Maaf baru bisa datang, aku sudah berusaha ngebut.”

Nanto tersenyum. “Iya Hanna, makasih ya. itu tadi orang yang nemuin aku pingsan yang ngabarin ke kamu. Mungkin beliau kirim pesannya acak ke nama-nama yang paling atas di daftar WhatsApp. Kebetulan namamu kan ada di bagian atas itu, jadi beliau menghubungi kamu. Kasusnya sama dengan Kinan ini.”

“Gitu ya? Aduh, aku tadi udah khawatir aja tau. Khawatir kalau Mas Nanto kenapa-kenapa, soalnya beliau tadi ngirim foto juga waktu Mas Nanto dimasukin ke UGD. Lihat begitu, aku udah ga kepikiran bales, langsung jalan aja ke sini. Kebetulan kan rumah sakit ini jauh dari rumahku. Maaf baru bisa datang yaaa.”

“Tidak apa-apa, Hanna.”

Kinan meletakkan piring buah dan menebar senyumnya, sudah cukup jadi nyamuk. Ia membenahi kursi yang ada di sebelahnya untuk diletakkan di samping kiri pembaringan. “Hai. Aku Kinan. Mari Mbak, duduk di sini, kebetulan ada kursi lagi.”

“Ha-Hai... iya terima kasih.” Hanna masih belum banyak berucap pada Kinan. Oh iya, ada cewek ini juga. Hanna tiba-tiba saja merasa canggung. Ini benernya siapa sih nih cewek? Temen? Pacar? Tukang gas depan komplek? Tukang buah? Tukang sayur? Tukang yang menukangi? Perasaan si bengal belum punya banyak temen deh. “A-aku Hanna.”

“Mari duduk, Mbak Hanna.”

“Terima kasih.” Hanna pun duduk di samping kiri Nanto.

Nanto menatap kedua bidadari yang ada di samping pembaringannya itu dengan wajah kalut, ia menelan ludah dengan gelisah. Bajilak. Piye ikih. Hanna di kiri, Kinan di kanan. Ini keberuntungan atau kesialan? Kawruh macam apa yang bakal disampaikan Kakeknya kalau kondisinya kayak gini?

Coba sedikit-sedikit diakrabin lah.

“Buat kalian berdua, terima kasih banyak ya. Sekali lagi - Pak RT yang menemukan aku pingsan tadi mengirim pesan acak ke kalian berdua pakai WhatsApp karena kebetulan nama kalian ada di posisi atas. Aku berterima kasih banget karena kalian berdua langsung tanggap dan datang, aku jadi ga enak banget ngrepotin kalian. Mudah-mudahan cuma kalian berdua saja yang dikabarin sama Pak RT – tidak ada yang lain lagi.”

“Ga apa-apa, Mas Nanto. Yang penting kamu sehat. Duh, aku khawatir banget. Asli, coba cek nih.” Ucap Hanna dengan cepat sembari menghunjukkan pergelangan tangannya. “Deg-degannya dari rumah sampai sekarang masih belum ilang gara-gara khawatir.”

Tapi bukannya Nanto yang memeriksa detak nadi Hanna, malah Kinan yang menyerobot. Ia memegang pergelangan tangan Hanna.

Tentu saja baik Hanna dan Nanto sama-sama terkejut.

“Eh iya, deg-degan banget. Tangannya juga dingin banget nih, Mbak Hanna.”

“I-iya, Kinan.”

“Mbak Hanna sakit juga? Jangan dipaksain lho, kalau lagi sakit, Mbak.”

“Eh nggak kok, Kinan. Memang kalau aku lagi khawatir biasanya langsung dingin telapak tangannya.”

“Oh itu tandanya jantungan itu. Awas jantung ya, Mbak.”

Nanto meneguk ludah. Tektokan berbahaya nih, sebaiknya dilerai.

“Oh iya, kalian kan kirim pesan ke WhatsApp tuh. Sebetulnya aku mau membalas pesan-pesan kalian, tapi masih belum sempat sampai sekarang. Maaf ya, malah jadi begini deh kondisinya.” Ucap si bengal.

“Jadi gimana? Kita tunda saja besok lusa makan siang barengnya? Yang di warung empal.” tanya Hanna. “Besok Mas Nanto istirahat aja di rumah.”

“Lho, besok lusa kalian rencananya mau makan siang bareng?” tanya Kinan.

“Iya. Kebetulan aku sudah janjian sama dia.” Hanna mengangguk sambil tersenyum penuh kemenangan.

Kinan mengernyitkan dahi. Suaranya berubah menjadi ketus. “Bener, Mas? Bukannya besok lusa Mas Nanto janjian sama aku ya? Kita kan mau lihat anak-anak belajar bareng? Bener kan? Seperti yang di WhatsApp?”

“Eh... anu... sebenarnya... anu...” Nanto menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Badalaaaah. Piye ikih!? “A... aku rencananya mau datang ke dua-duanya kok. Beneran, aku mau datang melihat anak-anak belajar, terus juga mau makan siang bareng di Warung Empal... terus... duh piye yo ikih... anu... tapi aku masih mengatur waktunya mau yang mana dulu, gitu. Jadi dua-duanya bisa dipenuhi.”

“Makan siang kan waktunya ya jam makan siang. Mau diatur gimana?” Hanna cemberut.

“Anak-anak kan belajarnya juga cuma pagi. Padahal aku juga mau ajakin Mas makan siang bareng. Ternyata sudah ada janji yang lain.” Kinan juga cemberut.

“Nah... I-iya, tapi untungnya eh, sialnya... aku sekarang masuk rumah sakit begini, terus besok juga kemungkinan baru bisa keluar dari sini siang. Mungkin kita tunda dulu ya semua rencana untuk lusa? Bagaimana? Kita atur lagi waktunya di lain hari. Mau istirahat dulu?”

“Besok pulangnya siang?” tanya Hanna.

“Iya, perawat tadi bilangnya besok siang sudah boleh pulang. Malam ini hanya butuh bedrest semalam saja.” jawab Kinan sambil tersenyum.

Nanto mengangguk sambil cengoh.

“Kalau begitu besok aku jemput ya.” Hanna mengusap tangan kiri Nanto sambil tersenyum. “Pulangnya kita bisa makan di manapun Mas mau. Aku traktir deh. Seneng banget kalau Mas Nanto sudah sehat.”

“Eh... ehmm... aku dari tadi sudah berencana menjemput Mas juga.” Melihat keberanian Hanna, Kinan pun jadi terpancing dan tidak mau kalah. Ia menggenggam tangan kanan Nanto. “Nanti aku masakin deh. Aku bawain rantang buat makan Mas Nanto di rumah. Harus makan yang sehat-sehat, jangan empal dulu.”

Hanna melirik ke arah Kinan dengan pandangan mata pedas. Ia menggenggam erat jemari Nanto. “Kan sudah aku jemput. Tidak perlu dobel-dobel kan yang jemput. Iya kan, Mas Nanto?”

Nanto berkeringat. Rasa gugupnya mengalahkan rasa sakit benjolnya.

“Mas Nanto maunya dijemput siapa?” tanya Kinan.

Nanto panik.

Duh Gusti, piye ikih?





.::..::..::..::.





Malam itu Ndalem Banjarjunut menjadi ajang pesta.

Komando Samber Nyowo secara resmi berdiri untuk berkuasa di utara, khususnya di kawasan Kalipenyu menggantikan Patnem yang sudah disingkirkan PSG. Darsono sang pemimpin KSN bersama dengan Lek Suman sebagai penasehat membagi-bagikan miras, sate kambing, dan jajanan lain kepada seluruh anggota KSN yang akhirnya memiliki wujud resmi setelah cukup lama bergerilya. KSN mewujud sebagai gabungan dari Patnem KW dan sempalan geng-geng kampus dan geng kecil yang tadinya bermusuhan dengan Patnem. Ada geng dari kampus UAL, Unzakha, STIE YPB, STIM YPB, AMOKIM, dan beberapa kampus lain yang juga masuk menjadi satu kelompok besar yang saat ini beranggotakan sekitar 108 orang.

Saat pesta menjelang, mereka bertumpah ruah dan berbahagia.

Duduk di pos ronda adalah empat orang kapten KSN yang baru. Oppa, Amon, Roni, dan Tedi Ganesha – seorang bertubuh gempal dengan tato gajah di dada. Tedi merupakan kapten pemberontak dari Kampus STIM Yayasan Patriot Bangsa. Keempat kapten ini baru saja usai menyantap sate kambing. Di tangan mereka kini sama-sama terdapat segelas minuman keras yang merupakan hadiah dari Lek Suman. Duduk di sebelah Tedi adalah Don Bravo, dia memang sudah resmi bergabung dengan KSN, namun tak seperti Oppa dan Amon, Don Bravo belum menjabat sebagai kapten.

“Bagaimana selanjutnya di kampus masing-masing?” tanya Tedi sambil menenggak minumannya. Puas sekali wajahnya malam ini karena akhirnya ia bergabung dengan sebuah kelompok yang besar – apalagi konon KSN mendapatkan dukungan dari PSG, tambah mantap lagi.

“KSN akan masuk ke UAL bukan sebagai kelompok mandiri, tapi sebagai bagian dari kelompok besar. Aku, Amon, dan Don Bravo akan membawa bendera KSN ke UAL dan menantang langsung DoP. Mereka masih punya Rao, Rikson, Kori, Remon – dan sepertinya juga Nanto, tapi aku tidak yakin.” Kata Oppa sambil tersenyum, “posisi Remon ambigu – entah kesetiaannya ada di mana, tapi aku yakin dia bisa diajak pindah haluan. Dia punya ambisi lebih besar dari sekedar menjadi kapten.”

Roni menimpali, “Aku juga akan membawa bendera KSN di Unzakha. Agak sedikit lebih susah karena kesetiaan di Sonoz itu nomor satu. Dua orang korlap yang mungkin berpindah haluan itu Kang Daan dan si Albino. Hanya akan menyisakan Simon dan Abi saja di sana, entah kalau ada rekrutan lain. Simon kadang-kadang juga memberi kejutan.”

Tedi Ganesha terkekeh. “Aku masih jadi single fighter, meski membelot tapi belum melakukan pemberontakan. Waktunya belum pas. Bagaimana kalau aku mengajak beberapa di antara kalian untuk mengacau di PWP?”

PWP adalah geng kampus yang berkuasa di STIM YPB, PWP sendiri merupakan singkatan dari Pasukan Wani Perih.

Oppa mengangguk, “Sekarang kita sudah jadi satu – kita semua bersaudara. KSN adalah batas air, all men are brothers. Bawa serta Nobita dan Don Bravo. Mereka berdua sepertinya cukup untuk kelompok sekelas PWP. Meski kelihatannya nyeleneh tapi jangan salah, Don Bravo ini masih memegang rekor tak terkalahkan.”

Mereka semua tertawa. Kecuali Amon. Dia hanya mendengus.

“Minum lagi, Don.” Tedi menawarkan botol ke Don Bravo, gelas di samping si pemakan bengkuang hanya tinggal sepertiga. Pria berambut jigrak itu hanya menggeleng sambil tersenyum, ia lebih memilih memakan bengkuangnya.

Malam itu terasa dingin, dengan angin yang berhembus sejuk usai hujan membasahi bumi untuk beberapa saat lamanya. Udara dingin membuat Don Bravo memeluk bokken kesayangannya. Sambil bersandar santai dan menyaksikan teman-temannya berbincang, tangannya merogoh ke dalam kantong celana.

Don Bravo mengirimkan sebuah pesan singkat melalui WhatsApp ke sebuah nomer.

“Macan kumbang sudah masuk ke sarang harimau. Kondisi masih beta testing. Tunggu eksperimen di hari-hari mendatang.”

Pesan singkat itu dikirim dan langsung diterima oleh seseorang di ujung. Centang dua berwarna biru menjadi tandanya. Tak selang berapa lama kemudian masuk balasan. Balasan yang dikirim hanya berupa emoticon jempol. Don Bravo tersenyum dan menghapus seluruh percakapan yang baru saja dilakukannya.

Nama di pesan WhatsApp yang baru saja dihapus itu? Rao.

Don Bravo terkekeh membayangkan apa saja yang terjadi hari ini.

Sungguh hari yang padat.

Tak lama setelah Tarung Para Wakil usai Oppa mendatangi dan mengajaknya bergabung dengan KSN. Tidak ada cara lain untuk membongkar persekongkolan besar dan mengetahui rencana-rencana KSN selain menjadi telik sandi – menjadi mata-mata di dalamnya – jadi Don Bravo menyanggupi dengan gembira.

Resikonya memang besar, tapi apapun akan ia lakukan untuk DoP. Setelah memastikan keselamatan sang pemimpin dan Rikson, barulah ia datang ke arena tempat Oppa dan Amon berada. Nanto memang berada di tempat dan waktu yang salah, sehingga menjadi tumbal. Untungnya dengan mengorbankan si bengal, Don Bravo justru dapat meyakinkan Oppa dan Amon.

Kini dia berada di sini, di tengah-tengah sarang para harimau yang haus kekuasaan. Sang pemakan bengkuang mengucapkan janji dalam hati saat mengambil gelas minumannya.

Sekali DoP tetap DoP.

Entah bagaimana, malam itu Don Bravo bagaikan mendengar suara tawa seekor hyena di kejauhan. Sang pemakan bengkuang mengangkat gelas minumannya ke atas, menghunjukkannya ke langit malam.

“Sekali dan selamanya.”





BAGIAN 23 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 24
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd