Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK

Sekedar iseng nanya. Siapa cewek yang kira-kira paling tepat buat Nanto menurut suhu?

  • Asty. Pokoknya Asty. Ga ada yang laen. Asty, aku padamu.

    Votes: 104 32,1%
  • Hanna. Ni cewek kayaknya potensial. Bisa lah.

    Votes: 76 23,5%
  • Kinan. Udah paling bener sih. Single, adem, available kapan aja.

    Votes: 166 51,2%
  • Nuke. Ada bibit-bibit nih, siapa tau, ye kan.

    Votes: 15 4,6%
  • Ara. Karena CLBK, Cerita Lama Bikin Konak.

    Votes: 10 3,1%
  • Eva. Bad girl are the best. Yang nakal begini kadang gemesin.

    Votes: 8 2,5%
  • Rania. Biar sekalian ancur ceritanya. Huahahahaha.

    Votes: 6 1,9%
  • Dinda. Siap-siap diamuk Amar dan Deka.

    Votes: 4 1,2%
  • Nggak semua. Ada pilihan lain nggak? Cari yang baru lah.

    Votes: 29 9,0%

  • Total voters
    324
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Wooow.. cobaan utk pasangan baru nih, tp masa iya nanto diem aj bu asty mw dilecehin rey.. bakal bnyk yg patah hati ma si bengal nih
Btw seru jg nanto jd pimpinan aliansi, mgkn klo beni gundul bwa konci enggres, thor punya palu, nanto bisa lah bawa obeng :pedang:
 
Cerita ini kedepannya bakalan rumit, koalisi 5 jari bakalan pecah , nanto akan berkonflik dengan Hageng dan deka begitu juga deka dan abangnya Kinan dan Nike wes rumit pokoknya
 
Lahing kono to wau... Jalak Harnanto klagep sigep madosi kahanan ingkang mekaten, ketambahan telfon darurat saking ingkang milf, sang dyah ayu Asty...
Dangu ning dangu, Jalak Harnanto sendakep saluku tunggal nutupi babahan hawa sanga, ngerapal aji rogoh sukmo
Sukmo sukmaning sang Jalak Harnanto oncat saking raganipun mabur dateng Gudang SMA CB

:papi: :beer:
 
BAGIAN 33
KAU UDARA BAGIKU




Temukan dirimu sendiri dengan memikirkannya sendiri.
- Socrates






Lek Suman membuka mata begitu pintu lift terbuka.

Sang pria tua berjalan dengan langkah yang sudah tak lagi cepat. Kaki-kakinya memang kokoh menapak, namun hanya jika tongkatnya juga menyokong. Sesekali ia ragu melangkah, karena pandangannya juga sudah mulai kabur, mungkin sudah saatnya dia operasi katarak.

Tapi bukan hal itu yang saat ini membuat pikirannya bekerja teramat keras dan berputar tanpa henti. Dia sedang pusing memikirkan kiprah perdana KSN yang dipermalukan aliansi. Semua rancangan dan rencana yang sudah disusun sejak lama, seakan-akan hancur begitu saja hanya gara-gara mau buru-buru melahap kelompok kampus yang tidak berarti. Konyol, sungguh konyol.

Betapa mahal harga yang harus dibayarkan.

Lek Suman memasuki sebuah koridor berisi jajaran pintu. Ia memilih salah satu pintu dan masuk ke ruangan kotak kecil dengan kaca jendela besar di sisi terdalam. Jendela itu dipasang gorden hijau yang tertutup rapat di sisi sebalik sehingga kita tak bisa melihat apa yang ada di sisi sana, tapi tak lama setelah sang pria tua masuk dan disambut oleh beberapa orang yang sudah menunggu, gorden jendela dibuka.

Terlihat sebuah ruangan besar dengan meja bulat di tengah dan di tiap sisi dinding berjajar pasien yang dibaringkan di pembaringan penuh peralatan medis.

“Bagaimana kondisinya?” tanya Lek Suman.

Pria tua itu berdiri di belakang Oppa yang sedang memperhatikan ruangan di balik kaca dengan santai, mereka berdua memang sedang berada di kamar tunggu yang ada di luar ruang ICU.

Dari sini, jika gorden jendela dibuka, keduanya bisa menyaksikan keadaan Darsono yang sedang dirawat. Begitu banyak kabel, selang, dan peralatan yang ditempelkan pada tubuh tua pimpinan KSN yang terlihat jadi begitu ringkih setelah pertempuran terakhirnya beberapa hari yang lalu.

Oppa menggeleng. “Masih koma sejak beberapa hari yang lalu. Gegar otak sudah bisa dipastikan tapi belum tahu dampak langsung ke otaknya. Jahitannya entah berapa tak terhitung. Dia juga kehilangan satu bola matanya. Kalau sudah begini, harapan hidupnya mungkin fifty-fifty.”

“Apa penyebabnya? Kunci inggris kopet itu?”

“Itu icing on the cake. Dia sudah kena gempur berkali-kali sebenarnya, hanya tinggal tunggu waktu sebelum ada yang benar-benar bisa merobohkannya. Sepertinya sebelum terkena hantaman kunci inggris, dia sudah terkena pukulan dahsyat lain – tapi efeknya pelan.”

Lek Suman mendengus kesal, dia yang biasanya tenang kini bergetar seperti menahan amarah. “Padahal kita baru mulai, sudah harus kehilangan pimpinan. Bocah-bocah badjingan itu harus ditumpas sampai tuntas! Harus! Aku mau laporkan ini semua ke PSG.”

“Masalahnya KSN saat ini tanpa pimpinan dan kita punya pasukan yang resah, Lek. Baru menghadapi pertarungan besar pertama dan kita kalah begitu saja di tangan geng kampus. Mau ditaruh mana muka kita? Banyak anggota yang sudah rasan-rasan mau meninggalkan KSN. Kita harus segera mendapatkan solusi dan harga diri kalau tidak ingin dianggap kelompok main-main.”

Lek Suman manggut-manggut setuju dan menepuk pundak Oppa. “Kita butuh pimpinan baru yang punya tangan besi seperti Darsono. Aku akan minta orang itu dari PSG, aku coba minta ke Joko Gunar apakah bisa menyebrangkan salah satu petingginya jadi pimpinan KSN. Kalian yang sabar sebentar, biarkan aku negosiasi.” Lek Suman melirik ke arah Oppa, “untuk sementara kamu yang akan memimpin KSN.”

Oppa mendengus. “Yakin, Lek?”

“Yakin.” Penasehat tua KSN itu melirik ke samping, ke arah Amon yang mengenakan arm slings untuk menyangga tangannya yang patah. Sang beruang raksasa hanya mendengus, entah setuju entah tidak. Lek Suman tersenyum, “aku yakin dia juga pasti setuju.”

Di dalam ruang yang sama, berdiri Don Bravo yang sedang bersidekap sambil bersandar di tembok di samping pintu, dan Kori yang duduk di kursi. Ruangan kecil itu jadi terasa sesak karena dipenuhi oleh lima orang bersamaan.

“Bagaimana kalau kalian?”

Kori mengangkat pundak, “tidak masalah siapapun yang jadi pimpinan sementara. Malah penasaran siapa yang akan dikirim oleh PSG untuk menggantikan Darsono kalau memang ada. Pasti akan semakin seru dan bikin banyak keributan. Aku suka keributan.”

Don Bravo hanya tersenyum dan terkekeh, dia mengangguk sambil mengangkat jempolnya menandakan persetujuannya.

“aku yakin Roni dan Tedi Ganesha juga setuju. Karena tidak ada kandidat lain yang lebih tepat saat ini.” Lek Suman tertawa serak lalu terbatuk, sekali lagi pria tua itu menepuk pundak Oppa. “Selamat, pimpinan baru KSN.”

Oppa menghela napas panjang. Menjadi pimpinan satu kelompok besar yang buas dan beringas, yang sedang kehilangan kepercayaan diri karena kekalahan hebat di tangan geng kampus kelas teri. Apakah ini anugerah atau justru musibah? Yang jelas Oppa tidak mungkin menolaknya – mau tidak mau harus mau. Ya sudahlah jalani saja dulu. Paling tidak dia hanya berharap ada orang PSG yang akan datang dan menggantikan Darsono.

Lek Suman mengangguk-angguk. “Aku pergi dulu ke PSG. Kabari kalau ada perkembangan mengenai kondisinya. Aku juga akan memberikan kabar kalau sudah mendapatkan persetujuan dari Joko Gunar untuk meminta salah satu petingginya.”

“Baru datang sudah pergi, Lek?” tanya Oppa.

“Sudah ada kalian.” Ucap Lek Suman sambil tersenyum lebar. “Jaga Darsono sementara aku pergi ya. Jangan sampai ada kelompok musuh yang ambil kesempatan.”

Oppa mengangguk.

Lek Suman pun berlalu dan ruangan itu kembali hening. Setelah sepuluh menit, gorden jendela kembali ditutup. Don Bravo memainkan jemarinya di tepian kusen, Amon memejamkan mata, dan Oppa mencatat banyak hal menggunakan ponselnya.

Kori berdiri, “aku mau beli air putih kemasan, ada yang mau pesen makanan minuman lain?”

Oppa menggeleng, Amon terdiam dan masih tetap memejamkan mata. Diamnya Amon berarti tidak, bisa juga berarti dia tidur sambil berdiri sih. Benar-benar misteri dunia.

Don Bravo mengangkat tangannya. “Aku ikut.”

Kori mengangguk.

Don Bravo dan Kori pun melangkah bersama menyusuri koridor untuk menuju toko serba ada yang letaknya ada di dekat lobby rumah sakit. Dari kamar tunggu ICU menuju ke ruang lobby harus berjalan memutar melalui koridor yang panjang. Keduanya terdiam untuk beberapa saat sampai Don Bravo akhirnya membuka mulut.

“Aku tahu kalau kamu tahu.” desisnya pelan sambil terkekeh.

Kori tertawa, dia baru berhenti tertawa saat berada di depan mesin minuman kaleng berwarna biru. Dia mencari-cari minuman yang dia inginkan dan berdecak kecewa saat tidak menemukannya.

“Aku siap kalau kamu mau melakukan apapun.” lanjut Don Bravo. “Termasuk menyampaikannya ke para pimpinan.”

“Jangan khawatir.” Ucap Kori.

Don Bravo memperlambat langkah agar bisa mensejajari Kori, dia tidak menengok ke belakang, menunggu kelanjutan ucapan sang mantan Jendral DoP.

“Jangan khawatir, aku tidak akan membuka rahasiamu di KSN. Tidak ada untungnya buat aku untuk saat ini. Aku justru akan membiarkanmu melakukan apapun yang kamu ingin lakukan selama itu tidak merugikanku. Aku sih tidak peduli apapun yang berkaitan dengan DoP untuk saat ini.”

“Dasar pengkhianat.” Don Bravo mendengus, dia meringis. “Kamu tidak akan melakukan apapun? Kenapa aku harus percaya?”

“Karena aku juga masuk ke sini dengan tujuan untuk melakukan sesuatu hal yang mirip denganmu – kalau kita bekerja sama, hasil akhirnya bisa berguna untuk kita berdua. Kita sama-sama berasal dari DoP, sama-sama punya akar yang sama, jadi sepertinya sudah tahu pembatasan kemampuan kita – artinya aku tahu kemampuanmu sampai mana, begitupun kamu juga tahu apa yang bisa aku lakukan. Kelak mungkin kita akan berakhir di sisi yang berbeda. Aku sih yakin seratus persen kamu tidak akan lagi berdiri di sisi KSN ketika saat itu tiba.”

“Itu kan sudah bisa kamu simpulkan sendiri dengan mudah.”

“Betul.” Kori terkekeh sambil menyilangkan tangan di depan dada. “yang kamu tidak tahu, aku juga tidak akan berdiri di sisi KSN. Itu sebabnya kita sama-sama melepas adik Amar Barok itu saat bertemu dengan dia kemarin, karena aku tidak ingin membuang tenaga. Targetku lebih besar. Aku akan mengambil jalur yang lain dan tidak akan bertahan sampai akhir di KSN.”

Don Bravo mengernyitkan dahi. Apa maksudnya?

Apakah Kori ini... pengkhianat yang akan kembali berkhianat?

Jingan. Ruwet banget, nyuk!

Kori berjalan mendahului Don Bravo, dia tersenyum sambil memastikan sarung tangannya masih ketat melindungi tangan. “Hebat kan aku? Langsung buka rahasia? Kita sama-sama berasal dari DoP, tapi kelak tidak akan berakhir di tempat yang sama. Untuk saat ini kita sama-sama berada di KSN... jadi mari kita hancurkan kelompok bangsat ini dari dalam.”

Don Bravo terhenyak.

Piye sih maksude?

Kori tertawa sambil melambaikan tangan. “Kelak kamu akan tahu apa yang aku maksudkan.”

Don Bravo terkekeh. Menarik sekali. Jadi mereka berdua ternyata memiliki agenda yang sama. Mereka sama-sama hendak menghancurkan KSN dari dalam.

Bagus.

Semuanya akan jadi lebih menarik.

Sementara itu... di dalam ruang ICU, tidak ada yang melihat dan tidak ada yang menyadari karena gorden kamar tunggu sudah ditutup dan para perawat sedang sibuk menangani pasien lain yang baru datang.

Saat itu, tangan Darsono mulai bergerak pelan, hanya pelan saja. Lalu ada senyum tersungging tipis di bibirnya. Senyum yang tak semua orang bisa menyadari.

Ada kekeh kecil, dan ucapan teramat pelan.

“Krok.”





.::..::..::..::.





Pagi ini pagi yang sendu di sebuah sudut di pinggiran kota. Matahari menatap malu-malu dari balik kerumunan awan yang enggan berpencar. Awan gelap merajam langit yang luas, membentangkan kelam hingga sejauh mata memandang. Gunung menjulang mulai tak kelihatan, karena awan sepertinya ingin mencuri perhatian, menempatkan massa mengerumuni sudut angkasa, mencuri pandangan mata dari pesona gunung yang perkasa.

Di sebuah pemakaman sederhana di ujung kota, masih ada jejak-jejak kaki manusia di hantaran gerbang sampai ke dalam. Tapak kaki mengular ke sebuah makam yang usianya masih hitungan jari. Taburan bunga di makam yang masih basah tidak lagi menumpuk menggunung seperti beberapa hari yang lalu. Hanya beberapa saja terlihat melintas wangi dengan tebaran melati.

Nisan itu bertuliskan nama Hasan Abidin.

Abi.

Dua orang anggota Sonoz berdiri di samping kanan dan kiri Hageng, layaknya dua orang bodyguard yang sedang menjaga sang pemimpin. Sebenarnya dengan kembalinya Simon ke Sonoz, Hageng sudah tidak menjabat apa-apa lagi, tapi dia tetap saja dihormati.

Markus Abednego dan Jaka ‘Si Jack’ Hamid adalah dua orang yang setia dengan Sonoz dan selalu berdiri di belakang Abi, kini keduanya berdiri sejajar dengan Hageng – pria yang pernah mereka lawan saat awal perkenalannya dengan Sonoz dulu.

“Tidak menyangka dia akan mendahului kita.” ucap Jack sambil bersimpuh di depan makam. “Sahabat, kawan, pemimpin. Orang yang paling setia, paling berani, paling tahu apa yang baik untuk Sonoz. Selalu jadi garda depan, selalu jadi yang paling setia kawan, selalu jadi pelindung, selalu berani berkorban.”

Abed bersidekap, tak henti-hentinya mulutnya berucap lirih menyampaikan doa. Kacamata hitam menyembunyikan bola matanya yang berkaca-kaca. Tapi tubuhnya yang bergetar menatap nama di nisan gagal menyembunyikan perasaannya yang kacau. Pertarungan kali ini memakan banyak korban dan rasanya terlampau mahal harga yang harus mereka bayarkan meski Sonoz dan aliansi memperoleh kemenangan. Mereka kehilangan kawan yang tak akan pernah kembali.

“Akan kucari cecunguk yang namanya Nobita itu dan bakal aku gorok pelan-pelan.” Ucap Abed dengan kesal. Suaranya yang bergetar juga tak mampu menyembunyikan perasaan marahnya. “Bahkan jika dia bersembunyi di Ndalem Banjarjunut sekalipun, aku tidak akan takut!”

“Dia zudah jadi buronan polizi, hidupnya tidak akan tenang. Mudah-mudahan zaja dia bertemu polizi terlebih dulu. Karena kalau zampai bertemu denganku, dia tidak akan zelamat begitu zaja.” Kata Hageng pelan dengan mulut bergemeretak penuh dendam. Matanya tak beranjak dari nisan kayu sederhana yang menjadi perlambang akhir kisah Abi – dia akan selalu berhutang budi pada Abi, hingga akhir hayatnya.

Raksasa kribo itu duduk bertongkat lutut, menggamit segenggam tanah makam Abi, lalu menundukkan kepalanya sembari mengucapkan beberapa kalimat. “Kalau zampai waktuku, ku mau tak seorang kan merayu. Tidak juga kau. Tak perlu zedu zedan itu. Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang. Biar peluru menembuz kulitku, aku tetap meradang menerjang. Luka dan biza kubawa berlari. Berlari. Hingga hilang pedih perih. Dan akan lebih tidak peduli. Aku mau hidup zeribu tahun lagi...”

Angin sepoi-sepoi memainkan dahan dan dedaunan pohon kamboja yang menaungi makam Abi. Memberikan semilir sang bayu, memberikan kesejukan bagi ketiga pria yang tengah meratapi kepergian salah seorang sahabat mereka, seorang korlap Sonoz yang paling mengagumkan yang pernah mereka kenal.

“Katamu kamu mau makan capcay goreng dekat pertigaan, Mas Abi. Belum keturutan ya? Tadi malam sudah aku belikan, tapi kamu tidak lagi datang ke kost-ku.” Jack menarik napas panjang yang bergetar, setiap kali napas ditarik, setiap kali pula rasanya ada sesak di dalam dada. Ada rasa kesal, tidak ikhlas, kecewa, sedih, rindu, sekaligus iba yang bercampur baur menjadi satu kesatuan tak tersalurkan. Kemana lagi sekarang dia harus berkeluh kesah? Jack menepuk nisan sang korlap. “Bagaimana lagi aku bisa makan capcay goreng dengan nikmat, Mas? Aku pasti bakal keinget sampeyan.”

Abed menepuk pundak Hageng, “apakah Simon sudah bilang kapan kita akan menyerang Ndalem Banjarjunut? Karena aku ingin bersiap-siap.”

Hageng tersenyum dan menggeleng dengan kepala tertunduk. “Belum ada kabar terbaru, tunggu zaja inztrukzi lebih lanjut. Kita juga tahu mereka kehilangan banyak anggota karena pertempuran tempo hari, jadi pazti zedang dalam prozez pemulihan dan penyembuhan. Yang kita tahu dari pertempuran kemarin kan begitu zi Darzono pingzan, KZN langzung mundur dan berpencar. Jadi kita tidak tahu bagaimana nazib mereka zaat ini.”

“Mereka datang secepat mereka pergi. Bajingan. Untung saja kita tidak mengejar mereka.” Abed bersungut-sungut.

“Aku hanya penazaran dengan zatu orang zaja.”

Abed dan Si Jack sama-sama menatap Hageng yang masih menundukkan kepala. “Kalian cari nama azli Nobita. Lalu cek zemua rumah zakit dan klinik di zeluruh penjuru kota. Aku mau dia ditemukan minggu ini. Zebelum dia zempat berlindung pada orang yang lebih kuat, kita harus menghabizinya terlebih dahulu.”

Abed dan Si Jack saling berpandangan. Lalu menyahut hampir bersamaan, “siap, bos.”

“Aku mungkin zudah tidak menjabat lagi zebagai PLT zementara. Tapi aku akan menjadi orang nomor zatu yang memaztikan kematian Abi tidak zia-zia.” Hageng berdiri dan melepas genggaman tanah di tangannya. “Hutang budiku padanya tak lagi dapat terbayarkan, pezan terakhirnya akan selalu aku ingat, dan akan aku bawa zampai kelak menutup mata.”

“Kami mungkin pernah ragu-ragu, kami berdua pernah tergoda ikut Kang Daan – tapi saat kehilangan Abi kami baru sadar apa artinya persahabatan dan kepemimpinan yang setia.” Ucap Abed, “mulai saat ini kami berdua akan mendukungmu, Bos.”

“Betul. Kami akan mendukungmu seperti sebelumnya kami menjaga Abi – tidak peduli apakah kamu menjabat sebagai PLT atau bukan.” Si Jack menambahkan. “Kami memang gagal menjaga keselamatan Abi, tapi kami tidak akan gagal menjaga keselamatanmu, Bos.”

Tiba-tiba saja terdengar petir menabuh genderang di atas langit yang mulai gelap.

“Sudah saatnya kita pulang.” Ujar Abed sambil menilik ke atas langit. “Bos?”

Hageng masih tetap berdiri di depan makam Abi sambil memejamkan mata. “Kalian duluan.”

Abed berpandangan dengan si Jack dan saling mengangguk.

Keduanya keluar dari area makam dan memutuskan untuk menunggu Hageng di depan gerbang masuk, duduk di atas motor masing-masing sembari menyalakan sebatang rokok penuh kebebasan. Membiarkan asapnya membumbung tinggi, berharap asap itu akan menjumpai Abi – berharap bahwa Abi saat ini masih ada bersama mereka, duduk bersama mereka, bercanda bersama mereka.

Ah, kita memang tidak akan pernah tahu rancangan kehidupan.

Suasana makam tidak sepi, karena ternyata mereka bertiga tidak sendirian. Di kompleks pekuburan itu sedang ada prosesi pemakaman yang dilangsungkan pada saat yang bersamaan tapi posisi makamnya ada di sisi kanan gerbang sedangkan makam Abi di sisi kiri, sehingga tak jauh dari Abed dan si Jack ada motor-motor yang berjajar dan rombongan orang datang dan pergi.

“Ada yang meninggal juga ya hari ini?” Hageng akhirnya datang.

“Iya, tapi makamnya yang di sana.” Kata si Jack sambil menunjuk ke arah atas.

Tepat dari arah si Jack menunjuk, seorang wanita yang luar biasa cantik dengan pakaian hitam ketat tanpa lengan, celana jeans warna gelap, kacamata hitam, rambut panjang yang dibiarkan tergerai hendak mendatangi mereka dengan langkah seorang model Victoria Secret. Bukan mendatangi sih tepatnya, tapi melewati. Wanginya sudah tercium bahkan ketika jarak belum dekat, pesonanya sudah terlihat bahkan ketika sosok aslinya baru nampak. Cakep banget asli.

“Gila, mantep banget, Bro. Nia Rahmadhani.” Seloroh Abed.

“Anya Geraldine ini sih. Mantep, cuy.” Balas si Jack.

Wanita cantik itu tentu saja tidak mempedulikan mereka, ia rupanya hanya hendak keluar dari komplek pemakaman dengan terburu-buru.

“Iyaaa. Ini aku sudah mau pulang. Kan aku sudah bilang tadi, mau anterin almarhum sampai makam, ga lama di sini terus mau pulang. Kan ga enak kalau tidak nganterin sampai makam. Salah satu bos paling baik dulu di kantor.” Ucap si cantik itu tergesa-gesa. “Jadi kamu bisa jemput nggak sih benernya? Yang pasti dong! Kalau bisa ya bisa, kalau tidak ya tidak! Gimana sih jadi cowok plinplan banget? Nyebelin!”

Si cantik itu berhenti tepat di depan Hageng, Abed, dan si Jack.

Dia menatap Hageng lama sekali dan menunjuknya dengan kaget. Tanpa sengaja dia mematikan sambungan telepon. Si cantik itu membuka kacamata hitamnya.

“Ka-kamu!?”

“Ha?” Hageng.

“Si-si Wafer!! Kamu si wafer itu kan!! Si kribo yang tidak bisa ngomong S!!”

Hageng mencoba memperhatikan si cantik itu sekali lagi, sementara Abed dan si Jack menatap Hageng dengan sengit. Sejak kapan si badan bedug ini kenal cewek semulus ubin masjid ini? Kenal dari mana coba!?

“Eh iya! Kamu cewek yang malam-malam itu kan?”

Eva tersenyum lebar menatap Hageng seperti seakan-akan bertemu dengan kawan lama yang sudah satu dasawarsa tidak bertemu, seperti merampungkan cerita yang sudah sepuluh tahun mangkrak dan tidak ada ujung tamatnya.

Dia tersenyum lebar. “Kamuuuu!! Waaaaah!!”

“Waaaahhhh!! Kamuuuuu!!” Hageng juga tersenyum lebar.

Eh sebentar... sebentar... cewek ini namanya siapa ya? Hageng mencoba melirik Abed dan si Jack, mencoba mencari tahu nama cewek di depannya. Tapi tentu saja mereka tidak tahu, ketemu aja baru sekarang ditanyain nama pula. Wedul gembes. Saat Hageng memohon bantuan kedua temannya dengan lirikan minta tolong, Abed dan si Jack membalas tatapan Hageng dengan sengit. Makanya kalau punya kenalan cakep jangan disimpan sendiri.

Ponsel Eva menyalak kencang.

“Sori, sebentar. Aku angkat ini dulu.” Eva menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan telepon. Ada nama Glen tertera di sana. Orang itu mengucapkan kalimat panjang yang langsung dibalas oleh Eva. “Ya? Yaaa? Ih, gimana sih? Katanya mau jemput? Kan ini jauh! Aku gimana pulangnya? Kamu ah! Nyebelin! Ga mikirin aku! Aku ga peduli! Kamu nyebelin!”

Lalu ada balasan panjang lagi dari ujung sana.

“Bodo amat! Ya udah!”

Suara di ujung sana makin panik.

“Iyaaaaa ya udah! Makanya pacar kamu itu dirawat! Repot kan jadinya harus nganterin ke rumah sakit sekarang? Padahal udah janji jemput aku?! Makanya jadi cowok jangan plinplan. Ya udah ah, males aku terima telpon kamu. Kita udahan.”

Terdengar balasan panjang yang mirip seperti teriakan panik penuh penderitaan dan sengsara dari ujung sana, berharap Eva tidak menutup panggilan telponnya.

“Iyaaaaa. Iyaaaaa. Bawel banget. Ya nanti aku pikirin. Kalau sekarang aku males ketemu kamu.” Eva terdiam sejenak. “Males kenapa? Ya males aja. Udah ah. Bye.”

Terdengar beberapa balasan pendek-pendek yang kencang dari ujung sana seperti orang mengumpat, tapi Eva sudah mematikan teleponnya. Hanya butuh beberapa detik bagi nomer yang sama untuk mengontak Eva lagi. Wanita cantik itu hanya mencibir, mematikan volume dan memasukkan ponsel ke dalam tas jinjingnya tanpa peduli.

Dia kembali menghampiri Hageng yang masih menatapnya tanpa berkedip.

“Zepertinya ada yang telepon.” Hageng menunjuk ke tas Eva, tas itu bergetar karena Eva meski mematikan volume suara, tapi dia tidak mematikan mode getar.

Eva kembali mencibir tanpa mempedulikan dering terlepon sembari merapikan rambut panjangnya dengan mengikat model ekor kuda. Sudah pernah melihat pose cewek sedang mengikat rambut? Kayak ada manis-manisnya gitu. Hageng menatap Eva dengan pandangan terpesona, pandangan yang sama juga pernah ditunjukkan Hageng saat ia melihat eskrim tiga tumpuk.

“Biarin aja. Aku sedang tidak minat ngobrol sama dia. Nah udah beres ikat rambutnya.” Eva tersenyum sambil mendekati Hageng. “Apa sih? Kok liatinnya gitu?”

“Eh ti-tidak.”

Eva memiringkan kepalanya dengan manis. “Sudah sarapan?”

Jaka Hamid menjawab. “Belum sih. Tadi cuma makan kembang tahu.”

Abed mengangguk, “iya sama. Cuma kembang tahu yang di belakang pasar. Anget-anget gitu tapi ya cuma lewat.”

Eva melotot menatap keduanya. “Kok aku ga nanya kalian yaaaa?”

Si Jack dan Abed cekikikan.

“Oh maap-maap, kirain pertanyaannya diajukan ke kami juga.” Si Jack tertawa.

Eva mendengus kesal. “Memangnya kalian siapanya dia?”

“Kami bukan siapa-siapa kok,” ucap si Jack menyambung. “kami sekedar NPC tidak penting. Kami hanya penari latar yang goyang-goyang tidak jelas di background.”

“Bener. Kami hanya pemeran figuran saja.” Abed tertawa, pria itu pun segera menepuk pundak Hageng dan berjalan meninggalkannya. “Ya sudah kami duluan, Bos. Sampeyan sedang ada tamu sepertinya. Kami tidak berani ganggu.”

Abed pun melambaikan tangan disusul si Jack, lalu motor keduanya lantas meninggalkan Hageng berdua saja dengan Eva.

“Jadi...” Eva tersenyum manis ke arah Hageng.

“Jadi?”

“Jadi, kamu sudah sarapan belum?”

“Belum.”

“Ya udah anterin aku yuk.”

“Kemana?”

“Ke apartemenku. Aku bikinin omelette terus di sana ada wafer juga kalau kamu mau. Hari ini aku pengen dengerin puisimu lagi, aku butuh hiburan.”

Hageng tersenyum.





.::..::..::..::.





Pagi seharusnya menjadi saat yang indah untuk memulai hari, menjadi awal yang tepat untuk melangkahkan kaki, untuk membuka mata membuka hati, untuk mengawali janji pada diri supaya bisa lebih baik lagi.

Tapi itu seharusnya.

Pagi ini jadi pagi yang menyiksa untuk Hanna.

Gadis jelita itu menggeliat kesakitan di dalam mobil yang tengah melaju kencang sembari memegang perutnya yang amat nyeri. Rasanya melilit, berputar, diaduk, teraduk, tidak nyaman meski berdiri maupun duduk. Berasa begah dan seakan selalu mau muntah. Sakit sekali rasanya, tetes air matanya mengalir. Baru sekali ini dia merasakan sakit yang seperih ini. Asam lambungnya? Usus buntu? Atau gejala penyakit lain? Untungnya Glen datang menjemput dan langsung mengantarkannya ke rumah sakit.

Atau setidaknya itu harapan Hanna.

Di dalam mobil ia hanya mendengarkan kemarahan.

“Kamu ini manja bener sih? Cuma sakit begitu saja mesti harus aku anterin? Aku ini sudah ada janji sama klien – sudah janjian sejak lama! Jadi berantakan semua rencana pagi ini gara-gara kamu.” umpat Glen sambil mengendarai mobilnya dengan membabi-buta. “kalau memang sudah dirasa sakit, ya tinggal berangkat ke dokter aja apa susahnya? Atau pakai aplikasi kan bisa? Kamu masih punya tangan, masih punya mata, bisa mainan hape. Memangnya semua jadi sakit? Nggak kan? Kalau memang butuh Tinggal pencet taksi online kan beres. Dasar manja.”

“A-aku kan tidak pernah minta kamu jemput.” Ada tetes air mata di pipi Hanna. “Aku bisa sendiri.”

“Sendiri apanya?! Kalau bisa sendiri lalu kenapa tadi kakak kamu telepon aku minta kamu diantar ke rumah sakit? Mau dianterin siapa-siapa ga mau katanya.” Glen masih terus bersungut-sungut, “tahu apa itu namanya? Manja! Dihilangin kenapa sifat manjanya? Kamu ini bener-bener...”

“Maaf aku ngrepotin kamu, Mas.”

“Maaf ga bakalan menyelesaikan masalah. Sekarang klien-ku marah nih, ngambek dia tidak mau ketemu aku. Kalau sampai proyek ini gagal – awas aja! Semua gara-gara kamu! Semua ini kesalahan kamu!”

Hanna menggigit bibir, dia tidak tahu mana yang lebih sakit, perutnya yang semakin tidak mau kompromi atau umpatan menyakitkan dari Glen yang membuat panas telinga. “Ya sudah turunin saja aku di sini, nanti aku naik taksi online. Mas lanjut ke kliennya.”

“Sudah telaaaaaaaaaaat!! Klienku sudah marah!! Kamu ini ga denger aku ngomong apa barusan? Telinga panci! Dipakai telinganyaaaa!” Glen geleng kepala, “beneran gemes sama kamu. Lalu kalau kamu turun di sini semua masalah juga jadi beres? Semuanya rampung begitu aja? Mau ditaruh mana mukaku di depan keluargamu? Mikir ga sih kamu ini?”

Hanna sesunggukan. Kalau saja dia tidak sakit begini, sudah lompat dia dari mobil sialan ini.

Great! Just great! Sekarang malah nangis! Sudah manja, cengeng pula. Bingung aku ngurusin kamu mesti gimana lagi.” Glen memukul dashboard mobilnya dengan kencang.

Braakkk!

“Diem bisa ga?! Ga usah nangis! Seharusnya aku yang pusing! Bukan kamu!”

Untunglah saat itu mereka sudah sampai di depan rumah sakit. Mobil Glen berputar di depan lobi, dan berhenti tepat di depan unit instalasi gawat darurat. Glen keluar dari mobil, membukakan pintu, lalu masuk ke bagian pendaftaran untuk meminta kursi roda.

Seorang perawat pria buru-buru ke depan untuk menjemput Hanna. Dengan tertatih, gadis itu dirangkul oleh Glen ke kursi roda dan didorong oleh sang perawat menuju kamar IGD. Selama dibawa oleh perawat, Glen menunjuk wajah khawatirnya dan mengelap keringat Hanna berulang dengan tissue.

“Kamu tidak apa-apa kan, sayang?” Glen mengelus pundak sang tunangan. “Pokoknya tenang saja, selama aku di sini, semuanya akan baik-baik saja. Tolong rawat dia ya, Mas. Saya khawatir sekali. Sejak tadi dia merintih-rintih, perutnya sakit banget katanya.”

“Baik, Mas. Pasti akan segera kami cek kenapa sakitnya.” kata perawat itu sambil tersenyum.

Tangan Glen mengelus rambut Hanna. “Dengar kan? Ditahan sebentar ya, sayang. Semuanya akan baik-baik saja. Aku temani kamu kok di sini.”

Glen terus menemani Hanna dan selama itu pula dia memegang tangannya.

Hanna hanya memejamkan mata. Lelehan air matanya belum kering.





.::..::..::..::.





Huff.

Nanto mengelap keringat di dahinya. Mungkin sudah saatnya dia beristirahat setelah berlari cukup jauh pagi ini. Sudah berapa kilo ya? Dia telah memasuki sebuah area persawahan dengan pematang yang cukup lebar untuk satu orang yang menghubungkan posisinya sekarang dengan jalan besar di ujung luar. Di tengah-tengah pematang terdapat satu gubuk bambu.

Udara pagi yang cerah dan suasana yang segar membuat pagi ini indah sekali. Memang bukan hari minggu, sehingga jalan pun sepi dan asyik dilewati tanpa gangguan kendaraan baik yang roda dua, roda tiga, roda empat, maupun roda kayu.

Aaaah.

Nanto menghirup udara segar, membiarkannya masuk ke paru-paru. Matanya menyaksikan pemandangan yang mirip dengan lukisan anak SD. Dua gunung dengan pematang di tengah, dengan padi di sawah berbentuk huruf V dan burung-burung di angkasa yang mirip dengan huruf W dibalik.

Dunia ini indah, sobat.

Pepohonan hijau sejauh mata memandang, sawah menyapa hangat. Batang rimbun menangkup rindang, sejuk memberi sehat. Apakah ada yang lebih menyenangkan dari berjalan di pematang? Kala mentari menabur cahaya lekat. Seakan surgawi bertandang, dengan segar pun merekat.

Senyum si bengal menghilang.

Entah kenapa beberapa hari ini dia mudah sekali lelah. Staminanya menurun drastis, mudah sekali terkuras habis – apa ada yang salah dalam latihannya? Apalagi yang harus dilatih? Bagaimana cara melatihnya? Bagaimana cara membuka saluran Ki dan meningkatkannya?

Ayo ditelaah satu persatu.

Gerbang pertama - kewaspadaan, entah bagaimana kadang bisa terbuka sendiri tanpa ia buka. seperti ada yang aneh dengan gerbang pertamanya. Selama ini si bengal mengira kewaspadaan datang dari dirinya sendiri, dari nuraninya, dari batinnya. Tapi sepertinya bukan, lalu dari mana?

Gerbang kedua – kecepatan, gerbang yang paling tidak bermasalah, tapi sejujurnya masih bisa ditingkatkan. Jika sebelumnya bisa mengejar lompatan kodok, besok dia harus bisa lebih cepat dari lompatan kodok.

Gerbang ketiga – pertahanan, ini yang paling payah. Membuka gerbang pertahanan dan mempertahankan mode defensif sangat menguras tenaga. Bagaimana caranya membuka saluran Ki yang lebih besar dan mempertahankan pelindung tanpa menguras banyak tenaga?

Gerbang keempat – kekuatan, jurus yang memungkinkannya menghadirkan pukulan yang bisa menandingi Pukulan Geledek-nya Simon sang pimpinan Sonoz. Memungkinkan lho ya, belum benar-benar menandingi. Dia masih harus banyak menggenjot Ki ke dalam Gerbang Keempat jika ingin menyamai apalagi melebihi kemampuan Simon.

Payahnya lagi... saat berhadapan dengan Darsono, dia dan Simon justru tidak bisa berbuat apa-apa dengan pukulan mereka karena pertahanan ekstra si raja kodok. Konyolnya, pukulannya dan Simon justru kalah sama kunci enggres!! Koplaaaaaaak!! Bangkeeeeee!!

Jangan ngomong gerbang kelima, enam, dan tujuh dulu deh kalau dia belum bisa memperbaiki diri, meningkatkan Ki, dan menyempurnakan pembukaan gerbang-gerbang Kidung Sandhyakala. Kalau begini terus, bisa-bisa dia bakal dilewati oleh Beni Gundul yang kemana-mana cuma mengantongi kunci enggres. Konyol!

Tiwas sinau angel-angel moso yo kalahe mung sama kunci enggres? Pait.

Nanto memandang tangannya yang mengepal. Pahit.

Dia harus bisa meningkatkan kemampuannya.

Tapi bagaimana caranya? Lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Dia harus menemukan caranya! Sayang sekali Om dan Tante-nya sedang sibuk minggu ini jadi dia tidak bisa berlatih dan bertanya-tanya. Kepada siapa ya dia bisa bertanya atau setidaknya memperoleh pencerahan?

Pertarungan dengan Darsono dan KSN menyadarkan si bengal. Di atas langit masih ada langit. Ada perbedaan level yang jauh antara geng SMA, geng kampus, apalagi geng-geng besar yang berkuasa di kota. Ada alasannya kenapa geng-geng besar itu berkuasa.

Pikiran si bengal benar-benar ngalor-ngidul. Butuh kesegaran. Butuh jus.

“Ih, kok lama banget sih, Mas?”

Suara lembut itu membuat Nanto terkesiap dan sadar, bahwa dia tidak butuh jus, karena sudah ada si manis ini. Pagi ini dia tidak berolahraga sendirian menyusuri jalanan desa. Dia janjian dengan Kinan untuk berolahraga bersama. Siapa yang ga mau olahraga bareng sama cewek semolek Kinan kan ya?

Kinan sendiri sudah duduk di gubuk yang ada di tengah pematang, duduk santai menikmati pagi.

“Maaf aku tinggal memutar sekali lagi tadi.”

“Memutar lagi? Pantesan lama.” Kinan mencibir, “aku ditinggal di sini sendiri.”

“Hahaha. Aman kok di sini. Apalagi kalau pagi begini, paling-paling ada Pak Tani yang mau mengurus kebunnya.”

“Yaaaah, kan ga enak kalau kita pakai gubuknya, Bambang.”

“Hehehe, aku sudah sangat sering lewat sini. Aman dan sepi kok.” Nanto duduk di samping Kinan, lalu rebah sambil memejamkan mata. “Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak akan pernah membiarkan apapun terjadi padamu.”

Ucapan Nanto membuat wajah Kinan memerah parah.

Tiba-tiba saja si bengal bertanya.

“Kinan, pernahkah kamu merasa kalau setelah menguasai dan belajar sesuatu, ternyata apa yang kamu pelajari itu masih kurang? Masih ada yang belum sempurna. Lalu ada yang mengolok-olok dan memaksamu untuk belajar lebih keras lagi?”

Kinan menatap lekat pria di sampingnya, “sering, Mas. Aku sering harus memaksa diri untuk keluar dari zona nyaman demi meningkatkan diri. Tapi rasa-rasanya selalu saja ada kurangnya. Kurang yang tidak kunjung ketemu jawabannya. Bagiku itu bukan olok-olok tapi pemberi semangat.”

Nanto mengiyakan, “bener. Seperti itu rasanya.”

Kinan tersenyum, “jangan khawatir, Mas. Kamu pasti bisa.”

“Kok bisa yakin?”

“Karena aku tahu kamu bisa. Aku akan menemanimu sampai kamu bisa melewati semua penghalang itu dan akan terus mendukungmu.”

Nanto tersenyum.

SI bengal beristirahat, merasakan angin menyejukkan hari. Membiarkan teduh pagi menyatu dengan rekat sinar mentari. Nanto menyalakan ponselnya untuk memutar sebuah lagu berulang-ulang dengan mode loop.

Senyuman terlukis di wajahku. Di saat ku mengingatkanmu.
Tawamu manjamu membuatku rindu. Tak sabar ingin bertemu.
Suara lembut menyapa aku. Lembutnya selembut hatimu.
Tulusnya setulus cinta padaku. Ku sadar beruntungnya aku.

Hidupku tanpamu, takkan pernah terisi sepenuhnya.
Karena kau separuhku.
Berbagi suka duka. Saling mengisi dan menyempurnakan.
Karena kau separuhku.


“Ciee.” Kinan tertawa, “ga nyangka kamu suka lagu ginian, Mas.”

“Dih, memang kamu pikir aku suka lagu macam apa?”

“Yaaah, mungkin yang rancak, rock gitu.”

“Aku suka rock juga kok.”

“Oh ya?”

“Iya, apalagi kalau yang pakai rock-nya kamu.”

Keduanya tertawa, saling canda, saling menggoda. Kadang diseling cubitan Kinan pada si bengal. indah kan pagi itu? Sederhana tapi indah.

Hingga suatu saat.

“Aduh.” Tiba-tiba Kinan menutup matanya dengan tangan.

“Eh, kenapa?” Nanto menatapnya khawatir.

“Ada sesuatu masuk ke mataku, Mas. Bikin pedih.”

“Paling-paling serangga, tidak apa-apa. Buka matanya, aku tiup.”

Kinan mencoba membuka matanya, “duh, pedes.”

“Ga papa. Aku tiup pelan-pelan. Buka saja. Percaya kan sama aku?”

Gadis itu tersenyum dan mengangguk.

Nanto meletakkan tangan Kinan di bagian baju olahraganya-nya yang kering. Gadis itu menggenggam erat jaket si bengal. Nanto mendekatkan wajahnya ke mata indah yang tengah basah berair. Nanto tersenyum dan meniup pelan mata indah itu. Ada serangga kecil yang kemudian lepas dan terbang dengan bebas. Ah, hanya hinggap sekejap pun tak boleh rupanya di mata indah Kinan. Bahkan serangga kecil pun tahu betapa mempesonanya bola mata si cantik itu. Tatapannya membius dan menggelora.

“Wuh.. akhirnya... makasih, Mas.”

“Iya. Jangan dikucek dulu ya.”

Kinan mengangguk dan mengejapkan mata berulang. Nanto menatap gadis itu dengan pandangan khawatir, sampai akhirnya keduanya sadar kalau secara bersamaan keduanya sebenarnya sedang saling menatap, saling menyelami bulat hitam mata masing-masing.

“Eh, ehm... maaf, Kinan. Aku...”

“Tidak apa-apa, Mas. Terima kasih.” Lembut Kinan tersenyum. “Oh iya, Mas...”

“Hmm?”

“Aku mau cerita... tapi juga mau nanya. Boleh?”

“Boleh.”

Wajah Kinan berubah memerah, dia berusaha menyembunyikan perubahan wajahnya itu dari si bengal, tapi di pagi secerah dan seterang ini, merah itu bagai pulas nyata di kulitnya yang putih bersih tanpa cela.

Kinan menunduk malu dan memainkan ujung pakaiannya. “Kemarin sore aku ditembak.”

“Ha?”

“Ehem.” Kinan berdehem dengan imutnya, dia memasang wajah serius. Tapi mau serius bagaimanapun juga kalau wajahnya imut, jatuhnya malah manis. “Kemarin sore aku ditembak sama Kak Angga – dia salah satu pengurus K3S tempat kami mengajar anak-anak jalanan, orangnya baik dan perhatian pada kami semua. Dia juga sangat peduli sama anak-anak jalanan. Nah, sore-sore kemarin Kak Angga datang ke rumah, bawa bunga, bawa coklat.”

Nanto meneguk ludah. “Terus?”

“Ya, awalnya cuma ngobrol sana-sini, tapi ujung-ujungnya dia nembak. Dia bilang dia suka sama aku, terus minta aku jadi pacarnya. Dia mau serius katanya, kalau selesai kuliah, dia mau langsung kerja dan mau cepat-cepat nikah.”

Nanto merasakan kibasan angin meniup wajahnya. Sepoi-sepoi persawahan. Enak nian. Tapi berita yang disampaikan Kinan kok justru berasa membuatnya panas ya? Apa-apaan sih ini? Kenapa jadi panas diceritain begitu saja?

“Terus kamu jawab apa?”

“Belum aku jawab, Mas. Aku minta waktu.”

“Kamu suka sama dia?”

“Mungkin... hanya seperti kakak saja. Dia baik dan perhatian, tapi bukan tipeku. Tipeku... agak... maksudku...”

“Kenapa kamu belum jawab ke dia?”

“Karena aku ingin cari tahu tentang sesuatu dulu dengan pasti sebelum aku menjawab dia, Mas.”

“Ingin tahu sesuatu?”

“Iya.”

“Apa itu?”

“Aku ingin tahu kemana arah hubungan kita, Mas.” Wajah Kinan merah padam tak beraturan. Ia menunduk sambil menahan detak jantungnya agar tidak meledak.

Nanto tersedak. Pertanyaan Kinan benar-benar menohok dan membuat dadanya sesak. Bajilaaaak! Pertanyaan beginian kok mendadak!

Gelisah Nanto kebingungan, ia melihat ke kiri, melihat ke kanan. Tapi tak ada bala bantuan, tak ada yang bisa membantunya menjawab, termasuk tidak ada pilihan phone a friend. Apa yang harus dia jawab?

“A-Aku tidak... maksudku aku masih belum...” terbata-bata si bengal bicara.

Garang di depan lawan, gagap di depan wanita. Ra mbois.

Nanto menatap tajam mata Kinan yang berkaca-kaca menatapnya. Gadis itu sepertinya menaruh harapan besar, harapan yang akan dia hancurkan jika dia menjawab yang tidak sesuai dengan keinginan.

Tapi apa suara hatinya?

Yakin kamu mau kehilangan dia? Ada laki-laki lain yang saat ini sedang menunggu jawaban dari gadis cantik di hadapanmu ini. Apa kamu rela sosok ini pergi darimu?

Bagaimana juga dengan Asty? Jawaban apa yang akan kamu beri?


Nanto memejamkan mata, mencoba menghirup udara pagi sedalam-dalamnya. Badannya masih terasa sakit, beberapa bagian membiru dan sebagian luka belum juga mengering. Pertarungan terakhir kemarin membuatnya harus banyak berlatih dan belajar. Dia masih harus bekerja dan kuliah, tapi dia juga butuh support system.

Dia butuh penyemangat di kala dirinya runtuh di depan tembok yang tak tertembus.

Nanto menatap wajah sang dara jelita, lalu dengan berani mengelus ujung atas hijab yang dikenakan. Keduanya berpandangan. Si bengal tersenyum, dia menghela napas yang sangat panjang. Kinan juga tersenyum, ada garis basah di ujung mata yang siap menetes menantikan apapun jawaban Nanto.

Memang tak ada kata terucap, tak ada suara terungkap, hanya berisik serangga yang tersingkap dari tebaran luas sawah yang membentang, mulai dari yang terbang sampai yang hinggap. Hanya ada diam, tapi dari tatapan yang dalam, keduanya sama-sama paham.

SI bengal memegang dagu si cantik. Ia mendekatkan kepalanya, lalu mengecup dahinya. Sekejap saja.

Nanto menarik kepalanya ke belakang.

Mereka berpandangan.

Ada tetes air mata kini mengalir di pipi mulus Kinan. Tapi lagi-lagi tidak ada kata yang terucap. Dia hanya menatap ke arah Nanto dengan pandangan penuh tanya tapi juga lebih tajam dan tegas. Dia ingin memastikan apakah si bengal benar-benar yakin.

Nanto menghapus air mata itu dari pipi Kinan. Lalu mendekatkan kepalanya lagi.

Kinan memejamkan matanya.

Bibir si bengal mengecup lembut bibir sang dara jelita. Hanya sekejap, hanya beberapa saat.

Kinan terduduk dengan awkward, tak mampu bergerak.

Kinan tidak membalas kecupan itu, dia hanya terdiam dengan tubuh kaku membeku. Jantungnya berdebar kencang tanpa aturan, bagai kayuhan pedal sepeda pada turunan. Melaju kencang, tegang, tapi juga membuat seluruh hatinya senang.

Nanto menarik kepalanya ke belakang.

Kinan membuka mata.

Keduanya kembali saling bertatapan.

Si bengal sempat bertanya-tanya. Kenapa Gerbang Pertama tidak bereaksi ya? Kenapa tidak seperti saat bersama Asty?

Tapi dia tidak lagi peduli saat ini.

Tangan Nanto merayap, menangkup jari jemari lentik sang dara jelita, melindunginya. Jari jemari si bengal menyeruak di antara jemari Kinan, saling menaut, saling mengikat, saling mengait. Keduanya saling tersenyum dan tak sekalipun melepas tatapan.

Nanto mendekatkan kepalanya lagi.

Kembali Kinan menutup mata.

Nanto mencium bibir Kinan, bukan lagi kecupan ringan, karena kali ini keduanya saling berbalas, saling mengelus, saling meminta rasa kasih terbesar yang bisa didapatkan. Bibir bertemu bibir. Rasa ingin memiliki yang membuncah meledak dalam satu ikatan tanpa ucapan. Desah dan gairah berpadu, nafsu dan cinta bertemu.

Kinan membalas ciuman Nanto dengan malu-malu, perlahan tapi mau. Kadang menuntut, lebih banyak menunggu. Ciuman yang berawal dengan kecupan malu-malu, perlahan-lahan meningkat menjadi desakan nafsu dan desahan rindu dalam temali nafas yang memburu.

Nanto melepaskan ciumannya, Kinan terengah-engah.

Wow.

Dia sama sekali tidak menduga pagi ini akan...

“Ihir icikiwir! Ono seng ambung-ambungan!”

“Wih! Ho’o le! Lagi ambung-ambungan, le!”

“Welok! Mosok ambung-ambungane neng sawah yo, le!”


Si bengal dan Kinan terbelalak, mereka menatap ke arah yang tak jauh dan melihat tiga orang bocah laki-laki yang membawa alat pancing menyaksikan ulah mereka dengan terpana. Gawat, benar juga ya. Mereka sedang ada di lokasi yang rawan. Ketika Nanto dan Kinan melihat ke arah mereka, bocah-bocah itu pun tersadar mereka ketahuan.

“Konangaaaan! Konangaaaaan!”

“Mlayuuuuuuuuu!!!”

“Dimaaaaaaas, Aku ojo ditinggaaaaaal! Aku ojo ditinggal! Sendalku bodoooool! Ojo ditinggaaaaal tooo! Andakke bapaaaaak mengkooooo!”


Nanto dan Kinan tertawa geli melihat ulah anak-anak yang kabur itu. Salah mereka juga sih, beradegan mesra begini di ruang publik, makanya jadi tontonan, kayak ga ada tempat lain aja.

Brrt. Brrt.

Nanto kaget ketika ada getaran di celana, ia pun menarik hapenya dari dalam kantong dan menatap ponselnya yang bergetar, lalu tersenyum saat membaca sebuah pesan WhatsApp yang masuk.

“Kayaknya sudah waktunya kita pergi nih, takutnya anak-anak itu bawa pasukan yang lebih besar.”

Kinan geli, “iya ya. Duh sekali-sekalinya begini, ketahuan pula.”

Nanto tertawa, ia menghunjukkan tangan ke arah Kinan. Kinan memerah wajahnya, tapi dia kemudian menerima uluran tangan si bengal. Keduanya lantas bergandengan menyusuri jalan.

“Kamu yakin?” tanya Kinan.

“Banget.”

“Kenapa?”

“Karena...” Nanto terdiam sesaat. “Karena kamu melengkapi siapa diriku. Kamu membuatku utuh.”

Wajah Kinan kembali memerah. Tangannya yang dingin kini digenggam erat oleh si bengal.

“Te-terima kasih.” Ucap Kinan.

“Kok terima kasih?”

“Ha-habisnya apa ya? Aku tidak... maksudku aku bingung harus...”

“Tetap jadilah kamu dan aku akan selalu ada di sisimu.”

Aaahh.

Kinan makin bahagia.

“Eh, mau sarapan ga?” tanya Nanto. “Perutku udah krucuk-krucuk.”

“Sarapan? Boleh. Mau dimana?”

“Lokasinya agak jauh ke utara sih, tapi pasti enak. Kita ambil motor saja dulu.”

“Aku ga mau sarapan yang berat-berat, Mas.”

“Nah cocok. Ini sarapannya ga berat, kita cari snack-snack aja.”

“Yakin?”

“Percaya sama aku, sayang.”

Aaahh.

Bagai air tumpah di ketel panas yang uapnya langsung ngebul. Wajah Kinan berubah memerah tanpa sebab akibat saat dipanggil dengan sebutan mesra. “Sa-sayang?”

“Boleh kan aku mulai sekarang manggil kamu begitu?”

Aaahh.

Merah lagi wajah Kinan. Dia tidak menjawab, namun tersenyum sembari menunduk malu dan mengangguk. Terlebih ketika kemudian si bengal menarik tangannya.

“Yuk.”

Kinan tersenyum lebar, “yuk.”

Bahagia itu sederhana.

Apalagi bahagia karena berbalas sayang.





.::..::..::..::.





“Kalau dulu sih peralatannya disimpan di gudang, Bu. Tapi saya tidak yakin kondisinya masih bagus. Sudah lama sekali tidak dipakai.” Kata Pak Uya sembari berjalan dengan menyeleksi kunci yang diikat menggerombol dalam satu rumpun.

Di belakangnya, Asty dan Reynaldi berjalan bersama menyusuri koridor gelap di belakang sekolah, tempat yang dekat dengan parkir motor dan jarang disentuh oleh anak-anak karena selain pengap dan sempit, koridor ini menjadi lokasi paling ditakuti – konon inilah kawasan paling angker dari seluruh komplek SMA Cendikia Berbangsa.

Bahkan di pagi hari saat mentari mulai tinggi seperti sekarang pun, koridor menuju gudang ini gelap dan pengap, menimbulkan perasaan tidak nyaman pada Asty. Tidak nyaman berjalan menuju gudang dan tidak nyaman berjalan bersama Rey yang dari tadi senyum-senyum melulu. Nyebelin banget. Mana koridor ini panjang lagi... asli hari ini tidak menyenangkan sekali.

Asty memandang sekeliling dan merasakan bulu tengkuknya berdiri di balik hijab yang ia kenakan, pantas tempat ini lumayan ditakuti anak-anak dan jarang ada yang mau lewat sini, bahkan untuk membolos pelajaran sekalipun tidak ada yang berani, karena memang suasananya tidak nyaman. Urban legend paling populer di SMA CB tentang koridor belakang sekolah adalah legenda Mak Prosot. Mak Prosot – awas bukan Mak Erot lho ya - adalah hantu legendaris dari SMA CB yang konon seringkali memanggil-manggil untuk minta digarukkan punggungnya karena gatal, pas mau digaruk hlaaa jebule ternyata kepalanya yang belakang sudah bolong hanya meninggalkan otak separuh berbelatung. Hiiy... merinding dong.

Hantu nenek-nenek berkepala separuh dengan senyum menyeringai seram di SMA CB itu tak kalah ngetop dengan hantu suster ngesot. Jika suster ngesot jalannya pelan, maka Mak Prosot jalannya sangat cepat bak naik skateboard karena jalannya ngambang. Antara ngeri-ngeri tapi geli. Jangan-jangan bisa juga trick kick flip pake skateboard.

Tapi kenapa Asty bisa jalan bareng dengan Rey?

Karena Pak Man – sang kepala sekolah baru saja menunjuk keduanya menjadi ketua dan wakil penyelia kegiatan pensi yang akan diadakan dalam waktu dekat, jadi harus memeriksa, mendata, dan mempersiapkan semua peralatan yang hendak digunakan. Sebenarnya Asty risih karena harus bekerja sama dengan Rey yang sering mencuri pandang ke arahnya dengan pandangan aneh, tapi ya mau bagaimana lagi, namanya juga perintah atasan.

“Kita sudah lama sekali kita tidak ada kegiatan.” Kata Pak Uya menyambung kata-katanya di awal. Dia masih belum menemukan kunci.

“Iya, Pak. Kepsek baru, ketentuan baru. Kepsek yang lama tidak pernah mengadakan pensi, yang baru ini pengennya ada kegiatan supaya bisa menarik sponsor dan minat calon siswa baru. Belum kelar urusan perkemahan sabtu minggu, sudah ditambah lagi pensi.” Jawab Asty. Dia paling tidak suka bau pengap dan lembap, sehingga berulang kali dia berusaha menutup hidungnya dengan tangan dan tissue, agak menyesal tadi dia meninggalkan masker di meja ruang BK. Pengap, gelap, singup, lembap - benar-benar lokasi yang pas buat cari wangsit untuk cari nomer togel.

Akhirnya sampai juga mereka bertiga di gudang belakang.

Sekolah ini memiliki tiga gudang; pertama gudang depan – untuk menyimpan barang-barang yang sering digunakan seperti peralatan olahraga, bendera, dan barang-barang milik OSIS. Kedua gudang atas, untuk menyimpan peralatan musik dan kerajinan. Lalu yang ketiga gudang belakang ini, untuk menyimpan barang-barang yang sudah jarang atau bahkan tidak dipakai.

Pak Uya akhirnya menemukan juga kunci yang dia cari sejak tadi. Pria tua itu memasukkan kunci gudang yang masih ada dalam rumpun ke dalam lubang kunci di sebuah pintu tua, bukan sulap bukan sihir dan pintu pun terbuka. Pak Uya membuka pintu sedikit dan membiarkan bau pengap keluar dulu sebelum mereka bisa masuk.

Deng deng deng dong deng dengdeng dongdengdong. Susu murni nasional...

“Ayam! Ayam! Ayam!”

Tiba-tiba saja terdengar bunyi musik jingle jadul terdengar. Serius bikin kaget! Sampai-sampai Asty hampir meloncat karena terkejut. Rupanya itu ringtone hapenya Pak Uya. Pria tua penjaga sekolah itu segera mengangkat ponselnya sambil membuka pintu gudang lebih lebar.

“Maaf, Bu. Hape saya memang bunyinya begini. Hahaha. Kaget ya?” Pak Uya nyengir saat melihat wajah kesal Asty. “Maaf saya angkat sebentar, dari Pak Kepsek.”

“Iya, Pak.”

“Pak Man? Iya saya di belakang sedang nganterin Bu Asty sama Pak Rey. Gimana Pak? Oh ya ya... masang spanduk di depan sekolah? Sekarang juga? Oke siap, Pak.”

Karena Pak Uya sibuk mengangkat telepon, Rey dan Asty masuk ke dalam gudang dan mencari-cari barang yang ada dalam daftar mereka. Rey sampai harus menyalakan lampu karena meskipun hari masih pagi dan terang di luar sana, tapi di dalam gudang terasa bagai TKP lokasi pembunuhan atau set film horor. Suasananya ga banget.

“Bu Asty, Pak Rey... maaf saya ke depan sebentar ya. Disuruh bos masang spanduk buat penerimaan siswa baru.” Ujar Pak Uya sambil menarik kunci dari pintu. “Nanti kalau sudah selesai ceknya, bisa langsung keluar saja, Pak. Tidak perlu dikunci lagi. Pintu di sini memang gitu – begitu nutup langsung kekunci sendiri. Aneh ya? Jangan-jangan ini ulah Mak Prosot? Hahaha...”

Ga lucu, Pak! Sumpah ga, lucu! Asty mendengus kesal. “Iya, Pak.”

Rey tersenyum dan mengangguk sopan.

“Oh iya, kalau ada suara-suara yang memanggil Bapak sama Ibu dan suara itu terkesan dari seorang nenek-nenek, jangan takut dulu tapi juga jangan menyepelekan. Dengarkan baik-baik sambil waspada. Siapa tahu itu suaranya Bu Kantin yang baru lewat.” Ucap Pak Uya dengan wajah serius.

Tambahin teroooos! Tambahin lagi!!! Lucuuuu yaa!? Lucuuuu!? Asty makin kesal, “ih apaan sih, Pak Uya nih.”

Pak Uya tertawa sembari melenggang bahagia sudah berhasil ngerjain guru paling cantik di SMA Cendikia Berbangsa itu. Sang penjaga sekolah akhirnya meninggalkan kedua guru muda yang sedang memeriksa satu persatu barang. Rey menyebutkan nama dan Asty memeriksa di catatan.

Saat memerika catatan, mata Asty tertumbuk pada sebuah album foto yang terselip di bawah sebuah rak. Dengan hati-hati Asty mengambilnya karena sudah sangat berdebu. Yang menjadi perhatiannya adalah karena album foto itu merupakan draft buku tahunan yang akhirnya tidak diterbitkan beberapa tahun lalu. Karena ada beberapa kesalahan cetak dan layout, draft ini dibuang dan digantikan versi yang baru yang akhirnya dicetak. Album foto ini adalah draft yang tidak jadi digunakan.

Senyum manis sang guru jelita mengembang saat membuka halaman demi halaman album yang merangkai kenangan demi kenangan dalam benaknya, banyak foto di draft ini yang tidak ia jumpai di buku tahunan asli yang kemudian dicetak. Berulang kali dia teringat si ini dan ini si itu. Wah sudah lama sekali tidak berjumpa si ini dan berjumpa dengan si itu. Senyumnya makin mengembang saat ia masuk ke halaman foto-foto adik kelas – di sana dia menjumpai foto si bengal dan teman-teman sekelasnya dalam sebuah group photo di kelas.

Iya, ini foto terakhir si bengal tepat sebelum dia pindah ke desa. Kalau tidak salah ini memang foto terakhir di semester itu. Wajah si bengal menatap kamera dengan kosong, tanpa senyum, tanpa harapan akan masa depan.

Asty mengerutkan kening.

Eh?

Dia memicingkan mata, mendekatkan mata ke arah album foto. Ada yang aneh dalam foto itu. cahaya lampu yang redup tidak membantu sama sekali. Tapi Asty tidak salah lihat, dia sudah memiringkan meluruskan, mengangkat dan memutar foto. Ada yang aneh dengan foto ini.

Ada bayangan di belakang si bengal. Bayangan yang seakan-akan memeluknya.

Posisi Nanto ada di depan namun dekat dengan lemari guru, sehingga sebagian badannya tak terlihat, bayangan di samping memang gelap dan orang dengan mudah akan melihat bayangan di belakang Nanto itu sebagai bayangan lemari. Tapi itu bukan bayangan lemari. Bayangan lemari tidak akan memiliki tangan yang memeluk.

Bayangan ini... hanya terlihat gelap dan hitam saja, dengan dua garis putih di tempat yang seharusnya merupakan posisi mata, selebihnya hanya gelap. Dia tidak terlihat mengenakan pakaian sekolah, tidak terlihat penuh sebadan, tapi seperti sedang berada dalam gendongan si bengal.

A-apa ini? Bulu kuduk Asty merinding, jantungnya berdetak dengan cepat, dan otaknya tak menyetujui apa yang dilihat oleh mata. Sosok ini... dari posturnya... apakah ini sosok seorang wanita?

“Bu Asty?”

Asty tak menjawab.

“Bu Asty?”

Asty masih tak menjawab.

“Bu Asty!”

“Ayam! Ayam! Ayam!”

Album foto itu terjatuh dari tangan Asty saking kagetnya. Si cantik itu sampai harus menekan area jantungnya yang berdegup kencang. Dia segera berbalik untuk melihat ke arah Rey yang sedang memunggunginya untuk memeriksa barang.

“Sudah dicek satu persatu barang-barangnya, Bu? Ada lagi yang belum kita periksa?” tanya Rey sambil memeriksa ke tumpukan barang. “Sepertinya sih sudah tidak layak pakai. Hampir semua yang ada di sini, berkarat, rusak, dan usang. Kalau saya sarankan lebih baik beli yang baru dan buang yang di sini... atau tidak usah memakai sama sekali.”

“Iya ya, Pak. Memang sih sebaiknya barang-barang itu dibuang saja.” Asty memeriksa catatan di buku kecilnya sekali lagi. Dia memberikan tanda centang di setiap barang yang ada dan tanda silang di barang yang tidak ditemukan atau sudah rusak. Hanya ada dua barang yang dicentang dan belasan sisanya ditanda silang.

“Barang apalagi yang masih belum, Bu?” tanya Rey sambil mendekat dan ikut mengintip dari balik punggung Asty yang asyik memilah dan memilih barang.

“Kayaknya sih sudah semu...”

Braaaaaaaaaaaak!

“Ayam! Ayam! Ayam!”

Pintu tertutup dan seketika ruangan gelap. Lampu lima watt berwarna kuning tidak membantu penerangan sama sekali karena gelap lebih mendominasi. Rey segera berlari menuju pintu dan mencoba membukanya. Usaha kerasnya hanya membuahkan goyangan tak berarti pada pintu tua yang sudah terkunci rapat. Wajah khawatirnya menjadi horor bagi Asty.

“Tidak bisa dibuka, Bu. Terkunci.”

“Hah? Masa sih, Pak?” Asty buru-buru mendekat ke pintu, membantu Rey membukanya. Tapi bagaimanapun caranya, keduanya tidak mendapatkan hasil yang diinginkan.

Tidak bisa.

Mereka berdua benar-benar terkunci!

Duuuh! Ada-ada saja sih!

Asty pun membuka ponsel untuk mencoba menghubungi Pak Uya, tapi karena panik – entah kenapa dia justru membuka WhatsApp si bengal. Asty tersenyum simpul. Dih, kenapa di saat-saat panik dan bingung dia malah teringat si bengal?

“Ibu cantik banget.”

Eh?

Suara serak di dekatnya membuat Asty tersadar. Dia sedang berada di ruangan terkunci bersama Rey!

Asty mencoba mundur, tapi dia tidak bisa lebih mundur lagi, sudah mentok. Di belakangnya sudah tertahan oleh pintu yang terkunci. Dengus napas Rey yang sangat dekat dengannya terhembus hingga terasa di wajah sang guru cantik. Wajah Rey terbias lampu redup. Ada seringai senyum di sana.

Celaka ini, gawat ini! Dia tidak mau terjebak di ruangan terkunci berdua saja dengan Rey! Tidak! Tidak mau!

Rey meletakkan tangannya di kanan dan kiri Asty. Menutup geraknya. Menjebaknya. Mengurungnya. Pandang matanya tajam menatap ke sang guru muda yang jelita. Mencoba menelaah dan berkuasa di batin sang guru BK.

“Kamu cantik banget.” Tangan Rey mulai usil menyentil dagu Asty, senyum guru ganteng itu jadi menyeramkan di bawah lampu lima watt yang temaram. Keringat deras mendera tubuh Asty, gawat... gawat... gawat... dia harus segera menghubungi Pak Uya!

Dengan berani Rey mengangkat dan memainkan jemarinya di pipi sang ibu muda, tepat di pinggir hijab Asty. “Kamu memang kembang yang paling cantik di sekolah ini, dan kamu punya tubuh yang paling seksi. Bisa dibilang kamu adalah guru yang paling yang menggiiurkan yang pernah aku temui, dan aku sudah banyak sekali bertemu dengan guru-guru di luar sana.”

“Pa-Pak Rey. Ja-jangan main-main ya. Ini kita masih di sekolah, Pak.” Ucap Asty agak-agak takut. “Kita harus segera memanggil Pak Uya... kita harus...”

“Kenapa buru-buru? Mumpung kita sedang berada di sini berdua...” Reynaldi menyeringai menatap keindahan tubuh Asty dari bawah ke atas, dari atas ke bawah. “Bagaimana kalau kita manfaatkan waktu dengan lebih produktif?”

Asty mundur perlahan. Ia tidak menyukai tatapan Rey. “A-apa maksud Pak Rey?”

“Ah, tidak ada maksud apa-apa. Sekedar menghabiskan waktu saja...” Rey semakin mendekat. Senti demi senti, bibirnya makin mendekat ke bibir Asty. Sangat dekat sekali. Hanya suaminya dan si bengal yang pernah sedekat ini dengan Asty!

“Apakah suamimu bisa memuaskanmu, cantik?”

“Ja-jangan aneh-aneh lho, Pak. Sa-saya ini...”

“Aneh-aneh apa? Kenapa aneh? Apakah saya mengucapkan sesuatu yang aneh, Bu Asty yang cantik? Dengan tubuh seindah dan semolek itu pasti kamu punya gelora nafsu yang juga besar, kan?”

“Pak Rey!” Asty benar-benar tersinggung, marah, takut, kalut dan tegang. A-apa yang harus dilakukannya? Apa? Dia buru-buru membuka ponsel dan mengetuk satu nomor yang berada di urutan paling atas daftar panggilan.

Cepat! Angkat!! Angkaaaaat!

Rey mendengus dan bergerak cepat.

Plaaaak!

“Aduuuh!”

Praakk!

Tangan Rey dikibaskan seperti menampar. Sakit menyengat di tangan Asty. Ponsel yang tadinya ia pegang terlempar agak jauh. Masih dalam posisi memanggil dan belum juga diangkat. Asty makin bergetar ketakutan. Aduh, bagaimana ini? Bagaimana ini!?

Angkaaaat! Angkaaaat!

“Aduh! Maaf sekali, saya tidak sengaja.” Ucap Rey sambil tersenyum mengerikan. Wajahnya semakin dekat dengan Asty yang gemetar ketakutan menatap wajah ganteng Rey seakan-akan berubah menjadi wajah yang mengerikan. “Bagaimana tawaranku tadi, ibu guru yang cantik jelita? Setuju tidak kalau kita melakukan sesuatu yang produktif? Kalau suamimu tidak bisa memuaskanmu... akan aku tunjukkan apa yang bisa. Kamu akan menikmati ini...”

“Mundur! Pak Rey! Mundur! Apa yang Bapak mau lakukan?”

Bibir mereka hanya beberapa senti saja.

Reynaldi meremas susu Asty.

“Hyaaaaaaaaaaaaa!!”





.::..::..::..::.





“Hyaaaaaaah. Huff.”

Bian melepas lelah dengan membuka lebar-lebar mulutnya, lalu mengelap keringat di dahi setelah ia meletakkan alat pel di samping pintu sebuah kontrakan tiga sekat yang ada di lantai dua semua rumah di kawasan utara kota, dekat dengan stadiun baru dan wahana permainan air. Dia duduk bersandar di samping pintu yang terbuka lebar, di depannya terbentang balkon dengan lebar satu setengah meter yang menampilkan pemandangan gunung dan perumahan di samping rumah yang saat ini sedang ia bersihkan.

Suasananya masih asri dengan pepohonan di sana-sini, bunyi kokok ayam dan serangga saling bersahutan. Wah, enak banget tempat ini.

Tak jauh dari posisinya beristirahat, satu kipas angin duduk menyala dengan kencang, berputar, dan bekerja keras untuk mendinginkan ruangan supaya hawa panas tidak terasa terlampau cetar. Tapi apalah daya si kipas angin mungil melawan cahaya sang surya yang kian berseri.

Pagi seindah ini memang lebih enak menikmati sinar mentari pagi.

Bian memandang sekeliling ruangan luas di sekat demi sekat ruang yang terlihat dari tempatnya duduk dan bersandar, si bandel itu tersenyum melihat hasil karyanya. Seumur-umur jarang sekali membersihkan kamar kost-nya sendiri, tapi kali ini dia mau-maunya membersihkan rumah kontrakan buat orang lain. Persahabatan memang bagaikan kepompong. Sejak subuh tadi Bian sudah bersih-bersih dan merapikan. Niat banget ya?

Di ruangan paling depan ada sebuah karpet dua meter kali satu, meja kecil yang bisa dilipat, lemari buku pendek dua tingkat, dan dispenser murah meriah dengan satu galon cadangan. Sementara di ruang tengah sudah ada kasur busa, bantal, guling, container rak plastik untuk penyimpanan baju, dan meja pendek kalau-kalau mau dipasang pesawat televisi. Sedangkan di sekat paling belakang sudah ada rak piring dan kompor satu tungku. Lumayan kan? Bener-bener tinggal masuk dan pakai aja nih.

Satu-satunya yang bikin Bian risih adalah cat dinding warna hijau yang sudah jelek, luntur, dan memudar. Agak berkesan kumuh, padahal aslinya bersih dan kelihatan banget lembap di beberapa sudut. Mungkin dia bisa ngajakin yang lain buat bantu ngecat ulang ruang dalam di minggu-minggu mendatang.

Dab, kira-kira si kampret suka ga ya tempat ini?” tanya Bian kemudian sambil menatap ke luar, kontrakan tiga petak ini berada di lantai dua sehingga dia bisa melihat pemandangannya yang cukup segar dan hijau. Di bawah sana ada dua pohon rambutan besar, lalu pohon nangka yang tinggi menjulang, dan pohon mangga. Di sana sini ada ayam yang berlarian mencari makanan

Dari sekat kedua, muncul wajah Deka yang saat nongol mengenakan handuk kecil terlilit di leher. Fashion yang ia kenakan mengingatkan wardrobe legend khas seorang supir angkot. Mulut Deka masih mengunyah bakwan yang baru saja ia telan sehingga ia tidak langsung menjawab.

Setelah ludes barulah Deka menyahut, “Nanto? Pasti suka lah. Dia kan kontrakan kayak apa juga mau, yang penting murah dan strategis. Nah, ini udah pas banget. Lokasinya enak, sewanya terjangkau, dan lokasinya tepat ada di antara tempat kerjaan dia sama kampus UAL, pas kan? Jadi dia pasti suka. Kurang gimana lagi.”

Seorang gadis keluar dari kamar mandi sambil bersungut-sungut membawa ember berisi gorden yang baru saja ia cuci. “Mau-maunya kalian kerjain semua ini buat dia, sementara dia malah ngelayap ga tahu kemana. Huh. Ga ngerti lagi sama kalian.”

Deka dan Bian sama-sama saling melirik dan tersenyum.

“Kita berempat kan sudah sepakat mau kasih surprise ke dia, sayang.” rayu Deka karena Ara sudah mulai merajuk. “Nanto kan lagi ribet banyak urusan, jadi setidaknya kita bisa bantuin dia seadanya. Tahu sendiri kan, kalau dia selama ini pagi kerja, malamnya kuliah? Dia juga ngotot mau nyari tempat tinggal, karena tidak ingin merepotkan Om dan Tante-nya terus menerus. Sedikit banyak bisalah kita bantu sediain kontrakan ini sama bersihin dalemnya sekalian. Mumpung harganya murah bisa kita bayar berempat patungan untuk bulan pertama.”

“Sampai segitunya banget. Huh.” Ara masih tetap bersungut-sungut. “Aku aja ga pernah kamu spesial-in gitu, huh. Giliran Nanto aja, huh.”

Huh-nya Ara ibarat linggis yang ditancapkan di ubun-ubun si gondes. Wajahnya bersurut menciut. Mau bagaimanapun logis dan kuatnya argumen seorang laki-laki, tetap saja wanita yang selalu benar.

Bian tertawa. “Makanya dispesialin lah dia, bro. Ajak ke pantai, ajak ke gunung, ajak ke mal. Ajak plesiran, mlaku-mlaku.”

“Nah, Bian aja paham.” Ara manggut-manggut.

“Ke pantai sama gunung sih masih oke, lha kalau ke mal demi apa? Kan sudah sering kita jalan ke mal.” Deka melanjutkan lagi kegiatannya membersihkan ruang tengah.

“Ajarin dia, Bi.” Ara bersungut-sungut. “Dia tidak paham perasaan wanita.”

Ara meletakkan gorden yang baru saja ia cuci di tempat jemuran – tempat jemuran yang dimaksud di sini sebenarnya adalah dua utas tali rafia yang dibentangkan di di antara tembok yang membentang di balkon. Iya, jemurannya pakai tali rafia, kontrakan ini murah dan seadanya, jangan harap fasilitas prima.

“Kamu tidak paham perasaan wanita, bro?” tanya Bian yang kembali berdiri dan memeras kain pel setelah mencelupkannya beberapa kali di ember.

“Paham, Dab. Aku hanya tidak memahami kapan harus menutup mulut.”

Bian tertawa.

Seorang laki-laki tua berjingkat ke atas tangga yang melingkar mulai dari halaman di bawah, hingga ke atas – tempat Ara tengah menjemur gorden.

“Wah-wah ada penghuni baru ya?” tanya Bapak itu sopan. “Saya yang tinggal di bawah, nama saya Sujiwo. Panggil saja Pak Jiwo.”

“Wih Sujiwo Tejo ya, Pak?” seloroh Bian sambil tertawa.

“Hus!” Ara melambaikan tangan, “gimana sih! Ga sopan amat! Maaf ya, Pak. Yang satu ini memang rada-rada.”

Untungnya Bapak itu tidak tersinggung dan malah tertawa. “Hahaha, tidak apa-apa, Mbak. Sudah sering kok dibecandain begitu. Nama saya cuma Sujiwo saja, ngga pakai Tejo, Dek.”

“Hahaha. Siap, bosque! Mantap jiwo!

“Bian, ih! Sopan dikit!” sergah Ara dengan kesal, lalu berpaling ke Pak Jiwo. “Oh iya, Pak. Salam kenal, Pak.” Ara tersenyum dan mangangguk, dia tidak menyalami sang Bapak karena tangannya kotor setelah memeras-meras cucian. “Maaf ya Pak, tangan saya kotor. Saya Ara, yang itu Bian, dan yang di dalam lagi namanya Deka.”

Deka keluar dari dalam sambil tersenyum lebar. “Salam kenal, Pak. Maaf pagi-pagi begini kami ganggu. Pasti terlalu ribut ya, Pak? Mohon maaf mengganggu kegiatan Bapak dan keluarga di bawah.”

“Hahaha, tidak apa-apa, Dek. Namanya juga baru mau pindahan” Pak Jiwo tersenyum lebar, orang ini ramah sekali. Wajahnya adem dan tenang. “Jadi yang akan meninggali tempat ini nantinya adek yang mana?”

“Nah itu dia. Hahaha. Ceritanya ini kita kasih surprise, Pak.” Deka tertawa. “Orangnya malah belum datang. Pagi ini dia kerja terus tidak tahu pergi kemana, kemungkinan baru akan kesini nanti malam atau besok pagi. Tempat ini memang sengaja kami permak dan renovasi kecil bagian dalamnya untuk memberikan tempat yang nyaman buat dia. Dia tidak tahu kami sudah mengontrak rumah ini, Pak.”

“Oalah hahahaha.” Pak Jiwo manggut-manggut. “Jadi ini semacam kejutan begitu, ya? Mantap jiwa, banget. Apa ya itu kalau istilah anak jaman sekarang yang sering saya lihat di Yuktiup...? Preng ya? Eh, preng atau apa sih ya?”

“Hehehe, iya Pak. Tapi ini bukan prank ini surprise. Seru kan?” Deka tersenyum lebar.

“Bukan seru lagi, benar-benar hebat persahabatan kalian bisa sampai segininya.” Pak Jiwo tertawa. “Ya sudah kalau begitu saya mau turun dulu. Monggo lho kalau mau mampir, silahkan. Kalau kalian mau sarapan kebetulan istri saya masak rendang. Hahaha. Di bawah kontrakannya dua pintu, satu ditempati saya dan keluarga, satu lagi ditempati Mas Pong.”

Deka, Bian, dan Ara tersenyum lebar. Rendang? Kok boleh ya. Hahaha.

Pak Jiwo melirik Ara, lalu Bian, lalu Deka, lalu tersenyum lebar.

“Omong-omong pacar mbak-nya yang mana nih?” tanya Pak Jiwo menyelidik ala-ala detektif. “Dua-duanya ganteng begini. Meski belum seganteng saya, ahahay.”

Ara memutar mata ke atas, podo wae kenthire jebule bapak iki. Sama aja gilanya ternyata bapak ini.

“Tunangan saya yang di dalam itu Pak. Tapi berhubung dia orangnya gak bisa ngertiin perasaan wanita – barusan aja ngajak berantem. Jadi hari ini cowok saya yang ini aja deh.” Ucap Ara sambil tertawa dan menepuk pundak Bian.

Bian tentu saja risih dan menggoyang badan. “Apaan sih, Neng. Nggak pak, tunangan Ara yang di dalem itu – Si Deka. Saya mah belum ada pasangan, Pak. Mau serius cari duit dulu aja, kata orang kalau ada uang ada barang, wanita pun datang.”

Ara mencibir, Deka tertawa, Pak Jiwo juga tertawa.

Kalau sedang berbincang nyambung dengan anak-anak muda begini, Pak Jiwo merasa dia juga sangat ganteng. Berasa keren. Ahahay.

“Paaaaak! Jangan lupa sempaaaknyaaaa dijemuuuur. Basah semuaaaa ini!”

Terdengar teriakan dari lantai bawah.

Wajah Pak Jiwo langsung memerah dan dia buru-buru pamit.

Bian, Deka, dan Ara langsung tertawa.





.::..::..::..::.





Tiga pimpinan kelompok kampus terbesar di kawasan utara bertemu pagi itu di kedai kopi Kluthuk. Duduk bersila di atas tikar, tepat di tepian pematang sawah, memandang gagahnya gunung tegak menjulang. Di samping pohon yang rindang, ditiup angin sepoi, di atas gelaran tikar sembari menyaksikan hamparan ladang menghijau dan pelataran damai hingga sejauh mata memandang. Ketiganya adalah pimpinan dari DoP, Sonoz, dan Talatawon: Rao, Simon, dan Ableh Ndaho.

Pagi begitu cerah dengan burung-burung terbang bebas dan suara serangga bagaikan musik yang tak memerlukan nada. Bahagia itu sederhana, menikmati indahnya suasana dunia yang tanpa campur tangan manusia.

Simon yang membuka wicara sementara dua orang yang lain memperhatikan. Memperhatikannya sambil ngemil gedang goreng dan ngopi atau ngeteh, jadi agak nyamleng.

“Ancaman semakin berat dan wilayah utara menjadi lahan perebutan kelompok-kelompok besar.” Ujar Simon yang berpakaian hitam-hitam dan mengenakan kacamata hitam – khas orang yang sedang berkabung. “Kita sama-sama tahu, serangan KSN ke Sonoz itu bisa menjadi pemicu kelompok lain untuk menyerang Sonoz, atau menjadi pertanda akan datangnya serangan kedua, ketiga, keempat, dan berikutnya dari KSN atau bahkan dedengkotnya, PSG. Teror ancaman yang sama pasti juga akan menghantui DoP, hanya tinggal tunggu waktu saja.”

Rao manggut-manggut, asap rokoknya meninggi. “Kita juga kehabisan petinggi. Aku kehilangan hampir semua kapten dan seorang jendral yang menyeberang ke KSN. Rikson bilang dia juga mau mundur sebagai jendral, entah kenapa. Kampret semua.”

Simon mengangguk. “Apalagi kami, Sonoz sedang sangat berduka. Tidak ada lagi lapis kedua, korlap juga sudah habis.”

“Oke, dari informasi yang aku dapat, KSN merebut banyak aset kelompok kampus. Tapi kalian sudah membuktikan kalau aliansi Sonoz, DoP, dan Patnem langsung solid dan berhasil menghalau serangan mereka.” Ableh Ndaho menyeruput kopinya dengan kenikmatan surga di atas dunia, diakhiri dengan bunyi aah menunjukkan hangatnya kopi dan puasnya rasa. Ableh Ndaho memang tidak pernah bersinggungan langsung dengan KSN, tapi dia sungguh tak mengira pergerakan underground KSN sedemikian masif dan cepat. Hampir semua geng kampus di kawasan utara terkena dampaknya. Kalau yang sebesar DoP dan Sonoz saja hancur begini, apalagi yang kecil-kecil. “Jadi apa mau kalian sekarang?”

“KSN sudah menyiramkan bensin ke api, jadi kami harus bersiap – atau bahkan bergerak untuk menggempur markas mereka. Mereka bisa jadi kalah di pertarungan pertama, tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Kita semua sama-sama tahu kita masih trauma dengan prosesi kekuasaan absolut QZK bertahun-tahun yang lalu dan saat ini menantikan kembalinya mereka dengan waswas. Karena kalau QZK kembali, maka JXG juga pasti hidup kembali, perang besar tinggal menunggu waktu. Belum lagi penguasaan wilayah perbatasan utara dan selatan oleh Dinasti Baru, penguasaan sebagian wilayah kota oleh PSG, dan munculnya KSN.” ucap Simon kepada beberapa orang yang saat itu datang. “Lima kelompok besar akan membagi-bagi kota. Kita bakal tergencet dan hanya akan dianggap angin lalu dan hancur jadi debu, tidak ada legacy apapun yang tersisa dari DoP atau Sonoz. Aku jelas tidak bisa tinggal diam begitu saja – kita harus melakukan sesuatu.”

Rao melanjutkan, “pertarungan dengan KSN meyakinkan kami kalau bersama-sama, kami lebih kuat.”

Ableh Ndaho mengangguk, “aku datang ke sini hanya sebagai penasehat dan pihak luar. Talatawon sebenarnya akan selalu netral, tapi kami sudah lama berafiliasi dengan QZK. Jadi kami tidak akan bisa bergabung dengan kalian. Tahu sendirilah gimana QZK itu. Tapi selama kalian tidak mengganggu QZK maka kita tidak akan berdiri di sisi yang berseberangan.”

Simon tersenyum, “kami sudah tahu kalau itu. Kami hanya membutuhkan saksi netral untuk membuktikan bahwa kami berdua sepakat menjadikan aliansi sebagai sebuah kelompok baru di utara. Terdiri dari gabungan banyak kelompok mandiri yang masih tetap akan berdiri, namun menjadi satu kesatuan pasukan besar yang saling mendukung. Seperti PSG dan KSN namun lebih terorganisir.”

“Paham.” Ableh kembali manggut-manggut. “Selain DoP dan Sonoz, akan bergabung juga sempalan kecil dari Patnem di bawah Beni Gundul ya?”

“Bener, Dab.” Rao terkekeh. “Ada satu lagi kelompok kecil yang namanya Lima Jari. Kami juga sedang menghubungi beberapa kelompok lain yang terdampak gerilya KSN dan kehilangan anggota-anggotanya. Tahu sendiri kan Tedi Ganesha juga sekarang nyebrang ke KSN.”

Ableh mengernyitkan dahi, “oke, tapi siapa yang akan menjadi pemimpin aliansi ini? Kalian butuh sosok yang tepat yang akan berdiri paling depan. Rao?”

“Aku tidak mungkin mengusulkan namaku sendiri.” Rao mendengus.

Simon mengangguk dan meminum tehnya. “Aku juga tidak – kalau kami berdua memilih salah satu di antara kami sebagai ketua, maka kemungkinan besar anggota DoP dan Sonoz akan menolak dan malah membelot – permusuhan kelompok kita terlalu dalam. Itu hal yang paling kita hindari saat ini. Kita hendak membangun pasukan besar yang saling mendukung, bukan pasukan yang saling mengumbar ego. Satu-satunya cara adalah memilih orang lain sebagai pemimpin. Fair and square.”

“Beni Gundul?”

Rao menggeleng. “Beni setia kawan, agak nekat, dan tidak pernah menyerah. Bagus secara kualitas, bagus sebagai pemimpin. Sayangnya dia juga mantan Patnem, kalau kita meletakkan dia sebagai pemuncak, itu sama saja kita menantang PSG secara langsung dan memancing KSN lagi. Dia harus tetap stay low dan keberadaannya akan tetap menjadi rahasia, saat ini saja aku tidak tahu dia ada di mana.”

Ableh Ndaho mengangkat bahu. “Lalu siapa?”

“Kalau menurutku sih hanya ada satu nama yang cocok.”

Simon tersenyum simpul. Enggan rasanya untuk mengakui, “untuk pertamakalinya aku dan Rao sepakat. Hanya ada satu nama yang cocok.”

“Mau bagaimana lagi, demi kebaikan bersama.” Rao membuka mulut, asap rokok mengepul keluar. “Agak-agak geli juga bisa sepakat sama si pukulan kresek ini.”

“Bagaimana menurutmu? Apa dia terlalu muda? Kemungkinan masih butuh banyak pengalaman.” Simon bertanya-tanya. “Aku tahu dia itu potensial tapi belum mencapai potensinya yang tertinggi. Kita masih harus kerja keras.”

“Kalau masalah usia rasanya muda tua sama saja, yang penting kemampuan. Dia bisa memimpin di saat mendesak dan mengambil alih arus pertarungan, dia sudah membuktikannya saat berhadapan dengan KSN kemarin, jadi itu sudah cukup. Soal pengalaman kita bakal menjadi pendukung dan penasehatnya, jadi rasanya tidak ada masalah. Kita akan membantu dia, toh kita tetap akan menjadi pimpinan di Sonoz dan DoP ditambah kita sekarang juga mendapat dukungan Beni Gundul. Dia sudah banyak makan asam garam.” Jawab Rao.

“Beni Gundul akhirnya bisa menuntaskan dendam ya.” Ableh Ndaho geleng-geleng kepala, “setelah semua kekejian Darsono padanya. Akhirnya dia bisa menuntaskannya.”

“Jangan macem-macem sama Beni Gundul, dikepruk kunci enggres lha tepar. Wakakaka.” Ucap Rao.

Simon tersenyum, ia merasa tidak ada masalah dengan usul dari Rao. “Sepakat. Sampeyan benar. Rasa-rasanya pertarungan tempo hari melawan KSN sudah menjadi ajang pembuktian kemampuannya tanpa perlu tes lebih lanjut.”

“Siapa ketua aliansi yang kalian pilih?”

Simon tersenyum. “Nanto.”

Rao melengkapi. “Jalak Harnanto.”

Ableh Ndaho mengernyit.

Sopo kuwi? Jalak? Janda galak?

“Jalak Harnanto? Siapa itu, Dab?”

Hanya beberapa saat setelah Ableh Ndaho mengajukan pertanyaannya, seseorang datang sambil menggandeng seorang cewek berhijab. Wajahnya sumringah seperti seakan-akan sedang menggenggam berlian termahal di dunia.

“Wah sudah ngumpul aja kalian.” Wajah penuh senyum itu menemui Rao dan Simon yang lesehan di atas tikar. Saat melihat Ableh Ndaho, dia tersenyum sopan sambil mengulurkan tangan.

“Halo masbro, kok baru datang? Kene-kene, duduk di sini. Kalian sudah pesen makan minum? Oh ya, kenalin ini Ableh Ndaho, pimpinan Talatawon – kelompok paling mepet netral di utara.” Ucap Simon memperkenalkan. “Nah, Bos. Ini orang yang baru saja kita bicarakan.”

Ableh Ndaho berdiri dan menjabat tangan erat sosok yang baru saja datang. Keduanya saling bertatapan, saling menyunggingkan senyum sekaligus memperkirakan kekuatan.

“Ableh Ndaho.” Ucap Ableh singkat.

“Nanto.” ucap si bengal.

Keduanya bertatapan agak lama.

“Ehem.” Rao berdehem sambil ngekek. “Kalau yang kamu gandeng itu siapa, dab? Asem ik. Kemana-mana bawa gandengan sekarang.”

Wajah si bengal memerah. Oh iya, dia lupa saking seriusnya berkenalan dengan Ableh Ndaho. Nanto melepaskan tangan sang pimpinan Talatawon dengan rasa penasaran yang besar. Ia merasakan ada Ki memancar yang tak biasa dari sosok yang baru ia temui ini. Di usianya yang masih muda, luar biasa juga Ki yang tersimpan di sosok Ableh – apa yang dia kuasai ya?

Nanto berbalik untuk memperkenalkan, “Kenalin ini Kinan. Itu Rao anak UAL, yang di sini Simon anak Unzakha. Kalau yang ini Mas Ableh ya.”

Kinan mengangguk sambil malu-malu ke satu persatu sosok yang diperkenalkan oleh Nanto. “Kinan.”

Rao, Simon, dan Ableh sama-sama tersenyum.

“A-aku pesen makanan dulu ya.” gugup Kinan karena tiba-tiba saja bertemu tiga orang yang memandangnya dengan pandangan tak biasa. Meski masih muda, mereka sepertinya bukan orang biasa, ada aura tak biasa yang keluar dari ketiganya. “Mas mau apa? Kopi sama pisang goreng aja atau sama makan juga?”

“Aku kopi sama pisang aja.”

“Oke.” Kinan berlalu. Tapi saat hendak berjalan, ternyata tangannya masih digenggam erat oleh Nanto. Kinan berbalik sambil bertanya-tanya menatap Nanto.

“Jangan lama-lama. Nanti aku kangen.” Ucap si bengal sambil tersenyum.

“Ih apaan sih! Malu tau!” Wajah Kinan memerah sambil menyentak tangannya lembut dan tersenyum manis, ia pun berlalu cepat ke dalam warung kopi sementara Nanto duduk di samping ketiga teman barunya.

Rao cekakakan. “Kampreeeeeeeeeet! Wasuuuuuuu!! Pamer ok piye. Tae jaran kepidak kocheng kowe, dab! Wasuuuuuuuuu!”

Simon ikut tertawa, “Semoga langgeng, Mas.”

Ableh ikut senyum.

Nanto hanya tertawa cekikikan. “Jadi... kenapa nih kalian ngundang aku pagi-pagi ke sini? Tadinya kami berdua mau naik ke Kalipenyu hari ini. Cari hawa seger.”

Rao dan Simon bertatapan, lalu saling tersenyum. Sekali lagi Simon yang membuka percakapan, “Kami ada penawaran buat sampeyan, Mas. Keputusan sampeyan akan mempengaruhi hidup banyak orang. Jadi mohon pertimbangannya.”

“Wah, opo meneh kih?

Rao mengebulkan rokoknya. “Kami meminta kamu memimpin aliansi.”

“Heh!?”

Nanto terbelalak hingga hampir meloncat.

Simon menimpali. “Tidak ada kandidat lain yang lebih cocok. Kamulah orang yang paling tepat. Aliansi akan menjadi wadah gabungan DoP, Sonoz, Patnem, Lima Jari, dan kelompok kampus lain yang sedang kami hubungi. Beberapa sudah tertarik bergabung termasuk pasukan yang ditinggalkan Tedi Ganesha – tapi mereka menunggu keputusan siapa yang akan menjadi pemimpin kelompok baru ini.”

Ableh tersenyum, “aku yang jadi saksi perjanjian ini. Maukah kamu memimpin aliansi?”

Nanto meneguk ludah. “HHHeeeh!?”

Nanto menatap ketiga wajah di depannya satu persatu. Mereka tidak main-main! Mereka sungguhan! Apa-apaan ini? Jadi pemimpin aliansi? Apa yang harus dia jawab?

Dering telpon kencang terdengar dari saku Nanto, dia menarik ponselnya.

Nama Asty tertera di sana.

Nanto menatap layar ponsel, lalu menatap tiga wajah di depannya, lalu melirik ke arah warung tempat Kinan sedang memesankan makanan.

Bagaimana ini?





BAGIAN 33 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 34
Suwun dab, nitip jadah goreng ro kopi dab
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd