Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG JALAN HIDUP SIAPA YANG TAHU

Status
Please reply by conversation.
EPISODE 14

Hubungan Dibyo dan Winda masih dingin selepas perdebatan malam itu. Rutinitas memang kembali seperti biasa tapi kehangatan itu hilang. Komunikasi menjadi formalitas saja. Winda tetap melayani kebutuhan suaminya. Tapi tidak ada pembicaraan panjang diantara keduanya. Dibyo merasa tidak nyaman. Ia harus segera menyelesaikan permasalahan ini. Tapi Winda terus saja menghindar saat kesempatan datang untuk membahasnya.


Sebenarnya Winda ingin segera menyelesaikan kemelut rumah tangga ini. Ingin Ia setuju saja dengan usulan Dibyo. Tapi Ia terlanjur gengsi. Winda sudah marah-marah malam itu. Berkali-kali menuduh suaminya gila dengan ide anehnya. Dan jika tiba-tiba menerima ide tersebut, Ia takut suaminya curiga. Apa jadinya jika Dibyo tahu selama ini Winda telah bersetubuh dengan Farhan. Bahkan sudah berkali-kali. Dan salah satunya adalah ketika liburan yang mereka jalan bersama. Otak Winda sedang dipenuhi skenario-skenario rekaannya sendiri.


Winda makin pusing karena lebih dari dua minggu semenjak pulang dari Bali, belum ada kesempatan memacu birahi dengan Farhan. Selain waktu dan kondisi yang tidak memungkinkan, moodnya juga sedang buruk. Tapi birahinya makin kencang menuntut pemuasan. Entah mengapa, semenjak malam itu, Dibyo makin sering berada di rumah. Pulang tepat waktu, tidak keluar malam, dan tidak melakukan perjalanan bisnis. Perubahan-perubahan yang makin membuatnya bingung. Kemana sebenarnya arah pikiran suaminya.


"Berarti semua sudah siap ya?"

"Beres, Pak. Rima event organizer sudah menyiapkan semuanya."

"Kami rencana Sabtu besok survey tempat sekalian ketemu beberapa vendornya, Pak."

"Siapa saja yang berangkat?"

"Saya, Edo, Nadia, Pak Halim, Ika, sama Farhan. Eh sama Pak Sigit juga."

"Ibu nih seksi perlengkapannya mau dilupakan."

"Orangnya agak nggak kelihatan soalnya."

"Ketutupan kegantengan ya, Bu?"

"Gantengnya kelewatan."

"Oke lanjut. Pastikan semua beres dan acaranya menyenangkan."

"Serahkan semua ke tim ular ini Pak."

"Kalian itu bisa saja. Ya sudah saya tinggal ya."

"Terima kasih, Pak."

"Han, ikut saya sebentar."

"Baik, Pak."

"Ambil kunci mobil di ruangan, Han. Antarkan saya."

"Siap, Pak. Kemana ini, Pak?"

"Sudah ikut saja."


Dibyo masih keukeuh menjalankan idenya. Setelah seminggu didiamkan istrinya, lelaki tua itu belum menyerah. Ia merasa harus bilang ke Farhan. Paling tidak, satu urusan bisa selesai. Ia tahu bagaimana tabiat istrinya, mungkin butuh waktu. Dibyo membiarkan kondisi ini berjalan mengikuti alurnya sendiri. Menunggu momen yang tepat adalah pilihan. Paling tidak, dua orang targetnya sudah tahu bagaimana ide yang Ia miliki. Setelahnya tinggal menunggu waktu. Semua orang tahu, jika sudah memiliki niat tak ada kata gagal dalam kamus Dibyo.


"Kita mau nengok pabrik, Pak?"

"Iya sekalian ada yang mau saya bicarakan. Nggak ada yang urgent kan di kantor?"

"Nggak ada Pak. Awal tahun kan selalu santai."

"Oke langsung ke pabrik saja."


Sampai di pabrik pengolahan kayu miliknya, Dibyo mengajak Farhan menemui beberapa pegawai sambil melihat aktivitas harian di sana. Para pegawai sedang menyelesaikan pesanan dari Reynold.


"Saya nggak tahu mulainya dari mana, Han. Tapi saya harap kamu nggak tersinggung."

"Saya siap mendengarkan, Pak."

"Saya mau minta bantuan sama kamu."

"Apa yang bisa saya bantu, Pak?"


Dibyo menghela nafas dalam. Siap atau tidak, semua harus disampaikan sekarang juga.


"Gantikan saya memuaskan Ibu."

"Hah? Maksudnya, Pak?"

"Saya minta kamu menggantikan peran saya memenuhi kebutuhan biologis Ibu."


Farhan kaget bukan main. Ia tak pernah menduga akan diajak Dibyo berbincang dengan topik ini. Pemuda itu jadi curiga, jangan-jangan, bosnya sudah tau affair yang terjadi antara Ia dan Winda. Mulut Farhan kelu, tak ada kata yang bisa keluar.


"Bapak tidak sedang salah ngomong kan?"

"Sama sekali tidak. Kamu lihat saya setenang ini kan?"

"Tapi ini permintaan yang tidak masuk akal, Pak. Saya tidak mungkin memenuhi."

"Saya tahu kamu akan menolak. Biarkan saya jelaskan alasannya."

"Mungkin tidak usah dilanjutkan, Pak. Seharusnya permintaan ini tidak pernah ada."

"Kamu tahu bagaimana saya kan. Celup sana-sini. Ngentot wanita-wanita panggilan di manapun. Pijat, karaoke, dan semua urusan lendir sudah saya coba. Bahkan sering kamu yang handle semua."

"Tapi bukan begitu kan harusnya, Pak."

"Kadang saya takut menularkan penyakit ke Ibu. Meski kamu selalu mengingatkan untuk pakai pengaman dan memilih yang paling bersih. Risiko tetap ada. Sudah puluhan tahun saya begini."

"Bukankah lebih baik berhenti kalau begitu, Pak?"

"Saya belum bisa berhenti. Kamu tahu itu. Selain soal ketakutan membawa penyakit, satu hal lagi adalah soal kepuasan Ibu. Dia masih muda. Dia berhak dapat kepuasan seks itu. Saya nggak tega melihatnya. Usianya sedang puber kedua."

"Ibu bisa mencari sendiri, Pak."

"Itu yang saya tidak mau. Ya, saya masih egois. Saya nggak mau akhirnya dia malah jadi seperti saya."

"Saya masih nggak bisa menerima ini, Pak."

"Cuma kamu satu-satunya yang bisa menolong saya. Soal lain harusnya kamu mengerti. Tidak perlu saya jelaskan panjang lebar."

"Selain ini adalah permintaan yang tidak masuk akal, saya juga bukan orang yang tepat, Pak."

"Menurut saya kamu orang yang tepat."

"Bapak memang sudah banyak membantu saya tapi kali ini saya harus menolak, Pak. Terlalu berat, Pak."

"Tolonglah, bantu saya. Bantu saya meringankan rasa bersalah saya dengan Ibu."

"Pak, saya juga minta tolong. Jangan, Pak."

"Saya nggak mau pakai cara ini tapi kamu tahu saya bisa menggunakannya."

"Pak, tolong. Saya hormat dan berutang budi sama Bapak. Tapi untuk yang satu ini saya nggak bisa, Pak."

"Tidak akan ada yang berubah, Han. Hubungan antara saya dan kamu masih akan sama. Kamu staf saya di kantor dan kamu tetap orang kepercayaan saya di bisnis ini. Tidak akan ada yang berubah. Kamu harusnya percaya saya bisa profesional."

"Itu semua karena belum terjadi, Pak."

"Saya tidak akan tanya ke kamu bagaimana rasanya bersetubuh sama Ibu. Saya juga tidak akan tanya di mana kalian akan main. Saya juga tidak akan tanya hal-hal lain soal hubungan itu. Kamu tahu saya selalu memegang janji?"

"Soal kredibilitas dan profesionalisme Bapak saya percaya 100%. Tapi ini soal meniduri istri Bapak sendiri. Saya nggak habis pikir dengan ide Bapak ini."

"Bukankah tidak kali ini saja saya punya ide-ide gila?"

"Tidak soal meminta orang lain meniduri istri sendiri, Pak."

"Sudah, lakukan. Saya minta tolong. Saya percaya sama kamu. Soal bagaimana caranya, saya tidak perlu mengintervensi."

"Pak, tolong."

"Saya anggap kamu setuju. Dan seharusnya begitu. Ibu masih sangat cantik dan seksi, saya yakin laki-laki mana pun masih akan tertarik. Termasuk kamu. Jadi ini pasti bukan soal ketertarikan dan nafsu."

"Tolong, Pak. Saya mohon sekali lagi."

"Ibu belum setuju. Saya tidak bisa memaksakan itu padanya seperti apa yang saya lakukan padamu. Kamu boleh melakukan apapun untuk mendapatkannya."

"Saya tidak tahu harus memohon dengan cara apa lagi, Pak."

"Caranya adalah lakukan ini semua. Bantu saya."


Dibyo pergi begitu saja meninggalkan Farhan yang masih kebingungan. Ini bukan soal bersetubuh dengan Winda saja. Itu sudah Ia lakukan berkali-kali. Tapi kenyataan bahwa Dibyo malah meminta memuaskan istrinya yang tidak bisa diterima akal sehat. Farhan tahu Dibyo suka mengeluarkan ide-ide gila, tapi yang satu ini terasa kelewatan. Ia mungkin akan menghubungi Winda untuk menanyakan apa yang harus Ia lakukan. Permintaan ini tidak mungkin ditolak. Dibyo adalah penyelamat hidupnya. Utang budi itu terlalu besar. Namun permintaan ini terlampau tidak masuk akal. Mau ditolak tapi dia sudah melakukan. Diterima juga terasa aneh. Hidup ini benar-benar perjalanan yang tidak terduga.


"Bu, Bapak sudah bilang ke saya."

"Kamu bilang apa?"

"Saya menolak."

"Tapi dia memaksa, kan?"

"Iya. Kita harus bagaimana?"

"Mau bagaimana lagi?"

"Ibu mau bilang apa ke Bapak?"

"Gampang, itu urusan saya."

"Saya masih nggak habis pikir."

"Kamu harus jaga diri."

"Gimana, Bu?"

"Jangan sampai ini lebih dari seks."

"Saya usahakan, Bu."

"Masa depanmu masih panjang."

"Tidak ada yang bisa menebak, Bu."

"Saya akan ajukan syarat ke Bapak."

"Apa itu, Bu?"

"Nanti saja. Saya selesaikan dulu masalah dengan Bapak."

"Bukankah seharusnya saya tahu syarat itu?"

"Iya, tapi tidak sekarang."

"Ini jadi semakin aneh."

"Kamu percaya sama saya?"

"Saya percaya. Tapi semua ini makin tidak masuk akal."

"Tenang saja. Minimal kita jadi tidak harus sembunyi-sembunyi lagi."

"Saya ikut Ibu saja."


Tidak ada percakapan antara Farhan dan Dibyo selama perjalanan kembali ke kantor. Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing. Satu urusan Dibyo sudah selesai. Ia yakin Farhan akan melakukan permintaannya. Tinggal bagaimana dengan sang istri. Setelah semua setuju, pikirannya mungkin akan lebih tenang. Perasaan bersalah itu mungkin akan berkurang pelan-pelan. Ia masih percaya pada Farhan dan istrinya bahwa semua ini masih akan berjalan sesuai rencana. Cinta Dibyo pada Winda memang besar, itulah yang membuatnya berani mengambil keputusan ini. Dan kerelaan itu sementara hanya bisa diberikan kepada Farhan.


"Kalau kita sedang berdua untuk urusan pekerjaan atau lainnya, saya akan tetap profesional seperti biasa, Han. Saya harap kamu juga begitu."

"Saya akan berusaha, Pak."

"Kamu boleh membahas hubunganmu dengan Ibu jika semua tidak berjalan baik. Tapi soal apa yang kalian lakukan, jangan bicarakan pada saya."

"Baik, Pak."

Mereka kembali ke ruangan masing-masing. Farhan berpapasan dengan Rima saat hendak duduk. Ini sudah beberapa minggu sejak kejadian yang mereka alami di ruang arsip. Rima memang bersikap biasa saja, Farhan pun. Tapi pikiran mereka berdua tidak bisa lepas dari sana setiap kali bertemu. Birahi Rima tiba-tiba meninggi. Farhan sedang membayangkan bagaimana rasanya menyetubuhi Rima saat melihatnya lewat dengan gerakan menggoda. Mungkin ini bisa sedikit melupakan urusannya dengan Dibyo dan Winda.

"Bu nanti pulang tepat waktu?"

"Iya dong. Kenapa?"

"Mau saya minta bantuan untuk membersihkan ruang arsip."

"Duh gimana ya."

"Kalau bisa saya tunggu di sana ya."


Farhan pergi meninggalkan ruangan. Ia tidak tahan melihat tubuh Rima dari mejanya. Mata mereka bertemu. Tidak sadar, tangan Rima mendarat di luar area vaginanya.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd