Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Jamuan seks di pedalaman sulawesi

Ane masih sibuk nih gan, maafkan ane. :ampun:

Ane hanya bisa mantau via HP untuk skarang ini...

Skali lagi maafkan ane...

:ampun:
 
Makasih banget buat para suhu dan agan semua yang masih mau mantau kisah ane, moga urusan ane segera selesai, ane akan segera update
 
Gelar tiker nunggu apdet! Mantap gan, alur latar n sudut pandang yg bervareasi. keren!
 
gelar jajanan dulu sambil nunggu apdet
 
Akhir Sebuah Kenangan – 2

Aku dan Muni masuk ke sebuah ruangan yang agak lega. Belum pernah selama aku tinggal di pemukiman dan rumah ini masuk ke ruangan ini. Penataan dalam ruangan terkesan sangat tradisional dan agak berbau mistik. Di setiap sudut ruangan tergantung kepala rusa. Di tengah ruangan ada sebuah tempat mirip ranjang kerajaan namun tanpa kelambu.

Tempat apu pula ini ?

Aku menebak, pasti ruang tempat Muna menjalani hukumannya ada disebelah ruang ini. Jeritan diselingi desahan dari mulut Muna terdengar hingga ke ruangan aku berada sekarang.
Muni melepaskan tanganku lalu berjalan menuju ke sebuah sudut ruangan. Tangannya seperti menggapai-gapai sesuatu, lalu menekan dinding ruangan dengan telapak tangannya. Mulutku ternganga dengan pemandangan yang terjadi setelah Muni menekankan tangannya ke dinding. Sebuah pintu masuk rahasia terbuka di dinding itu.

Muni memberi isyarat kepadaku agar mengikutinya. Akupun mendekati Muni lalu berjalan dibelakangnya mengikuti langkahnya masuk ke balik pintu itu. Sebuah lorong yang agak gelap terpampang didepan kami, lorong pendek. Dikiri kanan dinding lorong itu digantungi obor-obor kecil yang menyala mengeluarkan sinar yang temaram.

Tanpa banyak tanya aku mengikuti Muni dari belakang. Dengan langkah pelan aku dan Muni menyusuri lorong itu, hingga tiba diujung lorong yang membelok ke arah kanan. Di sana terdapat lagi sebuah pintu yang terbuat dari batangan-batangan kayu yang keras.

Muni membuka pintu itu lalu terus masuk. Akupun mengikuti Muni. Tak tahu kemana arah dan tujuan kami pergi, dan ada apa sebenarnya disini dan mau apa.

“Ayo, Kak...”

Muni memberi isyarat agar aku mempercepat langkahku. Muni berjalan agak tergesa-gesa, entah ada apa, aku tak pernah menanyakan hal itu padanya.

Kami berjalan menyusuri lorong yang semakin sempit, hingga akhirnya tibalah kami pada ujung lorong yang bentuknya sudah semakin mirip tabung.

“Kita sudah sampai, Kak...” ucap Muni.

Aku melihat ke sekilingku. Sudah tiba ?

“Di dalam ruangan tabung ini tujuan kita ? mau apa disini ?” aku keheranan dengan hal yang kulihat.

“Bukan disini, Kak. Tapi disana “ Muni menunjuk ke ujung lorong yang berupa pintu berbentuk bundaran. “Di bawah sana....” tambahnya.

Kuperhatikan dengan seksama ujung lorong itu. Aku mendekatinya dan mencoba melihat dari pintu lorong yang berbentuk bundaran itu.

Disana ternyata berupa sebuah ruangan yang luas, hanya jalan menuju ke ruangan ini terlalu sempit. Ini pasti ruang rahasia yang hanya keluarga Tapulu saja yang boleh kesini atau mengatahui tempat ini.

“Masuk, Kak “ Muni mendorong tubuhku masuk.

Lega rasanya setelah berjalan di lorong yang sempit dan kini berada di ruang yang luas.

Ruangan yang hanya disinari oleh cahaya temaram tiba-tiba menjadi terang. Aku terkejut. Api-api yang menyala di ujung obor tiba-tiba menjadi besar sehingga ruangan luas itu menjadi terang. Jelas sekali apa yang ada dalam ruangan yang lebih tepat aku sebut gua....

“Ini ruang rahasia keluarga pemimpin. Ayo kak, beri penghormatan...” Muni memerintah.

“Untuk apa dan untuk siapa ?”

“Untuk seluruh kakek buyut yang sedang bersitirahat disini...”

“Mana .... ?”

Sebuah gelegar suara yang cukup mengejutkan aku terdengar tiba-tiba. Seperti sebuah kekuatan yang maha dahsyat tiba-tiba melandaku, memaksaku untuk berlutut.

“Hormat kami Kakek ....” Suara Muna terdengar penuh hormat sambil berlutut seperti aku.

Aku masih belum bisa menerka siapa yang tengah diberi penghormatan oleh Muni. Aku diam saja sambil terus berlutut. Ku ikuti saja apa yang dilakukan Muni. Bersedekap dan menundukkan kepala.

Jika hendak mencari kekuatan....
Hendaklah singkirkan segala rintangan...
Jangan pedulikan rasa lelah...
Segala derita haruslah dijalani...

Pesan para pendahulu...
Jangan kau tinggalkan ...
Sebab akan terhalang...
Oleh mereka yang sedang menahan derita...

Anakku janganlah salah...
Janganlah menambah kesalahan...
Dari mereka pengembara...
Yang menerima kekuatan yang maha terang...

Sebuah senandung syair terdengar mengalun lembut namun mengandung sebuah kekuatan dahsyat. Dadaku terasa sesak, keringat dingin menetes.

“Muni.....” bisikku pelan

Muni menoleh ke arahku. Dia mengedipkan mata memberi isyarat agar aku diam.

“Hormat kami kakek. Maafkan kami mengganggu ketenangan kakek. Kami datang untuk memberi penghormatan sekaligus untuk berkeluh kesah pada kakek....” suara Muni terdengar bernada sedih dan memohon.

“Kami tahu, cucu...” suara lain terdengar. Suara seorang wanita tua.

“Kami mohon Eyang...” Muni memohon, sesuatu yang entah apa.

“Bapakmu sudah sangat terlalu memberi hukuman pada cucu kami....” suara nenek tua itu terdengar kembali.

“Suruh lelaki bersamamu itu untuk mengambil bandul emas di peti, lalu berikan pada ayahmu. Katakan itu dari kami....” kali ini suara kakek terdengar.

“Baik, Kakek. Lalu apa lagi yang akan kami lakukan ?”

“hanya itu. Segera ambil. Hey,,, bukan kau Muni..., tapi pria itu yang harus mengambilnya sendiri..”

Muni yang hendak melangkah maju menuju peti yang dibilang kakek buyutnya berhenti. Lalu dia menoleh padaku, memberi isyarat agar aku segera mengambilnya.
Akupun dengan agak ragu menuju peti itu. Sebuah peti yang terletak di atas batu berbentuk meja di tengah ruangan itu mengeluarkan cahaya terang ketika aku membuka penutup atasnya. Kugunakan tanganku menutupi sebagian wajah dari silaunya cahaya itu.

Peti yang berukuran sedang itu sepertinya terlalu mubazir, isinya hanyalah sebuah bandul kecil yang terbuat dari emas.

“Tak usah berkata seperti itu...., anak muda...” suara nenek mengejutkan aku. Dia tahu apa yang aku bisikkan dalam hati ?

“Ya, kami mendengar semua kata hatimu. Cepatlah ambil....”

Segera aku mengambil bandul itu dengan gemetaran. Setelah penutup peti aku tautkan, aku segera beringsut mundur sejajar dengan Muni yang sedang berlutut.

“sekarang pergilah....” nada suara memerintah diiringi sebuah gelombang gaib yang cukup dahsyat bergulung menghantam tubuhku dan tubuh Muni. Dadaku terasa sangat sesak menerima hantaman gelombang gaib itu. Kepalaku terasa pening, gelap, pandanganku kabur..., kabur.... dan tak ingat apa-apa lagi.


******************************



“Kak Anton...., bangung kak” sentuhan lembut pada pipiku mulai menyadarkan aku dari pingsanku.
Kulihat Lusi, Muni, Muna, Mbu’i dan Tapulu tengah mengelilingi aku.

“Ada apa ini ? kenapa aku begini ? dan...., Muna ? “ aku menanyakan keberadaanku. Bingung apa yang terjadi.

“Ya, Kak Anton. Syukurlah Kak Anton tidak apa-apa...” ucap Muna sambil tersenyum.
Dia hanya bersimpuh, tidak menyentuhku. Hanya Muni..., hanya Muni yang kini tengah menyentuh kedua sisi pipiku.

“Istirahatlah dulu, Pak Anton....” Tapulu meletakkan tangannya di dadaku sambil tersenyum.

“Boleh saya ngobrol dengan Muna sebentar saja, Tapulu ?”

Tapulu mengangguk, mengiyakan permintaanku.

“Baiklah, Pak Anton. Silahkan mengobrol dengan Muna. Kami tinggal dulu...”

Tapulu dan isterinya beranjak pergi meninggalkan kami. Tinggallah aku,Lusi, Muni dan Muna.
Muna merapatkan tubuhnya sambil meletakkan tangannya di dadaku. Sedangkan Lusi hanya diam saja sejak tadi.

“Kamu tidak apa-apa, Muna ?” tanyaku penuh khawatir akan keadaan Muna.

“Aku baik-baik saja, Kak “ Muna tersenyum padaku. Kupandangi wajahnya yang nampak tak ada kesan sedang menanggung derita.

“Apa sebenarnya yang terjadi ?” gumamku.

“Sudahlah, Kak. Istirahatlah dulu. Kakak butuh istirahat sekarang. Sebentar malam kita akan berkumpul di ruang keluarga, membicaraan tentang segala hal.... “

Segala hal ? hal apa dan kenapa harus denganku...? ah, aku makin bingung.

*************************



“Semua hukuman yang diberlakukan kepada Muna dan Pak Anton sudah dihapuskan...”
Tapulu memulai pembicaraan saat kami berkumpul di ruang keluarga.

Tapulu, Mbu’i, Muna, Muni, aku dan Lusi.

“Ruangan yang Pak Anton dan Muni masuki kemarin adalah ruang khusus para pemimpin suku. Setiap pemimpin yang meninggal akan disemayamkan di ruangan itu...”

Jadi ????? Muni dan aku telah masuk ke ruangan yang sebenarnya tak boleh kami masuki ?

“Tak boleh orang lain masuk ke raungan itu selain para pemimpin suku dan isterinya. Anda dan Muni sesungguhnya telah melakukan hal yang paling beresiko....”

Tuh kan ? kenapa Muni mengajakku kesana ? apa maksudnya ? apa dia hendak mencelakaiku ?

“Aku ingin menghukum Muni karena berani masuk ke ruangan itu tanpa izinku. Aku marah padanya saat aku melihat Pak Anton dalam keadaan tak sadar tergeletak di ruang itu...”

Tapulu berhenti sejenak. Lalu melanjutkannya lagi setelah menghirup udara sebanyak-banyaknya ke dalam kantong paru-parunya...

“Tapi bandul itu...., bandul itu adalah benda keramat di suku kami..., dan Pak Anton di anugerahi untuk bisa memegang benda itu.....”

Aku menganga dan terkejut dengan penjelasan ini...

“Pak Anton sesungguhnya telah layak dan telah dipercayai untuk memimpin suku ini....”

Hah ???????????????????????????????????????????????????
Hebat juga candaan Tapulu, membuat aku tak sanggup menahan rasa geli di hatiku...

“Hahahahahahaha......,” badanku terguncang-guncang. Rasa geli dalam hati tak sanggup kutahan. “Tapulu jangan bercanda...., saya ini tak ada hubungan darah dengan seluruh warga suku ini..., bagaimana mungkin saya layak memimpin suku ini ? lagi pula.........”
Aku terhenti berbicara saat kulihat semua mata ditujukan padaku dengan penuh harap dan sangat serius, termasuk.... Lusi...!

“Baiklah, saya percaya...” ucapku kemudian. “Tapi saya tak mungkin tinggal dan menetap disini. Saya punya kehidupan sendiri, saya seorag mahasiswa....”

“Pak Anton...” sela Tapulu. “ini bukan keharusan. Seperti kata saya, Pak Anton telah layak jika Pak Anton mau....”

“Ooh...”

“Jika Pak Anton menolak, maka itu hak Pak Anton”

“........”

“Pak Anton punya hak di suku ini. Segalanya....”

“Saya memilih kehidupan saya sendiri, Tapulu...”

“Silahkan Pak Anton..., anda bebas memilihnya”

“Baiklah. Saya telah memutuskan akan menjalani kehidupan saya di luar sana, di dunia saya sendiri. Saya tak bisa disini...”

Tapulu menganggukkan kepalanya.

Dan...................

Semuanya telah diputuskan..., semuanya telah diselesaikan..........


BERSAMBUNG
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd