Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JEJAK PENGKHIANATAN

CHAPTER 6


TERSESAT PART 2

DEWI POV


Aku berusaha mengendalikan diri untuk tidak berteriak ataupun menangis ketika merasakan kekecewaan. Rasa kecewaku ini sudah dalam batas yang bisa aku terima. Untuk kesekian kalinya aku menemukan bukti transfer uang dari rekening Dimas ke rekening Tante Lita. Dimas tidak tahu kalau aku dengan sangat mudah bisa melacak aktivitas keuangannya. Dia lupa kalau aku pegawai bank. Dia tidak sadar kalau aku mempunyai akses yang luas untuk menelusuri setiap pergerakan uangnya.

Aku terduduk di kursi kerjaku sambil mengusap wajah. Tubuhku terasa lemas, tetapi pertanyaan yang berjejalan di kepala seakan minta untuk segera dijawab. Terutama pertanyaan, “ada apa antara Dimas dengan Tante Lita?” Dalam benakku, rasa curiga muncul begitu kuamati sikap Dimas terhadap Tante Lita. Kelebihan perhatian suamiku yang berupa pemberian uang secara terus-menerus kepada Tante Lita membuatku bertanya-tanya. Mengapa Dimas begitu habis-habisan membantu Tante Lita? Apa motif di balik sikapnya yang seolah tanpa batas ini? Meskipun aku berusaha menyimpan keraguan ini di dalam hatiku, namun setiap senyum ramah yang diberikan Dimas kepada Tante Lita semakin memperkuat perasaan curigaku.

“Kamu kenapa?” Tiba-tiba Lina sudah berada di sampingku.

“Oh … Lihat ini …” Aku menggeser smartphone milikku pada Lina.

Tak lama Lina berkata, “Transfer lagi? Bukannya orang ini baru saja ditransfer sama suamimu?”

“Sebulan ini dia mendapat 50 juta dari Dimas. Penghasilanku bekerja di sini gak sampai segitu.” Ujarku sangat kesal.

“Belum lagi yang lain. Menurutku saudara-saudara Dimas sudah sangat keterlaluan. Sebaiknya kamu mengambil tindakan keras.” Saran Lina memang sudah menjadi pemikiranku.

“Aku sudah protes keras tapi Dimas hanya diam. Dia tidak melawan secara terang-terangan tetapi melawanku dengan cara belakang seperti ini.” Perasaan kesalku semakin membludak.

“Sebaiknya redam dulu marahmu. Kita harus mulai bekerja lagi.” Lina langsung bergerak karena ada nasabah yang datang.

Sebagai pegawai bank, tanggung jawabku adalah bekerja secara profesional. Seberat apa pun suasana hatiku, aku harus melayani nasabah dengan sepenuh hati. Keramahan dan senyum adalah kunci utama dalam menjalankan tugas ini. Aku tidak ingin membiarkan kegalauan pribadiku mempengaruhi pekerjaanku. Kepuasan nasabah merupakan hal pokok yang tidak boleh diabaikan olehku sebagai pegawai bank karena itu adalah inti dari pelayanan yang kami berikan. Setiap senyuman dan sikap ramah yang kutunjukkan bukan semata-mata sekadar protokol pekerjaan, melainkan upaya untuk memastikan bahwa setiap nasabah merasa dihargai dan didengar.

Waktu kerja berakhir dan aku segera menuju mobil yang terparkir di basement gedung. Keluar dari gedung bank, aku melaju ke jalan raya yang padat. Sepanjang perjalanan, rasa kecewa terus menyelimuti pikiran dan perasaanku. Dimas tak lagi bisa diajak kompromi, dan pada titik ini, aku pun tak berniat lagi berkompromi dengannya. Dengan tegas, aku memutuskan untuk mengabaikannya sebagaimana dia telah mengabaikanku.

Akhirnya, aku sampai di rumah setelah perjalanan pulang yang terasa sangat panjang dan melelahkan. Tanpa menunggu lama, aku memarkirkan mobil di garasi dan langsung memasuki rumah. Sambil menenteng tas kerja di tangan kananku, aku berjalan masuk ke dalam. Badan ini terasa lengket sejak tadi, membuatku langsung bergegas ke kamar untuk mandi. Setelah selesai mandi, aku memilih pakaian casual kesukaanku yaitu blus putih berbahan ringan dan celana katun hitam yang sangat nyaman di badan. Dengan sepatu sneakers putih di kaki, aku merasa siap menghadapi sisa hari ini.

Aku kemudian berjalan ke ruang keluarga, di sana aku tidak menemukan siapa-siapa. Kulanjutkan melangkah ke dapur dan ternyata kutemukan nenek dan Aska di tempat ini. Nenek sedang membuat kue dan Aska sedang duduk di kursi tinggi, memakan biskuit. Aku tersenyum lebar saat melihat mereka. Aku berjalan ke arah nenek dan mencium pipinya. Kemudian, aku menggendong Aska, anakku yang baru berusia tiga tahun. Aku memberinya ciuman di keningnya.

"Mama pulang!" kataku kepada Aska. Aska tertawa kegirangan. Dia memeluk leherku dengan erat. Aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa saat menggendongnya.

“Kamu kelihatan rapi, nak … Apakah kamu akan pergi lagi?” Tanya nenek.

“Benar, nek … Aku akan bertemu teman-teman di kafe.” Jawabku.

“Akhir-akhir ini nenek perhatikan kamu sering keluar malam. Apakah kamu ada masalah dengan Dimas?” Ucapnya yang membuatku lumayan terhenyak, ternyata nenek memperhatikanku. Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk menceritakan kegelisahan hatiku kepada nenek.

“Aku memang sedang ada masalah dengan Dimas, nek. Tadinya aku tidak ingin nenek tahu, tapi rasanya aku harus memberitahukan nenek tentang masalahku ini.” Kataku sendu.

“Kamu tak seharusnya menyimpan sendiri masalahmu. Kamu punya nenek. Ceritakan pada nenek, apa yang sedang kamu gelisahkan?” Ujarnya lagi lemah lembut.

“Dimas nek … Dimas menurutku sudah keterlaluan memberi uang kepada saudara-saudara kita, terutama pada Tante Lita. Setiap saat Dimas mengirim uang pada mereka seakan-akan Dimas itu pabrik uang. Aku bukannya pelit, tapi memberi uang itu juga harus ada batasnya. Aku menyangka Dimas seolah-olah sedang dipermainkan oleh mereka.” Ungkapku walau agak ragu.

Nenek merenung sambil meneruskan membuat kue. Keningnya berkerut, tanda dia sedang memikirkan sesuatu. Tak lama kemudian, nenek pun berkata, “Sebenarnya, nenek juga sudah memperingati Dimas agar tidak terus memberikan uang kepada mereka. Tapi kayaknya Dimas tidak mengindahkan peringatan nenek. Itu bukan kebiasaan dia. Dimas selalu patuh kepada nenek. Nenek yakin ada sesuatu yang membuat Dimas terpaksa melakukan itu.”

“Terpaksa?” Kataku kaget.

“Ya, nenek curiga Dimas sedang diperas mereka.” Ungkap nenek masuk akal.

“Diperas?” Aku semakin kaget.

“Begini saja … Biarkan nenek yang mencari tahu perubahan Dimas. Nenek ingin kamu tenang jangan membuat situasi menjadi tidak kondusif. Nenek ingin kita pura-pura tidak mengetahui apa-apa.” Katanya penuh penekanan.

“Kalau begitu, aku ikut nenek.” Aku pun sangat setuju dengan usulan nenek.

“Ok … Kalau kamu mau pergi, pergilah … Tapi jangan pulang terlalu malam. Nenek ingin kamu menjaga sikap sama Dimas sebelum semuanya terbuka.” Ujar nenek bijaksana.

“Terima kasih, nek …” Aku meletakkan lagi Aska di kursinya lalu mendekati nenek dan mencium keningnya.

Pintu dapur aku tutup dengan pelan, tak ingin mengganggu ketenangan nenek dan Aska yang kini asyik dengan dunianya. Kembali ke garasi, aku menyalakan mesin mobil yang masih hangat. Tanpa memberi tahu Dimas, aku segera meninggalkan rumah. Ini kali pertama aku pergi tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Mobil terus melaju menuju Pondok Ceria, tempat di mana aku merilekskan diri dan bercanda bersama teman-temanku di sana. Ya, Pondok Ceria adalah tempat yang selalu aku kunjungi untuk menghilangkan galau. Setelah satu jam lebih berkendaraan, jalanan yang dilalui mulai sepi saat mobil memasuki kawasan pantai. Deburan ombak dan angin laut yang sepoi-sepoi membuat udara terasa segar dan menenangkan. Aku membuka jendela mobil untuk menikmati suasana tersebut.

Akhirnya, aku tiba di parkiran Pondok Ceria, setelah menyusuri jalan masuk yang dikelilingi oleh pepohonan hijau yang memberikan kesan damai dan sejuk. Setelah memarkirkan mobilku, aku segera melihat Pondok Ceria yang megah terbentang di hadapanku. Rumah besar itu dihiasi dengan detail arsitektur yang klasik, indah dan memikat. Pondok Ceria dikelilingi oleh taman indah yang menambah pesona dan ketenangan. Bunga-bunga yang berwarna-warni bertebaran di sela-sela pepohonan rindang. Sesekali, aroma harum bunga-bunga itu terbawa angin, menyegarkan udara di sekitarnya. Aku melangkah memasuki taman yang dihiasi dengan berbagai macam tanaman hias dan gazebo kayu yang menarik. Suasana damai dan santai langsung terasa begitu langkahku melintasi taman. Terdengar gemericik air dari sebuah kolam kecil yang menghiasi tengah taman, menambah keindahan suasana. Pondok Ceria memang tempat yang sempurna untuk merilekskan diri. Aku melihat beberapa ibu-ibu sudah berkumpul di teras, duduk santai sambil tertawa dan bercanda. Mereka tersenyum ramah ketika melihatku datang.

“Hai … Tumben hari ini datang ke sini?” Tanya Maya sumringah. Maya adalah ibu rumah tangga berusia 41 tahun. Dia berperawakan agak gempal tapi tidak gembrot. Wajahnya lumayan cantik dengan ukuran dada D Cup. Suaminya seorang tentara yang sedang bertugas di luar Jawa.

“Em … Kayaknya lagi berantem nih sama musianya?” Sahut Elis menggodaku. Elis adalah janda anak dua berusia 36 tahun. Tubuhnya seksi dipadu dengan wajah manis khas wanita Sunda.

“Sendirian saja?” Giliran Tuti yang bertanya. Tuti wanita berusia 42 tahun yang masih kelihatan muda. Dia cantik juga seksi layak seorang model. Suami Tuti adalah pejabat tinggi di pemerintahan. Dialah pemimpin dan pemilik Pondok Ceria.

“Aku pengen aja ke sini, sumpek di rumah.” Kataku menjawab dua pertanyaan terdahulu. “Ya, aku sendirian.” Jawabanku untuk Tuti.

“Pilihanmu tepat … Kamu tepat sekali datang ke sini.” Kata Tuti sambil kami saling melekatkan pipi kiri dan kanan.

“Aku sedang kesal saja. Suamiku sudah gila. Masa, dengan mudahnya dia membagi-bagikan uang sama saudara-saudaranya yang gak jelas. Seperti uang gak ada harganya.” Aku menumpahkan kekesalanku sembari duduk di salah satu kursi.

“Uh! Enak sekali saudara-saudaranya. Dapet uang cuma-cuma. Aku juga mau.” Sambut Elis dengan nada kecewa.

“Apakah kamu sudah bicara dengan suamimu?” Tanya Tuti serius.

“Aku sudah bosan, tapi dia gak menggubrisku. Inginnya sih marah tapi aku gak enak sama nenek mertua. Dia baik banget sama aku.” Desahku sambil membuka tas dan mengambil sebutir ekstasi dari dalamnya. Elis memberiku segelas air mineral dan langsung saja aku telan pil ekstasiku hingga masuk ke kerongkonganku. Kemudian aku menggeletakkan tiga buah pil ekstasi di atas meja dan segera saja masing-masing temanku mengambil pil ekstasi tersebut lalu meminumnya.

“Menurutku, menghadapi suami itu sulit-sulit gampang, ya. Ada saatnya kita harus bertindak tegas, bahkan kalau perlu agak kasar. Terkadang, sebagai istri, kita perlu menunjukkan bahwa kita punya hak untuk dihormati.” Ucap Maya dengan nada kekecewaan.

“Sudah … Sudah … Hentikan bicara suami … Lebih baik kita nikmati malam ini.” Tuti yang memang lebih bijaksana menghentikan pembicaraan kami.

Bersama dengan ketiga temanku ini, seakan dunia menjadi arena penuh warna dan kebahagiaan. Seiring malam berjalan, Pondok Ceria menjadi saksi kebersamaan dan tawa kami yang penuh kehangatan. Dalam ketenangan malam, kami menemukan kegembiraan tiada duanya. Pil ekstasi yang aku telan mampu mengubur segala kegalauan dan menggantinya dengan gelombang kebahagiaan yang luar biasa.

“Aduh … Kenapa ya aku ini? Sehabis minum pil E ini rasanya kok ingin begituan.” Ucap Maya terlihat gelisah.

“Maksudmu, ingin ngentot?” Sambar Elis tanpa sungkan.

“Iya …” Maya tersenyum malu-malu.

“Itu efek dari pil E.” Kata Tuti. “Emang kalau semua orang akan merasa terangsang kalau minum pil E karena bahan kimianya merangsang gairah seksual.” Lanjutnya.

“Hi hi hi … Pantesan aku pengen gituan terus. Celakanya aku sedang males minta sama suami.” Kataku.

“Cari aja penggantinya. Gitu aja kok bingung.” Elis menyenggolku genit.

“Sialan …” Aku pun tersenyum.

“Gak apa-apa, sekali-kali nyobain kontol lain.” Elis semakin tak terkontrol.

“Ah, kamu gila.” Aku coba menyanggah.

“Aaahh … Jangan muna deh … Aku yakin kita semua pernah dimasukin kontol selain punya suami …” Elis semakin menjadi-jadi.

“Hi hi hi … Kamu jangan mancing-mancing, Lis …” Tuti terkikik mesum.

“Hi hi hi … Bukannya mau mancing-mancing, tapi aku mau membuka pikiran kita semua kalau main sama laki-laki lain itu sah-sah saja, asalkan aman dan gak ketahuan.” Ujar Elis.

“Boleh juga tuh.” Tiba-tiba Maya menyambar ucapan Elis.

“Gimana menurutmu, Wi?” Tiba-tiba Tuti bertanya padaku.

“Em, aku … Aku gak punya jawaban …” Jawabku ragu.

“Kalau kalian mau, aku bisa datengin brondong sekarang juga.” Tuti tersenyum dan tentu saja aku terkejut mendengarnya. Aku tak menyangka Tuti ternyata pemain brondong.

“Oh … Telepon dia, Tut!” Pinta Maya sangat bersemangat.

“Ada empat brondong, gak?” Elis ikut menimpali tak kalah semangat dari Maya.

“Gimana, Wi?” Kembali Tuti bertanya padaku.

“Oh … Aku belum siap. Lagi pula aku harus pulang sebentar lagi.” Jawabku sembari melihat jam yang melingkari tanganku yang menunjukkan pukul 20.45 malam.

“Ah … Kecewa dong …” Suara Elis benar-benar terdengar kecewa.

“Sorry … Aku gak bisa ikut. Mungkin lain kali saja.” Kataku sambil berdiri. “Aku pamit ya …” Ucapku sambil cipika-cipiki pada semua temanku.

“Kamu yakin gak mau ikut?” Tanya Tuti seakan merayuku saat aku cipika-cipiki dengannya.

“Yakin …” Sahutku sambil tersenyum.

Aku segera meninggalkan Pondok Ceria sebelum terjerumus lebih jauh dalam permainan teman-temanku. Aku lajukan mobil keluar area Pondok Ceria kemudian mengarahkan mobilku ke rumah. Sebenarnya, aku sempat tertarik ajakan Tuti tadi, tapi aku pikir itu sangat berbahaya. Aku tidak ingin rumah tanggaku berantakan untuk kedua kalinya.

Mobil melaju di jalanan yang sepi, cahaya lampu jalan memantulkan warna kuning di malam gelap. Aku terus fokus pada kemudi, mencoba mengabaikan gairah yang membuncah akibat pertemuan tadi. Di dalam hati, ada getaran aneh yang sangat menggelitik, tetapi aku tahu pilihan untuk tidak ikut terlarut dalam kesenangan sesaat itu adalah pilihan yang tepat. Aku terus berkendara, meniti jalan yang membawaku pulang. Sekitar pukul 21.55 malam, akhirnya aku sampai di rumah juga.

Aku masuk ke dalam rumah yang sebagian lampu telah padam. Lampu ruang tengah padam menandakan tak ada kehidupan di ruangan ini. Aku melangkah ke kamar tidur. Saat masuk, aku melihat Dimas sudah terlelap. Aku pelan-pelan menutup pintu, tak ingin membangunkan Dimas. Setelah itu, aku mengganti pakaian menjadi pakaian tidur. Saat naik ke tempat tidur, tiba-tiba Dimas terbangun.

“Kamu dari mana?” Tanya Dimas dengan suara serak khas bangun tidur.

“Dari rumah kawan.” Jawabku sambil membaringkan tubuh di sampingnya.

“Sekarang, kamu sering pulang malam. Ada apa? Ada yang salah?” Tanya Dimas pelan.

“Seharusnya kamu sadar, kenapa aku sering keluar malam.” Jawabku santai.

Dimas memiringkan badan lalu tangannya memelukku, “Aku tahu kamu marah, tapi apa yang aku lakukan tidak merugikan kita. Masalah aku memberi saudara-saudara uang, itu karena aku merasa berlebih, dan tidak sedikit pun aku mengurangi keuangan kita.”

“Oh ya …? Kenapa kelebihan uangmu itu tidak kamu berikan kepadaku saja atau kepada nenek? Tapi bukan itu masalahnya, yang aku tak habis pikir, kenapa kamu begitu habis-habisan membantu mereka? Aku tidak keberatan kamu membantu mereka, tapi tidak seperti ini. Kamu dan mereka sudah diluar batas kewajaran.” Tegasku.

Terdengar Dimas mendesah, “Aku tidak bisa membiarkan mereka hidup dalam kekurangan.”

“Kekurangan? Kekurangan katamu? Mereka itu hidup berlebihan dengan menggunakan kelemahanmu. Mereka itu menggunakanmu, Dimas. Aku pikir mereka itu tidak tahu malu, terus-terusan meminta uang kepadamu. Mereka punya kehidupan, tapi kita juga punya hal sama.” Aku mulai menaikan nada suaraku.

Dimas terdiam. Aku tahu dia mengalah dan tidak ingin melanjutkan pembicaraan. Aku sangat tahu gaya dia menghindari pertengkaran. Akhirnya, aku pun memejamkan mata dengan hati yang dongkol. Namun tiba-tiba, tangan Dimas meremas payudaraku, remasan yang agak kuat namun lembut. Aku diamkan sambil berusaha menahan gejolak birahi yang sejak tadi bersemayam di tubuhku. Ternyata usahaku sia-sia. Seiring dengan remasan dan kini ciuman di leherku, api birahi mengalahkan pertahananku yang ditandai oleh vaginaku yang basah.

Tangan Dimas mulai melepas pakaianku satu persatu dan aku membiarkan saja dia melakukan hal itu. Hingga dengan tatapan penuh nafsu dia tatap tubuhku yang sudah tanpa busana. Aku melihat Dimas melepaskan pakaiannya hingga telanjang bulat. Dia pun langsung menindihku dan menyapukan penisnya ke vaginaku. Terasa vaginaku semakin berdenyut-denyut, lendirku kian membanjir, tidak sabar menanti terobosan batang kemaluan Dimas.

Setelah beberapa kali kepala penisnya mengorek lubang vaginaku, akhirnya ia menembus kelembutan lorong cintaku. Dimas mulai mengayun pelan. Kurasakan kenikmatan mulai merambat dari selangkanganku yang dengan sedang dipompa Dimas. Kini aku memeluk tubuhnya, sementara pantatku berputar-putar mengimbangi penis Dimas menusuk-nusuk lubang vaginaku. Tangan kekarnya mendekapku erat-erat seperti ingin meremukkan tulang-tulangku. Ia benar-benar membuatku tak bisa bergerak, dan napasnya terus memburu. Genjotannya di vaginaku semakin cepat dan keras. Setelah melakukannya selama kurang lebih 15 menit, kami pun mencapai orgasme secara bersamaan. Dan kemudian tergeletak lemas dan tertidur pulas karena kenikmatan bercinta.


#####


Waktu terus berjalan tanpa kenal lelah. Pagi datang, siang berganti, dan malam pun tiba. Waktu terus melaju, membawaku melalui berbagai pengalaman dan peristiwa. Waktu tak kenal belas kasihan, acuh terhadap apa yang telah dan akan aku lewati. Yang paling terasa olehku adalah betapa cepatnya waktu berlalu. Aku bahkan tak menyadari bahwa waktu telah berlalu begitu saja. Namun sampai hari ini, aku masih melawan waktu yang membawa kisah tak menentu.

Sabtu pagi adalah salah satu momen yang selalu membuatku gelisah, karena inilah saatnya aku harus mengembalikan Aska kepada Angga. Setelah bersiap dengan rapi, aku siap untuk pergi ke tempat Angga. Saat aku mengambil Aska dari pangkuan nenek di ruang tengah, tiba-tiba nenek meminta aku untuk duduk. Terlihat bahwa ada sesuatu yang ingin nenek dan Dimas bicarakan, dan keduanya terlihat begitu serius. Aku pun duduk dengan perasaan was-was sembari memangku Aska.

“Dewi … Ada yang harus kamu ketahui. Nenek sudah bicara dengan keluarga besar tentang masalahmu dengan Dimas. Semuanya sudah clear, dan Dimas tak akan lagi memberi uang kepada mereka. Ternyata anak-anak dan cucu-cucu nenek itu sedang membangun usaha dan selama ini Dimas lah yang menyokongnya. Kemarin nenek menyumbangkan semua uang yang nenek punya untuk mereka, dan nenek meminta mereka untuk tidak meminta uang lagi pada Dimas. Jika mereka membutuhkan modal tambahan nantinya berupa pinjaman.” Jelas nenek lemah lembut.

“Oh … Kenapa kamu gak bilang kalau uang itu buat modal usaha?” Tanyaku sambil menatap Dimas.

“Awalnya aku juga tidak tahu kalau mereka sedang membangun usaha. Aku hanya ngasih saja tanpa bertanya untuk apa.” Jawab Dimas sambil tersenyum.

“Nah … Sekarang sudah jelas kan?” Ucap nenek yang kujawab dengan anggukan.

“Nek … Aku harus mengantar Aska ke ayahnya. Saya pamit ya nek.” Aku pun berdiri lalu mencium pipi nenek.

Nenek pun mengangguk, dan setelah itu, aku melangkah menuju garasi. Aku sebenarnya telah melarang Dimas untuk mengantarkanku ke rumah Angga, sebab setelah mengantarkan Aska, aku berencana bertemu dengan teman-teman dekatku di Pondok Ceria. Tentu saja, aku tidak menyampaikan hal itu kepada Dimas; aku memilih berbohong, mengatakan bahwa ada arisan dengan teman-teman sosialitaku.

Tak lama berselang, mobilku keluar dari garasi dengan Aska yang ceria di pangkuanku. Mobil menembus jalanan yang ramai, sambil merasakan hembusan angin sejuk pagi. Perjalanan tak begitu jauh, tetapi setiap sudut perempatan jalan memberikan nuansa tersendiri. Aska terus mengamati sekitarnya dengan penuh antusiasme. Aku terus melaju dengan kecepatan pelan melewati taman kota yang ramai oleh aktivitas pagi warga. Aska tersenyum, menyapa beberapa anak kecil yang sedang bermain di sana. Perjalanan terus berlanjut, melewati toko-toko kecil yang sedang membuka pintunya. Aku tak lupa berhenti sejenak untuk membeli camilan kesukaan Aska di warung pojok. Setelah beberapa saat, kami tiba di depan rumah Angga. Pintu gerbang terbuka lebar, menyambut kedatangan kami. Angga sudah menunggu di teras rumah dengan senyuman ramahnya.

“Dimas tak ikut?” Tanya Angga sesaat setelah Aska beralih dari gendonganku ke gendongan Angga.

“Nggak, dia sedang tak enak badan.” Jawabku sekenanya.

“Oh … Masuk dulu …” Ajak Angga.

“Aku mau langsung pergi saja. Kebetulan ada arisan di rumah teman.” Ucapku.

“Oh, gitu ya.” Balas Angga.

“Aku pergi … Dah, Aska …” Aku melambaikan tangan pada anakku. Aska hanya tertawa-tawa.

Aku kembali ke dalam mobil, menarik napas panjang sebelum memutarnya keluar dari halaman rumah Angga. Keberhasilan Angga sungguh mencolok, terlihat dari kehidupannya yang kini berkembang pesat. Dia tampak lebih makmur dari masa lalu, dan sungguh, melihatnya seperti ini membuatku merasa senang. Meskipun perjalanan kami sebagai suami istri telah berakhir dengan keputusan untuk bercerai, melihat kebahagiaan dan kesuksesan Angga membuat hatiku merasa lega. Entah mengapa, melamunkan kehidupannya yang maju begitu cepat membuatku tersenyum.

“Seandainya kamu tidak keras kepala …” Gumamku pelan sambil mendesah. Sejujurnya, sampai saat ini aku masih menyimpan rasa cintaku padanya.

Belum sampai lima menit sejak meninggalkan rumah Angga, tiba-tiba perutku terasa sakit. Rasa tak nyaman itu semakin menjadi, membuatku merasa perlu segera buang air besar. Tanpa pikir panjang, aku memutuskan untuk kembali ke rumahku, karena perjalanku mengarah ke rumahku. Sambil menahan rasa sakit yang semakin intens, aku memacu mobil dengan kecepatan tinggi, mengarungi jalan-jalan yang sangat kukenal. Untung saja aku masih bisa menahan rasa mules di perut hingga sampai di rumah. Setelah memarkirkan mobil di halaman, aku berlari masuk ke dalam rumah dan langsung memburu toilet di ruang belakang rumah.

Akhirnya aku merasa sangat lega setelah melepaskan beban yang sangat menyiksa perut. Setelah selesai menuntaskan panggilan alam, aku keluar toilet sambil merapikan sedikit penampilanku. Terasa sekali suasana rumah sepi, di dapur hanya ada pembantu, di ruang tengah tak kutemukan Dimas dan nenek, aku memeriksa kamar tak kutemukan siapa pun di sana. Akhirnya aku menanyakan keberadaan Dimas dan nenek pada pembantuku dan dia menjawab kalau Dimas dan nenek baru saja pergi ke Depok.

Mendengar Kota Depok membuat jantungku langsung berdenyut. Keterkejutan dan kecurigaan menyelinap begitu saja ke dalam benakku. Aku mencium kejanggalan atas kepergian mereka. Kejanggalan pertama, nenek yang jarang sekali keluar rumah sekarang pergi bersama Dimas ke Depok. Hal ini berarti ada sesuatu yang urgen hingga nenek harus pergi ke sana. Kejanggalan kedua, Kota Depok adalah kota dimana Tante Lita bertempat tinggal. Sejak awal aku sudah curiga kalau Tante Lita ada apa-apanya dengan Dimas mengingat wanita itulah yang paling sering mendapatkan uang dari Dimas.

Aku duduk di sofa ruang tengah sambil berpikir keras mencoba memecahkan misteri ini. Dalam pikiranku, kecurigaan semakin menguat. Skenario yang muncul di kepala membuat hatiku berdegup lebih cepat. Lama-kelamaan rasa curiga semakin membesar. Batinku berkata, “Ini pasti ada apa-apanya. Aku harus mencari petunjuk yang bisa membuka tabir kejanggalan ini.”

Aku segera bangkit lalu berjalan ke kamarku. Tanpa ragu aku memeriksa tas kerja Dimas. Namun, tak ada tanda-tanda yang mencurigakan di dalamnya. Tidak menemukan petunjuk yang jelas membuat hatiku semakin gelisah. Aku melirik ke sekeliling kamar, mencoba menemukan sesuatu yang dapat mengungkap rahasia di balik kejanggalan ini. Dengan perasaan tegang, aku mendekati meja kerja Dimas. Mataku memerhatikan setiap detail, mencari clue kecil yang mungkin terlewatkan. Tidak ada surat atau catatan yang mencurigakan. Aku meraba-raba setiap laci dan lemari, berharap menemukan sesuatu yang dapat membantu memecahkan misteri ini. Hasilnya tetap nihil.

Tiba-tiba aku merasa terpanggil untuk memeriksa kamar nenek. Dengan langkah cepat aku memburu kamar nenek. Sesampainya di sana, ruangan yang sebelumnya tenang kini terasa sarat dengan ketegangan yang mencekam. Aku melihat-lihat, mencari sesuatu yang mungkin memberiku petunjuk. Dorongan kuat untuk membongkar misteri ini mendorongku untuk menyelusuri ruangan lebih teliti. Kini aku berdiri di depan lemari nenek, meraba-raba setiap laci dan sudut-sudut tersembunyi. Di sudut laci lemari, aku menemukan sebuah amplop besar berwarna coklat, dan dengan hati berdebar, aku membukanya.

Sontak mataku terbelalak lebar. Hatiku seperti ditusuk seribu sembilu saat melihat sejumlah foto yang menampilkan keintiman Dimas dan Tante Lita. Foto pertama yang kulihat adalah Dimas dan Tante Lita sedang bersenggama dimana Tante Lita sedang menunggangi Dimas dengan wajah mereka yang penuh kebahagiaan seakan mencemooh kehidupanku yang selama ini kupercayai. Air mataku berlinang tak terkendali, terasa seperti duka yang tak tertahankan. Rasa sakit di hatiku tak lagi dapat dijelaskan dengan kata-kata. Setiap denyut nadi terasa sebagai seruan keputusasaan, menyatakan bahwa dunia yang kusangka teguh telah runtuh begitu saja.

Dengan mata berkaca-kaca, aku memotret foto-foto itu menggunakan ponsel pintarku. Setelahnya, aku merapikan kembali semua foto, dan dengan hati-hati kumasukkan ke dalam amplop. Amplop itu kusimpan kembali di tempat semula. Langkahku gemetaran dan pikiranku berlarian kemana-mana saat kaki ini melangkah ke garasi. Aku masuk ke dalam mobil, menginjak gas dan mobil meluncur di jalan aspal, berbaur dengan kendaraan lain.

Kecepatan mobilku tidak terlalu kencang, karena aku masih waras walau setengah linglung. Aku mencoba fokus pada jalanan, tetapi pikiranku terus melayang pada pengkhianatan Dimas yang baru saja terungkap. Air mata menggenang di mataku, namun aku menolak untuk menangis. Meski hatiku hancur, tekadku tak boleh goyah. Aku harus kuat dan tidak boleh kalah, karena hidup tak berhenti pada satu kekecewaan.

Satu setengah jam berlalu, aku pun sampai di lokasi Pondok Ceria. Aku turun dari mobilku lalu berjalan melintasi taman sebelum akhirnya menemukan gedung indah yang dinamakan Pondok Ceria. Entah aku yang kepagian atau teman-temanku yang datang kesiangan, yang jelas di pondok ini aku hanya mendapati Tuti sendirian. Aku kemudian duduk di sofa ruangan depan pondok bersama Tuti yang sejak kedatanganku tak lepas memandangi wajahku.

“Kamu habis menangis?” Tiba-tiba Tuti bertanya.

“Ya.” Jawabku dengan suara bergetar menahan tangis.

“Kamu bertengkar lagi dengan suamimu?” Tanya Tuti lagi.

“Tidak … Aku tidak bertengkar dengannya. Tapi aku menemukan dia selingkuh.” Jawabku sembari menegarkan diri.

“Hhhhmm … Aku sudah menduga. Suamimu selingkuh dengan wanita yang sering diberi uang kan?” Ujar Tuti.

“Benar …” Ucapku dengan hampir menangis. Sakit sekali rasanya hati ini.

“Kamu jangan lemes begitu. Senyum dong?” Tuti malah menggodaku.

“Kamu ini gimana?!” Aku agak sewot.

“Wi … Sadarkah kamu kalau kejadianmu itu adalah kunci kebebasanmu?” Kata Tuti yang membuatku terhenyak.

“Maksudmu?” Tanyaku tak mengerti.

“Maksudku kamu sekarang bebas melakukan hal yang sama. Kamu bebas melakukan apa saja yang kamu mau. Kamu sekarang bebas bercinta dengan siapa saja yang kamu mau. Intinya, kamu sekarang menjadi orang bebas, sebebas-bebasnya.” Jelas Tuti membuat mata hatiku terbuka.

“Oh … Kamu benar juga …” Hatiku seperti tersiram air yang sangat sejuk dan menyegarkan.

“Nah begitu dong … Dunia ini tidak akan hancur karena perselingkuhan.” Ujar Tuti sambil tersenyum.

“Ya … Aku mengerti sekarang. Bahkan aku merasa beruntung karena aku punya alasan untuk melakukan hal yang sama. Hi hi hi … Aku bebas sekarang.” Aku mulai bisa tertawa seperti merasakan kelegaan yang luar biasa.

“Bagus … Apa mau mencobanya sekarang?” Tanya Tuti dengan wajah mesumnya.

“Apa itu?” Aku pura-pura tidak mengerti.

“Brondong … Apa kamu mau nyoba brondong?” Tuti pun tersenyum genit.

“Oh, boleh lah. Kalau bisa sekalian dua.” Jawabku setengah bercanda.

“Hi hi hi … Langsung pengen di GB aja.” Tuti terkikik.

Tuti dengan anggun mengambil smartphone-nya dari dalam tas dan jemarinya lincah menari-nari di layar ponsel. Tak lama, Tuti mulai berbicara dengan seseorang di seberang sana. Aku duduk di sebelahnya, penasaran dengan pembicaraan yang sedang ia lakukan. Suara Tuti terdengar hangat dan ramah saat ia mengundang seseorang untuk datang ke Pondok Ceria. Mendengar Tuti meminta tamu tersebut untuk membawa teman-temannya, membuatku semakin penasaran. Beberapa saat kemudian, Tuti menyelesaikan percakapannya dan meletakkan kembali smartphone-nya ke dalam tas dengan senyuman ceria di wajahnya.

"Mereka akan datang," ucapnya sambil menatapku, membuat rasa kegembiraan dan penasaranku semakin memuncak.

“Kamu ternyata pemain juga. Aku gak nyangka.” Kataku dengan ekspresi tak percaya.

Tuti hanya tertawa kecil, “Sebenarnya sudah lama aku tersesat seperti ini. Hanya saja tak banyak orang tahu, termasuk dirimu.”

“Hhhmm … Kamu bilang tersesat? Bagaimana bisa kamu tersesat?” Tanyaku ingin tahu pengalamannya.

“Karena gak puas sama suami. Suamiku lemah dalam bercinta, tak pernah membuatku orgasme. Lama-kelamaan aku jenuh, dan ya, aku mulai mencari suami cadangan di luar rumah.” Jelasnya.

“Bagaimana dengan suamimu? Apakah dia tahu kamu punya suami cadangan?” Tanyaku lebih lanjut.

“Tentu tidak … Aku sangat merahasiakannya. Nah, ini yang akan aku sharing sama kamu. Aku menyarankan padamu untuk mempertahankan suamimu karena kamu masih membutuhkan uangnya. Jangan pernah berpikir kamu untuk melepaskan suamimu, dia itu aset yang sangat berharga. Ambil saja uangnya dan kamu bermain diluar dengan suami-suami cadangan.” Saran Tuti yang sangat masuk akal.

“Em … Aku setuju … Aku akan melakukan saranmu.” Kataku sambil tersenyum.

“Satu lagi … Anggap saja angin lalu apa yang telah suamimu lakukan. Biarkan saja dia terus menjalin hubungan dengan selingkuhannya, kalau perlu sibukan dia dengan selingkuhannya biar kamu punya waktu sendiri yang banyak. Tapi, kamu harus memegang kendali atas keuangan suamimu. Ambil sebanyak-banyaknya uang suamimu, jangan sampai habis oleh selingkuhannya.” Jelas Tuti lagi.

“Ya …” Jawabku dengan senyum semakin lebar.

Tuti kemudian berbicara tentang pentingnya kesabaran dan trik dalam menyikapi kehidupanku, keberanian untuk menerima kenyataan, dan pentingnya menjalani setiap langkah dengan penuh keyakinan. Kata-katanya membuatku merenung. Tuti memberikan wawasan baru tentang bagaimana menyikapi perubahan dengan hati yang terbuka. Tuti sangat menekankan bahwa hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan.

“Temukan jalan keluar yang kreatif atas kejadian ini, cobalah hobi baru, dan kejarlah kesenangan sehingga kita merasa memiliki lebih banyak hal untuk dilakukan daripada meratapi kejadian yang sudah berlalu,” kata Tuti.

Baru saja Tuti selesai berucap, aku melihat empat orang pemuda tampan dan gagah berjalan ke arah kami. Hatiku lumayan berdebar-debar namun pada saat yang sama merasa bersemangat juga. Aku mulai mengarahkan pikiran bahwa saat ini di depanku terbentang sebuah petualangan yang penuh dengan kesenangan. Dengan hati penuh tekad, aku siap menjelajahi dunia yang belum terjamah ini.

Pikiran sudah melayang-layang dan masih tidak percaya dan belum menerima seutuhnya untuk pengalaman baru yang akan aku lakukan ini. Aku pun berkenalan dengan keempat pemuda itu. Mereka adalah Nando, Candra, Heri, dan Bondan yang kemudian dilanjutkan dengan obrolan ringan di antara kami. Dari obrolan yang awalnya aku merasa canggung, berubah menjadi obrolan yang nyaman dan sampai kepada Heri yang berada di sebelah kiriku mulai merabai pahaku sementara Bondan di sebelah kanan merangkul bahuku.

“Ayo … Jangan malu-malu. Kamu haus membiasakan diri, nanti juga kamu akan merasakan nikmatnya.” Goda Tuti padaku.

“Buka ya?” Bisik Heri sambil membuka kancing blouse yang aku kenakan.

Aku menatap Tuti tapi membiarkan tangan Heri terus melepaskan kancing blouseku. Tuti hanya tersenyum dan tak lama ia melepaskan pakaiannya yang dibantu oleh Nando dan Candra. Aku coba menekan rasa malu dan mencoba menikmatinya. Pakaianku satu persatu terlepas tanpa perlawanan sedikit pun, hingga akhirnya aku telanjang bulat di depan semua orang yang hadir, begitu juga Tuti yang sudah terlebih dahulu telanjang bulat.

Rasa canggung dan malu masih menyelimutiku, namun aku mulai menikmati perlakuan Heri dan Candra atas tubuh bugilku. Aku menutup mata dengan maksud untuk lebih bisa menikmati perlakuan kedua pemuda tampan ini tanpa merasa canggung. Deg! Sebuah kecupan menimpa bibirku. Lalu jari jemari menyentuh payudaraku, meremas-remasnya pelan, memelintir putingnya, membuatku meringis. Namun yang membuatku nyaris membuka mata manakala sebuah rongga basah hangat menyelubungi puting payudaraku lalu menghisap-hisapnya dengan rakus. Sementara payudaraku yang lain diremas-remas, terus bergantian satu dihisap satu diremas, membuat kepalaku terlempar ringan ke kanan ke kiri.

“Oooohh …” Desahanku akhirnya lolos juga.

Beberapa menit kemudian aku nyaris berteriak dan membuka mata karena kali ini hembusan nafas hangat menciptakan badai kecil di permukaan vaginaku, dan jilatan-jilatan liar itu mengusap-usap, menghisap organ paling esensi seorang wanita, membuatku menegangkan seluruh sendi-sendiku. Aku merasakan nikmat yang memuncak di kepala, perasaan melayang di awan-awan, semakin lama aku menahan gejolak birahi, tubuhku semakin bergetar-getar dan makin mengejang.

Beberapa menit kualami siksaan kenikmatan itu sampai sesuatu memasuki diriku, menggeliat, mengait, menusuk. Aku membuka mata dan ternyata jemari-jemari Heri menggali vaginaku dengan liar, satu jari, dua jari, tiga jari, dan ya, sensasi puncak kenikmatan mengharu biru diriku, denyutan-denyutan vaginaku mengirimkan sinyal-sinyal sebuah kenikmatan tiada tara dalam otakku. Aku orgasme yang terus berlangsung sampai dua menit, aku hanya bisa menggigit bibir dan menggenggam tangan erat-erat.

“Sudah basah sekali … Silahkan kawan, kamu duluan …” Ucap Heri pada Bondan.

“He he he … Terima kasih, kawan …” Bondan terkekeh sambil memposisikan dirinya di antara kedua pahaku dengan berdiri di atas kedua lututnya.

Aku yang terduduk bersandar di sofa melihat dengan jelas bagaimana penis Bondan memasuki tubuhku. “Uuhh …” aku merasakan nikmat desakan batang yang hangat panas memasuki lubang kemaluanku. Sesak. Penuh. Tak ada ruang dan celah yang tersisa. Daging panas itu terus mendesak masuk. Bondan tersenyum sambil menatap mataku yang terbuka lebar kemudian dia mulai melakukan pemompaan. Ditariknya pelan kemudian didorongnya. Ditariknya pelan kembali dan kembali didorongnya. Begitu dia ulang-ulangi dengan frekuensi yang makin sering dan makin cepat. Dan aku mengimbangi secara reflek. Pantatku langsung pintar.

“Bagaimana tante?” Goda Heri yang masih menyaksikan sambil memainkan buah dadaku.

“Ooohh … Eennaakk …” Jawabku mendesah sambil tersenyum.

Aku menyambut ciuman bibir Heri dengan penuh nafsu sambil merasakan nikmatnya kewanitaanku yang sedang menerima genjotan penis Bondan. Posisi nikmat ini berlangsung bermenit-menit. Tanpa terasa pergumulan birahi ini sudah berjalan hampir setengah jam. Suasana erotis tampak sangat indah dan menonjol. Pada akhirnya aku dan Bondan mendapatkan orgasme secara bersamaan. Belum sempat aku meredakan rasa nikmat di vaginaku, tiba-tiba Heri menggantikan posisi Bondan. Penis Heri yang lebih besar dari kepunyaan Bondan meluncur sempurna ke dalam lorong cintaku yang sangat basah. Hentakan pinggulnya menggali kenikmatan tubuhku tetap berlangsung. Lalu kurasakan dua tangan Heri memegang belakang lututku. Dan, dua kakiku kini terentang ke atas dan hinggap di bahu Heri yang masih dengan ganas memompa penisnya ke liang senggamaku. Lalu tangan Bondan hinggap meremas-remas dan memilin-milin payudaraku.

”Enak gak, tante… sssh!” sebuah jemari mulai mengutil klitorisku, membuatku semakin terbang tinggi di alam kenikmatan.

“Ya … Ennaakk … Teruuss …!”

Lenguhan Heri cukup ribut dan sesekali diiringi rintihan tertahan dari mulutku. Desakan-desakan batang kemaluannya dalam liang vaginaku menimbulkan suara becek yang membuat aku malu bahwa aku sangat basah pertanda menikmati pergulatan antar kelamin itu. Jilatan-jilatan lidahnya di telingaku ditambah tusukan-tusukan kejam penisnya pada lubang kemaluanku merupakan sebuah kombinasi aksi yang mendatangkan kepuasan biologis pada segenap jiwa dan ragaku.

”Nnngghhh…” aku merintih dan mengejang ketika kembali mengalami orgasme. Heri terus bergerak bagai piston seakan-akan ingin meremukan tubuhku yang kini basah oleh keringat kami berdua, namun menjelang denyutan-denyutan ringan sebelum hadirnya orgasme kembali kualami, tiba-tiba ia bangkit dan otomatis penis tegangnya meninggalkan diriku menimbulkan suara yang cukup memalukan di udara yang terlepas keluar vaginaku.

Kurasakan diriku dibalik dan ditelungkupkan sementara dua bantal sofa ditumpukan mengganjal perutku, aku seperti menungging. Heri akan menyetubuhiku dari belakang, suatu hal yang tak pernah kualami dalam kehidupan seksualku yang monoton. ”Oooohh!” kembali aku merintih ketika batang penis keras itu kembali menggali kenikmatan lubang vaginaku.

Tangan Heri memegang pinggangku dan kembali suara kecipak beradunya dua kelamin terdengar. Heri dengan tenaga mudanya kian kejam tanpa ampun menusuk dalam-dalam liang vaginaku. Tubuhku terguncang-guncang hebat. Sampai kemudian lenguhannya makin keras… dan keras… dan…

“Uuuughhhs!” pinggangku ditarik ke belakang dan harus menerima hentakan-hentakan keras dengan interval pendek dan kemudian ditahan, lalu kurasakan semburan-semburan cairan panas mengisi rongga vaginaku yang seketika itu pula membuat kembali mengejang menikmati setiap denyut orgasmeku berikutnya.

Heri kemudian menarik penisnya dalam diriku. Kedua pemuda itu duduk di samping kiri dan kananku setelah mereka membantuku duduk di atas sofa. Keduanya menciumiku begitu mesra dan penuh perhatian. Tak lama, sebuah usapan handuk basah terasa di permukaan vaginaku, Bondan tengah membersihkannya, ia terus mengusap sampai yakin bersih, aku sendiri hanya mampu menggigit bibir menahan rasa geli.

Aku melihat Tuti yang juga baru saja selesai dengan Nando dan Chandra. Mataku menatap mata Tuti dan akhirnya kami saling tersenyum ceria. Ini benar-benar mengasyikkan dan aku rasanya kecanduan dengan pengalaman baru ini. Sejenak, kami beristirahat sambil berbincang menggambarkan kenikmatan yang baru kami alami bersama. Hari itu kami mengulanginya dua kali lagi dengan bertukar-tukar pasangan. Bagiku, ini adalah pengalaman yang sangat mengesankan. Pengalaman ini seperti sebuah petualangan yang membawa kebahagiaan tiada tara. Sekarang aku menyadari bahwa hidup ini penuh dengan keajaiban, dan aku sangat menikmati momen seperti ini yang mampu memberikan warna baru pada kisah hidupku di masa yang akan datang.

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd