Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JEJAK PENGKHIANATAN

CHAPTER 19


PENGAKHIRAN PART 2

AUTHOR POV


Udara sore yang dingin, ditambah AC yang sepertinya distel rendah, menambah suasana semakin dingin. Dimas duduk termenung di ruang tengah rumahnya, wajah pria itu dipenuhi oleh ekspresi kesedihan yang mendalam. Ruangan itu penuh dengan hening, hanya terdengar bisikan angin yang berdesir pelan. Dimas meratapi kepergian nenek tercintanya, yang telah meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Dia merasa terpukul oleh kehilangan tersebut, menyalahkan dirinya sendiri karena tidak mampu menahan pergi Dewi dari rumah ini.

Dimas sangat sadar kalau neneknya sangat menyayangi Dewi, lebih dari apapun. Neneknya begitu lekat dengan kehadiran Dewi, bahkan sayangnya pada Dimas pun kalah oleh kasih nenek pada wanita itu. Kehilangan Dewi dari kehidupan neneknya membuat sang nenek merasa ditinggalkan dan kesepian, memunculkan rasa sakit dan kepedihan yang besar dalam hati dan pikirannya. Kesedihan nenek itu akhirnya menjadikan dirinya jatuh sakit karena beban hati dan pikirannya yang hancur.

Ketika Dimas terhanyut dalam lamunannya, tiba-tiba pintu ruangan yang menghubungkan ruang depan dan ruang tengah terbuka. Suara pintu yang berderit menyadarkan Dimas dari lamunannya, dan ia menoleh pada sosok yang baru saja memasuki ruangan. Ternyata, orang tersebut adalah sepupunya yang bernama Wendi. Wendi tanpa basa-basi langsung menyambar remote televisi yang terletak di meja, lalu dengan cepat menyalakan televisi 52 inci di depan Dimas dan dirinya sendiri. Dengan sembrono, Wendi terus mengganti-ganti channel televisi tanpa berkata-kata, hingga akhirnya sebuah stasiun berita muncul di layar. Sebuah berita kriminal sedang ditayangkan.

Mata Dimas terbelalak dan indera pendengarannya menajam saat melihat berita di hadapannya. Dengan sangat jelas, Dimas melihat berita tentang terbongkarnya suatu kejahatan penipuan dan penjebakan yang melibatkan dirinya. Dalam berita itu dijelaskan bahwa telah ditangkap dua tersangka berinisial JS dan DA yang melakukan penipuan serta penjebakan terhadap DM dan AA. Mereka membeli heroin sebanyak masing-masing satu kilogram menggunakan teknologi komputer untuk menjebak dua orang yang tidak bersalah.

“Dia itu Dewi dan teman kantornya.” Ujar Wendi yang sontak membuat darahku mendidih.

“Dewi …!! Kau …!!” Dimas bergumam dengan amarah yang meluap-luap, menyiratkan kemurkaan yang sangat dahsyat.

“Dewi sudah berusaha mencelakai kamu, Mas. Tapi syukurlah, semuanya sudah terbongkar. Sebaiknya kamu segera menceraikannya.” Kata Wendi yang tidak sepenuhnya dihayati oleh Dimas.

Kemarahan dalam diri Dimas meluap seperti lava panas yang tak terbendung. Setiap kata yang diucapkan Wendi menggiringnya pada jurang kemarahan yang lebih dalam. Dimas, yang sebelumnya hanya merasa terpukul oleh kepergian neneknya, kini dihadapkan pada pengkhianatan yang sangat keji. Kemarahan yang semula hanyalah api kecil kini berkobar menjadi bara yang tak terpadamkan. Setiap detik, setiap nafasnya diisi oleh keinginan untuk membalaskan semua penderitaan yang telah dialaminya. Dendamnya menjadi gelombang yang menghantam kehidupannya, mendorong pria itu untuk mengambil langkah-langkah yang mungkin tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

“Pulanglah! Aku ingin sendiri!” Ujar Dimas pada sepupunya.

Tanpa berdebat, Wendi segera meninggalkan Dimas sendirian di ruang tengah. Setelah sepupunya benar-benar pergi, Dimas melangkah dengan langkah berat ke dapur, menutupi kekosongan ruangan dengan suara langkah-langkahnya yang terdengar terhuyung-huyung. Di dapur, suasana yang cenderung sunyi, hanya dipecah oleh suara cairan yang diserap oleh blender. Dimas sibuk menciptakan dua buah jus segar, mencampurkan buah-buahan dengan hati-hati. Setelah selesai, ia menuangkan jus ke dalam dua botol air mineral dan menyimpannya di dalam kantong plastik.

Setelah persiapan selesai, Dimas beralih untuk bersiap-siap pergi. Dengan hati yang masih terhantui oleh keputusan yang harus diambil, ia mengganti pakaian dan berdandan seperlunya. Setelah merasa siap, pria itu melangkah menuju mobilnya yang terparkir di dalam garasi, membawa dua botol jus yang ia buat tadi di dapur. Tak lama kemudian, mesin mobil itu pun dinyalakan, dan Dimas melaju di jalan raya menuju tujuannya yang hanya satu yaitu kantor polisi tempat Dewi ditahan. Di dalam mobil yang hening, ia memandang jalan dengan tatapan serius, membawa beban hati yang tak terungkapkan.

Sesampainya di kantor polisi, langkah mantap Dimas membawanya ke pos penjagaan. Dengan wajah serius, ia menghampiri petugas keamanan dan dengan tegas mengutarakan maksudnya untuk menemui Dewi. Dengan suara yang penuh tekad, Dimas memberitahu para polisi penjaga bahwa Dewi adalah istrinya. Proses pemeriksaan tidak dapat dihindari. Dimas melewati tahap pemeriksaan ketat oleh aparat kepolisian sebelum akhirnya diantar ke sebuah ruangan interogasi. Ruangan itu memang ia minta sebelumnya pada aparat kepolisian, tempat di mana ia berencana untuk berbicara dengan Dewi empat mata.

Sesampainya di dalam ruangan interogasi, Dimas duduk di sebuah kursi dengan perasaan hampa. Semangat hidupnya terasa memudar, tergantikan oleh beban berat yang dipikulnya akibat rentetan peristiwa tragis yang telah terjadi. Pening dan hampa, itulah yang menyelimuti hatinya. Ia telah kehilangan orang yang dicintainya dan bersamaan dengan kepergiannya, kehangatan dan cahaya yang selama ini menyinari hidupnya turut menghilang. Neneknya, sosok yang begitu lekat dengan kenangan manis, kini hanya tinggal sebagai bayang-bayang yang melintas dalam ingatannya. Dimas terombang-ambing dalam lautan keputusasaan, mencari makna yang tak kunjung ia temukan.

Beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka, dan masuklah Dewi beserta seorang polisi wanita yang mengawalnya. Suasana di ruangan berubah, terasa tegang dan penuh emosi. Dewi pun duduk di depan Dimas, dipisahkan oleh meja kayu kotak yang terletak di antara mereka. Beberapa detik setelah Dewi duduk, polisi wanita yang mengawal Dewi pun keluar dari ruangan. Dimas pun menatap wajah Dewi yang tertunduk dan sembab. Tampak jelas bahwa wanita di depannya sedang mengalami penderitaan yang sangat dalam.

“Ini jus kesukaanmu.” Ujar Dimas sambil menyodorkan sebotol jus jeruk kesukaan Dewi ke hadapan wanita itu.

“Terima kasih.” Jawab Dewi pelan sembari mengambil botol jus jeruk di depannya.

Dengan suara yang lembut namun penuh dengan kekecewaan, Dimas berbicara kepada Dewi, "Dewi, perbuatanmu sungguh membuatku terpukul dan kecewa. Tindakan gegabahmu telah merenggut banyak hal dalam hidupku, bahkan mengambil sosok yang begitu berarti bagiku. Itu kejam, Dewi, sungguh kejam. Aku tidak tahu apa yang mendorongmu untuk melakukan hal ini. Aku sangat menyayangkan keputusanmu yang begitu gegabah dan tanpa pertimbangan. Akibatnya, kita semua harus merasakan pahitnya konsekuensi dari tindakanmu itu.”

“Maafkan aku …” Lirih Dewi masih tak berani menatap wajah Dimas.

Dengan hati terluka Dimas melanjutkan ucapannya, “Meskipun aku merasa kecewa dan sedih, aku memilih untuk memberikan maaf, Dewi. Kita semua manusia, penuh dengan kekhilafan. Meski perbuatanmu tak termaafkan, aku tidak akan menyimpan sakit hati ini berlarut-larut. Maafkanlah dirimu, Dewi, dan carilah kebenaran serta keadilan.”

Dewi merasa tenggorokannya kering dan lidahnya kelu. Kata-kata Dimas, yang penuh dengan kekecewaan namun juga penuh dengan kebijaksanaan, terdengar begitu berat di telinganya. Seketika itu juga rasa penyesalan dan kesedihan menyeruak dalam dadanya. Dewi mengangkat wajahnya, namun tatapan Dewi mulai buram saat ia mencerna kata-kata yang diucapkan Dimas, dan detik demi detik, isak tangis yang lama ia tahan mulai meluap tanpa kendali. Dewi tidak bisa menahan emosinya, air mata jatuh begitu saja, sebagai ekspresi dari penyesalan yang tiada lagi berarti.

“Untuk yang terakhir kalinya, aku ingin mengajakmu bersulang sebagai tanda perpisahan. Kita pernah memiliki kenangan yang indah bersama, Dewi. Meski tak bisa kembali ke masa lalu, mari kita bersulang untuk mengenang apa yang pernah kita bagikan. Bersamaan dengan itu, aku ingin memaafkanmu dan melepaskan sakit hati yang selama ini ku simpan.” Ucap Dimas dengan suara yang tenang, meskipun terdengar berat. Ia mengambil botol jus miliknya dari kantong plastik yang telah disiapkan sebelumnya.

Dewi, yang masih terhanyut dalam emosinya, mengalihkan pandangannya dan menatap botol air mineral berisikan jus jeruk kesukaannya. Wajah Dewi yang sembab oleh air mata mencerminkan perasaan penyesalan dan kelegaan. Meski sulit, ia mencoba merangkul momen ini sebagai langkah menuju akhir dari suatu kisah yang penuh dengan tragis. Dewi dan Dimas duduk saling menatap dengan raut wajah yang mencerminkan perasaan yang berlapis-lapis. Dengan gerakan hati-hati, Dimas dan Dewi bersama-sama membuka tutup botol air mineral tersebut. Tutup botol terbuka, seolah-olah membuka lembaran baru, meskipun lembaran itu adalah akhir dari suatu kisah. Kemudian, dengan gerakan serempak yang tanpa diucapkan, keduanya mengangkat botol jus sebagai tanda saling menghormati. Tak lama kemudian, mereka meminum jus tersebut, mengambil beberapa teguk dalam satu waktu. Rasa segar dari jus tersebut menyelinap melalui tenggorokan mereka, menciptakan sensasi pahit manis yang menjadi metafora dari kehidupan yang penuh warna.

“Bagiku, takdir sepertinya selalu bermain dengan rasa sakit, dan setiap langkahku selalu disertai oleh bayang-bayang penderitaan. Mengakhiri hidup adalah jawaban terbaik. Mungkin, dalam keheningan yang tak terbatas, aku dapat menemukan kedamaian yang selalu menghindariku. Aku tahu, takdir mungkin tak bisa kuubah, tapi setidaknya aku berharap bahwa melalui keputusan ini, aku bisa menemukan kebebasan dari rasa sakit yang selalu menemaniku.” Ucap Dimas sambil tersenyum.

Takdir tampaknya menyiapkan tragedi yang lebih gelap. Setelah meminum jus jeruk yang mereka tenggak bersama, rasa segar dan manis tergantikan oleh penderitaan yang tak terlukiskan. Sianida yang Dimas masukan dalam jus tersebut, menyusup ke dalam tubuh mereka melalui cairan yang seharusnya memberikan kesegaran. Perubahan itu terjadi dengan cepat. Dimas dan Dewi tiba-tiba merasakan panas yang menyiksa di tenggorokan mereka, menggigit seperti bara yang melanda. Kedua mata mereka melebar, mencerminkan rasa sakit yang tak terbendungkan. Sianida merajalela, menghancurkan seluruh sistem tubuh mereka tanpa ampun.

Seketika itu juga, tubuh mereka menjadi lemas. Napas terasa semakin sulit dihirup, dan denyut jantung mereka semakin melemah. Raut wajah mereka mencerminkan rasa sakit yang tak terperikan, dan mata mereka meredup seiring dengan berlalunya waktu. Kedua sosok yang pernah terikat dalam kisah hidup yang rumit ini, kini tergeletak tanpa daya, merasakan akhir yang tragis dan mendalam. Di ruangan yang tadinya penuh dengan keheningan, kini terisi oleh kehampaan dan aroma kematian. Sianida merenggut nyawa mereka dalam sekejap, mengakhiri deretan kisah hidup yang kini berakhir tragis. Mereka pergi, melepas penat dan beban, namun meninggalkan belenggu penderitaan yang tak terlupakan bagi yang menyaksikan.


#####



ANGGA POV

Pemakaman Dewi menjadi panggung terakhir dari pertunjukan hidupnya yang penuh liku-liku. Aku datang dengan tatapan hampa yang mencerminkan kehilangan. Di sisiku, Aska memandang makam ibunya dengan wajah yang penuh kekosongan. Kesedihan terpahat di setiap kerutan wajah kami, menciptakan lanskap kepedihan yang tak terelakkan. Farah mengenakan gaun hitam yang memberikan nuansa kesedihan lebih dalam. Matanya yang dibanjiri air mata menceritakan kisah kehilangan seorang anak. Di sekitar pemakaman, keluarga dan teman-teman Dewi hadir dengan beban berat di hati masing-masing. Suara langkah kaki yang serempak menyusuri jalur pemakaman menjadi latar belakang kesunyian yang dipenuhi oleh tangisan dan rintihan.

Bunga-bunga putih sebagai simbol kesucian menghiasi makam Dewi, membawa nuansa kepergian yang penuh kedamaian. Aku, Aska, Farah, dan para keluarga terdekat duduk dan berdiri di sekitar makam Dewi, memandangnya dengan tatapan penuh kerinduan. Wajah kami terpancar dalam keteduhan yang menyelimuti langit, menciptakan pemandangan yang memilukan. Raut wajah kami, sarat akan luka batin dan rindu, menggambarkan perjalanan pahit menuju akhir perjalanan Dewi.

Aku, Aska, Farah, dan keluarga terdekat lainnya menatap dengan hening saat jenazah yang terbungkus kain kafan turun perlahan ke dalam liang lahat. Detik demi detik, bagian dari hidupku yang tak terpisahkan menghilang di sana, dan aku merasakan kehampaan yang sulit diungkapkan. Langit yang mendung seakan menangis bersama kami, meneteskan rintik-rintik air mata sebagai penghormatan terakhir untuk Dewi. Dalam diam, kami meresapi perpisahan ini sebagai perjalanan menuju keabadian, berharap bahwa Dewi kini bisa mendapatkan ketenangan yang selama ini terus ia cari.

Selesai sudah prosesi pemakaman Dewi, dan sekarang, langkah-langkah berat membawaku, Aska, dan Lia kembali ke rumah. Perjalanan pulang penuh dengan keheningan yang terasa berat. Setiap sudut kota dan setiap kilometer perjalanan membawa kenangan yang sulit untuk dihadapi. Tiba di rumah, suasana pilu semakin menggelayuti setiap sudutnya. Seakan-akan ruang-ruang kosong tersebut juga merindukan kehadiran Dewi yang tak akan pernah lagi menghiasinya. Pakaian hitam yang masih kami kenakan seolah menjadi seragam duka, dan ketenangan rumah ini seperti memperdalam kesedihan yang menyelimuti hati kami.

Lia mencoba meraih kedamaian dengan menyusun secangkir teh hangat di atas meja. Dia duduk di sampingku dan memandangku dengan tatapan penuh pengertian, sebagai sahabat yang selalu hadir dalam kesulitan dan kebahagiaan. Tangannya mencoba meraih tanganku lalu mencium tanganku dengan lembut, sebagai ungkapan simpati yang tak terucapkan. Meski kata-kata tak mampu merangkum kesedihan dan kehilangan yang kurasakan, kehadiran Lia dan sentuhan lembutnya memberikan sedikit kelegaan.

“Aku tak menyangka kalau Dewi akan meninggalkan kita secepat ini.” Kataku dengan nada sendu.

“Takdir memang misteri. Manusia hanya bisa mengira dan menduga ke mana takdir atas pilihan hidupnya bergulir karena Yang Maha Kuasa mengaruniai akal dan budi, karena manusia bukan sebentuk boneka. Manusia memang wajib berusaha, namun bukan wajib berhasil. Manusia bisa berencana, namun hasil akhir adalah hak Sang Pencipta. Takdir setiap manusia memang telah ditentukan sejak mereka lahir, tetapi dengan kerja keras, kita dapat mengalahkan takdir.” Ucap Lia penuh kebijaksanaan.

“Kamu benar … Tugas kita hanya menjalani takdir dengan ikhlas.” Kataku sembari menggeser duduk lalu memeluknya.

“Aku tahu kehilangan Dewi adalah pukulan yang sulit untuk diatasi, namun kehidupan terus berjalan. Aku ingin kamu segera melupakan Dewi dengan segala kisahnya yang mungkin membebani hatimu. Aku ingin melihatmu dan orang-orang di sekitarmu bahagia. Kebahagiaan sejati tumbuh di dalam rumahmu sendiri. Jangan biarkan bayangan masa lalu menghalangi sinar-sinar kebahagiaan yang ingin bersinar.” Kata Lia yang membuatku tersenyum.

“Ya, kamu benar lagi …

"Angga, melihat perjalanan hidupmu yang penuh dinamika, aku tak bisa tidak kagum dengan kebijaksanaan dan ketenanganmu dalam menyikapinya," ujar Lia dengan senyuman penuh penghargaan. "Setiap langkahmu seolah menjadi kisah yang menginspirasi, mengajarkan kita bahwa hidup tak selalu lurus dan terkadang penuh tikungan tak terduga. Dalam setiap dinamika kehidupan yang kamu hadapi, aku melihatmu tetap tegar, seakan memiliki kekuatan batin yang luar biasa. Banyak orang mungkin akan tersandung oleh beban peristiwa-peristiwa sulit, namun kamu mampu melewatinya dengan penuh ketenangan dan kearifan.” Kata Lia kemudian.

"Aku menikmati hidup meskipun banyak hal yang terjadi. Aku tidak peduli apakah itu hal-hal baik atau hal-hal buruk. Itu artinya aku masih hidup." Responku sambil tertawa.

Setiap detik yang berlalu mengingatkanku bahwa waktu adalah mata uang berharga yang tidak bisa dipulihkan. Di antara perjuangan dan kebahagiaan, aku menyadari bahwa kehidupan ini adalah perjalanan unik yang hanya terjadi sekali. Meskipun tak selalu mudah, kesulitan menjadi bahan bakar untuk meraih keberhasilan, dan kebahagiaan menjadi tujuan yang senantiasa kuharapkan. Suatu hari nanti semuanya akan masuk akal. Jadi, untuk saat ini, tertawalah dalam kebingungan, tersenyumlah di tengah air mata, dan teruslah mengingatkan diri sendiri bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu alasan.


TAMAT

Note:

Akhirnya, cerita ini selesai. Sebagai penulisnya, author menyadari masih banyak kekurangan dari segi bahasa maupun alur cerita yang mungkin ditemukan. Meski begitu, author berharap cerita ini mampu memberikan sedikit hiburan kepada para pembaca yang telah setia mengikuti kisah ini. Setiap kata yang tertuang di sini adalah usaha author untuk menciptakan dunia yang bisa mengajak pembaca terbang bersama imajinasi. Jika ada kesalahan atau kekurangan, author mohon maaf yang sebesar-besarnya. Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk menjelajahi cerita ini.​
 
Terakhir diubah:
Yg tidak disangka². Dewi telah meninggal yg awalnya Angga kecelakaan dan akan menjadi cacat. Tp emang ini bisa terjadi di kehidupan nyata. Karakter yg ane suka adalah Lia yg punya indra tambahan. Bisa melihat kejadian lampau seseorang.
 
Bimabet
Ini spoiler untuk cerita selanjutnya yang berjudul: "KELUARGA TANPA IKATAN"

Hari ini, suasana di rumahku begitu meriah karena perayaan ulang tahun Lia yang telah menginjak usia 39 tahun. Beberapa sahabat telah datang, membuat rumahku penuh tawa dan canda. Lia terlihat begitu bahagia dengan senyuman yang tak lekang oleh waktu di wajahnya. Sebagai tuan rumah, aku dengan bangga memandu acara perayaan ini. Setiap detik terasa istimewa karena kebersamaan dan kebahagiaan yang terpancar dari wajah Lia dan tamu-tamu yang hadir.

Dua tahun setelah tragedi yang merenggut nyawa Dewi, kehidupanku akhirnya menemukan kedamaian. Meskipun luka itu tidak pernah sepenuhnya sembuh, namun waktu mampu menyembuhkan sebagian besar rasa kehilangan yang kurasakan. Keadaan kini telah menjadi tenang dan damai. Di usiaku yang telah mencapai 30 tahun, aku menemukan panggilan hidupku sebagai CEO perusahaan yang didirikan oleh ayah tiriku, seorang taipan terkenal asal Portugal. Kesejahteraan dan keberhasilan yang kini kudapatkan tak luput dari kerja keras dan dedikasiku.

Dalam kehidupanku yang sekarang ini, aku dikelilingi oleh empat wanita cantik yang memberikan warna dan kebahagiaan. Lia, Farah, Tuti, dan Elis, semuanya memiliki tempat istimewa dalam hatiku. Keempatnya memberikan dukungan dan kehangatan yang membuat hari-hariku menjadi lebih berarti. Tubuhku yang ideal dan wajah tampanku menjadi semacam magnet bagi kasih sayang mereka. Hubunganku dengan keempat wanita itu adalah keluarga tanpa ikatan. Meskipun tak ada benang merah formal yang mengikat kami, namun kebersamaan dan kasih sayang yang tumbuh di antara kami begitu kuat.

Semoga lebih bagus dari cerita sebelumnya.
:beer:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd