Aku seorang pria usia 29 Tahun. Dengan tubuh yang jauh dari atletis, tampan ataupun hal-hal indah yang lain. Tak ada kesempurnaan yang kumiliki. Pekerjaanku hanyalah sebagai seorang pegawai swasta dengan gaji kecil, tak perlulah aku sebutkan secara detail apa jenis pekerjaanku. Isteriku, dia juga pegawai swasta sepertiku, gajinya kecil, namun masih lebih besar dibandingkan gajiku.
Aku dan isteriku tinggal disebuah rumah kecil yang aku bangun berdempetan dengan rumah bapak, rumah tanpa kursi karena memang tak muat untuk ditempatkan seperangkat kursi karena ruang yang sangat kecil. Sebuah busa tempat berbaring saat nonton televisi kecil ukuran 10 inchi, itu saja yang muat di ruang itu. Selebihnya dapur dengan ruang yang cukup sesak oleh meja makan kecil dan lemari kecil. Itulah rumahku yang aku tempati bersama seorang isteri yang cukup cantik dan seorang anak laki-laki yang manis berumur 5 tahun kini.
Mungkin nasib baik berfihak padaku, sehingga aku memperoleh seorang isteri cantik, dengan usia yang terpaut cukup jauh, 9 tahun perbedaan usia kami.
Sebenarnya rumah itu mau kutempati berempat dengan ponakan isteriku, anak perempuan yang kini sedang sekolah kelas 3 SMP, namun karena tak cukup ruang, maka terpaksa dia harus tinggal bersama bapak dan ibuku yang punya ruangan dan rumah agak besar.
Inilah awal kisah yang juga awal dari gundah gelisah yang aku alami.
Yuni, anak gadis yang baru beranjak 14 Tahun, keponakan isteriku. Anaknya cukup ceria, suka bercanda dan manja. Sebagai seorang suami dari tantenya, aku berusaha untuk sekaligus menjadi bapaknya. Terkadang aku harus menahan rasa gusar ketika dia melakukan hal-hal yang bikin aku marah hanya demi untuk menjadikan dia merasa nyaman tinggal bersama kami.
Pernah suatu ketika dia mengambil uang dalam dompetku sebanyak Rp. 100.000, aku menggeledah tasnya dan kutemukan lembaran uang yang sudah terpecah menjadi beberapa lembaran dua puluh ribu dan lima puluh ribu rupiah. Dia telah membelanjakan uang itu. Namun aku terus berusaha untuk menutupinya dari tantenya. Pernah juga dia mengambil uang dalam saku celanaku dua puluh ribu rupiah, dan banyak kali hanya lima ribu sampai sepuluh ribuan.
Mungkin karena dia masih belum dewasa, sehingga apapun yang dia lakukan mesti diadakan pembenaran terhadap semuanya. Kesalahan apapun yang dilakukannya harus aku anggap itu suatu kebenaran. Begitulah.
Seringkali untuk mencuci kain seragam sekolahnya saja, mesti tantenya yang melakukannya, ketika tantenya sibuk kerja didapur, dia tiduran saja, aku membiarkannya karena pembenaran atas sikapnya tadi.
Suatu ketika, saat itu rumah kami sedang ada hajatan, arisan keluarga. Semua pada sibuk, namun Yuni hanya tiduran saja. Sudah berkali-kali aku membangunkan dia yang saat itu tiduran diatas busa yang sering aku gunakan untuk tiduran sambil nonton TV. Yuni tetap saja tak mau bangun. Bahkan ketika aku tarik tangannya dan aku dudukkan, dia tetap memejamkan mata.
aku masih ngantuk, bentar dong, om
cepetan bangun dong nak, tuh tantemu sibuk, ntar kalo tante datang lalu dia liat kamu masih tidur, tante bisa marah,,, aku berusaha memberikan sugesti padanya agar bangun.
ogah ah, pokoknya bentar, aku ngantuk tau ! katanya ketus.
Aku tinggalkan Yuni, aku bergabung bersama tamu yang datang. Setelah lima belas menit berlalu kulihat dia masih saja tiduran.
Yuni.... aku mencoba memanggilnya pelan.
aku ngantuk, om
waduh, kalo begini om harus pake cara kekerasan nih,,, kataku mencoba memberi sedikit ancaman.
Aku langsung menjatuhkan diri disampingnya. Aku gelitik perutnya, namun dia malah diam saja. Aku coba gelitik lagi, tapi tetap saja diam. Khawatir akan reaksi yang lebih, aku segera bangun.
Huuuh....., aku tak boleh begitu,,,, kataku membatin.
Aku melakukan semuanya tanpa sedikitpun disisipi nafsu liar. Tidak sama sekali. Dan pembaca berhak untuk protes, tapi memang begitulah adanya. Namun anehnya, sikapnya ketika bangun dan selama beberapa hari kemudian begitu dingin. Setiap kali mataku bertemu pandang dengannya dia melengos, memperlihatkan kebencian. Aku tak mengerti, mungkin karena aku mencoba membangunkannya ataukah ada hal lain ? aku tetap tak mengerti.
Setelah lepas tiga hari, suasana kembali mencair, sudah mulai ada canda lagi. Hingga pagi itu .....
Yuni,,,, woy, banguuun,,, kataku berbisik ditelinganya.
Aku berdiri ditepi ranjang Yuni tanpa menyentuhkan tangan.
uhhh,,, masih ngantuk, om. Ntar aja bangunnya jawabnya bermalas-malasan.
ga boleh gitu non, tuh dah jam setengah enam
Saat itu isteriku sedang membuatkan kopi untukku yang sudah siap untuk berangkat kekantor. Pintu kamar aku buka lebar, namun Yuni tetaplah tak mau bangun.
Entah pikiran darimana aku mempunyai ide yang aku rasa bisa bikin Yuni bangun. Aku naik keranjangnya, lalu tidur disamping Yuni. Aku goyang-goyang tubuh Yuni, diam saja. Kupeluk dia dari arah belakang, kupeluk dengan ketat agar dia merasa sesak dan bangun, namun tetap saja dia tak ada reaksi apapun, diam, entah pasrah atau apalah aku tak tahu.
Bangun nak bisikku lagi.
huhhhh,,,, orang ngantuk koq dipaksa bangun, sebel akh,,, balas Yuni sambil menepis tanganku yang memeluk pinggangnya.
Akupun bangun, kemudian mengambil handuk untuk mandi. Setelah mandi akupun menyetrika bajuku yang hendak kupakai ke kantor.
Hey, Pak ! apa yang kau lakukan pada Yuni ? isteriku tiba-tiba datang saat aku lagi menyelesaikan setrikaanku.
hah ? ada apa dengan Yuni ? Tanyaku heran
Dia lagi nangis, tuh dia lari ke arah belakang rumah. Katanya diapain sama kamu ! jawab isteriku dengan wajah yang marah.
Aku jadi panik, reflex aku meningalkan setrika yang dalam keadaan menyala, berlari menyusul Yuni. Kulihat dia sedang berjalan menuju kearah belakang rumah. Tanah bagian belakang rumah kami adalah tempat pemakaman umum, dekat situ ada sungai yang sudah sering longsor sehingga menciptakan tebing yang cukup tinggi. Yuni sedang berjalan ke arah itu. Aku mengejarnya, kua gapai tanganya, saat aku berhasil memegang tangannya, Yuni langsung pingsan. Aku panik. Tak lama kemudian isteriku datang dengan wajah yang masih marah.
kau apakan dia, hah ?! bentak isteriku.
aku tadi pagi telah memeluknya dari belakang ketika dia masih berbaring diranjang kataku jujur.
Tega benar kau lakukan itu padanya isteriku semakin berang. Air mata mulai mengalir dari sudut matanya. aku telah menyelamatkan dia dari orang yang telah mencoba mesum padanya, tapi nyatanya malah kau lebih mesum lagi
Aku diam, tercekat, tak sanggup berkata-kata apa lagi.
maafkan aku isteriku, Yuni, maafkan om
Ya hanya kalimat itu yang sanggup keluar dari bibirku.
Aku tak menyangka perlakuanku akan ditanggapi seperti itu. Mungkinkah aku telah berbuat mesum pada Yuni ? mungkin, karena aku bukan om kandungnya, maka aku tak pantas membangunkan dia dengan cara memeluk seperti itu, meskipun aku melakukan itu tanpa nafsu sedikitpun (Sumpah !) Tapi itu memang salah ! ya salah !
Kini apa yang harus aku lakukan ? isteriku sudah terlalu marah dan benci. Ini suatu perbuatan yang tak bisa ditolerir lagi, perbuatan yang sungguh sangat KETERLALUAN ! mungkin ada beribu cacian yang ada dalam hati isteriku tapi tak sanggup dikeluarkannya. Mungkin juga hatinya hancur dan membayangkan aku telah mengkhianatinya dan melecehkan ponakannya.
Aku tak ingin membela diri, tak ingin memberi penjelasan, dan tak ingin memohon toleransinya. TIDAK ! biarlah waktu yang akan menjawab semuanya !
Jika aku mau, maka aku akan membela diriku, membebaskan diriku dari anggapan ini. Aku sama sekali tak memperlakukan Yuni dengan rendah penuh nafsu bejat, TIDAK ! seperti yang telah aku ceritakan sebelumnya, begitulah caraku membangunkan Yuni. Tidak lebih, dan tidak dengan nafsu karena aku bukanlah seorang pedofhil !
Aku berusaha mendekati isteriku, mencoba membangun komunikasi dengannya, meski kurasa sangat sulit.
aku telah susah payah membangun puing-puing yang telah hancur, tapi kini kau hancurkan lagi. Aku sangat kecewa, aku merasa malu dengan semua ini. Pergilah sana meminta maaf pada Yuni, karena maafku tergantung pada Yuni, jika dia mau memaafkanmu, maka aku juga akan memaafkanmu kata isteriku ketika aku meminta maaf padanya.
Aku mendekati Yuni yang saat itu tengah berbaring menghadap dinding. Aku memanggil namanya dengan pelan.
Yuni... Tak ada gerakan dari tubuh Yuni untuk menoleh kearahku atau setidaknya menggerakkan badannya menandakan dia mau mendengarkan panggilanku.
Yuni... sekali lagi aku memanggil namanya dengan pelan. Maafkan Om, Yuni mau kan memaafkan Om ?
Tak ada jawaban, tubuhnyapun diam tak bergerk, padahal aku tahu Yuni tidak tidur.
Baiklah, jika Yuni tak mau bersuara, gerakkan sajalah kaki Yuni, pertanda Yuni mau memaafkan Om
Lama kutunggu reaksi Yuni, tak ada, nihil. Aku menghela nafas berat, lalu berbalik meninggalkan Yuni yang masih terbaring dengan membisu.
Yuni, tak menjawab. Mungkin pertanda dia tak mau memaafkan aku. Akupun sudah tau jawabanmu seperti yang kau katakan tadi. Yuni tak memaafkanku dan berarti kau juga tak mau memaafkanku
Isteriku diam tak menanggapi perkataanku. Airmatanya meleleh, aku tahu hatinya hancur berkeping, membayangkan suaminya melakukan hal yang paling dibencinya bahkan dalam mimpi sekalipun.
Malamnya aku mengajak isteriku untuk membahas masalah yang sebenarnya terjadi. Ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut hingga menimbulkan koreng yang semakin besar dalam kehidupan pernikahan kami. Yuni kami ajak duduk bersama, banyak hal yang kami bahas, mulai dari apa yang telah kulakukan hingga kemungkinan perceraian yang akan terjadi antara kami.
Yuni..., Om tidak ingin membela diri atau membantah apa yang Yuni katakan tentang perlakuan Om pada Yuni aku mencoba menjelaskan pada Yuni arah pembicaraanku agar Yuni bebas mengungkapkan segala isi hatinya. Kemungkinan besar akan terjadi perceraian antar Om dan Tante, dan itu bukan karena masalah yang dialami Yuni, tetapi karena Om salah besar.
Yuni menatap wajahku sambil terisak. Airmata terus mengalir dipipinya sejak kami duduk membahas masalah bersamanya. Aku tak tahu kenapa dia terus menangis, entah sedih karena perlakuanku atau karena perceraian yang akan terjadi antara aku dan isteriku.
Yuni mau tante dan om bercerai ? isteriku bertanya pada Yuni
Jangan Om... Tante...., kasihan Fajar... Jawab Yuni sambil mengusap airmata yang terus menetes dipipinya.
Jawaban Yuni sedikit membuat hatiku lega. Siapa tahu dengan ketidak setujuan Yuni akan membuat isteriku tak lagi menginginkan perceraian antara kami. Aku sangat mencintainya, mengasihi anakku, aku tak ingin anakku hidup tanpa seorang ayah atau seorang ibu. Itu tak boleh terjadi !
Pembicaraan pun berlanjut, hingga jarum di jam dinding menunjukkan pukul 12 kurang 20 menit. Yuni telah memaafkan aku dan otomatis isteriku juga telah memaafkan aku. Dia memelukku dan menangis dalam dekapanku. Begitu juga Yuni, sambil memohon maaf dia memelukku erat, menangis didadaku.
Semua masalah berakhir, Yuni telah berhasil tersenyum kembali, bahkan bercanda dan bermanja padaku.
Aku berjanji untuk tidak lagi memperlakukan Yuni seperti yang kemarin-kemarin. Aku tak ingin kejadian ini terulang lagi, keutuhan rumah tanggaku harus aku jaga. Harus !
Tapi, benarkah itu ?